• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAM DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAM DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

66

HAM DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Syamsudin

Abstrak

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang wajib dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di dunia tanpa terkecuali. Agama Islam sangat menjunjung tinggi dan menghargai HAM. Dalam Islam, kewajiban yang diperintahkan kepada manusia dibagi ke

dalam dua kategori, yaitu huquuqullah dan huquuqul „ibad. Huquuqullah (hak-hak) Allah adalah kewajiban manusia kepada Allah yang diwujudkan dalam bentuk ritual ibadah.

Sedangkan huquuqul „ibad (hak manusia) merupakan kewajiban manusia terhadap sesamanya

dan terhadap makhluk Allah lainnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah agar Semua warga negara harus menyadari bahwa hak tidak bisa dipisahkan dari kewajiban. Semua warga negara mempunyai kebebasan memenuhi hak pribadi, namun harus diimbangi dengan kewajiban menjaga hak-hak orang lain. Dari sini akan timbul sikap toleransi sesama warga negara, sehingga akan tercipta suasana harmonis dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lembaga Pendidikan harus merespon persoalan HAM, sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya dapat menjadi tempat khusus bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang. Peserta didik harus diberi kebebasan untuk berpendapat, kebebasan untuk berekspresi, dll. Sehingga peserta didik bisa berkembang secara optimal, dan dari sini akan lahir generasi bangsa yang cerdas, yang bisa menjunjung tinggi nili-nilai hak asasi manusia.

Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Pendidikan Islam

PENDAHULUAN

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.

(2)

67

cantumkan dalam Deklarasi Univesal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang di proklamasikan PBB pada Tahun 1948, setiap orang tanpa terkecuali berhak atas HAM dan kebesarannya.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang wajib dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di dunia tanpa terkecuali. Agama Islam sangat menjunjung tinggi dan menghargai HAM. Dalam Islam, kewajiban yang diperintahkan kepada manusia dibagi ke

dalam dua kategori, yaitu huquuqullah dan huquuqul „ibad. Huquuqullah (hak-hak) Allah adalah kewajiban manusia kepada Allah yang diwujudkan dalam bentuk ritual ibadah.

Sedangkan huquuqul „ibad (hak manusia) merupakan kewajiban manusia terhadap sesamanya

dan terhadap makhluk Allah lainnya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau

hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan1. Hak-Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang Mahakuasa.2 Hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia, dan tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia hakiki dan bermartabat.

Prinsip-prinsip umum tentang hak-hak asasi manusia yang dicanangkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dianggap sebagai pedoman standar bagi pelaksanaan penegakan HAM bagi bangsa-bangsa, terutama yang bergabung dalam badan tertinggi dunia itu hingga saat ini. Prinsip-prinsip umum tersebut dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights, UDHR (Pernyataan Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia).

Selanjutnya, hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang dibawa sejak seseorang lahir ke dunia itu sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Pencipta (hak yang bersifat kodrati). Karena tidak ada satu kekuasaanpun di dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian, menurut Baharuddin Loppa,3 bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikatagorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung jawabkan

1

Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.474.

2

Syawal Gultom, Pengantar, dalam Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM MenguraiHak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. v.

3

(3)

68

perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu HAM atas dasar yang paling fundamental, yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari kedua dasar ini pula lahir HAM yang lainnya.

Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi hak asasi manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslimlah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia.4 Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya

akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.

HAK ASASI MANUSIA

HAM merupakan isu global yang penegakannya telah menjadi komitmen dunia internasional. Namun demikian kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala yang relatif baru.5 Indonesia sebagai bagian dari tatanan dunia internasional telah meratifikasi sebagian besar kovenen-kovenen HAM. Konskuensinya dari hal tersebut di atas adalah adanya keharusan untuk menegakkan dan mematuhi hal-hal yang berhubungan dengan HAM, pembukaan UDHR mengamanatkan bahwa nilai-nilai HAM harus disosialkan melalui pendidikan dan pengajaran yang sistematis dan terprogram, sebab pemahaman dan pengetahuan tentang HAM merupakan suatu hal yang bersifat individual dan butuh adanya pemahaman. Oleh karena itu, agar HAM menjadi suatu nilai yang dapat dipahami oleh setiap orang diperlukan adanya proses internalisasi yang sistematis dan terprogram melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Latar Belakang Pemikiran Tentang HAM

Hak asasi manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945.6 Wacana HAM terus berkembang

4

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 121. 5

cott Davidson, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008) , hlm.

6Slamet Marta Wardaya, “Hakekat Konsep dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM)”, dalam

(4)

69

seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya.30 Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian, menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda Karena itu, manusia, menurut pandangan Islam, adalah umat yang satu.

Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia. Manusia adalah bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Diceritakan, ketika umar bin khatab mendengar

bahwa gubernurnya di Mesir, Amru bin „Ash, bersikap kasar terhadap penduduk Mesir ia berkata: “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibu-ibu mereka bebas?”7.

Sejalan dengan ajaran kebebasan manusia dalam Islam, al-Qur‟an menyebutkan:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan

yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada

Thaghut8 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada

buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi

Maha mengetahui (Q.S. al-Baqarah/2: 256).9

Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa ada paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu; mengapa ada paksaaan, padahal sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja (Q.S. al-Maidah/5: 48). Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, katakan saja akidah Islam, maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunan-Nya, dia berkewajiban melaksanakan perintah-perintah-Nya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapan-Nya. Dia tidak boleh

berkata, “Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah.”

Karena bila dia telah menerima akidahnya, maka dia harus melaksanakan runtutannya.10

7

Harun Nasution dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1955), hlm. X.

8

Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t. 9

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: C.V. Asy- Syifa‟), hlm. 90. 10

(5)

70

Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya

Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama Islam

yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau

memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para

Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.11

Kebebasan manusia dalam Islam tidak bersifat mutlak (absolut), maka dengan sendirinya hak-hak asasi manusia bukanlah hak yang bersifat absolut. Hak yang bersifat absolut itu, menurut Islam, hanya milik Allah. Allah adalah pemililk yang sesungguhnya terhadap alam semesta termasuk manusia itu sendiri. Karena itu selain kepada Tuhan penciptanya maupun kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Berdasarkan ini pula manusia tidak boleh semena-mena dalam menggunakan haknya. Manusia punya kewajiban mematuhi perintah dan larangan-Nya. Kesemuanya itu adalah dalam rengka kemaslahatan manusia dan kebaikan semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Hak-hak asasi manusia (HAM) yang dikumandangkan oleh negara-negara maju (Barat) pada saat ini, umumnya, mengacu pada Deklarasi Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Right, UDHR). Deklarasi ini pada prinsipnya diterima oleh hampir seluruh anggota PBB, termasuk didalamnya Indonesia.12 Namun bukan berarti bahwa sifat dasar, defiinisi serta skop hak-hak asasi yang demaksud telah tuntas desepakati. Masih banyak permasalahan mendasar yang perlu ditinjau. Di antara pertanyaan yang mungkin perlu diajukan di dalamnya ialah: Apakah hak-hak asasi itu diperoleh seseorang individu dari negara atau anugerah dari Tuhan?

Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

11

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451.

12

(6)

71

Secara harfiyah, kata hak berarti kewenangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Adapun kata asasi berasal dari kata asas yang berarti dasar, alas, dan fondasi, yaitu “sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat”. Kemudian kata itu

mendapat im-buhan akhiran “i” lalu menjadi asasi. Kata asasi bermakna sesuatu yang bersifat dasar atau pokok.13

Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang dimiliki oleh seseorang yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pilihan hidupnya. Hak-Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari pada hakekatnya dan karena itu bersifat suci.

Menurut teaching human rights yang diterbitkan oleh perserikatan bangsa-bangsa

(PBB), hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.14 Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.

Prinsip-prinsip umum tentang hak-hak asasi manusia yang dicanangkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dianggap sebagai pedoman standar bagi pelaksanaan penegakan HAM bagi bangsa-bangsa, terutama yang bergabung dalam badan tertinggi dunia itu hingga saat ini. Prinsip-prinsip umum tersebut dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights, UDHR (Pernyataan Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia).

Deklarasi tersebut bukanlah sebuah dokumen yang secara sah mengikat, dan beberapa ketentuan yang menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada dan diterima secara umum. Walaupun demikian beberapa ketentuannya mengatur prinsip-prinsip umum hukum atau menggambarkan pandangan pokok tentang perikemanusiaan. Dan lebih penting lagi statusnya sebagai suatu pedoman yang dapat dipercaya, yang dihasilkan Majelis Umum, tentang interpretasi terhadap Piagam Persirikatan Bangsa-Bangsa. Dalam kapasitas ini, deklarasi

13

Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.474.

14

(7)

72

tersebut secara tidak langsung benar-benar sah, dan dianggap oleh Majelis Umum dan beberapa kali hukum bagian dari undang-undang Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dengan demikian deklarasi tersebut merupakan suatu standar pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan semua negara dengan tujuan bahwa setiap orang dan badan dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini.

Selanjutnya, hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang dibawa sejak seseorang lahir ke dunia itu sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Pencipta (hak yang bersifat kodrati). Karena tidak ada satu kekuasaanpun di dunia dapat mencabutnya.

Meskipun demikian, menurut Baharuddin Loppa,15 bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikatagorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung jawabkan perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Kerena itu HAM atas dasar yang paling fundamental, yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari kedua dasar ini pula lahir HAM yang lainnya.

Sejarah Lahirnya HAM

Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah hak-hak asasi manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak asasi itu oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara (state). Pada hakikatnya persoalan menganai hak-hak asasi itu berkisar pada hubungan antara manusia sebagia individu dan masyarakat.

Sebab manakala sesuatu negara semakin kuat dan meluas, secara terpaksa ia akan mengitervensi lingkungan hak-hak pribadi yang mengakibatkan hak-hak pribadi itu semakin berkurang. Maka pada saat yang sama terjadilah persengketaan antara individu (rakyat) selalu berada pada posisi yang terkalahkan. Pada saat itu pula perlindungan terhadap hak-hak individu yang bersifat asasi itu sangat dibutuhkan.

15

(8)

73

Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang mengenai sejarah lahirnya HAM, umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa cikal bakal HAM itu sebenarnya telah ada sejak lahirnya Magna Charta16 1215 di kerajaan Inggris. Di dalam Magna Charta itu disebutkan antara lain bahwa raja yang memiliki kekuasaan absolut dapat dibatasi kekuasaannya dan diminati pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sini lahir doktrin “raja tidak kebal

hukum” dan harus bertanggung jawab kepada rakyat. Walaupun kekuasaan membuat undang -undang pada masa itu lebih banyak berada di tangannya.17

Secara politis, lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusiaonal. Keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada Pasal 21 Magna

Charta yang menyatakan bahwa ”para Pangeran dan Baron dihukum atau didenda

berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yan dilakukannya”.18

Pada 1689 lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Bill Of Rights) di Inggris. Pada masa itu pula muncul istilah equality before the law atau manusia adalah sama di muka hukum. Pandangan ini mendorong timbulnya wacana negara hukum dan demokrasi. Menurut Bill Of Rights, asas persamaan harus diwujudkan betapapun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud.19

Pada 1789 lahir Deklarasi Prancis (The French Declaration). Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang.20

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia (the four freedom) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang

16

Menurut Prof. Miriam Budiardjo, seperti dikutip Abdul ghofur, Magna Charta merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seseorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan priveleges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Lihat Abdul Ghofur, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islamdi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 46

17

Baharuddin Loppa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Azazi Manusia, hlm. 2.

18

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan MasyarakatMadani, hlm. 253

19

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan MasyarakatMadani, hlm. 253

20

(9)

74

diproklamirkan oleh presiden Roosevelt. Menurut Prof. Miriam Budiardjo, seperti dikutip oleh Abdul Ghofur, empat kebebasan itu yaitu:21

1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech). 2. Kebebasan beragama (freedom of religion)

3. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear) 4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want)

PENDIDIKAN ISLAM

Sebagaimana diketahui manusia adalah sebagai khalifah Allah di alam. Sebagai khalifah, manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri, dan manusia pun mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan merupakan tanggung jawab manusia sendiri.22

Pendidikan merupakan term terpenting dan menentukan dalam perubahan masyarakat. Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam posisi vital. Bukan sebuah kebetulan jika dalam lima ayat pertama dimulai dengan perintah membaca. Tak heran jika dalam syiar yang dikembangkan Nabi Muhammad dilakukan dengan pendekatan pendidikan.23

Gagasan utama pendidikan, termasuk Pendidikan Islam, terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi. Namun fokusnya bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid tetapi juga akhlak sosial dan kemanusiaan. Kualitas akhlak pun tak bisa dicapai hanya dengan doktrin halal-haram, tapi usaha budaya dari rumah, masyarakat dan ruang kelas.24

a. Pengertian Pendidikan Islam Secara Etimologi

Di dalam al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam dapat ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu rabba,

allama dan addaba.

21

Abdul Ghofur, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, hlm. 33

22

Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 125. 23

Husni Rahim, Arah Baru PendidikanIslam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 4 – 5.

24

(10)

75 Misalnya:

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan

ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua

telah mendidik aku waktu kecil (Q.S. al-Isra’/17: 24).25

Ayat ini memerintahkan anak bahwa dan merendahlah dirimu terhadap mereka berdua didorong oleh karena rahmat kasih sayang kepada keduanya, bukan karena takut atau malu dicela bila tidak menghormatinya, dan ucapkanlah, yakni berdoalah secara tulus.26

Ayat diatas tidak membedakan antara ibu dan bapak, memang pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu demikian.

Bahkan imam Syafi‟i pada dasarnya mempersamakan keduanya, jadi bila ada salah satu yang hendak di dahulukan sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, penerapannya pun harus setelah memerhatikan faktor-faktor dimaksud.27

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-Alaq/96: 5).28

Pada ayat ke 4 kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat ke 5, dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu

dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat di atas dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya.” Sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam susunan pertama. Yang dimaksud dengan ungkapan “telah diketahui sebelumnya” adalah khazanah

pengetahuan dalam bentuk tulisan.29

25

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: C.V. Asy- Syifa‟), hlm. 608. 26

M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.66.

27

M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.67.

28

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 1403.

29

(11)

76

Dari uraian di atas dapat menyatakan bahwa kedua ayat tersebut menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt, dalam mengajar manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia, dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat.

Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah “Ilm Ladunny”30

Didikalah anak-anakmu atas tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai ahli keluarganya, dan membaca al-Qur‟an. (H.R. ad-Dailamy).31

Dalam bahasa Arab, kata-kata rabba,allama, dan addaba menurut Achmadi, 32

mengandung pengertian sebagai berikut:

a. Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti, antara lain mengasuh, mendidik dan memelihara. Di samping kata rabba ada kata-kata yang

serumpun dengannya yaitu rabba, yang berarti memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah. Rabbajuga berarti tumbuh atau berkembang.

b. Kata kerja „allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.

c. Kata kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban. Menurut Naquib al-Attas, seperti dikutip M. Ridlwan Nasir, 33at-ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur ditanamkankepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan

wujud dan keberadaannya.

Ketiga istilah tersebut (tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib) merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Artinya bila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib ia harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu dapat dipahami, dihayati, dan selanjutnya diamalkan oleh peserta didik perlu bimbingan (tarbiyah).

30

M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,hlm.402

31

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 25.

32

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, hlm. 25-26.

33

(12)

77

Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term: tarbiyah,

ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.34

b. Pengertian Pendidikan Islam Secara Terminologi

Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi, maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang ini.

Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.35

Menurut Prof. Achmadi pengertian pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.36

Ramayulis dalam bukunya ilmu Pendidikan Islam mengemukakan bahwa Pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.37 Sedangkan hakikat Pendidikan Islam menurut M. Arifin adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.38

34

Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keIslaman populer dengan Istilah Tarbiyah, karena mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan, sebab di dalamnya tercakup upaya mempersiapkan individu secara sempurna. Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 10.

35

Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1989), hlm. 23. 36

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, hlm.29. 37

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. .4. 38

(13)

78

Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu:39 pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.

Dari beberapa definisi Pendidikan Islam yang dikemukakan di atas, tampak sekali

umumnya penekanan utama diberikan kepada pentingnya pembentukan akhlak, disamping adanya penekanan persoalan fitrah dan upaya manusia dalam mencapai hidup makmur dan bahagia sesuai dengan ajaran dan norma Islam.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, realita membuktikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog.

2. Dasar Pendidikan Islam

Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits. Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, rumusan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik tidak bersifat baku dan mutlak, tetapi bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan kemampuan pikir dan daya nalar manusia mengkaji wahyu Allah.

Menurut Sa‟id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung, dasar

Pendidikan Islam terdiri dari al-Qur‟an, al-Sunnah, Madzhab Shahabi (kata-kata sahabat),

Kemaslahatan ummat/sosial, „Urf (tradisi atau adat kebiasaan masyarakat), dan Ijtihad (hasil

39

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi,

(14)

79

pemikiran para ahli dalam Islam). Keenam sumber tersebut didudukkan secara berurutan diawali dari sumber pertama yaitu al-Qur‟an.40

Sumber Pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal Pendidikan Islam.41 Dasar Pendidikan Islam harus bersifat mutlak, baku dan final, karena dari dasar inilah berbagai konsep, rumusan dan produk pemikiran Pendidikan Islam dihasilkan. Apabila dasar sebagai rujukan utamanya tidak kuat atau dapat berubah-ubah, bisa dipastikan proses perjalanan pendidikan bukan saja kehilangan arah, namun justru tidak memiliki arah.42

Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka Pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam

konteks ini, dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW.43

Menetapkan al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW sebagai dasar Pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam keduanya dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.

Islam sebagai pandangan hidup yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah, baik yang termuat dalam al-Qur‟an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimana saja.

40

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Lain halnya dengan Hasan Langgulung sendiri yang menyatakan bahwa Dasar Pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal sumber Pendidikan Islam. Sehingga dasar operasional Pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis dan filosofis, yang mana keenam dasar tersebut berpusat pada dasar filosofis. keenam dasar tersebut agaknya sekuler, dan perlu ditambahkan satu dasar lagi yaitu agama, karena dalam Islam dasar operasional segala sesuatu adalah agama.

6941

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 31 7042

Ahmad Syari‟, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 22 7143

(15)

80

Pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun praktik pendidikan. Berdasarkan nilai-nilai yang demikian itu konsep pendidikan Islam dapat dibedakan dengan konsep pendidikan selain Islam.

Karena pendidikan Islam berlandasan humanisme maka menurut Achmadi,44 nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan Islam, walaupun posisinya dalam konteks tauhid sebagai nilai instrumental. Nilai-nilai tersebut adalah kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi seluruh alam.

3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam

Pada hakikatnya, Pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.45

Secara umum, tugas Pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.

Menurut Hujair AH. Sanaky, tugas dan fungsi Pendidikan Islam adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin, sehingga dapat berkembang menjadi manusia muslim yang baik atau insan kamil.46

Fungsi Pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas Pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional.

7244

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, hlm.87. 7345

Al Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 32.

46

(16)

81

Menurut Kursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis dalam bukunya Metodologi Pengajaran Agama Islam, Fungsi Pendidikan Islam adalah:

a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan bangsa.

b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.47

Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan melihat realitas keanekaragaman ras

dan agama di Indonesia, maka pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut:

Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.

Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan.

Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab.48

Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi pendidikan Islam diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap

47

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 69 . 48

Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, hlm.

(17)

82

toleransi. Ini artinya, pendidikan Islam pada prinsipnya, juga ikut andil dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa.

4. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam di samping sebagai standar dalam mengukur dan mengevaluasi tingkat pencapaian/hasil pelaksanaan pendidikan Islam, juga sebagai pedoman dan arah proses pendidikan Islam itu sendiri. Ada sejumlah pendapat mengenai fungsi, makna dan kriteria tujuan pendidkan Islam, antara lain menurut Abudin Nata, seperti dikutip Ahmad

Syar‟i, berpendapat sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Sulit dibayangkan juka ada suatu kegiatan tanpa

memiliki kejelasan tujuan. Menurutnya, perumusan dan penetapan tujuan pendidikan Islam harus memenuhi kriteria berikut:49

a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai kehendak Tuhan,

b. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahan di muka bumi dilakukan dalam rangka pengabdian/ beribadah kepada Allah,

c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya,

d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani guna pemilikan pengetahuan, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya, serta

e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dalam buku-buku mengenai Pendidikan Islam, tujuan Pendidikan Islam selalu dihubungkan dengan konsep mengenai kepribadian muslim atau insan kamil, atau takwa dan term yang sepadan dengannya. Ahmad Tafsir, dalambukunya Filsafat Pendidikan Islam, juga menyinggung masalah tujuan pendidikan islam yaitu mengenai karakteristik lulusan, menurutnya lulusan yang diharapkan ialah lulusan yang merupakan manusia terbaik. Cirinya cukup dua saja yaitu mampu hidup tenang dan produktif dalam kehidupan bersama.50 Zakiyah Daradjat menyatakan bahwa Pendidikan Islam ialah perubahan sikap dan tingkah

49Ahmad Syari‟, Filsafat Pendidikan Islam

, hlm.25.

50

(18)

83

laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Tujuannya adalah kepribadian yang mengantarkan seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil.51

Pendidikan Islam sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. dimulai dari mengubah sikap dan pola pikir masyarakat, menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat belajar. Berkembang menjadi masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang mau dan mampu menghargai nilai-nilai ilmiah, yang dapat bertanggung jawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.52

Apakah sistem Pendidikan Islam itu sukses atau gagal dalam mewujudkan misinya, Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang harus menciptakan kriteria riil untuk menilai sukses atau tidaknya sistem Pendidikan Islam adalah tumbuhnya pemikiran Islam yang asli, orisinal

dan mencukupi.53

Dengan demikian, menurut Syamsul Ma‟arif,54

Tujuan Pendidikan Islam seharusnya diprioritaskan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam beragama, Untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam tersebut, lembaga pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan.

Pendidikan Islam, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.

Muhaimin, dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam,55 berpendapat bahwa secara umum tujuan pendidikan islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,

51

Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 301.

52

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.12

53

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 229

54Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme

, hlm.125

55

(19)

84

penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi , bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Semua definisi tentang tujuan pendidikan islam secara praktis bisa dikembangkan dan diaplikasikan dalam sebuah lembaga yang mampu mengintegrasikan, menyeimbangkan, dan mengembangkan kesemuanya dalam sebuah institusi pendidikan.56 Indikator-indikator yang dibuat hanyalah untuk mempermudah capaian tujuan pendidikan, dan bukan untuk membelah dan memisahkan antara tujuan yang satu dengan tujuan yang lainnya.

PENUTUP

Berdasarkan uraian tentang pemikiran hak asasi manusia pada bab-bab sebelumnya, penulis menyampaikan beberapa pesan atau saran-saran sebagai berikut:

1. Semua warga negara harus menyadari bahwa hak tidak bisa dipisahkan dari kewajiban. Semua warga negara mempunyai kebebasan memenuhi hak pribadi, namun harus diimbangi dengan kewajiban menjaga hak-hak orang lain. Dari sini akan timbul sikap toleransi sesama warga negara, sehingga akan tercipta suasana harmonis dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Lembaga Pendidikan harus merespon persoalan HAM, sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya dapat menjadi tempat khusus bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang. Peserta didik harus diberi kebebasan untuk berpendapat, kebebasan untuk berekspresi, dll. Sehingga peserta didik bisa berkembang secara optimal, dan dari sini akan lahir generasi bangsa yang cerdas, yang bisa menjunjung tinggi nili-nilai hak asasi manusia.

3. Pemerintah dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak warga negara. Negara tidak boleh membiarkan seseorang atau kelompok melakukan kejahatan HAM, dan wajib menegakkan hukum secara adil dan bijaksana.

56

(20)

85

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar, dkk, Islam Liberalisme & Fundamental SebuahPertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005)

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

Ahmad, Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010)

Bakhtiar, A. Nur Alam, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008)

Gultom, Syawal, Pengantar, dalam Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak

Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2009)

Ma‟arif, Syamsul,Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005)

Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006)

Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)

Nasir, M. Ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: PondokPesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005)

Nasution, Harun dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1955)

Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integritas di Sekolah Keluarga Dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009)

Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009)

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1

Referensi

Dokumen terkait

4.20 Perbandingan pencapaian pelajar kumpulan rawatan bagi mata pelajaran Sains, Matematik dan Bahasa Inggeris. berdasarkan gaya kognitif

Selain tidak dapat di pisahkan dalam mencegah tindakan kecurangan, pengendalian internal dan audit internal juga memberikan kontribusi yang besar terhadap perbaikan

Aspek syariah berarti dalam setiap realisasi pembiayaan kepada nasabah, bank syariah harus tetap berpedoman pada syariat Islam.Bank dalam melakukan pendekatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara jenis kemasan dan lama penyimpanan yang berbeda terhadap tekstur, warna, aroma dan kerapatan wafer

Untuk data yang lebih jelas dan lengkap dapat dilihat dalam lampiran data curah hujan harian pada lembar lampiran... Curah hujan tertinggi tercatat pada stasiun hujan

Dalam segala hal, suatu hasil atau peristiwa dapat dinyatakan dengan nilai atau nilai-nilai suatu fungsi; fungsi yang demikian adalah variabel acak (random variabel),

Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat di Desa Balunijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka berupa sosialisasi kepada pemilik warung makanan dan minuman di Desa