• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Mata pelajaran matematika pada jenjang sekolah disajikan menggunakan simbol-simbol, istilah-istilah, rumus, diagram, tabel sehingga mata pelajaran matematika bisa juga dipandang sebagai suatu bahasa. Menurut Baroody (1993) berpendapat bahwa matematika memiliki berbagai kelengkapan sebagai sebuah bahasa seperti alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah, ataupun mengambil kesimpulan, tetapi matematika mempunyai alat yang tak ternilai untuk mengomunikasikan berbagai gagasan dengan jelas, akurat, dan ringkas. Matematika mempunyai fungsi lain sebagai alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan. Komunikasi siswa yang mengeksplorasi dan mengonsolidasikan pemikiran matematisnya, pengetahuan dan pengembangan dalam memecahkan masalah dengan penggunaan bahasa matematika dapat dikembangkan dan dapat dibentuk. Hal ini juga didukung oleh Depdiknas (2006) bahwa salah satu tujuan adanya pelajaran matematika agar peserta didik dapat mengomunikasikan gagasan untuk memperjelas keadaan atau masalah.

Komunikasi matematis adalah cara bagi siswa untuk mengomunikasikan ide-ide pemecahan masalah, strategi maupun solusi matematika baik secara tertulis maupun lisan. Kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah (NCTM,2000) dapat dilihat ketika siswa dapat menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide matematika dengan tepat. Menurut Kennedy dan Tipps (1994), kemampuan komunikasi matematika meliputi (1) penggunaan bahasa matematika yang disajikan dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun visual, (2) penggunaan representasi matematika yang disajikan dalam bentuk tulisan atau visual, dan (3) penginterpretasian ide-ide matematika, menggunakan istilah atau notasi matematika dalam merepresentasikan ide-ide matematika, serta menggambarkan hubungan-hubungan atau model matematika.

Kemampuan komunikasi matematis menunjang kemampuan-kemampuan matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan masalah. Dengan kemampuan komunikasi yang baik, suatu masalah akan lebih cepat bisa

(2)

direpresentasikan dengan benar dan hal ini akan mendukung untuk penyelesaian masalah. Hulukati (2005) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah. Menurut Hulukati (2005) siswa yang tidak dapat berkomunikasi, memaknai permasalahan, maupun konsep matematika dengan baik maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Berkaitan dengan hal tersebut, Pugalee (2001) menyatakan bahwa siswa bisa terlatih kemampuan komunikasi matematisnya, maka dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih bermakna baginya.

Masalah dalam pembelajaran matematika dapat berbentuk soal matematika. Suatu soal matematika disebut masalah bagi seorang siswa, jika: (1) pertanyaan yang dihadapkan dapat dimengerti oleh siswa, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya, dan (2) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa (Hudojo, 2005). Setiap siswa memiliki berbagai kemungkinan dalam menyelesaikan soal matematika. Siswa langsung memiliki gambaran penyelesaiannya dan menjadikannya suatu tantangan yang akan dipecahkan dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa. Bisa juga terdapat peserta didik yang tidak memiliki gambaran penyelesaian sehingga tidak menjadikan soal itu sebagai suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan pengetahuan, pengalaman, pengenalan atau kemampuan dalam pemecahan masalah. Masalah bagi siswa belum tentu masalah bagi siswa yang lain. Adapun masalah bagi siswa di waktu tertentu boleh jadi bukan masalah di waktu lain. Hal ini karena adanya pengembangan kemampuan matematika, awalnya suatu masalah setelah beberapa latihan menjadi bukan suatu masalah lagi. Hal ini sesuai pendapat berikut.

Owing to differences in knowledge, experiences, ability, a problem for one persen may ncootmbmeiat tporoubselerm for another. Also a problem for someone at a particular time may not be so at another time. In some contexts, as students develop their mathematical ability, what were problems initially after some practice become mere exercises (Kaur : 1997).

Pendapat di atas memberikan gambaran bahwa masalah dalam matematika berangkat dari kemauan dan kemampuan untuk menjawab pertanyaan itu, namun

(3)

pada awalnya terdapat kesulitan untuk menyelesaikannya karena belum diketahui langkah-langkah untuk memecahkan masalah tersebut. Kesulitan tersebut menjadi tantangan dan pemicu siswa untuk melakukan eksplorasi dari pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menjawab masalah tersebut.

Kemampuan komunikasi matematis perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika, sebab melalui komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan mengonsolidasi pemikiran matematikanya dan siswa dapat mengeksplorasi ide-ide matematika (NCTM, 2000). Pembiasaan memberikan argumen terhadap jawabannya, dan memberikan tanggapan terhadap jawaban orang lain akan menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna. Penyelesaian masalah matematika menjadi kurang bermakna apabila tidak dapat dipahami oleh orang lain. Oleh karenanya, peran komunikasi matematika menjadi sangat penting dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis diperlukan oleh orang-orang untuk mengomunikasikan gagasan atau penyelesaian masalah matematika, baik secara lisan, tulisan, ataupun visual, baik dalam pembelajaran matematika atau di luar pembelajaran matematika.

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang perlu dibekalkan dalam pendidikan matematika di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 tahun 2013 tentang Standar Isi disebutkan bahwa pelajaran matematika diberikan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, kritis, analitis, cermat dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah. Selain kemampuan tersebut, lebih lanjut dalam peraturan pemerintah tersebut juga disampaikan bahwa pelajaran matematika dimaksudkan pula untuk memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan jelas dan mengomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Selain dalam dokumen resmi negara Indonesia, pentingnya komunikasi matematis juga tercantum dalam dokumen Standar Proses Pendidikan Matematika di Amerika Serikat, yang meliputi (1) pemecahan masalah, (2) penalaran dan bukti, (3) komunikasi, (4) koneksi, dan (5) representasi (NCTM, 2000). Kementerian Pendidikan Ontario tahun 2005 (The Literacy and Numberacy Secretariat, 2010) mengungkapkan

(4)

“Mathematical communication is an enssensial process for learning mathematics because through communication, students reflect upon, clarify and expand their ideas and understanding of mathematical relationship and mathematical arguments”

Kemampuan komunikasi matematis masih belum mendapat perhatian dalam implementasinya di lapangan. Hasil penelitian menujukan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia masih rendah, Izzati (2010) menyebutkan bahwa lemahnya kemampuan komunikasi siswa dikarenakan pembelajaran matematika selama ini masih kurang memberi perhatian terhadap pengembangan kemampuan tersebut. Hal yang sama juga ditemukan oleh Kadir (2010) bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa SMP di pesisir masih rendah, baik ditinjau dari peringkat sekolah, maupun model pembelajaran. Qohar (2010) mendapati bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa SMP terutama di daerah yang bukan perkotaan masih kurang, baik lisan maupun tertulis. Shadiq (2007) mendapati kenyataan bahwa di beberapa wilayah Indonesia sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika. Hal itu menujukan bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa masih kurang baik.

Komunikasi merupakan salah satu hal yang penting sehingga beberapa ahli melakukan riset tentang kemampuan komunikasi matematis. Beberapa hasil temuan dari penelitian (Fuentes, 1998; Wahyudin, 1999; Osterholm, 2006; Ahmad, Siti & Roziati, 2008) Dalam Neneng Maryani (2011:23) menunjukan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dinilai masih rendah terutama keterampilan dan ketelitian dalam mencermati atau mengenali sebuah persoalan matematika. Menurut riset Bergeson dalam penelitian Gusni Satriawati (2006:24) mengemukakan bahwa siswa sulit mengomunikasikan informasi visual terutama dalam mengomunikasikan sebuah bentuk tiga dimensi (misalnya, sebuah bangunan terbuat dari balok kecil) melalui alat dua dimensi (misalnya, kertas dan pensil) atau sebaliknya. Begitu juga menurut hasil penelitian Osterholm (2006:292-294) menyatakan bahwa responden tampaknya kesulitan mengartikulasikan alasan dalam memahami suatu bacaan. Ketika diminta mengemukakan alasan logis atas pemahamannya, responden kadang-kadang hanya tertuju pada bagian kecil dari

(5)

teks, menyatakan bahwa bagian ini (permasalahan yang memuat simbol-simbol) tidak mengerti, tetapi tidak memberikan alasan atas pernyataan tersebut. Selain itu, menurut hasil penelitian Ahmad, Siti, dan Roziati dalam penelitian Neneng Maryani (2011:24) menunjukkan bahwa mayoritas siswa tidak menuliskan solusi masalah dengan menggunakan bahasa matematik yang benar.

Penelitian para ahli kemampuan komunikasi matematis mengemukakan bahwa siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam memecahkan masalah dapat berbeda. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gross (2007) menyatakan bahwa banyak hasil penelitian terkini yang menyajikan adanya perbedaan prestasi belajar, sikap, dan partisipasi yang dipengaruhi gender. Gender merupakan salah satu karakteristik yang melekat pada setiap individu. Gender merupakan konsep sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (Handayani, 2012). Santrock (2003) menyatakan bahwa gender adalah jenis kelamin yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial dan budaya.

Para peneliti menyadari bahwa perbedaan hasil belajar matematika siswa yang dipengaruhi perbedaan gender adalah tidak mutlak dan sering tertukar, hal ini dipengaruhi latar belakang sosial ekonominya. Lebih lanjut Gross (2007) menyimpulkan bahwa secara umum perbedaan gender dalam prestasi belajar matematika tergantung pada isi tugas, sifat pengetahuan dan keterampilan yang ditugaskan, serta kondisi saat mengerjakan tugas. Hasil penelitian (Dewi, 2009) menyimpulkan bahwa kelengkapan komunikasi matematis mahasiswa perempuan lebih baik dibandingkan kelengkapan komunikasi matematis laki-laki tetapi keakuratan komunikasi matematis mahasiswa laki-laki lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Di samping itu, komunikasi lisan mahasiswa perempuan lebih baik dibanding mahasiswa laki-laki, kecuali pada mahasiswa yang berkemampuan matematika tinggi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender mempunyai andil untuk menerangkan profil seseorang dalam menyelesaikan masalah dan mengomunikasikan hasilnya, tetapi perbedaan ini belum konsisten. Dengan kata lain ketidakkonsistenan hasil dalam penelitian yang melibatkan kajian perbedaan gender dalam suatu kelompok umur

(6)

dan kelompok budaya yang berbeda tidak dapat dijelaskan hanya oleh jenis kelamin. Berdasarkan uraian tersebut dan karakteristik masing-masing gender muncul dugaan bahwa ada kaitan antara perbedaan gender dengan komunikasi matematis, yaitu terkait dengan kemampuan komunikasi matematis seorang siswa dalam pemecahan masalah matematika.

Hasil-hasil kajian yang relevan, mendasari peneliti untuk melakukan pra survey pada siswa SMP tentang bagaimana kemampuan komunikasi matematis siswa pada masing-masing gender. Peneliti melakukan pra survei di sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian. Pra survei tersebut menjadi penting dikarenakan kemampuan komunikasi matematis ada maka akan diungkap kemampuan komunikasi matematis siswa sesuai dengan gender. Pra survei dilakukan dengan memberikan soal pemecahan masalah dan mewawancarai 1 siswa laki-laki dan 1 siswa perempuan untuk mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa sesuai standar kemampuan komunikasi matematis siswa kelas 8 yang ditetapkan oleh NCTM. Menurut NCTM standar untuk kemampuan komunikasi matematis pada siswa level 8 yaitu mengorganisasi dan mengkonsolidasi pemikiran matematika mereka melalui komunikasi, mengkomunikasikan pemikiran matematika mereka secara koheren dan jelas kepada teman, guru, dan yang lainnya, menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika dan strategi orang lain, menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematika secara tepat. Hasil pra survey memiliki kemampuan komunikasi matematis sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh NCTM sehingga peneliti berkesimpulan tempat penelitian tersebut bisa dijadikan untuk meneliti kemampuan komunikasi matematis siswa sesuai dengan gender. Hal ini berarti terdapat kemampuan komunikasi matematis sesuai dengan standar yang dipunyai oleh NCTM. Dari hasil pra survey juga didapatkan jika siswa laki-laki cenderung mengkomunikasikan

secara detail dan visual, sedangkan siswa perempuan cenderung

mengkomunikasikan seperlunya. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah balok dan kubus. Materi tersebut dipilih dikarenakan sesuai dengan waktu pelaksanaan penelitian dan juga materi tersebut sesuai dengan indikator kemampuan komunikasi matematis siswa sehingga dapat membantu peneliti dalam

(7)

pengungkapan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pemecahan masalah balok dan kubus.

Berdasarkan uraian dan teori tentang gender serta kemampuan komunikasi matematis dan hasil pra survei yang telah dilakukan, peneliti ingin mengetahui bagaimana kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah pada siswa laki-laki dan perempuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki kelas VIII SMP Islam Al-Azhar 29 Semarang?

2. Bagaimana kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan kelas VIII SMP Islam Al-Azhar 29 Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa laki-laki kelas VIII SMP Islam Al-Azhar 29 Semarang.

2. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa perempuan kelas VIII Islam Al-Azhar 29 Semarang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis.

Memberikan wawasan yang lebih komprehensif kepada guru matematika tentang kemampuan komunikasi matematis sesuai dengan gender masing-masing.

(8)

2. Manfaat Teoritis.

Memberikan masukan tentang kemampuan komunikasi matematis sesuai dengan gender masing-masing kepada peneliti selanjutnya dan menjadi bahan pembanding untuk penelitian yang lebih mendalam.

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas manusia, termasuk pertambangan, dapat berpengaruh pada kualitas air sungai, sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Subanri (2008), dalam penelitian

Data Hasil Uji Imbibisi Carbonate Core Ct12 dengan Air Formasi ... Data Hasil Uji Imbibisi Carbonate Core Ct1 dengan Surfaktan F 2%

yang akurat dalam proses kehamilan, persalinan, bayi baru lahir nifas.. dan keluarga berencana, sekarang sebelumnya

Prosesnya yang lebih efektif karena menerabas beberapa asas hukum dan juga dengan menurunkan standar pembuktian dalam perkara pidana, dianggap berpotensi akan berhadap-hadapan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problematika perkuliahan genetika antara lain: belum tersedianya bahan ajar yang relevan dan baik, materi praktikum belum

Melalui metode analisis kuantitatif berdasarkan data-data sekunder yang peneliti dapatkan serta analisis kualitatif berupa observasi dan wawancara langsung terhadap

Jika dalam sistem HIR, keterangan ahli tidak dicantumkan sebagai salah satu alat bukti yang sah, dan kedudukannya hanya sebagai pemberi keterangan saja kepada

Hasil belajar mengalami kenaikan pada semua kelompok setelah intervensi dan kenaikan terbesar terjadi pada kelompok anemia yang diberikan beras fortifikasi..