DAFTAR ISI………. xi
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian……….. 13
2.1.1 Pengetahuan………. 16
2.2 Kajian Pustaka……… 17
2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa………. 17
2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol ………. 22
2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu……….. 23
2.2.4 Semiotika………. 23
2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual……….. 29 2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes………... 32
2.2.5 Ilustrasi……….... 53
3.5 Teknik Pengumpulan Data………. 69
3.6 Keabsahan Data……….. 69
3.7 Teknik Analisis Data……….. 70
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian……… 73
4.1.1 Sejarah Harian Kompas……….. 73
4.1.2 Profil Jitet Koestana……… 77
4.1.3 Profil Basuki……… 78
4.1.5 Profil Herman Tan Dela Oeslan……….. 79
4.2 Hasil Analisis Penelitian………. 80
4.2.1 Ilustrasi Pertama (1)………. 81
Judul: Dagelan Sepak Bola MPR/DPR RI 4.2.2 Ilustrasi Kedua (2)……… 87
Judul: Suara yang Terpenjara 4.2.3 Ilustrasi Ketiga (3)……… 93
4.2.7 Ilustrasi Ketujuh (7)……….. 118
Judul: Mayat Demokrasi 4.2.8 Ilustrasi Kedelapan (8)……….. 124
Judul: Pilkada yang Terkungkung 4.2.9 Ilustrasi Kesembilan (9)………. 131
Judul: Gedung Pemenjara Harapan 4.2.10 Ilustrasi Kesepuluh (10)……… 137
Judul: Pendar Kemurnian dan Tukang Rasuah 4.2.11 Ilustrasi Kesebelas (11)……….. 143
Judul: Konferensi Meja Kekuasaan (KMK) 4.2.12 Ilustrasi Keduabelas (12)………... 149
Judul: Penjara, Saksi Kursi 4.2.13 Ilustrasi Ketigabelas (13)……… 155
Judul: Runtuhnya Demokrasi Indonesia 4.2.14 Ilustrasi Keempatbelas (14)……… 161
Judul: Di balik Pelarian Kekuasaan 4.3 Transkrip Hasil Wawancara……… 167
4.3.1 Hasil Wawancara Bersama Jitet Koestana (Ilustrator Kompas)……... 167 4.3.2 Hasil Wawancara Bersama Basuki (Ilustrator Waspada)………. 193
4.3.3 Hasil Wawancara Bersama Herman (ilustrator Analisa)……….. 209
4.4 Pembahasan……… 221
BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan……… 223
5.1 Saran……….. 225
5.3 Implikasi Teoritis……… 225
5.4 Implikasi Praktis………. 225 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes……….. 29
2.2 Konsep Petanda dan Penanda………...31
2.3 Elemen-elemen Makna Saussure………33
2.4 Diagram Komponen Tanda………39
2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes………...41
2.6 Tingkat Pertandaan……….42
2.7 Metabahasa……….42
2.7 Konotasi………..43
2.8 Teori Metabahasa dan Konotasi……….43
2.9 Poros Paradigma dan Sintagma………..41
2.10 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat……..41
4.1 Gambar Ilustrasi Pertama………81
4.2 Gambar Ilustrasi Kedua………. .86
4.3 Gambar Ilustrasi Ketiga………. .91
4.4 Gambar Ilustrasi Keempat………. .97
4.5 Gambar Ilustrasi Kelima……… 103
4.6. Gambar Ilustrasi Keenam………...108
4.7 Gambar Ilustrasi Ketujuh………... 113
4.8 Gambar Ilustrasi Kedelapan……….. 118
4.9 Gambar Ilustrasi Kesembilan………. 124
4.10 Gambar Ilustrasi Kesepuluh………... 129
4.11 Gambar Ilustrasi Kesebelas……… 134
4.12 Gambar Ilustrasi Keduabelas………. 140
4.13 Gambar Ilustrasi Ketigabelas………. 145
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
- Ilustrasi Jitet Koestana
- Dokumentasi Penelitian
- Biodata Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Konteks Masalah
Berdiri pada era pergolakan orde lama menuju orde baru, tepatnya pada tahun 28 Juni
1965 turut mendirikan harian Kompas dengan pemimpin umumnya adalah Petrus Kanisius
Ojong (1920 – 1980), sebelumnya adalah Pemimpin Redaksi Harian Star Weekly dan Keng
Po. Bersama dua orang temannya Jakob (Jakobus) Oetama – sebelumnya Pemimpin Redaksi
Surat Kabar Penabur dan Frans Seda, mereka mendirikan sebuah surat kabar yang
memberikan nafas baru dalam keadilan. Pada awalnya harian ini direncanakan bernama
Bentara Rakyat, namun sebelum rilis, berdasarkan wawancara dengan Frans Seda, Presiden
Soekarno meminta namanya diubah menjadi harian Kompas(Penerbit Kompas). Kompas yang
berarti penunjuk arah. Sebelum Kompas (Bentara Rakyat), pada Agustus 1963 mereka
mendirikan sebuah majalah yang bernama Intisari. Sesuai dengan namanya, majalah ini
merangkum semua bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi dunia menjadi sebuah saripati
informasi.
Media massa merupakan sebuah ikhtisar informasi yang sangat penting sebagai
suplemen pengetahuan mengenai informasi yang berkembang saat ini. Mulai dari jatuhnya
Presiden Hoesni Mobarrok, menyebarnya virus endemik Ebola di wilayah Afrika, Revolusi di
Mesir, terpukulnya raksasa-raksasa ekonomi Eropa pada saat masa resesi ekonomi, dan
pelantikan Presiden RI – Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Sedemikian pentingnya
informasi menjadikan manusia yang menguasai informasi adalah manusia yang beruntung.
Napoleon pernah berkata, hear, read, and look an information from up and down from left to
right to seize the world (dengar, baca, dan carilah informasi dari atas ke bawah dari kiri ke
kanan untuk menaklukan dunia).
Harian Kompas dengan slogannya “Amanat Hati, Nurani Rakyat” menjadi sebuah
media massa yang memberikan cahaya pada pekatnya informasi mengenai perkembangan
pemerintahan. “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang.
Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, diantaranya lewat media massa,” ujar
Jakob Oetama pada penutupan tahun 1978 (Sularto, 10 : 2011). Sebuah harapan untuk
kaum papa dan mengingatkan pemerintah juga para kaum berada. Medium is the extension of
men, media adalah kepanjangan tangan dari masyarakat. (dalam Sularto, 18 : 2011).
Kompas memiliki sebuah rubrik yang bernama Opini. Rubrik ini berisikan kumpulan
pemikiran para cendekiawan dan kumpulan hasil seni para redaktur artistik Kompas. Ilustrasi
merupakan sebuah penggambaran harapan masyarakat yang tergambarkan dalam sebentuk
komunikasi visual.Dalam rubrik tersebut terdapat ilustrasi dan karikatur yang menjadi
penggambaran mengenai realitas pada masa itu. GM Sudarta sendiri merupakan pembuat
ilustrasi pertama di harian Kompas. Ilustrasi mempunyai peran untuk melakukan kritikan
satir terhadap pemerintah yang pada saat itu media sangat diawasi oleh pemerintahan.
Ilustrasi sendiri menurut KBBI adalahgambar (foto, lukisan) untuk membantu
memperjelas isi buku, karangan, dsb; gambar, desain, atau diagram untuk penghias (halaman
sampul dsb); (pen-jelasan) tambahan berupa contoh, bandingan, dsb untuk lebih
memperjelas paparan (tulisan dsb); (KBBI, 1995 : 78). Ilustrasi sendiri mulai berkembang
pada Eropa Barat, khususnya di Jerman, Pada awalnya ilustrasi digunakan hanyak untuk
merekam sebuah peristiwa penting. Pada abad ke – 16 ilustrasi terus mengalami
perkembangan hingga akhirnya pada era tersebut pemerintahan memasukkannya ke dalam
sebuah mata pelajaran. Munculnya Albert Durer, Hans Burgkmair, Altorfer dan Hans
Holbein merupakan titik balik perkembangan ilustrasi. Hingga akhirnya pada abad ke – 17,
Rembrandt menjadi pionir terdepan dalam mengembangkan ilustrasi meliputi berbagai aspek
khususnya media massa.
Sebuah ilustrasi menurut Yasuo Yoshitomi, kartunis dan Ketua Komite SeleksiThe
9th Kyoto International Cartoon Exhibition, kartun/ilustrasi punya makna lebih. “Maknanya
sangat dalam. Kita harus berpikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujar nya
(Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi memiliki dua ciri utama, yaitu menghadirkan
ironi dan bersifat satir. Sifat inilah yang kemudian akan menggerakkan hati dan membuat kita
bercermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbulkan harapan. Bahwa belum
terlambat bagi kita untuk memperbaikinya (Media Indonesia, 8 September 2010).
Media massa dan ilustrasi merupakan sebuah perpaduan hubungan yang pas. Media
massa membutuhkan ilustrasi untuk semakin menegaskan isi pemberitaan yang ada. Pada saat
ini ilustrasi yang terdapat di harian Kompas merupakan penggambaran dari realitas yang
terjadi saat ini. Misalnya contoh sebuah ilustrasi Jokowi dan Jusuf Kalla yang membawa
Indonesia bergerak maju dan lebih baik perkembangannya ke depan. Illustrator yang
menghasilkan ilustrasi tersebut adalah Jitet Koestana. Beliau merupakan seorang ilustrator
yang telah melahirkan banyak penghargaan juga ilustrasi. Salah satu penghargaan yang
dimilikinya adalah Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai Penerima
Penghargaan Terbanyak di sebuah kompetisi kartun internasional.
Jitet Koestana lahir pada tanggal 19 Maret 1967. Beliau merupakan kartunis idealis
yang menggambarkan sebuah pengharapan terhadap ketidakadilan yang terjadi di
masyarakat. Ilustrasi merupakan keahlian yang didapat melalui proses pembelajaran pribadi.
Tujuan awal berkarya adalah untuk kesenangan hati dan menyuarakan suara mereka yang
lemah lewat kartun ataupun ilustrasi. Semakin luas ilustrasiitu diperlihatkan, semakin banyak
orang yang tahu (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi yang bagus tak hanya punya
teknik yang bagus. Ia mengibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak hanya berdaging,
berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus memiliki roh dan hati. “Tidak cuma mengandung
pesan, tapigagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela kelangsungan hidup
manusia.” (Media Indonesia, 8 September 2010).
Menurut catatan Efix Mulyadi, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang,
tapi juga ilustrasi yang tajam mengkritik sekaligus memberi humor yang bernas. Kedalaman
makna itulah yang akhirnya membuat karya ilustrasi Jitet Koestana sering menjadi alat
pengritik media untuk pemerintahan (Media Indonesia, 8 September 2010).
Titik balik perjalanan sejarah ilustrasi dimulai pada akhir abad 18, muncul sebuah
Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan
fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya
bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator
menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai
tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai
seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina.
Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya
mencerminkan gabungan dari keduanya.
Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah
pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre
menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku tersebut di desain oleh para
seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah
Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain
yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.
Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan
aktivitas-aktivitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan
untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis
dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi
sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri.
Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator
sebagai author itu sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri.
Pada Indonesia sendiri ilustrasi menjadi sebuah peranan dalam pergerakan sosial.
Pada 1945 ilustrasi mulai menjadi simbol perlawanan. Dimulai dari ilustrasi atau poster
legendaris dengan slogannya. “Boeng, ayo boeng,” yang menjajah jalan-jalan dari banyak
kota di Jawa menjadi sebuah titik balik bergeraknya seni sebagai media revolusi. Desain dari
ilustrasi dibuat oleh pelukis Sudjojono, sementara tulisannya diambil dari puisi Chairil
Anwar. Pada awalnya ilustrasi dibuat atas perintah Presiden Soekarno menjadi sebuah sarana
efektif untuk membakar semangat para pemuda.
Pemerintahan Orde Baru Soeharto sesungguhnya adalah pemerintahan yang sangat
sadar akan kekuatan propaganda melalui berbagai jenis media komunikasi, baik audio
maupun visual. Bahkan sejak awal berkuasa pun Soeharto berpropaganda
mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia, dan membesarkan jasa dirinya dan
Angkatan Darat, dalam persitiwa G-30S-PKI. Pada masa Orde Baru ilustrasi dan poster
bersama baliho pembangunan, digunakan secara efektif untuk masyarakat luas, hingga
pelosok desa melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) dan
pameran pembangunan. Ilustrasi-ilustrasi dan poster politik terkait kampanye Pemilu tercatat
dalam buku Pemilu dalam Poster(Suwondo, Budiman, Pradjarta, 1987, hal.26). Tercatat
bahwa kontestan yang mampu menampilkan desain ilustrasi dan poster dengan warna-warna
menarik dan ‘bermodal’ adalah kontestan Golkar. Keunggulan modal dan keunggulan politik
yang tak imbang dibandingkan kontestan Pemilu lainnya disindir dalam buku ini dengan
sebutan “Pesta Demokrasi Golkar”. Kampanye Keluarga Berencana dan Imunisasi di masa
adalah ilustrasi “Imunisasi, Perlu untuk Semua Bayi”. Ilustrasi dalam poster ini menampilkan
foto Ibu Tien mendampingi “Bapak Presiden” yang sedang meneteskan obat Imunisasi Polio
pada bayi, dalam rangka Hari Anak-Anak Nasional 1986. Rancangan poster itu dibuat ulang
pada 1991, dengan dibubuhi tanda tangan Soeharto pada bagian bawah poster. (Jurnal Poster
Aksi, 2013).
Pada masa represif Orde Baru ini pula bermunculan poster berisikan ilustrasi
perlawanan anti-propaganda Soeharto. ilustrasi perlawanan ini berkembang sejalan dengan
bertumbuhnya gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bertumpu di berbagai Lembaga
Swadaya Masyarakat maupun perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru itu sekitar tahun
1980an muncul kalender poster “Tanah untuk Rakyat” yang dirancang oleh Yayak ‘Kencrit’
Ismaya. Kalender satu tahun dalam bentuk satu lembar ilustrasi poster ini tampil dalam gaya
ilustrasi yang sarkastik. Karena rancangannnya ini maka aparat pemerintah mencari-cari
Yayak hingga akhirnya dia terpaksa pindah ke Jerman. Pada 2009 di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, pernah diadakan sebuah pameran “Grafis Melawan Lupa” yang menampilkan
beragam media desain grafis, khususnya poster-poster perlawanan untuk menggerus
propaganda Orde Baru yang sangat masif. Salah-satu poster yang ditampilkan adalah poster
perlawanan yang cukup ekspresif dirancang oleh Semsar Siahaan, berjudul Marsinah (koleksi
Harry Wibowo). Sebuah poster untuk memperingati dibunuhnya aktivis buruh Marsinah oleh
aparat negara. (Jurnal Poster Aksi, 2013).
Seni dalam pergerakan perubahan sosial sejalan dengan pemikiran Karl Mar. Walau
tidak memusatkan kajiannya pada seni, namun seni menjadi bagian perhatiannya. Marx
melihat seni merupakan representasi dari superstruktur yang sangat dipengaruhi oleh basis
ekonomi masyarakat, oleh karenanya seni dapat menjadi elemen aktif bagi perubahan sosial.
Karena itu, Marx mencerca habis seni masa Yunani yang memuja estetika dari sebuah bentuk
kebudayaan borjuis. (Terry Eagleton, 2002: 100).
Media massa dalam hal ini termasuk bagian dari komunikasi massa menjadi sebuah
pionir perubahan. Ilustrasi disini juga mengambil peran untuk membuka mata para stake
holder di pemerintahan untuk mengingat fungsi dan perannya kembali. Media massa juga
berperan dalam perubahan dalam struktur kemasyarakatan ataupun perubahan dalam
kesejahteraan sosial masyarakat. Komunikasi massa yang diinisiasi oleh media massa yang
bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat adalah kunci kebebasan pers yang adil dan
Komunikasi massa bagi Lasswell (dalam Nurudin, 2007:78), mempunyai peran untuk
pengawasan. Artinya, menunjuk pada pada pengumpulan dan penyebaran informasi
mengenai kejadian-kejadian yang ada disekitar kita. Fungsi pengawasan bisa dibagi menjadi
dua, yakni pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Rubrik opini dan ilustrasi
ini menjadi tempat kegelisahan para pemikir dan cendekiawan menumpahkan kegelisahan
dan kegetiran mereka, mengenai nasib negara yang mereka cintai.
Surat kabar ini memiliki sebuah rubrik dalam tata letak majalah. Rubrik tersebut
adalah opini dan ilustrasi. Dua rubrik ini telah berperan dalam mengawasi berjalannya tata
pemerintahan secara baik, dengan para pengisinya seperti Soe Hok Gie, Mochtar Lubis, dan
lainnya. Dalam rubrik opini ini, rubrik ilustrasi juga mendapatkan porsi penting dalam
halnya pressure group kepada pemerintahan.Dengan kritikan yang bersifat satir dan
membangun, ilustrasi pada surat kabar, khususnya harian Kompas menjadi semacam sebuah
penggambaran mengenai realitas, potret harapan dalam kemajuan negara, dan kritik keras
terhadap pemerintahan.
Apa yang menjadi harapan dalam masa lalu, khususnya kebebasan untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak luas menjadi sebuah bumerang yang disalah
gunakan. Media massa pada era reformasi saat ini mengalami fase kemunduran dalam
informasi. Khususnya informasi atau isi yang menjadi penginspirasi masyarakat malah
digunakan untuk kepentingan pemilik modal (pemilik media) dalam menyebarkan
paham-pahamnya. Khususnya pada saat Pemilihan Presiden Republik Indonesia beberapa waktu
yang lalu, para pemimpin partai sekaligus pemilik media menjadikan media massa untuk
melakukan kampanye-kampanye yang menyalahi aturan. Media menjadi corong kampanye
terbaik.
Salah satu media berwarna merah secara eksplisit menggambarkan tingkah dan
perilaku keburukan salah satu kandidat yang menjadi musuh utama dalam pergelaran
Pemilihan Umum 2014. Ada pun dengan cara merangkai pemberitaan pada salah satu
kandidat yang secara tidak sengaja mengikuti proses kegiatan agama minoritas. Media
pesaing tersebut langsung membombardir pemberitaan di medianya dengan isu-isu SARA
(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ihwalnya, sebuah perusahaan media atau pers
harus memberikan informasi yang mendidik kepada masyarakat, bukan menyesatkan
masyarakat dengan informasi yang belum jelas verifikasinya. Secara langsung media merah
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa
atau cacat jasmani. (Dewan Pers, Kebijakan).
Jelas-jelas secara tekstual menyuratkan bahwa seorang wartawan atau jurnalis
diharamkan untuk menyinggung ranah-ranah merah, dimana hal yang ditakutkan adalah akan
munculnya konflik horizontal, baik itu suku, agama, ras, maupun antar golongan.
Pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk hasrat atau berahi untuk berkuasa. Sama
seperti zaman orde baru yang menggunakan stasiun televisi nasional TVRI.
Dalam kurun waktu 20 tahun pertama, kebangsaan Indonesia mengalami ujian yang
berat sebagai akibat dari eksperimen politik yang dikembangkan oleh para pemimpin
Indonesia pada waktu mengelola kekuasaan, khususnya bagaimana demokrasi berkembang di
Indonesia. Demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi slogan
pengampanyean saja. Bagaimana konsentrasi pembangunan perkembangan kota yang
berfokus di wilayah Jawa saja. Akibatnya periode itu membuka ruang bagi tumbuhnya
aspirasi separatis yang disebabkan oleh karena ketidakpuasan daerah terhadap kepemimpinan
politik di Jakarta ketika itu. Akibatnya tujuan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia
sejak awal untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur terabaikan oleh proses
tersebut.
Media massa dengan peran sertanya juga mempunyai fungsi-fungsi penting untuk
mengawal segala kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang keliru diberikan saran,
kebijakan pemerintah yang baik terus didukung. Media massa berperan menjadi watch dog
(anjing penjaga) agar pemerintah tidak menyeleweng dari apa yang diharapkan. Akan tetapi
media massa baik cetak maupun elektronik mengalami krisis identitas akibat kapitalisme
menyerang mereka. Media tidak berdaya menghadapi tuntutan zaman yang mengedepankan
perekonomian yang kuat. Pada Pemilihan Presiden 2014, black campaign menjadi isu yang
hangat diperdebatkan oleh banyak pihak. Pusat penelitian dan pengembangan (Litbang)
Kompas mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai ‘kampanye hitam’ . Hasilnya adalah
sebanyak 28,6 persen setiap hari mendengar mengenai kampanye hitam, 40,4 persen hanya
mendengar kampanye hitam. Bisa dikatakan masyarakat Indonesia telah diterpa oleh
gelombang kemunduran demokrasi. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).
Pola kampanye hitam dan kampanye negatif yang digunakan oleh kedua belah pihak
melalui media sosial (media elektronik) dan media massa bertujuan untuk menjatuhkan lawan
politik tiap capres. Materi-materi kampanye berupa suku, agama, ras, dan antar golongan
serta rekam jejak calon yang tendensius menjadi isu dominan ketimbang mengkritisi gagasan,
visi-misi, dan program pemerintah capres. Dengan kata lain, materi kampanye hitam dan
kampanye negatif memang diarahkan untuk menyerang pribadi capres. (Litbang Kompas, 9
Juni 2014).Terlihat intrik dan manuver para political communicatorjauh diambang
kewajaran. Terlihat ada sebuah tujuan untuk membagi Indonesia menjadi dua kubu,
khususnya membelah Indonesia menjadi dua kubu beragama, agama a versus agama b.
Selain melihat jumlah penduduk Indonesia yang terimbas dari kampanye hitam,
Litbang Kompas membuat penelitian mengenai efek dari kampanye hitam itu sendiri.
Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama
bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye
menyinggung secara langsung realitas kehidupan bersama bangsa Indonesia. Masyarakat
akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Lebih dari separuh bagian (55,5 persen) khawatir kampanye hitam yang dilakukan
menyerang para capres bisa mengancam keamanan selama proses pemilihan presiden
berjalan. Secara emosional, kampanye hitam juga berpotensi memicu kebencian antar
pendukung capres. Sebagian besar (61,6 persen) responden khawatir dengan hal ini. Bahkan
lebih jauh lagi, 64,0 persen responden menuturkan kampanye hitam yang kian gencar
dilakukan bisa memicu konflik terbuka antar pendukung capres. Jika ini yang terjadi, tidak
mustahil konflik ini akan melebar dan bisa memicu gejolak politik yang lebih besar lagi.
Lebih dari separuh bagian (58,3 persen) responden khawatir kampanye hitam bisa
mengancam persatuan bangsa.
Kekhawatiran ini mencuat karena isu-isu yang diangkat dalam kampanye hitam sudah
melibatkan sentimen-sentimen kelompok yang berbasis pada rasa primordial dan fanatisme
kepada capres. Sentimen primordial yang negatif akan memicu kebencian terhadap kelompok
berdampak pada rusaknya sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. (Litbang Kompas, 9 Juni
2014).
Permainan politik dengan tujuan membelah masyarakat menjadi berkubu-kubu tidak
hanya melalui media televisi saja. Media cetak juga menjadi sarana utama untuk
menyebarkan paham-paham sesat. Salah satunya media yang terbit saat berlangsungnya
pemilihan presiden 2014, tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat menjadi media
propaganda untuk mendiskreditkan salah satu calon presiden, khususnya dalam bidang
agama. Obor Rakyatmemfitnah dan menumbuhkan benih kebencian yang telah mencederai
demokrasi. Dewan Pers (Kompas, 16 Juni 2014) menegaskan, tulisan-tulisan yang dimuat
dalam tabloid Obor Rakyat bukanlah sebuah karya jurnalistik yang dikerjakan dengan
menghormati kode etik jurnalistik, diantaranya tidak menyinggung suku, agama, ras, dan
antar-golongan. Penyebaran tabloid yang secara simultan dan terus menerus di wilayah
pesantren, khususnya di wilayah pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terlihat
bertujuan untuk memecah belah umat islam dengan isi berita yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Salah satu pemberitaan Jokowi di tabloid Obor Rakyat :
Kelompok penginjil Kristen dan keuskupan katolik di Indonesia menyandang dana
habis-habisan untuk Jokowi menjadi Presiden RI. Mereka yakin, jika Jokowi menjadi presiden,
target pertumbuhan gereja dan pemurtadan di Indonesia berjalan lebih cepat. Jokowi sangat
mungkin melakukan semua itu atas nama toleransi. Jokowi sebagai pemeluk Islam sinkretis,
relatif tidak punya tanggung jawab akan masa depan mayoritas Muslim, karena yang ada
dibenaknya hanya bagaimana mencapai puncak kekuasaan tertinggi. Obor Rakyat,
Edisi 01 (Mei 201 4).
Pemberitaan tersebut merupakan salah satu proses degenerasi kebangsaan rakyat
Indonesia. Perjuangan untuk mencapai kebangsaan secara tidak langsung terkikis sedikit
demi sedikit akibat nafsu untuk berkuasa. Proses propaganda yang berjalan masif tersebut
mencederai ciri-ciri bangsa yaitu saling menghargai dan menghormati. Bagaimanapun
solidaritas dan rasa kebersamaan itu tidak terbangun atas dasar asal usul, suku bangsa, agama,
bahasa, geografi, melainkan pengalaman sejarah dan nasib bersama. Pilar utama yang paling
penting dari kebangsaan adalah persatuan dan kemajemukan (pluralisme).
Harian Kompas sesuai dengan cita-citanya, amanat hati nurani rakyat menjadi sebuah
Pemilihan Presiden tetap menganut azas keberimbangan, cover both sides. Masing-masing
calon mendapat porsinya masing-masing sehingga Kompas berhasil menjalankan peran
sebagai pemberi informasi kepada masyarakat. Siapa yang hendak dipilih berpulang kembali
ke masyarakat. Kompas media yang berpihak, berpihak pada kebenaran. Lalu di rubrik opini
Kompas tetap memberikan ruang untuk para cendekiawan menyampaikan pendapat untuk
kebaikan negara. Pada rubrik opini, Kompas juga menyediakan sebuah ‘penyegaran’ dengan
ilustrasinya yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan, persaudaraan, dan
khususnya mengenai perkembangan politik.
Ilustrasi yang terdapat dalam rubrik Opini harian Kompas merupakan sebuah
manifestasi harapan bangsa. Harapan bangsa yang ingin mendapatkan kedamaian dan serta
dalam keadilan politis. Mereka yang sebelumnya sudah mendapatkan sebuah degenerasi
proses politis, yang memecah bangsa menjadi dua kubu semakin merana melihat tingkah laku
para lembaga amanat rakyat
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti ilustrasi “Ilustrasi
Jitet” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang
keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir
ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di
dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai
pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk
desain komunikasi visual (Pilliang, 2012 : 337).
“Ilustrasi Jitet ” merupakan suatu produk komunikasi visual. Pesan yang ingin
dimaknai adalah pesan kebangsaan. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi
‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah
pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode
tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tapi bentuk-bentuk komunikasi
visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan
sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009 :xi).
Jitet Koestana merangkai sebuah hubungan antara situasi realitas yang terjadi pada
saat ini, perkembangan dunia, dan harapan-harapan masyarakat dalam sebuah kanvas ilustrasi
yang memberikan makna melalui tanda. Tanda-tanda menjadi sebuah rangkaian-rangkaian
mencakup kondisi realitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pemaknaan terhadap pesan
“Ilustrasi Jitet ” merupakan bentuk imaji kebangsaan rakyat Indonesia.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih
lanjut adalah sebagai berikut :
1. “Bagaimanakah representasi Imaji Kebangsaan Indonesia (Impian Kebangsaan Indonesia)
di dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”
2. “Mitos apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam ilustrasi
karya Jitet Koestana ?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis tanda-tanda yang terdapat di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet
Koestana.
2. Mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet
Koestana
1.4 Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika
Signifikasi Roland Barthes – dengan paradigma konstruktivis. Integrasi kajian semiotika dan
paradigma konstruktivis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, khususnya di kajian Semiotika, cultural studies, dan kajian Ilmu Komunikasi.
2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami
pemaknaan di dalam sebuah karya seni ilustrasi, agar karya seni ilustrasi bisa dimaknai tidak
hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan
kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya semiotika. Penelitian ini juga dapat