• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter II Studi Pengaruh Korona Terhadap Surja Tegangan Lebih Pada Saluran Transmisi v

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Chapter II Studi Pengaruh Korona Terhadap Surja Tegangan Lebih Pada Saluran Transmisi v"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

SALURAN TRANSMISI DAN KORONA

Saluran transmisi memegang peranan penting dalam proses penyaluran daya dari pusat-pusat pembangkit hingga kepusat-pusat beban. Agar dapat melayani kebutuhan tersebut maka diperlukan sistem transmisi tenaga listrik yang handal dengan tingkat keamanan yang memadai. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan peralatan utama maupun peralatan lainnya seperti instrumen gardu induk adalah sambaran surja petir baik secara langsung maupun tidak langsung pada peralatan di transmisi maupun peralatan di gardu induk. Dengan demikian, pada sebuah gardu induk dan sistem menara transmisi sangat diperlukan perlindungan terhadap gangguan akibat surja petir. Untuk melindungi kawat fasa serta menjadi medium tempat mengalirnya arus gangguan akibat sambaran surja petir maka diperlukan peralatan tenaga listrik yang disebut dengan kawat tanah dan lightning arrester [1].

2.1 Tegangan Tinggi Impuls

(2)

7 Gambar 2.1 Jenis-jenis tegangan impuls

Tegangan impuls di definisikan sebagai suatu gelombang yang berbentuk eksponensial ganda yang dapat dinyatakan dengan persamaan:

( ) = 0 − − − (2.1)

dimana

Vo = Magnitud Tegangan (kV)

a,b = konstanta-konstanta yang dipengaruhi nilai RLC

Dari persamaan (2.1) dapat dilihat bahwa bentuk gelombang impuls ditentukan oleh konstanta a dan b, sedangkan nilai konstanta a dan b ini ditentukan oleh komponen rangkaian [2].

Definisi bentuk gelombang impuls [2]

1. Bentuk dan waktu gelombang impuls dapat diatur dengan mengubah nilai komponen rangkaian saluran (konstanta a dan b)

2. Nilai puncak (peak value) merupakan nilai maksimum gelombang impuls. 3. Muka gelombang (wave front) didefinisikan sebagai bagian gelombang yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak. Waktu muka (Tf) adalah waktu yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak gelombang.

(3)

8 waktu yang dimulai dari titik nol sampai setengah puncak pada ekor gelombang

Suatu tegangan impuls dinyatakan dengan tiga besaran yaitu tegangan puncaknya (Vmaks), waktu muka (Tf), dan waktu ekor (Tt). Menurut IEC waktu

muka dan waktu ekor untuk tegangan impuls petir adalah :

× = 1,2 × 50 �

Gambar 2.2 Tegangan impuls petir berdasarkan standar IEC Standar bentuk gelombang impuls petir yang dipakai oleh beberapa Negara ditunjukan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Standar bentuk tegangan impuls petir [2]

Standar Tf x Tt

Jepang 1 x 40 µs

Jerman dan Inggris 1 x 50 µs Amerika 1.,5 x 40 µs

(4)

9 Nilai toleransi waktu muka dan waktu ekor gelombang untuk standar Jepang adalah 0,5 –2 μs dan 35 –50 μs, standar Inggris 0,5 –1,5 μs dan 40 – 60

μs, sedangkan untuk standar Amerika adalah 1,0 – 2,0 μs dan 30 – 50 μs seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.3. Dari Gambar 2.3 dapat dilihat bahwa standar IEC merupakan kompromi antara standar-standar tegangan impuls berbagai Negara [2].

Gambar 2.3 Standar bentuk gelombang tegangan impuls petir

2.2 Mekanisme Sambaran Petir

(5)

10 positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Biasanya muatan negatif berada di bagian bawah awan dan muatan positif berada di bagian atas.

Muatan listrik pada awan ini mengakibatkan adanya beda potensial antara awan dengan bumi, sehingga timbul medan listrik antara awan dengan bumi. Jika medan listrik lebih besar daripada kekuatan dielektrik udara yang mengantarai bumi dengan awan, maka akan terjadi pelepasan muatan.

Pelepasan pertama terjadi di udara yang berada di sekitar awan bermuatan. Pelepasan ini disebut pilot leader. Di ujung pilot leader terjadi proses ionisasi sehingga terjadi pelepasan kedua yang disebut dengan downward leader. Di ujung

downward leader terjadi lagi pelepasan muatan menuju ke bumi. Demikian seterusnya proses pelepasan berlangsung terus sehingga downward leader

(6)

11 Gambar 2.4 Tahapan Sambaran Petir ke Tanah [3]

Ketika leader mendekati bumi terjadi medan listrik yang sangat tinggi antara ujung leader dengan bumi, sehingga terjadi penumpukan muatan di ujung suatu objek yang berada di permukaan bumi. Dengan demikian muatan yang berasal dari bumi bergerak menuju ujung leader.

Titik bertemunya kedua aliran yang berbeda muatan ini disebut striking point dapat dilihat pada Gambar 2.13(c), sesaat setelah itu terjadi perpindahan muatan dari tanah ke awan melalui sambaran balik. Perpindahan muatan dari awan ke tanah akan kembali memunculkan beda potensial yang tinggi antara pusat muatan di awan seperti pada Gambar 2.13(d). Akibatnya, terjadi pelepasan muatan susulan atau yang disebut pelepasan muatan berulang (multiple stroke).

2.3 Gangguan Petir Pada Saluran Transmisi

(7)

12 1. Gangguan akibat sambaran langsung, yang terdiri dari :

a. Gangguan petir pada kawat tanah,

b. Gangguan petir pada kawat fasa atau kegagalan perisaian. 2. Gangguan petir akibat sambaran tidak langsung atau sambaran induksi.

Gangguan akibat sambaran langsung petir adalah adanya sambaran petir yang langsung mengenai suatu objek tertentu Sambaran petir langsung dapat menimbulkan bermacam-macam gangguan yang tidak hanya membahayakan peralatan listrik namun juga bisa mengancam keselamatan jiwa manusia. Besarnya tegangan yang diakibatkan sambaran petir ini dapat mencapai 3000 kV.

Gangguan pada jaringan listrik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu sambaran petir mengenai kawat tanah dan sambaran petir mengenai kawat fasa. Sambaran petir yang langsung mengenai kawat tanah dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:

a) Terputusnya kawat tanah. Arus yang besar menyebabkan panas yang tinggi pada kawat tanah yang dapat melampaui kekuatan kawat untuk menahannya.

b) Naiknya potensial kawat tanah yang diikuti oleh backflashover ke kawat fasa. Pada saat terjadi sambaran pada kawat tanah, dengan cepat potensialnya naik mencapai nilai yang cukup tinggi sehingga dapat mengakibatkan lompatan muatan listrik ke kawat fasa di dekatnya.

(8)

13 2.4 Fenomena Korona

Bila dua elektroda yang penampangnya kecil (dibandingkan dengan jarak antara kedua elektroda tersebut) diberi tegangan bolak-balik, maka akan mungkin terjadi fenomena korona. Pada tegangan yang cukup rendah, tidak akan terjadi apa-apa. Pertama-tama, pada elektroda akan kelihatan bercahaya, mengeluarkan suara-suara mendesis (hissing), dan berbau ozon. Warna cahaya yang terlihat adalah ungu muda (Violet). Apabila tegangan dinaikan secara terus menerus, maka karakteristik yang terjadi diatas akan semakin jelas terlihat, terutama pada bagian yang kasar, runcing dan kotor. Cahaya akan bertambah besar dan terang. Apabila tegangan masih terus dinaikan, maka akan muncul busur api. Pada keadaan udara lembab, korona menghasilkan asam nitrogen (nitrous acid), yang menyebabkan elektroda berkarat bila kehilangan daya cukup besar.

Korona terjadi disebabkan karena adanya ionisasi dalam udara, yaitu terjadinya kehilangan elektron dari molekul udara. Karena terjadinya ionisasi molekul dalam udara, maka molekul netral (A) di udara bebas mendapatkan energi foton yang cukup dan besarnya melebihi energi yang diperlukan untuk membebaskan elektron dari molekul gas atau udara. Kelebihan energi foton akan dilimpahkan pada elektron yang kemudian dibebaskan dalam bentuk energi kinetik. Hal ini dapat ditunjukan dalam persamaan berikut ini :

+

1 2 �

2

+++

(9)

14 Karena hal ini terjadi secara terus-menerus maka jumlah ion dan elektron bebas menjadi berlipat ganda. Apabila terjadinya eksitasi elektron atom gas, yaitu berubahnya kedudukan elektron gradien tegangan menjadi cukup besar maka akan timbul fenomena korona. Selain menyebabkan terjadinya ionisasi molekul, tumbukan elektron juga menyebabkan perpindahan dari orbital awalnya ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Pada saat elektron berpindah kembali ke tingkat orbital yang lebih rendah, maka akan terjadi pelepasan energi berupa cahaya radiasi dan gelombang elektromagnetik berupa suara bising.

2.4.1 Cahaya Ungu

(10)

15 Gambar 2.5 Cahaya Ungu pada Saluran Transmisi Hantaran Udara

2.4.2 Suara Bising

(11)

16 Gambar 2.6 Ultrapobe alat pendeteksi suara korona

2.4.3 OZON (O3)

Pada korona dengan kelembaban tinggi dihasilkan gas ozon dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Gas ozon ini akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya aktifitas korona. Ozon yang dihasilkan dapat meningkat secara pesat saat terjadinya pelepasan korona. Pembentukan ozon dihasilkan dari beberapa molekul oksigen [4].

3O2→ 2O3

Pembentukan ozon oleh pelepasan korona pada oksigen murni, memiliki beberapa tahap pembentukan.

e- + O2→ 2O + e-

O + O2+ M → O3 +M

Dimana M = O2 atau N2

(12)

17 tumbukan dengan elektron bebas. Elektron bebas ini kemudian jumlahnya bertambah dengan meningkatnya medan listrik, medan listrik yang semakin tinggi akan meningkatkan aktifitas dari korona. Oksida bebas tersebut akan bereaksi dengan oksigen yang kemudian akan membentuk ozon. Konsentrasi ozon ini meningkat sampai terjadinya pelepasan korona, kemudian setelah kondisi ini ozon akan terurai akibat panas yang dihasilkan saat pelepasan korona.

O3→ O2 + O

O + O3→ 2O2

Ozon merupakan molekul triatomik, dimana molekul triatomik ini termasuk golongan yang astabil atau tidak stabil. Ini menyebabkan ozon sangat mudah terurai dibandingkan oksigen (diatomik).

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Korona

(13)

18 2.5.1 Atmosfer

Keadaan atmosfer mempengaruhi nilai kekuatan isolasi udara dan gradien potensial awal terjadinya korona, diantaranya yaitu angin, kelembapan udara, cuaca, dan suhu udara. Misal ketika kondisi lingkungan sedang berangin kencang, maka jumlah ion dan elektron akan lebih banyak dari pada saat kondisi normal. Hal ini menyebabkan korona terjadi pada gradien potensial lebih rendah dibandingkan cuaca normal.

Suhu dan tekanan sangat mempengaruhi nilai dari tegangan awal korona, semakin tinggi suhu maka tegangan awal korona menjadi lebih kecil, sehingga korona menjadi lebih besar. Pada tekanan tinggi maka tegangan awal korona menjadi semakin tinggi dan korona lebih kecil. Pada daerah yang memiliki suhu yang tinggi dan tekanan rendah, maka korona akan menjadi lebih besar. Daerah pengunungan memiliki suhu rendah dan tekanan relatif tinggi, sehingga kemungkinan korona menjadi lebih kecil.

Kelembapan udara yang semakin tinggi juga akan mempercepat terjadinya korona. Pada saat udara semakin lembab maka semakin banyak air yang terkandung dalam udara tersebut sehingga elektron bebas yang dihasilkan akan semakin banyak. Dengan demikian banyaknya elektron bebas ini, maka longsoran elektron akan semakin cepat terbentuk dan terjadi ionisasi yang mengawali terjadinya korona.

(14)

19

= 30 0 1 + 0.3 (2.2)

dimana

Vi = Tegangan kegagalan kritis udara (kV)

į = Faktor kerapatan udara = 1 (tekanan 76 cmHg dan suhu 250C) = = 0.386

273+

r = Jari-jari konduktor (m)

D = Jarak antar pusat konduktor terhadap tanah (m)

m0 = Faktor tak tentu/faktor kekasaran permukaan konduktor (lihat

Tabel 2.2)

Dari persamaan Peek tersebut ditunjukkan bahwa pada keadaan basah, tegangan minimum terjadinya korona lebih rendah dibandingkan dengan keadaan normal. Jadi, dapat disimpulkan korona lebih cepat terjadi pada keadaan basah.

2.5.2 Kerapatan Udara

(15)

20 2.5.3 Ukuran dan Bentuk Permukaan Konduktor

Ukuran diameter dari konduktor juga mempengaruhi fenomena terjadinya korona, konduktor dengan diameter lebih besar akan memiliki medan listrik lebih kecil dibandingkan pada konduktor dengan diameter yang lebih kecil. Perhatikan persamaan dibawah ini:

Konduktor dengan diameter lebih besar memiliki tegangan awal korona lebih besar dibandingkan dengan diameter yang lebih kecil. Pada konduktor dengan diameter lebih kecil atau ujungnya runcing akan memiliki medan listrik yang lebih tinggi dikarenakan elektron terkumpul disatu titik tidak menyebar, sehingga peristiwa korona semakin mudah terjadi. Itu sebabnya mengapa pada penangkap petir konduktor ujungnya dibuat meruncing.

(16)

21 yang halus. Sehingga pada permukaan kasar korona yang terjadi lebih besar dibandingkan kawat halus.

Untuk kawat transmisi terdapat suatu faktor yang dinamakan faktor ketidakteraturan (m0). Maksudnya merupakan ketidakteraturan dari bentuk

permukaan kawat. Dalam kondisi normal faktor permukaan kawat ini ditetapkan oleh Peek pada Tabel 2.2.

Table 2.2 Hubungan Kondisi Permukaan Kawat dengan Nilai mo [2]

Kondisi permukaan kawat m0

Halus 1.0

Kawat padat yang kasar 0.93 – 0.98 kawat tembaga rongga 0.90 – 0.94

Kawat lilit 7 0.82 – 0.87

Kawat lilit 19-61 0.80 – 0.85

2.5.4 Jarak Antar Konduktor

(17)

22 2.5.5 Tegangan Saluran

Pada suatu sistem transmisi memiliki tegangan saluran yang sangat besar antar fasanya, besar dari tegangan saluran ini menentukan besar dari medan listrik yang dihasilkan sekitar kawat transmisi tersebut. Semakin besar tegangan, maka akan semakin besar medan listriknya. Dengan demikian, semakin meningkatnya medan listrik maka korona akan memiliki percepatan dalam tumbukannya, sehingga elektron akan semakin mudah bertumbukan dan semakin cepat pula terbentuk longsoran elektron (avalanche). Waktu terjadinya korona pun akan menjadi lebih cepat. Selain itu, pada tegangan saluran yang besar akan terdapat tekanan elektrostatik pada permukaan konduktor, membuat udara disekeliling konduktor terionisasi. Pada saat ionisasi akan dihasilkan longsoran elektron

(avalanche), longsoran elektron ini akan semakin cepat terbentuk jika tegangan saluran terus ditingkatkan. Semakin besar tegangan yang diberikan, maka akan semakin besar percepatan yang dimiliki elektron untuk bertumbukan sehingga

avalanche akan lebih cepat terjadi selanjutnya akan terjadi peristiwa korona.

2.6 Akibat Yang Ditimbulkan Korona

Korona cukup menyebabkan banyak masalah yang harus mendapat perhatian, diantaranya interferensi radio, degradasi atau kerusakan pada peralatan listrik yang dikenai korona, dan meningkatnya rugi-rugi daya saluran.

2.6.1 Interferensi Radio

(18)

23 akibat korona ini juga dapat menyebabkan interferensi televisi dan rangkaian komunikasi yang berada didekatnya.

Adanya tumbukan elektron-elektron pada udara sekitar, akan menimbulkan arus yang nilainya relatif kecil dan memiliki bentuk gelombang yang non-sinusoidal. Akibatnya akan terdapat non-sinusoidal voltage drop. Kemudian akan terbentuk medan elektromagnetik dan medan elektrostatik. Selanjutnya medan elektromagnetik dan medan elektrostatik ini menginduksikan rangkaian komunikasi atau radio disekitarnya, sehingga akan menyebabkan terjadinya interferensi.

2.6.2 Degradasi atau Kerusakan Material dan Peralatan Listrik

Korona menimbulkan panas disekitar daerah terjadinya korona dan panas ini semakin meningkat dengan kenaikan tegangan yang diberikan sampai terjadi pelepasan korona. Panas ini dapat menyebabkan perubahan susunan atom dari material. Akibatnya material tersebut memiliki susunan atom yang baru, sehingga sifat dari material tersebut mengalami perubahan. Pada akhirnya material tersebut akan lebih cepat rusak dan mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Pada saat pembentukan korona juga dihasilkan senyawa ozon (O3), dimana jika kondisi

lembab dan gas ini bereaksi secara kimia dengan konduktor dapat menyebabkan korosi pada konduktor tersebut.

(19)

24 dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan listrik karena dilalui arus yang melebihi rating-nya.

2.6.3 Rugi Daya Korona

Ion dan elektron yang bergerak pada udara memiliki percepatan karena energi kinetik yang diberikan. Energi kinetik tersebut didapat dari sistem dan dikatakan energi yang hilang. Energi yang hilang ini terdisipasi dalam bentuk panas, suara, dan cahaya inilah yang dimaksud dengan rugi daya korona. Rugi daya pada keadaan cuaca normal ditentukan berdasarkan percobaan oleh Peek, dengan persamaan [5]:

= 241 + 25 − 0 2 10−5 / (2.4)

dimana

P = Rugi daya akibat korona (kW/km/fasa) f = Frekuensi daya (Hz)

V = Tegangan fasa ke netral (kV)

V0 = Tegangan distruptif Korona (kV/fasa)

į = Faktor kerapatan udara =1 (tekanan 76 cmHg dan suhu 20oC) b = Tekanan (mmHg)

t = Suhu (oC)

r = Jari-jari Konduktor (cm)

2.7 Manfaat Korona Pada Saluran Transmisi Hantaran Udara

(20)

25 bilamana korona membentuk, lapisan sekitar konduktor menjadi konduktif dan hal ini secara praktis merupakan semacam penambahan luas penampang konduktor, dan menyebabkan gradien potensial atau tegangan elektrostatik maksimum menurun. Dengan demikian kemungkinan terjadinya tegangan tembus (flash over)

sistem meningkat, (ii) Efek-efek transien (peralihan) karena sambaran petir dan sebab-sebab lain berkurang, karena muatan-muatan yang diinduksikan pada saluran akibat sambaran petir dan sebab-sebab lain sebagiannya akan didisipasikan sebagai rugi-rugi korona. Dengan cara ini ia bekerja sebagai suatu katup pengaman dan kadang-kadang suatu saluran dengan sengaja direkayasa untuk memiliki tegangan operasi berdekatan dengan tegangan kritikal supaya tidak perlu mempergunakan arrester petir yang mahal. Ada kesulitan, karena tegangan kritikal tidak konstan untuk suatu saluran, dan akan berubah dengan sesuai dengan keadaan cuaca sekitarnya.

Dari sisi lain korona juga dapat dipahami sebagai berikut;

i. Terdapatnya rugi-rugi daya dan energi, walaupun hal ini agak kecil, kecuali pada cuaca yang sangat buruk.

ii. Terdapatnya suatu penurunan tegangan yang non-sinusoidal disebabkan arus korona yang non-sinusoidal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya sedikit interferensi dengan saluran-saluran telekomunikasi berdekatan disebabkan oleh induksi elektromagnetik dan elektrostatik.

iii. Karena adanya distorsi dari bentuk gelombang, terutama gelombang harmonik ketiga akan berpengaruh pada saluran transmisi.

(21)

26 2.8 Tegangan Kritis Disruptif

Tegangan kritis disruptif merupakan tegangan minimal yang dibutuhkan untuk terjadinya ionisasi pertama kali dipermukaan konduktor. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Peek’s, kekuatan dielektrik udara maksimum pada

kondisi standar dengan tekanan udara 1 atm (760 mmHg), suhu 20 oC adalah 30 kV/cm. Kekuatan dielektrik udara berbanding lurus dengan kepadatan udara sekitar. Besarnya kepadatan udara dapat di rumuskan [1]:

=

0.386

273+ (2.5)

dimana

į = Kepadatan Udara p = Tekanan udara (mmHg) t = suhu udara (oC)

Tegangan kritis disruptif atau juga kita sebut dengan tegangan awal terjadinya korona (corona inception voltage) dengan mempertimbangkan pengaruh konduktor, keseragaman, permukaan konduktor dan lingkungan untuk

konduktor tunggal sebagaimana diteliti oleh Peek’s [5]:

=

60 (2.6)

dimana

(22)

27 Ec = medan listrik kritis di permukaan konduktor (kV/cm)

Dari persamaan diatas, menunjukan bahwa semakin kecil nilai jari-jari konduktor maka tegangan awalan terjadinya korona (Vi) akan semakin mengecil pula. Ada beberapa rumus empiris yang digunakan untuk menentukan medan listrik kritis (Ec) permukaan konduktor, diantaranya ialah:

= 23 1 + 1.220.37 −1 1991 [6] (2.7)

= 23 0.67 1 +0.3 −1 1954 [7] (2.8)

= 30 0.67 1 + 0.3 −1 (2007) [5]

(2.9)

dimana

į = Faktor kepadatan udara relatif ( bernilai 1 untuk medium udara) m0 = Kondisi permukaan konduktor

= 1 untuk permukaan licin

= 0.93-0.98 untuk permukaan kasar, dan = 0.82-0.87 untuk kawat stranded

d = diameter konduktor (cm) r = jari-jari konduktor (cm)

2.9 Saluran Transmisi

(23)

28 oleh konduktor melalui saluran transmisi dari pusat-pusat pembangkit tenaga listrik kepada pemakai tenaga listrik (consumer). Tegangan pada saluran transmisi ini disalurkan melalui kawat penghantar yang ditopang oleh menara atau tiang penyangga yang tinggi yang terbuat dari campuran baja yang disesuaikan dengan posisi atau daerah dengan jarak tertentu.

Saluran transmisi di zaman modern sekarang ini bukan hanya digunakan untuk menyalurkan tenaga listrik tetapi juga dapat digunakan untuk saluran transmisi komunikasi seperti PLC (Power Line Carrier) dan data isyarat. Tetapi kemampuan transmisi dari suatu saluran dengan tegangan tertentu tidak dapat ditetapkan dengan pasti karena kemampuan ini masih tergantung lagi pada batasan-batasan thermal dari penghantar dan jatuh tegangan yang diperbolehkan. Pada umumnya saluran transmisi dalam penggunaannya dapat dibagi dua:

1. Saluran hantaran udara (Overhead Lines)

2. Saluran hantaran bawah tanah (Underground Cable)

(24)

29 (a) (b)

Gambar 2.7 (a) Saluran Transmisi Tunggal, (b) Saluran Tranmsisi Ganda Komponen Utama Saluran Hantaran Udara :

A. Menara atau tiang transmisi

Pada suatu Sistem Tenaga Listrik, energi listrik yang dibangkitkan dari pusat pembangkit listrik ditransmisikan ke pusat-pusat pengatur beban melalui suatu saluran transmisi, saluran transmisi tersebut dapat berupa saluran udara atau saluran bawah tanah, namun pada umumnya berupa saluran hantaran udara. Energi listrik yang disalurkan lewat saluran transmisi udara pada umumnya menggunakan kawat telanjang sehingga mengandalkan udara sebagai media isolasi antara kawat penghantar tersebut dengan benda sekelilingnya, dan untuk menyanggah/merentangkan kawat penghantar dengan ketinggian dan jarak yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitarnya, kawat-kawat penghantar tersebut dipasang pada suatu konstruksi bangunan yang kokoh, yang biasa disebut menara

(25)

30 Konstruksi menara besi baja merupakan jenis konstruksi saluran transmisi tegangan tinggi (SUTT) ataupun saluran transmisi tegangan ekstra tinggi (SUTET) yang paling banyak digunakan di jaringan PLN (Gambar 2.7), karena mudah dirakit terutama untuk pemasangan di daerah pegunungan dan jauh dari jalan raya, harganya yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan saluran bawah tanah serta pemeliharaannya yang mudah.

Jenis-jenis Menara Transmisi, menurut Konstruksinya, antara lain:

(a) Latice Tower (b) Tubular Steel Pole

(c) Concrete Pole (d) Wooden Pole

(26)

31 B. Isolator-isolator

Jenis isolator yang digunakan pada saluran transmisi adalah jenis porselin atau gelas. Menurut penggunaan dan konstruksinya dikenal 3 jenis isolator yaitu : a) Isolator jenis pasak (22-33 KV)

b) Isolator jenis pos saluran (22-33KV) c) Isolator gantung

Gambar 2.9 Jenis-jenis Isolator Pada Saluran Transmisi

(27)

32 C. Kawat penghantar

Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa yang digunakan pada saluran transmisi adalah:

a) Tembaga dengan konduktivitas 100 % (Cu 100 %) b) Tembaga dengan koduktivitas 97,5 % (Cu 97,5 %) c) Almunium dengan konduktivitas 61 % (Al 61 %) Kawat penghantar Almunium terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

i. AAC : “All Aluminium Conductor”yaitu kawat penghantar yang seluruhnya

terbuat dari almunium.

ii. AAAC : “All-Aluminium Alloy Conductor“ yaitu kawat penghantar yang

seluruhnya terbuat dari campuran almunium.

iii. ACSR : “Aluminium Conductor Steel Reinforced” yaitu kawat penghantar

almunium dengan inti kawat baja.

iv. ACAR : “Aluminium Conductor Alloy Reinforced” yaitu kawat penghantar almunium yang diperkuat dengan logam campuran.

(28)

33 Pada umumnya saluran transmisi yang ada di Indonesia menggunakan jenis kawat penghantar jenis ACSR. Karena kawat tembaga mempunyai tahanan yang lebih kecil, namun berat dan harga yang lebih mahal dari almunium. Untuk memperbesar kuat tarik dari almunium maka digunakan campuran almunium

(almunium alloy).

D. Kawat tanah

Kawat tanah atau ground wires juga disebut dengan kawat pelindung

(shield wires) gunanya untuk melindungi kawat-kawat penghantar atau kawat fasa terhadap sambaran petir, untuk itu kawat tanah ini harus dipasang diatas kawat fasa. Sebagian kawat tanah umumnya dipakai kawat baja (steel wires) yang lebih murah tetapi tidaklah jarang pula digunakan ACSR. Awalnya kawat tanah dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap sambaran tidak langsung (sambaran induksi) di sekitar kawat fasa transmisi. Akan tetapi dikemudian hari dari hasil-hasil pengalaman dan teori, penyebab utama yang menimbulkan gangguan transmisi tegangan tinggi 70 kV dan lebih adalah sambaran petir langsung.

2.9.1 Klasifikasi Saluran Transmisi

Sesuai dengan fungsi, kebutuhan dan tegangan kerjanya maka saluran transmisi dapat dikelompokkan dalam beberapa macam diantaranya :

A. Klasifikasi Saluran Transmisi Berdasarkan Panjang Saluran

(29)

34 a) Transmisi Pendek (< 50 mi atau < 80 km)

b) Transmisi Menengah (< 150 mi atau < 250 km) c) Transmisi Panjang (> 150 mi atau >250 km)

Klasifikasi saluran transmisi harus didasarkan atas besar kecilnya kapasitansi ke tanah. Maksudnya jika kapasitansi kecil maka arus bocor ke tanah kecil terhadap arus beban, sehingga kapasitansi ke tanah dapat diabaikan, hal ini dapat disebut dengan transmisi kawat pendek. Tetapi jika kapasitansi mulai besar sehingga tidak dapat diabaikan, namun belum begitu besar sehingga dapat dianggap sebagai kapasitansi terpusat (lumped capacitance) dan hal ini sering disebut dengan transmisi kawat menengah. Dan jika kapasitansi tersebut bernilai sangat besar dan tidak dapat dianggap sebagai kapasitansi terpusat dan harus dianggap terbagi merata sepanjang saluran maka hal ini dapat disebut dengan transmisi kawat panjang.

B. Klasifikasi Saluran Transmisi Menurut Tegangan Nominal

Di Indonesia standar tegangan transmisi adalah 66, 150, 380, dan 500 KV, dan klasifikasi menurut tegangan ini masih belum nyata. Tetapi di Negara-negara maju terutama dibidang transmisi listrik, seperti : USA, Rusia, Canada dimana tegangan pada saluran transmisi bisa mencapai 1000 KV. Berdasarkan EN 60071 klasifikasi tegangan dapat dikategorikan menjadi [8]:

a) Tegangan Rendah (dibawah 1 kV) b) Tegangan Medium ( 1kV - 45 kV) c) Tegangan Tinggi ( 45kV – 200 kV)

(30)

35 2.9.2 Parameter-Parameter Saluran Transmisi

Suatu saluran transmisi tenaga listik memiliki 4 (empat) parameter yang mempengaruhi sistem kerja suatu saluran tranmsisi itu sendiri. Adapun 4 (empat) parameter tersebut adalah resistansi, induktansi, kapasitansi, dan konduktansi.

2.9.2.1 Induktansi

Jika arus pada rangkaian berubah-ubah maka medan magnet yang ditimbulkan juga akan berubah-ubah dan apabila medan magnet yang ditimbulkan memiliki permeabilitas yang konstan maka banyaknya fluks gandeng berbanding lurus dengan arus sehingga tegangan imbasnya sebanding dengan kecepatan perubahan arus. Hal ini dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

=

(2.10)

dimana

L = Induktansi Rangkaian (H) e = Tegangan Imbas (V) ∂i

∂t = kecepatan perubahan arus (A/s)

Persamaan umum yang digunakan untuk menentukan besarnya induktansi saluran adalah [2]:

= 2. 10

−7

ln

(2.11)

dimana

(31)

36 Dm = Ekivalen atau geometric mean distance (GMD) antara

kondukor dengan tanah (in)

Ds = Geometric Mean Radius (GMR) pada konduktor (in)

2.9.2.2 Kapasitansi

Kapasitansi saluran transmisi didefinisikan sebagai akibat adanya beda potensial antar penghantar (konduktor) maupun penghantar dengan permukaan tanah, kapasitansi menyebabkan penghantar bermuatan seperti yang terjadi pada plat kapasitor bila terjadi beda potensial diantaranya. Kapasitansi antara penghantar adalah muatan perunit beda potensial. Kapasitansi antara penghantar sejajar adalah suatu konstanta yang tergantung pada ukuran dan jarak pemisah dan penghantar. Untuk saluran daya yang panjangnya kurang dari 80 km (50 mil), pengaruh kapasitansinya kecil dan biasanya dapat diabaikan. Untuk saluran-saluran yang lebih panjang dengan tegangan yang lebih tinggi, kapasistansinya menjadi bertambah tinggi. Persamaan umum untuk mencari nilai kapasitansi antara konduktor dengan ground dapat dijelaskan dibawah ini [2]:

=

0.02413

log2

(2.12)

dimana

(32)

37 2.9.2.3 Resistansi

Resistansi penghantar saluran transmisi adalah penyebab terpenting dari rugi daya (power loss) pada saluran transmisi. Resistansi pada suatu konduktor (arus searah) dinyatakan dalam persamaan dibawah ini [2]:

0

=

(2.13)

dimana

ρ = Resistivitas Penghantar (Ohm.m) l = Panjang (m)

A = Luas Penampang (m2)

Persamaan diatas digunakan untuk menghitung besarnya tahanan dari konduktor saluran transmisi. Akan tetapi, resistansi dari saluran transmisi tidaklah sama dengan persamaan di atas. Saat arus bolak-balik mengalir pada suatu konduktor, kepadatan arus tidak seragam pada seluruh permukaan kondoktor, melainkan lebih dekat ke permukaan atau yang disebut dengan peristiwa skin effect. Efek kulit ini sangat kecil untuk frekuensi yang rendah. Untuk penghantar-penghantar yang biasa digunakan, menentukan resitansi dapat dilakukan dengan menggunakan Catalog Conductor yang disediakan oleh pabrik yang terkait.

2.9.2.4 Konduktansi

(33)

38 untuk mengabaikan konduktansi adalah karena konduktansi ini selalu berubah-ubah yakni kebocoran pada isolator yang merupakan sumber utama. konduktansi berubah dengan cukup besar menurut atmosfer dan kotoran yang berkumpul pada isolator sepanjang saluran transmisi yang nantinya menjadi polutan.

2.9.3 Rangkaian Ekivalen Saluran Transmisi

Saluran Transmisi udara maupun saluran kabel bawah tanah dapat direpresentasikan sebagai rangkaian konstan yang terdistribusi merata seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.11. Resitansi, induktansi, kapasitansi dan kobocoran akibat konduktansi didistribusikan secara seragam pada sepanjang saluran.

Gambar 2.11 Rangkaian Ekivalen Transmisi Terdistribusi Merata [3]

2.10 Pemodelan Korona

Pada analisis ini pemodelan korona dapat dilakukan dengan menggunakan

(34)

39 panjang saluran menjadi 50 m – 100 m untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal, seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.

Gambar 2.12 Pemodelan Korona

Pemodelan disimulasikan menggunakan surja petir dengan karakteristik yang berubah-ubah. Saluran transmisi dimodelkan dengan beberapa parameter transmisi yang terdistribusi merata dan dihubungkan dengan pemodelan korona yang dihubungkan pada setiap titik sambungan menggunakan dioda, resistor, kapasitor dan sumber DC yang terdapat pada software ATPDraw. Bentuk pemodelan korona dapat dilihat seperti pada Gambar 2.11.

(35)

40 2.10.1 Pemodelan Korona Pada Saluran Transmisi

Lightning Surge Voltage (kV)

Z

Ground Legenda

Line (50-100 meter)

Corona Model

Surge Impedance

Gambar 2.13 Pemodelan korona pada saluran transmisi [9]

(36)

41 Impedansi surja untuk saluran hantaran udara adalah sebagai berikut [10]:

= � = 60 ln2 (Ω) (2.14)

Dimana, r merupakan jari-jari kawat dan h adalah tinggi kawat dari atas permukaan tanah.

2.11 Konduktor Berkas (Bundle)

Konduktor berkas adalah konduktor yang terdiri dari dua konduktor atau lebih yang dipakai sebagai konduktor satu fasa dan dipisahkan oleh suatu alat yang disebut dengan spacer dengan jarak sebesar A cm. Konduktor berkas mulai efektif digunakan pada tegangan diatas 400 kV [3] [11]. Penggunaan konduktor berkas bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya korona dan meningkatkan kapasitas daya hantar saluran transmisi.

A

A A

A

(a) (b) (c)

Gambar 2.14 Susunan Konduktor bundle (a) 2 subkonduktor, (b)3 subkonduktor, dan (c) 4 subkonduktor

Untuk konduktor bundle (berkas), Skilling and Dykes (1954) telah membuktikan rumus persamaan untuk jari-jari ekivalen (req), yang dapat

(37)

42

=

1+2 −1 sin �

(2.15)

1 + 2( −1)

dimana

A = jarak antar subkonduktor berkas (cm) n = jumlah berkas yang terpasang

Keuntungan menggunakan konduktor berkas antara lain:

1. Mengurangi reaktansi induktif saluran sehingga jatuh tegangan dapat diturunkan.

2. Mengurangi gradient tegangan permukaan konduktor sehingga dapat meningkatkan tegangan kritis korona dan mengurangi rugi-rugi daya korona,

Audible Noise (AN) dan Radio Interference (RI).

Kerugian menggunakan konduktor berkas antara lain:

1. Meningkatkan berat total saluran sehingga berpengaruh pada konstruksi menara.

Gambar

Gambar 2.1 Jenis-jenis tegangan impuls
Gambar 2.2 Tegangan impuls petir berdasarkan standar IEC
Gambar 2.3  Standar bentuk gelombang tegangan impuls petir
Gambar 2.4  Tahapan Sambaran Petir ke Tanah [3]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan wilayah yang berwawasan lingkungan harus

Pelaksanaan kebijakan pengembangan, pemantauan, penghargaan, sanksi dan pemutusan hubungan kerja, baik bagi dosen maupun tenaga kependidikan untuk

Persiapan resital dilakukan mulai dari penggarapan konsep acara,.. pembentukan panitia, dan sesi pengambilan foto penyaji

Pada kasus 2, bentuk denah masih sama dengan denah rumah jawa, tidak menggalami perubahan tata letak tetapi juga menggalami perubahan fungsi ruang, yaitu perubahan dari

Sedangkan nilai positip beta menjelaskan pengaruhnya bersifat searah, artinya keberhasilan rumah sakit yang telah berusaha melaksanakan kualitas layanan yang baik,

D ari tabel 1 diatas menunjukkan Kabupaten Banyuwangi secara umum persentase perubahan terhadap Oktober 2014 (inflasi) sebesar 1,22 persen, tertinggi terjadi pada kelompok

Adapun bentuk-bentuk kekerasan simbolik antara lain, pelabelan negatif tuna daksa, krisis kepercayaan masyarakat dan stakeholders, serta persyaratan perekrutan pegawai yang

Setelah pelaksanaan tindakan dan observasi pada siklus I baik pertemuan pertama, ke dua, maupun ke tiga selesai , maka peneliti melakukan refleksi terhadap keseluruhan