• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kepala Daerah dan Perwujudan Kebij

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Kepala Daerah dan Perwujudan Kebij"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 Peran Kepala Daerah dan Perwujudan Kebijakan Inklusif:

Studi Kasus Local Reform di Solo Pada Era Joko Widodo (2005-2012)

Oleh: Dr. Wahidah R Bulan, M.Si

I. PENDAHULUAN

Kepala daerah dengan sejumlah kewenangan yang dimilikinya, 1 merupakan aktor penting dibalik upaya perwujudan kebijakan inklusif. Hal itu mengingat kepala daerah dimungkinkan mengeluarkan aneka kebijakan, guna mengupayakan terjadinya perubahan. Dengan memperhatikan bahwa tidak semua kepala daerah berhasil mengupayakan reform, kewenangan (official power) semata belumlah memadai untuk mendorong perubahan.

Merujuk beberapa praktek sukses upaya reform, inisiatif reform (gagasan inovatif) dan keberanian kepala daerah, merupakan faktor lain yang diduga turut menstimuli terjadinya perubahan.2 Melalui inisiatif reform, kepala daerah dapat menetapkan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan dan keluar dari mainstream (regulasi, kerumitan prosedur, dan lain-lain) yang meng-constrain tindakannya. Karena memiliki kekuatan otoritatif, inisiatif kepala daerah relatif lebih mungkin berkembang ke arah perubahan dibanding jika hanya dimotori oleh staf (birokrasi).3 Sedangkan keberanian penting mengingat gagasan perubahan terkadang harus berhadapan dengan sejumlah kendala untuk dapat diimplementasikan.4 Hal itu sejalan dengan penelusuran redaksi Majalah Tempo5 terhadap sejumlah kepala daerah,

1

Sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 32/2004 pasal 21, kepala daerah memiliki kewenangan untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengajukan rancangan perda, menetapkan perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD, menyusun dan mengajukan rancangan APBD, dll.

2

Hal itu setidaknya dapat dilihat pada cerita sukses beberapa kepala daerah berikut: Winasa (Kabupaten Jembrana) dengan inovasi Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang memberikan jamianan kesehatan kepada seluruh warga Jembrana tanpa terkecuali (universal coverage health), Gamawan Fauzi (Kabupaten Solok) dengan penghilangan mata anggaran honorarium pelaksana proyek, Rustriningsih (Kabupaten Kebumen) dengan spirit mengembangkan transparansi melalui kegiatan Selamat Pagi Bupati dan pelaksanaan tender proyek di alun-alun kota, dan Jokowi (Kota Surakarta) dengan pendekatan non violence dalam penataan PKL.

3

Sebagai contoh inisiatif yang dilakukan Tri Rismaharini semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Pertamanan, jauh lebih dapat berkembang setelah ia menjadi Walikota Surabaya (2010-2015). Begitu pula yang terjadi di Kota Depok, Jawa Barat. Penataan PKL dengan cara merelokasi (pendekatan non kekerasan) telah pernah dilakukan pada tahun 1999. Namun karena hanya dimotori oleh Kepala Bidang Ekonomi di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kota Depok, Ir. Khamid Wijaya, inisiatif reform tidak berkembang menjadi perubahan monumental.

4

Sebagai contoh apa yang terjadi di Kabupaten Solok semasa dipimpin Gamawan Fauzi. Kebijakan penghilangan mata anggaran honorarium dalam setiap kegiatan (APBD) yang dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi anggaran dan keadilan penganggaran antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga tidak ada

dinas “basah” karena memiliki banyak kegiatan dan dinas “basah air mata” karena minim kegiatan, pada awalnya sulit dilaksanakan karena menghadapi sejumlah kendala regulasi terutama pada tahun pertama pelaksanaannya.

5

(2)

2 yang menemukan adanya sejumlah karakter “khas” kepala daerah yang mampu mendorong reform, yaitu: egaliter, berani, dan mau menyelesaikan masalah dengan cara tidak biasa (inovatif).

Kemampuan aktor kepala daerah membangun relasi (connecting) dengan multi aktor (struktural maupun individual), merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan. Kepala daerah yang tidak mampu membangun hubungan (kekuasaan) dengan DPRD dapat “tersandera” secara politik akibat usulan anggaran yang diajukan tidak mendapat persetujuan.6 Kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan birokrasi sebagai mesin penggerak roda pemerintahan, merupakan hal lain yang tak kalah penting. Meski secara formal birokrasi berada di bawah kontrol kepala daerah, mendapatkan kepatuhan adalah hal yang berbeda karena konsep otoritas mengacu pada hubungan antar orang per orang dan bukan dengan jabatan perseorangan (Blau dan Meyer).7

Selain dengan state actors (DPRD dan birokrasi), kepala daerah juga perlu membangun hubungan dengan non-state actors (ormas, NGO, tokoh masyarakat, tokoh intelektual, perguruan tinggi) mengingat keberadaan mereka sebagai stakeholder pembangunan strategis.8 Selain itu mengingat media massa sebagai salah satu pilar penopang demokrasi selalu ada dibalik pengungkapan kasus-kasus penyalah-gunaan kekuasaan dan anggaran baik di daerah maupun di pusat, kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan media massa merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan.

6

Sebut saja misalnya kasus Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail diawal-awal kepemimpinannya pada tahun 2005-2007 yang “terpaksa” mengubah salah satu program unggulannya, SIPESAT atau Sistem Pengolahan Sampah Terpadu menjadi UPS atau Unit Pengelolaan Sampah; atau upaya pemakzulan Walikota Surabaya Tri Rismaharini oleh DPRD pada tahun 2010 yang disulut oleh penolakan DPRD terhadap kebijakan sang Walikota menaikan pajak reklame.

7

Apa yang terjadi pada kasus hubungan Walikota Depok (Nur Mahmudi Ismail) yang berkonflik dengan Sekda (Winwin Winantika) ditahun-tahun awal kepemimpinannya (2006-2007) dan yang berakibat pada tidak efektifnya kerja roda birokrasi di daerah tersebut pada tahun itu, merupakan salah satu contoh konkrit. Contoh lain adalah apa yang terjadi di Jembrana pada masa kepemimpinan Winasa. Perubahan di Jembrana sesungguhnya tidak hanya terjadi karena faktor kuatnya visi perubahan yang digagas Sang Kepala Daerah, tapi juga karena peran Sekda (Gede Suinaya, sebelumnya pejabat di Depdagri) yang mampu menerjemahkan gagasan Winasa kedalam kebijakan yang implementatif selain mengkonsolidasikan birokrasi serta memiliki hubungan yang kuat dengan pusat (Studi AKATIGA, 2009). Selain itu kesuksesan Gamawan memimpin Kabupaten Solok tak dapat dilepaskan dari keberhasilannya menata birokrasi, mengingat Gamawan sebelum menjabat sebagai bupati, mengawali karirnya sebagai PNS di Kabupaten Solok hingga menjabat sebagai sekda pada jabatan terakhirnya.

8

(3)

3 Pentingnya membangun hubungan dengan multi aktor dalam mendorong terwujudnya perubahan, juga ditemukan dalam preliminary study yang penulis lakukan pada Juni dan Desember 2010 serta Maret 2011. Salah satu faktor yang membantu mempercepat perwujudan agenda reform di Solo diantaranya karena kemampuan sang Walikota (Jokowi) membangun hubungan dengan berbagai komponen masyarakat, yang dilakukan karena Jokowi menyadari keterbatasan pengetahuan dirinya terhadap permasalahan atau kebijakan yang hendak ditetapkan. Selain itu relasi juga dikembangkan sebagai solusi atas ketidak-puasan Jokowi terhadap kerja birokrasi yang menurutnya lebih senang menyampaikan informasi yang ingin didengar pimpinan, dan bukan informasi real mengenai kondisi lapangan.9

Jokowi (dan Rudy sebagai Wakil Walikota Solo) mengembangkan hubungan dengan multi pihak melalui sejumlah aktifitas yang diangkat dari tradisi Jawa, yang dipopulerkan dengan istilah SLJJ yaitu: sonjo (silaturahim), layat (mendatangi orang yang anggota keluarganya meninggal dunia), jagong (memenuhi undangan), dan jagongan (berdiskusi atau bermusyawarah). Selain itu Jokowi juga mengembangkan apa yang disebutnya dengan

Forum Group Discussion (FGD), forum dimana Jokowi berinteraksi dengan stakeholder

pembangunan semisal para tokoh, pakar, praktisi, akademisi, NGO, aktifis kemasyarakatan, termasuk pihak swasta. Jika SLJJ ditujukan untuk mengetahui kondisi lapangan dan menyerap aspirasi publik, FGD dilakukan untuk merumuskan alternatif solusi/kebijakan atas berbagai isu atau permasalahan yang membutuhkan penanganan segera dan atau permasalahan yang mendapat perhatian masyarakat cukup luas. Selain itu Jokowi mempunyai hubungan “spesial” dengan beberapa aktifis masyarakat sipil (Civil Society Activist atau CSA) yang memiliki jejaring dengan CSO (Civil Society Organization), dengan menjadikan mereka sebagai lingkaran terdalam (inner-circle); yang diistilahkan Jokowi dengan staf ahli non-formal karena tidak ada kontrak atau ikatan formal yang menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak,10 yang penulis istilahkan dengan inner social circle

mengingat relasi dibangun atas prinsip kesukarelaan.

Hal inilah yang penulis dalami dalam studi yang dilakukan, yaitu mengeksplorasi tindakan reform kepala daerah sebagai aktor utama perubahan dan menemukan faktor-faktor

9“…Ini informasi yang saya butuhkan. Kalau birokrasikan sukanya kasih informasi yang baik

-baik saja… Biar saya senang… Padahal saya pengen tahu kondisi realnya seperti apa…” (wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010).

10“Saya punya staf ahli non PNS, staf khusus yang orang nggak ngertilah (tidak banyak diketahui orang, pen),

yang sering memberikan suara (masukan, pen) kepada saya. Yang masih jelek disebelah sini, yang masih kurang

(4)

4 yang mempengaruhi tindakan reform yang dilakukan; selain secara spesifik mendalami relasi kepala daerah dengan multi aktor, terutama dengan para aktifis masyarakt sipil, sebagai fenomena baru yang menarik untuk ditelisik.

II. METODE PENELITIAN

Studi menggunakan pendekatan kualitatif strategi studi kasus. Merujuk pada empat tradisi sosiologi (Berger, 1963), studi lebih difokuskan pada upaya memahami tindakan manusia (social action), terutama terkait dengan pola dan konsekuensi tindakan (baik

intended maupun unintended consequences dari purposive human action, yaitu tindakan aktor kepala daerah dalam social practice “melawan” kekuatan struktural guna memproduksi dan

mereproduksi struktur (social reproduction) sebagai alternatif tindakan mewujudkan agenda

local reform. Praktek sosial dihadirkan melalui penggambaran kondisi realitas holistik, dengan pengumpulan kata-kata berdasarkan laporan terperinci informan yang disusun dalam latar ilmiah (Creswell, 1994). Gambaran dimaksud meliputi informasi detail dan akurat tentang fenomena yang diteliti, latar-belakang dan konteks situasi yang terjadi, dokumentasi proses atau mekanisme yang berlangsung, mengklarifikasi tahapan-tahap yang berlangsung. serta menemukan model relasi yang efektif (Newman, 1999:21-22).

(5)

5 Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kasus, yaitu mengeksplorasi praktek local reform melalui dua kasus yang dipilih (penataan PKL dan

resettlment penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo) dan yang dilakukan dalam batasan tertentu (multiple bounded system), yaitu meliputi: kekhasan sistem sosial, budaya, dan politik Kota Solo serta waktu tertentu, yaitu masa kepemimpinan walikota Joko Widodo (2005-2012) (Cresswell, 2007: 73).

Waktu penelitian dilakukan mulai Juni 2010, yaitu ketika penulis melakukan studi awal (preliminary study) guna mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi lapangan dan memperkuat asumsi-asumsi yang dikembangkan dalam penyusunan proposal. Secara bertahap data terus dihimpun hingga mencukupi kebutuhan, yaitu hingga Desember 2012; sedangkan lokasi penelitian meliputi wilayah administratif Kota Surakarta (Solo).

Dalam studi yang dilakukan, penulis berperan sebagai peneliti dan sekaligus sebagai instrumen penelitian, yaitu bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, melakukan analisis dan penafsiran terhadap data, dan pada saat yang sama juga menjadi pelapor hasil penelitian (Moleong, 1994: 121). Karena hal itu keterbatasan dalam pelaksanaan peran disadari tidak dapat dihindari, diantaranya karena peneliti berasal dari masyarakat dengan kultur berbeda dengan masyarakat yang di teliti, terutama terkait dengan pengusaan bahasa dan budaya masyarakat setempat. Antisipasi dilakukan dengan berbagai perimbangan, diantaranya bahwa peneliti pernah terlibat dalam kegiatan studi lain di Kota Solo sebelumnya dan dengan isu relatif berdekatan yaitu studi Penyusunan Indeks Pembangunan Sosial untuk kasus sektor informal di Kota Solo dan Depok (Wirutomo, dkk; 2010), yang membantu penulis membangun networking dengan sejumlah akedemisi dan peneliti di lingkup UNS Solo (Sosiologi) sebelum studi dilakukan selain sebagai sarana pengenalan awal penulis terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Solo dan dinamika permasalahannya. Selain itu keterlibatan penelitia pada tahun sebelumnya (2009) dalam kegiatan persiapan project CSIAP I (Civil Society Initiative Against Poverty) yang dilaksanakan PATTIRO Jakarta dengan melibatkan PATTIRO Kota Solo melalui pendanaan

(6)

6 telah dimulai pada saat itu, jauh sebelum penelitian dilakukan. Selain itu keberadaan peneliti sebagai aktifis NGO (terutama dalam program CSIAP I dan SAPA Indonesia), memungkinkan penulis diterima dengan baik (in group) oleh sejumlah aktifis NGO Kota Solo dan karenanya memiliki kemudahan akses terhadap informasi yang hendak dikumpulkan, bahkan mendapat kemudahan berinteraksi secara intens dengan sejumlah aktifis NGO di Kota Solo dalam konteks relasi mereka dengan Pemkot Solo.

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan: (1) Melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada sejumlah informan; (2) Menghimpun informasi dari data sekunder baik yang berasal dari berbagai dokumen baik yang bersumber dari internal pemerintahan maupun diluar pemerintahan. Dokumen yang bersumber dari pemerintahan diantaranya adalah RPJPD, RPJMD Kota Solo, APBD, LKPJ, Perda, Perwa, dan SK Walikota terutama yang relevan dengan kasus yang dianalisis; sedangkan dokumen yang bersumber dari luar diantaranya berupa dokumen program ataukegiatan NGO selain analisis terhadap pemberitaan media massa mengenai kasus yang diteliti; (3) Melakukan analisis terhadap pemberitaan media massa mengenai kasus, yaitu pemberitaan dari media lokal seperti Harian Solopos, Suara Merdeka, dan Joglo Semar selain mengikuti diskusi mengenai Kota Solo dan dinamika perkembangan pembangunan di jejaring sosial; (4) Observasi: mengikuti kegiatan kepala daerah dengan multi stakeholder baik dengan sepengetahuan kepala daerah maupun tidak, untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif mengenai relasi aktor.

(7)

7 III. PEMBAHASAN

A. Tindakan Reform Agen Kepala Daerah Mempengaruhi Struktur

Berdasarkan analisis pada kebijakan penataan PKL dan resettlement penduduk bantaran sungai Bengawan Solo, data lapangan menunjukkan kebenaran proposisi Giddens yang menyatakan bahwa struktur tidak meng-constrain, akan tetapi constraining dan enabling. Kekuatan struktural (rules dan resources) bukanlah penghambat. Meski pada satu sisi keterbatasan sumberdaya dan regulasi menyebabkan terbatasnya alternatif tindakan yang dapat dilakukan, pada sisi lain memampukan birokasi (kepala daerah) menghasilkan gagasan inovatif seperti pelaksanaan kegiatan sayembara dalam pelaksanaan kegiatan penataan kawasan, “modifikasi” dana hibah korban banjir untuk penyelesaian permasalahan pemukiman kumuh di bantaran Sungai, penyertaan berbagai komunitas (pembiayaan, tenaga, dan gagasan) dalam pelaksanaan event budaya tahunan, dan lain-lain. Namun demikian berdasarkan data lapangan, hal itu dapat terjadi karena adanya beberapa faktor pada diri agen, yaitu: keberanian, kecerdasan, kesediaan untuk mau menerima masukan (gagasan) multi aktor, adanya bantuan (ide, teknis pelaksanaan, jejaring) dari para CSA yang menjadi inner social circle agen serta dukungan politik wakil walikota, selain seperti yang sudah disebutkan dalam penjelasan mengenai unconscious motives, juga karena adanya motif tidak sadar agen.

Sementara itu merujuk pada proposisi Giddens bahwa tindakan agen mempengaruhi struktur bersifat khas atau berbeda dari tindakan lainnya sebagai bentuk ekspresi diri agen dan yang sekaligus menunjukkan power mereka sebagai agen, data lapangan menunjukkan kesesuaian dengan proposisi tersebut. Kekuatan tindakan reform

di Kota Solo terletak pada cirinya yang khas, yaitu baru (belum pernah dilakukan), unik (khas), dan berani (menentang mainstream atau pola tindakan yang sudah ajeg). Sebagai contoh tindakan menggratiskan kios kepada PKL dalam upaya penataan PKL. Tindakan tersebut relatif baru (dan cenderung tidak dijadikan pilihan kebijakan karena dapat membebani anggaran). Begitu juga dengan kebijakan menata penduduk ilegal yang tinggal dibantaran sungai (bahkan memberi rumah bersertifikat secara gratis) kepada mereka. Kebanyakan pemerintah daerah berfikir secara administratif bahwa tindakan memberikan fasilitas kepada mereka yang berstatus ilegal, merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum; selain ada ketakutan bahwa tindakan akan mengundang kelompok ilegal lainnya untuk datang.

(8)

8 rasionalisasi tindakan, diperkuat melalui temuan studi ini mengingat tindakan reform rentan mendapat penolakan karena kekhasan sifatnya (unik, baru, keluar dari mainstream atau kebiasaan yang sudah terpola, menggunanakan pendekatan yang tidak biasa). Pengetahuan yang cukup mengenai tindakan yang dilakukan termasuk kalkulasi akan dampak yang ditimbulkannya, mutlak dimiliki agen agar tindakan tidak mendapatkan penolakan. Karena itu pula monitoring refleksif tindakan dan rasionalisasi tindakan juga harus didukung dengan kesadadaran (refleksif), karena dalam pelaksanaannya membutuhkan sejumlah tindakan seperti adanya perencanaan tindakan, analisis tindakan, kalkulasi atas resiko inovasi tindakan.

Terkait hal itu catatan penting sebagai temuan dari praktek reform di Solo, upaya monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan guna mengatasi kekuatan struktural (memproduksi struktur dan mereproduksi struktur), menjadi lebih mudah dilakukan karena agen mendapat dukungan multi aktor berupa dukungan politik dari wakil walikota serta dukungan dari CSA yang menjadi inner circle agen dan yang terhubung dengan CSO. Dukungan dimaksud berupa gagasan perubahan, kemampuan teknis, maupun perluasan jejaring dengan NGO serta kelompok dampingan mereka dari kelompok grassroot. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan agen mempengaruhi struktur tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan kapabilitas agen, akan tetapi menjadi lebih “mudah” dan “progresif” dengan bantuan pihak lain diluar diri agen (mendayagunakan kapabilitas multi aktor).

Proposisi Giddens yang menyebutkan bahwa agensi tidak ditentukan oleh ada tidaknya motif sadar (intention atau tujuan tindakan, yang datang dari luar diri agen) akan tetapi lebih pada motif tidak sadar agen (unconscious motives) yang masuk kedalam alam bawah sadar berupa moral conscience dan mewujud berupa capability agen melakukan tindakan reflektif secara berbeda sebagai karakter personal agen (sekaligus menunjukkan

power agen); data menunjukkan bahwa kedua-duanya dibutuhkan karena dapat saling melengkapi. Dalam konteks reform di Kota Solo, motif sadar agen yang bersumber dari tuntutan masyarakat akan perubahan, tekanan politik, kondisi sosial budaya yang terjadi; memperkuat motif tidak sadar agen (keprihatinan yang mendalam terhadap kemiskinan yang terjadi yang menumbuhkan simpati dan empati, ketidak-puasan terhadap penyelesaian permasalahan kota yang dilakukan Pemkot Solo selama ini, kekecewaan terhadap perkembangan kota yang dinilai tidak progresif), untuk melakukan sejumlah tindakan guna mengatasi persoalan.

(9)

9 motif tidak sadar, akan tetapi pada apa yang menjadi motif tidak sadar agen. Jika motif tidak sadar sebatas pada kepentingan pribadi agen (keinginan mendapat citra positif atas kepemimpinan yang dilakukan, peningkatan dukungan politik, terbukanya peluang untuk melanjutkan kekuasaan), energi yang ditimbulkan tidak akan sebesar motif yang berorientasi pada kepentingan khalayak yang lebih luas (altruism motives), yaitu melakukan pembelaan terhadap pemenuhan kepentingan dan penyelesaian permasalahan masyarakat miskin Kota Solo (yang selama ini mengalami pengabaian dari pemerintah) dan mengeluarkan Kota Solo dari keterpurukannya (citra negatif yang melekat kepadanya seperti Kota Tidak Layak Huni dan Kota Tidak Layak Investasi).

Dengan merujuk pada model stratifikasi agen (Giddens, 1984) dan data lapangan sebagaimana diurai di atas, dapat dirumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan

reform aktor kepala daerah dalam mendorong perubahan, yaitu faktor internal terdiri dari latar belakang profesi, pendidikan, dan keluarga; sementara faktor eksternal terdiri dari konstelasi politik PDIP yang menjadi kekuatan politik mayoritas di Kota Solo, kondisi sosio kultural masyarakat Solo, perubahan paradigma politik, maupun kondisi masyarakat Solo yang dinamis dan siap menerima isu-isu perubahan.

Gambar 1. Tindakan Reform Agen dalam Proses Reform di Kota Solo

Berbagai faktor tersebut melahirkan sejumlah sikap yang mewarnai model, sifat, serta cara kepemimpinan Jokowi; dan yang sangat dibutuhkan dalam mendorong reform. Hal lain terkait dengan keberpihakan Jokowi yang sangat kuat kepada kepentingan kelompok miskin. Sejumlah tindakan pembelaan atas kelompok tersebut ditampilkan Jokowi melalui

(10)

10 keberanian, inisiatif, dan berbagai inovasi yang dilakukannya, sebagai bukti nyata pembelaannya kepada kelompok rentan tersebut. Keberpihakan inilah yang kemudian membimbing Jokowi untuk mau “berkeringat” memproduksi berbagai kebijakan inklusif populis selama masa jabatannya, baik dengan mengatasi berbagai keterbatasan anggaran, regulasi, maupun birokrasi; lebih dari itu untuk mendorong terjadinya perubahan yang lebih nyata di Kota Solo.

B. Relasi Kepala Daerah dengan Multir Aktor dalam Local Reform

Merujuk pada the Polity Model (Tilly, 1978) yang menempatkan orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan kekuasan berada dalam dua kutub ekstrim, yaitu antara mereka yang menempati posisi sebagai member disatu kutub dan mereka yang menjadi challenger

dikutub yang lain, dari kedua kasus yang diteliti, studi menunjukan bahwa relasi tidak selalu bersifat dikotomik karena terdapat aktor yang berada dikedua posisi tersebut (member

sekaligus challenger), yang dapat dilihat pada posisi Konsorsium Solo (member yang cenderung kritis) dan KOMPIP (challenger namun koperatif). Selain itu terdapat aktor yang mengambil posisi netral (mengambil jarak dengan sumber kekuasaan) dengan pengertian tidak ingin ikut terlibat dalam proses “perebutan” resources sebagaimana dilakukan media dan Perguruan Tinggi, yang dilakukan diantaranya demi menjaga profesionalitas dan sikap kritis lembaga (Solopos).

Hubungan NGO di Kota Solo dengan Jokowi sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, merujuk Tilly, dalam pengamatan penulis terdapat dua bentuk hubungan. Yang pertama, NGO yang memposisikan diri sebagai member, yang dalam hal ini diwakili oleh Konsorsium Solo (kasus PKL). Berbeda dengan posisi para CSA yang relasi hubungan mereka dibangun guna mendukung kerja Jokowi, Konsorsium Solo terlihat bermain didua kaki, yaitu antara

(11)

11 menjadi Sekretaris TKPD hingga kini. Namun sikap kritis Konsorsium Solo tetap jelas terlihat, diantaranya dalam proses revisi perda PKL dan sikap kritis TKPKD terhadap kebijakan pengentasan kemiskinan Kota Solo. Karenanya penulis mengelompokkan Konsorsium Solo sebagi member yang kritis.

Selain member, bentuk hubungan lainnya adalah sebagai challenger (tidak ikut terlibat dalam pengelolaan kebijakan dan program Pemkot). KOMPIP dan PATTIRO berdasarkan pengamatan penulis ada dikelompok ini. Sikap KOMPIP maupun PATTIRO yang lebih memilih menjadi challenger ketimbang member dalam konteks relasi mereka dengan Pemkot berdasarkan analisis penulis terjadi karena keduanya ingin mempertahankan sikap independensi selain karena faktor tersediaan pendanaan kegiatan dari sumber lain (umumnya dari funding). Selain itu keduanya melihat relasi dengan state sebagai sesuatu yang bukan hanya tidak efektif (dalam mewujudkan visi-misi gerakan yang mereka ingin perjuangkan), namun juga dinilai dapat memberi lebih banyak dampak negatif ketimbang positif.

Hal lain yang menarik, terdapat aktor yang berada pada posisi netral (bukan sebagai member dan bukan pula challenger) sebagaimana posisi yang diambil oleh Perguruan Tinggi dalam hal ini UNS dan UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), yang meski aktif memberikan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan, tidak mencoba masuk lebih dalam untuk menjadi member dan tidak juga menjadi sangat vocal dengan menjadi challenger. Hal serupa dilakukan oleh sejumlah praktisi yang meski aktif memberi masukan akan tetapi tetapi menjaga jarak dengan tidak menjadi member maupun challenger dan juga dilakukan oleh media massa (sebagai tuntutan profesionalitas-cover bothside). Hal lain yang juga penting, meski secara formal DPRD Kota Solo (terutama pada periode kedua) terbelah menjadi dua, yaitu PDIP, PAN, dan PKS disatu kubu (member) berhadapan dengan Golkar dan Demokrat (challenger) dikubu lainnya, dalam praktek pemisahan tersbut tidak benar-benar terjadi (oposisi dan the rulling party), yang sekaligus menunjukkan bahwa oposisi bukan praktek yang mengakar kuat pada politik di Indonesia.

(12)

12 politik semisal hubungan antara loyalis dengan calon yang didukung atau hubungan antara personal yang secara khusus ditugaskan parpol. Dan karena hal itu hubungan mereka lebih tepat untuk disebut sebagai inner social cyrcle.

Hal ini juga dimungkinkan terjadi karena keinginan para CSA agar hubungan yang terjalin lebih merupakan relasi yang egaliter ketimbang hubungan atasan bawahan atau hubungan antara orang yang bekerja untuk mendapatkan upah, sejalan dengan sikap Jokowi yang tidak menyukai hubungan formal karena menurutnya hanya akan membuat jadi tidak produktif. Upaya menjaga hubungan egaliter itu menjadi mungkin dilakukan karena sikap AN, ES maupun PG yang tidak memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang tersedia dilingkup Pemkot Solo sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan ekonominya dan lebih memilih mencari sumber pendapatan dari luar.

Terkait dengan proposi Tilly (1978) yang mengungkapkan bahwa hubungan antara

member dengan pihak yang memiliki otoritas kepada resources karena pertimbangan bahwa

member dapat mengakses resources, dalam konteks hubungan Jokowi dengan para CSA, resources yang disebutkan Tilly hendaknya dimaknai dalam arti yang lebih luas dan bukan hanya berupa sumber-sumber ekonomi. Resources juga dapat berupa faktor-faktor non materi seperti gagasan perubahan (gerakan perubahan). Faktor lain yang tidak kalah penting adalah karisma pribadi Jokowi. Kesediaan Jokowi untuk bekerja keras dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pimpinan daerah, kesediaannya untuk menjadi teladan atas gagasan yang ingin diperjuangkannya, serta komitmen yang kuat yang diperlihatkannya dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat miskin, menjadi magnet tersendiri yang menyebabkan para CSA bersedia bekerja untuk membantu Jokowi. Jokowi dalam hal ini bukan hanya diposisikan sebagai pihak yang memiliki otoritas legal-rasional dengan kewenangan formal yang dimikinya, akan tetapi juga memiliki karisma tertentu dalam pengelolaan kekuasaan (kepemimpinan karismatik) sehingga dianggap layak untuk “dibantu.” Lebih dari itu membantu Jokowi bahkan dinilai merupakan “tugas suci,” yang memberi kepuasaan (penghargaan) tersendiri bagi yang melakukannya.

(13)

13 saling memahami posisi (kontribusi) masing-masing dalam relasinya dengan Jokowi, yaitu: ES menjadi teman diskusi Jokowi untuk isu-isu politik, PG untuk relasi dengan komunitas dan media mengingat pengalamannya dulu sebagai wartawan, dan AN dalam konteks membantu Jokowi membranding Kota Solo sebagai Kota Budaya.

Pada akhirnya temuan yang paling penting dari studi ini terkait dengan relasi state -society dalam konteks local reform. Tindakan reform aktor dapat menyebabkan member

bertambah banyak dan ruang polity menjadi semakin luas karena challenger pada akhirnya dapat “ditaklukkan.” Pada kasus penataan PKL maupun resettlement hal itu dimungkinkan karena adanya bantuan sejumlah CSA dan wakil walikota yang memiliki relasi khusus dengan kepala daerah, baik relasi karena hubungan formal (relasi Jokowi dengan Rudy selaku wakil kepala daerah) maupun relasi karena hubungan non formal (relasi Jokowi dengan para CSA yang menjadi innercirclenya).

Hubungan kepala daerah dengan multi aktor dalam konteks local reform (kasus PKL dan resettlement) terbukti efektif membantu state mengatasi sejumlah penentangan yang terjadi. Dengan bantuan CSA yang diposisikan sebagai inner circle (inner social circle), Jokowi selaku kepala daerah terbukti dapat “menjinakkan” sejumlah challenger baik melalui bantuan berupa sharing pengalaman, bantuan teknis tindakan eksekusi dilapangan, maupun perluasan networking (dengan NGO); yang dimungkinkan terjadi karena adanya kesamaan ideologi (perubahan) antara kepala daerah dengan para CSA tersebut.

Dukungan wakil kepala daerah yang secara formal bertanggung-jawab membantu kerja kepala daerah, juga dapat diandalkan. Dalam konteks local reform di Solo, bantuan itu diantaranya berupa kekuatan politik dan kemampuan “menundukkan” kelompok-kelompok penentang radikal yang mengganggu proses reform, yang diantaranya terdiri dari kelompok-kelompok yang menentang kebijakan serta para preman.

(14)

14 Wakil kepala daerah dengan kewenangan cukup besar yang dimiliki dibanding

member lainnya, sesungguhnya merupakan member sangat strategis bagi kepala daerah. Dukungan maksimal wakil kepala daerah (dukungan kinerja dan dukungan politik) dapat membantu kepala daerah mengupayakan terwujudnya agenda reform. Sebaliknya disharmoni hubungan yang berujung pada pecah kongsi dapat mempengaruhi upaya reform yang dilakukan, mengingat hal tersebut dapat berpengaruh pada produktifitas kerja pemerintah daerah, seperti terganggunya proses pelayanan kepada masyarakat dan tidak efektifnya pelaksanaan roda pemerintahan. Karena hal itu upaya meningkatkan harmonisasi hubungan kepala daerah dengan wakil kepala daerah menjadi penting dilakukan, mengingat dampaknya yang cukup serius terhadap keberhasilan reform di daerah tersebut. Dengan memperhatikan proses reform di Solo, pembagian peran yang jelas antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah merupakan salah satu strategi yang bisa dilakukan.11 Meski di dalam UU No. 32/2004 secara normatif sudah disebutkan tupoksi masing-masing pihak (kepala daerah dan wakil kepala daerah), namun karena tidak ada satu pasal pun di dalam UU No. 32/2004 yang “mengharuskan” kepala daerah berbagi tugas dan tanggung-jawab (sharing of power) dengan wakil kepala daerah, dalam praktek peran seperti apa yang dapat dijalankan wakil kepala daerah sangat tergantung pada keputusan sepihak kepala daerah.

Selain itu, merujuk praktek reform di Solo, faktor kematangan personal agen kepala daerah yang ditandai dengan kemampuan mengelola konflik, mempengaruhi harmonisasi hubungannya dengan wakil kepala daerah. Meski Jokowi dengan Rudy dalam beberapa aspek memiliki sejumlah perbedaan, kemampuan keduanya mengelola konflik yang terjadi sehingga tension dapat dikurangi (hal ini juga dipermudah karena latar belakang cultural yang relatif sama), menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Sebagai contoh meski Jokowi dan Rudy sama-sama memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu terikat dengan prosedural formal, namun Jokowi dan Rudy memiliki pendekatan berbeda dalam penyelesaian permasalahan. Jokowi misalnya lebih mengandalkan pada kerja-kerja profesional

11

Sebagai Walikota Solo, Rudy memiliki tugas khusus yang menjadi tanggung-jawabnya, yaitu mensupervisi pelaksanaan kerja birokrasi, terutama ditingkat kecamatan dan kelurahan. Secara umum hal itu sebagaimana diatur di dalam UU No. 32/2004 pasal 26 ayat c dan d, yang menyebutkan bahwa wakil kepala daerah mempunyai tugas memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah, serta memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah ditingkat kelurahan dan kecamatan. Pembagian tugas yang jelas ini dimungkinkan karena meski Rudy merupakan wakil kepala daerah, secara politik memiliki poisisioning cukup kuat dengan keberadaannya sebagai Ketua DPC PDIP Surakarta yang cukup disegani para politisi PDIP lainnya (anggota DPRD Kota Solo dari Fraksi PDIP) serta memiliki dukungan basis massa PDIP yang cukup kuat. Akan tetapi dengan memperhatikan pada apa yang terjadi di DKI-Jakarta paska Jokowi terpilih menjadi Gubernur, kesediaan Jokowi berbagi tanggung-jawab (sharing of power) dengan Ahok meski secara politik Ahok tidak sekuat Rudy, tampaknya merupakan faktor terpenting yang berpengaruh. Dengan demikian faktor

(15)

15 (menyerahkan pekerjaan kepada orang yang secara profesional dapat dipertanggung-jawabkan), sementara Rudy lebih mengandalkan menyerahkan pekerjaan kepada orang yang memiliki hubungan-hubungan kedekatan tertentu dengan dirinya maupun PDIP (loyal kepada PDIP). Hal itu dapat dimaklumi mengingat latar-belakang keduanya yang berbeda: Jokowi yang pengusaha terbiasa dengan kerja profesional sementara Rudy yang sejak lama menjadi fungsionaris parpol (bahkan menjadi Ketua DPC PDIP) lebih berorientasi pada aspek pertimbangan politik. Akan tetapi dengan pembagian tanggung-jawab yang jelas, masing-masing pihak (baik Jokowi maupun Rudy) mencoba memberikan toleransi atas perbedaan sikap yang terjadi. Untuk penempatan SDM birokrasi di kelurahan dan kecamatan maupun pemantauan dan evaluasi kerja kecamatan dan kelurahan misalnya, Jokowi tidak banyak melakukan intervensi dan menyerahkan tanggung-jawab sepenuhnya kepada Rudy. Jokowi lebih memilih berkonsentrasi pada agenda pembangunan dengan beragam program inovasi yang ingin dikembangkannya dan baru mengambil tindakan intervensi jika terdapat indikasi penyimpangan atau akan menimbulkan kontra-produktif terhadap upaya reform yang dikembangkannya (kasus isu mutasi camat dan lurah oleh Jokowi karena dinilai “mbalelo” atau tidak ada itikad baik untuk melaksanakan agenda reform).

Selain wakil kepala daerah, kepala daerah membutuhkan strategic member lainnya yang diposisikannya sebagai inner circle, yang dapat terdiri dari individual actor (CSA, pakar, praktisi, dan lain-lain) maupun institusional actor (NGO, ormas, lembaga profesi, maupun organisasi masyarakat sipil lainnya). Inner circle ini sedianya adalah mereka yang mau bekerja mendukung upaya kepala daerah mewujudkan agenda reform atas landasan idealisme (non profit oriented), sehingga dapat juga disebut dengan istilah inner social circle.12 Pentingnya aspek kesukarelaan dan idealism ini penting mengingat dua hal tersebut merujuk pada kasus reform di Solo merupakan faktor penting, yang menyebabkan relasi yang terjalin antara kepala daerah dengan berbagai aktor tersebut yang diposisikan sebagai inner circle tersebut, mampu berkontribusi bagi upaya mewujudkan agenda reform. Dalam praktek,

inner circle aktor kepala daerah umumnya diisi oleh mereka yang dilibatkan karena pertimbangan aspek politik (inner political circle), seperti tim kampanye, pihak yang dinilai mampu melakukan negosiasi dengan kepala daerah untuk memperjuangkan kepentingan partai politik pendukung, dan lain-lain. Karena hal itu dukungan yang diberikan inner political circle tersebut lebih berorientasi pada capaian-capaian politik (kapitalisasi kekuasaan) yang tidak selalu relevan dengan tujuan reform (bahkan dapat bersifat

12

(16)

16 produktif). Inner political circle sedianya sudah dapat diwakili oleh posisi wakil kepala daerah dan DPRD (fraksi pendukung) mengingat relasi kepala daerah yang terbangun dengan keduanya memang didasarkan pada pertimbangan aspek politik yang sangat kuat, sehingga menghadirkan inner political circle lain sebagai jaringan koalisasi karenanya tidak dibutuhkan. Birokrasi sebagai mesin penggerak birokrasi sedianya diposisikan sebagai inner administrative circle, yang keberadaannya lebih sebagai administrative. Politisasi birokrasi karenanya tidak perlu terjadi mengingat hal itu dibutuhkan untuk menjaga profesionalitas kerja mesin birokrasi. Critical member, yaitu mereka yang menjadi member namun tetap dapat bersuara kritis juga dibutuhkan, guna menjaga konsistensi arah perubahan. Coperative challenger yaitu penentang yang mau membuka komunikasi dengan government (secara langsugn maupun melalui inner cocial circle maupun inner political circle) juga diperlukan, guna menjembatani government dengan para challenger yang cenderung menentang kebijakan. Relasi cooperative challenger dengan para challenger tersebut dapat membantu tercapainya kesepakatan (mempermudah proses negosiasi) antara government dengan para

challenger. Manfaat utama bagi government dapat membantu menangkap (memahami) aspirasi challenger atas kebijakan, sementara bagi challenger hubungan tersebut penting karena dapat membantu mereka mengerti dengan lebih baik tujuan dan manfaat kebijakan serta keterbatasan yang ada pada government.

Gambar 2. Model Hubungan antar Aktor dalam Local Reform in Solo City

(17)

17 DPRD fraksi non pendukung umumnya mengambil posisi sebagai challenger. Meski posisioning DPRD fraksi non pendukung di Indonesia sesungguhnya tidak benar-benar menempati posisi oposisi (menolak satu kebijakan namun mendukung kebijakan lainnya), namun perlu dibangun relasi dengan DPRD sedemikian rupa sehingga penolakan yang dilakukan bersifat proporsional (sebagai proses check and balances) dan bukan penolakan yang bersifat politis (politicking). Kehadiran pihak-pihak yang bersifat tidak memihak (netral) dalam proses “perebutan” resources karena lebih memilih berpihak pada kepentingan publik (pro poor), diperlukan sebagai “pengontrol” proses reform yang berjalan. Peran ini dapat diisi oleh media massa (sebagai pilar keempat demokrasi) maupun perguruan tinggi sebagai pusat rujukan pengetahuan.

Relasi yang bersifat politik dan ekonomi (terlebih lagi dengan tujuan balas jasa atas dukungan pada proses pemilihan) dapat saja terjadi. Namun karena secara faktual terbukti memunculkan praktek politik transaksional (kartel politik) serta penguatan oligarki politik, karenanya perlu dihindari. Sebaliknya relasi dengan member yang dibangun berdasarkan spirit untuk mendorong perubahan (terwujudnya agenda reform) perlu dikembangkan, karena secara faktual (pada kasus Kota Solo) terbukti berkontribusi mendukung terjadinya percepatan perubahan.

Pada kondisi yang lebih ideal, member kategori ini akan lebih baik jika dikelola bersama oleh aktor kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui proses terbuka (dalam penetapan siapa yang terlibat dan alasan pemilihannya) dan bahkan dapat pula dilakukan dengan melibatkan masyarakat (partisipatif) sehingga deal-deal “liar” politik transaksional yang mungkin terjadi dapat dihindarkan. Mereka yang terlibat dapat saja berasal dari

networking pribadi masing-masing aktor kepala daerah, namun akan lebih baik lagi jika diperkaya dengan usulan-usulan publik sehingga merepresentasikan kepentingan khalayak yang lebih luas. Bentuk konkrit member ini adalah semacam senior council atau dewan kota, atau dapt pula berupa forum musyawarah pembangunan kota. Mengenai apakah format forum atau dewan kota bersifat formal atau non formal, terbuka atau tertutup, fleksibel atau fix, sangat tergantung pada kebutuhan. Prinsipnya adalah bagaimana agar member ini dapat bekerja produktif dan efektif dalam mendukung upaya percepatan reform dan tidak terlalu terjebak pada aspek legal formal procedural.

(18)

18 menjaga check and balances, kekuatan DPRD sedianya selain sebagai member juga tetap dibutuhkan mereka yang berada diluar (challenger), untuk memastikan bahwa proses controlling terhadap kekuasaan secara formal tetap berjalan.

Selain itu sangat dimungkinkan terdapat member dengan karakteristik berbeda, yaitu

member yang bersikap lebih kritis (member kritis), meski dalam banyak aspek ikut bekerja mensukseskan kebijakan dan program reform sang walikota. Kehadiran member kritis ini penting, karena mereka juga dapat memperluas cakupan dukungan sosial dan politik tindakan

reform yang dilakukan, dan pada sisi lain tetap dapat memainkan peran pengawasan (kelompok kritis) meski dengan bentuk yang lebih tidak formal. Selain itu member kritis ini penting karena umumnya mereka terkoneksi dengan kekuatan-kekuatan lain seperti dengan

challenger, dan ini dapat mengembangkan networking yang dimiliki penguasa (kepala daerah dan wakil kepala daerah).

Sedangkan challenger, bisa terdiri dari pihak yang mengambil sikap oposan murni dalam artian benar-benar mengambil posisi tidak terlibat dalam pengelolaan kekuasaan dan lebih memilih memainkan fungsi controlling (menjadi pressure group). Masuk dalam kelompok ini adalah NGO, partai dan fraksi maupun anggota parpol non pendukung, dan berbagai kelompok kritis lain yang mungkin ada. Keberadaan kelompok ini perlu dipertahankan agar terus ada guna menjaga terjadinya check and balances dan menghindarkan terjadinya praktek penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power). Selain itu terdapat challenger koperatif, yaitu kelompok penekan yang juga membuka diri untuk dapat berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan pihak penguasa guna menegosiasikan perubahan kebijakan, tanpa perlu masuk menjadi kelompok pendukung, yang dalam praktek posisi ini dapat ditempati oleh NGO dan berbagai kelompok-kelompok kritis lain yang ada dimasyarakat. Sebagaimana halnya member kritis, kehadiran challenger kooperatif diperlukan untuk mengembangkan modal sosial dan modal politik government.

(19)

19 ideal) ada pada posisi ini, meski dalam praktek sangat dimungkin terdapat media yang memposisikan diri sebagai challenger (koran yang aktif menyuarakan kepentingan pihak oposisi) bahkan member (koran pemerintah).

Selain itu member dan challenger tidaklah tunggal karena terdapat berbagai varian, setidaknya untuk member terdiri dari member yang kritis (critical member) sebagaimana diperlihatkan Konsorsium Solo, loyalis sejati (para CSA yang menjadi inner circle Jokowi), dan mereka yang berada diantara keduanya. Sedangkan challenger setidaknya terdiri dari

challenger yang koperatif (cooperative challenger) seperti dilakukan KOMPIP serta radical challenger yang diperankan oleh PATTIRO, yang tidak memiliki keinginan untuk berubah menjadi member berdasarkan pengalaman “tidak menyenangkan” yang mereka alami ketika

mencoba bermitra dengan Pemkot Solo (menjadi member). Faktor adanya sumberdaya alternatif diantara yang menjadi penyebab, terutama sumberdaya dalam pengertian akses pemanfaatan anggaran pembangunan (APBD). Hal itu diantaranya didasari pada pertimbangan menjaga independensi, yang muncul atas kekhawatiran tindakan kooptasi state akibat pemanfaatan anggaran tersebut. Selain itu faktor idealisme juga menjadi penyebab lain mengapa sejumlah challenger mengambil sikap tidak ingin mengubah posisi dan peran mereka dalam the polity. Meski para challenger mengakui aktor kepala daerah memperjuangkan berbagai perubahan, namun secara substantif terdapat perbedaan gagasan perubahan (idea of change) antara aktor kepala daerah dengan para challenger. Gagasan perubahan yang ditawarkan pemegang otoritas dinilai setengah hati, karena mereka menginginkan PKL dapat berdagang dimanapun ditempat yang mereka kehendaki, dan tindakan memindahkan mereka demi alasan penataan kawasan menunjukkan “lemahnya” pembelaan terhadap kelompok miskin karena mereka mendapat prioritas yang lebih rendah dibanding kelompok lain mengingat kawasan yang tertata (city walk) lebih dinikmati kelas menengah ke atas. Selain challenger radikal dan challenger koperatif, dimungkinkan terdapat mereka yang memiliki sikap penentangan berada diantara kedua-duanya.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Hendra Try. (2011). Pembentukan struktur negosiasi Kota Surakarta: Kritik nalar „best practices‟ dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 15, No. 2, 124-139.

(20)

20 Blau, Peter M., & Meyer, Marshall W. (2000). Birokrasi dalam masyarakat modern (Slamet

Rijanto, Penerjemah). Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Burns, Danny., Hambleton, Robin., & Hoggett, Paul. ((1994). The politics of decentralization: Revitalizing loca l democracy. London: Macmillan.

Calender of cultural event Solo 2011. (2010). Pemerintah Surakarta Dinas Informasi dan Komunikasi.

Clark, John. (1995), NGO dan pembangunan demokrasi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Creswell, John W. (2007). Qualitative inquiry & research design: choosing among five approaches (2nd ed.). London: Sage Publications.

Creswell, John. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approach (3rd ed). Thousand Oaks California: Sage Publications.

Culla, Adi Suryadi. (1999). Ma syarakat madani: Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada.

Culla, Adi Suryadi. (2006). Rekonstruksi civil society: Wacana dan aksi ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES Indonesia.

David, Karina Constantino (1997). Intra civil society relations. Philippine Democracy Agenda. 3, 21-50.

Diperlukan Monitoring dan Evaluasi Hasil Musrenbang Sebagai Upaya Mewujudkan Partisipasi Masyarakat Miskin dalam Perencanaan Pembangunan Kota, Monev Hasil Musrenbang, www.konsorsiumsolo.com.

Eldrige; Philip. (1995). Non Government Organiztions and Democratic Participation in

Indonesia. New York: Oxford University Press.

Eschborn, Norbert., & Hackle, Sabrina. (2004). Indonesia today problem and prospective: Politics and society five years into reformasi. Jakarta: Yayasan Konrad Adenauer (Konrad Adenauer Stiftung).

Eyerman, Ron; dan Jamison; Andrew. (1991). Social Movements A Cognitive Approach,

Polity Press, Cambridge, UK.

Fakih, Mansour. (2010). Masyarakat sipil untuk transformasi sosial: Pergolakan ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: INSIST Press.

Farrington, John., dan Bebbington, Anthony. (1993). Reluctant partner? Non-governmental organizations, the state and suistainable agricultural development. London: Routledge. Ganie Rochman, Meuthia. (2002). An uphill struggle: Advocacy NGOs under Soeharto‟s new

order. Depok: Lab. Sosio Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI.

Geliner, Ernest. (1994). Membangun masyarakat sipil: Prasyarat menuju kebebasan. Bandung: Mizan.

Giddens, Anthony. (1995). The constitution of society: The outline of the theory of structuration, UK: Polity Press Cambridge.

Goodman. Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prenada Media. 2004

Grindle, Merilee S. (2009). Going local: Decentralization, democratization, and the promise of good governance. New Jersey: Princeton University Press.

(21)

21 Gunawan, Jamil. (Ed). (2005). Desentralisasi, globalisasi dan demokrasi lokal. Jakarta:

LP3ES.

Hadisiswaya, A. M. (2011). Pergolakan raja Mataram. (Edisi. Revisi). Yogyakarta: Inter Prebook.

Hadiwinata, Bob S. (2003). The Politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement. London and New York: RoutledgeCurzon

Hardojo, Antonio Pradjasto, dkk. (2008). Mendahulukan si miskin: Buku sumber bagi anggaran pro rakyat. Yogyakarta: LKIS.

Haris, Syamsuddin., dkk. (2006). Membangun format baru otonomi daerah. Jakarta: LIPI Press.

Harris, John; Stokke, Kristian; dan Tornquist, Olle. (2005). Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, Demos. Jakarta: Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi.

Hines, Colin. (2005). Mengganti globalisasi ekonomi menjadi lokalisasi demokrasi. Yogyakarta: INSIST Press.

HM, Zaenuddin. (2012). Kisah walikota yang inspiratif: Jokowi dari jualan kursi hingga dua kali mendapatkan kursi. Jakarta: Ufuk Press.

Indikator Lokal kemiskinan untuk Efektifitas Program Penanggulangan KemiskinaN di Kota Surakarta, Muhamad Amin, www.konsorsiumsolo.com

International Social Science Review (2010).The Theory and Practice of Local Government Reform, Antwi-Boasiako, Kwame. 85. ½

Janoski; Thomas. (et.al)., 2005., The Handbook of Political Sociology: states, Civil Societies, and Globalization, Cambridge University Press, New York.

Kota Surakarta dan Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral, Ahmad Rifai, Putut Gunawan, Samsul Bachry, Vera Kartika G, www.konsorsiumsolo.com.

Kumorotomo, Wahudi., & Pramusinto, Agus. (ed) (2009). Governance reform di Indonesia: Mencari arah kelembagaan politik yang demokratis dan birokrasi yang profesional. Yogyakarta: Kerjasama Penerbit Gaya Media & MAP UGM.

LIPI. (1993). Demokrasi Politik, makalah Seminar Perkembangan Demokrasi di Indonesia Sejak 1945. Jakarta: Widyagraha, LIPI.

Marijan, Kacung. (2006). Demokratiasasi di daerah: Pelajaran dari pilkada secara langsung. Surabaya: Pustaka Eureka.

Maula, M. Jadul., & A.F., Fikri Akhmad., dkk. (ed) (2001). Ngesuhi deso sak kukuban: Lokalitas, pluralism, modal sosial demokrasi. Yogyakarta: LKIS.

McClosky, Herbert., 1972., Political Participation, International Encyclopedia of The Social Sciences, Second Edition, New York: The Macmillan Company and The Free Press.

Memboyong 989 PKL: Dari Banjarsari ke Semanggi. Solo (2007). Solo: Pemerintah Kota Surakarta Badan Informasi dan Komunikasi

Mustafa, Ali Achsan. (2008). Transforma si sosial sektor informal: Sejarah, teori, dan praksis pedagang kaki lima. Malang: Kerjasama In-Trans Publishing & INSPIRE.

Nordholt, Henk Schulte., & van Klinken, Gerry. (ed). (2007). Politik lokal di Indonesia.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Dana Pembangunan Kelurahan, Muhamad Amin,

(22)

22 Perkuat Kembali Musrenbang, Rayakan Kebersamaan dengan Masyarakat Marginal,

Akbarudin Arif, www.kompip.com; diunduh pada 31 Oktober 2010.

Peter M Blau dan Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern (Burea ucracy in Modern Society), alih bahasa Drs. Slamet Rijanto, Penerbit Prestasi Pustakaraya,Jakarta, 2000.

Prasetyantoko, A., & Budiantoro, Setyo., & Bahagijo, Sugeng. (2012). Pembangunan inklusif: Prospek dan tantangan. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.

Prasojo, Eko., dkk. (2006). Desentralisasi dan pemerintahan daerah: Antara model demokrasi lokal dan efisiensi struktural. Depok: DIA FISIP UI.

Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. (2008). Kajian dan advokasi pelembagaan norma keswadaayaan masyarakat (good societal governance) dalam rangka good governance. Penulis.

Qomarun., dan Budi Prayitno. (2007). Morfologi Kota Solo Tahun 500-2000, Dimensi Teknik Arsitektur Vo. 35, No. 1.

Reinventing local government human services management: A Conceptual Analysis, Gabris, Gerald T; Grenell, Keenan D; Kaatz, James. Public Administration Quarterly Volume 22 Nomor 1 (Spring 1998): halaman 74-97.

Restrukturisasi Kota Solo Pasca Kerusuhan Mei 1998 Menuju Masyarakat Madani, Soleh Amini Yahman, M.Si, Psi

Ritzer, George., dan Goodman., Douglas J. (2003). Sociology theory. 6th Ed. Boston: McGraw Hill International.

Ritzer, Goerge. (1996). Modern Sociological Theory. 4ht Ed. Boston: McGraw Hill International.

Salamm, Alfitra. (Ed). (2007). Desentralisasi & otonomi daerah: Desentralisasi, demokratisasi & akuntabilitas pemerintah daerah. Jakarta: LIPI Press.

Samrono, Imam. (2010). Daerah Istimewa Surakarta: Wacana pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Surakarta ditinjau dari perspektif historis, sosiologis, filosois, dan yuridis. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Samuel, Hanneman., & Nordholt, Henk Schulte. (ed). Indonesia in transition: Rethinking

„civil society‟, „region‟, and „crisis‟. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siraishi, Takashi. (2005). Zaman bergera k: Radikalisme rakyat di Jawa Tengah 1912-1926

(Cetakan kedua). (Hilmar Farid, Penerjemah.). Jakarta: Grafiti.

Sobari, Wawan, dkk.(2004). Inovasi referensi: Tiga tahun otonomi daerah dan otonomi award. Jakarta: Partnership

Stiftung, Bertelsmann. (ed). (2009). Sustainable governance indicators 2009: Policy performance and executive capacity in the OECD. Verlag Bertelsmann Stiftung.

Strategi Perencanaan Pembangunan Permukiman Kumuh, Kasus pemukiman Bantaran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucang Sawit, Surakarta; Murtanti Jani Rahayu dan Rutiana D, Gema Teknik Nomor 1 Tahun x Januari 2007

Sugiartoto, Agus Dody. (2003). Perencanaan Pembangunan Parsitipatif Kota Surakarta: Pendekatan Pembangunan Nguwongke-Uwong. Surakarta: IPGI.

(23)

23 Suhirman. (Ed.). (2009). Partisipasi, reformasi kelembagaan, dan alokasi anggaran: Pembelajaran dari 5 daerah. Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM).

Sumarto, Hetifah Sj. (2009) Inovasi, partisipasi, dan good governance: 20 prakarta inova tif dan partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Surakarta dalam angka 2010. (2011). Solo: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta. Surakarta dalam angka 2011 (2012). Solo: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.

Suwiknya, Dwi. (2012). Jokowi pemimpin yang rendah hati. Makasar: Arus Timur Enak Dibaca dan Perlu.

Suwondo, Kutut. (2005). Civil society di aras lokal: Perkembangan hubungan antara rakyat

(2nd, ed). Salatiga: Pustaka Percik.

Taufani, Bernard. (2012). Kisah nyata anak miskin yang menjadi besar: Jokowi from hero to zero. Jakarta: PT Suka Buku.

Thayrun, Yon. (2012). Jokowi pemimpin rakyat berjiwa rocker. Jakarta: Noura Books.

The impact of alternative styles of policy leadership on the direction of local government reform, Wallis, Joe;Dollery, Brian; International Journal of Social Economics; 2005; 32, 4; ABI/INFORM page: 291

Tilly, Charles. (1978). From mobilization to revolution. New York: Random House.

Tjandra, W. Riawan, dkk. (2005). Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pelayanan publik. Jakarta: Pembaruan.

Triwibowo, Darmawan (editor)., 2002., Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta: LP3ES & Perkumpulan Prakarsa.

Turner, Jonathan H. (1990). The Structure of Sociological Theory, California: Wadsworth Publishing Company.

Turner, Mark., & Podger, Owen. (2003). Decentralization in Indonesia: Redesigning the state. Canberra: Asia Pacific Press Asia Pacific School of Economics and Government the Australia National University.

Ufford, Philip Quarles van., & Giri, Ananta Kumar. (ed). (2004). Kritik moral pembangunan

(Pemad, Penerjemah). Jakarta: Kanisius.

Utami, Trisni. (2005). Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Melalui Kemitraan Antar Stageholder (Studi Pada Komunitas Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta. Surakarta : Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.

Utami, Trisni. (2006). Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Melalui Kemitraan Antar Stakeholders (Studi Pada Komunitas Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Tahun II.

Wibawa, Samudra, dkk. (1994). Evaluasi kebijakan publik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Yin, Robert K. (2002). Studi kasus desain & Metode. Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada. Zuhro, R. Siti, dkk. (2009). Demokrasi lokal: Peran aktor dalam demokratisasi. Yogyakara:

Penerbit Ombak.

Gambar

Gambar 1. Tindakan Reform Agen dalam Proses Reform di Kota Solo
Gambar 2. Model Hubungan antar Aktor dalam Local Reform in Solo City

Referensi

Dokumen terkait

 Pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Kabupaten Banjarnegara sesuai dengan Keputusan Bupati Banjarnegara Nomor: 700/1290

Tunas-tunas yang terbentuk tersebut berwarna hijau dengan pertumbuhan sempurna (Gambar 3), sedangkan pada eksplan kalus embrionik hasil persilangan antara jeruk siem x

Prinsip dari metode biuret adalah ikatan peptida dapat membentuk senyawa kompleks berwarna ungu dengan penambahan garam kupri dalam suasana basa (Carprette, 2005)..

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya melalui Bidang Permukiman berupaya untuk selalu mereview dan memperbaharui status dari Database infrastruktur,

Sejak awal pemanfaatan nuklir, Indonesia telah menjalin kerjasama internasional dengan berbagai pihak, baik bersifat bilateral, regional, dan multilateral yang salah satu

Evaluasi faktor – faktor eksternal ini berguna untuk mengetahui kekuatan ataupun kelemahan dari perusahaan, dimana dengan mengatui kekuatan atau kelemahan yang terdapat di

ANOVA digunakan untuk mengetes hipotesa bahwa rata-rata antara 2 atau lebih group apakah sama dengan membandingkan variansi pada tingkat kepercayaan tertentu.Dengan kata lain,

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui rata-rata hasil belajar matematika peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif TAI dengan