1 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân
‘Âisyah Abdurrahmân Bintu Al-Syâthi’ dan Sumbangannya
dalam Kajian Al-Qur’an
Nuril Hidayah
STAI Muhammadiyah Probolinggo [email protected]
Abstrak
Studi ini bertujuan mengidentifikasi posisi Bintu al-Syati’ berkaitan dengan teori i’jâz al-Qur’ân-nya di kalangan para perumus teori i’jâz lugawi lainnya, dan juga kontribusi yang diberikannya dalam wacana i’jâz al-Qur’an khususnya serta kajian al-Qur’an pada umumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut studi ini akan menguraikan beberapa elemen yang mendasari pemikiran i’jâz-nya, yakni basis pemikiran, model pemikiran, esensi pemikiran, tujuan dan hasil akhir pemikirannya.
[This study is aimed at identifying Bintu al-Syâthi’s position with her theory of i’jâz al-Qur’an among another theoretician of i’jâz lugawî and her contribution toward i’jâz discourse and qur’anic studies. To achieve that goal, it will be explore some elements underlying her theory, namely the basic element, the mode of thought, the essential element, the aim and the end of her i’jâz thought.]
Kata Kunci: Al-Quran, teori i’jâz, Bintu al-Syâthi.
A. Pendahuluan
Dalam wacana ulumul Qur’an, i’jâz merupakan salah satu ilmu yang penting untuk dikuasai dalam menafsirkan al-Qur’an.1 Secara umum
1 Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), hlm. 119. Baik i’jaz ilmi, i’jaz lugawi maupun i’jaz tasyri’i sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam tafsir. I’jaz ilmi membantu memahami isyarat ilmiah dalam al-Qur’an. I’jaz lugawi membantu memahami karakter linguistik al-Qur’an. Sedang i’jaz tasyri’i membantu memahami al-Qur’an dalam fungsinya sebagai hidayah. Lihat Quraisy Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), hlm 88. Lihat juga Mannâ’
2
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
ilmu i’jâz al-Qur’ân dimaknai sebagai pengetahuan tentang karakteristik yang khas dan istimewa dari al-Qur’an sebagai kitab suci. Dikatakan khas dan istimewa karena karakter tersebut tidak dapat ditandingi oleh teks-teks lain. Signifikansinya terletak pada bagaimana pengetahuan tentang
i’jâz tersebut akan menentukan cara pandang seorang penafsir terhadap
teks Qur’an. Sebagai contoh, orang yang memandang keistimewaan al-Qur’an terletak pada isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya penafsirannya cenderung diwarnai oleh upaya pengungkapan isyarat tersebut. Contoh lain, orang yang memandang bahwa kemukjizatan itu terletak pada kualitas sastranya yang tak tertandingi, penafsirannya akan cenderung berisi upaya menunjukkan kualitas tersebut.
Secara garis besar pendapat tentang letak kemukjizatan al-Qur’an dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, yang menyatakan bahwa kemukjizatan terletak pada kandungan al-Qur’an, termasuk di dalamnya i’jâz ‘ilmî ataupun tasyrî’î. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kemukjizatan terletak pada karakter kebahasaannya (i’jâz lughâwî).
Bintu al-Syâthi’ adalah salah satu tokoh yang meyakini bahwa kemukjizatan al-Qur’an terletak pada karakter kebahasaannya. Sebuah pandangan yang juga dimiliki oleh pencetus mazhab tafsir sastra, Amîn al-Khulî. Sebagaimana pengakuan Bintu al-Syâthi’, mazhab ini jugalah yang ia ikuti dalam menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi teorinya tentang i’jâz
al-Qur’ân juga memiliki keunikan yang membedakannya dengan penganut
teori i’jâz kebahasaan seperti al-Jurjânî, al-Baqillâni, dan al-Khaththâbî, atau pengikut mazhab tafsir sastra lainnya seperti Nashr Hamîd Abû Zayd. Keunikan tersebut tercermin lewat kritiknya terhadap beberapa tokoh yang mencoba merumuskan i’jâz kebahasaan seperti Baqillâni dan Jurjâni, selain itu juga lewat sikap Abû Zayd yang mengecualikan Bintu al-Syathi’ dari mazhab tafsir sastra justru karena pemikiran I’jaznya membuat ia memilih metode tafsir yang menurut Abû Zayd tidak mencerminkan semangat mazhab tafsir sastra. Untuk melihat keunikan tersebut dengan
Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîs|, t.t.) hlm. 164-180.
3 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
lebih jelas tulisan ini akan membahas pemikiran Bintu al-Syâthi’ melalui beberapa unsur bangunan pemikirannya.
Menurut Amin Abdullah, ada empat elemen yang membedakan tipe pemikiran seseorang, yakni elemen esensial (the essential element of
thought), model pemikiran (the mode of thought), basis pemikiran (the basis
of thought), dan tujuan serta hasil akhir pemikiran (the aim and the end of thought).2 Sebuah pemikiran, jika diibaratkan sebagai pohon, maka basis
pemikiran adalah akarnya, modus pemikiran sebagai batangnya, esensi pemikiran sebagai cabang, sedangkan hasil akhir dan tujuan yang dicapai sebagai buahnya. Dalam pada itu, karakteristik pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ akan dilihat dari empat aspek ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Nyoman Kutha Ratna menyatakan ada empat faktor yang berpengaruh dalam menentukan paradigma berpikir seseorang, yakni; faktor ontologis, keberadaan objek yang dengan sendirinya berbeda pada masing-masing pemikir, faktor epistemologis yang berupa cara memperoleh pengetahuan, sumber dan tolok ukur validitasnya, faktor aksiologis yang berkaitan dengan penilain dan tujuan penelitian, serta faktor metodologis yakni keseluruhan proses penelitian.3
Sebagai penelitian yang didibaratkan sebuah pohon, penulis akan membahas pertama-tama berusaha berangkat awal mula pemikiran yakni basis pemikiran (yang diibaratkan sebagai akar). Di sini akan dibahas latar belakang dan aspek epistemologis pemikiran i’jâz al-Qur’ân Bintu al-Syâthi’. Disusul kemudian dengan model pemikiran (yang diibaratkan sebagai batang) di mana akan dibahas aspek metodologis. Kemudian diikuti dengan esensi pemikiran (yang diibaratkan sebagai cabang) di mana akan dibahas tentang aspek ontologis kajian i’jâz. Dan terakhir tujuan dan hasil akhir pemikiran (yang diibaratkan sebagai buah) di mana akan dibahas
2 M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in Gazali and Kant
(Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992), hlm. 219 dan 249.
3 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 20040, hlm. 26. Uraian lengkap tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998).
4
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
mengenai aspek aksiologis dan sumbangan yang diberikan oleh keduanya terhadap wacana i’jâz dan wacana studi Qur’an pada umumnya.
B. Basis Pemikiran Bintu al-Syâthi’
Basis pemikiran—sebagaimana diilustrasikan sebagai akar sebuah pohon—merupakan elemen dasar yang berisi asal muasal dari mana suatu pengetahuan diproduksi. Karena itu basis pemikiran meliputi latar belakang pemikiran karena dari sanalah pemikiran bermula, dan epistemologi karena yang terakhir membahas darimana dan bagaimana suatu pengetahuan diproduksi. Aspek-aspek yang dibahas dalam epistemologi adalah sumber, dan ukuran validitas pengetahuan.
Sebuah pemikiran selalu lahir dari kritik terhadap pemikiran lainnya. Demikian pula pemikiran i’jâz dalam Mazhab Tafsir Sastra. Pemikiran
i’jâz Bintu al-Syâthi’ dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap konsep i’jâz sebelumnya karena tidak berangkat dari keunikan retorika al-Qur’an sendiri, melainkan untuk kepentingan ideologis seperti yang dilakukan oleh al-Baqillânî sehingga belum dapat mengidentifikasi karakter mana sebenarnya yang menunjukkan kemukjizatan. Oleh karena itu, Bintu al-Syâthi’ berusaha menyingkap rahasia karakter khas retorika al-Qur’an yang mengandung keajaiban. Untuk mewujudkan keinginan itu ia meniscayakan pendekatan sastra.
Kajian sastra dengan al-Qur’an sebagai titik sentralnya dengan sendirinya menunjukkan bahwa yang menjadi sumber pengetahuan adalah teks, yakni al-Qur’an itu sendiri. Demikian pula dalam merumuskan konsep i’jâz al-Qur’ân, Bintu al-Syâthi’ pertama-tama berangkat dari teks dan selalu menguji kesimpulan yang didapatnya dengan kenyataan yang terdapat dalam teks. Hal ini terlihat pada upayanya untuk menyingkap rahasia al-Qur’an dengan sedapat mungkin menggunakan data-data yang terdapat didalamnya dengan mengaitkannya satu sama lain.
Melihat bahwa sumber utama dari pemikiran Bintu al-Syâthi’ adalah teks maka dapat dikatakan bahwa yang mendasari pemikirannya adalah
5 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
epistemologi bayani. Dalam epistemologi bayani, sumber terpokok ilmu pengetahuan adalah teks. Fungsi dan peran akal adalah untuk menjelaskan kebenaran teks, sehingga tolok ukur kebenarannya adalah kesesuaian dengan teks.4
Bagi Bintu al-Syâthi’, teks al-Qur’an adalah struktur linguistik yang utuh dan sempurna di mana setiap elemennya mempunyai peranan yang khas dalam struktur teks. Peranan tersebut hanya dapat diteliti dengan melihat kaitan-kaitannya satu sama lain di dalam teks. Maka upaya untuk menyingkap karakteristik teks hanya dapat dilakukan dengan sejauh mungkin melihat kemungkinan-kemungkinan yang terkandung dalam teks. Di sini teks benar-benar menjadi sumber utama dalam produksi pengetahuan.
Penggunaan teks sebagai sumber utama pengetahuan tampak pada upaya Bintu al-Syâthi’ untuk sejauh mungkin membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri, yakni dengan menggunakan metode istiqrâ’î (induktif) dengan prosedur referensi silang dalam menganalisis struktur al-Qur’an. Perangkat lain yang ia gunakan, seperti, kaidah bahasa, ilmu balagah dan pendapat ulama justru dikaji berdasarkan apa yang terdapat dalam teks. Hal ini tampak ketika Bintu al-Syâthi’ menganalisis kata-kata atau huruf-huruf yang dianggap ekstra dalam al-Qur’an sebagaimana dinyatakan oleh beberapa mufassir berdasarkan hal yang berlaku umum dalam bahasa Arab. Misalnya kata bi pada frase bi majnûn (68:2) yang menjadi predikat huruf negatif mâ dianggap oleh sebagian mufassir sebagai tidak bermakna dan berfungsi sebagai tambahan. Namun bagi Bintu al-Syâthi’ tidak demikian, karena setelah menganalisisnya berdasarkan data-data yang terkumpul dari teks al-Qur’an, frase atau huruf tersebut, sebenarnya memilki fungsi retoris tersendiri yang dibutuhkan dalam situasi-situasi tertentu.
4 Keterangan selengkapnya tentang epistemologi bayani lihat ‘Abid al-Jabiri, Formasi
Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRciSod, 2003). Lihat juga M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil al-Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” makalah dalam Seminar Nasional Hermeneutika Al-Qur’an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci. LPPI-MSI UMY, 10 April 2003.
6
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
Pandangan bahwa teks dapat dipahami dengan memperhatikan kaitan-kaitan antar unsur di dalamnya menunjukkan bahwa teks menjadi sumber utama dalam produksi pengetahuan. Pada gilirannya, penggunaan teks sebagai sumber terpokok dalam konsep i’jâz Bintu al-Syâthi’ ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa tolok ukur pengetahuan bagi Bintu al-Syâthi’ adalah kesesuaian dengan teks dalam totalitasnya. Singkatnya, pintu masuk maupun pintu keluar pengetahuan bagi Bintu al-Syâthi’ adalah teks.
C. Model Pemikiran (Mode of Thought)
Model pemikiran, seringkali disamakan dengan pendekatan. Namun yang dimaksud dengan model pemikiran di sini—sebagaimana diibaratkan sebagai batang pohon—adalah cara yang ditempuh untuk memproduksi pengetahuan. Maka di sini penulis akan membahas beberapa aspek yang termasuk dalam cara yang dipakai Bintu al-Syâthi’ untuk menuju pemikiran
i’jâz-nya, termasuk di dalamnya metode, pendekatan, dan perangkat analisis
yang digunakan.
I’jâz al-Qur’ân adalah konsep yang dihasilkan dari pemahaman
mufassir tentang gejala yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah kitab
yang istimewa dan tidak dapat ditandingi oleh teks-teks lain. Dengan demikian, kajian tentang i’jâz adalah kajian tentang gejala atau fenomena keistimewaan al-Qur’an, sehingga kajian i’jâz sastrawi merupakan kajian tentang gejala keajaiban bahasa al-Qur’an sebagai kitab sastra. Karena itu kajian tentang i’jâz Qur’ân dari perspektif sastra baik oleh Bintu al-Syâthi’ ini dapat dikategorikan sebagai kajian sastra. Ini dikuatkan dengan pernyataannya secara eksplisit bahwa kajian al-Qur’an memang selayaknya diletakkan pertama-tama ke dalam kajian sastra.
Dalam studi sastra terdapat banyak metode. Metode tertentu dipilih dengan mempertimbangkan bentuk, sifat isi karya sastra. Dalam penelitian sastra, kajian terhadap ciri-ciri teks yang menunjukkan keindahannya
7 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
termasuk ke dalam jenis penelitian stilistika sastra.5 Kajian terhadap i’jâz
sastrawi al-Qur’an dengan demikian termasuk dalam kategori ini.
Ada dua pendekatan dalam analisis stilistika ini. Pertama, analisis sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan interpretasi ciri-ciri karya sastra kemudian interpretasi diarahkan pada pemaknaan secara total. Kedua, mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu sistem dengan sistem lain. Secara umum, metode yang digunakan dalam jenis penelitian ini adalah pengkontrasan,6 yakni
mengkontraskan suatu teks yang dikaji dengan teks-teks lain. Bintu al-Syâthi’ tentunya memakai dua jenis analisis ini karena ia berusaha mencari apa sebenarnya karakter istimewa yang membedakan al-Qur’an dari teks-teks lain.
Dalam proses tersebut Bintu al-Syâthi’ mendahulukan analisis terhadap sistem linguistik al-Qur’an terlebih dahulu. Ia berusaha menelusuri bagaimana setiap unsur, baik partikel, kata maupun struktur dalam al-Qur’an berperan untuk menyimpulkan karakternya secara keseluruhan
(al-i’jâz al-Bayânî) baru kemudian mengkontraskan dan melihat perbedaannya dengan teks sastra lain buatan manusia.
Bintu al-Syâthi’ mendasarkan pemikirannya pada bahan-bahan yang diperoleh dari proyek tafsirnya. Jadi secara tidak langsung, metode analisis yang ia gunakan dalam tafsir sama dengan metode analisis dalam kajian
i’jâz al-Qur’ân. Secara eksplisit, Bintu al-Syâthi’ menyatakan bahwa ia menggunakan metode induktif (istiqrâ’i) dengan prosedur referensi silang berdasarkan data-data dari teks yang disusun secara tematik dan kronologis,
5 Penelitian stilistika dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dari sudut penulis,
dengan mempelajari kedalaman penulis dalam menciptakan gaya. Kedua, dilihat dari sudut ciri teks dengan mempelajari dan mengkategorikan gaya yang terdapat dalam teks. Ketiga, dari sudut gaya yang dihubungkan dengan kesan yang diperoleh khayalak, misalnya dengan studi tentang tanggapan pembaca. Lihat Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hlm. 73-74.
6 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian... hlm. 73-74. Lihat Juga Rene Wellek
dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 217-234.
8
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
yakni dengan mengaitkan data-data tersebut satu sama lain dan mencari hubungan-hubungan yang dimungkinkan. Metode ini terejawantahkan dalam langkah-langkah penafsirannya terhadap al-Qur’an sebagai berikut: a. Untuk memahami al-Qur’an secara obyektif diperlukan pendekatan
tematik dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu dengan mengumpulkan semua ayat dan surat mengenai topik yang dikaji.
b. Untuk memahami gagasan tertentu dalam al-Qur’an agar sesuai dengan konteksnya maka ayat-ayat tersebut harus disusun menurut kronologi pewahyuannya dalam rangka untuk mengetahui kondisi, waktu dan tempat pewahyuan.
c. Untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam al-Qur’an, maka harus dicari arti linguistik asli yang memiliki rasa kearaban dari kata tersebut dalam penggunaan baik material maupun figuratifnya. Dengan demikian, makna al-Qur’an diteliti dengan cara mengumpulkan seluruh bentuk kata tersebut dalam ayat dan surat tertentu, juga konteks umumnya dalam al-Qur’an secara keseluruhan. d. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, maka al-Qur’an
harus dikaji dengan memperhatikan bentuk lahir maupun semangat teks itu. Pendapat-pendapat para mufassir dengan demikian diuji dalam kaitannya dengan naskah yang dipelajari, dan diterima selama pendapat-pendapat itu sejalan dengan teks. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan yang mengandung israiliyyat yang mengacaukan yang biasanya dipaksakan masuk ke dalam tafsir al-Qur’an, harus disingkirkan. Demikian pula, penggunaan tata bahasa dan retorika dalam al-Qur’an harus harus dipandang sebagai kriteria yang dengannya kaidah-kaidah ahli tata bahasa dan retorika harus dikaji, bukan sebaliknya.7
7 Bintu al-Syâthi’, Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif,
9 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
Melihat langkah-langkah penafsiran Bintu al-Syâthi’ yang diterapkan dalam kajian i’jâz, tampak bahwa metode istiqrâ’î dalam konteks penelitian sastra dapat disejajarkan dengan metode formal (metode struktural). Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik.8 Hal ini sesuai dengan kajian Bintu
al-Syâthi’ jika dihubungkan dengan minat utamanya pada upaya menyingkap rahasia keajaiban al-Qur’an.
Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsur-unsur-unsur-unsur tersebut dalam totalitasnya.9 Oleh karena itu, yang diutamakan adalah
ciri-ciri kesastraan secara otonom, ciri-ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lain. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan aspek biografis, sosiologis, psikologis, ideologis, dan aspek-aspek ekstrinsik lainnya. Hal ini juga tampak pada pemikiran Bintu al-Syâthi’ ketika ia berusaha sejauh mungkin membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri. Usaha ini diaplikasikan dengan praktek penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Ini karena ia menganggap al-Qur’an sebagai kesatuan yang sempurna dalam totalitasnya di mana semua unsur di dalamnya kait mengait. Pada gilirannya, meskipun ia menggunakan perangkat-perangkat analisis seperti tata bahasa, balagah, pendapat ulama dan sejarah (baca:
asbâb al-nuzûl), semua tetap dikaji berdasarkan apa yang terdapat dalam teks.
Melihat bahwa problem mendasar yang diajukan dalam pemikiran Bintu al-Syâthi’ harus dicari jawabannya dalam al-Qur’an, maka dari sini dapat ditelusuri bahwa pendekatan yang digunakan Bintu al-Syâthi’
8 Tugas utama metode formal adalah untuk menganalisis unsur-unsur sesuai
dengan peralatan yang terkandung dalam karya. Jumlah, jenis dan model unsur-unsur tersebut tergantung dari ciri karya sastra dan tujuan penelitian. Lihat Nyoman Kutha Ratna,
Metode…., hlm. 51.
10
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
adalah pendekatan obyektif. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang bertumpu pada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini kemudian memusatkan perhatian pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis instrinsik. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah mengabaikan unsur-unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis dan unsur-unsur-unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga bisa disebut analisis otonomi, analisis ergosentric, atau pembacaan mikoroskopi.10 Dengan kata lain, pendekatan ini bisa juga
disebut pendekatan mikrosastra.11
D. Esensi Pemikiran
Dengan memakai pendekatan di atas, Bintu al-Syâthi’ menemukan beberapa persoalan pokok dalam fenomena kemukjizatan al-Qur’an yang mereka gunakan untuk membangun konsepnya tentang i’jâz al-Qur’ân. Pada dasarnya, pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ pertama-tama diawali dengan menganggap al-Qur’an sebagai teks sastra, karena sebagaimana diungkapkan oleh Amîn al-Khûlî, guru yang ia ikuti, yang pertama diterima oleh penerima al-Qur’an adalah kesan sastrawinya. Bintu al-Syâthi’, meskipun meletakkan al-Qur’an dalam kajian sastra, berdasarkan keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan kalâm Tuhan yang mempunyai karakter sastra yang khas dan tak tertandingi, berpendapat bahwa sebagai teks sastra, al-Qur’an harus dipandang sebagai sebuah struktur linguistik yang utuh dan sempurna di mana setiap elemennya mempunyai peranan yang khas dalam struktur teks.12 Peranan tersebut hanya dapat diteliti dengan melihat
kaitan-kaitannya satu sama lain di dalam teks. Pengabaian terhadap hal
10 Pendekatan ini dekat dengan teori sastra modern yang mendasarkan diri pada
struktur. Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metode…. hlm. 72.
11 Pendekatan ini dapat disejajarkan dengan pendekatan instrinsik yang bersumber
dari teks sastra itu sendiri secara otonom. Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metode…. hlm. 72. Lihat juga Rene wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 75.
12 Bintu al-Syâthi’, Al-I’jâz al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm wa Masâ’il Ibn Azraq, (Kairo:
11 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
ini akan membuat penafsiran terhadap teks menjadi tidak obyektif. Tafsir-tafsir terdahulu, menurut Bintu al-Syâthi’, mengthabaikan pentingnya melihat peranan ini dan lebih cenderung memaksakan hhal di luar al-Qur’an untuk memahaminya. Akibatnya timbullah tafsir yang tendensius dan tafsir yang dipaksakan akibat pemahaman i’jâz yang keliru, dua model tafsir yang sangat ditentang oleh Bintu al-Syâthi’. Untuk menghindari hal ini, dalam menafsirkan al-Qur’an, Bintu al-Syâthi’ cenderung membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri. Dalam ilmu tafsir, diktum ini disebut dengan “al-Qur’ân yufassiru ba’dhuhû ba’dhan”.13
Setelah meneliti bagian-bagian (unsur-unsur) al-Qur’an yang menurutnya sering disalahpahami oleh sebagian mufassir, Bintu al-Syâthi’ menemukan bahwa kaitan antara unsur-unsur dalam al-Qur’an sangat istimewa dan tidak dapat ditandingi oleh teks-teks lain. Ia menemukan bahwa setiap huruf, kata maupun struktur dalam al-Qur’an tidak hanya memiliki peranan tertentu, akan tetapi juga mengandung makna yang khas dalam retorika al-Qur’an. Kekhasan ini membuat tidak satupun unsur tersebut yang dapat dibuang atau digantikan dengan yang lain. Bintu al-Syâthi’ kemudian menyimpulkan bahwa kemukjizatan al-Qur’an terletak pada retorikanya yang istimewa di mana setiap huruf, kata dan strukturnya memiliki peranan dan makna yang khas. Inilah yang dinamakan dengan
i’jâz al-Qur’ân oleh Bintu al-Syâthi’.
Menurutnya pula, keunikan al-Qur’an yang sangat penting ini luput dari perhatian para mufassir karena mereka seringkali terlalu asyik dengan gagasan-gagasan yang telah dibawa sebelumnya, apakah itu ideologi, kaidah
nahwu, israiliyyat dan sebagainya. Kaidah-kaidah umum bahasa Arab adalah hal yang paling sering ia temui telah melalaikan para mufassir dari
13 Dalam tafsir Bintu al-Syâthi’, diktum ini tidak sama pada prakteknya dengan tafsir
analitis (ayat per ayat) dalam tafsir klasik karena prosedur referensi silang antar ayat yang dijalankan Bintu al-Syâthi’ berada dalam naungan metode tematik. Karena itulah Boullata berkeras mengkategorikan penafsiran Bintu al-Syâthi’ ke dalam penafsiran modern. Lihat Issa J. Boullata, “Tafsir Qur’an Modern: Studi atas Metode Bintu al-Syâthi’”, al-Hikmah, No. 3, 1412 H, hlm 10. Lihat juga Muhammad Baqir al-Sadr, “Pendekatan Tematik terhadap Tafsir al-Qur’an”, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. I, 1989, hlm. 99-100.
12
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
keunikan tersebut.14 Keterpakuan pada kaidah tersebut membuat mereka
menyimpulkan bahwa ada bagian-bagian al-Qur’an yang ditempatkan hanya sebagai tambahan dan tidak memiliki makna tertentu. Hal ini ditolak oleh Bintu al-Syâthi’ karena dalam penelitiannya ia menemukan bahwa al-Qur’an seringkali melenceng dari kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bahasa Arab menjadi media pesan al-Qur’an, namun ia mempunyai pilihan struktur stilistikanya sendiri yang istimewa dan tidak dapat ditandingi oleh teks lain.
Untuk lebih ringkasnya, dari segi esensi pemikiran Bintu al-Syâthi’ menafsirkan i’jâz (yang merupakan penyimpangan bahasa al-Qur’an dari ujaran-ujaran biasa) sebagai rahasia keajaiban huruf, kata dan struktur dalam retorika al-Qur’an. Pandangan ini memenuhi kualifikasi i’jâz yang ditetapkannya, yakni bahwa i’jâz harus bersifat menyeluruh, melintas batas waktu dan dapat diungkap. Penulis melihat bahwa hal ini diakibatkan perspektif yang dipakainya yakni perspektif sastra. Kajian sastra menempatkan teks sebagai fokus kajian. Teks sastra menggunakan bahasa yang merupakan suatu sistem linguistik yang padu.15 Maka dari itu, jika
i’jâz merupakan fenomena keajaiban suatu teks, maka ia harus meliputi
seluruh bagian teks. Dan pada gilirannya, keajaiban itu dapat diungkap dengan mempelajari sistem linguistiknya,sehingga secara otomatis, i’jâz tidak hanya berlaku pada satu bangsa atau satu generasi saja.
E. Tujuan dan Hasil Akhir Pemikiran
Sebagaimana dijelaskan di atas, pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap konsep i’jâz sebelumnya karena tidak berangkat dari keunikan retorika al-Qur’an sendiri dan karena belum
14 Bintu al-Syâthi’, Al-I’jâz al-Bayâni..., hlm. 184.
15 Suatu ungkapan bahasa disebut teks jika memiliki kesatuan pragmatik, sintaktik,
dan semantik. Kesatuan pragmatik adalah apabila ungkapan bahasa dialami oleh para peserta komunikasi dalam kesatuan yang bulat. Kesatuan sintaktik adalah apabila teks menunjukkan keberuntutan. Kesatuan semantik ialah apabila teks memiliki tema global yang meliputi semua unsur. Keterangan selengkapnya lihat, Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian
13 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
dapat mengidentifikasi karakter mana sebenarnya yang menunjukkan kemukjizatan. Oleh karena itu proyek Bintu al-Syâthi’ dalam pemikiran
i’jâz adalah upaya menyingkap rahasia karakter khas retorika al-Qur’an
yang mengandung keajaiban. Tujuan ini berhasil dicapainya dengan mengindentifikasi karakter khusus retorika al-Qur’an di mana tak satupun unsurnya dapat digantikan posisinya oleh yang lain.
Penelitian Bintu al-Syâthi’ membuktikan bahwa karakter khusus tersebut terdapat di semua bagian al-Qur’an, baik itu partikel, kata, maupun struktur. Dengan demikian i’jâz yang diungkapnya memenuhi kualifikasi pertama bahwa i’jâz harus meliputi seluruh bagian al-Qur’an. Pembuktian ini sekaligus menunjukkan bahwa dengan penelitian yang seksama i’jâz dapat ditangkap dan dipahami oleh siapa saja dan kapan saja. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa I’jaz i’jâz yang diungkap oleh Bintu al-Syâthi’ memnuhi kualifikasi kedua, yakni bahwa i’jâz harus berlaku sepanjang masa dan ketiga, bahwa i’jâz dapat diungkap dengan mempelajari hukum-hukum bahasa.
F. Bintu al-Syâthi’ dalam Wacana I’jâz al-Qur’ân dan Studi al-Qur’an
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang sangat penting untuk digarisbawahi; pertama, mengenai posisi teori Bintu al-Syâthi’ dalam wacana
i’jâz al-Qur’an. Kedua, mengenai sumbangan yang diberikannya terhadap wacana i’jâz al-Qur’ân. Dan Ketiga, mengenai posisinya mereka ambil dalam kajian al-Qur’an.
Mengenai yang pertama, keunikan teori Bintu al-Syâthi’ yang membedakannya dengan perumus teori i’jâz lug|awî lain seperti al-Baqillânî dan al-Jurjânî terletak bahan yang digunakan untuk merumuskan teori
i’jâz. Teori i’jâz al-Baqillânî berpijak pada konsep-konsep ideologis tentang
fashâhah dan balâghah untuk merasionalisasi i’jâz Qur’ân. Sedangkan
al-Jurjânî menggunakan ujaran-ujaran yang digunakan bangsa Arab untuk merumuskan nazhm. Dalam nazhm inilah al-Qur’an berbeda dengan ujaran-ujaran biasa. Menurut Bintu al-Syâthi’, keduanya terlalu sibuk
14
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
menggunakan bahan-bahan dari luar untuk membuktikan kemukjizatan yang sebenarnya dapat digali dari al-Qur’an sendiri. Untuk itulah ia menggunakan bahan-bahan dari al-qur’an sendiri baik berupa partikel, kata, atau struktur untuk menunjukkan letak kemukjizatan tersebut.
Selain itu, dibanding Abû Zayd yang merupakan sesama penganut mazhab tafsir sastra, terlihat perbedaan posisi Bintu al-Syâthi’ dari segi tujuan perumusan teori i’jâz. Jika dengan kajian i’jâz-nya ini, Bintu al-Syâthi’ bertujuan untuk mengungkap karakter khas retorika al-Qur’an, maka Abû-Zayd bertujuan untuk menunjukkan sisi historis fenomena i’jâz. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang pemikiran i’jâz di mana Bintu al-Syâthi’ merasa tidak puas terhadap konsep i’jâz klasik yang belum dapat mengidentifikasi secara jelas keajaiban al-Qur’an, sedangkan Abû-Zayd, merasa tidak puas terhadap ulumul Qur’an yang cenderung menceraikan teks dari konteks historisnya.
Akan tetapi, patut dicatat pula bahwa pada dasarnya, Bintu al-Syâthi’ maupun Abû-Zayd menangkap gejala sama dalam hal i’jâz, yakni bahwa Al-Qur’an menggunakan bahan-bahan dari bahasa Arab, akan tetapi ia mempunyai ungkapan stilistiknya sendiri sehingga menghasilkan suatu kualitas estetika yang melebihi karya sastra manapunmenggunakan bahan-bahan dari bahasa Arab, akan tetapi ia mempunyai ungkapan stilistiknya sendiri sehingga menghasilkan suatu kualitas estetika yang melebihi karya sastra manapun. Tangkapan terhadap gejala ini nampak dalam temuan Bintu al-Syâthi’ bahwa al-Qur’an ungkapan Qur’an seringkali melenceng dari kaidah umum tata bahasa Arab, dan dalam temuan Abû-Zayd bahwa al-Qur’an mengadopsi bentuk puisi akan tetapi kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang tak dapat ditandingi oleh puisi manapun.
Akan tetapi dalam prosesnya kemudian, gejala ini dipahami dan dijelaskan secara berbeda oleh keduanya. Oleh Bintu al-Syâthi’ gejala itu dipahami sebagai rahasia keajaiban al-Qur’an yang selama ini luput dari perhatian mufassir karena mereka mengabaikan penempatan setiap unsur Qur’an dalam totalitasnya dan lebih cenderung memancangkan
15 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
hal-hal di luar al-Qur’an terlebih dahulu sebelum berusaha mengkaji dari dalam. Sedangkan Abû-Zayd lebih membacanya dalam kerangka
format dan formatisasi oleh teks. Teks mengadopsi bentuk-bentuk yang ada
dalam budaya kemudian mentransformasikannya menjadi sesuatu yang berkualitas i’jâzî.
Kedua, mengenai sumbangan Bintu Syâthi’ dalam kajian i’jâz
al-Qur’ân, secara implisit sudah tampak pada uraian di atas. Namun perlu dipertegas bahwa sumbangan terbesar yang diberikan Bintu al-Syâthi’ dalam wacana i’jâz adalah dapat menunjukkan apa sebenarnya yang menjadikan bangunan retorika al-Qur’an begitu indah dan mengandung mukjizat. Inilah yang sekaligus menjadi kelebihan Bintu al-Syâthi’ dibanding perumus teori i’jâz lainnya termasuk al-Baqillânî, al-Jurjânî, dan Abû-Zayd. Bintu al-Syâthi’ tidak berhenti pada upaya merasionalisasi aspek
i’jâz sastrawi yang dapat mencakup seluruh bagian al-Qur’an sebagaimana
Abû-Zayd maupun al-Jurjânî, tetapi melangkah lebih maju dengan mengidentifikasi karakter mana dari al-Qur’an yang menjadikannya ajaib dengan mengobservasi langsung ke sumbernya. Dan pada awalnya, pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ pun dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap teori i’jâz sebelumnya. Ia menganggap teori-teori itu belum selesai karena belum ada yang mengidentifikasi dengan jelas apa yang menjadikan al-Qur’an begitu berbeda dari segi sastra.
Ketiga, dengan penemuannya tersebut maka sumbangannya terhadap studi al-Qur’an secara umum juga jelas. Pengungkapan rahasia keajaiban ini akan membuat para pengkaji lebih mempertimbangkan aspek-aspek instrinsik yang terkandung dalam teks Qur’an. Selain itu, Bintu al-Syâthi’ juga mendorong agar upaya pengkajian aspek-aspek instrinsik tersebut diusahakan seobyektif mungkin dengan cara sedapat mungkin menggunakan materi-materi dari Qur’an sendiri. Dalam hal ini, Bintu al-Syâthi’ mencontohkan penggunaan diktum “al-Qur’ân yufassiru ba’dhuhû ba’dhan” secara ketat, misalnya dengan menolak penggunaan israiliyyat dan teori ilmiah.
16
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
Selain ketiga hal di atas, terdapat beberapa catatan kritis tentang Bintu al-Syâthi’, baik itu berkenaan dengan implikasi teori i’jâznya dalam kajian al-Qur’an maupun tentang tuduhan yang diarahkan kepadanya. Berkaitan dengan hal itu, perlu kiranya melihat posisi pemikiran Bintu al-Syâthi’ dalam wacana studi Qur’an dari perspektif pergeseran paradigma kajian al-Qur’an yang dapat diklasifikasikan dalam tiga level studi, yaitu; pertama, studi Qur’an dalam hubungannya dengan Penulisnya, misalnya yang mencakup tentang fenomena wahyu dan diskusi teologis mengenai kalam-Nya; kedua, studi al-Qur’an itu sendiri, misalnya aspek-aspek estetiknya, kandungannya dan lain-lain; ketiga, studi Qur’an dalam kaitannya dengan pembaca (masyarakat penerima wahyu), misalnya studi tentang tanggapan pembacanya, studi tentang berbagai produk tafsir dan penggunaannya dalam masyarakat dan lain-lain.16 Latar belakang keilmuan
dan pengalaman hidup Bintu al-Syâti’ membuatnya lebih cenderung pada level studi kedua yang lebih berpusat pada teks. Kecenderungan ini juga sejalan dengan karakter pemikiran ulama tafsir modern pada umumnya, yakni membersihkan teks dari segala hal yang mewarnainya.
Bintu al-Syâthi’ yang tumbuh dalam keluarga yang konservatif, dan kemudian berkenalan dengan wacana modernitas menjadi seorang pemikir yang kritis terhadap tradisi tetapi sangat berhati-hati dan berusaha agar pikirannya tetap diterima oleh kalangan di mana ia tumbuh.17 Sebuah
kecenderungan memang dapat menentukan karakter atau watak pemikiran seseorang. Akan tetapi pada suatu titik ekstrim tertentu, kecenderungan ini juga bisa mengurangi kritisismenya terhadap sesuatu. Hal ini juga terjadi pada Bintu al-Syâthi’. Penulis melihat bahwa sikap Bintu al-Syâthi’
16 M. Nur Ichwan, “Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Jurusan Tafsir
Hadis; Refleksi Atas Perkembangan Jurusan TH di Indonesia,” makalah dalam Studium General FKMTHI Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1 Desember 2003, hlm. 3.
17 Kecenderungan konservatif campuran Bintu al-Syâthi’ bahkan diistilahkan
sebagai neotradisionalisme. Lihat Jadul Maula, pengantar dalam Bintu al-Syâthi’, Manusia
17 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
yang terlalu hati-hati ini membuatnya tidak dapat mengaplikasikan metode yang diwariskan Amîn al-Khûlî secara menyeluruh. Di atas telah dijelaskan bahwa metode Amîn al-Khûlî meliputi dua kajian, yakni kajian terhadap al-Qur’an itu sendiri (dirâsah al-Qur’ân nafsih) dan kajian terhadap segala sesuatu di seputar al-Qur’an (dirâsah mâ haul al-Qur’ân). Namun fakta bahwa Bintu al-Syâthi’ lebih cenderung kepada paradigma mikrosastra mengindikasikan bahwa ia lebih menekankan pada kajian pertama, yakni kajian terhadap Qur’an itu sendiri. Kajian kedua dari metode Amîn al-Khûlî hanya ditunjukkan dengan perhatiannya terhadap asbâbun nuzûl, itupun hanya sebagai peristiwa yang mengiringi turunnya teks, bukan sesuatu yang menentukan maknanya.18
Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Sahiron, sikap yang terlalu hati-hati ini juga membawa Bintu al-Syâthi’ kepada beberapa inkonsistensi dalam aplikasi metode istiqrâ’i-nya. Misalnya ketika membahas tentang tema pluralisme yang menjadi polemik di kalangan konservatif, Bintu al-Syâthi’ memilih tidak merujuk pada ayat-ayat yang konteksnya menunjukkan penolakan terhadap pluralisme.19 Padahal ini bertentangan penerapan
metode istiqrâ’i di mana semua ayat mengenai suatu tema tertentu harus dikumpulkan untuk dapat diungkap pandangan dunia (weltanschaung) al-Qur’an tentangnya.
Catatan kritis lainnya berkenaan dengan implikasi teori i’jâz Bintu Syâthi’ terhadap masalah variasi bacaan. Gagasan bahwa setiap bagian al-Qur’an baik huruf, kata, maupun struktur kalimat tidak dapat digantikan atau dibuang akan menemui tantangan jika dikaitkan dengan variasi bacaan al-Qur’an, khususnya mengenai partikel. Dengan teori tersebut secara tidak langsung, Bintu al-Syâthi’ mengandaikan hanya ada satu mushaf dan menolak mushaf lain jika ada bacaan yang berbeda. Padahal sebagaimana
18 Bagi Bintu al-Syâthi’, asbabun nuzul bukanlah sebab turunnya teks, tapi sekedar
kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan kekhususan sebab. Lihat Bintu al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni..., hlm. 10-11. Lihat juga Issa J. Boullata, “Tafsir Qur’an Modern...”, hlm. 7-8.
18
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
dicatat oleh Mustafa Azami yang membandingkan antara Mushaf Usmani dan Mushaf Malik, terdapat sejumlah kecil perbedaan, misalnya adanya partikel “wa” pada mushaf Usmani sedangkan pada Mushaf Malik tidak dijumpai, atau ada ayat tertentu dalam Mushaf Usmani yang diawali partikel “wa” sedangkan pada Mushaf Malik diawali “fa”.20 Dalam buku
al-I’jâz al-Bayânî pun, Bintu al-Syâthi’ juga tidak menyinggung tentang variasi bacaan ini, padahal pembahasan tersebut sangat penting jika ia ingin menerapkan teorinya secara konsisten.
Di sisi lain, terdapat beberapa kritik atau tuduhan yang kurang tepat yang diarahkan pada Bintu al-Syathi’. Misalnya, tuduhan Abû-Zayd bahwa Bintu al-Syâthi’ bukan termasuk mazhab al-Khûlî. Menurut penulis, tuduhan ini tidak didasarkan pada pembacaan yang teliti terhadap beberapa persoalan yang ia jadikan alasan untuk mengeluarkan Bintu al-Syâthi’ dari mazhab al-Khûlî.
Pertama, mengenai al-bayân. Abû-Zayd menuduh bahwa al-bayân dalam pemikiran al-Khûlî dibawa oleh Bintu al-Syâthi’ kepada pengertian klasik, yakni pengertian balâgah-nya.21 Al-Bayân dalam ilmu bala<gah dimaknai
sebagai ilmu untuk mengarahkan pembicara kepada tujuannya, yang termasuk di dalamnya penggunaan tasybîh, majâz, dan kinâyah.22 Padahal
menurut Abû-Zayd, al-bayân adalah metode analisis sastra yang dapat bergumul terus menerus dengan al-Qur’an, suatu Kitab Sastra yang agung. Kenyataannya, al-bayân dalam pemikiran Bintu al-Syâthi’ tidaklah sesederhana pengertian balâgah-nya. Al-bayân bagi Bintu al-Syâthi’ lebih luas dari sekedar upaya menghindari pembicaraan yang tidak mengarah
20 Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi,terj. Sohirin
Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005) hal. 113
21 Amin al-Khuli dan Abu-Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdliiyin,
(Jogjakarta: Adab Press, 2004), hlm. 152.
22 Tasybîh adalah ketika dua hal (musyabbah dan musyabbah bih) bersatu dalam satu
makna. Majâz adalah lafazh yang dipakai bukan dalam makna yang seharusnya. Sedangkan
kinâyah adalah lafazh yang dimaksudkan sesuai dengan makna lazimnya. Lihat Imam Akhdori, Ilmu Balaghah, terj. Moch. H. Anwar (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 124, 140, dan 158.
19 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
pada tujuan dengan menggunakan tasybîh, majâz dan kinâyah, tetapi lebih kepada segala sesuatu yang digunakan dalam tindak komunikasi dan seni berbicara al-Qur’an terhadap pembacanya. Di sisi lain, dalam menentukan aspek kemukjizatan al-Qur’an, Abû-Zayd justru mengadopsi konsep nazm al-Jurjânî yang juga dekat dengan balâgah karena ia merupakan kaidah-kaidah seperti fashl, washl, qashr, ithnâb, ‘amr, nahy dan sebagainya yang tercakup dalam ilmu ma’ânî dalam balâgah.23
Kedua, mengenai diktum al-Qur’ân yufassiru ba’dhuhû ba’dhan yang
digunakan Bintu al-Syâthi’ dalam menafsirkan al-Qur’an. Diktum ini dijadikan alasan oleh Abû-Zayd untuk menuduh bahwa Bintu al-Syâthi’ membawa metode al-Khûlî berjalan mundur ke dalam tafsir klasik.24
Namun kenyataannya, dalam tafsir Bintu al-Syâthi’, diktum ini tidak sama prakteknya dengan penafsiran suatu ayat dengan menggunakan ayat-ayat lain dalam tafsir parsial (suatu jenis penafsiran ayat-ayat per ayat-ayat yang digunakan dalam tafsir klasik). Dalam tafsir analitis (parsial), suatu ayat ditafsirkan sesuai dengan urutannya dalam mushaf, dan ayat-ayat lain digunakan sebagai rujukan tafsirnya. Sedangkan “al-Qur’an menafsirkan satu sama lain” bagi Bintu al-Syâthi’, lebih mengarah pada pemahaman bahwa setiap bagian teks membentuk suatu totalitas yang utuh. Dan ini dipraktekkan dengan mengumpulkan semua ayat-ayat sesuai dengan urutan kronologisnya di bawah sinaran metode tematik untuk menemukan suatu pandangan dunia al-Qur’an. Sebagaimana diungkapkan oleh Boullata, ini merupakan ciri khas tafsir modern.25
Terlepas dari catatan-catatan tersebut, pada dasarnya pemikiran Bintu al-Syâti’ mencerminkan karakter khas pemikir reformis.26 Sejarah
pemikiran Islam mencatat bahwa desakan modernitas dan keinginan
23 Imam Akhdori, Ilmu Balaghah... hlm. 94-112.
24 M. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, (Bandung: Teraju, 2003),
hlm. 57.
25 Issa J. Boullata, “Tafsir Qur’an...”, hlm. 10.
26 Gerakan reformistik ini merupakan evolusi dari madrasah Abduh. Selengkapnya
lihat Lutfi Asyaukani, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, Paramadina, vol. I, No. I, Thn. 1998, hlm. 71.
20
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
untuk mempertahankan tradisi selalu menjadi pendorong yang signifikan bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru di dunia Islam.27 Sikap Bintu
al-Syâthi’ juga tak lepas dari dorongan ini. Bintu al-Syâthi’ berusaha agar al-Qur’an dipahami sejauh mungkin sesuai dengan pemahaman penerima pertamanya.
G. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting. Pertama, asumsi dasar Bintu al-Syâti’ adalah al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang mengandung kemukjizatan dari segi sastra. Yang membedakan Bintu al-Syâti’ dengan perumus teori i’jâz lugawî lainnya adalah minatnya yang sangat besar untuk membuktikan kemukjizatan tersebut. Karena minatnya itu, tak heran jika Bintu al-Syâthi’ sudah melangkah jauh dengan mengkaji huruf-huruf, kata dan bentuk-bentuk ekspresi untuk menemukan keunikan di dalamnya, sementara di sisi lain beberapa pemikir lain masih berkutat pada perumusan teori kebahasaan. Dalam wacana i’jâz, implikasi teori Bintu Syâthi’ adalah bahwa i’jâz terdapat di seluruh bagian al-Qur’an. Selain itu aspek-aspek i’jâz ini juga dapat diungkap sehingga ia berlaku tidak hanya untuk orang Arab saja melainkan semua bangsa dan juga berlaku sepanjang masa.
Adapun implikasinya dalam wacana tafsir adalah adanya rahasia penggunaan huruf, kata, dan bentuk-bentuk ekspresi dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, temuan Bintu al-Syâthi’ menunjukkan pentingnya penggunaan metode tafsir yang benar untuk melihat kaitan antar ayat. Dengan melihat aspek kemukjizatan yang telah ditemukannya, Bintu al-Syâthi’ mendasarkan metode tafsirnya pada prinsip bahwa al-Qur’an dapat menjelaskan dirinya sendiri. Karena itu, pendapat ulama, kaidah bahasa
27 Boullata menengarai bahwa pencarian otentisitas adalah isu penting dalam tarik
menarik antara tradisi (turats) dan modernitas ini. Lihat Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi:
21 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
dan asbâb nuzûl menjadi alat bantu yang kesekian dalam memahami al-Qur’an.
Hal penting berikutnya yang patut digarisbahawahi adalah sumbangan yang diberikan Bintu al-Syâthi’ terhadap wacana i’jâz al-Qur’ân khususnya dan wacana studi al-Qur’an pada umumnya. Sumbangan terbesar yang diberikan Bintu al-Syâthi’ dalam wacana i’jâz adalah dapat menunjukkan apa sebenarnya yang menjadikan bangunan retorika al-Qur’an begitu indah dan mengandung mukjizat. Dengan penemuan Bintu al-Syâthi’ bahwa makna khusus yang dimiliki setiap aspek struktur literer—sehingga posisinya tidak dapat digantikan oleh yang lain—menjadikan al-Qur’an tidak tertandingi, maka sumbangannya terhadap studi al-Qur’an secara umum juga jelas. Pengungkapan rahasia keajaiban ini akan membuat para pengkaji lebih mempertimbangkan aspek-aspek instrinsik yang terkandung dalam teks al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. The Idea of Universality of Ethical Norms in Gazali and
Kant, Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992.
____________. “Al-Ta’wil al-Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, makalah dalam Seminar Nasional Hermeneutika Al-Qur’an, LPPI-MSI UMY, 10 April 2003.
Akhdori, Imam. Ilmu Balaghah, terj. Moch. H. Anwar, Bandung: al-Ma’arif, 1993.
Al-Bâqillânî, Abû Bakr. I’jâz al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Kutub, 1988.
Bint al-Syâthi’, ‘Âisyah ‘Abd al-Rahmân. Al-I’jâz al-Bayânî li al-Qur’ân wa
Masâ’il Ibn al-Azraq, Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1971.
______________. Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1990.
22
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
______________. Manusia: Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M.
Adib al-Arief, Yogyakarta: LKPSM, 1997.
Boullata, Issa J. “Modern Qur’anic Exegesis: A Study of Bint al-Shati’s Method,” dalam The Muslim World, No. 64, April 1974.
______________. Dekonstruksi Tradisi; Gelegar Pemikiran Arab Islam, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS, 2001.
______________. “Tafsir al-Qur’an Modern: Studi atas Metode Bintusy-Syathi’”, al-Hikmah, No. 3, 1412 H.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model dan
Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.
Ichwan, M. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, Bandung: Teraju, 2003.
_____________. “Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Jurusan Tafsir Hadis; Refleksi Atas Perkembangan Jurusan TH di Indonesia,”
makalah dalam Studium General FKMTHI Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1 Desember 2003.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju
Pembebasan dan Pluralisme Wacana Religius, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Al-Jurjânî, ‘Abd Qâhir. Dalâ’il I’jâz fi ‘Ilm Ma’ânî, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah,1988.
Al-Khûlî, Amîn. dan Abû-Zayd, Nashr Hâmid. Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000.
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Al-Qaththân, Mannâ’ Khalîl. Mabâhis| fî Ulûm Al-Qur’ân, Riyâdh:
Mansyûrât al-’Ashr al-Hadîs, t.th.
23 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...
Nuril Hidayah
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Al-Sadr, Muhammad Baqir. “Pendekatan Tematik terhadap Tafsir
al-Qur’an”, dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. I, 1989.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2003.
Syamsudin, Sahiron. An Examination of Bint al-Shati’s Method of Interpreting
Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.
Asy-Syaukani, Lutfi. “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Paramadina, Vol. I, No. 1, 1998.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989.
24
Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Nuril Hidayah
25 Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
Peace Education sebagai Resolusi Konflik
Studi Kasus di Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIY
Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]
Abstrak
Artikel ini mendeskripsikan peace education sebagai resolusi konflik dan bentuk-bentuk resolusi konflik berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan FPUB dalam resolusi konflik dilaksanakan melalui empat bentuk yaitu; Pertama, diskusi dan dialog antar umat beragama yaitu sebuah gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, aksi solidaritas sosial yaang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ketiga,aksi damai dan do’a bersama.Keempat, pendidikan perdamaian yaitu proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution)dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah kedamaian dan anti kekerasan, hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, pemahaman antar bangsa dan antar budaya, serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa.
[This article describes a peace education, as conflict resolution and other forms of conflict resolution based on religiousconducted by FPUB in Yogyakarta. The results showed that the activity FPUB in conflict resolution is carried out through four forms, namely; First, discussions and inter-religious dialogue is a cultural movement that is trying to explore, understand, and mutual understanding of the real problems faced by the community. Secondly, social solidarity that concern the political situation, social, economic, and cultural. Thirdly, peaceful action and prayer together. Fourth, peace education is the process of accepting and respecting differences as a form of de-radicalization and conflict resolution in order to build inter-religious relations are open, egalitarian and peaceful. Forms of peace education are peace and non-violence, human rights, democracy, tolerance, international and intercultural understanding, and cultural and linguistic diversity.]
26
Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
Kata Kunci: Peace Education, Resolusi Konflik, FPUB
A. Pendahuluan
Peace education (pendidikan perdamaian) secara sederhana dapat
dimaknai sebagai sebuah proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution) dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian.Pendidikan perdamaia ini sangat relevan di masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia. Dimana berbagai suku, bangsa, bahasa, ras, etnis, dan agama membaur dan bersinggungan, menjalin hubungan dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hidayah1 dalam laporannya menyebutkan setidaknya terdapat
636 suku yang diketahui keberadaannya di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karana itu, tidak mengherankan jika Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tingkat pluralitas/kemajemukan suku, budaya, bahasa, adat terbanyak di dunia. Tidak salah pula jika para pendiri (founding fathers) bangsa ini memilih semboyan “Bhinneka Tunggal Eka” sebagai semboyan pemersatu bangsa yang sangat majemuk ini.
Pluralitas ini, di satu sisi merupakan anugerah dan peluang penting bagi kreasi, pengembangan dan modal serta potensi berharga dalam membangun peradaban bangsa. Akan tetapi disisi lain pluralitas dapat menjadi potensi perpecahan, disintegrasi dan disharmoni yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.Tanpa kesadaran dan sikap menghargai, toleransi, dan sikap egaliter, sebuah
1 Z. Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1997), hlm. 203. laporan lain menyebutkan bahwa di kawasan Papua Barat didapatkan lebih dari 100 bahasa daerah. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana kemajemukan yang terjadi di sana dan peliknya hubungan antarbudaya yang ada. Tidak mengherankan jika masa lalu sering terjadi peperangan antarsuku akibat perbedaan-perbedaan budaya yang terjadi. Lihat Josep J. Darmawan, Multikulturalisme Membangun Harmoni Masyarakat Plural (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005), hlm. 129.
27 Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
pluralitas adalah bencana. Karena pluralitas akan menjadi pemicu konflik dan sumber perpecahan. Dalam konteks inilah pendidikan sedang menghadapi tantangannya, sebab pendidikan—lebih-lebih pendidikan agama—sering dipandang tidak mampu membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivisme beragama. Materi-materi pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim dan sikap prasangka (prejudices). Wacana iman-kafir, sesat-selamat, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu diindoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Paradigma pendidikan agama yang ekslusif-doktriner ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda bahkan bermungsuhan.2
Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama dan pendidikan pada umumnya sangat ekslusif dan tidak toleran. Padahal, pangkal mengentalnya (pejudices) sebagai faktor konflik dan disintegrasi adalah karena pendidikan selama ini masih bersifat ekslusif dan sarat indoktrinasi. Dengan kata lain, pendidikan saat ini belum berwawasan pluralis-multikultural. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian (peace education) yang mengajarkan toleransi(tasamuh), moderasi(tawassut), dan menghargai sangat penting bagi terciptanya masyarakat yang damai, harmoni dan jauh dari konflik, serta mampu meredam dan me-resolusi konflik yang ada.
Salah satu lembaga yang fokus membangun dan mengembangkan dialog antar agama melalui pendidikan perdamaian (peace education)dan upaya resolusi konflik di Indonesia adalah Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.3 Forum ini lahir didasari
2 Imam Machali (ed), Pendidikan Multikultural, Pengalaman Implementasi Pendidikan
Multikultural di Sekolah dan Universitas, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013), hlm. vi-vii. 3 Penelitian tentang Peace Education dan Deradikalisasi Agama pernah dilakukan oleh Imam Machali, lihat di Imam Machali, Imam Machali, “Peace Education Dan Deradikalisasi Agama,” Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2013): 41–64, doi:10.14421/jpi.2013.21.41-64. Perbedaanya adalah penelitian ini fokus pada kajian peace education sebagai resolusi konflik
28
Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
atas keprihatinan terhadap kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai konflik, pertikaian, tindak kekerasan, dan radikalisasi atas nama agama. Oleh karena itu, kiprah dan peranannya dalam membangun dialog antar umat beragama dalam rangka deradikalisasi agama dan Resolusi konflik di Indonesia khususnyadi daerah Yogyakarta menarik untuk ditelusuri dan dikaji.
Artikel ini bertujuan mendeskripsikan peace education sebagai resolusi konflik dan bentuk-bentuk resolusi konflik berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)
4Berdirinya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) berawal dari fenomena dan maraknya berbagai kerusuhan sosial-keagamaan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Fenomena ini terjadi di akhir-akhir tahun 1996 dan kemudian nampak jelas dan semakin meluas menjelang pemilu tahun 1997. Beberapa daerah yang menjadi tempat konflik dan kerusuhan diantaranya adalah Situbondo, Tasikmalaya, Jakarta, Kupang dan terus menjalar di tempat-tempat lain di tanah air. Kerusuhan dan konflik ini berakibat kepada rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa yang telah di bina berathun-tahun lamanya. Hal ini mengundag kekhawatiran dan keresahan para tokoh agama dan masyarakat.
Yogyakarta sebagai daerah yang menjadi rujukan persatuan, kesatuan dan kerukunan umat dengan berbagai latar belakang (Suku, Ras, Agama, Golongan, dan lain-lain) juga merasakan kekhawatiran dan keprihatinan atas berbagai kejadian tersebut. Masyarakat Yogyakarta juga khawatir jika
berbasis keagamaan.
4 Sejarah berdirinya FPUB ini dirangkum dari hasil informasi dan wawancara dengan
KH. Abdul Muhaimin, Ngatiyar, dan brosur FPUB. Dari data yang ada terdapat dua versi tentang waktu berdirinya FPUB. Pertama menyebutkan bahwa berdirinya FPUB pada tanggal 24 Maret 1997. Kedua menyebutkan pada tanggal 27 Pebruari.
29 Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
berbagai kejadian kerusuhan bernuansa SARA tersebut menjalar dan terjadi di Yogyakarta. Lebih-lebihdi Yogyakarta disinyalir telah terjadi beberapa teror dibeberapa tempat ibadah seperti gereja, pura, vihara dan masjid serta beberapa pesantren.
Melihat hal tersebut maka DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith
Dialogue in Indonesia) berinisiatif mengundang para tokoh masyarak, agama,
mahasiswa, LSM, dan berbagai lembaga lain untuk membincangkan dan berdiskusi terkait dengan berbagai peristiwa kerusuhan, konflik, kekerasan, dan teror bernuansa SARA yang terjadi. Gayung pun bersambut, undangan interfidei tersebut direspon dengan baik oleh berbagai kalangan sehingga berkumpulah sekitar 23 orang yang terdiri dari para tokoh pelbagai agama dan kepercayaan, tokoh masyarakat, LKiS, PMKRI, aktivis mahasiswa dan lain-lain. Pertemuan ini menyepakati untuk terus mengadakan pertemuan secara rutin di pesantren, gereja, klenteng, vihara, pura dan dibeberapa balai desa serta tempat-tempat lain dengan agenda membahas masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, kemanusiaan dan lain-lain dari sudut moral dan iman.
Pada pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Februari 1997 di pesantren putri Nurul Ummahat, Kotagede, pimpinan KH. Abdul Muhaimin dengan tema pertemuan adalah “menciptakan persaudaraan sejati” akhirnya mensepakati bahwa komunitas atau kelompok ini bernama “Forum Persaudaraan Umat Beriman”, sebuah forum bersama yang melibatkan umat pelbagai agama, termasuk penghayat kepercayaan dan Kong Hu Cu. Dengan demikian pada tanggal 27 Februari 1997 itulah secara resmi dinyatakan waktu kelahiran atau berdirinya FPUB Yogyakarta. Penggunaan kata “Umat Beriman”, bukan Umat Beragama—pada Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)—karena kelompok ini berpandangan bahwa persaudaraan tidak dibatasi oleh lima agama, melainkan siapa saja dan dari mana saja yang berkehendak baik dan menyembah Tuhan—entah “Tuhan” disebut apa. FPUB sangat menaruh
30
Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
hormat kepada semua orang yang beragama dan berkepercayaan yang menyembah Tuhan dengan tulus dan berlaku jujur.
Sebagai sebuah “forum”, FPUB merupakan wadah kultural yang dapat menjadi wadah bersama dalam mendialogkan, mendiskusikan, dan memberikan solusi-solusi alternatif atas berbagai masalah yang dihadapi umat terkait dengan keberagamaan. Ditegaskan bahwa kehadirian FPUB bukanlah semata-mata bentuk reaksi atas situasi dan kondisi sosial yang diwarnai konflik bernuansa SARA, tetapi pada dasarnya merupakan upaya atau ikhtiar preventif dari berbagai komponen masyarakat yang memiliki keprihatinan dan tanggung jawab bersama atas ketentraman dan kenyamanan kehidupan masyarakat yang dipenuhi perdamaian. Perdamaian yang didasari persaudaraan sejati dan solidaritas sosial inilah yang menjadi spirit gerakan FPUB.
C. Visi dan Misi FPUB sebagai Perekat Gerakan
FPUB pada dasarnya merupakan wadah kultural yang tanpa kepengurusan sebagaimana lembaga formal struktural, dan tanpa AD/ART. FPUB juga tidak di bawah naungan suatu lembaga, LSM, partai politik atau pemerintah. Forum ini merupakan bentuk alternatif dari lembaga-lembaga formal yang telah ada. Dengan kata lain bahwa FPUB sebenarnya merupakan forum non-struktural dan merupakan forum kultural yang bersifat komunitas. Alasan forum ini merupakan forum kultural adalah bahwa selama ini upaya pencarian hubungan antaragama lewat struktur seperti MUI, PGI dan sebagainya mengalami hambatan politis. Sebab seringkali digunakan untuk kepentingan hegemoni kekuasaan. Oleh karenanya lembaga-lembaga formal seperti itu tidak efektif, dan akan lebih efektif dengan forum-forum kultural.5
Sebagai forum kultural, bukan berarti FPUB tidak mempunyai visi, misi dan tujuan. Justru visi, misi dan tujuan FPUB inilah yang menjadi
31 Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
perekat, pemersatu, dan bergabungnya berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang.
Visi FPUB adalah “terwujudnya komunitas antariman yang penuh kedamaian dengan penghayatan/ keyakinan yang kuat kepada Tuhan dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan penghargaan atas hakhak asasi manusia” (peaceful intefaith community with strong faithto God, solidarity and
human rights appreciation).
Visi FPUB tersebut kemudian dirinci lebih lanjut dalam empat misi FPUB. Lima misi tersebut adalah; pertama, menanamkan semangat kehidupan antarumat beriman yang penuh damai berdasarkan dimensi-dimensi universal dari iman dan agama-agama melalui aksi-aksi dan bertindak sebagai kekuatan moral untuk keadilan dan solidaritas.
Kedua,memberdayakan masyarakat agar bebas dari keputusan etis dari iman-iman mereka masing-masing. Ketiga, mempromosikan komunitas anti kekerasan. Keempat, bergerak sebagai kekuatan moral dami negara yang damai dan adil menuju dunia yang lebih baik.6
Visi, misi,dan tujuan FPUB tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang diformat dalam empat bidang atau divisi. Pembentukan bagian-bagian atau divisi ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mengefektifkan dalam mengorganisir gerakan. Setiap bidang dipegang oleh seorang koordinator. Kempat bidang tersebut adalah bidang dialog agama, bidang Peace Campaign (kampanye damai), bidang Media dan Informasi, dan bidang Transformasi sosial.
D. Peace Education (Pendidikan Perdamaian)
Peace education pada dasarnya adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan, pengembangan sikap, dan tingkah laku untuk dapat hidup
6 Brosur FPUB dalam bahasa Inggris tahun 2002 dan diterjemahkan oleh Albertus
Nugroho Widiyono dalam Tesisnya “Kerukunan Antarumat Beragama; Sebuah Studi Kasus Melihat Visi Dialog FPUB Yogyakarta dalam Perbandingan dengan Visi Dialog Korelasional Paul F. Knitter”, PPs Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009.
32
Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
saling menghormati, toleran, penuh perdamaian, saling membantu dan anti kekerasan (non-violence).7 Kata “peace” dalam bahasa Indonesia berarti
“damai”. Damai dalam pengertian ini adalah sebuah suasana tidak adanya perang atau konflik dan kekerasan. Faktor penyebab terjadinya suasana damai adalah ketika individu memiliki rasa kedamaian dalam diri sendiri, memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain serta bisa memicu terjadinya konflik dan kekerasan. Perdamaian adalah konsep dan cara pandang yang positif baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain.
Aspek-aspek yang dikembangkan pada peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).8
Kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence) merupakan aspek penting dalam mewujudkan harmoni, toleransi, dan perdamaian di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam. Hak Asasi Manusia (human rights) mengajarkan penghormatan terhadap kebebasan seseorang yang merupakan haknya yang diberikan Tuhan kepada manusia. HAM secara normatif dimengerti sebagai hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. Demokrasi (democracy) mengajarkan terhadap kebersamaan dan kesamaan hak dan kuwajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemehaman terhadap demokrasi memberikan manfaat tentang kesetaraan dan kesamaan sebagai warga negara, memenuhi kebutuhan-kebutuhan Umum, pluralisme dan kompromi, menjamin hak-hak dasar, dan pembaruan kehidupan sosial. Toleransi, tolerance (Inggris:);
tasamuh (Arab) berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding) memberikan penyadaran bahwa
7 Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama,”... hlm. 44. 8 Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama,”... hlm. 44.
33 Peace Education sebagai Resolusi Konflik Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli
pada setiap bangsa atau daerah mempunyai kekhasannya masing-masing. Bahkan seringkali saling bertolak belakang. Pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) menghantarkan kepada kesadaran akan keanekaragaman budaya dan bahasa serta dialek. Keragaman budaya dan bahasa tersebut satu sisi merupakan kekayaan yang sangat berharga, akan tetapi di sisi lain dapat berpotensi sebagai pemicu konflik dan disharmoni. Sehingga pemahaman terhadap perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) dimaksudkan untuk menyadari keragaman dan dikelola sebagai kekayaan dan rahmat.
Dengan demikian peace education mengajarkan rasa saling menghargai, mencintai, fairness, dan keadilan. Dengan prinsip dan ajaran inilah resolusi konflik dapat dilakukan.
E. Peace Education dan Resolusi Konflik
Pendidikan perdamaian (peace education) dapat menjadi strategi dalam rangka proses resolusi konflik. Sebab dalam pendidikan perdamaian memberikan pandangan, wawasan dan keterbukaan terkait dengan realitas pluralitas umat manusia baik dari segi agama, budaya, ras, bahasa, dan lain-lain. Keragaman yang ada bukanlah hal yang harus ditolak, akan tetapi dikelola, disyukuri sebagai kekayaan dan potensi yang memberikan berkah kehidupan umat. Oleh karena itu, aspek-aspek yang dikembangkan dan diajarkan dalam peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).
Pemahaman dan pandangan seperti inilah yang menjadi pemicu dan sangat berpotensi terjadi kerusuhan dan konflik. Oleh karena itu, melalui peace education yang mengajarkan tentang realitas keragaman (pluralisme) agama, ras, suku, budaya, dan bahasa yang harus dikelola dan dihormati akan dapat menjauhkan dari sikap dan tindakan-tindakan ekstrim, radikal