1. Spiritualitas
1.1. Defenisi Spiritualitas
Miller (1995 dalam Young, Caroline dan Cyndie Koopsen, 2007)
menyatakan bahwa spiritualitas merupakan daya semangat, prinsip hidup, atau
hakikat eksistensi manusia, yang meresapi hidup dan diungkapkan serta
dialami dalam tali temali hubungan antara diri sendiri, sesama, alam, dan Allah
atau sumber hidup karena dibentuk melalui pengalaman kultural, spiritualitas
merupakan pengalaman manusia yang universal.
Farren et al (1989 dalam Potter & Perry, 2005) mengungkapkan
defenisi fungsional spiritualitas adalah “komitmen tertinggi individu” yang
merupakan prinsip yang paling komprehensif dari perintah, atau nilai final
yaitu arguman yang sangat kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat
dalam hidup kita.
Spiritualitas merupakan sesuatu yang dipercayai oleh seseorang dalam
hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan
suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf
atas segala kesalahan yang pernah diperbuat (Asmadi, 2008).
Kebutuhan spiritualitas merupakan kebutuhan untuk memaafkan,
mengasihi, kepercayaan berhubungan dengan Tuhan (didefinisikan secara
berpengharapan, dan kepercayaan diri dan kepada orang lain (Carson, 1989
dalam Kozier, Erb, Blais &Wilkinson, 1995).
Stoll (1989 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritualitas
sebagai konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang
menuntun kehidupan seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan
terdapat hubungan yang terus-menerus antara kedua dimensi tersebut.
1.2. Karakteristik Spiritualitas
Karakteristik spiritualitas mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.2.1. Hubungan dengan Tuhan.
Spiritualitas mengenai hubungan dengan Tuhan dapat diungkapkan
secara agamais maupun non-agamais melalui kegiatan sembahyang/
berdoa/ meditasi, partisipasi perlengkapan keagamaan atau juga
artikel-artikel keagamaan, dan melalui kegiatan bersatu dengan alam
(Hamid,2009).
Kegiatan berdoa merupakan suatu kebutuhan rohaniah yang
diperlukan manusia dalam menjalani kehidupan yang dapat menentramkan
jiwa manusia, terlebih lagi pada saat terjadi kesusahan, bencana atau
malapetaka. Individu yang menjadi aktifitas berdoa sebagai bagian dalam
positif sehingga dapat menjalani kehidupan yang lebih baik (Shohib,
2013).
1.2.2. Hubungan dengan orang lain
Spiritualitas mencakup hubungan dengan orang lain dapat
dikatakan harmonis dan tidak harmonis. Hubungan dengan orang lain
harmonis atau mendukung jika memiliki waktu untuk berbagi pengetahuan
dan memiliki hubungan secara timbal balik atau dapat berbagi sumber,
dapat mengasuh anak, orang tua, orang sakit, serta dapat memberikan
penguatan tentang kehidupan dan kematian melalui kegiatan saling
mengunjungi, berbagi foto dan kegiatan melayat.
Hubungan dengan orang lain tidak harmonis ditunjukkan dengan
adanya konflik dengan orang lain. Ketidakharmonisan ini timbul karena
adanya pergesekan atau perselisihan dan keterbatasan waktu bertemu
(Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
1.2.3. Hubungan dengan diri sendiri
Spiritualitas dapat diungkapkan melalui hubungan dengan diri
sendiri yaitu dengan mengetahui kekuatan dalam diri sendiri berhubungan
dengan pengetahuan diri, meliputi: siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya, dan sikap yang mencakup percaya pada diri sendiri,
percaya pada kehidupan,/ masa depan, mempunyai ketenangan pikiran,
dan harmoni/keselarasan dengan diri sendiri (Hamid, 2008). Kebutuhan
kepercayaan, harapan, dan makna dalam kehidupan (Kozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 1995).
Fowler (1974 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995),
Kepercayaan (faith) mendeskripsikan bahwa kepercayaan dapat dimiliki
oleh orang yang religius dan tidak religius. Kepercayaan memberikan
makna kehidupan pada seseorang dan memberikan kekuatan pada
seseorang ketika menghadapi masa yang sulit.
Harapan (hope) didefinisikan sebagai keyakinan pasti bahwa hasrat
atau keinginan akan tercapai. Harapan merupakan keyakinan bahwa semua
hal akan lebih baik terutama bagi individu yang sedang mengalami
penyakit parah dan sedang dalam kondisi yang sangat sulit dalam
kehidupannya (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Stotland (1969,
dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995), juga mengatakan bahwa
tanpa harapan, individu sering merasa putus asa, tanpa gairah, dan merasa
hampir mati.
Makna kehidupan dapat menjadikan seseorang individu merasa
berharga dan berarti serta memiliki perasaan dekat dengan Tuhan, orang
lain, dan alam sekitar, dimana individu merasa hidupnya terarah, memiliki
masa depan, dan menerima kasih sayang dari orang lain disekitarnya
1.2.4. Hubungan dengan alam
Spiritualitas yang mencakup keharmonisan hubungan dengan alam
dapat dicapai dengan sikap menghargai alam yaitu memiliki pengetahuan
tentang pohon, margasatwa, dan iklim serta dapat berinteraksi dengan
alam atau lingkungan melalui kegiatan bertanam, berjalan-jalan di
lingkungan luar dan mempunyai sikap melindungi alam (Kozier, Erb,
Blais & Wilkinson, 1995).
1.3. Dimensi Spiritualitas
Dimensi spiritual berusaha untuk seimbang dengan dunia luar, berusaha
untuk memahami tentang hal yang tidak terbatas dan terkhusus pada hal- hal
yang menjadi sumber kekuatan ketika seseorang menghadapi stres emosional,
penyakit fisik, atau kematian (Kozier, Erb, Blais &Wilkinsn, 1995).
Pengambaran tentang dimensi spiritual terdapat pada beberapa versi.
Mickey at el ( 1995 dalam Kozier, Erb, Blais &Wilkinsn, 1995)
mendeskripsikan dimensi spiritual menjadi dua hal yaitu: dimensi agama dan
dimensi esensial. Dimensi esensial berfokus pada tujuan dan makna hidup
sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan dengan Tuhan atau
kekuatan yang lebih tinggi.
Stoll (1989 dalam Hamid, 2009) juga menguraikan dimensi
spiritualitas menjadi 2 konsep, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan
terdapat hubungan yang terus-menerus antara kedua dimensi tersebut.
Studi literatur Elkins dkk (1988 dalam Nurtjahjanti, 2013)
menguraikan dimensi spiritualitas adalah sebagai berikut : dimensi transenden
(kepercayaan/ belief) dalam perspektif keagamaan, dimensi makna dan tujuan
hidup (keyakinan bahwa hidup itu penuh makna dan orang akan memiliki
eksistensi jika memiliki tujuan hidup), dimensi misi hidup (perasaan
bertanggung jawab terhadap hidup), dimensi kesucian hidup (perasaan
khidmad, takzim dan kagum), dimensi kepuasan spiritual, dimensi altuarisme
(perasaan bersaudara dan tersentuh pada perasaan orang lain), dimensi
idealisme (pengaktualisasian diri pada seluruh aspek kehidupan), dan dimensi
kesadaran akan adanya penderitaan yang dimana dapat membuat individu
serius pada kehidupannya.
1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Taylor, Lillis & Le Mone (1997), dan Craven & Himle (1996 dalam
hamid 2009), membagi faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas
adalah sebagai berikut :
1.4.1.Tahap Perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat
agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi
tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks,
spiritualitas wanita lebih tinggi dari pria, hal ini dikarenakan wanita lebih
cenderung memiliki ketertarikan pada kegiatan-kegiatan keagamaan.
Musgrave, Catherine F, et al (2002) juga menyakatan bahwa spiritualitas
sangat bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan wanita terkait
pencegahan, perilaku sehat ataupun koping wanita dalam mengahadapi
masalah.
1.4.2. Keluarga
Peran orangtua sangat menentukan perkembangan spiritualitas
anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang kepada anaknya
tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan,
dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh karena keluarga
merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam
mempersepsikan kehidupan didunia, pandangan anak pada umumnya
diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua
dan saudaranya.
1.4.3. Latar Belakang Budaya dan etnik
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik
dan sosial budaya. Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan
kegiatan agama, termasuk nilai normal dari hubungan keluarga dan peran
pun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap saja
pengalaman spiritual adalah hal unik bagi tiap individu.
1.4.4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negatif
dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya, juga dipengaruhi
oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau
pengalaman tersebut. Sebagai contoh, jika dua orang wanita yang percaya
bahwa Tuhan mencintai umatnya, kehilangan anak mereka karena
kecelakaan. Salah satu dari mereka akan bereaksi dengan mempertanyakan
keberadaan Tuhan dan tidak mau lagi sembahyang. Sebaliknya wanita
yang satu terus menerus berdoa dan meminta Tuhan membantunya untuk
mengerti dan menerima kehilangan anaknya.
Begitu pula pengalaman hidup yang menyenangkan sekalipun,
seperti pernikahan, pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat atau jabatan
dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada Tuhan, tetapi ada juga
yang merasa tidak perlu mensyukurinya. Peristiwa dalam kehidupan sering
dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia
untuk menguji kekuatan imannya. Pada saat ini, kebutuhan spiritual dan
1.4.5. Krisis dan Perubahan
Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual selain juga pengalaman yang bersifat
fisik dan emosional.
Krisis dapat berhubungan dengan perubahan patofisiologi,
terapi/pengobatan yang perlukan, atau situasi yang mempengaruhi
seseorang.
1.4.6. Terpisah dari ikatan spiritual
Seseorang yang merasa terisolasi dalam satu ruangan dan
kehilangan kebebasan pribadinya dan sistem dukungan sosial akan
membuat individu merasa tiadak aman. Kebiasaan hidup sehari-hari juga
berubah, antara lain, tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti
kegiatan keagamaan, atau tidak dapat berkumpul denga keluarga atau
teman dekat yang biasa memberi dukungan setiap saat diinginkan.
Terpisah dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan fungsi
Tabel 1. Ekspresi Kebutuhan Spiritual yang Adaptif dan Maladaptif
Kebutuhan Tanda Pola atau Perilaku Adaptif
Tanda Pola atau Perilaku Maladaptif
Rasa percaya -rasa percaya terhadap diri sendiri dan
-Keterbukaan terhadap Tuhan
-Merasa tidak nyaman dengan kesadarn diri -Mudah tertipu
-Ketidakmampuan untuk terbuka dengan orang lain
-Merasa bahwa hanya orang tertentu dan tempat tertentu yang aman
-Mengharapkan orang tidak berbuat baik dan tidak tergantung
-Ingin kebutuhan dipenuhi segera, tidak dapat menunggu
-Tidak terbuka kepada Tuhan
-Takut terhadap maksud Tuhan
Kemauan memberi maaf -Menerima diri sendiri dan orang lain dapat berbuat salah
-Tidak mendakwa dan berprasangka buruk -Memaafkan diri sendiri -Memberi maaf orang
lain -Menerima
pengamnpunan Tuhan -Pandangan yang
realistik terhada masa lalu
perasaan dicintai oleh orang lain dan Tuhan -Mampu menerima
bantuan
-Menerima diri sendiri
-Takut untuk bergantung pada orang lain
-Cemas berpisah dengan keluarga
Tabel. 1 Lanjutan
Kebutuhan Tanda Pola atau Perilaku Adaptif
Tanda Pola atau Perilaku Maladaptif
Mencari kebaikan dari orang lain -Merasa jauh dari Tuhan
Keyakinan -Ketergantungan pada
anugrah Tuhan
-Termotivasi untuk tumbuh
tujuan hidup yang tidak jelas
-Konflik nalai
-Tidak mempunyai komitmen
Kreativitas dan harapan -Meminta informasi tentang kondisi
harapan tentang masa depan
Tabel 1. Lanjutan
Kebutuhan Tanda Pola atau Perilaku Adaptif
Tanda Pola atau Perilaku Maladaptif
Arti dan Tujuan -Mengekspresikan kepuasan hidup
-Menjalan kehidupan sesuai dengan sistem nilai
-Mengekspresikan arti kehidupan/kematian -Mengekspresikan
komitmen dan orientasi hidup
-Jelas tentang apa yang penting
-Mengekspresikan tidak ada untuk bertahan -Tidak dapat menerima
arti penderitaan yang dialami
Bersyukur -Merasa bersyukur
-Merasakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan
-Merasakan harmoni dan utuh
- Mencemaskan masa lalu dan yang akan
- Membicarakan tentang berbuat lebih baik/ mencoba lebih keras - Selalu ingin sempurna
2. Narapidana
2.1. Konsep narapidana
Narapidana merupakan orang hukuman atau orang yang sedang
Berdasarkan Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang kemasyarakatan,
narapidana merupakan terpidana (seseorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap) yang
menjalani hukuman hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Narapidana wanita merupakan terpidana yang menjalani hukuman di Lembaga
Pemasyakatan wanita.
2.2.Hak dan Kewajiban Narapidana
Dalam suatu proses peradilan narapidana, narapidana masih
mempunyai beberapa hak yaitu:
2.2.1. Hak untuk mendapat pembinaan atau penghukuman yang manusiawi
sesuai dengan pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai
pemasyarakatan.
2.2.2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang
merugikan/ menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial.
2.2.3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang, keluarga sebagai
mana ditentukan dalam pasal 14 UU No.12 tahun 1995 tentang
lembaga pemasyarakatan adalah (a) Melakukan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan; (b) Mendapat perawatan jasmani
maupun rohani; (c) Mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan; (d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak; (e) Menyampaikan keluhan; (f) Mendapatkan bahan
Mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana (remisi); (i)
berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; (j) Mendapat
pembebasan bersyarat; (k) Mendapat cuti menjelang bebas; (l)
Mendapat kewajiban mengikuti program pembinaan; (m)
Mendapatkan jaminan keselamatan dan keterlibatan.
Kewajiban narapidana ditetapkan pada Undang- Undang No.12 Tahun
1995 tentang pemasyrakatan pasal 15 yaitu :
2.2.1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan
kegiatan tertentu.
2.2.2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3. Spiritualitas Narapidana
Narapidana merupakan orang yang menjalani hukuman hilang
kemerdekaan akibat tindak pidana yang diperbuat. Hilang kemerdekaan berarti
tidak memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan.
Narapidana yang menjalani hukuman akan mengalami perubahan
pengalaman hidup seperti, (a) kehilangan keyakinan pada diri sendiri seperti
penurunan rasa percaya diri, merasa putus asa, dan kebingungan dengan kondisi
yang dialami, (b) kehilangan aktivitas dengan keluarga dekat seperti suami dan
anak, kerabat, dan teman, (c) kehilangan kebebasan untuk melakukan kegiatan
Howison, 2008). Perubahan- perubahan pengalaman hidup tersebut mencakup