• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI………. xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian……….. 13

2.1.1 Pengetahuan………. 16

2.2 Kajian Pustaka……… 17

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa………. 17

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol ………. 22

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu……….. 23

2.2.4 Semiotika………. 23

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual……….. 29 2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes………... 32

2.2.5 Ilustrasi……….... 53

3.5 Teknik Pengumpulan Data………. 69

3.6 Keabsahan Data……….. 69

3.7 Teknik Analisis Data……….. 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian……… 73

4.1.1 Sejarah Harian Kompas……….. 73

4.1.2 Profil Jitet Koestana……… 77

4.1.3 Profil Basuki……… 78

4.1.5 Profil Herman Tan Dela Oeslan……….. 79

4.2 Hasil Analisis Penelitian………. 80

4.2.1 Ilustrasi Pertama (1)………. 81

Judul: Dagelan Sepak Bola MPR/DPR RI 4.2.2 Ilustrasi Kedua (2)……… 87

Judul: Suara yang Terpenjara 4.2.3 Ilustrasi Ketiga (3)……… 93

(2)

4.2.7 Ilustrasi Ketujuh (7)……….. 118

Judul: Mayat Demokrasi 4.2.8 Ilustrasi Kedelapan (8)……….. 124

Judul: Pilkada yang Terkungkung 4.2.9 Ilustrasi Kesembilan (9)………. 131

Judul: Gedung Pemenjara Harapan 4.2.10 Ilustrasi Kesepuluh (10)……… 137

Judul: Pendar Kemurnian dan Tukang Rasuah 4.2.11 Ilustrasi Kesebelas (11)……….. 143

Judul: Konferensi Meja Kekuasaan (KMK) 4.2.12 Ilustrasi Keduabelas (12)………... 149

Judul: Penjara, Saksi Kursi 4.2.13 Ilustrasi Ketigabelas (13)……… 155

Judul: Runtuhnya Demokrasi Indonesia 4.2.14 Ilustrasi Keempatbelas (14)……… 161

Judul: Di balik Pelarian Kekuasaan 4.3 Transkrip Hasil Wawancara……… 167

4.3.1 Hasil Wawancara Bersama Jitet Koestana (Ilustrator Kompas)……... 167 4.3.2 Hasil Wawancara Bersama Basuki (Ilustrator Waspada)………. 193

4.3.3 Hasil Wawancara Bersama Herman (ilustrator Analisa)……….. 209

4.4 Pembahasan……… 221

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan……… 223

5.1 Saran……….. 225

5.3 Implikasi Teoritis……… 225

5.4 Implikasi Praktis………. 225 DAFTAR PUSTAKA

(3)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes……….. 29

2.2 Konsep Petanda dan Penanda………...31

2.3 Elemen-elemen Makna Saussure………33

2.4 Diagram Komponen Tanda………39

2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes………...41

2.6 Tingkat Pertandaan……….42

2.7 Metabahasa……….42

2.7 Konotasi………..43

2.8 Teori Metabahasa dan Konotasi……….43

2.9 Poros Paradigma dan Sintagma………..41

2.10 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat……..41

4.1 Gambar Ilustrasi Pertama………81

4.2 Gambar Ilustrasi Kedua………. .86

4.3 Gambar Ilustrasi Ketiga………. .91

4.4 Gambar Ilustrasi Keempat………. .97

4.5 Gambar Ilustrasi Kelima……… 103

4.6. Gambar Ilustrasi Keenam………...108

4.7 Gambar Ilustrasi Ketujuh………... 113

4.8 Gambar Ilustrasi Kedelapan……….. 118

4.9 Gambar Ilustrasi Kesembilan………. 124

4.10 Gambar Ilustrasi Kesepuluh………... 129

4.11 Gambar Ilustrasi Kesebelas……… 134

4.12 Gambar Ilustrasi Keduabelas………. 140

4.13 Gambar Ilustrasi Ketigabelas………. 145

(4)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

(5)

DAFTAR LAMPIRAN

- Ilustrasi Jitet Koestana

- Dokumentasi Penelitian

- Biodata Peneliti

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Konteks Masalah

Berdiri pada era pergolakan orde lama menuju orde baru, tepatnya pada tahun 28 Juni

1965 turut mendirikan harian Kompas dengan pemimpin umumnya adalah Petrus Kanisius

Ojong (1920 – 1980), sebelumnya adalah Pemimpin Redaksi Harian Star Weekly dan Keng

Po. Bersama dua orang temannya Jakob (Jakobus) Oetama – sebelumnya Pemimpin Redaksi

Surat Kabar Penabur dan Frans Seda, mereka mendirikan sebuah surat kabar yang

memberikan nafas baru dalam keadilan. Pada awalnya harian ini direncanakan bernama

Bentara Rakyat, namun sebelum rilis, berdasarkan wawancara dengan Frans Seda, Presiden

Soekarno meminta namanya diubah menjadi harian Kompas(Penerbit Kompas). Kompas yang

berarti penunjuk arah. Sebelum Kompas (Bentara Rakyat), pada Agustus 1963 mereka

mendirikan sebuah majalah yang bernama Intisari. Sesuai dengan namanya, majalah ini

merangkum semua bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi dunia menjadi sebuah saripati

informasi.

Media massa merupakan sebuah ikhtisar informasi yang sangat penting sebagai

suplemen pengetahuan mengenai informasi yang berkembang saat ini. Mulai dari jatuhnya

Presiden Hoesni Mobarrok, menyebarnya virus endemik Ebola di wilayah Afrika, Revolusi di

Mesir, terpukulnya raksasa-raksasa ekonomi Eropa pada saat masa resesi ekonomi, dan

pelantikan Presiden RI – Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Sedemikian pentingnya

informasi menjadikan manusia yang menguasai informasi adalah manusia yang beruntung.

Napoleon pernah berkata, hear, read, and look an information from up and down from left to

right to seize the world (dengar, baca, dan carilah informasi dari atas ke bawah dari kiri ke

kanan untuk menaklukan dunia).

Harian Kompas dengan slogannya “Amanat Hati, Nurani Rakyat” menjadi sebuah

media massa yang memberikan cahaya pada pekatnya informasi mengenai perkembangan

pemerintahan. “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang.

Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, diantaranya lewat media massa,” ujar

Jakob Oetama pada penutupan tahun 1978 (Sularto, 10 : 2011). Sebuah harapan untuk

(7)

kaum papa dan mengingatkan pemerintah juga para kaum berada. Medium is the extension of

men, media adalah kepanjangan tangan dari masyarakat. (dalam Sularto, 18 : 2011).

Kompas memiliki sebuah rubrik yang bernama Opini. Rubrik ini berisikan kumpulan

pemikiran para cendekiawan dan kumpulan hasil seni para redaktur artistik Kompas. Ilustrasi

merupakan sebuah penggambaran harapan masyarakat yang tergambarkan dalam sebentuk

komunikasi visual.Dalam rubrik tersebut terdapat ilustrasi dan karikatur yang menjadi

penggambaran mengenai realitas pada masa itu. GM Sudarta sendiri merupakan pembuat

ilustrasi pertama di harian Kompas. Ilustrasi mempunyai peran untuk melakukan kritikan

satir terhadap pemerintah yang pada saat itu media sangat diawasi oleh pemerintahan.

Ilustrasi sendiri menurut KBBI adalahgambar (foto, lukisan) untuk membantu

memperjelas isi buku, karangan, dsb; gambar, desain, atau diagram untuk penghias (halaman

sampul dsb); (pen-jelasan) tambahan berupa contoh, bandingan, dsb untuk lebih

memperjelas paparan (tulisan dsb); (KBBI, 1995 : 78). Ilustrasi sendiri mulai berkembang

pada Eropa Barat, khususnya di Jerman, Pada awalnya ilustrasi digunakan hanyak untuk

merekam sebuah peristiwa penting. Pada abad ke – 16 ilustrasi terus mengalami

perkembangan hingga akhirnya pada era tersebut pemerintahan memasukkannya ke dalam

sebuah mata pelajaran. Munculnya Albert Durer, Hans Burgkmair, Altorfer dan Hans

Holbein merupakan titik balik perkembangan ilustrasi. Hingga akhirnya pada abad ke – 17,

Rembrandt menjadi pionir terdepan dalam mengembangkan ilustrasi meliputi berbagai aspek

khususnya media massa.

Sebuah ilustrasi menurut Yasuo Yoshitomi, kartunis dan Ketua Komite SeleksiThe

9th Kyoto International Cartoon Exhibition, kartun/ilustrasi punya makna lebih. “Maknanya

sangat dalam. Kita harus berpikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujar nya

(Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi memiliki dua ciri utama, yaitu menghadirkan

ironi dan bersifat satir. Sifat inilah yang kemudian akan menggerakkan hati dan membuat kita

bercermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbulkan harapan. Bahwa belum

terlambat bagi kita untuk memperbaikinya (Media Indonesia, 8 September 2010).

Media massa dan ilustrasi merupakan sebuah perpaduan hubungan yang pas. Media

massa membutuhkan ilustrasi untuk semakin menegaskan isi pemberitaan yang ada. Pada saat

ini ilustrasi yang terdapat di harian Kompas merupakan penggambaran dari realitas yang

terjadi saat ini. Misalnya contoh sebuah ilustrasi Jokowi dan Jusuf Kalla yang membawa

(8)

Indonesia bergerak maju dan lebih baik perkembangannya ke depan. Illustrator yang

menghasilkan ilustrasi tersebut adalah Jitet Koestana. Beliau merupakan seorang ilustrator

yang telah melahirkan banyak penghargaan juga ilustrasi. Salah satu penghargaan yang

dimilikinya adalah Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai Penerima

Penghargaan Terbanyak di sebuah kompetisi kartun internasional.

Jitet Koestana lahir pada tanggal 19 Maret 1967. Beliau merupakan kartunis idealis

yang menggambarkan sebuah pengharapan terhadap ketidakadilan yang terjadi di

masyarakat. Ilustrasi merupakan keahlian yang didapat melalui proses pembelajaran pribadi.

Tujuan awal berkarya adalah untuk kesenangan hati dan menyuarakan suara mereka yang

lemah lewat kartun ataupun ilustrasi. Semakin luas ilustrasiitu diperlihatkan, semakin banyak

orang yang tahu (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi yang bagus tak hanya punya

teknik yang bagus. Ia mengibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak hanya berdaging,

berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus memiliki roh dan hati. “Tidak cuma mengandung

pesan, tapigagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela kelangsungan hidup

manusia.” (Media Indonesia, 8 September 2010).

Menurut catatan Efix Mulyadi, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang,

tapi juga ilustrasi yang tajam mengkritik sekaligus memberi humor yang bernas. Kedalaman

makna itulah yang akhirnya membuat karya ilustrasi Jitet Koestana sering menjadi alat

pengritik media untuk pemerintahan (Media Indonesia, 8 September 2010).

Titik balik perjalanan sejarah ilustrasi dimulai pada akhir abad 18, muncul sebuah

Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan

fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya

bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator

menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai

tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai

seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina.

Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya

mencerminkan gabungan dari keduanya.

Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah

pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre

(9)

menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku tersebut di desain oleh para

seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah

Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain

yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.

Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan

aktivitas-aktivitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan

untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis

dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi

sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri.

Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator

sebagai author itu sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri.

Pada Indonesia sendiri ilustrasi menjadi sebuah peranan dalam pergerakan sosial.

Pada 1945 ilustrasi mulai menjadi simbol perlawanan. Dimulai dari ilustrasi atau poster

legendaris dengan slogannya. “Boeng, ayo boeng,” yang menjajah jalan-jalan dari banyak

kota di Jawa menjadi sebuah titik balik bergeraknya seni sebagai media revolusi. Desain dari

ilustrasi dibuat oleh pelukis Sudjojono, sementara tulisannya diambil dari puisi Chairil

Anwar. Pada awalnya ilustrasi dibuat atas perintah Presiden Soekarno menjadi sebuah sarana

efektif untuk membakar semangat para pemuda.

Pemerintahan Orde Baru Soeharto sesungguhnya adalah pemerintahan yang sangat

sadar akan kekuatan propaganda melalui berbagai jenis media komunikasi, baik audio

maupun visual. Bahkan sejak awal berkuasa pun Soeharto berpropaganda

mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia, dan membesarkan jasa dirinya dan

Angkatan Darat, dalam persitiwa G-30S-PKI. Pada masa Orde Baru ilustrasi dan poster

bersama baliho pembangunan, digunakan secara efektif untuk masyarakat luas, hingga

pelosok desa melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) dan

pameran pembangunan. Ilustrasi-ilustrasi dan poster politik terkait kampanye Pemilu tercatat

dalam buku Pemilu dalam Poster(Suwondo, Budiman, Pradjarta, 1987, hal.26). Tercatat

bahwa kontestan yang mampu menampilkan desain ilustrasi dan poster dengan warna-warna

menarik dan ‘bermodal’ adalah kontestan Golkar. Keunggulan modal dan keunggulan politik

yang tak imbang dibandingkan kontestan Pemilu lainnya disindir dalam buku ini dengan

sebutan “Pesta Demokrasi Golkar”. Kampanye Keluarga Berencana dan Imunisasi di masa

(10)

adalah ilustrasi “Imunisasi, Perlu untuk Semua Bayi”. Ilustrasi dalam poster ini menampilkan

foto Ibu Tien mendampingi “Bapak Presiden” yang sedang meneteskan obat Imunisasi Polio

pada bayi, dalam rangka Hari Anak-Anak Nasional 1986. Rancangan poster itu dibuat ulang

pada 1991, dengan dibubuhi tanda tangan Soeharto pada bagian bawah poster. (Jurnal Poster

Aksi, 2013).

Pada masa represif Orde Baru ini pula bermunculan poster berisikan ilustrasi

perlawanan anti-propaganda Soeharto. ilustrasi perlawanan ini berkembang sejalan dengan

bertumbuhnya gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bertumpu di berbagai Lembaga

Swadaya Masyarakat maupun perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru itu sekitar tahun

1980an muncul kalender poster “Tanah untuk Rakyat” yang dirancang oleh Yayak ‘Kencrit’

Ismaya. Kalender satu tahun dalam bentuk satu lembar ilustrasi poster ini tampil dalam gaya

ilustrasi yang sarkastik. Karena rancangannnya ini maka aparat pemerintah mencari-cari

Yayak hingga akhirnya dia terpaksa pindah ke Jerman. Pada 2009 di Taman Ismail Marzuki,

Jakarta, pernah diadakan sebuah pameran “Grafis Melawan Lupa” yang menampilkan

beragam media desain grafis, khususnya poster-poster perlawanan untuk menggerus

propaganda Orde Baru yang sangat masif. Salah-satu poster yang ditampilkan adalah poster

perlawanan yang cukup ekspresif dirancang oleh Semsar Siahaan, berjudul Marsinah (koleksi

Harry Wibowo). Sebuah poster untuk memperingati dibunuhnya aktivis buruh Marsinah oleh

aparat negara. (Jurnal Poster Aksi, 2013).

Seni dalam pergerakan perubahan sosial sejalan dengan pemikiran Karl Mar. Walau

tidak memusatkan kajiannya pada seni, namun seni menjadi bagian perhatiannya. Marx

melihat seni merupakan representasi dari superstruktur yang sangat dipengaruhi oleh basis

ekonomi masyarakat, oleh karenanya seni dapat menjadi elemen aktif bagi perubahan sosial.

Karena itu, Marx mencerca habis seni masa Yunani yang memuja estetika dari sebuah bentuk

kebudayaan borjuis. (Terry Eagleton, 2002: 100).

Media massa dalam hal ini termasuk bagian dari komunikasi massa menjadi sebuah

pionir perubahan. Ilustrasi disini juga mengambil peran untuk membuka mata para stake

holder di pemerintahan untuk mengingat fungsi dan perannya kembali. Media massa juga

berperan dalam perubahan dalam struktur kemasyarakatan ataupun perubahan dalam

kesejahteraan sosial masyarakat. Komunikasi massa yang diinisiasi oleh media massa yang

bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat adalah kunci kebebasan pers yang adil dan

(11)

Komunikasi massa bagi Lasswell (dalam Nurudin, 2007:78), mempunyai peran untuk

pengawasan. Artinya, menunjuk pada pada pengumpulan dan penyebaran informasi

mengenai kejadian-kejadian yang ada disekitar kita. Fungsi pengawasan bisa dibagi menjadi

dua, yakni pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Rubrik opini dan ilustrasi

ini menjadi tempat kegelisahan para pemikir dan cendekiawan menumpahkan kegelisahan

dan kegetiran mereka, mengenai nasib negara yang mereka cintai.

Surat kabar ini memiliki sebuah rubrik dalam tata letak majalah. Rubrik tersebut

adalah opini dan ilustrasi. Dua rubrik ini telah berperan dalam mengawasi berjalannya tata

pemerintahan secara baik, dengan para pengisinya seperti Soe Hok Gie, Mochtar Lubis, dan

lainnya. Dalam rubrik opini ini, rubrik ilustrasi juga mendapatkan porsi penting dalam

halnya pressure group kepada pemerintahan.Dengan kritikan yang bersifat satir dan

membangun, ilustrasi pada surat kabar, khususnya harian Kompas menjadi semacam sebuah

penggambaran mengenai realitas, potret harapan dalam kemajuan negara, dan kritik keras

terhadap pemerintahan.

Apa yang menjadi harapan dalam masa lalu, khususnya kebebasan untuk

menyampaikan informasi kepada khalayak luas menjadi sebuah bumerang yang disalah

gunakan. Media massa pada era reformasi saat ini mengalami fase kemunduran dalam

informasi. Khususnya informasi atau isi yang menjadi penginspirasi masyarakat malah

digunakan untuk kepentingan pemilik modal (pemilik media) dalam menyebarkan

paham-pahamnya. Khususnya pada saat Pemilihan Presiden Republik Indonesia beberapa waktu

yang lalu, para pemimpin partai sekaligus pemilik media menjadikan media massa untuk

melakukan kampanye-kampanye yang menyalahi aturan. Media menjadi corong kampanye

terbaik.

Salah satu media berwarna merah secara eksplisit menggambarkan tingkah dan

perilaku keburukan salah satu kandidat yang menjadi musuh utama dalam pergelaran

Pemilihan Umum 2014. Ada pun dengan cara merangkai pemberitaan pada salah satu

kandidat yang secara tidak sengaja mengikuti proses kegiatan agama minoritas. Media

pesaing tersebut langsung membombardir pemberitaan di medianya dengan isu-isu SARA

(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ihwalnya, sebuah perusahaan media atau pers

harus memberikan informasi yang mendidik kepada masyarakat, bukan menyesatkan

masyarakat dengan informasi yang belum jelas verifikasinya. Secara langsung media merah

(12)

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka

atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis

kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa

atau cacat jasmani. (Dewan Pers, Kebijakan).

Jelas-jelas secara tekstual menyuratkan bahwa seorang wartawan atau jurnalis

diharamkan untuk menyinggung ranah-ranah merah, dimana hal yang ditakutkan adalah akan

munculnya konflik horizontal, baik itu suku, agama, ras, maupun antar golongan.

Pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk hasrat atau berahi untuk berkuasa. Sama

seperti zaman orde baru yang menggunakan stasiun televisi nasional TVRI.

Dalam kurun waktu 20 tahun pertama, kebangsaan Indonesia mengalami ujian yang

berat sebagai akibat dari eksperimen politik yang dikembangkan oleh para pemimpin

Indonesia pada waktu mengelola kekuasaan, khususnya bagaimana demokrasi berkembang di

Indonesia. Demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi slogan

pengampanyean saja. Bagaimana konsentrasi pembangunan perkembangan kota yang

berfokus di wilayah Jawa saja. Akibatnya periode itu membuka ruang bagi tumbuhnya

aspirasi separatis yang disebabkan oleh karena ketidakpuasan daerah terhadap kepemimpinan

politik di Jakarta ketika itu. Akibatnya tujuan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia

sejak awal untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur terabaikan oleh proses

tersebut.

Media massa dengan peran sertanya juga mempunyai fungsi-fungsi penting untuk

mengawal segala kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang keliru diberikan saran,

kebijakan pemerintah yang baik terus didukung. Media massa berperan menjadi watch dog

(anjing penjaga) agar pemerintah tidak menyeleweng dari apa yang diharapkan. Akan tetapi

media massa baik cetak maupun elektronik mengalami krisis identitas akibat kapitalisme

menyerang mereka. Media tidak berdaya menghadapi tuntutan zaman yang mengedepankan

perekonomian yang kuat. Pada Pemilihan Presiden 2014, black campaign menjadi isu yang

hangat diperdebatkan oleh banyak pihak. Pusat penelitian dan pengembangan (Litbang)

Kompas mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai ‘kampanye hitam’ . Hasilnya adalah

sebanyak 28,6 persen setiap hari mendengar mengenai kampanye hitam, 40,4 persen hanya

(13)

mendengar kampanye hitam. Bisa dikatakan masyarakat Indonesia telah diterpa oleh

gelombang kemunduran demokrasi. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).

Pola kampanye hitam dan kampanye negatif yang digunakan oleh kedua belah pihak

melalui media sosial (media elektronik) dan media massa bertujuan untuk menjatuhkan lawan

politik tiap capres. Materi-materi kampanye berupa suku, agama, ras, dan antar golongan

serta rekam jejak calon yang tendensius menjadi isu dominan ketimbang mengkritisi gagasan,

visi-misi, dan program pemerintah capres. Dengan kata lain, materi kampanye hitam dan

kampanye negatif memang diarahkan untuk menyerang pribadi capres. (Litbang Kompas, 9

Juni 2014).Terlihat intrik dan manuver para political communicatorjauh diambang

kewajaran. Terlihat ada sebuah tujuan untuk membagi Indonesia menjadi dua kubu,

khususnya membelah Indonesia menjadi dua kubu beragama, agama a versus agama b.

Selain melihat jumlah penduduk Indonesia yang terimbas dari kampanye hitam,

Litbang Kompas membuat penelitian mengenai efek dari kampanye hitam itu sendiri.

Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama

bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye

menyinggung secara langsung realitas kehidupan bersama bangsa Indonesia. Masyarakat

akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Lebih dari separuh bagian (55,5 persen) khawatir kampanye hitam yang dilakukan

menyerang para capres bisa mengancam keamanan selama proses pemilihan presiden

berjalan. Secara emosional, kampanye hitam juga berpotensi memicu kebencian antar

pendukung capres. Sebagian besar (61,6 persen) responden khawatir dengan hal ini. Bahkan

lebih jauh lagi, 64,0 persen responden menuturkan kampanye hitam yang kian gencar

dilakukan bisa memicu konflik terbuka antar pendukung capres. Jika ini yang terjadi, tidak

mustahil konflik ini akan melebar dan bisa memicu gejolak politik yang lebih besar lagi.

Lebih dari separuh bagian (58,3 persen) responden khawatir kampanye hitam bisa

mengancam persatuan bangsa.

Kekhawatiran ini mencuat karena isu-isu yang diangkat dalam kampanye hitam sudah

melibatkan sentimen-sentimen kelompok yang berbasis pada rasa primordial dan fanatisme

kepada capres. Sentimen primordial yang negatif akan memicu kebencian terhadap kelompok

(14)

berdampak pada rusaknya sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. (Litbang Kompas, 9 Juni

2014).

Permainan politik dengan tujuan membelah masyarakat menjadi berkubu-kubu tidak

hanya melalui media televisi saja. Media cetak juga menjadi sarana utama untuk

menyebarkan paham-paham sesat. Salah satunya media yang terbit saat berlangsungnya

pemilihan presiden 2014, tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat menjadi media

propaganda untuk mendiskreditkan salah satu calon presiden, khususnya dalam bidang

agama. Obor Rakyatmemfitnah dan menumbuhkan benih kebencian yang telah mencederai

demokrasi. Dewan Pers (Kompas, 16 Juni 2014) menegaskan, tulisan-tulisan yang dimuat

dalam tabloid Obor Rakyat bukanlah sebuah karya jurnalistik yang dikerjakan dengan

menghormati kode etik jurnalistik, diantaranya tidak menyinggung suku, agama, ras, dan

antar-golongan. Penyebaran tabloid yang secara simultan dan terus menerus di wilayah

pesantren, khususnya di wilayah pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terlihat

bertujuan untuk memecah belah umat islam dengan isi berita yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan. Salah satu pemberitaan Jokowi di tabloid Obor Rakyat :

Kelompok penginjil Kristen dan keuskupan katolik di Indonesia menyandang dana

habis-habisan untuk Jokowi menjadi Presiden RI. Mereka yakin, jika Jokowi menjadi presiden,

target pertumbuhan gereja dan pemurtadan di Indonesia berjalan lebih cepat. Jokowi sangat

mungkin melakukan semua itu atas nama toleransi. Jokowi sebagai pemeluk Islam sinkretis,

relatif tidak punya tanggung jawab akan masa depan mayoritas Muslim, karena yang ada

dibenaknya hanya bagaimana mencapai puncak kekuasaan tertinggi. Obor Rakyat,

Edisi 01 (Mei 201 4).

Pemberitaan tersebut merupakan salah satu proses degenerasi kebangsaan rakyat

Indonesia. Perjuangan untuk mencapai kebangsaan secara tidak langsung terkikis sedikit

demi sedikit akibat nafsu untuk berkuasa. Proses propaganda yang berjalan masif tersebut

mencederai ciri-ciri bangsa yaitu saling menghargai dan menghormati. Bagaimanapun

solidaritas dan rasa kebersamaan itu tidak terbangun atas dasar asal usul, suku bangsa, agama,

bahasa, geografi, melainkan pengalaman sejarah dan nasib bersama. Pilar utama yang paling

penting dari kebangsaan adalah persatuan dan kemajemukan (pluralisme).

Harian Kompas sesuai dengan cita-citanya, amanat hati nurani rakyat menjadi sebuah

(15)

Pemilihan Presiden tetap menganut azas keberimbangan, cover both sides. Masing-masing

calon mendapat porsinya masing-masing sehingga Kompas berhasil menjalankan peran

sebagai pemberi informasi kepada masyarakat. Siapa yang hendak dipilih berpulang kembali

ke masyarakat. Kompas media yang berpihak, berpihak pada kebenaran. Lalu di rubrik opini

Kompas tetap memberikan ruang untuk para cendekiawan menyampaikan pendapat untuk

kebaikan negara. Pada rubrik opini, Kompas juga menyediakan sebuah ‘penyegaran’ dengan

ilustrasinya yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan, persaudaraan, dan

khususnya mengenai perkembangan politik.

Ilustrasi yang terdapat dalam rubrik Opini harian Kompas merupakan sebuah

manifestasi harapan bangsa. Harapan bangsa yang ingin mendapatkan kedamaian dan serta

dalam keadilan politis. Mereka yang sebelumnya sudah mendapatkan sebuah degenerasi

proses politis, yang memecah bangsa menjadi dua kubu semakin merana melihat tingkah laku

para lembaga amanat rakyat

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti ilustrasi “Ilustrasi

Jitet” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang

keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir

ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di

dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai

pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk

desain komunikasi visual (Pilliang, 2012 : 337).

“Ilustrasi Jitet ” merupakan suatu produk komunikasi visual. Pesan yang ingin

dimaknai adalah pesan kebangsaan. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi

‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah

pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode

tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tapi bentuk-bentuk komunikasi

visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan

sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009 :xi).

Jitet Koestana merangkai sebuah hubungan antara situasi realitas yang terjadi pada

saat ini, perkembangan dunia, dan harapan-harapan masyarakat dalam sebuah kanvas ilustrasi

yang memberikan makna melalui tanda. Tanda-tanda menjadi sebuah rangkaian-rangkaian

(16)

mencakup kondisi realitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pemaknaan terhadap pesan

“Ilustrasi Jitet ” merupakan bentuk imaji kebangsaan rakyat Indonesia.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih

lanjut adalah sebagai berikut :

1. “Bagaimanakah representasi Imaji Kebangsaan Indonesia (Impian Kebangsaan Indonesia)

di dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”

2. “Mitos apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam ilustrasi

karya Jitet Koestana ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis tanda-tanda yang terdapat di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet

Koestana.

2. Mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet

Koestana

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika

Signifikasi Roland Barthes – dengan paradigma konstruktivis. Integrasi kajian semiotika dan

paradigma konstruktivis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan, khususnya di kajian Semiotika, cultural studies, dan kajian Ilmu Komunikasi.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami

pemaknaan di dalam sebuah karya seni ilustrasi, agar karya seni ilustrasi bisa dimaknai tidak

hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang

(17)

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan

kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya semiotika. Penelitian ini juga dapat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui adanya kecemasan terhadap sebelum datangnya rasa sakit pada penderita rematik yang mengalami kecemasan

Dari hasil analisis menggunakan one way ANOVA tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara derajat merokok dengan WHR.Namun berdasarkan penelitian Canoy et

☑ Menunjukkan contoh sederhana bahwa Allah memiliki sifat Ar Rohman, Ar Rohiim dan As Sami’ melalui hasil ciptaan-Nya. KKM

Tujuan khususnya ialah: (1) menganalisis faktor manusia pada kesiapsiagaan safety driving pengemudi mobil pribadi di rute Tol Cipali; (2) menganalisis faktor

ALAT, BAHAN DAN METODE PENELITIAN... METODE PENELITIAN

Pada kelompok yang diberikan labu siam dan madu didapatkan tekanan darah sistolik sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) nilai p value 0,007 dengan

Subyek penelitian ini adalah 100 mahasiswa laki-laki Dayak Kalimantan Barat yang menuntut ilmu di Yogyakarta, yang terdiri dari 50 orang yang bertato dan 50 orang yang tidak

Pentingnya kematangan karier bagi anak binaan dan pengaruh dukungan sosial orangtua terkait kesuksesan di masa depan, mendorong peneliti untuk meneliti hubungan