• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9

Universitas Kristen Petra 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Tinjauan Wayang Orang

Wayang merupakan salah satu kesenian tradisional Indonesia yang cukup terkenal hingga ke mancanegara. Wayang sendiri memiliki beragam jenis mulai dari Wayang Kulit, Wayang Krucil/Klithik, Wayang Golek, Wayang Gedhog, Wayang Beber hingga Wayang Wong atau Wayang Orang. Wayang Wong dalam istilah harafiah berarti pertunjukan bercerita (wayang) yang dibawakan oleh manusia (wong). Akan tetapi dalam dunia tari Jawa, Wayang Wong adalah drama tari berdialog prosa liris. Wayang orang atau Wayang Wong adalah sebuah drama tari yang terdapat di beberapa daerah Indonesia. Sejarah mengenai drama tari Wayang Orang atau Wayang Wong memiliki usia yang sangat tua. Sebenarnya, pertunjukan drama tari ini pada masa Jawa Kuna sudah ada dan disebut dengan Wayang Wwang dalam bahasa Jawa Kuna (Indonesia Indah : Tari Tradisional

Indonesia 156).

Pigeud menuliskan bahwa sebuah prasasti yaitu Prasasti Wimalasrama dari tahun 930 A.D. telah menyebut sebuah jenis pertunjukan yang bernama Wayang Wwang, akan tetapi tidak bisa dibayangkan seperti apa pertunjukan itu. Dalam prasasti Balitung (907) yang lebih tua dari Wimalasrama yang juga menunjukkan bahwa pada zaman Mataram Kuna sudah ada pertunjukan yang dinamakan Wayang Wong dengan menampilkan wiracerita Mahabarata (Rustopo 108). Sebuah karya sastra kakawin Sumanasantaka dari Jawa Timur dari abad ke-12 juga menyebut pertunjukan Wayang Wwang ini walaupun juga tidak jelas gambaran dari bentuk drama tari tersebut, namun cerita-cerita yang dibawakan pasti berkisar pada wiracerita Ramayana atau Mahabarata. Dituliskan dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi yaitu sejak abad ke-10, ketika pusat kebudayaan Jawa berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dari pihak sastrawan Jawa mulai menampilkan cerita yang berpijak pada sumber-sumber dari Jawa yaitu Panji dan berusaha tidak menampilkan wiracerita Ramayana dan Mahabarata (Soedarsono 72).

(2)

10

Universitas Kristen Petra

Banyak kaidah pertunjukan Wayang Wong atau Wayang Orang diambil dari Wayang Kulit. Dalam pertunjukannya Wayang Wong terbagi menjadi tiga, masing-masing ditegaskan oleh hubungan perlambangan nada gamelan: pathet

nem, pathet sanga, dan pathet manyura jika menggunakan laras slendro atau pathet limo dan pathet barang jika laras pelog yang digunakan. Tata rias, busana

dan perwatakan Wayang Wong juga diambil dari kaidah-kaidah Wayang Kulit. Selain itu dalam Wayang Wong dikenal beberapa sikap tari, antara lain:

1. Pondhongan (sikap pria yang seakan “memondong” wanita): menggambarkan keinginan untuk memeluk seorang wanita dan membawanya pergi. Kedua tangan direntang melebar ke samping dan depan, badan condong ke depan dengan pandangan dan tangan diarahkan ke depan.

Gambar 2.1. Sikap Tari dalam Wayang Wong

Sumber : Indonesia Herritage, Seni Pertunjukan (2002, p. 96)

2. Nylekenthung (menarik tangan ke dalam): kedua tangan di depan tubuh, berjarak sekitar dua jengkal dari tubuh. Siku ditekuk, dan telapak tangan ditekuk ke luar sehingga punggung tangan saling berhadapan.

(3)

11

Universitas Kristen Petra

Gambar 2.2. Sikap Tari dalam Wayang Wong

Sumber : Indonesia Herritage, Seni Pertunjukan (2002, p. 96)

3. Nyuduk nangkis (menyerang dan menangkis): menggambarkan perkelahian, ketika seorang tokoh mencoba menusuk pasangan mainnya

(Indonesia Herritage, Seni Pertunjukan, 96-7).

Gambar 2.3. Sikap Tari dalam Wayang Wong

(4)

12

Universitas Kristen Petra

Gambar 2.4. Gerak Tari Dasar dalam Wayang Wong Sumber: Indonesia Herritage, Seni Pertunjukan (2002, p. 96)

2.1.1.1. Sejarah Perkembangan Wayang Orang

Wayang Orang atau Wayang Wong yang masih sering dipertunjukkan di Jawa sekarang ini asal-usulnya berasal dari tradisi pertunjukan di istana-istana Jawa pada pertengahan abad ke-18, ketika kerajaan Mataram pecah menjadi tiga yaitu Kasunan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran. Dari sejarah perkembangannya, di Jawa Tengah (termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta) terdapat dua gaya Wayang Wong, yaitu gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta-Mangkunegaran. Wayang Wong gaya Yogyakarta dimunculkan oleh Sultan Hamengkubuwana I (1775-1792), sedangkan Wayang Wong gaya Surakarta-Mangkunegaran dimunculkan oleh Adipati Mangkunegaran I. Dari segi teknik tari maupun gaya dialognya berbeda, dulu Wayang Wong gaya Yogyakarta selalu dipertunjukkan untuk kepentingan ritual. Wayang Wong gaya Yogyakarta mengalami puncak perkembangan yang luar biasa pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII (1921-1939) yang terkenal sebagai maecenas tari. Pada masa itu Wayang Wong dipertunjukan secara besar-besaran untuk kepentingan

(5)

13

Universitas Kristen Petra

ritual sebanyak sebelas kali. Akan tetapi, sejak tahun 1940 bersamaan dengan dahsyatnya Perang Dunia II yang menyebar hingga ke Indonesia menyebabkan pergelaran Wayang Wong secara besar-besaran di istana Yogyakarta mulai berhenti. Terlebih setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia, istana Yogyakarta sudah tidak lagi sebagai sentra politik dan budaya. Berbeda dengan Wayang Wong gaya Yogyakarta, Wayang Wong gaya Surakarta-Mangkunegaran lebih ditekankan sebagai penyajian estetis atau tontonan sekuler (Indonesia Indah : Tari

Tradisional Indonesia 158).

2.1.1.2. Peranan Etnis Tionghoa Terhadap Perkembangan Wayang Orang Pada akhir abad ke-19 Wayang Wong gaya Surakarta-Mangkunegaran mengalami perkembangan menjadi pertunjukan komersial yang dipergelarkan di gedung-gedung pertunjukan umum dan para penontonnya diwajibkan membeli karcis jika ingin menyaksikannya. Selanjutnya, pertunjukan Wayang Wong gaya Surakarta-Mangkunegaran dapat dikenal luas dan tampil di atas panggung menjadi sebuah acara komersial karena peran seorang yang bernama Gan Kam, pengusaha batik kaya peranakan Cina yang pertama kali membentuk rombongan Wayang Orang di Solo pada tahun 1895. Dalam perkembangan selanjutnya Wayang Wong komersial ini dikenal pula sebagai Wayang Orang atau Wayang Wong panggung (Indonesia Indah: Tari Tradisional Indonesia 157-58). Apa yang dilakukan oleh Gan Kam ini tidak dipaparkan dalam buku Indonesia Indah edisi Tari Tradisional Indonesia dikarenakan buku ini lebih menekankan pada pembahasan mengenai tari tradisional Indonesia, karena jka dibahas lebih lanjut tindakan yang dilakukan oleh Gan Kam ini akan menuju pada perkembangan salah satu teater tradisional di Indonesia.

Kesenian Wayang Wong gaya Surakarta-Mangkunegaran ini dapat berkembang menjadi sebuah seni komersial dituliskan dalam buku Indonesia Indah edisi Teater Tradisional Indonesia bahwa Gan Kam memohon dan menghadap Adipati Mangkunegara V agar berkenan memberikan ijin kepadanya untuk menyelenggarakan pentas Wayang Wong di luar istana, sehingga mulai saat

(6)

14

Universitas Kristen Petra

itu Wayang Wong untuk pertama kalinya dimainkan di luar tembok istana. Hal ini berlangsung pada awal abad ke-19, saat berbagai rombongan komersial teater manusia, seperti Komedi Bangsawan mulai merebak di mana-mana khususnya di kota besar. Beberapa rombongan melakukan perjalanan keliling dari kota-kota seperti Surakarta, Semarang, Yogyakarta, Madiun dan Surabaya. Sehingga tidak mengherankan apabila Gan Kam segera berpikir untuk menyajikan pertunjukan Wayang Wong di panggung prosenium, seperti halnya teater komersial lainnya dan bukan lagi di pendapa. Penggunaan panggung prosenium membawa akibat pada bentuk tarian. Komposisi tari dan beberapa bagian koreografinya harus diubah disesuaikan dengan bentuk panggung prosenium, dengan wings yang dipasang di kiri dan kanan pentas. Teknik exit dan entrance pun harus diubah, sebab ada layar yang turun-naik untuk mengganti adegan-adegan dan mungkin babak. Warna-warna kostum diberi tekanan lebih meriah : kuning keemasan, warnanya merah menyala bukan lagi warna subdued sebagai warna-warna khas Jawa yang kontemplatif. Aksesoris-aksesoris juga dikembangkan menjadi lebih meriah.

Menurut Hardjonegoro bahwa pertunjukan Wayang Orang panggung kemasan Gan Kam ini diselenggarakan di sebuah bangunan besar yang mampu menampung sekitar 200 penonton (Rustopo 122). Seperti halnya setiap pertunjukan teater manusia di mana-mana, Wayang Orang segera saja menimbulkan masalah sosial karena pertunjukan ini diusahakan oleh seorang Cina peranakan dan para penontonnya pun juga datang dari komunitas Cina peranakan. Wanita yang sudah bersuami maupun perawan ada yang mulai tergila-gila oleh pemain Wayang Orang, terutama pada pemain yang memerankan tokoh ksatria halus, misalnya Arjuna, Abimanyu, Wibisana dan sebagainya. Sejak saat itulah dikenal pemain wanita memerankan tokoh laki-laki yang sering disebut oleh para ahli dengan istilah transvestite (Indonesia Indah : Teater Tradisional Indonesia 95). Gan Kam dengan kebijakan transvestite-nya merupakan tindakan yang bersifat persuasif atau antisipasi agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Transvestite adalah usaha untuk menarik publik seluas-luasnya dengan mengingat

(7)

15

Universitas Kristen Petra

jumlah besar. Kayam juga mengutarakan pandangannya bahwa Wayang Orang komersial adalah salah satu kitsch yang unik. Ia menimba bahan-bahan kemasannya dari teater klasik dan penghayatan yang unik orang Jawa terhadap epos Mahabarata dan Ramayana. Wayang Orang klasik yang biasanya dimainkan di keraton dan pendopo-pendopo oleh para bangsawan. Bapak pendiri Wayang Orang komersial ini melihat suatu kemungkinan untuk memasyarakatkan teater yang eksklusif dan sangat elitis itu di mana dia juga yakin bahwa masyarakat kota-kota Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah masyarakat peralihan yang belum beranjak jauh dari tradisi, dia tahu bahwa Wayang Orang yang dijual bagi masyarakat ramai sudah waktunya untuk dikemas dan dijajakan. Apalah yang lebih menyenangkan bagi rakyat banyak itu daripada mendapat kesempatan untuk melihat lakon-lakon Wayang yang biasanya hanya mereka lihat lewat Wayang Kulit, sekarang dipanggungkan dengan kostum dan tarian yang memukau. Bagi para penghuni kota yang masih sangat dekat dengan jaringan keluarga tradisional serta melihat kota masih sebagai tangan panjang dari lingkungan budayanya yang lama, teater seperti Wayang Orang komersial itu adalah format hiburan baru yang pas dan tepat. Rustopo mengatakan bahwa Wayang Orang komersial pada hakikatnya adalah sebuah sukses kitsch dari suatu habitat peralihan yang disebut kota (129).

Sukses dengan adanya pertunjukan Wayang Orang yang diadakan, segera mendorong warga keturunan Cina lainnya untuk mendirikan usaha tontonan ini yang kemudian melahirkan beberapa kelompok Wayang Orang di kota Jawa. Di sini tampak bagaimana orang-orang Cina yang datang dari abad ke-13 hingga abad ke-18 telah mengambil peran sebagai pendorong hidupnya kembali teater manusia, yang berarti sedikit banyak juga turut menghidupkan kembali khasanah sastra Hindhu dari kitab Mahabarata dan Ramayana. Akan tetapi lakon-lakon yang dimainkan tidak lagi sepenuhnya disebut Hindhuisme sebab di dalamnya sudah ada ajaran-ajaran Islam yang terjalin dengan indahnya, misalnya dalam lakon Dewa Ruci. (Indonesia Indah : Teater Tradisional Indonesia 96). Peran sejumlah warga keturunan Cina dalam mengembangkan kesenian Wayang Wong menjadi sebuah seni yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas yang mana terlepas dari itu

(8)

16

Universitas Kristen Petra

adakah menyangkut unsur bisnis yang mendatangkan keuntungan tersendiri bagi mereka atau juga didasari dengan rasa cinta kepada budaya yang mereka anggap sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Anggapan mengenai semua warga keturunan Cina hanya identik dengan dunia ekonomi itu seakan ditepis dengan pembuktian sejumlah warga keturunan Cina yang menjadi pemain dan anggota dari salah satu kelompok dari sekian banyak kelompok Wayang Orang yang ada saat itu yaitu Wayang Orang Dharma Budaya yang ada di Surakarta.

Gambar 2.5. Seniman-seniwati Wayang Orang Dharma Budaya Sumber: Rustopo (2007, p.156)

Perubahan pertunjukan Wayang Wong yang merupakan seni adiluhung telah berubah. Walaupun hal ini tidak berarti Wayang Wong yang dimainkan di istana dan Wayang Kulit yang digelar untuk tujuan ritual telah punah. Munculnya Wayang Orang dan pergelaran Wayang Kulit yang menjurus ke arah tontonan seakan-akan merupakan perintah sejarah. Sebagai suatu ritual, pesan yang diemban dan disampaikan Wayang Wong pun bergeser arah. Wayang Wong yang disebut sebagai drama tari upacara kenegaraan pada saat yang sama menjelmakan bayangannya menjadi Wayang Orang yang sering dimainkan untuk acara hiburan dan mengisi acara-acara tertentu baik itu yang mengadakan dari kalangan orang yang berwenang alias pemerintah atau pejabat tinggi negara maupun orang yang memiliki dana yang cukup. Seni komersial tampaknya memang sudah melebur

(9)

17

Universitas Kristen Petra

dalam citra tradisional sebuah seni, tetapi perlu ditegaskan bahwa bukan karena adanya suatu citra komersial berarti nilai adiluhung itu hilang akan tetapi masih tetap ada.

2.1.1.3. Kondisi Wayang Orang Selanjutnya

Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an ada sekitar 30 kelompok Wayang Orang panggung yang besar pertunjukannya mampu menampung 1000 penonton maupun yang kecil untuk 500 penonton. Konon pada tahun-tahun itu semua kelompok Wayang Orang panggung selalu dipadati penonton setiap malamnya. Gedung-gedung pertunjukan tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta. Namun, keadaan berubah saat di Indonesia diperkenalkan televisi dan film-film impor yang akhirnya membanjir dan memadati gedung-gedung bioskop. Faktor inilah yang kemudian membuat pertunjukan Wayang Orang terdesak, terlebih dengan beredarnya rekaman video dan laser disc serta munculnya antena parabola yang mampu meraih siaran-siaran televisi dari mancanegara, Wayang Orang panggung benar-benar terdesak dan kian merana (Indonesia Indah : Tari Tradisional Indonesia 159).

Dari tahun ke tahun perjalanan Wayang Orang dapat dikatakan hidup segan mati tak mau. Kesenian ini masih tetap hidup, meskipun hanya segelintir orang yang melestarikan dan mengembangkannya di era modernisasi saat ini. Masyarakat sudah melupakan apa yang dinamakan kesenian tradisional karena sudah terpengaruh dengan zaman yang dipenuhi dengan kemewahan dan teknologi canggih. Kehidupan Wayang Orang saat ini berbeda pada zaman dulu ketika banyak orang amat menyukai dan antusias saat kesenian ini dipertunjukkan. Sementara itu kemunduran kesenian ini semakin dipercepat dengan keterlambatan regenerasi. Ibu Rudi selaku pengurus salah satu kelompok kesenian Wayang Orang di Malang yaitu Wayang Orang Ang Hien Hoo mengatakan bahwa beliau ingin melakukan regenerasi, di samping itu saat ini sangat sulit untuk mengadakan suatu pementasan Wayang Orang karena memang untuk kesenian ini membutuhkan biaya yang tidak kecil dan hal ini sangat disayangkan karena pemerintah khususnya pemerintah daerah yang masih kurang tanggap dan peduli

(10)

18

Universitas Kristen Petra

terhadap kelangsungan hidup kesenian Wayang Orang dengan mengalokasikan dana. Istilah penamaan Wayang Wong dan Wayang Orang sebenarnya memiliki konteks yang sedikit berbeda, Wayang Wong terkesan lebih kontemplatif dibandingkan dengan Wayang Orang yang terlihat lebih meriah dan menghibur. Terkait dengan perubahan kondisi kesenian tradisional Wayang Orang yang memiliki unsur komersial memang harus dilakukan karena mereka yang dimaksud yaitu seniman dan penari Wayang Orang tidak seperti dulu yang mendapatkan kedudukan dan pangkat tinggi. Mereka yang hidup saat ini dari kegiatan kesenian Wayang Orang memang harus melakukan komersialisasi dan melakukan perubahan untuk menarik penonton, karena dari situlah kehidupan mereka maupun Wayang Orang akan terus berjalan.

Mereka yang ikut menjadi penari maupun pemain Wayang Orang saat ini tidak dapat dipaksakan semuanya harus menjadi seorang seniman seutuhnya, tetapi perlu juga adanya mengenyam pendidikan untuk bekal menjalani kehidupan. Mungkin hal ini sedikit bertentangan dengan pemikiran para seniman tradisional yang menganggap bahwa hanya dengan menari dan bermain Wayang Orang saja sudah cukup, namun jika hidup pada era seperti sekarang, tampaknya akan sulit mempertahankan pola pikir idealis semacam itu. Darah tari yang mengalir memang janganlah sampai hilang karena dari situlah terdapat gambaran dan refleksi jiwa yang sarat makna kehidupan dan munculnya kecintaan pada seni dan budaya.

2.1.2. Tinjauan Kelompok Wayang Orang Ang Hien Hoo

Ang Hien Hoo adalah sebuah perkumpulan untuk golongan etnis Tionghoa, berdiri pada tanggal 3 September 1910 yang berfungsi sebagai organisasi untuk menangani urusan kematian bagi warga keturunan etnis Tionghoa. Seiring dengan berjalannya waktu berkisar antara tahun 1950-an beberapa anggota yang terlibat dalam perkumpulan Ang Hien Hoo ingin melakukan sebuah kegiatan yang berkaitan dengan kesenian. Pada awal mulanya para anggotanya membeli sejumlah alat-alat musik tradisional gamelan, dari sini ketertarikan pada kesenian tradisional semakin besar sampai akhirnya mereka membentuk kelompok

(11)

19

Universitas Kristen Petra

kesenian Wayang Orang dengan nama Ang Hien Hoo di bawah kepengurusan Lim Ting Tjwan.

Kelompok Wayang Orang Ang Hien Hoo pun berkembang dengan dengan mengadakan pertunjukan keliling dan juga tampil dalam pertunjukan Wayang Orang yang diadakan di kota Solo. Prestasi yang paling membanggakan adalah pada waktu itu diundang oleh Presiden Soekarno untuk tampil di Istana Negara. Salah seorang pemain Wayang Orang Ang Hien Hoo yang terkenal pada saat itu adalah seorang keturunan etnis Tionghoa dengan nama Indonesia Ratna Juwita, selain itu seorang pemain Wayang Orang Ang Hien Hoo yang menuai banyak prestasi di bidang seni tari tradisional dan pada akhirnya keluar dan bergabung dalam kelompok kesenian Wayang Orang Bara Pra Tama (Budaya Remaja Peraga Tari Malang) adalah Irene Kartika Wijaya anak dari pasangan Ibu Sita Dewi Kusuma atau Ibu Rudi dengan Rudianto Rama Wijaya. Dalam perjalanan menuju rezim Orde Baru, Ang Hien Hoo mengubah namanya menjadi Panca Budhi karena adanya kebijakan dari pemerintah pada saat itu untuk nama yang berbau Cina harus diganti dengan bahasa Indonesia. Kegiatan Ang Hien Hoo akhirnya harus terhenti juga karena adanya tekanan pemerintah Orde Baru dalam kegiatan berkesenian. Perkembangan kelompok kesenian Wayang Orang Ang Hien Hoo selanjutnya dibawah kepengurusan Ibu Rudi mulai dijalankan kembali pada sekitar tahun 2009-an yang dinaungi oleh yayasan Dharma Budaya klenteng Eng An Kiong dan masih beraktivitas hingga saat ini.

2.1.3. Tinjauan Film 2.1.3.1. Film Dokumenter

Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan hal-hal secara nyata. Tema yang diangkat dalam film dokumenter menyajikan fakta mengenai tokoh atau peristiwa, sosial maupun budaya. Istilah dokumenter diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian Istilah „dokumenter‟ kembali digunakan oleh pembuat dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty yang

(12)

20

Universitas Kristen Petra

diulas oleh John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”.

(“jenis-jenis film,” par. 1).

Film dokumenter merupakan film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Dimana film ini tak lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpedoman pada hal-hal senyata mungkin. Dalam perkembangannya muncul ada aliran baru dalm film dokumenter antara lain yaitu dokudrama, dan profil. Dalam dokudarama terjadi reduksi realita demi tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Akan tetapi, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh tetap berpengan pada kerealitasan

(jenis-jenis film, par. 2). Berbeda dengan genre video profil, aliran film ini sama persis seperti dokumenter hanya saja lebih spesifik yaitu dengan mengangkat profil seseorang atau kelompok dimana isi dari programnya adalah menyoroti peran seseorang atau kelompok tersebut dalam suatu bidang tertentu misalnya kesenian dan budaya, politik, entertainer, dll. Contoh program dengan aliran seperti ini adalah program televisi “Sebuah Nama Sebuah Cerita” dan “Mereka Kini” yang ditayangkan di Kompas TV.

Dalam perkembangannya kini dokumenter telah menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya saluran televisi seperti program Discovery Channel pun dengan langkah mantap menjadikan diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Di Indonesia, film dokumenter telah berkembang dimulai pada akhir tahun 1990-an dengan bergerak secara dinamis, antara lain mewujud dalam film dalam bentuk film advokasi sosial-politik, film seni dan eksperimental, film perjalanan dan petualangan, film komunitas dan terutama sebagai media altenatif di bidang seni audio-visual bagi pemuda. Film dokumenter menjelma menjadi satu genre seni audio-visual yang memiliki sifat demokratis sekaligus personal. Film dokumenter di Indonesia yang

(13)

21

Universitas Kristen Petra

pertama dipelopori oleh stasiun televisi pertama di Indonesia yaitu TVRI. Film dokumenter telah banyak menghasilkan beragam film dokumenter dengan tema-tema yang berbeda seperti flora-fauna dan kebudayaan. Pada tahun 1990, di mana stasiun televisi swasta mulai banyak muncul maka pembuatan film dokumenter tidak lagi dimonopoli oleh TVRI. Salah satu gaya film dokumenter yang banyak dikenal orang, salah satunya karena ditayangkan secara serentak oleh lima stasiun swasta dan TVRI adalah Anak Seribu Pulau (Miles Production, 1995). Dokudrama ini ternyata disukai oleh banyak kalangan sehingga sekitar enam tahun kemudian program yang hampir sama dengan judul Pustaka Anak Nusantara (Yayasan SET, 2001) diproduksi untuk konsumsi televisi.

2.1.3.2. Film Dokumenter Sebagai Media Audio-visual

Media audio visual adalah sebuah peralatan yang menyampaikan informasi melalui suara yang dapat didengar (audible) dan gambar yang dapat dilihat (visible). Berdasarkan bentuk informasi yang disajikan, film dokumenter tergolong dalam bentuk media audio visual. Pemberian informasi dengan cara audio visual dibuktikan dapat membuat proses komunikasi menjadi 25% hingga 50% lebih efektif. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengetahuan manusia dapat sampai ke otaknya melalui indera penglihatan, selebihnya dibantu dengan indera pendengaran dan indera-indera lainnya (Suleiman 12-3). Dengan melihat gambar bergerak yang disertai suara, seseorang seolah-olah turut mengalami dan berada di lokasi. Konsentrasi dan daya serap juga akan meningkat saat indera penglihatan dan pendengaran dipakai secara bersamaan. Oleh karena itu, media audio visual sangat cocok digunakan untuk media pembelajaran yang membagi pengetahuan. Menurut Daryanto, di dalam media audio visual terkandung dua unsur utama, yaitu :

- Unsur audio

Suara pemain : menyampaikan informasi kepada audience baik secara monolog atau dialog.

(14)

22

Universitas Kristen Petra

Musik : meliputi alunan musik yang muncul di awal dan akhir sebagai pembuka dan penutup serta musik yang menjadi latar belakang adegan

(background music).

- Unsur visual

Pemain : orang yang berperan dalam film.

Lokasi atau setting tempat pelaksanaan pembuatan film.

Properties : perlengkapan yang digunakan pemain atau ditata di lokasi untuk memperindah adegan.

Pencahayaan.

Gerak dan gestur tubuh pemain serta kamera (85-7).

Di dalam penerapannya, Nelmes menyebutkan unsur audio dan visual yang biasanya digunakan di dalam film dokumenter disampaikan dalam bentuk :

- Unsur audio

Overheard exchange, yaitu rekaman pembicaran dari dua orang atau lebih yang terkesan alami dan direkam tanpa sengaja.

Kesaksian, yaitu rekaman suara yang diungkapkan secara jujur oleh narasumber berkaitan dengan topik yang dibahas dalam film.

Eksposisi, yaitu orang berbicara langsung di depan kamera (voice over) untuk mengarahkan penonton.

- Unsur visual

Observasionalisme reaktif, artinya materi film sedapat mungkin diperoleh langsung di lapangan. Di sini sangat diperlukan pengamatan yang teliti dari sutradara dan cameraman.

Observasionalisme proaktif, artinya materi film diambil di lapangan dengan berdasarkan pada pengamatan yang sudah dilakukan sebelumnya oleh sutradara dan cameraman.

Mode ilustratif, yaitu berusaha menggambarkan secara langsung sesuai dengan kalimat yang dikatakan oleh narator (yang suaranya direkam sebagai voice over).

(15)

23

Universitas Kristen Petra

Mode asosiatif, yaitu berusaha memakai potongan-potongan gambar dengan berbagai cara (189-90).

2.1.3.3. Tahap-tahap Produksi Film Dokumenter

Berikut adalah tahap-tahap dalam proses produksi sebuah film dokumenter a. Tahap Pra Produksi

Dimulai dengan menentukan tema dan objek yang akan diangkat. Setelah objek dan tema ditentukan maka dilakukan riset dan observasi lapangan dan studi literatur, melakukan kontak langsung dengan narasumber-narasumber yang berhubungan dengan objek yang akan kita angkat sehingga data-data yang diperlukan dapat diperoleh valid dan akurat. Riset dan pengumpulan data telah dilakukan kemudian untuk menjadikan semua data tersebut menjadi sebuah kesatuan cerita maka dilakukan pembuatan sinopsis dalam bentuk sebuah kerangka pemikiran, storyline. Apabila dibutuhkan juga pencarian beberapa orang untuk tim dalam membantu pengerjaan di lapangan nantinya. Proses selanjutnya adalah pembuatan outline, di mana di dalamnya berisi seluruh perancanaan dan rincian dari tiap scene yang ditulis dengan jelas.

Treatment ini yang nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam

pengambilan gambar di lapangan. Mencatat shooting, dalam langkah ini ada dua yang harus dicatat yaitu shooting list dan shooting schedule. Shooting list yaitu catatan yang berisi perkiraan apa saja gambar yang dibutuhkan untuk film yang kita buat, sedangkan shooting schedule adalah mencatat atau merencanakan terlebih dahulu jadwal shooting yang akan kita lakukan dalam pembuatan film. Proses yang juga sangat penting yaitu persiapan dan memeriksa setiap peralatan yang akan digunakan untuk mengambil gambar apakah sudah lengkap dan berfungsi dengan baik.

b. Tahap Produksi

Pada tahap ini semua pengambilan gambar sudah dilakukan dan berpedoman pada treatment atau script dan shooting list yang dibuat.

(16)

24

Universitas Kristen Petra

c. Tahap Paska Produksi

Setelah pengambilan gambar selesai didapatkan, maka dilakukan tahap seleksi gambar atau logging dan proses offline editing. Hasil dari offline editing kemudian ditulis dalam naskah, apabila diperlukan adanya narasi maka ditulis di dalam naskah tersebut, melakukan transkrip wawancara yang menuliskan dari data wawancara yang kita lakukan dengan subjek secara jelas. Narasi yang telah lengkap dengan susunan gambar dan narasi disebut dengan script editing.

Proses berikutnya dilanjutkan dengan online editing, yang dilanjutkan dengan proses mixing yaitu pencampuran antara gambar-gambar yang telah disusun dengan musik ilustrasi dan narasi. Setelah proses mixing selesai maka jadilah sebuah film dokumenter.

Dalam sebuah film dokumenter penyampaian sebuah informasi dapat menggunakan beberapa pendekatan atau cara, seperti berikut:

Narasi

Pengulangan kembali / re-enacment Cinema truth

Animasi

Pembuat film ikut terlibat dalam cerita yang disampaikan Wawancara

Dokumen-dokumen dan arsip foto

Dalam setiap cara atau pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang dapat dikombinasikan atau salah satu saja. Akan tetapi lebih baik jika sebuah film dokumenter dapat menggabungkan beberapa cara ini agar penyampaian informasi lebih bervariasi.

2.2. Tinjauan Permasalahan Tentang Objek dan Subjek Perancangan 2.2.1. Tinjauan Permasalahan

Kesenian Wayang Orang yang ada hingga saat ini tetap bertahan walaupun berbeda dengan zaman dulu yang memiliki banyak penggemar dan merupakan pertunjukan favorit yang selalu disaksikan oleh banyak orang. Salah satu kelompok kesenian Wayang Orang Ang Hien Hoo di kota Malang yang tetap ada

(17)

25

Universitas Kristen Petra

dengan segala kelebihan dan kekurangannya karena peran serta warga etnis Tionghoa yang melestarikan dan mengembangkannya, walaupun misi ini sangat sulit untuk dijalankan karena masih minimnya kesadaran dari masyarakat dan juga pemerintah untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Hal ini dikarenakan masyarakat saat ini sudah terseret dalam arus modernisasi sehingga terkadang melupakan seni budaya tradisional mereka. Di Indonesia apresiasi terhadap kesenian masih sangat kurang dan sedikit sekali yang peduli terhadap kesenian bahkan pemerintahnya sendiri. Pelestarian dan pengembangan kesenian Wayang Orang saat ini di kota Malang tidak lepas dari peran serta warga keturunan etnis Tionghoa. Di balik motif pelestarian dan pengembangan itu menimbulkan berbagai perspektif yang berbeda, apakah yang mendasari mereka untuk mau melestarikan bahkan mengembangkan suatu kesenian tradisional yang tidak berhubungan dengan budaya nenek moyangnya dan seperti apa usaha yang mereka lakukan untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian yang hampir hilang ini. Sebuah fenomena yang sangat langka untuk ditemukan, dimana era modernitas seperti sekarang ada warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional Wayang Orang.

2.2.2. Fakta-fakta Lapangan

Kehidupan kesenian Wayang Orang saat ini disadari atau tidak sangat jauh berbeda pada masa-masa keemasannya pada era sekitar tahun 1960-an. Namun, kesenian Wayang Orang ini tetap ada hingga saat ini akan tetapi kelompok Wayang Orang yang ada saat ini telah banyak berkurang daripada dulu. Banyak faktor yang menjadi penyebab gugurnya sejumlah kelompok kesenian Wayang Orang, seperti yang dikatakan oleh Ibu Evi seorang pelatih tari dan sekaligus anggota kelompok Wayang Orang Ang Hien Hoo bahwa kesenian tradisional itu dalam pandangan masyarakat saat ini masih untuk kalangan rakyat kelas bawah dan tak sedikit orang yang memiliki pandangan bahwa pelaku seni tradisional itu diidentikkan dengan kesan ndeso, selain itu dari pihak pemerintah yang kurang mendukung kegiatan kesenian ini yang diperkuat dengan kenyataan bahwa untuk melakukan suatu pementasan Wayang Orang memerlukan biaya yang tidak kecil

(18)

26

Universitas Kristen Petra

oleh karena itu dalam satu tahun mungkin hanya sekali atau bahkan tidak, jika tidak ada yang mengucurkan dana. Sedikit sekali bahkan mungkin tidak ada pihak swasta yang mengelola sebuah kelompok kesenian Wayang Orang yang telah menjadi seni pertunjukan komersial, dimana penampilannya menuntut biaya yang tidak sedikit. Pihak pemerintahan lah yang menjadi penopang kehidupan kesenian tradisional ini sekarang yaitu dengan menjadikan kesenian sebagai salah satu tujuan pariwisata, tetapi mereka melakukannya juga dengan setengah-setengah. Kesenian tradisional sedikit atau banyak telah mengalami pergeseran kedudukan yaitu menjadi suatu komoditas yang dapat diperjualbelikan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya terkadang menjadi bersifat semu walaupun tidak seluruhnya demikian.

Kesenian tradisional yang lebih banyak dikelola oleh pihak pemerintah terkadang juga tidak lepas dari peran swasta atau individu tertentu, buktinya ada warga keturunan etnis Tionghoa yang mau melestarikan dan bahkan mengembangkan kesenian Wayang Orang ini melalui kelompok Ang Hien Hoo. Figur Ibu Rudi seolah menghilangkan stereotip masyarakat yang memandang bahwa warga keturunan etnis Tionghoa selalu diidentikkan dengan kegiatan bisnis dan berdagang. Beliau melestarikan dan mengembangkan seni budaya tradisional yang dianggapnya telah menjadi bagian dari budayanya. Selain bergumul dengan kesenian dalam hidupnya, beliau juga melakukan pekerjaan sampingan dengan menerima pesanan catering dan juga menyediakan jasa peminjaman kostum untuk tari maupun Wayang Orang. Koleksi kostum dari beliau dapat dikatakan cukup lengkap, dan dari koleksi kostum beliau-lah Ang Hien Hoo dapat tampil.

(19)

27

Universitas Kristen Petra 2.2.3. Data-data Visual

Gambar 2.6. Potret Ibu Rudi

Sumber: Kumpulan Dokumentasi Ibu Rudi

Gambar di atas merupakan Ibu Sita Dewi Kusuma atau dikenal dengan nama Ibu Rudi merupakan seorang keturunan etnis Tionghoa yang mencintai kesenian tradisional Wayang Orang dan sekaligus sebagai anggota pengurus kelompok kesenian Wayang Orang Ang Hien Hoo di Malang. Di dalam gambar tersebut yang didapatkan dari koran Jawa Pos dari kumpulan dokumentasi Ibu Rudi, yang memaparkan bahwa beliau membuatkan pakaian untuk anaknya yang dulu adalah seorang penari dan pemain Wayang Orang. Setelah itu lama-kelamaan pakaian yang dibuat beliau jumlahnya semakin banyak, dan sekarang jika Ang Hien Hoo mengadakan pementasan Wayang Orang pun juga memakai koleksi pakaian milik beliau sendiri. Selain itu pakaian ini juga disewakan jika ada ada orang yang ingin meminjamnya untuk keperluan tari maupun Wayang Orang.

(20)

28

Universitas Kristen Petra

Gambar 2.7. Gambar 2.8.

Suasana latihan di sanggar tari Ang Hien Hoo Sumber: Dokumentasi Pribadi

Ini merupakan saat dimana anggota kelompok Ang Hien Hoo yunior sedang melakukan latihan tari di Klenteng Eng An Kiong yang merupakan sanggar tari Ang Hien Hoo. Dalam sanggar tari Ang Hien Hoo adanya anggota yunior ini memang menjadi tujuan Ibu Rudi untuk melakukan regenerasi.

Gambar 2.9. Gambar 2.10.

Cuplikan dari adegan pementasan Wayang Orang Ang Hien Hoo pada tahun 2008 Sumber: Dokumentasi Batu TV

Gambar ini merupakan salah satu cuplikan dari pementasan kelompok Wayang Orang Ang Hien Hoo dengan membawakan lakon Dewa Ruci, di mana Dewa Ruci diperankan oleh walikota Malang sendiri yaitu Bpk. Peni Suparto.

(21)

29

Universitas Kristen Petra

Gambar 2.11. Gambar 2.12. Penampilan sanggar tari Ang Hien Hoo di sebuah acara

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar ini diambil pada saat kelompok sanggar tari Ang Hien Hoo diminta menampilkan salah satu jenis tarian, yaitu Tari Bhayangkari untuk mengawali pembukaan suatu acara yang bertempat di hotel Olino Garden Malang. Di sini yang menjadi penarinya adalah anak-anak remaja.

2.3. Analisis Masalah

Jika melihat kembali sejarah perkembangan Wayang Wong yang berasal dari dalam istana keraton dan kemudian menjadi sebuah pertunjukan Wayang Orang komersial, menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda. Perubahan besar yang dilakukan terhadap eksklusivitas kesenian, yang pada waktu itu hanya dinikmati oleh kalangan atas dan setelah itu menjadi seni rakyat. Yang mana dilakukan oleh seorang yang akhirnya menjadi pelopor warga keturunan etnis Tionghoa lainnya untuk ikut melestarikan dan mengembangkan kesenian Wayang Orang. Tidak dapat dipastikan berdasar faktor apakah mereka melakukannya. Murni karena adanya rasa memiliki dan cinta terhadap seni budaya yang telah dianggap menjadi miliknya, ataukah berdasar keuntungan yang mana saat itu kesenian ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi yang mengelolanya. Sebuah fenomena di mana ada warga keturunan etnis Tionghoa yang masih melestarikan dan bahkan mengembangkan kesenian tradisional sampai sekarang ini, sangat sulit untuk ditemukan. Yang mana di negara ini bidang kesenian berada di urutan nomor kesekian daripada politik dan perekonomian. Latar belakang apakah

(22)

30

Universitas Kristen Petra

sebenarnya pelestarian dan pengembangan yang dilakukan warga keturunan etnis Tionghoa pada kesenian Wayang Orang sampai saat ini belum diketahui secara pasti, mungkin dapat dikatakan didasari oleh niat yang tulus mencintai seni budaya ini atau masih terdapat faktor-faktor yang lainnya.

2.4. Sintesa

Gambar 2.13. Sintesa

Di sini dapat dilihat bahwa adanya kaitan dalam tiga analisis yang telah dilakukan penulis yaitu antara subjek perancangan, media dan target audiens. Dimulai dari subjek perancangan yang ditemukan adalah sebuah fenomena adanya warga keturunan etnis Tionghoa yang melestarikan bahkan mengembangkan kesenian tradisional Wayang Orang melalui sebuah kelompok Wayang Orang Ang Hien Hoo yang ada di kota Malang. Hal ini didukung dengan tinjauan teori yang ada, dimana pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional Wayang Orang memang tidak lepas dari peran serta warga keturunan etnis Tionghoa. Dari analisis yang telah dilakukan oleh penulis terhadap subjek perancangan didapatkan media berupa sebuah program audio-visual dengan genre video profil dokumenter, dimana program ini secara spesifik mengangkat sisi personal warga keturunan etnis Tionghoa yang melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional Wayang Orang. Di samping itu, ditampilkan juga beberapa figur-figur lain yang berperan dalam pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional Wayang Orang dalam satu wadah kelompok kesenian Wayang Orang Ang Hien Hoo. Program ini ditujukan kepada masyarakat umum usia antara 20-40 tahun

(23)

31

Universitas Kristen Petra

yang tinggal di pulau Jawa serta mengetahui, menyukai dan ingin mengenal seni budaya Jawa.

Program video profil dokumenter ini dianggap sesuai untuk menyampaikan pesan yang dimaksud, karena dapat berkomunikasi lebih banyak karena didukung dengan audio dan visual. Hal ini memudahkan penyampaian informasi serta memberikan efek kepada audiens yang seakan dapat merasakan dan terlibat lebih dalam. Dalam program video profil dokumenter ini memaparkan kepada masyarakat, bagaimana peran serta warga keturunan etnis Tionghoa dalam melestarikan kesenian tradisional Wayang Orang di kota Malang. Durasi penayangan program ini berkisar antara 15-20 menit, dengan pertimbangan durasi yang tidak terlalu lama, maka pesan yang dimaksud dapat ditangkap lebih cepat, didukung dengan penyampaian informasi yang padat dan jelas. Penentuan durasi berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada beberapa target audiens, bahwa durasi untuk film dokumenter kurang lebih cukup 30 menit saja.

Program video profil dokumenter ini dilihat dari konten-nya yang memaparkan dan tidak mengutamakan detail-detail pada aspek visual tetapi tetap memperhatikan kualitas dan clarity, maka tetap menggunakan resolusi high

definition. Untuk memperjelas penyampaian informasi ditambahkan pemakaian

narasi dan pemberian subtitle dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sifat dari program video profil dokumenter ini yang bersifat mengajak, memaparkan dan memberikan pengetahuan maka penayangan dilakukan melalui media sosial seperti facebook, youtube dan vimeo agar mempermudah masyarakat luas dapat melihatnya secara bebas dan gratis tanpa terbebani. Mengingat media utama penayangan dengan lingkup yang luas, tidak menutup kemungkinan bahwa program ini nantinya akan dapat dilihat lebih dari lingkup nasional. Program ini nantinya juga akan diserahkan kepada lembaga pelestarian budaya Jawa di Malang dan Surabaya untuk dapat dijadikan sebagai arsip dokumentasi.

Diharapkan dengan adanya program berupa video profil dokumenter ini nantinya dapat menjadi motivasi dan inspirasi untuk pelestarian kesenian tradisional khususnya Wayang Orang sekaligus sebagai kritik sosial terhadap masyarakat, bahwa tidak ada etnisitas dan eksklusivitas dalam budaya.

Gambar

Gambar 2.1. Sikap Tari dalam Wayang Wong
Gambar 2.3. Sikap Tari dalam Wayang Wong
Gambar 2.4. Gerak Tari Dasar dalam Wayang Wong  Sumber: Indonesia Herritage, Seni Pertunjukan (2002, p
Gambar 2.5. Seniman-seniwati Wayang Orang Dharma Budaya  Sumber: Rustopo (2007, p.156)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Setelah didapatkan dan dimasukkan data meteorologi tersebut pada model, maka dengan model Gaussian yang sudah diprogram pada model bersama data lain akan dihitung rata-rata

1) Guru yang memberikan penguatan (enforcement) dengan menepuk pundak, menepuk punggung, berjabat tangan, dan memegang kepala peserta didik sepanjang tidak bertentangan

Dari hasil pengamatan dan hasil wawancara dengan siswa kelas VIII-F didapatkan data bahwa guru dalam mengajar pelajaran matematika selalu menggunakan metode ceramah,

Dengan ketentuan, sebanyak 100 responden menjawab 5 unsur pertanyaan dalam kuisioner yang memiliki 3 kategori jawaban yang terdiri dari hal yang positif (disebut hal

Universitas Indonesia Pendekatan model pemrograman linier yang digunakan terbagi menjadi dua tahap, yaitu formulasi untuk menentukan batas konsistensi dari matriks

Hasil penelitian tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story ini menunjukkan dalam interaksi masyarakat Jepang tuturan senioritas, yang lebih

Analisis faktor adalah prosedur untuk mengidentifikasi item atau variabel berdasarkan kemiripannya. Item-item tersebut akan membentuk satu kerumunan

Simpulan dari penelitian ini adalah melalui penerapan model jigsaw dengan media audio visual dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPS meliputi keterampilan guru,