• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDEN/PETANI SAYURAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDEN/PETANI SAYURAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

RESPONDEN/PETANI SAYURAN

Kedua lokasi penelitian yaitu di wilayah BPP Pacet dan BPP Bumiaji merupakan sentra tanaman sayuran dataran tinggi yang sama-sama memiliki jaringan untuk akses terhadap implementasi cyber extension. Namun demikian, kedua lokasi memiliki perbedaan dalam hal dukungan akses terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi. Wilayah BPP Pacet adalah lokasi pengembangan pertanian dengan aksesibilitas terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi secara mandiri. Sedangkan wilayah BPP Bumiaji (Desa Giripurno) adalah wilayah pengembangan pertanian dengan aksesibilitas terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi dengan dukungan program pengembangan access point berupa telecenter binaan World Bank yaitu Telecenter Kartini Mandiri. Secara umum, gambaran kegiatan pengembangan pertanian untuk komoditas hortikultura khususnya sayuran untuk masing-masng lokasi dideskripsikan sebagai berikut.

Gambaran Umum Pengembangan Hortikultura (Sayuran) di Kabupaten Cianjur

Sebagaimana daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur Utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi. Sebagai daerah agraris yang pembangunanannya bertumpu pada sektor pertanian, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 persen. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur kecuali di Kecamatan Pacet dan Sukanegara. Kecamatan Pacet merupakan wilayah Kabupaten Cianjur yang lahan pertaniannya didominasi oleh

(2)

tanaman sayuran dan tanaman hias. Dari wilayah ini pula setiap hari belasan ton sayur mayur dipasok ke Jabotabek.

Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dalam pembangunan proyek kawasan terpadu Agropolitan. Kabupaten Cianjur memiliki luas wilayah 350.148 hektar dengan jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2000 berjumlah 1.931.840 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,11 persen. Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62,99 persen. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan yaitu sekitar 14,60 persen. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap APBD Kabupaten Cianjur yaitu sekitar 42,80 persen disusul sektor perdagangan sekitar 24,62 persen.

Produksi sayuran dari kecamatan Pacet mendominasi total produksi sayuran di Kabupaten Cianjur yang mencapai 2.683.269 kuintal pada tahun 2003. Pada tahun tersebut dapat digambarkan bahwa produksi sayuran di Kecamatan Pacet mencapai 831.071 kuintal, sementera daerah lain seperti Kecamatan Sukaresmi 74.620 kuintal, dan Kecamatan Cugenang mencapai 531.858 kuintal. Hal tersebut menjadikan kecamatan Pacet sebagai kawasan andalan sayuran untuk memasok ke berbagai daerah.

Komoditas sayuran yang banyak diproduksi di Kabupaten Cianjur antara lain wortel, bawang daun, sawi, dan kubis. Pada tahun 2003 total produksi wortel sebesar 62.880 ton, bawang daun sebesar 51.511 ton, sawi 23.574 ton, kubis 21.190 ton, cabai merah 17.136 ton, kacang panjang 13.834 ton, kacang merah 6.494 ton, lobak 3.644 ton, kentang 2.427 ton, kembang kol 684 ton, dan bawang merah sebesar 353 ton. Karena produksi yang cukup besar itu, berbagai komoditas hortikultura ini tak hanya memenuhi pasaran untuk kebutuhan Cianjur dan sekitarnya. Sebagian besar sayur-mayur yang diproduksi petani di kawasan kecamatan Pacet justru dilempar ke daerah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sebagai kawasan penyangga ibu kota negara sayuran dari Kecamatan Pacet lebih cepat masuk ke Jakarta dibandingkan ke daerah lain. Namun demikian, syaratnya adalah mutunya harus sesuai dengan standar yang telah tetapkan. Untuk menjamin ketersediaan sayuran, sejumlah pengusaha telah

(3)

menjalin kontrak pembelian sayur langsung dengan petani setempat. Berdasarkan data hasil evaluasi produktivitas untuk tujuh komoditas sayuran unggulan di BPP Pacet yang dilaksanakan pada tahun 2009 (BPP Pacet 2010) yang disajikan pada Tabel 17, diketahui bahwa peningkatan produktivitas (perubahan positif) terbesar adalah pada komoditas wortel dan yang kedua adalah komoditas bawang daun.

Tabel 17 Produktivitas tahun 2008-2009 dan Sasaran tahun 2010 untuk Komoditas Unggulan di BPP Pacet

Komoditi Unggulan

Produktivitas (ku/ha) Perubahan (naik/turun) dalam ku/ha Sasaran programa 2010 (ku/ha) 2008 2009 Wortel 192,00 200,23 8,23 203,23 Bawang Daun 170,00 175,00 5,00 178,00 Tomat 30,90 35,11 4,21 38,11 Brokoli 37,95 41,28 3,33 44,28 Buncis 42,00 45,54 3,54 48,54 Seledri 102,00 106,39 4,39 109,39 Cabai 120,00 123,22 3,22 126,22 Jumlah ( persen) 826,66 874,65 47,99 907,65 Rata-rata ( persen) 75,15 79,51 4,36 82,51 Sumber: BPP Pacet (2010)

Kecamatan Pacet dijadikan oleh pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai kawasan terpadu Agropolitan. Produksi sayuran di kawasan ini sangat baik terutama untuk pasar-pasar yang mengutamakan kualitas, karena di kawasan agropolitan ini menawarkan beberapa komoditas sayuran yang bermutu tinggi dan siap untuk dipasarkan di tingkat internasional.

Tanaman hortikultura di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur khususnya sayuran menjadi salah satu ikon unggulan, selain didukung oleh lahan yang subur juga dilakukan oleh para petani yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan di bidang hortikultura yang memadai. Secara umum, komoditas sayuran unggulan yang diusahakan oleh petani di wilayah BPP Pacet adalah bawang daun, seledri, tomat, wortel, cabai, selada keriting, dan kubis. Tujuan pemasaran produk sayuran ini sebagian besar adalah di wilayah lokal, yaitu: pedagang pengumpul 42 persen, Pasar tradisional 21 persen, STA Gombong 17 persen, dan konsumen langsung sebesar 7 persen. Namun demikian, pada akhir-akhir ini pemasaran

(4)

produk hortikultura khususnya sayuran yang dibudidayakan oleh anggota kelompok tani binaan BPP Pacet sudah menembus pasar supermarket yaitu Green Luck, Papaya, Kamome Kamcik di daerah Jakarta dan beberapa hotel yaitu: Novotel Hotel dan Lido Like Hotel yang berada di daerah Bogor, Hotel Pangrango Sukabumi, serta restoran cepat saji di Bogor dan Asuka restoran Cikarang. Dalam memasarkan hasil komoditas sayuran, terdapat beberapa asosiasi utama petani sayuran di wilayah BPP Pacet sebagaimana disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Jumlah Anggota Pedagang Sayuran di BPP Pacet menurut Nama Asosiasi

Nama Asosiasi Jumlah anggota

(orang) Keterangan usaha Asosiasi Agro Makmur 20 Usaha pengiriman

komoditas dilakukan kontinu setiap hari berdasarkan kontrak permintaan

Mulia Tani Suplier 35

Shabat Tani Suplier 15

HAS Suplier 10

H. Ayub Suplier 2

Karunia Tani Suplier 2

Asep Endu Suplier 2

Sumber: BPP Pacet (2009)

Selain melalui asosiasi, salah satu kelompok tani yang dirintis sejak tahun 2000 yaitu Kelompok Tani Agro Segar di Kampung Cigombong Desa Ciherang kecamatan Pacet berkembang sangat pesat. Selain menjadi salah satu pusat pemasok kebutuhan sayur mayur untuk beberapa kota besar di tanah air maupun luar negeri, poktan Agro Segar menjadi salah satu pilot project Agro industry di Kabupaten Cianjur. Melalui Agro Segar, komoditas sayuran di Pacet sudah mulai tembus pasar luar negeri, di antaranya Korea dan Jepang yang nilainya terus meningkat, namun permintaan pasar belum dapat dipenuhi karena keterbatasan produksi yang sesuai dengan permintaan pasar.

Gambaran Umum Pengembangan Hortikultura (Sayuran) di Kota Batu Tanaman hortikultura seperti sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat merupakan jenis tanaman yang banyak diusahakan di Kota Batu terutama jenis tanaman hortikultura dataran tinggi. Jenis tanaman sayuran

(5)

semusim yang banyak dibudidayakan oleh petani Kota Batu antara lain kentang, kobis, sawi, wortel, bawang merah, bawang putih, tomat dan brokoli.

Kota Batu sangat memungkinkan untuk dikembangkannya tanaman sayur-sayuran yang banyak bermanfaat untuk kebutuhan manusia. Dari aspek klimatologis, Kota Batu sangat tepat untuk budidaya sayuran dataran tinggi seperti diantaranya kentang, kobis, sawi, wortel, bawang merah, bawang putih, tomat, dan brokoli/kembang kol. Sayuran seperti kentang, kobis, sawi, brokoli dan wortel lebih banyak dibudidayakan di Kecamatan Bumiaji karena kondisi iklim yang lebih sesuai sedangkan bawang merah, bawang putih dan tomat lebih banyak dibudidayakan di Kecamatan Junrejo. Tanaman kentang pada tahun 2009 mengalami peningkatan luas panen dan produksi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 70,50 persen dan 71,47 persen. Hal ini diikuti dengan meningkatnya produktivitas kentang. Peningkatan luas tanam ini dimungkinkan karena optimisme petani bahwa menanam kentang akan menghasilkan keuntungan dengan tidak adanya lagi ancaman Nematoda Sista Kuning (NSK) yang sempat menyerang pada tahun sebelumnya.

Tanaman kubis yang mengalami penurunan luas panen sebesar 16,64 persen memberikan dampak pada penurunan produksi kubis sebesar 28,34 persen. Hal ini karena adanya pengaruh pasar dimana harga kubis sempat turun dengan harga yang sangat rendah pada tahun 2009 sehingga pada musim tanam berikutnya petani tidak lagi menanam kubis karena dianggap tidak menguntungkan. Di samping itu, areal lahan kubis sebagian juga sudah beralih untuk tanaman kentang. Tanaman sawi mengalami peningkatan luas panen sebesar 0,23 persen dibandingkan tahun sebelumnya karena selain masa tanamnya pendek sehingga dapat segera menghasilkan juga harga pasar komoditas tersebut relatif stabil. Sayuran wortel pada tahun 2009 mengalami penurunan luas panen dan produksi kubis sebagian areal beralih ke tanaman kentang. Di sisi lain walaupun terjadi penurunan luas panen dan produksi, produktivitas tanaman wortel mengalami peningkatan yang bisa disebabkan oleh benih wortel yang lebih bagus ataupun pemelihaaran yang lebih baik sehingga hasil yang didapat lebih optimal.

(6)

Tanaman bawang merah dan bawang putih sama-sama mengalami peningkatan produksi karena adanya peningkatan luas panen. Walaupun ada penurunan produktivitas namun tidak terlalu besar sehingga produktivitas bawang merah dan bawang putih dianggap relatif stabil. Tanaman tomat, peningkatan luas panen yang berdampak pada peningkatan produksi yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas. Produktivitas tomat menurun sebesar 8,52 persen. Hal ini disebabkan banyak terjadi hujan sepanjang tahun 2009 sehingga menyebabkan banyak tanaman tomat yang busuk dan akhirnya rontok. Brokoli pada tahun 2009 mengalami kenaikan produksi sebesar 16,09 persen karena adanya peningkatan luas panen sebesar 10,33 persen. Produktivitas brokoli pada tahun 2009 juga meningkat karena adanya usaha intensifikasi yang dilakukan dalam budidaya brokoli sehingga kualitas brokoli juga terjadi peningkatan. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas sayuran tahun 2008-2009 dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 16 dan Tabel 19.

Gambar 16 Perkembangan Luas Panen Tanaman Sayuran Kota Batu Tahun 2008-2009

(7)

Tabel 19 Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sayuran Kota Batu Tahun 2008-2009

Uraian Tahun Kenaikan/penurunan

(persen) 2008 2009

Kentang

- Luas Panen (ha) 278,00 474,00 70,50

- Produksi (ku) 50.040,00 85.803,48 71,47

- Produktivitas (ku/ha) 180,00 181,02 0,57

Kobis

- Luas Panen (ha) 727,00 606,00 (16,64)

- Produksi (ku) 147.408,00 105.637,92 (28,34) - Produktivitas (ku/ha) 202,76 174,32 (14,03) Sawi

- Luas Panen (ha) 856,00 858,00 0,23

- Produksi (ku) 145.932,00 149.497,92 2,44

- Produktivitas (ku/ha) 170,48 174,24 2,20

Wortel

- Luas Panen (ha) 669,00 537,00 (19,73)

- Produksi (ku) 104.455,00 91.316,85 (12,58)

- Produktivitas (ku/ha) 156,14 170,05 8,91

Bawang merah

- Luas Panen (ha) 487,00 524,00 7,60

- Produksi (ku) 55.591,00 59.594,52 7,20

- Produktivitas (ku/ha) 114,15 113,73 (0,37) Bawang putih

- Luas Panen (ha) 8,00 26,00 225,00

- Produksi (ku) 750,00 2.434,12 224,55

- Produktivitas (ku/ha) 93,75 93,62 (0,14)

Tomat

- Luas Panen (ha) 228,00 299,00 31,14

- Produksi (ku) 38.988,00 46.772,57 19,97

- Produktivitas (ku/ha) 171,00 156,43 (8,52) Brokoli/kembang kol

- Luas Panen (ha) 242,00 267,00 10,33

- Produksi (ku) 35.848,00 41.617,29 16,09

- Produktivitas (ku/ha) 148,13 155,87 5,22

(8)

Gambar 17 Perkembangan Produksi Tanaman Sayuran Tahun 2008-2009

Gambar 18 Perkembangan Produktivitas Tanaman Sayuran di Kota Batu Tahun 2008-2009

(9)

Karakteristik Individu Responden Petani Sayuran

Rensponden dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 petani sayuran yaitu dengan kategori berdasarkan statusnya adalah: 162 petani dewasa, 16 orang pemuda tani, dan 22 orang selain sebagai petani juga merupakan pedagang pengepul. Dari 200 petani sayuran yang diteliti, sebanyak 51 orang (25,50 persen) di antaranya adalah perempuan atau wanita tani. Aspek karakteristik individu petani yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan tingkat keterlibatan dalam kelompok. Gambaran umum karakteristik individu petani berdasarkan kategori peubah penelitian dan rata-rata dan uji beda untuk masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 20.

Rata-rata umur responden di dua lokasi berada pada usia produktif yaitu 40 tahun (38 tahun untuk Jawa Barat dan 42 tahun untuk Jawa Timur) dengan usia termuda adalah 17 tahun yaitu pemuda tani di Pacet dan yang tertua adalah berusia 78 tahun yang merupakan petani dari Desa Giripurno, Bumiaji, Batu (Jatim). Secara rata-rata, usia petani responden di wilayah Jabar relatif lebih muda dibandingkan dengan usia rata-rata petani di Jatim. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda rata-rata usia petani di dua lokasi penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara usia petani di Jabar dengan di Jatim. Di wilayah BPP Pacet (Jabar), pemuda tani tampak lebih proaktif dalam mengembangkan usahatani sayuran. Meskipun masih berstatus sebagai mahasiswa, ternyata beberapa pemuda tani di Pacet tetap melakukan kegiatan usahatani di sela-sela kesibukannya untuk kuliah.

Berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, rata-rata petani sayuran di dua lokasi penelitian memiliki sebaran yang hampir sama yaitu dengan rata-rata jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti adalah selama 8 tahun atau setingkat lulus SD dan pernah masuk sekolah sampai tingkat SMP. Bahkan sebanyak 15 diantara responden penelitian sudah mengenyam pendidikan setingkat sarjana, sarjana muda, atau statusnya masih terdaftar di salah satu perguruan tinggi di lingkungannya. Secara umum, rata-rata pendidikan responden cukup tinggi yaitu setara SMP kelas 2 mengingat salah satu karakteristik petani responden yang dipilih adalah yang mampu akses terhadap

(10)

teknologi informasi. Petani yang mampu akses terhadap teknologi informasi merupakan petani yang cenderung memiliki pendidikan relatif tinggi karena sarana teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan tingkat pengetahuan yang relatif lebih tinggi karena tingkat kerumitannya dibandingkan dengan media komunikasi lainnya.

Tabel 20 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Karakteristik Individu dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi

Karakteristik individu Pengu-kuran

Kategori Jumlah (Persen) Rata-rata Sig (Uji t) Jabar Jatim Umur Muda Tahun < 30 20.00 Dewasa >30 - 50 63.00 38,40 42,46 0,036* Tua >50 16.50 Pendidikan formal

Sangat rendah Tahun SD 58,00

Rendah SMP 18,00 8,02 8,17 0,552

Sedang SLTA 16,50

Tinggi > SLTA 7,50

Kepemilikan sarana

TI

Sangat rendah Skor < 25,00 22,00

Rendah >25,00 - 50,00 55,00 46,63 44,00 0,857 Sedang <50,00 - 75,00 17,50 Tinggi >75,00 5,50 Lama menggunakan TI Sangat baru < 45 57,50 Baru Bulan >45 – 90 27,50 47,48 50,06 0,665 Lama >90 – 135 11,00 Sangat lama > 135 4,00 Luas penguasaan lahan Sangat sempit < 2.500 58,00 Sempit m2 >2.500 - 5.000 21,00 3178 4796 0,031* Sedang >5000 - 10.000 16,00 Luas >10.000 5,00 Tingkat kekosmopolitan Sangat rendah Skor < 25,00 26.5

Rendah >25,00 - 50,00 50.5 60,00 57,07 0,559

Sedang >50,00 - 75,00 17.5

Tinggi > 75,00 5.5

Keterlibatan dalam kelompok Sangat rendah Skor < 25,00 49.00

Rendah >25,00 - 50,00 38.00 33,33 28,21 0,001** Sedang >50,00 - 75,00 10.50

Tinggi > 75,00 2.50

(11)

Responden penelitian merupakan petani sayuran yang dapat mengakses minimal pada salah satu jenis sarana teknologi informasi. Karakteristik individu petani yang diukur adalah jenis sarana teknologi informasi yang dimiliki khususnya terkait dengan kepemilikan telepon rumah, telepon genggam, telepon genggam berinternet, komputer, dan komputer berinternet. Berdasarkan hasil skoring terhadap jumlah sarana teknologi informasi yang dimiliki oleh petani, maka dapat dinyatakan bahwa kepemilikan sarana teknologi informasi petani sayuran baik di Pacet maupun Giripurno sebagian besar berada pada kategori sedang dengan memiliki rata-rata 1-2 sarana teknologi informasi. Sarana teknologi informasi yang terbanyak dimiliki oleh responden adalah telepon genggam yaitu sebanyak 85 persen petani responden telah memilikinya. Secara umum skor-rata-rata kepemilikan teknologi informasi adalah sebesar 47 persen untuk di Jabar dan 44 persen untuk di Jatim. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden, diketahui bahwa sebenarnya jenis atau tipe telepon genggam yang dimiliki petani sebagian besar sudah merupakan media konvergen yang dapat digunakan untuk mendengarkan radio, mengakses internet, sebagai kamera maupun video, bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah dapat digunakan untuk menonton siaran televisi.

Berdasarkan lamanya petani responden dalam menggunakan salah satu sarana Teknologi Informasi diketahui bahwa sebagian besar responden baik di wilayah Jabar maupun di Jatim termasuk dalam kategori rendah, yaitu kurang atau sama dengan empat puluh lima bulan. Terdapat beberapa petani yang menyatakan telah mengenal telepon genggam sejak pertama ada (lebih dari 15 tahun) yaitu tahun 1995 sebagai sarana komunikasi pemasaran sayuran yang dihasilkannya sebagaimana yang disajikan pada kasus Box 1 (JG, 38 th, penguasaan lahan sangat luas).

Box 1

“….saya memiliki HP sejak pertama HP ada…..Waktu itu pesawatnya masih besar dan beli kartu perdananya juga masih mahal…kalau tidak salah paket dengan pulsa sebesar lima ratus ribu. Tapi ya saya beli soalnya penting untuk menghubungi pedagang di luar kota pada saat mau memasarkan sayuran di luar kota Batu. …..Kalau sekarang HP bagus-bagus dan bisa internetan juga sudah murah. Lima ribu rupiah juga sudah bisa untuk beli kartu ya……….”

(12)

Hal ini menunjukkan bahwa bagi petani yang sudah maju, teknologi informasi khususnya telepon genggam memberikan peluang baru untuk memperlancar kegiatan usahatani khususnya dalam memperluas jangkauan pemasaran dan mempermudah komunikasi. Meskipun harganya cukup mahal pada saat awal adanya telepon genggam, namun melihat tingkat manfaatnya yang tinggi, petani dengan suka rela bersedia untuk membelinya.

Terkait dengan sarana teknologi informasi dengan jenis komputer, ada pula petani yang menyatakan telah mengenal komputer sejak masa sekolah yaitu 25 tahun yang lalu untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Meskipun telah mengenal komputer sejak 25 tahun lalu, namun petani tersebut mengaku bahwa baru memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan usahatani sejak mengenal internet, yaitu sekitar sepuluh tahun yang lalu yaitu tahun 2000.

Lahan yang dikuasai petani merupakan tumpuan harapan dalam memenuhi kebutuhan keluarga tani. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lahan yang dikuasai dan dikelola oleh petani untuk usahatani sayuran baik di Jabar maupun di Jatim terdiri atas tiga macam sumber, yaitu pertama adalah lahan milik sendiri, kedua adalah lahan yang disewa dari orang lain, dan yang ketiga adalah lahan garapan baik milik orang lain maupun milik Perhutani. Lahan yang dikuasai petani untuk usahatani sayuran rata-rata adalah sebesar 3.986 m2 dengan lahan yang dikuasai paling luas adalah sebesar 5 hektar (50.000 m2) dan yang paling sempit adalah 100 m2. Secara umum, petani sayuran di Jatim memiliki rata-rata penguasaan lahan yang lebih luas dibandingkan dengan rata-rata luas lahan yang dikuasai oleh petani di Jabar. Hal ini nampaknya berpengaruh pula pada signifikansi lebih tingginya jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim dibandingkan dengan jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jabar. Rata-rata komoditas yang diusahakan oleh petani di Jabar adalah 3 komoditas dengan enam komoditas dominan yang diusahakan adalah wortel, bawang daun, pakcoy, caysin, sawi, dan kol. Sementara petani di Jatim rata-rata mengusahakan sebanyak 5 komoditas sayuran dengan komoditas dominan yang diusahakan adalah jagung manis, cabai, sawi, selada air, kailan, dan tomat. Petani di Jatim ada yang mengusahakan sayuran sampai 50 jenis komoditas termasuk komoditas sayuran eksotis untuk supplier hotel dan pasar luar jawa diantaranya

(13)

adalah paprika, lettuce, ginseng, basil, kol merah, daun ketumbar, sukini, dan okra.

Semakin banyak jumlah jenis komoditas yang diusahakan juga memberikan peluang adanya jaminan pasar dari komoditas yang diusahakan. Hal ini dibuktikan dengan nyatanya uji beda jaminan pasar untuk komoditas yang diusahakan antara petani di Jabar dengan di Jatim. Jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim rata-rata lebih banyak dan hal ini berimplikasi pada jaminan pasar yang juga lebih pasti dibandingkan dengan komoditas yang diusahakan oleh petani di Jabar. Namun demikian, secara umum, sebagian besar (73 persen) responden menyatakan bahwa komoditas yang diusahakan memiliki jaminan pasar yang tinggi atau pasti memiliki pangsa pasar yang baik meskipun dengan harga yang cukup berfluktuasi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah seorang petani di Batu sebagaimana dideskripsikan dalam kasus pada Box 2 (JG, 38 th, penguasaan lahan sangat luas).

Tingkat kekosmopolitan merupakan salah satu indikator aktivitas petani dalam berhubungan dengan pihak lain. Tingkat kekosmopolitan juga diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang lebih luas. Kekosmopolitan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan aktivitas responden keluar desa, menerima atau menemui tamu dari luar desa yang memiliki tujuan terkait dengan bidang pertanian, serta aktivitas petani dalam mencari informasi ke luar sistem sosialnya melalui berbagai media komunikasi yang dapat diakses atau tersedia di lingkungannya sebagaimana telah disajikan pada Tabel 20.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya (77 persen) responden memiliki tingkat kekosmopolitan pada kategori sangat rendah dan

Box 2

“….komoditas yang saya tanam sangat banyak sampai 50 macam……….Setiap hari panen, tapi selalu laku dan tidak perlu susah-susah memasarkannya. Banyak supplier yang sudah menghubungi dan jadi langganan untuk memasarkan langsung ke pasar atau memenuhi permintaan hotel. Ya kalau harganya naik turun ya wajar. Tapi kan karena jumlah komoditasnya banyak tidak terasa. Misalnya yang dua komoditas anjlog harganya, tapi yang tiga lagi lainnya naik. Beda kalau kita hanya tanam satu atau dua komoditas saja….wah repot karena kita tidak bisa tebak kondisi pasar sehingga kalau harga jatuh kita bisa tidak balik modal untuk beli bibit lagi……

(14)

rendah dengan skor antara 0-50. Petani sayuran yang tingkat kekosmopolitannya tinggi sebagian besar juga merupakan pedagang pengepul yang sering ke luar desa (ke pasar) untuk berdagang atau berhubungan dengan pihak lain terkait dengan profesinya sebagai pedagang pengepul.

Intensitas responden keluar desa dalam satu bulan terakhir khususnya terkait dengan kegiatan usahatani terbesar adalah pada kategori sangat jarang dan kadang-kadang yaitu sebesar 80 persen. Petani menyatakan bahwa sebagian besar tujuan keluar desa adalah untuk membeli input produksi atau memasarkan hasil usahatani. Bagi petani yang juga sebagai pedagang pengepul bepergian ke luar desa merupakan kegiatan yang dilakukannya hampir setiap hari. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kaum ibu tani yang cenderung melakukan aktivitasnya hanya di dalam lingkungan desa tanpa keluar desa. Berdasarkan hasil uji beda antar dua lokasi penelitian, diketahui adanya perbedaan rata-rata frekuensi keluar desa yang nyata antara petani di Jabar dengan di Jatim dimana petani di Jatim lebih tinggi mobilitasnya ke luar desa dibandingkan dengan petani di Jabar. Kedekatan lokasi wilayah Telecenter Kartini Mandiri di Desa Giripurno dengan jalan raya yang menghubungkan kota Batu dan Karangploso Malang dan sarana transportasi yang cukup memadai merupakan salah satu faktor pendukung tingginya mobilitas petani di Jatim. Berbeda dengan kondisi di Jabar yang meskipun relatif cukup dekat dengan pusat ibukota Jakarta, namun sebagian besar jalan akses menuju ke jalan raya puncak dalam kondisi yang kurang baik sehingga membatasi petani untuk pergi keluar desa.

Lebih tingginya aktivitas petani sayur di Desa Giripurno untuk keluar desa dibandingkan dengan petani sayur di Pacet juga dipengaruhi oleh lebih banyaknya petani di Desa Giripurno, Bumiaji, Batu, Jatim yang juga berprofesi sebagai pedagang pengepul maupun sebagai inti dari petani yang dibinanya. Selain menjual hasil usahatani yang dihasilkan dari kebunnya sendiri dan kebun petani plasmanya, petani yang juga sebagai pedagang pengepul juga seringkali pergi keluar desa hingga ke Malang hanya untuk mencari benih atau bibit tanaman sayuran yang potensial ditanam di kebunnya sendiri dan dikembangkan di kebun petani plasmanya. Biasanya bibit atau benih tanaman sayuran yang harus didatangkan atau diadakan dari Malang adalah benih atau bibit tanaman sayuran yang termasuk dalam kategori eksotis (okra, basil, lettuce, oi, kol merah, paprika,

(15)

daun ketumbar) dan atau bibit/benih unggul untuk komoditas tertentu seperti cabai merah.

Lebih dari 50 persen petani responden baik di Jabar maupun Jatim menyatakan bahwa selama satu bulan terakhir tidak pernah menerima atau menemui tamu yang berkaitan dengan bidang pertanian, bahkan juga dengan penyuluh pertanian yang bekerja di wilayahnya. Sementara itu, hanya sekitar 13 persen responden yang menyatakan sering dan sangat sering menerima atau menemui tamu terkait dengan bidang pertanian. Responden yang sering menerima tamu biasanya adalah Ketua Gapoktan, atau pengurus kelompok tani.

Terkait dengan intensitas petani responden dalam mencari informasi untuk mendukung kegiatan usahatani melalui berbagai media komunikasi (baik media konvensional maupun media baru berbasis teknologi informasi), diketahui bahwa kelompok terbesar (68 persen) berada pada kategori sangat rendah dan rendah. Media komunikasi yang paling sering digunakan petani adalah selain telepon genggam juga melalui aktivitas pertemuan kelompok, pertemuan dengan penyuluh, siaran televisi, siaran radio, dan media cetak.

Selain sebagai modal manusia, petani dalam sistem sosialnya juga merupakan unsur dari modal sosial. Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang bersifat unik mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi, dan transaksi sosial sehingga terwujud struktur sosial. Hal ini sejalan dengan pengertian dan unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam et al. (1993):

“Features of social organization, such as trust, norms (orreciprocity), and networks (of civil engagement), that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated”.

Modal sosial juga dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu. Hal ini sebagaimana disampaikan pula lebih lanjut oleh Putnam (2006) sebagai berikut.

"the collective value of all 'social networks' and the inclinations that arise from these networks to do things for each other".

Konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih besar pada unsur individual. Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar. Modal sosial dapat bergradasi dari yang paling

(16)

lemah (encer) sampai paling kuat (kental) yang dicirikan oleh struktur sosial masyarakat dari loose structure sampai ke solid structure. Sebagai indikator dari encer/kentalnya kadar modal sosial adalah:

1. Aspek kebersamaan antarindividu di dalam masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan.

2. Sejauhmana anggota-anggota masyarakat tahu, mau, dan mampu memanfaatkan waktu-waktu senggang (leisure time) menjadi waktu yang “berharga”, produktif, dan bahkan dapat menghasilkan uang. Status seseorang di dalam masyarakat umumnya diperoleh dari perjuangan berprestasi melalui jalur proses belajar (learning process) baik formal maupun nonformal dengan status yang diperoleh digolongkan sebagai achieved status.

3. Sejauhmana sistem jaringan (networking) dengan prinsip saling membantu dan saling menguntungkan, yang kuat membantu yang lemah dapat berkembang dalam sistem sosial masyarakat. Dalam implementasinya di lapangan, indikator ini dapat diukur dengan melakukan survei terhadap jumlah grup atau kelompok sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat.

4. Keterpercayaan (trust) atau lebih tepatnya adalah tingkat kepercayaan sosial (social trust). Indikator ini terkait dengan seberapa tinggi semangat saling menghargai, menghormati, dan mengakui (recognizing) eksistensi dan hak-hak antar anggota masyarakat.

Sejalan dengan indikator modal sosial tersebut, dalam penelitian ini hanya digunakan salah satu dari indikator yaitu terkait dengan keterlibatan petani dalam bekerjasama atau berkelompok. Keterlibatan petani dalam kelompok diukur dengan tiga indikator, yaitu: keanggotaan dalam kelompok, keaktifan dalam kelompok, dan sikap terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu kelompok.

Sebagian besar petani responden merupakan anggota pada salah satu atau dua kelompok kerjasama. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh petani yang tidak menjadi anggota kelompok manapun di wilayah Pacet di antaranya adalah karena tidak diajak oleh ketua kelompok atau tidak tahu pada saat akan dibentuk kelompok. Beberapa petani juga menyatakan meskipun tidak menjadi anggota kelompok, petani juga diperbolehkan aktif dalam kegiatan kelompok sehingga

(17)

tidak harus menjadi anggota kelompok. Sedangkan petani di Batu yang tidak mengikuti kelompok apapun di antaranya dengan alasan sudah sibuk dengan kegiatan sendiri, tidak percaya lagi dengan kelompok tani yang ada saat ini, dan merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan kelompok. Kelompok yang paling banyak diikuti oleh responden di Pacet adalah kelompok tani dan IRMAS (kelompok pemuda ikatan remaja masjid). Sedangkan kelompok yang dominan diikuti oleh petani di Batu adalah kelompok tani, kelompok pengajian/tahlil, dan koperasi.

Dilihat dari keaktifannya dalam kelompok untuk ikut merencanakan, melaksanakan, merasakan manfaat, dan mengevaluasi kegiatan kelompok, diketahui bahwa sebagian besar tingkat keaktifan petani dalam kelompok termasuk dalam kategori sedang. Partisipasi aktif yang dominan dilakukan responden dalam kelompok yang diikutinya adalah ikut melaksanakan kegiatan kelompok dan merasakan manfaat kegiatan kelompok. Dua kegiatan lainnya yaitu proses perencanaan dan evaluasi jarang dilakukan oleh responden yang bukan pengurus. Hal ini dapat dipahami karena anggota kelompok dianggap tidak memiliki kewajiban dalam merencanakan dan mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan kelompoknya.

Meskipun rata-rata skor untuk tingkat keanggotaan dan keaktifan dalam kelompok sebagian besar dalam kategori rendah dan sedang, namun ternyata hal ini berbanding terbalik dengan sikap positif responden terhadap kegiatan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden telah menyadari akan pentingnya kegiatan kelompok, namun karena adanya beberapa faktor pengalaman yang kurang baik terhadap realisasi kegiatan kelompok, petani cenderung menjadi apatis terhadap kelompok sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang responden dari batu yang disajikan pada Box 3 (MS, 38 th, penguasaan lahan sedang) sebagai berikut.

Box 3

“….sekarang saya sudah tidak percaya lagi dengan kelompok tani. Buat apa ada kelompok tani kalau hanya menguntungkan pengurus dan anggota yang dekat pengurus saja. Pada saat mau dibentuk kita diminta tanda tangan kemudian kita dijanjikan akan dapat bantuan. Tetapi setelah bantuan pupuk dan bibit sudah ada ternyata saya tidak kebagian tanpa diberi penjelasan. Jadinya sekarang ya saya sendiri-sendiri saja tidak pernah aktif ikut kegiatan kelompok. Apalagi saya sudah sibuk hampir tiap hari jualan sayur ke pasar di Malang. Sebenarnya kelompok itu penting agar bisa bareng-bareng beli pupuk yang bersubsidi atau beli bibit yang bagus. Kalau kita beli sendiri jatuhnya mahal karena harus mengeluarkan biaya transportasi yang tidak sedikit………”

(18)

Ketidakpercayaan petani terhadap kelompok tani ini di Desa Giripurno (Jatim) ini ternyata dibuktikan dengan adanya perbedaan yang nyata antara tingkat keterlibatan petani dalam kelompok di Giripurno dengan di Pacet, di mana petani di Pacet lebih aktif dalam kegiatan kelompok dibandingkan dengan petani di Giripurno. Hal ini berbanding terbalik dengan tingkat keanggotaan dimana tingkat keanggotaan petani dalam suatu kelompok di Pacet lebih rendah dibandingkan dengan tingkat keanggotaan petani di Giripurno. Apabila di Giripurno banyak petani yang sebenarnya terdaftar sebagai anggota namun tidak aktif karena kecewa terhadap pengelolaan kelompok, maka sebaliknya di Pacet banyak petani yang bukan anggota kelompok tani justru ikut aktif dalam kegiatan kelompok tani.

Faktor Lingkungan untuk Mendukung Pemanfaatan Cyber Extension Konsekuensi aplikasi teknologi informasi dalam pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi inovasi pertanian adalah tersedianya sarana prasarana pendukung beroperasinya aplikasi teknologi informasi baik dilihat dari infrastruktur jaringan komunikasi, sarana yang dapat dimanfaatkan untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, dan fasilitasi training untuk peningkatan kapasitas SDM dalam memanfaatkan cyber extension. Mengingat karakteristik petani yang masih banyak memanfaatkan media komunikasi konvensional meskipun sudah menggunakan teknologi informasi, maka dalam penelitian ini ketersediaan media komunikasi konvensional juga diperhatikan sebagai media untuk berbagi informasi yang diperoleh petani melalui aplikasi teknologi informasi (Tabel 21).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ketersediaan media komunikasi konvensional di dua lokasi sudah cukup memadai dan sangat memadai baik media komunikasi melalui tatap muka (pertemuan dengan kelompok tani dan penyuluh), siaran radio, maupun siaran televisi dan media cetak. Pelangi Desa, Saung Tani, dan Dialog Pertanian merupakan acara siaran televisi yang dominan dilihat oleh petani. Sedangkan Radio Komunitas Edelwis dinyatakan oleh Petani di Desa Ciputri, Pacet sebagai media komunikasi dan sarana berbagi informasi pertanian. Sebanyak 41 persen responden yang menyatakan kurang dan sangat kurang memadai sebagian besar merupakan

(19)

responden yang tidak menjadi anggota kelompok atau merasa apatis dengan media komunikasi yang ada karena informasi yang diperoleh dan atau kegiatan yang diikuti tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Media cetak merupakan media yang paling kurang tersedia dibandingkan dengan media konvensional lainnya. Media cetak yang dapat diakses oleh responden sebagian besar namya dari distributor sarana produksi. Petani di Jabar merasakan bahwa ketersediaan media komvensional terutama kegiatan pertemuan dengan penyuluh dan kelompok lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Hal ini juga didukung dengan adanya radio komunitas di Desa Ciputri di wilayah Pacet sebagai media komunikasi yang efektif untuk berbagi informasi/pengetahuan di lingkungan komunitas dan desa sekitarnya.

Tabel 21 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Faktor Lingkungan untuk Pemanfaatan Cyber Extension dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi

Kategori faktor lingkungan Jumlah (persen)

Rata-rata skor Sig (uji t) Jabar Jatim

Ketersediaan media

komunikasi konvensional

Sangat tidak memadai 14,00

Kurang memadai 27,50 59,80 54,60 0,007** Cukup memadai 26,50

Sangat memadai 32,00 Ketersediaan sarana TI

Sangat tidak memadai 50,00

Kurang memadai 18,00 31,25 47,25 0,001** Memadai 9,50

Sangat memadai 22,50 Ketersediaan jaringan

komunikasi

Sangat tidak baik 1,00

Kurang baik 16,50 76,92 83,42 0,023*

Baik 25,00

Sangat baik 58,00

Keterjangkauan terhadap fasilitasi training

Sangat tidak terjangkau 62,50

Kurang terjangkau 18,00 18,67 22,67 0,247

Terjangkau 8,50

Sangat terjangkau 11,00

Keterangan: ** signifikan pada P<0,01 dan * signifikan pada P< 0,05

Berkaitan dengan fasilitas untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi termasuk ketersediaan telecenter dan warnet atau komputer berinternet, sebanyak 50 persen petani responden menyatakan masih sangat tidak memadai.

(20)

Hanya 23 persen petani yang menyatakan fasilitas untuk mendukung akses sistem informasi berbasis teknologi informasi sudah sangat memadai. Berdasarkan hasil uji beda, diketahui bahwa ketersediaan fasilitas atau sarana untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi bagi petani di Desa Giripurno secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Pacet. Hal ini sangat dipahami karena di Desa Giripurno terdapat Telecenter Kartini Mandiri yang memungkinkan petani untuk mengakses informasi melalui internet yang telah dibangun oleh World Bank.

Berdasarkan ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi (jaringan internet, jaringan listrik, dan jaringan telepon) diketahui bahwa baik di Jabar maupun di Jatim ketersediaan dan kondisi infrastrutur jaringan komunikasi di wilayahnya sudah sangat memadai. Beberapa desa di wilayah Pacet dan Giripurno tersedia jaringan telepon sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana sambungan jaringan internet. Wilayah yang terjangkau sambungan telepon rumah justru di antaranya sudah dialihfungsikan sebagai sarana untuk instalasi jaringan internet. Sedangkan provider yang banyak tersedia dan digunakan sebagai jaringan telekomunikasi oleh petani di Pacet adalah yang berbasis Global System for Mobile Communication (GSM) yang didominasi oleh dua provider. Sedangkan di Giripurno didominasi dengan jaringan berbasis Code Division Multiple Access (CDMA). Variasi koneksi jaringan ini sangat dipahami karena penggunaan layanan jaringan telekomunikasi oleh petani akan bergantung pada kondisi infrastruktur jaringan telekomunikasi atau provider yang paling mudah diakses oleh petani setempat.

Cyber extension merupakan media komunikasi baru yang mensinergikan aplikasi teknologi untuk komunikasi inovasi dan sarana berbagi informasi. Oleh karena itu, pengembangan media belajar secara terprogram melalui pelatihan dan sosialisasi sangat diperlukan sehingga petani dapat memanfaatkan teknologi informasi yang tersedia dengan optimal. Namun demikian, kenyataannya mayoritas (81 persen) responden menyatakan bahwa fasilitasi training sangat tidak terjangkau dan kurang terjangkau. Meskipun ada telecenter, namun pada kenyataannya kegiatan pelatihan pemanfaatan teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan informasi masih belum intensif dilakukan bagi petani secara

(21)

lebih luas. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan di Telecenter Kartini Mandiri meskipun telah menyentuh petani sayuran, namun sebagian besar masih ditargetkan bagi para pelajar dari sekolah di sekitar Kecamatan Bumiaji, Batu.

Persepsi Petani Terhadap Karakteristik Cyber Extension

Sebagaimana dinyatakan oleh Browning et al. (2008) bahwa pemanfaatan teknologi informasi merupakan media baru dalam komunikasi inovasi pertanian. Internet merupakan salah satu bentuk revolusi terkait dengan bagaimana kita dapat bekerja mengelola informasi dan berkomunikasi dengan orang lain secara lebih cepat dan tanpa terkendala ruang dan jarak. Dengan menggunakan surat elektronik atau email dan Short Message Service (SMS) kita dapat berkomunikasi langsung secara cepat dan berbagi informasi maupun dokumen.

Sebagai media baru dalam komunikasi inovasi pertanian, cyber extension memiliki sifat-sifat khusus yang juga mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi di tingkat petani (Browning & Sornes 2008). Berkaitan dengan kepentingan penelitian, karakteristik cyber extension yang terkait dengan compatibilitas dibedakan antara kesesuaian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan budaya. Hal ini dengan pertimbangan bahwa cyber extension merupakan media baru yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi yang cenderung sensitif dengan aspek kesesuaian dengan budaya masyarakat. Sedangkan untuk ciri triability digabungkan dengan complexity menjadi peubah kemudahan untuk diaplikasikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kelima karakteristik cyber extension (Tabel 22) pada umumnya sudah cukup baik dengan uraian untuk masing-masing karakteristik cyber extension sebagai berikut.

1. Sebagian besar (82 persen) responden di lokasi penelitian menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian (cyber extension) sudah sesuai dan sangat sesuai dengan kebutuhan. Teknologi informasi, utamanya telepon genggam telah menjadi sarana utama dalam berkomunikasi untuk mendukung kegiatan usahatani khususnya untuk mengelola usahatani dan proses pemasaran. Sebagian besar petani menyatakan bahwa membeli pulsa untuk operasional telepon genggam sudah

(22)

menjadi keharusan sebagaimana kebutuhan pokok sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang petani di Batu dalam kasus pada Box 4 ((JG, 38 th, penguasaan lahan sangat luas) sebagai berikut.

Tabel 22 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Persepsi terhadap Karakteristik Cyber Extension dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi Persepsi petani terhadap ciri CE Jumlah

(persen) Rata-rata Sig (uji t) Jabar Jatim Kesesuaian CE dengan kebutuhan

Sangat tidak sesuai 3,50

Kurang sesuai 15,00 76,92 77,83 0,002** Sesuai 64,50 Sangat sesuai 17,00 Kemudahan CE untuk diaplikasikan Sangat sulit 1,50 Sulit 16,00 71,33 73,83 0,000** Mudah 65,50 Sangat mudah 17,00 Keuntungan relatif CE

Sangat tidak menguntungkan 5,50

Kurang menguntungkan 6,00 79,00 77,83 0,000** Menguntungkan 69,50

Sangat menguntungkan 19,00 Kemudahan CE untuk dilihat

hasilnya

Sangat sulit 1.00

Sulit 6.00 75.83 76.75 .000**

Mudah 67.50

Sangat mudah 25.50

Kesesuaian CE dengan budaya

Sangat tidak sesuai 2.00

Tidak sesuai 34.50 78.75 82.79 .032*

Sesuai 30.50

Sangat sesuai 35.00

Keterangan: ** signifikan pada P<0,01 dan * signifikan pada P< 0,05 Box 4

“…. Menggunakan HP untuk komunikasi dengan pedagang dan supplier, mengatur pekerja di kebun memberitahu tanaman apa yang dipanen hari ini. Memberitahu istri di rumah untuk menyiapkan makan siang buat pekerja di kebun, tanpa saya pulang dulu ke rumah………Semuanya membutuhkan HP agar lebih cepat komunikasinya. Membeli pulsa ibarat saya juga membeli beras karena sudah menjadi keharusan seperti sembako…yang harus ada setiap saat. Kadang-kadang saya transaksi dengan supplier lewat HP, terus nanti uangnya ditransfer lewat bank. Jadi sangat praktis, hemat waktu dan hemat tenaga meskipun harus keluar biaya untuk membeli pulsa.

(23)

2. Pada umumnya (83 persen) petani merasakan dapat dengan mudah mengapli-kasikan sarana teknologi informasi khususnya telepon genggam untuk berkomunikasi dengan pihak lain misalnya menelepon atau mengirimkan pesan. Namun demikian, untuk jenis sarana teknologi informasi dengan menggunakan komputer dan internet, sebagian besar petani merasa belum mudah mengaplikasikanya karena harus memerlukan pelatihan khusus.

3. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa sebagian besar (89 persen) responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi informasi dalam implementasi cyber extension lebih menguntungkan secara ekonomi dalam mendukung kegiatan usahatani apabila dibandingkan dengan sebelum menggunakan teknologi informasi. Keuntungan nyata yang sangat dirasakan oleh petani adalah dalam menghemat waktu dan biaya transportasi karena dibantu dengan pemanfaatan teknologi informasi khususnya dengan adanya telepon genggam. Dengan adanya telepon genggam, jangkauan pemasaran hasil pertanian juga lebih luas hingga mencapai luar kota bahkan sudah menjangkau luar pulau dan luar negeri. Keuntungan yang juga dirasakan petani dengan pemanfaatan teknologi informasi adalah dapat mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan melalui internet. Hal ini berbanding lurus dengan kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya dimana sebagian besar (lebih dari 90 persen) responden menyatakan sangat mudah untuk melihat hasilnya.

4. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa hampir seluruh (93%) persen) responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi informasi dalam implementasi cyber extension mudah dan sangat mudah dilihat hasilnya. Hal ini berbanding lurus dengan keuntungan relatif yang dapat dirasakan dengan adanya cyber extension. Petani yang belum mampu mengakses cyber extension pun sudah dapat melihat bahwa dengan adanya cyber extension, informasi yang dibutuhkan dapat lebih cepat diakses dan dapat memperluas jaringan pemasaran.

5. Sebagian besar (66 persen) responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi informasi dalam implementasi cyber extension utamanya dengan pemanfaatan telepon genggam sudah sesuai dengan budaya modern saat ini. Sebanyak 36% responden yang menyatakan tidak sesuai dan sangat tidak sesuai sebagian besar beralasan bahwa menggunakan teknologi informasi khususnya dengan akses internet belum membudaya di masyarakat karena selain sulit diakses juga

(24)

khawatir terhadap dampak negatif yang mungkin terjadi terkait dengan penipuan dan pornografi (cyber crime).

Berdasarkan hasil uji beda diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara persepsi petani di Jabar dengan persepsi petani di jatim terhadap karakteristik cyber extension kecuali pada persepsi petani terhadap keuntungan relatif cyber extension. Petani di Jatim memiliki persepsi yang lebih positif terhadap karakteristik cyber extension dibandingkan dengan petani di Jabar dalam hal kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan, kemudahan cyber extension untuk diaplikasikan, kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya, dan kesesuaian cyber extension dengan budaya. Hal ini dapat dipahami karena di Jatim, responden berdomisili di wilayah jangkauan Telecenter Kartini Mandiri yang relatif memiliki peluang lebih besar terhadap kegiatan sosialisasi pemanfaatan cyber extension untuk mendukung kegiatan usahatani dibandingkan dengan Jabar.

Gambar

Tabel 17 Produktivitas tahun 2008-2009 dan Sasaran tahun 2010 untuk  Komoditas Unggulan di BPP Pacet
Tabel 18  Jumlah Anggota Pedagang Sayuran di BPP Pacet menurut Nama  Asosiasi
Gambar 16  Perkembangan Luas Panen Tanaman Sayuran Kota Batu Tahun  2008-2009
Tabel 19  Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sayuran  Kota Batu Tahun 2008-2009  Uraian  Tahun  Kenaikan/penurunan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Feministit ovat kiinnittäneet huomiota myös siihen, että paradoksaalisesti nainen on kuitenkin myös hyvin arvostettu, mutta vain rooleissa, jotka eivät vaaranna miehistä

Proses pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metematika realistik dalam implementasinya perlu dilakukan pembuatan perencanaan pembelajaran yang baik.

Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh dalam bentuk skripsi dan mengambil penelitian di lingkungan kerja Dinas Koperasi, UKM,

Pada proses pencampuran partikel keramik ke dalam matrik cair, partikel keramik SiC biasanya tidak terbasahi permukaannya oleh matrik cair atau wettability yang kurang, dan

Barulah pada tanggal 29 September, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kepada

Gambar 4.11 merupakan Perancangan Form data transaksi, berfungsi untuk melihat total harga penawaran untuk semua barang lelang yang diajukan oleh setiap vendor.. Di

Contoh diambil dari setiap kemasan. a) Ambil contoh dari setiap kemasan dengan suatu alat pipa logam tahan karat atau pipa gelas yang mempunyai panjang 125 cm dan diameter 2 cm.

100 kg KCl/ha merupakan dosis standar yang dapat dijadikan sebagai pupuk dasar dalam budidaya kolesom karena dapat menghasilkan produksi pucuk kolesom yang lebih tinggi