• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aku Memberi, Maka Aku Ada Mengapa Seseorang Memiliki Sifat dan Perilaku Menolong?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aku Memberi, Maka Aku Ada Mengapa Seseorang Memiliki Sifat dan Perilaku Menolong?"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

“Aku Memberi, Maka Aku Ada” Mengapa Seseorang

Memiliki Sifat dan Perilaku Menolong?

[caption id="attachment_172" align="alignleft" width="150"]

Ahmad Baliyo Eko Prasetyo, S.Psi., M.A.[/caption] Muqaddimah

Rentetan bencana dahsyat yang mengguncang tanah air dalam beberapa tahun terakhir telah menyisakan kisah tentang kehancuran, kepiluan dan kepedihan seraya beiring dengan kisah tentang ketegaran, ketabahan dan keteguhan. Untuk sekedar mengingat kembali, bencana-bencana dahsyat tersebut diantaranya adalah gempa bumi 8,9 SR disusul tsunami raksasa di Aceh (2004), gempa Nias dan Sumut (2005), gempa Jogja (2006), gempa Padang (2009), banjir dan longsor di beberapa daerah dan terakhir bencana erupsi Merapi (2010). Di tengah hiruk pikuk bencana tersebut, muncul satu karakter menonjol dari masyarakat Indonesia yang menenteramkan, yaitu tumbuhnya sifat dan perilaku menolong, membantu dan menderma, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok atau organisasi. Lembaga-lembaga sosial pun bermunculan, dari yang berbasis korporat, ormas, parpol, hingga institusi pendidikan. Setiap rekening yang dibuka untuk menghimpun dana bantuan dari masyarakat untuk membantu korban bencana mampu mencatat dana dalam jumlah besar, dari yang hanya bernilai puluhan juta hingga milyaran rupiah.

Harus turut disebut di sini adalah para relawan yang dengan semangat membara bersedia mengorbankan uang, waktu, tenaga dan bahkan jiwa mereka sekaligus, demi menolong para korban bencana langsung di lokasi kejadian. Mereka rela meninggalkan keluarga, aktifitas dan pekerjaan mereka untuk menjadi relawan, yang mungkin akan mengurangi kesempatan dan waktu mereka untuk mencari nafkah. Menarik pula untuk mengetahui bahwa mereka berasal dari berbagai latar belakang. Di antara mereka ada yang berasal dari kalangan profesional, dokter, guru, pengusaha, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum. Sebagian merupakan tim relawan resmi-terlatih dari organisasi Palang Merah, SAR dan juga dari lembaga-lembaga sosial independen lainnya.

Fenomena ini tentu sangat menggembirakan dan menyejukkan di tengah-tengah banyaknya kasus kejahatan kerah putih (birokrat, pengusaha dan konglomerat) dalam bentuk korupsi yang nilainya gila-gilaan. Besarnya nilai rupiah yang dikorupsi dan tingginya intensitas tindak korupsi di negeri ini memang membuat masyarakat frustasi hingga disimpulkan bahwa korupsi di negeri

(2)

ini sudah membudaya. Rasa frustasi tersebut sedikit terobati dengan tumbuhnya (kembali) karakter menolong masyarakat Indonesia, terutama ketika dipicu adanya bencana. Kondisi ini juga menjadi antitesis budaya korupsi, bahwa karakter menolong dan memberi sejatinya masih ada dan masih dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Dalam ranah psikologi, perilaku menolong dan memberi ini disebut dengan altruisme. Sedangkan perilaku yang khusus memberikan sesuatu (terutama donasi uang) secara spesifik disebut dengan filanthropi. Perilaku ini telah sejak lama membuat para ilmuwan dan pakarnya penasaran dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar: mengapa orang mau mendermakan waktu dan uang mereka untuk untuk aktivitas sosial? Mengapa prilaku ini muncul? Apakah perilaku tersebut muncul karena manusia memang dari sononya sudah baik hati, simpatik, dan dermawan, atau apakah perilaku tersebut muncul karena “ada-sesuatu-bagiku” yang akan diperoleh” dengan melakukan tindakan tersebut? Tulisan ini hendak membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut, terutama dari perspektif Psikologi.

Altruisme

Altruisme sendiri adalah perhatian terhadap kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan (virtue) yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh hampir semua agama. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran. Sementara perbuatan baik yang memusatkan perhatian pada tuntutan kewajiban dari pihak tertentu seperti Tuhan (atau agama), pemerintah, raja, organisasi atau konsep absrak seperti patriotisme, dsb. Beberapa orang dapat menjalankan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan sejak tahun 60-an menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner dan humanistik).

Kata altruisme sendiri pertama kali digunakan pada abad 19 oleh filsuf Auguste Comte. Kata ini berasal dari kata Yunani “alteri” yang berarti orang lain. Menurut Comte, seseorang memiliki tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya. Sehingga altruisme menjelaskan sebuah perilaku tidak mementingkan diri sendiri dan lebih memerhatikan kebutuhan orang lain. Ada tiga komponen dalam altruisme, yaitu loving others, helping them

doing their time of need dan making sure that they are appreciated.

Menurut Batson[1] yang dikutip juga oleh Carr[2], altruisme adalah respon yang menimbukan

positive feeling. Seseorang yang altruis memiliki motivasi dan keinginan untuk selalu menolong

orang lain. Motivasi altruistik tersebut muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan positive feeling sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain. Alasan internal tersebut tidak akan memunculkan egoistic motivation (egocentrism) karena fokus tindakan tersebut adalah orang lain.

(3)

Menurut Eson dan Webb,[3] altruisme dalam hampir semua ajaran agama-agama adalah kewajiban (dan atau anjuran) bagi para pemeluknya yang ditujukan untuk kebaikan orang lain. Suatu tindakan altruistik adalah tindakan kasih yang dalam bahasa Yunani disebut agape.

Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesama dengan baik semata-mata

untuk tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik secara normatif selalu bersifat menumbuhkan kehidupan sesama. Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi juga yang lebih penting adalah keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya namun tanpa menimbulkan kebergantungan. Istilah ini disebut moralitas altruistik, dimana tindakan menolong tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tetapi diresapi dan dijiwai oleh kerelaan mengupayakan kebaikan bagi sesama tanpa pamrih. Dari hal tersebut, seseorang yang altruis memiliki tanggung jawab untuk “mengajarkan” dan “mendidik” bukan sekedar memberi.

Mandeville dkk.[4] lebih skeptis dalam memandang altruisme. Mereka mengatakan bahwa altruisme yang dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tidak mungkin terjadi. Menurut mereka, pada dasarnya motivasi untuk menolong seperti itu berasal dan didorong oleh ego. Tujuan akhir selalu untuk meningkatkan kesenangan pribadi. Tetapi hal tersebut dibantah Batson, dkk.[5] berdasarkan penelitian mereka yang menyatakan bahwa altruisme itu ada dan dapat dikembangkan dengan adanya empati. Sedangkan empati adalah suatu sikap yang inheren dalam diri manusia yang keberadaannya tidak membutuhkan syarat. Sejalan dengan Batson, Myers[6] menyebutkan bahwa altruisme adalah salah satu tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada keinginan untuk mendapatkan timbal-balik (imbalan). Ada tiga teori yang dapat menjelaskan tentang motivasi seseorang melakukan tindakan altruis, yaitu:

1. 1. Social Exchange

Pada teori ini, tindakan menolong dapat dijelaskan dengan adanya social rewards (ganjaran). Altruisme menjelaskan bahwa reward yang memotivasi adalah inner-reward (distress). Contohnya adalah adanya perasaan bersalah dan atau dipersalahkan ketika jika tidak menolong ketika ada orang lain atau keadaan yang membutuhkan pertolongan.

1. 2. Social Norms

Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh ”sesuatu” yang mengatakan pada kita untuk ”harus” menolong. ”Sesuatu” tersebut berasal dari norma sosial yang telah tertanam dalam belief system yang diperoleh melalui pengalaman, pendidikan dan pengajaran orangtua. Pada altruisme, norma sosial tersebut kemudian membentuk social responsibility. Adanya tanggungjawab sosial dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan menolong karena merasa menjadi bagian dari komunitas sosial, atau lebih luas lagi merasa sebagai bagian dari kehidupan.

1. 3. Evolutionary Psychology

Pada teori ini, dijelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan. Perilaku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila ”orang lain” yang akan

(4)

disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik).

Dari penjelasan di atas, Meyrs menyimpulkan bahwa altruisme akan dengan mudah terjadi dengan adanya:

1. Sense of social responsibility. Seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

2. Distress – inner reward. Kepuasan pribadi, tanpa ada faktor eksternal.

3. Kin selection. Ada salah satu atau lebih dari karakteristik korban yang hampir sama dengan dirinya.

Karakteristik Altruisme

Ada beberapa karakteristik perilaku altruistik sebagaimana dijelaskan oleh Myers[7], yaitu: 1. Emphaty. Altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalam diri seseorang. Individu

yang sangat altruis merasa diri mereka paling bertanggung jawab dengan kondisi yang menurut dia membutuhkan bantuan orang lain. Individu altruis juga sangat bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik.

2. Belief on a just world. Karakteristik individu altruis adalah percaya pada “a just world”, percaya bahwa dunia adalah tempat yang baik dan bahwa yang baik selalu mendapatkan ”kebaikan” dan yang buruk mendapatkan ”hukuman”. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat denga mudah menunjukkan tingkah laku menolong. Menurut teori Melvin Lerner, orang yang keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi untuk mencoba memperbaiki keadaan ketika mereka melihat orang yang tidak bersalah menderita. Maka tanpa pikir panjang mereka segera bertindak memberi pertolongan jika ada orang yang kemalangan.[8] Karakter ini mirip dengan hukum karma.

3. Social responsibility. Setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain, sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya.

4. Internal LOC. Karakteristik selanjutnya dari orang yang altruis adalah kemampuan mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya dimotivasi oleh stimulus dan dorongan internal (misalnya kepuasan diri), bukan oleh stimulus eksternal. 5. Low egocentrism. Seorang yang altruis biasanya memiliki ego yang rendah. Dia

mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan kepentingan dirinya. Menurut Wortman dkk.[9] ada beberapa faktor yang memengaruhi seseorang dalam memberikan pertolongan kepada orang lain, yaitu:

1. 1. Suasana hati. Jika suasana hati sedang enak, orang juga akan terdorong untuk memberikan pertolongan lebih banyak. Itu mengapa pada masa puasa, Idul Fitri atau menjelang Natal orang cenderung memberikan derma lebih banyak. Merasakan

(5)

suasana yang enak itu orang cenderung ingin memperpanjangnya dengan perilaku yang positif. Riset menunjukkan bahwa menolong orang lain akan lebih disukai jika ganjarannya jelas. Semakin nyata ganjarannya, semakin mau orang menolong. Bagaimana dengan suasana hati yang buruk? Menurut penelitian Carlson, Charlin & Miller, asalkan lingkungannya baik, keinginan untuk menolong meningkat pada orang yang tidak bahagia. Pada dasarnya orang yang tidak bahagia mencari cara untuk keluar dari keadaan itu, dan menolong orang lain merupakan pilihannya.[10]

2. Empati. Menolong orang lain membuat kita merasa enak. Tapi bisakah kita menolong orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri sendiri (selfish)? Menurut Daniel Batson bisa, yaitu dengan empati (pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah mengalaminya sendiri). Empati inilah yang akan mendorong orang untuk melakukan pertolongan altruistis.

3. Faktor Sosio-Biologis. Secara sepintas perilaku altruistis memberi kesan kontraproduktif, mengandung risiko tinggi termasuk terluka dan bahkan mati. Ketika orang yang ditolong bisa selamat, yang menolong mungkin malah tidak selamat. Perilaku seperti itu antara lain muncul karena ada proses adaptasi dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua. Selain itu, meskipun minimal, ada pula peran kontribusi unsur genetik.

4. Faktor Situasional. Apakah ada karakter tertentu yang membuat seseorang menjadi altruistis? Belum ada penelitian yang membuktikannya. Yang lebih diyakini adalah bahwa seseorang menjadi penolong lebih sebagai produk lingkungan daripada faktor yang ada pada dirinya.

Empathic Concern & Personal Distress

Terdapat pertanyaan "apakah kita sungguh-sungguh berperilaku altruistik?" Ini adalah salah satu pertanyaan mendasar yang paling membuat para ilmuwan psikologi penasaran.

Menurut dua aliran teori tradisional psikologi, jawabannya adalah "tidak". Dua aliran teori tersebut adalah Psikoanalisis dan teori belajar (behaviorism). Berikut ini uraian Deaux, dkk. mengenai hal tersebut[11]:

1. Teori Psikoanalisis.

Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya agresif dan selfish (egois) secara instingtif. Dengan demikian, beberapa tokoh psikoanalisis memandang altruisme sebagai pertahanan diri terhadap kecemasan dan konflik internal diri kita sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving (melayani diri sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang lain. Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat membuat kita tidak terlalu selfish (lebih selfless), para tokoh psikoanalisis tetap memandang pada dasarnya manusia bersifat selfish.

1. Teori Belajar.

(6)

beranggapan bahwa orang cenderung mengulangi atau memperkuat perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi diri kita. Mengenai altruisme, mereka berpendapat, bahwa di balik perilaku yang tampaknya altruisik sesungguhnya yang berperan adalah egoisme atau kepentingan diri sendiri. Orang dapat merasa lebih baik setelah memberikan pertolongan, mengharapkan imbalan di akhirat, menghindari perasaan bersalah atau malu yang bisa muncul bila mereka tidak menolong. Pun bila seseorang tidak dapat mengharapkan hadiah, penghargaan, imbalan uang, dia mungkin dimotivasi oleh penghargaan yang lebih lunak atau, yang paling ringan, perasaan hati yang lebih nyaman setelah memberi. Semua itu sejatinya bersumber dari ego.

Batson dkk. melangkah lebih maju lagi dari pertanyaan “apakah kita sungguh-sungguh berperilaku altruistik?” ini. Untuk membedakan antara menolong yang dimotivasi secara egoistis dengan yang dimotivasi secara altruistik atas dasar empati, Batson dkk. mengembangkan alat ukur dua reaksi emosi yang berbeda terhadap seseorang yang mengalami kesulitan (distress). Menolong yang dimotivasi oleh empati disebut sebagai

empathic concern, dan yang dimotivasi secara secara egoistis disebut personal distress.

Pada empathic concern, fokusnya adalah simpati terhadap kesulitan orang lain dan motivasi untuk mengurangi kesulitan tersebut. Dalam skala pengukur empathic concern, yang dimasukkan sebagai sifat-sifat yang merefleksikan hal ini adalah simpati, belas kasihan, gerakan hati, tidak sampai hati, dan kesabaran dalam menghadapi orang lain yang kesulitan. Pada personal distress, fokusnya adalah kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi kesulitan orang lain, dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam skala pengukur personal distress, reaksi-reaksi yang dianggap mencerminkan hal ini adalah ketakutan, kegelisahan, cemas, khawatir kalau tidak menolong, terganggu, dan terkejut atau bingung dalam menghadapi orang lain yang kesulitan.

Ikhtitam

Pertanyaan paling mendasar yang diajukan di awal tulisan ini adalah apakah perilaku menolong muncul karena manusia memang sudah baik hati dan dermawan, atau apakah perilaku tersebut muncul karena “ada-sesuatu-bagiku” yang akan diperoleh” dengan melakukan tindakan tersebut? Dari uraian di atas, dapa diketahui bahwa para ahli psikologi berbeda pendapat mengenai hal ini. Para ilmuwan psikologi analisis dan behavioris skeptis bahwa perilaku altruis ini benar-benar murni untuk kepentingan orang lain, bahkan meskipun tidak megharapkan imbalan. Alasannya, karena apapun bentuknya, perilaku menolong ini lebih didorong oleh

ego. Meskipun tidak mengharapkan imbalan, namun pelaku altruis tetap menginginkan adanya

kepuasan diri dan kenyamanan diori ketika melakukan perilaku ini. Sebagian lagi, yang diwakili oleh para ilmuwan psikologi evolusionis, humanis dan kontemporer, berpendapat bahwa perilaku altruis yang benar-benar tidak mengharapkan imbalan, baik eksternal maupun internal diri, memang dimiliki oleh manusia. Karena pada dasarnya, sifat baik, empati, rasa menjadi bagian dari sesama adalah sifat-sifat inheren dan alami yang ada dalam diri manusia. Sifat-sifat tersebutlah yang mendorong perilaku altruis murni.

(7)

dikembangkan. Meskipun sifat-sifat yang mendorong munculnya perilaku ini adalah

inheren dalam diri manusia, namun tidak selamanya sifat ini mendominasi atau menjadi faktor

kemunculan perilaku altruis. Sehingga dibutuhan dorongan-dorongan, ajakan-ajakan, dan pembiasaan-pembiasaan atau pun peristiwa-peristiwa pemicu yang dapat menimbulkan sifat altruis. Maka, sangat berasalan jika dalam hal ini agama Islam sangat mendorong agar umatnya belajar memberi dan menolong dengan ikhlas. Ada sebuah ayat yang dengan sangat jelas dan gamblang menjelaskan pembelajaran dan pembentukan perilaku altruistik ini. Firman Allah:

Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai (QS. Ali Imran [3]: 92).

Maraji’

Batson, C.D. 1987. Prosocial motivation: Is it ever truly altruistic? In L. Berkowitz (Ed.), Advances in Experimental Social Psychology, 20, 65-122.

Batson, C.D.,Dyck, J.L.,Brandt, J.R., Batson, J.G., Powell, A.L. 1988. Five Studies Testing Two

New Egoistic Alternatives to the Empathy-Altruism Hypothesis, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 55, No. 1, 52-77.

Carr, Alan. 2004. Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. New York: Routledge.

Eson, E. Morris, & Eugene J. Webb. 1991. Altruism and Philanthropy: Religious and Secular

Approach. Reseacrh Paper 1104. Graduate School of Bussiness, Stanford University.

Batson, C.D., Ahmad, N., Stocks, E.L., 2004. Benets and Liabilities of Empathy-Induced

Altruism. In A.G. Miller (Ed.). The Social Psychology of Good and Evil (pp. 359-385). New York:

Guilford Press.

Shaffer, R. David. 2005. Social and Personality Development. Belmont. CA: Wadsworth,

Cangage Learning.

Dale Miller, John G. Holmes, and Melvin J. Lerner. 2002. Committing Altruism Under the Cloak

of Self-Interest: The Exchange Fiction. Journal of Experimental Social Psychology 38.

Wortman, Camille, Elizabeth Loftus, And Charles Weaver. 1997. Psychology (5th Edition).

(8)

Carlson, M., Charlin V., Miller N. 1988. Positive Mood and Helping Behavior: A Test of Six

Hypotheses. Journal of Personality and Social Psychology 55(2), 211-229.

Deaux, K., Dane, F. C., & Wrightsman, L. S. 1993. Social Psychology in the ‘90s (6th Edition).

Pacific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Co.

[1] Batson, C.D. (1987). Prosocial motivation: Is it ever truly altruistic? In L. Berkowitz (Ed.), Advances in Experimental Social Psychology, 20, 65-122. Lihat juga: Batson, C.D.,Dyck, J.L.,Brandt, J.R., Batson, J.G., Powell, A.L. (1988). Five Studies Testing Two New Egoistic Alternatives to the Empathy-Altruism Hypothesis, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 55, No. 1, 52-77.

[2] Alan Carr (2004) Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. New York: Routledge.

[3] Eson, E. Morris, & Eugene J. Webb. (1991). Altruism and Philanthropy: Religious and

Secular Approach. Reseacrh Paper 1104. Graduate School of Bussiness, Stanford University.

[4] Dalam Batson, C.D., Ahmad, N., Stocks, E.L., 2004. Bene_ts and liabilities of empathy-induced altruism. In A.G. Miller (Ed.) The social psychology of good and evil (pp. 359-385). New York: Guilford Press.

(9)

[6] Dalam Shaffer, R. David. (2005). Social and Personality Development. Belmont, CA:

Wadsworth, Cangage Learning.

[7] Ibid.

[8] Dale Miller, John G. Holmes, and Melvin J. Lerner (2002). Committing Altruism Under the

Cloak of Self-Interest: The Exchange Fiction. Journal of Experimental Social Psychology 38.

[9] Wortman, Camille, Elizabeth Loftus, And Charles Weaver (1997). Psychology (5th Edition). Australia & New Zealand: Mc Graw Hill.

[10] Carlson, M., Charlin V., Miller N. (1988). Positive Mood and Helping Behavior: A Test of Six Hypotheses. Journal of Personality and Social Psychology 55(2), 211-229.

[11] Deaux, K., Dane, F. C., & Wrightsman, L. S. (1993). Social Psychology in the ‘90s (6th Ed). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Co.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengamatan konsentrasi 2 mg/L BAP dan 2 mg/L 2,4-D adalah konsentrasi yang paling optimal karena pada konsentrasi tersebut mempunyai nilai hari muncul kalus 18 HST,

Kegiatan yang Dilaksanakan dalam Rangka Penanaman Nilai-Nilai Karakter Melalui Program Bil-hifdzi pada Santriwati PPTQ Al-Muntaha ..?. Implementasi Program Bil-hifdzi PPTQ

Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas LPP Lokal Radio Siaran Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu Swara Bersujud yaitu perangkat Lembaga Penyiaran Publik yang berfungsi

Sedangkan menurut jenis kelamin pria, prioritas utama adalah faktor Reliability dengan bobot 0.327245993, prioritas yang kedua adalah faktor Assurance dengan bobot

1) Perhitungan pengendalian persediaan berdasarkan metode Economic Order Quantity (EOQ) terhadap efisiensi biaya persediaan lebih optimal dibandingkan kebijakan perusahaan.

1 Username dan password tidak diisi kemudian klik tombol login Username : (kosong) Password : (kosong Sistem akan menolak akses dan menampilkan “ Gagal Login !”

Hal ini sesuai dengan karakter UNISSULA yaitu Budaya Akademik Islam (BudAI) yang berinti pada penguatan ruhiyah dan iptek. Adapun penguatan ruhiyah adalah penguatan

Saran yang perlu dilakukan dari penelitian ini yaitu identifikasi senyawa aktif dari ekstrak etanol daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme), kemangi (Ocimum sanctum L), dan