• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spirit Revolusi Mental dan Tantangan Imp (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Spirit Revolusi Mental dan Tantangan Imp (2)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Spirit Revolusi Mental dan Tantangan Implementasi Kebijakan Aparatur Sipil Negara1

Oleh. Muhadam labolo

Dosen IPDN, email; muhadamlabolo@gmail.com

Pengantar

Pertama-tama saya atas nama Menteri Dalam Negeri mengucapkan terima kasih atas undangan panitia Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) pada kongres hari ini sebagai momentum strategis guna mengkonkritkan semua gagasan dan spirit pemerintahan dewasa ini. Selanjutnya kami tak lupa mengucapkan selamat hari ulang tahun pada Ikatan Widyaiswara Indonesia, semoga semakin profesional, berkualitas, berilmu, terampil, berwawasan serta mampu memberikan pengetahuan yang terbaik dalam proses belajar-mengajar dimanapun saudara ditugaskan. Pada kesempatan ini, pada saya dimintakan untuk menyampaikan dua tema penting berkaitan dengan revolusi mental dan kebijakan Aparatur Sipil Negara (ASN). Tentu saja kedua tema tersebut cukup menarik disebabkan yang pertama tampak berupa gagasan, konsep, spirit, visi dan kerangka pembangunan bangsa sehingga bersifat abstrak, sedangkan tema kedua lebih membumi dan konkrit dalam batasan kebijakan Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 5/2014 Tentang ASN). Mudah-mudahan dalam waktu singkat ini sejumlah catatan dalam makalah ini dapat memberi sumbangan bagi action plan

Ikatan Widyaiswara Indonesia dimasa akan datang.

Memasuki tahun kedua periode pemerintahan baru 2014-2019, kita diingatkan kembali pada gagasan Revolusi Mental yang menjadi kata kunci (key word) dalam membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yaitu, Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi tersebut selanjutnya dipolakan lewat seperangkat misi yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong.2 Secara historis visi tersebut

didasarkan pada pemikiran Soekarno lewat konsep Tri Sakti. Konsep ini dikemukakan Soekarno dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun 1964. 3 Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik, kemandirian dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi ini lahir tidak saja karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal dimana terdapat dua kekuatan politik internasional yaitu blok Barat yang bersifat kapitalistik dan blok Timur yang cenderung berkarakter komunistik. Dalam konteks itu Soekarno hendak memastikan bahwa bangsa Indonesia mesti teguh pada posisinya sebagai bangsa yang merdeka dan tidak ikut menceburkan diri dalam pusaran arus politik global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas bahwa sejarah dikemudian hari memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik luar negeri Indonesia, namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan sejarah yang panjang sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat dalam membangun bangsa di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan perhatian serius.

Jika faktor internal hari-hari ini lebih mendominasi persoalan bangsa maka tidaklah salah jika focus kongres kali ini menjadi pemantik untuk mengembangkan sejumlah pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action plan guna mencapai tujuan konstitusional negara melalui kepeloporan revolusi mental. Sumber persoalan utama dalam relasi ini menurut tesis sementara terkait pada pembangunan individu bangsa. Apabila kita asumsikan bahwa setiap individu memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam kumpulan yang

1 Disampaikan dalam Kongres ke-6 Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI), Selasa, 8 September 2015.

2 Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2014-2019.

(2)

luas (keluarga) hingga organisasi paling kompleks sebagaimana negara akan mampu berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak saja persoalan internal seperti isu transisi demokratisasi, Hak Asasi Manusia, desentralisasi hingga reformasi birokrasi akan mudah terselesaikan dengan sendirinya, demikian pula persoalan yang sedang kita hadapi hari-hari ini. Dampak lebih jauh dari itu, persoalan eksternal yang selama ini menyentuh harga diri bangsa seperti mobilitas tenaga kerja ke luar negeri karena dorongan ekonomi, kemampuan melaksanakan hukuman mati bagi siapa saja yang bersalah sebagai refleksi kedaulatan politik bangsa, serta kemampuan menampilkan karakter individu yang cemerlang dari berbagai aspek kehidupan dapat segera menggeser identitas budaya negara lain yang kini justru menjadi trending di negara sendiri. Indikasi yang dapat dilihat adalah kebiasaan generasi muda yang lebih mudah beradaptasi dengan budaya bangsa lain lewat film, fashion dan food. Film dengan mudah mempengaruhi cara berpikir dan spirit generasi muda lewat layar lebar (Theater), layar sedang (Televisi) hingga layar mini (Handphone). Dalam titik tertentu gejala ini mampu memompa kebanggaan bagi negara lain, sekaligus pada saat yang sama mengikis nasionalisme bangsa sendiri. Fashion

tampak dari melimpahnya asesoris dan sentuhan life style yang secara perlahan menggerus motif dan cara hidup sederhana. Dipenghujung upaya menggapai semua titik kepuasan tersebut melahirkan cara hidup hedonisme, dimana korupsi menjadi jalan pintas di segala bidang. Sementara kontribusi makanan (food) kini menjadi semacam ketergantungan hidup dalam berbagai bentuknya, mulai dari kegemaran mengkonsumsi makanan kecil (snack) dari Malaysia, buah dari Bangkok hingga menunggu import beras dan daging dari Vietnam dan Australia sebagai pengganti kebutuhan pokok manusia Indonesia.

Pada akhirnya, semua gejala di atas kini menjadi sebuah pertanyaan strategis di atas kerangka visi dan misi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bagaimanakah mewujudkan revolusi mental dalam jangka panjang? Siapakah pelopor dan wadah seperti apakah yang ideal menjadi daya dorong (starting point) untuk mewujudkan visi dan misi revolusi mental dimaksud? Apabila Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) ‘diminta’ mengambil porsi terdepan dalam keramaian konsepsi tersebut, maka bagaimanakah action plan yang paling konkrit dari rencana besar revolusi mental dilakukan IWI?4 Ketiga pertanyaan tersebut hanyalah bagian

kecil dari upaya menemukan jawaban atas berbagai pandangan terhadap konsepsi revolusi mental baik dari sudut teoritik filsafati, politik, budaya, agama, ekonomi, hukum, maupun praktek dilapangan empirik.

Misi dan Nawacita Revolusi Mental

Untuk mewujudkan visi revolusi mental yang telah dikemukakan sebelumnya, Jokowi-JK menetapkan 7 (tujuh) misi strategis yang akan ditempuh dalam lima tahun kedepan, pertama, mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. Kedua, mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan negara hukum. Ketiga,

mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

Keempat, mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.

Kelima, mewujudkan bangsa yang berdaya-saing. Keenam, mewujudkan Indonesia menjadi

Negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Ketujuh,

mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam dokumen itu juga dirumuskan Sembilan Agenda Prioritas yang dikenal dengan istilah Nawacita (Nawa artinya Sembilan, Cita artinya Tujuan/Keinginan/Harapan). Kesembilan agenda prioritas itu adalah

pertama, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan

4 Hal yang sama dilakukan pula misalnya oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dalam Seminar Nasional,

(3)

rasa aman pada seluruh warga negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.

Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah dan Desa dalam

kerangka Negara Kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistim penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Keenam, meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan, melakukan revolusi karakter bangsa. Kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah mewujudkan Nawacita tersebut? Apakah dimulai secara sikuensi, ataukah cukup menentukan prioritas utama yang dengan sendirinya mampu menjawab semua agenda yang tersisa? Pilihan lain mungkin dapat dilakukan secara simultan dengan membagi pada semua sektor terkait untuk dituntaskan bersama.

Menurut hemat saya alternatif kedua lebih tepat kita lakukan, namun perlu ditetapkan satu sumbu utama untuk melahirkan output Nawacita dalam jangka panjang agar tidak terjebak pada kinerja day to day sebagaimana kritik sebagian masyarakat. Buah dari revolusi mental pada dasarnya hanya dapat dinikmati dalam jangka panjang, sepuluh hingga dua puluh tahun kedepan dengan menyiapkan landasan kokoh hari ini. Sebagaimana negara-negara di asia seperti Jepang, Korea, India, Malaysia dan Singapura yang hanya berselisih hari, bulan dan tahun dari pijakan kemerdekaan awal, kini telah memasuki suatu masa yang diperhitungkan dalam percaturan dunia international. Untuk menggapai harapan itu, maka tidaklah berlebihan jika Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) turut mengambil peran bagi terciptanya revolusi mental dimasa akan datang.

Kebijakan Aparatur Sipil Negara

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dikatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

(4)

yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Manajemen ASN terdiri atas Manajemen PNS dan Manajemen PPPK yang perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur. Adapun Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, serta perlindungan. Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan.

Kebijakan ASN juga diperlukan untuk menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, sebab itu ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Untuk meningkatkan produktivitas dan menjamin kesejahteraan ASN, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN berhak memperoleh jaminan sosial.

Dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN, dibentuk KASN yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik dan kode perilaku ASN. KASN beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan. Selain itu KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat oleh Presiden selaku kepala pemerintahan untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk menyalurkan aspirasi dalam rangka pembinaan dan pengembangan profesi ASN, Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang bertujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN serta mewujudkan jiwa korps ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Dalam rangka menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sistem Informasi ASN merupakan rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi yang diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi. Lalu, apakah tantangan ASN dewasa ini dan bagaimanakah peran Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) dalam menghadapi problem dimaksud? Apakah nilai-nilai penting yang mesti ditanamkan pada ASN? Makalah ini akan menjelaskan problem pokok dan nilai penting yang dapat diadaptasi oleh IWI sebagai bagian dari pelopor revolusi mental.

Korupsi sebagai Tantangan Aparatur Sipil Negara

(5)

mengalami semacam arisan dari ruang legislatif, yudikatif dan kembali ke eksekutif. Pada periode orde baru hingga kejatuhannya, dominasi eksekutif menjadikan perilaku korupsi seperti tersimpan rapi dalam dokumen yang hanya diketahui oleh rezim berkuasa. Apapun hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan bergantung pada selera Soeharto. Pasca pemilu demokratis yang mendapat pujian dunia international (1999), korupsi bergeser menjadi kebiasaan legislatif. Di tingkat daerah kondisi tersebut ditopang oleh perubahan sistem yang memungkinkan eksekutif relatif dapat dimakzulkan oleh legislatif melalui mekanisme pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, tekanan publik yang meluas serta pertanggungjawaban akhir masa jabatan. Akibatnya, eksekutif terkesan mengalah dan roda pemerintahan relatif dikendalikan secara politik oleh kelompok legislatif dari perencanaan hingga implementasi. Puncaknya, sebagian besar anggota legislatif terjerambab dalam kasus korupsi berjamaah5. Kondisi tersebut memasuki usia subur hingga periode legislatif

2004-20096. Pada periode ketiga usia reformasi (2009-2004), legislatif daerah terpilih seperti

mengalami sedikit kesadaran kolektif sekalipun gejala korupsi memasuki babak baru di level birokrasi pusat dan Senayan pada khususnya7. Untuk birokrasi pusat kita dapat mengambil

contoh kasus korupsi di tiga kementrian strategis yaitu kementerian kesehatan, pendidikan dan agama8. Meskipun kasus korupsi oleh legislatif di daerah mengalami penurunan akibat

agresivitas penegak hukum dan perubahan sistem yang membatasi fungsi kontrol legislatif9,

namun diskresi pada eksekutif seakan mengembalikan kewenangan kepala daerah untuk melakukan banyak hal sehingga mendorong penyalahgunaan wewenang yang menyuburkan korupsi. Dalam catatan Kemendagri, hingga akhir April 2012 terdapat 173 kepala daerah dari 524 daerah otonom tersangkut korupsi.10 Dari jumlah tersebut 70% oleh pengadilan telah

diputus bersalah. Artinya, 1/3 dari total kepala daerah diduga merugikan negara, memperkaya diri sendiri maupun orang lain baik sengaja maupun tidak11. Jumlah laporan perkara korupsi

sendiri hingga awal Juli 2012 mencapai 3.423 kasus. Jika dirata-ratakan maka setiap kepala daerah berkontribusi terhadap kurang lebih 20 kasus korupsi. Dari belitan masalah itu, 85% berkisar pada kasus pengadaan barang dan jasa. Jika celah korupsi berkutat pada empat

5 Fenomena ini dapat dilihat dalam kasus DPRD Sulawesi Tenggara, Banten dan Sumatera Barat periode 1999-2004. Secara umum terdapat 323 anggota DPRD periode 1999-2004 tersandung korupsi. Pada 2006 lebih 1000 anggota DPRD tersandung korupsi, dan pada 2008 jumlah anggota dewan yang diproses hukum meningkat menjadi 1400 orang (Republika, 2008).

6 Pada periode ini sejumlah anggota dewan sebelumnya (periode 1999-2004) dipaksa mengembalikan dana Tunjangan Komunikasi Insentif sebagai dampak dari ketidakjelasan penerapan PP 24/2004 tentang Keduudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan khususnya DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dua peraturan pemerintah selanjutnya (PP 36 dan 21) yang memperjelas interpretasi tersebut tetap saja menimbulkan polemik dan ketegangan antara DPRD lama dengan Kemendagri.

7 Kasus korupsi Hambalang oleh beberapa DPR (2012) dan sejumlah pejabat penting di Kementrian Pemuda dan Olah Raga menjadi babak baru transisi korupsi dari level bawah ke derajat yang lebih tinggi, setelah sebelumnya dimulai dari penangkapan sejumlah politisi senior dihampir semua perwakilan partai politik untuk kasus korupsi periode 2004-2009 dan 2009-2014.

8 Sejak tahun 2010-2012 ketiga kementrian tersebut didera masalah korupsi. Kasus Kementrian Kesehatan dalam pengadaan sarana kesehatan melibatkan mantan Menteri Kesehatan periode 2004-2009. Gejala korupsi di kementrian pendidikan lebih pada tender pengadaan buku hingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tak kunjung sepi dari sorotan publik. Sementara kementrian agama juga berada dalam tekanan publik soal transparansi pengelolaan dana abadi umat, haji hingga tender pengadaan mushaf kitab Qurán tahun 2011 dan 2012 serta laboratorium komputer Madrasah (Indopos,10 Juli 2012).

9 Perubahan sistem terjadi sejak UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah direvisi menjadi UU 32/2004 yang membatasi fungsi kontrol DPRD. Upaya pemakzulan yang rentan terjadi tampak dibatasi lewat PP No.3/2007 dari PP 108/2000 tentang Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

(6)

masalah pokok selain tender pengadaan barang dan jasa, maka dapat diasumsikan 15% sisanya berkaitan dengan penggunaan APBD/APBN yang kabur, manipulasi perizinan di pusat dan daerah, serta ekses pemilukada yang mengakibatkan penggelontoran uang dalam wujud money politics12. Apabila dibandingkan tahun lalu, hingga Juni 2011, gejala pertumbuhan korupsi sebenarnya telah terdeteksi oleh PPATK, dari 2.258 laporan transaksi keuangan terdapat 1.153 transaksi mencurigakan dilakukan bendahara daerah. Modusnya membeli surat Bank Indonesia dan mendepositokan uang daerah. Disamping bendahara daerah, 376 kepala daerah dan 339 pejabat lain melakukan transaksi mencurigakan.

Data diatas menunjukkan pergerakan korupsi mengalami semacam pergeseran sekaligus pembesaran pada entitas tertentu. Secara horisontal di pusat, korupsi mengalami peralihan siklus pada setiap cabang kekuasaan, sedangkan secara vertikal di daerah korupsi mengalami pembesaran pada level entitas pemerintahan tertentu dimana kewenangan berlimpah akibat perubahan sistem yang memberikan sejumlah diskresi. Jika demikian bagaimanakah celah korupsi rentan terjadi dalam ruang eksekutif yang mengendalikan birokrasi sebagai mesin utama roda pemerintahan? Dalam konteks Indonesia, pergeseran korupsi akibat distribusi kekuasaan dari pusat pemerintahan ke daerah pasca desentralisasi membuka celah korupsi pada empat variabel utama, yaitu modus penggunaan anggaran dan pendapatan belanja daerah, pengadaan barang dan jasa, perizinan usaha, serta ekses pemilukada yang menimbulkan perilaku pragmatis di tingkat voters.

Spirit Revolusi Mental dalam Strategi Pembelajaran Widyaiswara, Menjawab Tantangan Aparat Sipil Negara

Menyadari profesi Widyaiswara dalam proses belajar-mengajar bagi Aparatur Sipil Negara, maka penting saya sampaikan agar spirit revolusi mental dapat dibumikan melalui aktivitas pengajaran dan pelatihan diberbagai kesempatan. Widyaiswara berperan penting dalam upaya mencegah terjadinya korupsi sebagai problem pokok dalam lingkungan birokrasi. Dengan demikian tesis yang dapat kami ajukan adalah semakin berkualitas Widyaiswara kedepan, semakin mungkin gejala korupsi seperti saat ini dapat dibatasi.

Nilai penting dari aspek pengajaran adalah mendorong area kognitif Aparatur Sipil Negara agar mampu memecahkan problem pemerintahan yang dihadapi dilapangan. Pengajaran teoritik diperlukan untuk memperkuat peran salah satu asas penting dalam pemerintahan, yaitu asas berpikir panjang.13 Dalam praktek, asas ini membutuhkan cara

pandang terhadap suatu hal secara menyeluruh. Sebagai contoh, berdasarkan program penegakan hukum, rumah liar di bantaran Kali Ciliwung dibongkar paksa dengan berbagai alasan pemerintah kota. Pertanyaannya, apakah pemerintah kota peduli dengan nasib penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan mungkin saja lapangan kerjanya sebagai dampak dari penggusuran tersebut? Harus di ingat bahwa asas ‘perintah adalah perintah’

tidak berlaku dalam masyarakat civil. Inilah salah satu spirit fundamental yang membedakan ASN dengan Aparat Negara seperti Tentara dan Polisi. Standar rekrutmen boleh jadi sama, namun fokus yang menjadi lahan garapan jauh berbeda. Dalam masyarakat civil setiap warga negara berhak mengetahui mengapa dan apa akibat dari tindakan pemerintah. Kesadaran akan hubungan sebab-akibat dan sebaliknya akibat-sebab dapat diperoleh lewat pengalaman. Namun upaya untuk memperoleh pengalaman tersebut dibatasi oleh waktu hidup manusia yang singkat guna menyadari hubungan kausalitas, maka teorilah yang memungkinkan orang mengetahui hubungan kausal sebanyak mungkin tanpa harus mengalaminya satu persatu. Oleh karena itu setiap profesi Widyaiswara sebagai pengajar dikelas mutlak memerlukan

12 Republika, 13 Juni 2011.

(7)

bekal pengetahuan teoritik umum (filsafat, metodologi, logika dan sebagainya), serta pengetahuan teoritik khusus dibidangnya masing-masing. Maka amat naiflah jika sejumlah orang mengatakan bahwa Widyaiswara tidak perlu mengajarkan pengetahuan teoritik, cukup pengetahuan teknik-administratif-operasional belaka.

Disisi lain penting kami ingatkan bahwa pola transaksional dalam menyelesaikan masalah pemerintahan kini menjadi trend yang jika tak dihentikan dapat menjadi subur dan beban bagi pemerintahan selanjutnya. Dengan kelihaian semacam itu bukan mustahil kita secara tak langsung telah berkontribusi bagi terbentuknya birokrat yang ulet memeras rakyat untuk menyelesaikan setiap masalah. Inilah seni, yang menurut kritik Adam Smith tak ada seni yang paling cepat dipelajari suatu pemerintahan, kecuali seni menguras uang dari saku rakyatnya. Lewat nilai pengasuhan kita berharap terbentuk kesadaran individu sekaligus

kesadaran kolektif yang bertumpu pada moralitas dan etika, apakah etika pendidikan yang kita sepakati sebagai modal bermasyarakat dan berpemerintahan, maupun moralitas agama yang menjadi pondasi paling kuno di muka bumi. Lewat kesadaran semacam itulah maka pola pendekatan dalam kelas oleh Widyaiswara diharapkan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi terbangunnya kesadaran Aparatur Sipil Negara untuk mengubah dirinya, sekaligus secara kolektif mendorong dinamika masyarakat lewat prinsip good governance. Jika bagian ini tercapai, maka pendidikan dalam bentuk apapun sebagaimana dikatakan oleh pakar pendidikan Jhon Dewey (1999) telah mencapai tujuan sebenarnya, yaitu mengubah diri dan lingkungannya menjadi lebih baik, dan bukan sebaliknya. Namun perlu di ingat bahwa sebelum kesadaran itu muncul ia membutuhkan intervensi pengetahuan dan contoh tauladan yang memadai. Kesadaran tak akan muncul hanya dengan mengucapkan mantra

abrakadabra dan alakazam. Disini menginspirasikan bahwa semua widyaiswara harus menjadi contoh, bukan menjadi momok yang menakutkan sehingga kesadaran lahir karena dorongan luhur sebagai manusia biasa, bukan karena rasa takut sehingga membentuk pribadi robot (formalistik).

Pada level selanjutnya keseluruhan pengetahuan dan karakter yang dibentuk lewat pengajaran dan pengasuhan membutuhkan percontohan untuk diujicobakan. Dalam konteks inilah kita menyertakan nilai pelatihan, dimana kampus sekaligus menjadi laboratorium alamiah yang dapat dipraktekkan secara kasat mata. Ketika kita menguraikan pelajaran tentang pemerintahan yang baik, maka pada saat yang sama semua prinsip yang mengkonstruksi makna pemerintahan yang baik harus mampu teraplikasikan dengan cara dilatih terus-menerus. Sebagai contoh, prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan yang baik membutuhkan pelatihan lewat pemberian tanggungjawab yang memungkinkan setiap praja dapat mempertanggungjawabkan tugasnya secara baik, tepat waktu dan terang-benderang. Alokasi pelatihan yang banyak lewat kelas pembelajaran seperti

outbond, praktek lapangan, kunjungan lapangan, maupun Magang merupakan strategi yang diharapkan dapat menyerap sejumlah keterampilan lapangan secara langsung (direct) untuk menjadi modal bagi penyelesaian problem pemerintahan yang sesungguhnya di kelak hari.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Menurut David (2011) strategi yang tepat bagi usaha yang berada di sel ini adalah integrasi ke belakang, integrasi ke depan, atau integrasi horizontal, penetrasi pasar,

Metode analisis data yang digunakan adalah nilai rata-rata dari hasil percepatan gravitasi yang dilakukan dalam 10 kali pengambilan data.Hasil eksperimen nilai

[r]

Tidak ada eksekutif yang dapat mengendalikan secara langsung kerja lebih dari lima, atau paling banyak enam bawahan.. 

The early history of clus- tering methodology does not contain many examples of clustering algo- rithms designed to work with large data sets, but the advent of data min- ing

[r]

Hal ini bukanlah kasus untuk algoritma perkiraan pada bab 2.2, dimana urutan simpul-simpul di R sesuai dengan warnanya, sehingga algoritma MaxClique di setiap