• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PRAGMATIK LINGUISTIK UMUM docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN PRAGMATIK LINGUISTIK UMUM docx"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, namun makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik. Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.

(2)

aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.

B.

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana pengertian pragmatik?

2.

Bagaimana perkembangan pragmatik?

3.

Bagaimana kajian pragmatik?

4.

Bagaimana hubungan pragmatik dengan linguistik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian pragmatik. 2. Untuk mengetahui perkembangan pragmatik. 3. Untuk mengetahui kajian pragmatik.

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pragmatik

Definisi pragmatik menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :

1. Crystal (1987: 120) menyatakan pragmatics studies the factors that govern our choice of language in social interaction and the effect of our choice on others. In theory, we can say anything we like. In practice, we follow a large number of social rules (most of them unconsciously) that constrain the way we speak. Pragmatik mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pilihan tersebut pada mitra tutur. Di dalam teori, kita dapat mengatakan sesuatu sesuka kita. Di dalam praktik, kita harus mengikuti sejumlah aturan sosial (sebagian besarnya tidak disadari) yang harus kita ikuti.

2. Levinson (1983: 7) memberikan definisi pragmatik sebagai the study of language from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-linguistic pressures and causes. Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya, pragmatik berusaha menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik.

3. Subroto (1999: 1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah semantik maksud. Dalam banyak hal pragmatik sejajar dengan semantik, karena keduanya mengkaji makna. Perbedaannya adalah pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal.

4. Wijana (1996: 2) mengatakan bahwa semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal.

(4)

bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).

6. Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2). Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).

7. Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.

8. Pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177).

9. Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu penutur.

B. Perkembangan Pragmatik

(5)

kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.

Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan H. John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).

Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.

Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.

Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).

C. Kajian Pragmatik 1. Tindak Tutur

a. Pengertian Tindak Tutur

(6)

functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Mau minum apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sudah pukul sepuluh. ia tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya. Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers) b. Jenis Tindak Tutur

Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.

1) Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku serak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “serak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum.

(7)

Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

2) TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif

Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:

TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa

yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.

TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar

atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.

TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengeritik, dan mengeluh.

TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang

disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.

TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.

Kalimat bermodus imperatif : Meja ini mempersempit jalan laluan. Performatif eksplisit : Bisa minta tolong menggesarkan meja. Performatif berpagar : Bisa tidak kita pindahkan meja in? Pernyataan keharusan : Anda harus memindahkan meja ini. Pernyataan keinginan : Aku ingin memindahkan meja ini. Rumusan saran : Bagaimana ya kalau meja ini

dipindahkan.

(8)

Isyarat kuat : Meja ini harus dipindahkan karena menghalangi jalan laluan.

Isyarat halus : Jalan laluan ini kok sempit ya? 3) Tindak Tutur Langsung-Tidak Langsung

Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.

Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:

TT-LH: “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.

TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.

TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut. TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.

Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).

Tindak tutur langsung (TT-L)

(9)

Tindak tutur harafiah (TT-H)

Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)

Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)

Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH) 2. Teori Implikatur

Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (utterance) pada dasamya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut adalah maksud atau proposisi yang biasanya tersembunyi dibalik tutur yang diucapkan dan bukan merupakan bagian langsung dari tutur tersebut. Pada gejala demikian apa yang dituturkan berbeda dengan apa yang diimplikasikan. Meskipun implikasi tidak dinyatakan secara nyata atau formal, tetapi keberadaannya justru berfungsi sebagai pengikat komunikasi antar penutur.

Setiap bentuk tuturan biasanya diasumsikan memiliki atau dilandasi suatu maksud tertentu. Maksud dari suatu ucapan seperti itulah yang disebut oleh Grice sebagai implicatum (apa yang diimplikasikan), yang kemudian diformulasikan dengan istilah meaning nonnatural (meaning nn). Sementara gejalanya disebut sebagai implicature. Secara nominal istilah ini mempunyai relasi dengan kata

implication (implikasi) yang artinya maksud, pengertian, atau keterlibatan.

Berdasarkan konsep yang terjabar tersebut, implikatur (percakapan) dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri: (1) implikasi tidak dinyatakan secara eksplisit, (2) Tidak memiliki hubungan mutlak dengan tuturan yang merealisasikannya (apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan), (3) Termasuk unsur luar wacana, (4) Implikatur dapat dibatalkan, (5) Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna

(multi interpretable), dan (6) Terjadi karena mematuhi atau tidak mematuhi prinsip

kerja sama dalam percakapan.

(10)

Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1983 : 101) berpendapat bahwa pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan dapat di rumuskan sebagai panduan untuk menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan itu disebut Grice sebagai maksim percakapan (maxims of conversation) atau prinsip-prinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa yang dilandasi kerja sama secara efisien. Kesatuan seluruh maksim percakapan yang berjumlah empat itu disebut prinsip kerja sama (co-operative principle). Keempat maksim tersebut sebagai tersebut:

a. Maksim Kualitas

1) Buatlah sumbangan anda sumbangan yang benar 2) Jangan mengatakan apa yang anda anggap salah.

3) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang cukup Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.

“Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!” “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”

Tuturan (1) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.

b. Maksim Kuantitas

1) Buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin seperti yang diperlukan dalam percakapan itu.

(11)

mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Untuk memperjelas pembahasan di atas, berikut beberapa contoh:

“Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasihan!”

“Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan penuh nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!”

Tuturan (1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambahi dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti contoh (2) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar maksim kuantitas.

c. Maksim Relevansi

1) Buatlah perkataan yang relevan

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama Grice. Sebagai ilustrasi atas penjelasan di atas perlu dicermati tuturan berikut:

Sang Hyang Tunggal : “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku

ini dalam hati!”

Semar : “Hamba bersedia, Ya Dewa.”

Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia, Ya Dewa”, benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “Namun

(12)

atas, kita dapat simpulkan bahwa tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.

Dan berikut contoh tuturan antara seorang dierktur dengan sekretarisnya yang melanggar maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.

Direktur : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”

Sekretaris: “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”

Dituturkan pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.

Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni, “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa sini semua

berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”. Dengan demikian tuturan di atas

dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya.

d. Maksim Cara

Bicaralah dengan jelas, dan khususnya:

1) Hindari kekaburan 2) Hindari ketaksaan 3) Berbicaralah singkat 4) Berbicaralah secara teratur

Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim cara. Berkenaan dengan itu, berikut beberapa contoh tuturan.

Kakak : “Ayo, cepat dibuka!”

Adik : “Sebentar dulu, masih dingin.”

(13)

memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula tuturan yang disampaikan si Adik, yakni “Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi . kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan presepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang dingin itu. Tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim cara dalam Prinsip Kerja Sama Grice.

Implikatur-implikatur yang dihasilkan dengan cara sekedar mematuhi maksim-maksim terhadap maksim-maksim-maksim-maksim tersebut dalam ujaran yang dipakai oleh Loise Cummings sebagai berikut:

(Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dam membersihkan dinding-dindingnya dengan air.)

(Para siswa telah lulus semua ujian mereka.)

Kepatuhan terhadap maksim cara dalam contoh yang pertama di atas menghasilkan implikatur bahwa dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan kemudian mulai membersihkan dinding-dindingnya dengan air – penutur ‘sedang bersikap teratur’ dalam menyajikan peristiwa-peristiwa dalam suatu rangkaian terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Dalam contoh kedua, dengan mematuhi maksim kualitas, penutur menghasilkan implikatur standar bahwa dia yakin para siswa telah lulus semua ujian – penutur sedang mengatakan apa yang dia yakini benar.

(14)

tidak mengungkapkan maksud mereka untuk melanggar maksim kepada pendengarnya. Kadang-kadang masalahnya adalah bahwa agar penutur dapat mematuhi satu maksim, dia harus melanggar maksim kedua. Dalam hal ini mari kita perhatian pertukaran percakapan berikut:

A. Apakah tukang pos belum datang?

B. Aku dengar anjing menggonggong beberapa menit yang lalu.

Jawaban B bisa dianggap melanggar maksim kuantitas – karena tidak memberikan informasi yang di perlukan oleh A. Namun demikian, agar B bisa memberikan informasi kepada A akan mengharuskan B untuk mengemukakan sesuatu yang bukti-buktinya yang memadai tidak dia miliki. Halini merupakan pelanggaran terhadap maksim kualitas. Dalam perbenturan semacam ini, maksim kualitas menang atas maksim kuantitas. B memilih menghasilkan ujaran yang memiliki kandungan informasi yang minimal, tapi merupakan isi informasi yang memberikan landasan pertama jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan A tentang suatu ujaran yang lengkap namun pada hakekatnya tidak dijamin keakuratannya. Berbagai macam implikatur yang dikemukakan Grice dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat berikut: daya batal (cancelability), daya kemustahilan (defeasibility), daya pisah (detachability), daya hitung

(calculability), dan konvensionalitas.

3. Teori Relevansi

Dalam pendekatan teori relevansi pada komunikasi, seluruh kerangka maksim Grice sepenuhnya digantikan oleh prinsip relevansi. Prinsip ini, menurut Sperber dan Wilson, mencapai penyederhanaan yang diperlukan terhadap kerangka Grice, meskipun sekaligus tidak kehilangan kekuatan kerangka tersebut dalam memberikan penjelasan.

(15)

disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh:

Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.

Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee

dalam konteks komunikasi.

Ciri-ciri relevansi Sperber dan Wilson yang patut dicacat adalah daya terapannya tidak hanya pada komunikasi, tetapi juga pada bidang kognisi pada umumnya. Tujuan universal dalam kognisi adalah untuk memperoleh informasi yang relevan, dan semakin relevan informasinya maka akan semakin baik jadinya. Prinsip relevansi Sperber dan Wilson pertama-tama merupakan prinsip kognitif dan prinsip komunikasi hanya di peroleh melalui ketergantungan komunikasi pada kognisi. Ciri kedua relevansi Sperber dan Wilson yakni perwujudan karekteristik ekonomisnya adalah konsekuensi langsung asal usul kognitif prinsip ini. Ciri ketiga prinsip relevansi Sperber dan Wilson adalah kapasitanya baik dalam membentuk ujaran-ujaran yang disumbangkan oleh penutur terhadap komunikasi maupun dalam mempengaruhi bagaimana pendengar ujaran-ujaran tersebut molai memprosesnya.

Contoh yang ditulis Renkema di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.

A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?

(Ada layanan antar-jemput € 60 sekali jalan, kapan Anda ingin pergi?)

B: At the weekend.

(Pada akhir pekan)

A: What weekend?

(Akhir pekan kapan?)

(16)

(Akhir pekan berikutnya. Bagaimana cara kerjanya? Anda hanya datang untuk layanan antar-jemput?)

A: That might be cheaper. Then that's fifty.

(Itu mungkin lebih murah. Bisa jadi lima puluh.)

Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next

weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian

tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper

dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60

euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at

the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang

relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan

processing effort.

4. Kesantunan

Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan atau kesantunan sebagai konsep yang tegas, seperti gagasan ‘tingkah laku social yang sopan’, atau etika, terhadap budaya. Juga dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi social dalam suatu budaya khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum itu termasuk sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan sipatik terhadap orang lain. Partisipan dalam suatu interaksi umumnya sadar bahwa norma-norma dan prinsip-prinsip yang demikian ada dalam masyarakat luas.

(17)

kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive

face, sedangkan yang kedua disebut negative face.

Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang itu tampak jauh secara sosial sering didekripsikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan. Tipe pertama mungkin ditemukan dalam pertanyaan siswa kepada gurunya, dan tipe kedua ditemukan dalam pertanyaan siswa kepada individu yang sama, seperti contoh berikut:

A : Maaf Pak Budi, dapatkah saya bicara dengan bapak sebentar? A’ : Hey, Andi, ada waktu sebentar?

Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech. Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu:

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) 1) Kurangi kerugian orang lain. 2) Tambahi keuntungan orang lain.

Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalambertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.

Menurut maksim ini , kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

Tuan rumah : “Silahkan makan dulu, nak.

Tadi kami semua sudah mendahuluinya.”

(18)

Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus menginap karena hujan yang lebat dan tidak kunjung reda.

Di dalam tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat di temukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa.

b. Maksim Kedermawanan

1) Kurangi keuntungan diri sendiri. 2) Tambahi pengorbanan diri sendiri.

Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormatu orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.tuturan pada contoh berikut dapat menjelaskan pernyataan di atas.

Yudi : “Mari saya belikan nasi! Saya mau ke warung samping. Nanang : “Tidak usah, Yud. Nanti saja saya makan, saya masih

kenyang.

Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak yang mempunyai hubungan erat dalam persahabatan. Dari tuturan yang disampaikan Yudi di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk membelikan nasi Nanang.

c. Maksim Penghargaan

1) Kurangi cacian pada orang lain. 2) Tambah pujian pada orang lain.

(19)

tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang. Untuk memperjelas hal itu, tuturan pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bahasa Arab.”

Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Arabmu jelas sekali dari sini.”

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruangan kerja dosen.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dan penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A. Hal itu berbeda dengan contoh percakapan pada tuturan berikut.

Santi :“Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.

Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.”

Nani : “Tolol… Ini, cepet kembalikan!”

Dituturkan oleh mahasiswa kepada temannya ketika mereka baru saja sampai di kampus.

d. Maksim Kesederhanaan

1) Kurangi pujian pada diri sendiri. 2) Tambah cacian pada diri sendiri.

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur di harapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh tuturan berikut dapat mempertimbangkan pernyataan di atas.

Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu ya, ya!”

Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.”

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat berada di kantor kerjanya.

e. Maksim Permufakatan,

(20)

Di dalam maksim pemufakatan ini, ditekankan bahwa para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam kegiatan bertutur orang tidak boleh memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal demikian tampak jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur berbeda dengan si mitra tutur.

Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu!”

Guru B : “He…em! Saklarnya mana, ya?”

f. Maksim Simpati

1) Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain. 2) Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipasti terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatian terhadap pihak lain serin ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Contoh tuturan berikut bisa dijadikan pertimbangan untuk memperjelas pernyataan ini.

Ani : ”Tut, nenekku meninggal.”

Tuti : “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ikut berduka cita ya.”

D. Hubungan Pragmatik dengan Linguistik

(21)

meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.

(22)

implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.

Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.

(23)

kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

BAB III PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.

B. Saran

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga

Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga University Press

J.W.M. Verhaar, 2001, Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees

George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kunjana Rahardi, 2002, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga

Geoffrey Leech, 1993, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Jakarta: UI-Prees

Louise Cummings, 2010, Pragmatik Klinis Kajian Tentang Penggunaan dan Gangguan

Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Abdul Chaer, 2007, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta

Referensi

Dokumen terkait

pendamping memperoleh kepuasan, hubungan yang erat dengan komunitas serta pengalaman mengahadapi masalah. Masalah yang dihadapi oleh para pendamping meliputi masalah yang bersumber

penyelamatan Rawa Tripa oleh TKPRT antara lain ialah; 1) menghasilkan kertas posisi penyelamatan Rawa Tripa (tahun 2009) dan 2) masyarakat yang berasal dari 21 desa

Untuk terjalinnya hubungan yang baik di dalam keluargatentu banyak faktor yang mempengaruhinya misalnya, factor pendidikan, kasih saying, profesi, pemahaman

Model pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray menggunakan bola berwarna hasil penelitian pengembangan ini memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) langkah- langkah

Hal ini memperlihatkan bahwa CSR sebagai sebuah kebijakan manajemen akan selalu terkait dengan konsep etika dan moral dari manajemen perusahaan tersebut, dimana apabila etika

Prosedur Penelitian Suatu Kedekatan Pendekatan Praktik.. Jakarta:

Dengan ditolaknya H0 pada hipotesis H1, H2 serta H3, maka hasil penelitian ini secara empiris memiliki cukup bukti yang signifikan dan dapat memprediksi bahwa ketidakpastian

(1) Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi Neraca dan perhitungan laba-rugi tersebut