• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN TINDAK PIDANA RINGAN KASUS (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN TINDAK PIDANA RINGAN KASUS (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Penerapan Tindak Pidana Ringan

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran)

Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS

Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H.

Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNA, Kisaran Sumatera Utara

Abstrak : PENERAPAN TINDAK PIDANA RINGAN KASUS (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) dengan rumusan masalah yaitu 1. Bagaimana Gambaran Umum Tindak Pidana Ringan? 2. Bagaiamana Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS)? Oleh karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini tidak dapat terlepas dari pendekatan yang beroriaentasi pada kebijakan.Pendekatan kebijakan mencakup pengertian pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Hakim berpatokan kepada pasal 406 KUHP Perusakan barang. Sehingga dalam halini pihak Pengadu merasa keberatan dengan putusan hakim kepada Dani Hendrawan Panjaitan yang tidak memberikan keadilan bagi pihak pengadu. Sehingga pihak pengadu mengajukan Banding serta kasasi namun tetap memakai dan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS.

Kata Kunci : Penerapan, Tindak Pidana Ringan, Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS

(2)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakikat hukum pidana telah dikenal bersamaan dengan manusia mulai

mengenal hukum; walaupun pada saat itu belum dikenal pembagian

bidang-bidang hukum dan sifatnya juga masih tidak tertulis. Adanya peraturan-peraturan,

adanya perbuatan-perbuatan seperti itu, dan adanya tindakan dari masyarakat

terhadap pelaku dari perbuatan-perbuatan sedemikian, merupakan awal lahirnya

hukum pidana dalam masyarakat yang bersangkutan.

Hukum pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum tertulis yang telah

dikodifikasikan. Peraturan-peraturan hukum pidana ini tersebar dimana-mana

sebab tiap-tiap badan legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk

menjalankan undang-undang, berhak membuat peraturan pidana, yaitu

peraturan-peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman berupa penderitaan

terhadap oknum yang melanggar.

Sementara itu selain pidana penjara ada juga pidana denda yang didalam

KUHP pidana denda juga merupakan pidana pokok. Akan tetapi, pidana denda

sepertinya kurang diminati para hakim di Indonesia. Kenyataannya pidana denda

dalam putusan pidana sudah jarang sekali diterapkan di Pengadilan Kisaran dan

mungkin di pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Apalagi pidana penjara,

masih menjadi primadona bagi penegak hukum yang bertujuan untuk

menimbulkan efek jera pada pelaku. Paradigma menghukum itu juga berlaku bagi

pembentuk undang-undang.

Dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

sendiri diatur tindak pidana yang diperiksa dengan pemeriksaan pidana ringan

adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling

lama tiga bulan dan atau denda Rp 7.500.1 Penurunan nilai mata uang itu

mengakibatkan penegak hukum enggan menuntut dan menjatuhkan pidana denda.

Pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun

2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Rigan dan Jumlah Denda dalam

(3)

KUHP, pada dasarnya harus dilihat dalam lingkungan Mahkamah Agung ini.

Dalam hal ini haruslah dilihat, PERMA Nomor 2 Tahun 2012 haruslah

memberikan rasa keadilan pada masyarakat dan tentunya untuk menjawab hal ini,

maka waktulah yang akan membuktikan Penerapan berlakunya PERMA Nomor 2

Tahun 2012 ini. Hal ini dikarenakan selain adanya sikap yang pro terhadap

kelahiran Perma ini, juga muncul kelompok yang kontra akan kehadiran Perma ini

dalam lingkungan penegakan hukum di negeri ini. Pandangan yang kontra akan

kelahiran Perma ini dasarnya berasal dari pemahaman akan menjamurnya tindak

pidana yang nilai kerugiannya di bawah Rp.2.500.000.

Begitu pula dengan pengkategorian suatu tindak pidana, para ahli hukum

pidana mungkin hanya berbicara sekitar pembagiannya, penerapan sanksinya, dan

pelaksanaanya. Hal ini sangatlah berbeda dengan materi yang selalu dibicarakan

para ahli hukum dalam filsafat pemidanaan yang selalu mengkaji tentang ide

ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang

hakikat pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan

pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk

melakukan pemidanaan.

1.2. Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka tipe penelitian

adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan

menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini

dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Materi Penelitian diperoleh

melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat

peraturan-peraturan, baik hukum primer maupun hukum sekunder atau

pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan

perundang-undangan yang berlaku,literature,karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain

sebagainya. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum normatif

adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data

(4)

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal,

perbandingan hukum dan sejarah hukum.2

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri

Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS

Melihat tahapan-tahapan dalam memutuskan seseorang telah melakukan

tindak pidana sudah sangat jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) dengan adanya penggolongan/jenis acara pemeriksaan

yang berbeda-beda disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang disangkakan oleh

para pelaku tindak pidana. Tahapan yang dimulai dari dari Kepolisian Republik

Indonesia, Kejaksaan Agung, Hakim Pengadilan Negeri, dan yang terakhir adalah

Mahkamah Agung.

Dalam sebuah perkara pidana ada yang dinamakan pemeriksaan cepat dan

pemeriksaan biasa. Seperti tindak pidana pengerusakan sangat jelas pasal 406

KUHP bukan tindak pidana ringan dengan demikian acara yang digunakan oleh

para penegak hukum adalah acara pemeriksaan biasa, sedangkan pasal 407

merupakan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya adalah 3 bulan

penjara dengan demikian harus diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat.

Dalam setiap perkara pidana pengerusakan ini barang bukti yang menjadi

dasar Jaksa mendakwa dan menuntut Terdakwa adalah 1 (satu) buah palang yang

dinyatakan telah rusak dalam artian tidak dapat dipergunakan lagi, hal mana

barang bukti tersebut telah diperiksa terlebih dahulu oleh aparat kepolisian selaku

penyelidik dan penyidik , oleh Jaksa maka dinyatakan oleh surat dakwaan

berdasarkan pasal dari apa yang diterima dari penyidik. Setelah itu barulah berkas

tersebut dilimpahkan ke Pengadilan dan oleh Pengadilan menentukan perkara

tersebut untuk disidangkan sesuai dengan acara pemeriksaan sesuai dengan pasal

yang didakwakan Jaksa.

Namun dalam perkara pengerusakan ini alat bukti yang palang yang telah

dinyatakan dalam surat dakwaan Jaksa ternyata terbukti belum dapat dinyatakan

(5)

rusak/tidak dapat dipergunakan lagi dengan demikian maka nilai kerugian yang

dinyatakan Jaksa didalam surat dakwaanya yaitu Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah)

secara otomatis dinyatakan kabur, sementara Jaksa hanya mendakwa terdakwa

dengan pasal tunggal yaitu 406 dengan demikian menjadikan hakim yang

memeriksa perkara ini menjadi sulit dalam hal manjatuhkan putusan.

Dalam peritimbangan hakim jelas disebutkan bahwa palang tersebut

terbukti masih dapat dipergunakan lagi, disebabkan bahwa dalam perkara ini

terdakwa dinyatakan melakukan pengerusakan tersebut dengan cara menabrak

palang besi tersebut dengan mempergunakan 1 (satu) unit mobil dengan cara

mundur sehingga pipa besi tersebut patah. Hal tersebut membuat penasihat hukum

terdakwa menjadi sedikit curiga dengan isi dakwaan tersebut sehingga mencoba

untuk memastikan kebenaran barang bukti tersebut dengan sebuah foto dan

terbuktilah bahwa palang yang dikatakan patah tersebut tidak terbukti akan tetapi

palang tersebut hanya bengkok saja dan masih dapat diperbaiki lagi hal tersebut

disampaikan dalam eksepsinya. Namum Hakim tidak menanggapi eksepsi

tersebut dimana Penasehat Hukum Terdakwa meminta Hakim untuk melakukan

putusan sela atas perkara ini untuk menolak/tidak menerima dakwaan Jaksa .

Setelah Hakim melanjutkan agenda persidangan ketahapan berikutnya

walaupun terkesan dipaksakan namun sungguh hal yang harus sangat dimengerti

melihat tindakan hakim dalam hal ini, walaupun sebenarnya sudah terjadi

kesalahan dalam proses acara pemeriksaan yang sebaiknya putusan sela

merupakan langkah yang tepat, namun kalau kita perhatikan tidak mungkin dalam

memeriksa dan memutus suatu perkara itu hanya dibebankan kepada lembaga

peradilan semata, karena tidak mungkin Hakim berdasarkan perintah dari ketua

Pengadilan yang awalnya memeriksa perkara ini dengan acara pemeriksaan biasa

berubah menjadi acara pemeriksaan cepat sungguh sangat mencoreng sistem

peradilan pidana di Indonesia.

Kemudian menyangkut dengan putusan dalam pertimbangannya Hakim

menyadari bahwa PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang pada pledoi dan juga

(6)

bahwa pemeriksaan dalam perkara ini haruslah menggunakan acara pemeriksaan

cepat yang diatur dalam pasal 205-210 KUHAP.

Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing

alat bukti dalam rangkain penilaian terbuktinya suatu dakawaan.Penilaian tersebut

merupakan otoritas hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian

alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga

terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan

perkara yang sedang disidangkan.Jika bukti tersebut relevan, kekuatan

pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau

tidak.3

Yang menarik adalah mungkin menjadi hal pembenaran atau bahkan

pembelaan dari Majelis Hakim buat lembaga pengadilan yang dalam

peritimbangannya menyatakan kebenaran PERMA Nomor 2 Tahun 2012 ayat 1

yang menyebutkan pasal-pasal yang harus dilihat nilai kerugian/barang yang

menjadi objek perkara dimana Ketua Pengadilan wajib memperhatikannya.

Namun dalam pasal 2 ayat 1 hal itu haruslah terlebih dahulu diperhatikan oleh

Penuntut Umum (Kejaksaan) karena suatu perkara itu adalah hasil dari

pelimpahan dari Penuntut Umum. Jadi dalam hal ini Majelis Hakim semata-mata

menolak letak kesalahan dalam menetapkan proses acara pemeriksaan sepenuhnya

diemban oleh Pengadilan dalam hal ini adalah tugas dari Ketua Pengadilan.

Penulis dapat memaklumi hal tersebut mengingat tugas-tugas dari para Hakim

yang begitu banyak dan melihat tahapan-tahapan pelimpahan suatu perkara itu

sendiri diamana seharusnya mulai dari Kepolisian dan Kejaksaan haruslah bekerja

sama guna menyaring pidana sehingga memudahkan Hakim untuk memutuskan

suatu perkara pidana maupun perkara lainnya.

Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial.Terkadang

dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku diam dalam

pengertian tidak mau memberikan keterangan sehingga membuat pembuktian

menjadi hal yang penting.Pembuktian memberikan landasan dan argument yang

kuat kepada Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan.Pembuktian dipandang

(7)

sebagai suatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada

hakim untuk mengambil kesimpulan suatu kasus yang sedang

disidangkan.Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah sesnsial karena

yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil.4

Banyaknya perkara-perkara tersebut yang masuk ke Pengadilan juga telah

membebani Pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik

terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses

jalannya perkara pidana samapi bisa masuk ke Pengadilan, pihak-pihak mana saja

yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan, dan mayarakat pun umumnya

hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara

tersebut disidangkan di Pengadilan. Dan oleh karena sudah sampai tahap

persidangan di Pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke

Pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan

masyarakat.Hal ini sungguh harus menjadi perhatian bagi pemerintah guna

menciptakan Efisiensi dan pemerataan fungsi dari setiap lembaga penegakan

hukum.

Peranan Hakim tidak kalah dibanding dengan Jaksa Penuntut Umum,

bahkan dapat dikatakan bahwa peranan Hakim justru lebih penting dan sangat

berat sebab Hakimlah yang senantiasa mengatur tahapan-tahapan yang harus

dilalui dalam proses persidangan, termasuk didalamnya mangatur kelancaran dan

ketertiban sidang. Dengan kata lain keseluruhan dari tahapan proses adalah di

bawah tanggungjawab dan kepemimpinan Hakim, termasuk diantaranya

melahirkan apa yang disebut dengan putusan yang kemudian kita sebut sebagai

out put Pengadilan.5 Dari semua pertimbangan Hakim tersebut maka Majelis

Hakim memutuskan perkara tersebut dengan mempidana Terdakwa dengan 2

bulan kurungan yang mana dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memohon

kepada Hakim untuk mempidana 4 bulan kurungan. Akan tetapi Penulis dalam hal

ini kurang sepakat dengan isi putusan dalam perkara ini, walaupun pada pasal 6

dalam Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian

4 Ibid, h, 96.

(8)

Batasan Tindak Pidana Ringang Dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat,

Serta Penerapan Keadilan Restoratif disebutkan tentang pemidanaan “bagi pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi pidana penjara atau denda” dan “ pidana denda

yang dimaksud dapat diganti dengan pidana kurungan”6 dengan kata lain

walaupun dengan adanya nota kesepakatan ini yang masih memberikan pilihan

kepada para hakim untuk memutus suatu perkara dalam tindak pidana ringan.

Akan tetapi seharusnya Hakim harus mengingat bahwa dalam hukuman/pidana

pokok yang tertulis dalam KUHP pasal 10, selain hukuman kurungan masih ada

lagi hukuman-hukuman yang mungkin sangat layak dan pantas diterima

Terdakwa yaitu hukuman denda dan dengan berdasarkan pasal 41 KUHP yang

sangat bisa menambah keyakinan Hakim untuk memutus perkara ini dengan

hukuman denda berdasarkan fakta persidangan bahwa barang bukti yang menjadi

objek perkara ini adalah palang yang awalnya didalam dakwaan Jaksa

menyatakan bahwa palang tersebut telah rusak dalam arti (tidak bisa dipergunakan

lagi) namun kenyataannya setelah memasuki proses pembuktian di persidangan

palang tersebut hanya bengkok dan masih dapat diperbaiki lagi, dan setelah itu

barang tersebut dikembalikan lagi kepada PTPN III Huta Padang. Sehingga dari

kenyataan di persidangan tersebut nyatalah bahwa kerugian yang diakibatkan

karena perbuatan terdakwa tidak sebegitu besar dan fatal sehingga lebih tepat

apabila terdakwa dari awal sudah harus diperiksa dengan proses acara

pemeriksaan cepat mulai Kepolisian (penyidik), Kejaksaan (penuntut) sudah harus

terlebih dahulu menyadari akan hal itu berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun

2012. Apabila Majelis Hakim memutuskan perkara ini dengan hukuman denda

mungkin akan lebih baik bila dihubungkan dengan pertimbangan Hakim itu

sendiri dan mengingat tujuan dari PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yaitu untuk

mengefektifkan pidana denda .

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(9)

1. Gambaran umum tindak pidana ringan yang telah diatur Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1946 atau disebut dengan Peraturan Hukum Pidana. Serta

terkodifikasi menjadi Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana diberlakukan bagi seluruh Warga Negara

Indonesia sebagai aturan hukum positif. Tindak pidana ringan diatur

didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 205 Ayat 1 KUHP

dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana

ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan

paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.

2. Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi Putusan

Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) yang

dilakukan proses hukumnya pada Pengadilan Negeri Kisaran Atas Nama

Dani Hendrawan Panjaitan dalam kasus perusakan barang. Dani

Hendrawan Panjaitan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak

pidana perusakan berdasarkan amar putusan hakim. Dani Hendrawan

Panjaitan divonis hukum 3 bulan penjara dan tidak perlu ditahan. Serta

hakim dalam memberikan pertimbangannya tidak memakai alternative

PERMA No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana

Ringan terhadap Dani Hendrawan Panjaitan sebagai ganti kerugian atas

perusakan barang yang dilakukan oleh Dani Hendrawan Panjaitan. Hakim

berpatokan kepada pasal 406 KUHP Perusakan barang. Sehingga dalam

halini pihak Pengadu merasa keberatan dengan putusan hakim kepada

Dani Hendrawan Panjaitan yang tidak memberikan keadilan bagi pihak

pengadu. Sehingga pihak pengadu mengajukan Banding serta kasasi

namun tetap memakai dan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri

Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS.

3.2 Saran

1. Bahwa gambaran umum ketentuan Tindak Pidana Ringan yang diatur

dalam KUHP hingga saat ini tidaklah sesuai lagi dengan Hukum Positif di

Indonesia. Perlu adanya pengaturan lebih jelas lagi tentang Tindak Pidana

(10)

Pidana Ringan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai tindak

lanjut untuk mengatasi Proses Peradilan cepat dalam lingkungan peradilan

umum tidaklah dijalankan sebagai mana mestinya. Perlu adanya

Undang-Undang Khusus yang dibuat oleh Pemerintah untuk mengatur tentang

Tindak Pidana Ringan.

2. Bahwa Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi

Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS belum

memberikan rasa keadilan bagi Pihak yang dirugikan dengan memberikan

keuntungan kepada pihak lain. Hal ini tidak sesuai dengan rasa keadilan

yang terjadi pada Kasus Perusakan barangyang di Putus di Pengadilan

Negeri Kisaran. Hakim sebagai memutus suatu perkara harus dapat

memandang, mengingat dan menimbang secara matang dan adil dalam

(11)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Karjadi M & Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar Serta Peraturan Pemerintah R.I No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaannya, (Bogor: POLITEIA) 1M.Karjadi & R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), Bogor, Politea, 1997, Pasal. 205.

Soekanto Soerjono & Purbacaraka Purnadi, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Tata Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)

2Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta : Rajawali Press, 1995), hlm. 13.

3Ibid, h, 25.

4Ibid , h, 96.

5Rusli Muhammad. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2011, h, 57.

6Nota Kesepatakan bersama, Tentang Pelaksanaan Penerapan

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumblah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif,

Pasal 6 Ayat 1 dan 2.

B. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.16 Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

RUU KUHP 2010 (Revisi Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7.

(12)

Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan L. N. No. 82 Tahun 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Semua biaya-biaya itu dianggarkan didalam RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan) yang kemudian diajukan ke kantor direksi PTPN X Surabaya. Kantor direksi lah

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat karunia dan anugerah-Nya tesis yang berjudul “Studi Komparasi Konsep Materi dan Konsep

Pembelajaran inovatif yang relevan dengan kondisi sekarang ini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) , yaitu pembelajaran yang menekankan

Gulma spesies tertentu secara ekologis dapat tumbuh dengan baik pada daerah budidaya dengan jenis tanaman tertentu dan mendominasi daerah pertanaman

Hasil penjajaran urutan asam amino penyusun sitrat sintase antar spesies Pseudomonas menunjukkan adanya kemiripan yang tinggi satu dengan lainnya.. Namun, urutan asam

Berdasarkan indeks tersebut diketahui bahwa tanah di lahan pasir pantai Samas yang telah ditambah tanah lempung dan pupuk kandang, dan digunakan sebagai lahan pertanian selama

Two Bayesian estimators of µ using two different priors are derived, one by using conjugate prior by applying gamma distribution, and the other using

Pendekatan desain yang akan menjadi fokusan dalam redesain Pasar Genteng ini menggunakan pendekatan kontekstual, sesuai dengan tujuan perancang yang ingin mengintegrasikan