• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Sistem Pemilu dengan Pan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Antara Sistem Pemilu dengan Pan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Sistem Pemilu dengan Pancasila

A. Makna Sistem Pemilihan Umum Langsung

Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 setelah perubahan mengatur mengenai mekanisme demokrasi politik, yaitu ketentuan-ketentuan tentang sistem pemilihan anggota legislatif DPR, DPD atau DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, dalam berbagai pasal, yang sebelumnya tidak dituangkan secara tegas dalam UUD 1945 sebelum perubahan.

Dimasukkannya ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum ini mencerminkan telah terjadi interprestasi terhadap sila ke-empat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan) secara komprehensif.

Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti lembaga legislatif DPR, DPD atau DPRD, atau pejabat publik tertentu seperti Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu kursi di lembaga legislatif/parlemen atau kursi pejabat publik tertentu. Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif atau pejabat publik tertentu, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam bahasa yang sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi .

Joko J. Prihatmoko mengutip Aurel Croissant mengemukakan tiga fungsi pokok pemilu. Pertama, fungsi keterwakilan (representativeness). Kedua, fungsi integrasi, yaitu fungsi terciptanya penerimaan partai politik satu terhadap partai politik lain dan masyarakat terhadap partai politik. Ketiga, fungsi mayoritas yang cukup besar untuk menjamin stabilitas pemerintah dan kemampuannya untuk memerintah (governability) .

Perubahan UUD 1945, dalam konteks ini, menjadi langkah yang sangat maju bagi Indonesia untuk menjadi suatu negara yang demokratis. Sebelum perubahan, UUD 1945 tidak

(2)

Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasal ini selanjutnya menjadi payung hukum bagi

terbentuknya berbagai perundang-undangan baru di bidang politik, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD).

B. Makna Pancasila sila ke-4

Makna sila ke empat Pancasila yang menyiratkan adanya sistem demokrasi, kalau diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan, permusyawaratan dan kedaulatan rakyat, menurut Drs. Kaelan bisa diformulasikan sebagai berikut:

1. Arti yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik.

2. Pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan.

3. Dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi. Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.

4. Dengan demikian maka dalam sila keempat senantiasa terkandung dasar bagi cita-cita kefilsafatan yang terkandung dalam sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

(3)

dan hanya dipunyai oleh bangsa Indonesia yang berbeda dengan prinsip yang mendasari demokrasi barat ataupun komunis/sosialis yang mendasari negara-negara Eropa Timur, China. Karena itu kita bisa membentuk persepsi baru tentang Pancasila sebagai konsep dasar bangsa Indonesia dalam melaksanakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan

berdaulat dengan sistem penyelenggaraan Negara secara demokratis yaitu sesuai dengan sila ke-4 dari Pancasila – Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan – tapi sistem demokrasi yang dibangun harus dalam koridor atau dalam ruang lingkup sila-sila yang lain dalam Pancasila.

Suatu sistem demokrasi yang ber-Ketuhanan Maha Esa (sila-1 sebagai prinsip keharusan mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kebebasan memilih agama dan kepercayaan masing-masing), yang ber-Peri Kemanusian Yang Beradab (sila-2 sebagai prinsip keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip hak-hak azasi manusia), yang tetap menjaga Persatuan Indonesia (sila ke-3 prinsip keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk menjaga prinsip satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia), yang mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 yang mengharuskan Negara menjamin dan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.)

Apabila kita meterjemahkan Pancasila seperti tersebut diatas kita baru bisa melihat Pancasila sebagai ideologi yang unik yang mungkin baru dimulai di Indonesia yang mungkin bisa menjadi ideologi yang universal kalau negara dan bangsa Indonesia mampu merealisasikan dalam bentuk nyata. Prinsip demokrasi yang punya koridor yang sangat jelas pada batas-batas sila yang lain dalam Pancasila. Bukan prinsip demokrasi untuk demokrasi tapi demokrasi yang punya tujuan mulia. Bukan juga demokrasi Barat yang berpasangan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan kapitalisme.

Pancasila adalah ideologi yang juga berarti suatu sistem ide yang dijadikan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai prinsip dasar negara yang diharapkan menjadi “basic belief” ataupun “way of life” sudah pasti dibuat sesempurna mungkin jadi tidak harus dirubah dari waktu ke waktu, kalau bisa sistem ide ini memang dibuat sekali tapi sudah bisa mencakup periode yang selama-lamanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

C. Hubungan antara sistem pemilihan umum langsung dengan Pancasila sila ke-4

(4)

perubahan UUD 1945 saat itu yang berpendapat bahwa sebaiknya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD. Sehingga pemiihan umum dilakukan serentak sekali dalam lima tahun, bukan dua kali dengan memisahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tersendiri yang dilakukan sesudah pemilihan anggota legislatif. Kalau itu dilaksanakan, akan ada lima kotak suara yang harus diisi, yaitu kotak suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Ada banyak keuntungan seandainya pemilihan umum diadakan serentak sebagaimana yang difikirkan oleh pelaku perubahan UUD 1945. Di antaranya, akan terjadi efisiensi biaya, memperpendek tensi suhu politik, dan ketegangan sosial akibat Pemilu. Selain itu, dengan diberlakukannya pemilihan umum serentak maka koalisi antarpartai bisa dilakukan sebelum pemilihan umum, bukan setelah Pemilu Legislatif.

Dalam kaitannya dengan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, UUD 1945 menentukan syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para calon Presiden dan Wakil Presiden, sekaligus bagaimana mekanisme yang harus dijalankan dalam pemilihan tersebut. Secara khusus UUD 1945 setelah perubahan mengatur pemilihan Presiden, yaitu dengan keharusan melakukan penggabungan dalam satu paket. Alasan yang berkembang saat itu diantaranya adalah untuk menyederhanakan partai politik. Dengan diharuskan calon Presiden dan Wakil Presiden satu paket maka bisa dilakukan koalisi antarpartai untuk memenangkan calonnya.

Pasal 6A Ayat (1)

(5)

Pasal 6A Ayat (2)

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Pasal 6A Ayat (3) selanjutnya merupakan buah pemikiran yang sangat mendalam dari pelaku perubahan UUD 1945 untuk memecahkan persoalan yang muncul akibat beraneka ragamnya penduduk Indonesia. Dengan ayat tersebut diharapkan bahwa Presiden dan wakil Presiden yang terpilih mewakili seluruh elemen masyarakat. Artinya, bagaimana sistem yang dibangun tidak dimonopoli oleh suku, agama, golongan, atau daerah tertentu saja, melainkan mencakup seluruh bangsa Indonesia.

Pasal 6A Ayat (3)

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.“

Demikian pula pada Pasal 6A Ayat (4). Para pelaku perubahan UUD 1945 saat itu berpendapat bahwa keharusan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden memperoleh suara lebih dari lima puluh persen adalah untuk memperkuat legitimasi seorang Presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Pasal 6A Ayat (4)

“Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai

Presiden dan Wakil Presiden.”

(6)

Hal inilah yang menimpa Calon Presiden Al Gore dari Partai Demokrat pada 2000. Saat itu, popular votes Al Gore lebih unggul daripada Bush. Dia memperoleh 48.595.533 suara dan Bush hanya 48.363.922 suara. Al Gore unggul 231.611 suara. Artinya, suara rakyat secara langsung mendukung Al Gore sebagai Presiden. Namun, peraturan AS menyebutkan, kepastian siapa yang menang ditentukan oleh electoral collage. Rakyat ke kotak suara untuk memilih elector, bukan memilih Presidennya secara langsung.

Selain melakukan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden untuk mengemban tugas pemerintahan (eksekutif), rakyat juga mempunyai hak untuk memilih para wakil-wakilnya di lembaga perwakilan, yaitu DPR dan DPD untuk mengemban tugas legislatif. Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan mengatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” Sementara pengisian anggota DPD diatur di dalam Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.”

Proses pemilihan umum langsung tentunya tidak terlepas dari dasar negara RI yaitu Pancasila, terutama sila ke-4 Pancasila. Apabila kita lihat antara keterkaitan antara sistem pemilihan umum langsung dengan sila ke-4 Pancasila, maka kurang adanya kesesuaian.

Setelah empat kali amandemen, sila ke 4 dari Pancasila yang bisa diartikan sebagai sistem pemerintahan yang demokratis yaitu sistem pemerintahan yang mendasarkan diri kepada

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, telah tercermin dalam pasal-pasal di UUD’45, sebagai berikut:

1. BAB II – MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, pasal 2 s/d pasal 3. 2. BAB III – KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, pasal 4 s/d pasal 16.

3. BAB IV – DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG, dihapus pada amandemen IV – 2002. 4. BAB V – KEMENTERIAN NEGARA, pasal 17

5. BAB VI – PEMERINTAH DAERAH, pasal 18, 18A, dan 18B

6. BAB VII – DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Pasal 19 s/d pasal 22B 7. BAB VIIA - DEWAN PERWAKILAN DAERAH, pasal 22C, 22D 8. BAB VIIB – PEMILIHAN UMUM, pasal 22E

9. BAB VIII - HAL KEUANGAN, pasal 23 s/d 23D

(7)

Pasal-pasal tersebut telah mengalami empat kali amandemen untuk sampai pada bentuk yang sekarang ini yang pada hakekatnya membagi kekuasaan negara untuk lebih berimbang diantara lembaga tinggi negara (MPR, DPR, DPD, BPK, Presiden dan Mahkamah Agung) sehingga kekuasaan tidak terpusat terlalu besar di Presiden (Eksekutif) saja seperti yang tercermin pada UUD’45 sebelum amandemen.

Kalau kita menterjemahkan sila ke-4 dari Pancasila - kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan – adalah sistem demokrasi untuk

penyelenggaraan Negara, sudah barang tentu amandemen UUD’45 yang berkaitan dengan ketatanegraan ini adalah kemajuan yang sangat besar dibandingkan dengan UUD’45 versi aslinya yang kekuasaan Negara terlalu besar berada di Presiden (Eksekutif).

Menurut Drs. Kaelan, sila ke-4 Pancasila dapat dimaknai sebagai berikut: Arti yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya

dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik, pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan

rumusan yang terdapat dalam sila keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan, dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi. Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan

kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.

Pada dasarnya didalam sila keempat Pancasila dijelaskan tentang kerakyatan yang diwakilkan sistem permusyawaratan dalam perwakilan. Dengan demikian, pemilihan presiden harusnya dilakukan dalam forum permusyawaratan perwakilan. Jadi seharusnya pemilihan presiden dilakukan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sila ke-4 pada intinya adalah

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2004. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hatta, Mohammad. 2008. Demokrasi Kita. Bandung : Sega Arsy.

Riyanto, Astim. 2000. Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo.

Notonagoro. 1994. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta : Bumi Aksara. Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta ; LP3ES.

Moh. Mahfud MD. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media dan Ford Foundation.

M.S., Kaelan, Drs. Filsafat Pancasila, Paradigma Yogyakarta, 1993

Sunoto. 1995. Mengenal Filsafat Pancasila-pendekatan melalui metafisika, logika dan etika. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

______, 1982. Mengenal Filsafat Pancasila-pendekatan melalui sejarah dan pelaksanaannya. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya.

Tersimpan dalam :

[online] http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/05/25/kedaulatan/

Sumber: Harian Kompas, Kamis 19 Februari 2009

Diposkan oleh Dyanna di 05:34 Label: Hubungan Antara Sistem Pemilu dengan Pancasila, Pancasila Sila Ke-4, Sistem Pemilihan Umum Langsung

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan untuk memenuhi permasalahan yang ada pada rumusan masalah, hasil dari perancangan dan implementasi sistem, serta

Peranan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Pembelajaran di kelas teori Praktikum di lab komputer Tugas Individual 1, 2, 3 dan 5.. Pembelajaran

• Bagi daerah yang telah melaksanakan Pemilukada Tahun 2015, penyusunan rancangan awal RKPD Tahun 2017 berpedoman pada arah kebijakan dan sasaran pokok RPJPD, serta memperhatikan

Results of the study found that the difference in temperature and time on brewed of aloe vera skin dried tea has effect of decrease the catechins content..

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidikipengaruhpenggunaan turbo elektrik diam dan berputar terhadap kadar emisi gas buang CO dan HC pada sepeda motor Honda

Berikut adalah hasil dari pengujian perubahan tegangan tembus yang telah dilakukan, dari pengujian ini kita dapat mengamati perubahan nilai tegangan dan arus saat terjadi fasa

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu persoalan syarat batas dengan persamaan diferensial parsial berupa persamaan Laplace dengan syarat batas homogen

Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan saat ini adalah pada variabel independen yang digunakan, dimana peneliti terdahulu menggunakan variabel kinerja perusahaan,