Penerapan Tindak Pidana Ringan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran)
Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS
Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H.
Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNA, Kisaran Sumatera Utara
Abstrak : PENERAPAN TINDAK PIDANA RINGAN KASUS (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) dengan rumusan masalah yaitu 1. Bagaimana Gambaran Umum Tindak Pidana Ringan? 2. Bagaiamana Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS)? Oleh karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini tidak dapat terlepas dari pendekatan yang beroriaentasi pada kebijakan.Pendekatan kebijakan mencakup pengertian pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Hakim berpatokan kepada pasal 406 KUHP Perusakan barang. Sehingga dalam halini pihak Pengadu merasa keberatan dengan putusan hakim kepada Dani Hendrawan Panjaitan yang tidak memberikan keadilan bagi pihak pengadu. Sehingga pihak pengadu mengajukan Banding serta kasasi namun tetap memakai dan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS.
Kata Kunci : Penerapan, Tindak Pidana Ringan, Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakikat hukum pidana telah dikenal bersamaan dengan manusia mulai
mengenal hukum; walaupun pada saat itu belum dikenal pembagian
bidang-bidang hukum dan sifatnya juga masih tidak tertulis. Adanya peraturan-peraturan,
adanya perbuatan-perbuatan seperti itu, dan adanya tindakan dari masyarakat
terhadap pelaku dari perbuatan-perbuatan sedemikian, merupakan awal lahirnya
hukum pidana dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hukum pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum tertulis yang telah
dikodifikasikan. Peraturan-peraturan hukum pidana ini tersebar dimana-mana
sebab tiap-tiap badan legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk
menjalankan undang-undang, berhak membuat peraturan pidana, yaitu
peraturan-peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman berupa penderitaan
terhadap oknum yang melanggar.
Sementara itu selain pidana penjara ada juga pidana denda yang didalam
KUHP pidana denda juga merupakan pidana pokok. Akan tetapi, pidana denda
sepertinya kurang diminati para hakim di Indonesia. Kenyataannya pidana denda
dalam putusan pidana sudah jarang sekali diterapkan di Pengadilan Kisaran dan
mungkin di pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Apalagi pidana penjara,
masih menjadi primadona bagi penegak hukum yang bertujuan untuk
menimbulkan efek jera pada pelaku. Paradigma menghukum itu juga berlaku bagi
pembentuk undang-undang.
Dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sendiri diatur tindak pidana yang diperiksa dengan pemeriksaan pidana ringan
adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
lama tiga bulan dan atau denda Rp 7.500.1 Penurunan nilai mata uang itu
mengakibatkan penegak hukum enggan menuntut dan menjatuhkan pidana denda.
Pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Rigan dan Jumlah Denda dalam
KUHP, pada dasarnya harus dilihat dalam lingkungan Mahkamah Agung ini.
Dalam hal ini haruslah dilihat, PERMA Nomor 2 Tahun 2012 haruslah
memberikan rasa keadilan pada masyarakat dan tentunya untuk menjawab hal ini,
maka waktulah yang akan membuktikan Penerapan berlakunya PERMA Nomor 2
Tahun 2012 ini. Hal ini dikarenakan selain adanya sikap yang pro terhadap
kelahiran Perma ini, juga muncul kelompok yang kontra akan kehadiran Perma ini
dalam lingkungan penegakan hukum di negeri ini. Pandangan yang kontra akan
kelahiran Perma ini dasarnya berasal dari pemahaman akan menjamurnya tindak
pidana yang nilai kerugiannya di bawah Rp.2.500.000.
Begitu pula dengan pengkategorian suatu tindak pidana, para ahli hukum
pidana mungkin hanya berbicara sekitar pembagiannya, penerapan sanksinya, dan
pelaksanaanya. Hal ini sangatlah berbeda dengan materi yang selalu dibicarakan
para ahli hukum dalam filsafat pemidanaan yang selalu mengkaji tentang ide
ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang
hakikat pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan
pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk
melakukan pemidanaan.
1.2. Metode Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka tipe penelitian
adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan
menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini
dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Materi Penelitian diperoleh
melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat
peraturan-peraturan, baik hukum primer maupun hukum sekunder atau
pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan
perundang-undangan yang berlaku,literature,karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain
sebagainya. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum.2
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS
Melihat tahapan-tahapan dalam memutuskan seseorang telah melakukan
tindak pidana sudah sangat jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dengan adanya penggolongan/jenis acara pemeriksaan
yang berbeda-beda disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang disangkakan oleh
para pelaku tindak pidana. Tahapan yang dimulai dari dari Kepolisian Republik
Indonesia, Kejaksaan Agung, Hakim Pengadilan Negeri, dan yang terakhir adalah
Mahkamah Agung.
Dalam sebuah perkara pidana ada yang dinamakan pemeriksaan cepat dan
pemeriksaan biasa. Seperti tindak pidana pengerusakan sangat jelas pasal 406
KUHP bukan tindak pidana ringan dengan demikian acara yang digunakan oleh
para penegak hukum adalah acara pemeriksaan biasa, sedangkan pasal 407
merupakan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya adalah 3 bulan
penjara dengan demikian harus diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat.
Dalam setiap perkara pidana pengerusakan ini barang bukti yang menjadi
dasar Jaksa mendakwa dan menuntut Terdakwa adalah 1 (satu) buah palang yang
dinyatakan telah rusak dalam artian tidak dapat dipergunakan lagi, hal mana
barang bukti tersebut telah diperiksa terlebih dahulu oleh aparat kepolisian selaku
penyelidik dan penyidik , oleh Jaksa maka dinyatakan oleh surat dakwaan
berdasarkan pasal dari apa yang diterima dari penyidik. Setelah itu barulah berkas
tersebut dilimpahkan ke Pengadilan dan oleh Pengadilan menentukan perkara
tersebut untuk disidangkan sesuai dengan acara pemeriksaan sesuai dengan pasal
yang didakwakan Jaksa.
Namun dalam perkara pengerusakan ini alat bukti yang palang yang telah
dinyatakan dalam surat dakwaan Jaksa ternyata terbukti belum dapat dinyatakan
rusak/tidak dapat dipergunakan lagi dengan demikian maka nilai kerugian yang
dinyatakan Jaksa didalam surat dakwaanya yaitu Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah)
secara otomatis dinyatakan kabur, sementara Jaksa hanya mendakwa terdakwa
dengan pasal tunggal yaitu 406 dengan demikian menjadikan hakim yang
memeriksa perkara ini menjadi sulit dalam hal manjatuhkan putusan.
Dalam peritimbangan hakim jelas disebutkan bahwa palang tersebut
terbukti masih dapat dipergunakan lagi, disebabkan bahwa dalam perkara ini
terdakwa dinyatakan melakukan pengerusakan tersebut dengan cara menabrak
palang besi tersebut dengan mempergunakan 1 (satu) unit mobil dengan cara
mundur sehingga pipa besi tersebut patah. Hal tersebut membuat penasihat hukum
terdakwa menjadi sedikit curiga dengan isi dakwaan tersebut sehingga mencoba
untuk memastikan kebenaran barang bukti tersebut dengan sebuah foto dan
terbuktilah bahwa palang yang dikatakan patah tersebut tidak terbukti akan tetapi
palang tersebut hanya bengkok saja dan masih dapat diperbaiki lagi hal tersebut
disampaikan dalam eksepsinya. Namum Hakim tidak menanggapi eksepsi
tersebut dimana Penasehat Hukum Terdakwa meminta Hakim untuk melakukan
putusan sela atas perkara ini untuk menolak/tidak menerima dakwaan Jaksa .
Setelah Hakim melanjutkan agenda persidangan ketahapan berikutnya
walaupun terkesan dipaksakan namun sungguh hal yang harus sangat dimengerti
melihat tindakan hakim dalam hal ini, walaupun sebenarnya sudah terjadi
kesalahan dalam proses acara pemeriksaan yang sebaiknya putusan sela
merupakan langkah yang tepat, namun kalau kita perhatikan tidak mungkin dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara itu hanya dibebankan kepada lembaga
peradilan semata, karena tidak mungkin Hakim berdasarkan perintah dari ketua
Pengadilan yang awalnya memeriksa perkara ini dengan acara pemeriksaan biasa
berubah menjadi acara pemeriksaan cepat sungguh sangat mencoreng sistem
peradilan pidana di Indonesia.
Kemudian menyangkut dengan putusan dalam pertimbangannya Hakim
menyadari bahwa PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang pada pledoi dan juga
bahwa pemeriksaan dalam perkara ini haruslah menggunakan acara pemeriksaan
cepat yang diatur dalam pasal 205-210 KUHAP.
Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing
alat bukti dalam rangkain penilaian terbuktinya suatu dakawaan.Penilaian tersebut
merupakan otoritas hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian
alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga
terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan
perkara yang sedang disidangkan.Jika bukti tersebut relevan, kekuatan
pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau
tidak.3
Yang menarik adalah mungkin menjadi hal pembenaran atau bahkan
pembelaan dari Majelis Hakim buat lembaga pengadilan yang dalam
peritimbangannya menyatakan kebenaran PERMA Nomor 2 Tahun 2012 ayat 1
yang menyebutkan pasal-pasal yang harus dilihat nilai kerugian/barang yang
menjadi objek perkara dimana Ketua Pengadilan wajib memperhatikannya.
Namun dalam pasal 2 ayat 1 hal itu haruslah terlebih dahulu diperhatikan oleh
Penuntut Umum (Kejaksaan) karena suatu perkara itu adalah hasil dari
pelimpahan dari Penuntut Umum. Jadi dalam hal ini Majelis Hakim semata-mata
menolak letak kesalahan dalam menetapkan proses acara pemeriksaan sepenuhnya
diemban oleh Pengadilan dalam hal ini adalah tugas dari Ketua Pengadilan.
Penulis dapat memaklumi hal tersebut mengingat tugas-tugas dari para Hakim
yang begitu banyak dan melihat tahapan-tahapan pelimpahan suatu perkara itu
sendiri diamana seharusnya mulai dari Kepolisian dan Kejaksaan haruslah bekerja
sama guna menyaring pidana sehingga memudahkan Hakim untuk memutuskan
suatu perkara pidana maupun perkara lainnya.
Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial.Terkadang
dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku diam dalam
pengertian tidak mau memberikan keterangan sehingga membuat pembuktian
menjadi hal yang penting.Pembuktian memberikan landasan dan argument yang
kuat kepada Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan.Pembuktian dipandang
sebagai suatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada
hakim untuk mengambil kesimpulan suatu kasus yang sedang
disidangkan.Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah sesnsial karena
yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil.4
Banyaknya perkara-perkara tersebut yang masuk ke Pengadilan juga telah
membebani Pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik
terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses
jalannya perkara pidana samapi bisa masuk ke Pengadilan, pihak-pihak mana saja
yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan, dan mayarakat pun umumnya
hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara
tersebut disidangkan di Pengadilan. Dan oleh karena sudah sampai tahap
persidangan di Pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke
Pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat.Hal ini sungguh harus menjadi perhatian bagi pemerintah guna
menciptakan Efisiensi dan pemerataan fungsi dari setiap lembaga penegakan
hukum.
Peranan Hakim tidak kalah dibanding dengan Jaksa Penuntut Umum,
bahkan dapat dikatakan bahwa peranan Hakim justru lebih penting dan sangat
berat sebab Hakimlah yang senantiasa mengatur tahapan-tahapan yang harus
dilalui dalam proses persidangan, termasuk didalamnya mangatur kelancaran dan
ketertiban sidang. Dengan kata lain keseluruhan dari tahapan proses adalah di
bawah tanggungjawab dan kepemimpinan Hakim, termasuk diantaranya
melahirkan apa yang disebut dengan putusan yang kemudian kita sebut sebagai
out put Pengadilan.5 Dari semua pertimbangan Hakim tersebut maka Majelis
Hakim memutuskan perkara tersebut dengan mempidana Terdakwa dengan 2
bulan kurungan yang mana dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memohon
kepada Hakim untuk mempidana 4 bulan kurungan. Akan tetapi Penulis dalam hal
ini kurang sepakat dengan isi putusan dalam perkara ini, walaupun pada pasal 6
dalam Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian
4 Ibid, h, 96.
Batasan Tindak Pidana Ringang Dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat,
Serta Penerapan Keadilan Restoratif disebutkan tentang pemidanaan “bagi pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi pidana penjara atau denda” dan “ pidana denda
yang dimaksud dapat diganti dengan pidana kurungan”6 dengan kata lain
walaupun dengan adanya nota kesepakatan ini yang masih memberikan pilihan
kepada para hakim untuk memutus suatu perkara dalam tindak pidana ringan.
Akan tetapi seharusnya Hakim harus mengingat bahwa dalam hukuman/pidana
pokok yang tertulis dalam KUHP pasal 10, selain hukuman kurungan masih ada
lagi hukuman-hukuman yang mungkin sangat layak dan pantas diterima
Terdakwa yaitu hukuman denda dan dengan berdasarkan pasal 41 KUHP yang
sangat bisa menambah keyakinan Hakim untuk memutus perkara ini dengan
hukuman denda berdasarkan fakta persidangan bahwa barang bukti yang menjadi
objek perkara ini adalah palang yang awalnya didalam dakwaan Jaksa
menyatakan bahwa palang tersebut telah rusak dalam arti (tidak bisa dipergunakan
lagi) namun kenyataannya setelah memasuki proses pembuktian di persidangan
palang tersebut hanya bengkok dan masih dapat diperbaiki lagi, dan setelah itu
barang tersebut dikembalikan lagi kepada PTPN III Huta Padang. Sehingga dari
kenyataan di persidangan tersebut nyatalah bahwa kerugian yang diakibatkan
karena perbuatan terdakwa tidak sebegitu besar dan fatal sehingga lebih tepat
apabila terdakwa dari awal sudah harus diperiksa dengan proses acara
pemeriksaan cepat mulai Kepolisian (penyidik), Kejaksaan (penuntut) sudah harus
terlebih dahulu menyadari akan hal itu berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun
2012. Apabila Majelis Hakim memutuskan perkara ini dengan hukuman denda
mungkin akan lebih baik bila dihubungkan dengan pertimbangan Hakim itu
sendiri dan mengingat tujuan dari PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yaitu untuk
mengefektifkan pidana denda .
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Gambaran umum tindak pidana ringan yang telah diatur Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 atau disebut dengan Peraturan Hukum Pidana. Serta
terkodifikasi menjadi Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana diberlakukan bagi seluruh Warga Negara
Indonesia sebagai aturan hukum positif. Tindak pidana ringan diatur
didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 205 Ayat 1 KUHP
dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana
ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.
2. Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) yang
dilakukan proses hukumnya pada Pengadilan Negeri Kisaran Atas Nama
Dani Hendrawan Panjaitan dalam kasus perusakan barang. Dani
Hendrawan Panjaitan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana perusakan berdasarkan amar putusan hakim. Dani Hendrawan
Panjaitan divonis hukum 3 bulan penjara dan tidak perlu ditahan. Serta
hakim dalam memberikan pertimbangannya tidak memakai alternative
PERMA No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana
Ringan terhadap Dani Hendrawan Panjaitan sebagai ganti kerugian atas
perusakan barang yang dilakukan oleh Dani Hendrawan Panjaitan. Hakim
berpatokan kepada pasal 406 KUHP Perusakan barang. Sehingga dalam
halini pihak Pengadu merasa keberatan dengan putusan hakim kepada
Dani Hendrawan Panjaitan yang tidak memberikan keadilan bagi pihak
pengadu. Sehingga pihak pengadu mengajukan Banding serta kasasi
namun tetap memakai dan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri
Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS.
3.2 Saran
1. Bahwa gambaran umum ketentuan Tindak Pidana Ringan yang diatur
dalam KUHP hingga saat ini tidaklah sesuai lagi dengan Hukum Positif di
Indonesia. Perlu adanya pengaturan lebih jelas lagi tentang Tindak Pidana
Pidana Ringan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai tindak
lanjut untuk mengatasi Proses Peradilan cepat dalam lingkungan peradilan
umum tidaklah dijalankan sebagai mana mestinya. Perlu adanya
Undang-Undang Khusus yang dibuat oleh Pemerintah untuk mengatur tentang
Tindak Pidana Ringan.
2. Bahwa Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS belum
memberikan rasa keadilan bagi Pihak yang dirugikan dengan memberikan
keuntungan kepada pihak lain. Hal ini tidak sesuai dengan rasa keadilan
yang terjadi pada Kasus Perusakan barangyang di Putus di Pengadilan
Negeri Kisaran. Hakim sebagai memutus suatu perkara harus dapat
memandang, mengingat dan menimbang secara matang dan adil dalam
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Karjadi M & Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar Serta Peraturan Pemerintah R.I No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaannya, (Bogor: POLITEIA) 1M.Karjadi & R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Bogor, Politea, 1997, Pasal. 205.
Soekanto Soerjono & Purbacaraka Purnadi, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Tata Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)
2Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta : Rajawali Press, 1995), hlm. 13.
3Ibid, h, 25.
4Ibid , h, 96.
5Rusli Muhammad. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2011, h, 57.
6Nota Kesepatakan bersama, Tentang Pelaksanaan Penerapan
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumblah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif,
Pasal 6 Ayat 1 dan 2.
B. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.16 Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
RUU KUHP 2010 (Revisi Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7.
Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan L. N. No. 82 Tahun 2011.