• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN POLEMIK REVISI UU KPK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN POLEMIK REVISI UU KPK"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

POLEMIK REVISI UU KPK

Oleh :

Fathoni Nur Muhammad, M. Agung Laksono, Tyar Istighfarsyah, Novita Y. L.

Direktorat Jenderal Kajian Isu Aktual Kementerian Kebijakan Publik

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

(2)

2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 2 BAB I PENDAHULUAN ... 3 1.1. Latar Belakang ... 3 1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan ... 4 1.4. Batasan Masalah ... 4

BAB II LANDASAN AWAL ... 5

BAB III KONDISI SAAT INI ... 7

BAB IV PEMBAHASAN ... 12

4.1. Pembentukan Dewan Pengawas ... 13

4.2. Independensi KPK ... 17

4.3. Penyadapan ... 21

4.4. Sumber Penyelidik dan Penyidik ... 26

4.5. Kewenangan Penuntutan ... 27

4.6. Kriteria Perhatian yang Meresahkan Masyarakat ... 30

4.7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara ... 31

4.8. Kewenangan Strategis ... 32

4.9. Kewenangan SP3 ... 33

4.10. Kewenangan Pemeriksaan LHKPN ... 34

BAB V KESIMPULAN ... 36

(3)

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korupsi selalu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita bangsa menuju masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang menyatakan bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Pasca reformasi 1998, harus diakui bahwa KPK telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, Komisi ini telah berhasil menjerat ratusan aktor korupsi yang berasal dari eksekutif, legislatif, yudikatif dan swasta serta menyelamatkan uang negara hingga triliunan rupiah. Namun di balik kinerja KPK yang luar biasa masih saja ada pihak-pihak yang berharap sebaliknya, yang ingin KPK dilemahkan dan bahkan dibubarkan. Akhir-akhir ini KPK diterpa beberapa masalah yang mengancam keutuhannya. Bahkan Ketua KPK Agus Rahrdjo mendefinisikan kondisi saat ini sebagai “keadaan di ujung tanduk” bagi KPK. Permasalahan mulai dirasakan dialami oleh KPK, mulai dari seleksi pimpinan KPK yang telah menghasilkan 10 nama calon pimpinan dan ternyata di dalamnya terdapat orang yang bermasalah, dan bahkan pimpinan yang terpilih juga ada yang bermasalah.

Kini lembaga tersebut kembali tertimpa musibah dengan munculnya revisi UU KPK. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sepakat mengambil inisiatif melakukan revisi terhadap UU KPK. Para penggawa kompleks parlemen itu juga telah menyepakati draf rancangan revisi UU KPK dalam rapat Baleg. Seluruh fraksi menyatakan setuju di tingkat paripurna. Inisiatif revisi UU KPK ini menimbulkan reaksi dari lembaga antirasuah sendiri. Sebagian besar elemen lembaga menentang akan revisi ini. Revisi UU KPK juga dipermasalahkan oleh banyak pihak dari kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat. Bahkan revisi ini sempat disebut pelemahan KPK secara terstruktur, sistematis dan masif. Hal itu lantaran terdapat sejumlah poin krusial yang membuat KPK seolah kehilangan taring bilamana Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan revisi UU KPK, dan kemudian DPR jadi melaksanakan pembahasan RUU tersebut.

(4)

4 Oleh karena itu, dipandang perlu untuk dilakukan kajian strategis yang akan membahas mengenai relevansi langkah DPR yang sedang merevisi UU KPK.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam kajian strategis ini adalah apakah poin-poin yang dipersoalkan oleh KPK dari rancangan revisi UU KPK akan berpotensi menguatkan atau justru melemahkan KPK sebagai lembaga independen negara?

1.3. Tujuan

Tujuan dari kajian strategis ini adalah meninjau potensi penguatan atau pelemahan KPK melalui poin-poin yang dipersoalkan oleh KPK dari rancangan revisi UU KPK, sehingga dapat menakar perlu tidaknya revisi ini dilakukan.

1.4. Batasan Masalah

Riwayat landasan hukum dari tindak pidana korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia itu sendiri tidak akan dibahas dalam kajian ini. Karena tujuannya adalah meninjau potensi penguatan atau pelemahan KPK melalui poin-poin yang dipersoalkan oleh KPK dari rancangan revisi UU KPK, sehingga dapat menakar perlu tidaknya revisi ini dilakukan.

(5)

5

BAB II

LANDASAN AWAL

Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat cita-cita bangsa Indonesia yaitu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 2, yaitu ‘negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur’. Sementara itu, tujuan bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 4, yaitu ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’.

Untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara tersebut, maka dibentuklah pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah adalah suatu lembaga atau badan publik yang memiliki tugas untuk mewujudkan tujuan negara di mana lembaga tersebut diberikan kewenangan untuk melaksanakan kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan serta pembangunan masyarakat dari berbagai lembaga di mana mereka ditempatkan. Dalam arti luas, definisi pemerintah adalah semua aparatur negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang bertugas untuk menjalankan sistem pemerintahan. Sedangkan pengertian pemerintah dalam arti sempit adalah hanya badan eksekutif saja.

Salah satunya wujudnya adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK). Lembaga negara ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Jika melihat lagi ke belakang sekitar lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang lalu, ketika Orde Baru tumbang, reformasi bergulir dan pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda utama reformasi. Ada 2 (dua) Tap MPR yang mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan KPK disebut secara eksplisit di sana, yaitu:

1. Tap MPR No. XI/MPR/1998 TAHUN 1998 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

2. Tap MPR No. VIII/MPR/2001 TENTANG REKOMENDASI ARAH KEBIJAKAN

PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN KORUPSI, KOLUSI DAN

(6)

6 Tap MPR No. VIII/MPR/2001 Pasal 2 butir 6 menyatakan bahwa arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah dengan membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi salah satunya, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak cukup hanya Tap MPR, ada 2 (dua) undang-undang penting terkait pemberantasan korupsi yang hadir pasca reformasi, yaitu:

1. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN 2. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ada bagian penting di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan tahun 1999 tersebut. Pada Pasal 43 diperintahkan pembentukan KPK. Hingga akhirnya lahirlah UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebuah undang-undang yang draf pertamanya disampaikan melalui Surat Presiden Abdurahman Wahid, dan disahkan di era Presiden Megawati Soekarno Putri.

Berdasarkan hal di atas telah dijelaskan tujuan pembentukan, tugas, dan wewenangnya. Dari segi lembaga yang merupakan lembaga independen, pelaksanaan tugasnya, penyelenggara, dan lain sebagainya telah diatur dalam berbagai undang-undang yang telah disahkan beberapa tahun lalu tersebut. Hal yang sama juga terkait penyelenggara negara yang harus bersih dari KKN dan arah kebijakan yang dilakukan oleh KPK.

(7)

7

BAB III

KONDISI SAAT INI

Selama era pemerintahan Jokowi, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada 2015. Namun, Jokowi dan pimpinan DPR saat itu bersepakat menunda revisi tersebut. Revisi UU KPK kemudian masuk Prolegnas Prioritas lagi pada 2016 atas usul DPR. Memasuki awal 2016, Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah menggelar pleno untuk membahas harmonisasi dan pemantapan konsepsi RUU KPK. Hanya fraksi Partai Gerindra yang menolak hasil pleno itu dibawa ke Sidang Paripurna. Usulan revisi UU KPK pada 2016 juga batal diparipurnakan sebab Jokowi dan para pimpinan DPR bersepakat lagi menunda pembahasannya dalam batas waktu yang tidak ditentukan.

Lima partai politik pengusung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019 disebut sebagai pengusul revisi UU KPK. Kelima partai itu adalah PDI-Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Partai NasDem.

Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu pun tak menampik hal tersebut. Ia mengaku dirinya bersama lima legislator DPR RI lainnya dari lima parpol itu secara resmi mengusulkan revisi peraturan tersebut ke Baleg DPR. Selain dirinya, Masinton menyebut sejumlah nama politikus yang ikut mengusulkan revisi itu, yakni politikus PDIP Risa Mariska, politikus Partai NasDem Taufiqulhadi, politikus PKB Ibnu Multazam, politikus Partai Golkar Saiful Bahri, dan politikus PPP Achmad Baidowi

Selanjutnya RUU ini harus melewati Rapat Paripurna DPR. Rapat Paripurna DPR yang diselenggarakan Kamis (5/9/2019) pun dinilai cacat etik. Dari 560 anggota dewan, yang menghadiri rapat tersebut hanyalah 77 anggota. Tidak mencapai 50 persen plus satu yang seharusnya rapat DPR dapat dikatakan absah. Jika dilihat dari absensi kehadiran, terdapat 204 anggota dewan yang mengisi absen, namun batang hidungnya tidak terlihat di Rapat Paripurna yang diselenggarakan untuk mengesahkan RUU KPK tersebut.

Sebelumnya, DPR menggelar Rapat Paripurna pada Kamis (5/9/2019) dengan salah satu agenda mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR. Rapat itu dilaksanakan tiba-tiba, tanpa didahului rencana dan diketahui publik. Seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju. Tidak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tidak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi.

(8)

8 Ada masa transisi dimana ketika RUU sudah menjadi undang-undang yang sah, maka seluruh penyelidikan akan menggunakan undang-undang itu. RUU ini diduga akan dapat mengebiri pergerakan KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini, mulai dari KPK yang tidak lagi independen dalam penyelidikannya, namun kepolisian dan kejaksaan juga ikut andil, kedudukannya di negara, wewenang dalam penyelidikan yang dibatasi, dan lain-lain.

Berikut adalah persoalan dalam revisi undang-undang KPK yang diduga akan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi:

1. Independensi KPK terancam

• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun;

• KPK dijadikan lembaga pemerintah pusat

• Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan;

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi

• Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya;

• Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK • Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup.

Sehingga bukti-bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi;

• Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang;

• Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan;

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas

(9)

9 • Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena

sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan

4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi

• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS;

• Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri; • Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber

terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone.

• Selama ini proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber;

5. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung

• KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan korupsi;

• Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

• Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat;

• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil;

7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas

• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan;

• KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK

(10)

10 • Pelarangan ke luar negeri

• Meminta keterangan perbankan

• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi • Meminta bantuan Polri dan Interpol

9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan

• KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan menurunkan strandar KPK dalam penanganan kasus.

• Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 (satu) tahun akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun. Selain itu, berpotensi juga dilakukan penghambatan kasus secara administrasi sehingga lebih dari 1 (satu) tahun.

• Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya.

• Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutan harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutannya belum selesai, jadi aturan ini adalah aturan anomali yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum KPK.

10. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas • Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan

mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara;

• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi;

• Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi;

Setelah disepakati dalam Rapat Paripurna DPR, RUU ini selanjutnya diberikan ke presiden untuk menandatangani Surat Presiden (Surpres) mengenai revisi UU No. 30 Tahun 2002 tersebut. Pada Rabu (11/9/2019), Surpres RUU KPK sudah ditandatangani oleh bapak presiden, dan sudah dikirim ke DPR pada pagi harinya.

(11)

11 Pratikno mengatakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah dalam surpres itu banyak merevisi draf RUU tentang KPK yang disusun DPR. Memang kewenangannya DPR lah untuk merumuskan undang-undang tapi memang harus disepakati bersama antara DPR dan pemerintah. Sebelumnya, Jokowi meminta agar tak ada pembatasan-pembatasan yang tak perlu dalam revisi UU KPK. Jokowi tak ingin pembatasan dalam revisi itu justru membuat independensi KPK terganggu.

Presiden Joko Widodo menggelar konferensi pers terkait UU KPK, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Didampingi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Jokowi menyampaikan empat hal yang tidak disetujuinya dalam rancangan revisi UU KPK. Jokowi menyatakan jika KPK harus memegang peran central dalam pemberantasan korupsi, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai dan harus lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi

Jokowi menyatakan tak setuju dengan beberapa hal yang berpotensi mengganggu efektivas kerja KPK. Yaitu, jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar ketika ingin melakukan penyadapan. Selain itu, dia juga tak setuju penyelidik dan penyidik hanya berasal dari unsur polisi dan jaksa. Lainnya, Jokowi pun tak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk masalah penuntutan, dan yang terakhir pengelolaan LHKPN diberikan kementerian atau lembaga lain.

Namun di sisi lain Presiden Jokowi menyatakan setuju dengan wacana pembentukan Dewan Pengawas untuk KPK. Menurutnya, setiap lembaga memang butuh pengawasan. Selain itu, dia juga menyetujui keberadaan kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK.

Langkah Jokowi tersebut menurut penyidik KPK, Novel Baswedan membingungkan. Ia pun mengingatkan sederet klaim Jokowi mengenai komitmen pemberantasan korupsi dan dukungan terhadap KPK. Bila disandingkan, keputusan menyetujui revisi UU KPK saat ini bertolak belakang dengan visi dan misi Jokowi. Novel sendiri menyatakan Jokowi pernah berjanji untuk memimpin pemberantasan korupsi dengan sungguh-sungguh. Novel khawatir, jika RUU KPK betul-betul jadi disahkan maka keberadaannya akan menjadi malapetaka bagi pemberantasan korupsi.

(12)

12

BAB IV

PEMBAHASAN

Melihat polemik revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang hendak dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang berujung pada adanya potensi pelemahan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), maka perlu dilakukan analisis untuk melihat potensi penguatan atau pelemahan dari poin-poin yang dipersoalkan oleh KPK. Analisis berikut akan mencoba membedah poin-poin revisi dari beberapa sudut pandang.

Sebelumnya yang harus menjadi pemahaman awal bersama adalah bahwa polemik revisi UU KPK ini sendiri harus banyak ditinjau dari pendekatan historis. Karena polemik revisi UU KPK tahun ini sangat berkelindan dengan polemik serupa yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada era pemerintahan Jokowi, DPR tercatat 4 kali mengusulkan revisi UU KPK. Selain pada tahun ini, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK yang dibentuk DPR pernah memasukkan revisi UU itu dalam rekomendasinya pada tahun 2017. Bahkan jauh sebelumnya, atas inisiatif DPR, revisi UU KPK sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2015. Namun, Jokowi dan DPR bersepakat untuk menunda revisi tersebut.

Revisi UU KPK kemudian masuk Prolegnas Prioritas lagi pada tahun 2016. Itu juga atas usulan DPR. Di awal tahunnya saat itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR yang bertugas untuk menyusun rancangan program legislasi nasional sudah menggelar pleno untuk membahas harmonisasi dan pemantapan konsepsi RUU KPK. Namun tidak seluruh fraksi menyetujui hasil pleno dibawa ke sidang paripurna. Usulan revisi UU KPK tahun 2016 juga batal diparipurnakan sebab Jokowi dan para pimpinan DPR bersepakat menunda pembahasannya dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Jadi pada intinya, selama era pemerintahan Jokowi, setidaknya terdapat tiga draf naskah revisi UU KPK usulan DPR yang pernah muncul. Ketiganya sama-sama menuai kritik karena dinilai memuat banyak ketentuan yang berpotensi melumpuhkan KPK.

Berita dari situs resmi KPK menyebutkan bahwa terdapat 10 (sepuluh) poin yang dipersoalkan oleh mereka apabila RUU KPK disetujui oleh presiden untuk dibahas tahun ini. Kesepuluh poin yang dirasa membebani KPK di antaranya sebagai berikut.

(13)

13 2) Penyadapan menjadi lebih sulit dan terbatas

3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR 4) Pembatasan sumber penyelidik dan penyidik KPK

5) Ketentuan penuntutan yang mereduksi independensi KPK

6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria 7) Kewenangan KPK dalam pengambilalihan perkara dipangkas

8) Kewenangan strategis KPK dalam penuntutan dihilangkan

9) Adanya kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan

10) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

Selanjutnya, dengan bersendi pada 10 poin tersebut, pembedahannya adalah sebagai berikut.

4.1. Pembentukan Dewan Pengawas

Salah satu poin yang paling krusial adalah hadirnya Dewan Pengawas dalam berjalannya kelembagaan KPK. Setidaknya, ada 7 (tujuh) pasal yang khusus mengatur tentang Dewan Pengawas pada RUU KPK, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G. Dewan Pengawas sendiri sebagaimana dimaksud pada Pasal 37A adalah lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Hal itu dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Anggotanya berjumlah lima orang, di mana satu orang di antaranya menjadi Ketua Dewan Pengawas. Sama seperti dengan pimpinan KPK, Anggota Dewan Pengawas juga dipilih oleh DPR dengan mengacu pada usulan presiden. Maka dari itu, Dewan Pengawas harus membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala satu kali dalam setahun dan disampaikan kepada presiden dan DPR.

Perlu diketahui, bahwa sebenarnya KPK telah memiliki Direktorat Pengawasan Internal yang bertujuan untuk melakukan pengawasan terhadap semua pihak di KPK. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU KPK Pasal 26 ayat (2), bahwa KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) – Susunan KPK terdiri atas Ketua KPK dan 4 (empat) orang Wakil Ketua KPK - membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas Bidang Pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informasi dan Data, dan Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Sehingga fungsi pengawasan terhadap internal KPK pada dasarnya sudah ada dan diatur oleh undang-undang. Sementara dalam menjalankan tugasnya, apabila Direktorat Pengawasan Internal menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan KPK, maka bisa dibentuk Komite Etik untuk menangani masalah tersebut.

(14)

14 Sejalan dengan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi bab III huruf C, bahwa pemantauan pelaksanaan etika dan perilaku harus dilakukan untuk mendeteksi secara tepat dan cepat setiap penyimpangan atau pelanggaran yang diikuti dengan upaya perbaikan (korektif). Kegiatan pemantauan sendiri dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Internal yang hasilnya dibuat dalam suatu laporan dan disampaikan secara berkala kepada pimpinan KPK. Pengklasifikasian dugaan pelanggaran juga dilakukan oleh direktorat ini, apakah pelanggaran tersebut dilakukan oleh pimpinan, penasihat, atau pegawai KPK, berdasarkan bukti-bukti yang telah diperolehnya supaya dapat ditindaklanjuti.

Berikutnya pada huruf D menjelaskan bahwa Komite Etik dan Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) merupakan kelengkapan organ penegakkan kode etik dan pedoman perilaku. Komite Etik bertugas untuk memproses dugaan pelanggaran etika dan perilaku yang dilakukan oleh pimpinan. Sedangkan DPP memproses dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh penasihat dan pegawai. Selanjutnya, Komite Etik dan DPP dapat merekomendasikan kepada Direktorat Pengawasan Internal untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila ditemukan adanya dugaan tindak pidana di sana.

Hal ini menunjukkan bahwa selama ini, KPK menjalankan tugas dan wewenangnya selalu diawasi oleh pengawasan internal. Sebagai bentuk penguatan juga, KPK memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga dari sini, tidak diperlukan lagi sebuah organ tersendiri yang secara khusus bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Adanya Dewan Pengawas akan menimbulkan tumpang tindih (dualisme) pada fungsi pengawasan terhadap KPK. Yang semestinya sudah menjadi domain kerja dari Direktorat Pengawasan Internal, malah ditindih dengan hadirnya Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih dari luar. Itu bisa dilihat pada RUU KPK Pasal 37B yang menjelaskan tentang tugas Dewan Pengawas. Hal ini akan melangkahi dengan apa yang sudah diatur oleh UU KPK mengenai susunan organisasi KPK.

Memang tidak menampik apabila hingga hari ini, KPK pernah memiliki beberapa catatan buruk terkait etika dan perilaku pimpinan dan para pegawainya. Namun itu tidak dapat menjadi alasan untuk diperlukan adanya Dewan Pengawas seperti apa yang diusulkan oleh DPR. Upaya yang dinilai tepat mengatasi itu adalah menguatkan apa yang sudah ada sekarang, yaitu Direktorat Pengawasan Internal di KPK. Karena itu merupakan fungsi pengawasan yang

(15)

15 dimiliki KPK. Apabila direktorat itu dinilai belum optimal dalam menjalankan tugasnya, maka mekanisme yang tepat adalah membenahi pengelolaan sumber daya manusia di dalamnya dan manajemen pengawasannya itu sendiri. Cara itu dinilai akan lebih efektif dalam mengoptimalkan peranannya sebagai fungsi pengawasan di KPK ke depan.

Jika menilik pada peranan DPR dalam proses pemilihan calon pimpinan (capim) KPK 2019-2023 kemarin, hasil yang disetujui oleh Komisi III tidak dapat memuaskan masyarakat luas. Hal itu dikarenakan catatan hitam yang pernah menjerat salah satu pimpinan KPK terpilih tidak begitu diindahkan dalam proses seleksi di internal Komisi III DPR. Yakni Firli Bahuri (Ketua KPK terpilih) yang telah diduga melakukan pelanggaran kode etik berat karena bertemu dengan Tuan Guru Bajang (TGB) yang saat itu berkapasitas sebagai saksi dalam kasus dugaan suap PT Newmont tahun 2018. Kala itu, Firli menjadi Deputi Penindakan KPK.

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam UU KPK Pasal 66 huruf a bahwa pegawai KPK dilarang untuk mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Dugaan pelanggaran berat pada Firli tersebut merupakan hasil pemeriksaan dari Direktorat Pengawasan Internal KPK. Namun pada kenyataannya, saat banyak keresahan yang mewabah di masyarakat luas dan organisasi KPK sendiri, DPR yang diharapkan menjadi pintu terakhir agar bisa lebih selektif dalam memilih pimpinan KPK yang baru, malah tetap meloloskan Firli untuk menjadi pimpinan KPK. Itu mengindikasikan bahwa pada dasarnya Direktorat Pengawasan Internal KPK telah menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik hingga dapat ditemukannya pelanggaran kode etik berat tersebut pada Firli. Namun hal itu tidak begitu diindahkan oleh DPR dalam seleksi kemarin

Hasil akhir seleksi capim KPK oleh DPR kemarin juga mencerminkan bahwa DPR belum memiliki cukup integritas dalam memilih pimpinan KPK yang baru. Karena jelas terbukti bahwa DPR menyepelekan UU KPK Pasal 29 huruf f dan g, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK, maka harus memenuhi persyaratan

f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yag tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.

DPR dapat dibilang telah melanggar apa yang sudah ditentukan dalam UU KPK itu sendiri. Sehingga dari aspek yuridis, DPR telah terbukti tidak optimal dalam proses pemilihan pimpinan KPK kemarin.

(16)

16 Runutannya adalah bahwa, saat DPR hari ini masih terdapat kekacauan, usulan untuk mengadakan Dewan Pengawas yang mana dipilih oleh DPR untuk mengawasi KPK agar selalu berjalan pada koridor yang sudah ditentukan menjadi tidak masuk akal. Malah yang terjadi, Dewan Pengawas berpotensi untuk menghambat proses kerja KPK dengan menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus meminta izin kepada Dewan Pengawas, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Hal itu juga rentan akan adanya permainan kepentingan di dalam mekanisme itu. Sangat mungkin untuk terjadinya tebang pilih dalam pengusutan suatu dugaan tindak pidana korupsi.

Sebagaimana diatur dalam UU KPK Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang untuk melakukan pengawasan, penelitian, dan penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Sementara pada UU KPK Pasal 20 ayat (1) juga menyebutkan bahwa, KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR dan BPK. Artinya, KPK berwenang untuk memantau dan mengawasi instansi, kementerian, dan lembaga, juga mencakup ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berikutnya, KPK harus menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada DPR salah satunya. Dengan adanya Dewan Pengawas, KPK diawasi dan dievaluasi oleh dewan tersebut, dan dewan tersebut menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada DPR, yang notabene juga menjadi lembaga yang diawasi oleh KPK. Itu dinilai sama saja dengan menempatkan seorang pemain di tengah kedua belah pihak yang seolah menjadi kaki tangan dari DPR yang rentan akan kepentingan terhadap KPK. Karena dengan tugas yang dimiliki oleh Dewan Pengawas tersebut, DPR dikhawatirkan dapat mengandalkan Dewan Pengawas untuk dapat membantu kepentingannya. Tentu itu hal yang sangat berbahaya apabila terjadi.

Sehingga daripada itu, pembentukan Dewan Pengawas ini tidak cukup beralasan dan tidak masuk akal. Karena mekanisme pengawasan terhadap sistem dan kelembagaan KPK sudah ada dengan ditunjang oleh Direktorat Pengawasan Internal di dalamnya. Pun juga misal diperlukan untuk lebih mengoptimalkan fungsi pengawasan di KPK, perubahan yang harusnya terjadi adalah perubahan pada peraturan pengawasan di KPK sendiri, bukan dengan adanya organ baru dari luar yang belum tentu efektif untuk pengawasannya. Maka, usulan pembentukan Dewan Pengawas oleh DPR dinilai berpotensi dapat melemahkan KPK.

(17)

17

4.2. Independensi KPK

Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif, karena menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi yang sejatinya sama dengan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan, maka hal itu dianggap benar. Ranah kekuasaan eksekutif dalam konteks ini diartikan sebagai kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, dari yang telah dibuat oleh lembaga di ranah kekuasaan legislatif.

Putusan MK tersebut dianggap melengkapi putusan-putusan MK sebelumnya, yakni putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, putusan MK Nomor 49/PUU-XI/2013, yang ketiganya pernah menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang terkait/melaksanakan (sebagian) fungsi kekuasaan kehakiman.

Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lembaga yang berada di ranah kekuasaan kehakiman adalah sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi seperti diatur pada Pasal 24 ayat (2).

Mengenai putusan MK itu, berjalannya KPK hingga hari ini memang tergolong sebagai lembaga yang berada di ranah kekuasaan eksekutif. Sebelum putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 keluar ataupun sebelum isu revisi UU KPK 2019 menyeruak seperti hari ini, secara publik mungkin baru menyadari akhir-akhir ini, bahwa KPK memang serupa dengan lembaga-lembaga negara lain yang sama-sama menjalankan undang-undang, dengan memiliki kewenangan yang sama yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, seperti kepolisian dan/atau kejaksaan. Oleh karenanya, fakta bahwa lembaga yang melaksanakan undang-undang itu menjadi pijakan pikiran atas penggolongan KPK sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan eksekutif itu dinilai masuk akal.

Pada poin revisi status kelembagaan KPK sebagaimana diatur dalam RUU KPK Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga pemerintah pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai undang-undang. Lalu dalam Pasal 1 ayat (7), pegawai KPK adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian

(18)

18 dalam Pasal 3 disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga pemerintah pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen.

Perlu diketahui bersama bahwa dalam putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 tidak ada frasa “lembaga pemerintah”. Sehingga penafsiran hukum yang ada terkait putusan MK tersebut adalah bahwa KPK memang benar digolongkan sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan eksekutif atau berada di ranah kekuasaan eksekutif. Namun, sampai di sini KPK (harusnya) bukan berarti serta merta menjadi lembaga pemerintah. Karena apabila menilik siaran pers dari putusan MK, poin yang ditekankan adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimilikinya yang eksekutif karena lembaga itu melaksanakan undang-undang, bukan selalu merujuk pada tipe lembaga negara itu (pemerintah atau non-pemerintah). Maka, apa yang diusulkan oleh DPR dalam rancangan revisi tersebut nampaknya tidak selaras dengan putusan MK tahun 2017.

Kalaupun interpretasi kebanyakan dari putusan MK itu mengarah ke tipe lembaga negara, maka harus diingat mengenai pembentukan KPK itu sendiri. Pembentukan KPK dapat dibilang beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar biasa pula. Tindak pidana korupsi sendiri merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni UU No. 31 Tahun 1999 (UU Tipikor). Sehingga undang-undang tersebut dianggap sebagai hukum pidana khusus yang mana berlaku asas hukum “lex speciali derogat legi generali” (hukum pidana khusus menghapus keberlakukan hukum pidana umum). Ini juga diperkuat dengan justifikasi pada bagian pertimbangan di UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan demikian, poin tersebut dapat ditafsirkan bahwa tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Suatu kejahatan yang memerlukan mekanisme penanganan khusus, berbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya.

Sehingga daripada itu, apabila memang interpretasinya ke sana, dan KPK dianggap sebagai lembaga pemerintah, itu seolah tidak mengindahkan akan ‘keluarbiasaan’ dari lembaga KPK hari ini. Karena KPK memiliki kewenangan yang luar biasa, lebih dari sekadar lembaga pemerintah biasa. Maka sepatutnya tidak pantas untuk disandingkan sama dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya.

(19)

19 Beberapa pandangan dari akademisi bahkan mengatakan bahwa kedudukan kelembagaan KPK ialah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary institutions), yakni lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias politica. Dasar pemikiran terbentuknya lembaga negara bantu adalah karena teori klasik trias politica yang membagi fungsi kelembagaan menjadi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga negara. Di Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances. Maraknya pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru seperti KPK, juga karena tekanan internal yang ada di Indonesia berupa kuatnya reformasi politik, hukum, dan sistem kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekonsentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal berupa fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional.

Selain itu, ditemukan juga keanehan dalam membangun kostruksi logika hukum dari putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Misalnya, hakim konstitusi yang membangun argumentasi bahwa KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya merupakan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan. Pada saat yang sama, justru dasar argumentasi tersebut (yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya merupakan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan), sebagai dasar menentukan karakter lembaga eksekutif justru tidak dapat dilakukan kewenangan hak angket oleh DPR. Berdasarkan dengan logika tersebut, hakim konstitusi nampaknya melakukan kekeliruan dalam membangun konstruksi argumentasi rasional dan konstitusional. Putusan MK tersebut juga tidak sesuai dengan praktik ketatanegaraan modern di mana cabang kekuasaan tidak lagi berdasarkan 3 (tiga) sebagaimana yang didalilkan dari Montesquieu.

Secara tidak langsung juga, hakim konstitusi tidak mengakui kedudukan lembaga independen dan memaksa lembaga independen harus dimasukkan dan dikategorikan pada tiga cabang kekuasaan sebagaimana doktrin trias politica yang sudah tidak sesuai dengan praktik ketatanegaraan modern. Seperti pada ratio legis-nya yang pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut.

(20)

20 Dengan kata lain, lembaga-lembaga negara penunjang tersebut dibentuk dengan tetap berdasar pada fungsi lembaga negara utama yang menjalankan tiga fungsi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Artinya, baik pada pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dimungkinkan muncul lembaga penunjang untuk mendukung kompleksitas fungsi lembaga utama. Tujuan pembentukannya jelas, yakni dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga utama tersebut.

Sehingga, terlepas dari benarnya apabila dengan berlandaskan pada kenyataan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seperti halnya kepolisian dan/atau kejaksaan maka dianggap sebagai lembaga di ranah kekuasaan eksekutif, putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 sendiri ketika dicermati baik-baik menimbulkan banyak tanda tanya atas dalilnya yang dinilai tidak masuk akal. Oleh karenanya, apabila putusan tersebut menjadi acuan DPR dalam mengusulkan perubahan status kelembagaan KPK, maka usulan DPR juga menjadi tidak bersendi pada dalil hukum yang solid dan filosofis.

Adapun status KPK selama ini apabila mengacu pada UU KPK Pasal 3 menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Perubahan pada Pasal 3 tersebut adalah frasa ‘lembaga negara’ yang berubah menjadi ‘lembaga pemerintah’. Dan dalam usulan itu, sifat independen yang tertulis dalam UU KPK berusaha untuk tetap dilekatkan pada RUU, kemudian sifat ‘bebas dari pengaruh kekuasaan manapun’ dihilangkan. Tetap dilekatkannya sifat independen pada status KPK dalam RUU tidak dapat secara mudah disamakan dengan kondisi KPK sekarang. Independensi yang ada dinilai tidak secara utuh dapat dimiliki oleh KPK nantinya. Hal itu disebabkan KPK yang berstatus sebagai lembaga pemerintah yang tidak bebas dari pengaruh kekuasaan manapun akan berpotensi besar untuk membelenggu KPK dalam konflik kepentingan suatu kelompok dan mudah untuk dikendalikan.

Terlebih pada RUU KPK Pasal 1 ayat (7), pegawai KPK akan berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan adanya perjanjian kerja tertentu. Ini berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan. Mekanisme perjanjian kerja tertentu pada pegawai tidak menutup peluang akan menciptakan pengaturan pada sistem dan tata kelola pegawai di KPK yang suatu saat berpotensi melemahkan kinerja KPK dalam mengusut tindak pidana korupsi.

(21)

21 Sementara itu, apabila menilik pada UU No. 28 Tahun 1999 sebagai ketentuan lebih lanjut dari Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada Pasal 11 menyatakan bahwa Komisi Pemeriksa merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku kepala negara. Komisi Pemeriksa yang dimaksud adalah cikal bakal dari berdirinya lembaga KPK yang didirikan tahun 2002. Kemudian, Komisi Pemeriksa yang dalam hal ini ialah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dibubarkan saat KPK berdiri. Sejak saat itu, KPKPN menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK dan lahirlah LHKPN.

Dari UU No. 28 Tahun 1999 tersebut menyebutkan kata independen tanpa ada frasa ‘lembaga pemerintah’ atau sejenisnya. Sehingga makna independen dapat secara utuh dimiliki oleh Komisi Pemeriksa saat itu. Artinya sebetulnya, RUU KPK seperti yang diusulkan oleh DPR ini seolah tidak memaknai rumusan dalam UU No. 28 Tahun 1999 yang menjadi undang-undang cikal bakal berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahwa suatu komisi yang dibentuk sebagai amanat reformasi saat itu harus benar-benar independen dan diyakini tidak akan terpengaruh oleh pihak manapun. Tidak ada frasa yang berpotensi melemahkan dalam peraturan perundangannya. Pada akhirnya, rumusan soal independen dalam undang-undang tersebut diwariskan ke dalam UU KPK tahun 2002 yang menjadi peraturannya KPK hingga hari ini.

Oleh karena itu, rancangan revisi yang diusulkan oleh DPR dengan meneguhkan KPK sebagai lembaga pemerintah dinilai kurang tepat. Karena putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 memiliki konstruksi logika hukum yang keliru dari para hakimnya dan tidak serta merta menyebutkan soal lembaga pemerintah, melainkan lembaga yang berada di ranah kekuasaan eksekutif. Pun demikian perubahan ini seolah tidak mengindahkan aspek filosofis dari awal lahirnya undang-undang dan organisasi KPK sendiri. Pada akhirnya sampai pada suatu pernyataan bahwa usulan perubahan KPK menjadi lembaga pemerintah tidak beralasan. Dengan tanpa berstatus sebagai lembaga pemerintah, KPK dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara efektif hingga hari ini.

4.3. Penyadapan

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 40, setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Karena pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi. Namun dalam beberapa keadaan, ketentuan tersebut dapat disimpangi sehingga tindakan penyadapan diperbolehkan sebagaimana diatur dalam UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 42 ayat (2) huruf b yang menyatakan,

(22)

22 untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

Begitu juga dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) yang menyebutkan bahwa,

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Sehingga daripada itu, ditegaskan kembali dalam UU KPK pada Pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Sementara pada rancangan revisinya, terdapat pasal-pasal baru yang disisipkan untuk melengkapi Pasal 12 yang telah ada. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Pasal 12B

1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.

2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk melakukan Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(23)

23 3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis

terhadap permintaan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permintaan izin tertulis diajukan.

4) Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Melihat rancangan revisi tersebut, alangkah lebih baiknya juga menyimak UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Norma hukum materiil pada undang-undang tersebut acapkali disebut sebagai hukum yang mengatur tentang kejahatan yang luar biasa atau kejahatan yang serius (extra ordinary crimes atau serious crimes). Hal itu dapat disebabkan karena perbuatan pidana (korupsi) tersebut dimuat dalam undang-undang di luar KUHP sehingga dikatakan sebagai hukum pidana khusus yang mana berlaku asas hukum “lex speciali derogat legi generali” (hukum pidana khusus menghapus keberlakukan hukum pidana umum). Selanjutnya, hukum tersebut juga dihubungkan dengan jargon reformasi yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sehingga tindak pidana korupsi memperoleh perhatian dan tempat yang khusus. Pada akhirnya, norma hukum tersebut dipasangkan dengan UU KPK yang serupa dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formilnya.

Pada UU No. 20 Tahun 2001, terdapat poin pertimbangan yang disertakan dalam bagian pertimbangan undang-undang huruf a. Isinya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan demikian, poin tersebut dapat ditafsirkan bahwa tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Suatu kejahatan yang memerlukan mekanisme penanganan khusus, berbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya. Pada akhirnya, pembentukan KPK dapat dibilang beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar biasa pula.

Sehingga daripada itu, kewenangan yang dimiliki oleh KPK melalui UU KPK pun berbeda dengan kewenangan kepolisian sebagaimana diberikan oleh UU No. 2 Tahun 2002 dan kewenangan kejaksaan yang diberikan oleh KUHAP. Salah satu perbedaannya adalah adanya kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Sehingga

(24)

24 akan dipandang wajar apabila penyadapan yang dilakukan KPK juga tidak sama dengan penyadapan dari dua lembaga penegak hukum tersebut.

RUU Penyadapan yang bergulir beberapa waktu yang lalu juga memberikan mekanisme yang berbeda. Salah satunya adalah semua institusi penegak hukum di Indonesia, kecuali KPK, perlu meminta izin kepada pengadilan lewat Kejaksaan Agung terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan. Sementara KPK tidak perlu melakukan demikian. Maka dari itu, usulan perubahan mekanisme penyadapan dengan meminta izin kepada Dewan Pengawas terlebih dahulu itulah yang dinilai coba diberikan kepada KPK melalui revisi UU KPK ini.

Apabila dicermati pada Naskah Akademik Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengaturan tersebut ditujukan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan penyadapan oleh KPK. Itu juga dianggap mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan penyadapan dilakukan terhadap pihak-pihak yang belum dilakukan proses pro

justitia (proses penyidikan). Padahal, proses hukum yang berlangsung di KPK sedikit berbeda

dengan yang diatur dalam KUHAP. Jika kewenangan penetapan tersangka dalam KUHAP berada di tahap penyidikan oleh tim penyidik, maka sebagaimana yang diatur dalam UU KPK Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa, jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan

menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Artinya di

sini, KPK berwenang menetapkan tersangka dalam tahap penyelidikan jika memang sudah ditemukan 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup. Sehingga analisis DPR pada naskah akademik tersebut tidak berlandaskan aspek yuridis yang solid karena sesungguhnya KPK telah dapat menetapkan tersangka di tahap penyelidikan (pro justitia). Kondisi itu memungkinkan KPK untuk melakukan penyadapan saat itu.

Adanya mekanisme penyadapan seperti itu dinilai akan lebih memperumit kinerja KPK dalam melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. KPK yang awalnya bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, maka apabila rancangan undang-undang tersebut disahkan, KPK harus melalui beberapa langkah terlebih dahulu untuk dapat melakukan penyadapan. Apalagi, pelaksanaan penyadapan dibatasi dalam waktu paling lama tiga bulan, dengan dapat diberikan perpanjangan satu kali selama tiga bulan juga. Batasan waktu yang ditentukan tersebut belum dapat menjamin bahwa dari penyadapan itu akan membawa hasil yang signifikan untuk membongkar skandal korupsi yang ada. Berkaca pada pengalaman KPK juga sebelumnya, bahwa dibutuhkan waktu yang

(25)

25 lama dan dapat lebih dari batasan waktu yang ditentukan di rancangan undang-undang untuk dapat mengungkap kasus korupsi yang canggih dan rumit seiring waktu berkembang.

Kekhawatiran yang dirasakan oleh mayoritas masyarakat juga adalah apabila penyadapan harus meminta izin kepada Dewan Pengawas, yang mana keanggotaannya dipilih oleh DPR, akan dapat berpotensi untuk bocornya informasi penyadapan yang hendak dilakukan oleh KPK terhadap target tertentu, kepada pihak-pihak lain di luar KPK dan Dewan Pengawas yang sedang berkepentingan. Sehingga turut mempengaruhi untuk semakin sulitnya KPK dalam mengungkap kasus korupsi yang akan mereka telusuri. Kekhawatiran ini masuk akal dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, apabila menengok perjalanan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia selama ini, yang tak jarang menemui jalan terjal dan berkelok.

Sebaliknya, mengingat KPK hari ini dapat dibilang sebagai lembaga yang belum memiliki pengawasan yang begitu kuat mengenai tindakan penyadapan dalam penyelidikan dan penyidikan. Pelaksanaan penyadapan KPK saat ini hanya diatur lewat Standar Operasional Prosedur (SOP) internal mereka. Yang mungkin terjadi di antara anggota KPK adalah saling mengawasi satu sama lain. Pimpinan KPK mengawasi pegawai KPK, dan sebaliknya wadai pegawai juga mengawasi pimpinan KPK. Tidak menutup kemungkinan akan adanya kerentanan untuk praktik-praktik yang tidak patut terjadi di dalam KPK. Bahkan penting diketahui bahwa sudah terdapat catatan negatif pada KPK beberapa waktu yang lalu. Yaitu beberapa kali ditemui pembicaraan pribadi seorang tersangka kasus korupsi dapat tersiar ke umum, sehingga membuat kondisi psikologis tersangka menjadi down. Namun, catatan negatif tersebut dirasa tidak sebanding dengan hadirnya Dewan Pengawas yang malah menambah panjang birokrasi penanganan perkara. Catatan negatif masih dapat diupayakan untuk ditekan dengan perbaikan sistem pengawasan dan mekanisme di internal KPK yang dipantau oleh Direktorat Pengawasan Internal.

Sehingga dari beberapa pertimbangan tersebut, pasal tambahan terkait mekanisme penyadapan KPK dipandang tidak diperlukan, sekalipun narasi yang dicanangkan oleh DPR adalah menjaga koridor suatu lembaga seperti KPK. Karena pada dasarnya, kalaupun hendak menjaga KPK agar selalu berjalan lurus pada koridornya tidak harus dilakukan revisi undang-undang. Perubahan yang semestinya dapat dilakukan adalah perubahan Peraturan KPK atau SOP internalnya. Bisa juga dengan peningkatan manajemen SDM pada tubuh KPK. Yang terjadi dari adanya mekanisme penyadapan seperti diusulkan oleh DPR berpotensi dapat mengurangi independensi KPK, menghambat proses kerja KPK, dan tebang pilih dalam pengusutan suatu dugaan tindak pidana korupsi karena dilatarbelakangi kepentingan tertentu.

(26)

26

4.4. Sumber Penyelidik dan Penyidik

Ada perubahan pada RUU KPK yang isinya adalah sebagai berikut.

Pasal 43

1) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 45

1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Disebutkan bahwa penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri, kejaksaan, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal ini bertentangan dengan putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015 yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

Apabila melihat UU KPK Pasal 43 ayat (1), menyatakan bahwa penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara UU KPK Pasal 45 ayat (1) menerangkan bahwa penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Melalui kedua pasal itu, secara tersirat sebenarnya pembuat UU KPK memberikan ruang bagi KPK untuk dapat merekrut penyelidik dan penyidik sendiri. Ketentuan ini dapat menjadi dasar bagi KPK untuk merekrut penyelidik dan penyidik sendiri di luar kepolisian dan kejaksaan, dan pelaksanaannya dapat didasarkan pada Peraturan Pimpinan KPK.

Itu juga sejalan dengan putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa penyelidik dan penyidik KPK tidak hanya direkrut dari kepolisian dan kejaksaan, melainkan juga dari profesi lain yang ada dalam masyarakat. Artinya, KPK dapat merekrut penyelidik dan penyidik sendiri yang bukan berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Berkaca pada pertentangan tersebut, lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia juga menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus berasal dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commission di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone. Proses penyelidikan dan

(27)

27 penyidikan yang dilaksanakan KPK sampai hari ini pun sudah berjalan efektif dengan proses rekrutmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber. Tidak ada urgensitas untuk mengganti undang-undang bagian sumber penyelidik dan penyidik KPK tersebut sekarang. Oleh karena itu, tidak beralasan apabila penyelidik nantinya harus berasal dari Polri dan penyidik nantinya harus berasal dari Polri, kejaksaan, dan PPNS. Karena mekanisme penentuan sumber penyelidik dan penyidik hakikatnya dapat lebih dikembalikan kepada KPK sebagai lembaga yang berwenang dan lebih tahu akan situasi yang ada. Apabila dirasa saat ini penyidik KPK diragukan integritasnya, maka hal itu cukup dengan mempertimbangkan urusan sumber daya manusianya, bukan mengganti peraturannya. Dalam rangka penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan, kriteria penyelidik dan penyidik seperti apa yang diinginkan oleh KPK yang dapat membantu KPK dalam mewujudkan tujuan besarnya, KPK yang lebih memahami.

4.5. Kewenangan Penuntutan

Perubahan berikutnya juga menyoal tentang penuntutan yang dilaksanakan oleh KPK. Mengacu pada RUU KPK Pasal 12A yang menyatakan bahwa Dalam melaksanakan tugas

penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal ini secara eksplisit dipahami sebagai langkah yang dapat berpotensi mereduksi kewenangan KPK dan melemahkan kekuatan yang sudah dimiliki oleh KPK. Bahwa dalam penanganan suatu perkara, KPK harus menjalani prosedur tertentu terlebih dahulu dengan berkoordinasi bersama Kejaksaan Agung untuk melakukan penuntutan korupsi. Sehingga rentan untuk terjadi keterlambatan penanganan perkara.

Duduk pengusulannya, sebagaimana diketahui bahwa keberadaan kewenangan penuntutan oleh kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari UUD 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (UUD 1945 Pasal 24 ayat (3) dan UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 41 tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sebagai pejabat eksekutif pelaksana penetapan dan keputusan pangadilan dalam perkara pidana.

Dalam KUHAP Pasal 1 butir 13 menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan. Sementara UU No. 16

(28)

28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kejaksaan RI menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Menyadari akan hal itu, bahwa pada kenyataannya hari ini memang terdapat tumpang tindih (dualisme) kewenangan penuntutan. Yaitu antara kejaksaan dan KPK dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antar kewenangan lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Jika berkaca pada negara-negara lain, suatu kejaksaan diberikan tugas dan wewenang seutuhnya dalam penuntutan. Sehingga daripada itu, apa yang sudah diatur dalam KUHAP pada hakikatnya telah menjunjung supremasi hukum di bidang penuntutan di Indonesia, di mana kejaksaan diberikan kewenangan seutuhnya.

Sekarang, apabila menilik kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan sebagaimana telah diatur dalam UU KPK Pasal 6 huruf b, c dan Pasal 8 ayat (1).

Pasal 6 huruf c

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

Pasal 8 ayat (1)

Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang, KPK berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik..

Pasal 6 huruf b dan c, dan Pasal 8 ayat (1) dapat dibilang sebagai perpanjangan tangan dari UU Tipikor Pasal 43 ayat (2) yang menjelaskan bahwa KPK mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Maka, adanya revisi terhadap kewenangan penuntutan pada KPK yang dipangkas dan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung tentu akan melangkahi apa yang sudah diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1999 tersebut. Lahirnya undang-undang itu sendiri merupakan amanat reformasi yang mana ketika Orde Baru tumbang pada tahun

(29)

29 1998, reformasi bergulir dan pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda utamanya. Pemaknaan terhadap undang-undang tersebut harus melalui pendekatan secara filosofis dan hati-hati. Bahwa bersendi dari situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara saat itu, ada niat dan cita-cita besar dari rakyat untuk merombak sistem ketatanegaraan Indonesia demi melihat wajah negeri ini bisa lebih cerah ke depannya dengan dilandasi semangat pancasila yang utuh. Secara beruntun, mulai lahir peraturan perundang-undangan satu per satu, termasuk UU Tipikor yang diyakini dalam perumusannya mengedepankan kepentingan bangsa dan diisi oleh pemikiran dan pandangan yang bagus, mulia, dan futuristis dari tokoh bangsa saat itu.

Apa yang sedang diusulkan oleh DPR seolah melunturkan apa yang pernah dipupuk bersama oleh para penggerak lahirnya Undang-Undang Tipikor tersebut. Padahal, semangat memberantas korupsi itu berakar dari sana. Hingga hari ini seperti yang dilihat bersama bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah berjalan sekian lama dan semakin ke sini menujukkan efektivitas dari upaya yang dilakukan beserta mekanisme dan tata kelola yang ada pada KPK. Ini menunjukkan progresivitas yang baik.

Perlu diketahui juga bahwa UU Tipikor itu adalah undang-undang yang dinilai menjadi hukum pidana khusus, karena perbuatan pidana (korupsi) tersebut dimuat dalam undang-undang di luar KUHP sehingga dikatakan sebagai hukum pidana khusus yang mana berlaku asas hukum “lex speciali derogat legi generali” (hukum pidana khusus menghapus keberlakukan hukum pidana umum). Selanjutnya, hukum tersebut juga dihubungkan dengan jargon reformasi yaitu pemberantasan KKN sehingga tindak pidana korupsi memperoleh perhatian dan tempat yang khusus. Pada akhirnya, norma hukum pidana tersebut dipasangkan dengan UU KPK yang serupa dengan KUHAP sebagai hukum formilnya.

Selaras dengan itu, dalam UU No. 20 Tahun 2001 juga menuliskan poin pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan demikian, poin tersebut dapat ditafsirkan bahwa tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Suatu kejahatan yang memerlukan mekanisme penanganan khusus, berbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya. Pada akhirnya, pembentukan KPK dapat dibilang beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar biasa pula.

(30)

30 Atas dasar itu, penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK dipandang wajar apabila berbeda dengan penanganan untuk kasus serupa oleh lembaga penegak hukum lain. KPK memiliki kewenangan khusus untuk dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu paket, dalam satu atap yang sama. Bahkan, penanganan seperti itu dapat berjalan efektif hingga kini dan terbukti kinerja KPK dinilai telah memuaskan masyarakat secara luas. Usulan pemangkasan kewenangan penuntutan tidak sebanding dengan cita-cita besar para tokoh bangsa dan rakyat Indonesia pasca reformasi dahulu. Pun hingga kini, KPK dianggap sebagai lembaga yang paling dipercaya oleh masyarakat. Dan terkait penataan sistem peradilan pidana, ini menjadi pengecualian bagi KPK. Karena KPK harus memiliki proses penanganan perkara tindak pidana korupsi yang utuh dan tidak terbelah agar perkara tersebut dapat ditangani dengan baik, tepat, dan cepat.

4.6. Kriteria Perhatian yang Meresahkan Masyarakat

Perubahan itu juga disoroti oleh banyak pihak. Sebagaimana yang ditegaskan pada UU KPK Pasal 11 huruf b dengan mengacu pada tugas KPK di Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Sementara di RUU KPK, ketentuan tersebut tidak lagi tercantum. Sehingga pada akhirnya boleh dibilang KPK tidak berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang hanya dikarenakan tindak pidana korupsi itu sedang mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat. Padahal, pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.

Apabila kriteria ‘mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat’ itu dihilangkan, maka ketika ada dugaan tindak pidana korupsi yang memang menjadi perhatian yang meresahkan masyarakat, KPK tidak akan menindak kasus itu. Ini dinilai dapat melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Secara filosofis, korupsi bukan terlalu matematis dengan menyoal tentang besarnya nilai yang menjadi kerugian negara, melainkan lebih kepada pelanggaran berat seseorang yang sangat tidak bermoral (dalam hal ini penyelenggara negara) berupa penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan dengan mengeruk sesuatu yang sejatinya milik bersama untuk memuaskan kepentingan pribadi atau kelompok, dan telah merampas hak masyarakat banyak sehingga pada akhirnya meresahkan masyarakat. Pada akhirnya, pelanggaran itu akan mengakibatkan kerugian negara.

Umumnya, masyarakat akan mudah untuk meluapkan emosi karena adanya dugaan tindak pidana kasus korupsi berapapun nilainya. Hal itu menjadi bukti bahwa secara sosiologis pemberantasan korupsi harus mendengar keresahan masyarakat. Dan kriteria itu juga dinilai

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, pimpinan memberikan latihan, bimbingan dan dukungan yang dibutuhkan bawahannya (M. Oleh karena itu upaya peningkatan aparatur pemerintah Kecamatan perlu terus

Penelitian studi pustaka ini menunjukkan bahwa Islam di Indonesia masih tetap dapat dinilai sebagai Islam yang moderat, dalam hal ini, Muhammadiyah dan

Isolated eryhtrocyte membranes were investigated with electron paramagnetic resonance (EPR) spectroscopy using doxyl-stearic acid and maleimido-proxyl spin lables. Data were

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pengaruh Management Capability dan Corporate

Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmadani dkk (2017), dan Arviantama (2017) yang menyatakan bahwa kepuasan tidak berpengaruh terhadap

Banyak device yang terhubung dalam suatu jaringan, untuk memastikan komunikasi antar node yang satu dengan node yang lain setiap frame harus memiliki alamat

Dengan demikian perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan platform dan format data, sedangkan pengguna dapat memperoleh informasi tanpa harus mengunjungi satu per satu

penatausahaan, penyimpanan, pengurusan permintaan dan pengembalian pita cukai, penagihan dan pengembalian bea masuk, bea keluar, cukai, denda administrasi, bunga,