• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Karo terdiri dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Karo terdiri dari"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karo1

Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini, menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi identitas seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya. Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan. Kebudayaan ini memainkan peran penting

merupakan salah satu sub etnis yang mendiami wilayah Sumatera Utara. Etnis Karo termasuk kedalam subetnis Batak. Masyarakat Karo memiliki budaya yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya. Salah satu bentuk warisan kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Karo terdiri dari berbagai macam seperti seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni musik. Seni musik merupakan salah satu warisan budaya yang terdapat pada masyarakat Karo yang sampai saat ini masih dilestarikan dan memiliki peranan penting untuk keberlangsungan seni budaya Karo. Hal ini dapat kita amati dari penggunaan seni musik di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Karo. Musik mendapat peranan penting dalam rangkaian upacara-upacara maupun hiburan rakyat dan hiburan pribadi yang menjadi kebiasaan pada masyarakat Karo.

1

Suku Karo berasal dari Kerajaan Haru yang berdasarkan legenda Karo sebagaimana disampaikan oleh H. Biak Ersada Ginting, berdiri kira-kira pada tahun 685 M yang berpusat di sekitar Teluk Haru, Langkat. Menurut babat Sunda dalam prinst, 2004, pada abad I M di Sumatera Utara sudah terdapat kerajaan dengan rajanya bernama ‘Pa Lagan’. Cerita tentang Raja Pa Lagan dari Kerajaan Haru ini diketahui dari buku Manimegelai karangan pujangga tenar yang sangat populer di India (Brahma Putra dalam Darwin Prints, 2004:9).

(2)

2

terhadap perilaku manusia dan benda benda hasil kreativitas mereka. Kebudayaan juga mengatur siklus atau daur hidup manusia sejak dari janin, lahir, anak, pubertas, dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Demikian juga yang terjadi didalam kebudayaan masyarakat Karo yang ada di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang.

Adat istiadat Karo, sebagaimana adat istiadat masyarakat suku-suku di wilayah Sumatera Utara umumnya, memiliki kesamaan untuk beberapa hal, termasuk dalam upacara kematian. Kesamaan tersebut disebabkan oleh karena wilayah Sumatera Utara cukup lama dipengaruhi Agama Hindu sebelum masuknya Agama Islam dan Kristen. Menurut kepercayaan Agama Hindu, upacara kematian adalah sebuah makna yang bersifat sakral, suci dan merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk melaksanakannya, karena di dalam upacara kematian akan tercapai sebuah keteraturan dalam keluarga inti (nuclear family) maupun keluarga besar (extended family) (Sarjani Tarigan 2009:108-109).

Tulisan ini akan membahas tentang nganggukken tangis, yaitu salah satu jenis musik vokal yang biasa disajikan dalam upacara kematian pada masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe. Secara harafiah, kata ‘nganggukken’ berasal dari kata ‘ngangguk’ yang artinya ‘ratapan yang mengalun lembut’, dan kata ‘tangis’ memiliki arti ‘menangis’. Ginting menegaskan bahwa nganggukken tangis pada masyarakat Karo sama dengan ‘rende’ yang artinya ‘bernyanyi’, karena kegiatan menangis terus menerus dengan mengungkapkan isi hati diyakini sebagai salah satu cara untuk

(3)

3

menyembuhkan luka hati2

Berdasarkan uraian di atas maka nganggukken tangis dapat diartikan sebagai nyanyian ratapan yang disajikan seseorang ketika berada dalam suasana dukacita.

. Dan ‘nurun’ adalah upacara kematian pada masyarakat Karo yang dilaksanakan sebelum jenazah dikebumikan.

Nganggukken tangis adalah nyanyian yang sering kali disajikan saat upacara nurun. Nganggukken tangis ini merupakan sebuah ungkapan rasa sedih yang sangat

mendalam atas kepergian seseorang yang sangat dikasihi/disayangi. Namun,

nganggukken tangis yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah nganggukken tangis yang terkait dengan konteks upacara nurun pada masyarakat Karo di desa

Sarilaba Jahe.

Pada umumnya nganggukken tangis kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Karena perempuan dianggap lebih memiliki perasaan.

Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, Nganggukken tangis adalah sesuatu yang disajikan dengan cara disenandungkan. Menurut pemahaman masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe apabila nganggukken tangis diungkapkan tanpa melantunkan lagunya, maka hal itu tidak disebut ngangguk (bernyanyi) melainkan ngerana (berbicara), dalam hal ini, khususnya dalam upacara kematian.

Saat penyajian, teks nganggukken tangis biasanya terungkap secara spontan berdasarkan suasana hati si pelaku. Teks yang disajikan pada saat melakukan

nganggukken tangis selalu menggunakan bahasa sehari-hari, termasuk

ungkapan-ungkapan yang digunakan, seperti ungkapan-ungkapan kesedihan dan penyesalan. Oleh karena itu skripsi ini akan lebih jauh mengindentifikasi kandungan nilai dan norma tersebut

(4)

4

di dalam teks nganggukken tangis. Dengan mendeskripsikan teks nganggukken tangis yaitu memahami makna wacana/teks; yang dalam hal ini dapat diartikan melihat arti yang tersurat maupun tersirat dari teks nganggukken tangis, serta memahami strukutur teksnya, maka akan dapat dipahami kemudian tentang fungsi nganggukken

tangis yang ada di desa Sarilaba Jahe.

Oleh karena nganggukken tangis merupakan sebuah nyanyian, tentulah juga memiliki struktur musikal. Melalui penganalisaan dimaksud diharapkan dapat memberikan gambaran umum struktur musikal nganggukken tangis ini.

Meskipun penyajian dari nganggukken tangis ini masih disajikan pada upacara kematian masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe, namum hal ini tidak menjadi perhatian bagi masyarakat serta belum banyak dikaji oleh para peneliti. Hal itu lah yang menyebabkan penulis terdorong untuk melakukan penelitian ini. Selain itu penulis tertarik untuk melihat apa fungsi sosial dan budaya nganggukken tangis itu sendiri dalam kehidupan masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe, dengan mengkaji teks nganggukken tangis tersebut.

Oleh karena itu penulis memberi judul Analisis Struktur Musikal, Tekstual

dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang pada tulis

1.2 Pokok Permasalahan

Ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain:

(5)

5

1. Apa fungsi nganggukken tangis dalam sebuah upacara nurun pada masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe?

2. Bagaimana struktur musikal nganggukken tangis? 3. Bagaimana struktur tekstual nganggukken tangis?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui fungsi nganggukken tangis dalam kehidupan masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe.

2. Untuk menganalisa struktur musikal nganggukken tangis. 3. Untuk menganalisa struktur tekstual nganggukken tangis.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Sebagai usaha untuk memperluas informasi mengenai kebudayaan Karo, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :

a. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai

nganggukken tangis dalam upacara nurun pada masyarakat Karo di

Departemen Etnomusikologi, Fakultas sastra, Universitas Sumatera Utara. b. Sebagai bahan masukan maupun perbandingan bagi yang memerlukan

untuk penelitian selanjutnya.

c. Sebagai bahan pendokumentasian terhadap kesenian tradisional Karo. d. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama

(6)

6 1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Nganggukken tangis adalah salah satu nyanyian atau musik vokal yang

terdapat pada masyarakat Karo yang disajikan dalam konteks kematian. Nganggukken

tangis merupakan nyanyian yang tidak memiliki teks yang baku, dengan kata lain

teks muncul dengan spontan berdasarkan suasana hati si penyaji (dalam konteks upacara kematian masyarakat Karo). Nganggukken yang artinya ‘mengalunkan ’,

tangis yang artinya ‘menangis’, dan nurun artinya ‘upacara kematian yang

dilaksanakan sebelum jenazah dikebumikan’. Jadi, nganggukken tangis adalah tangisan yang disajikan untuk orang yang sudah meninggal dalam sebuah upacara sebelum dikebumikan. Namun nganggukken tangis yang penulis maksud disini adalah nganggukken tangis yang terdapat dalam upacara nurun pada masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe yang disajikan oleh sangkep nggeluh3

Nyanyian merupakan bagian dari musik, secara umum musik terbagi atas tiga bagian yaitu: (1) musik vokal, (2) musik instrumental, dan (3) gabungan antara instrumental dan vokal. Yang dimaksud dengan musik vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut nyanyian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah

dari orang yang sudah

meninggal.

3 Sangkep Nggeluh adalah suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri atas senina, anak beru, dan kalimbubu (Tribal Collibium). (Darwan Prinst,S.H. dalam Adat Karo, 2008:43).

(7)

7

sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang merupakan alat atau media untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik. Berdasarkan uraian di atas maka nganggukken tangis dapat juga disebut sebagai musik vokal atau nyanyian, karena menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik, dan pola-pola melodi.

Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau ide ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut.Analisis yang penulis maksud disini adalah menelaah dan menguraikan struktur musikal nyanyian

nganggukken tangis, seperti melodi, pola ritem, kualitas suara, dan keras lembutnya

suara.

Struktur adalah cara bagaimana sesuatu itu dibangun/dibentuk dari beberapa unsur-unsur tertentu. Struktur musikal adalah unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah musik, seperti unsur melodi, pola ritem, dan lain sebagainya.

Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun kegunaan nganggukken tangis dalam kehidupan masyarakat Karo.

Sebagai landasan penelitian ini, tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari suatu nyanyian. Istilah teks dalam musik vokal berarti syair. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau

(8)

8

teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut makna sebenarnya (Keraf, 1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang artinya bersifat musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 2002 : 146-147). Menurut para ahli antropologi masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya (Carol R. Ember dan Melvin Ember dalam T.O. Ihromi 1994 : 22). Masyarakat Karo yang dimaksud penulis disini adalah masyarakat Karo yang tinggal dan menempati daerah Kabupaten Deli Serdang, khususnya masyarakat Karo yang tinggal di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru, di mana penulis melakukan pengamatan terhadap upacara kematian yang pernah dilaksanakan disana.

1.4.2 Teori

Dalam tulisan ini ada tiga pokok permasalahan yang penulis teliti dengan menggunakan teori dari para ahli, yang akan membantu penulis untuk mengerjakan pokok masalah tersebut. Tiga pokok permasalahan itu adalah : fungsi, musikal, dan tekstual, yang akan menggunakan tiga teori utama.

Untuk mengkaji penggunaan dan fungsi nganggukken tangis sebagai nyanyian ratapan kematian digunakan teori fungsi (use and function) yang ditawarkan oleh

(9)

9

Allan P. Merriam (1964). Teori fungsi adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan kepada saling ketergatungan anatara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Kajian atau analisis terhadap fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi. Dalam disiplin etnomusikologi, Merriam (1964:7-18) menyatakan bahwa dalam studi etnomusikologi, maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara keseluruhan. Untuk memahami penggunaan dan fungsi musik, khususnya dalam

nganggukken tangis, penulis berpedoman pada pendapat Allan P.Merriam (1962,

209-226) yang menyatakan tentang penggunaan musik yang meliputi perihal pemakaian musik dan konteks pemakaiannya atau bagaimana musik itu digunakan. Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan pleh Allan P.Merriam (1964, 217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan musik dengan kelembagaan sosial, (3) penggunaan musik dengan manusia dan alam, (4) penggunaan musik dengan nila-nilai estetika, dan (5) penggunaan musik dengan bahasa.

Untuk menemukan jawaban perihal fungsi musik, Merriam yang menyebutkan bahwa terdapat sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlmabangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial, (9) fungsi kesinambungan budaya, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

Lebih lanjut, secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya,membedakan pengertian

(10)

10

penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaa musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih lanjut Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagi berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to who his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and the perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the appoarch his god, he is employing a particular mechanism in conjuction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is ensperable here from the function religion which may perhaps be interpreted as establishment of a sense of security vis-à-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “Function” concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210).

Dari kutipan diatas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian dari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia, yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, berumah tangga, dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika seseorang menggunakan musik

(11)

11

untuk mendekatkan dari kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh adanya musik itu.

Dalam mengkaji aspek musikal ngangguken tangis yang disajikan secara melodis, penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh Malm yang dikenal dengan teori weighted scale. Pada prinsipnya teori weighted scale adalah teori yang lazim dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk menganalisis melodi baik itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada delapan parameter atau criteria yang perlu diperhatikan dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga nada (sacle), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence patterns), (7) formula melodi (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).

Dalam penelitian ini, sebelum menganalisis melodi nganggukken tangis yang disajikan oleh narasumber penulis, maka terlebih dahulu data audio ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis. Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah notasi tersebut di analisis.

Untuk melihat nganggukken tangis tergolong ke dalam bagian nyanyian tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis menngambil teori Brunvand. Ia membagi nyanyian rakyat menjadi tiga bagian, yakni:

(12)

12

1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (Functional folk song) adalah nyanyian yang katakata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok dengan irama di dalam aktivitas tertentu.

2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris (lirycal folk song) adalah nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi tanpa menceritakan kisah yang bersambung (koheren).

3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (Narative folk song) adalah nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah. (Danandjaya, 1984:146-152).

Dari keterangan di atas, nganggukken tangis merupakan nyanyian rakyat yang berfungsi dalam kebudayaannya, karena berhubungan langsung dengan kebudayaan masyarakat Karo desa Sarilaba Jahe.

Selanjutnya, untuk menganalisis teks-teks yang dinyanyikan dalam

ngangguken tangis ini, penulis juga menggunakan teori William P. Malm. Ia

menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1993:15)

(13)

13 1.5 Metode penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. (Koentjaraningrat 1997:16). Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memproleh fakta-fakta dan prinsip –prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3). Sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk dan Miller mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Kirk dan Miller dalam Moleong, 1989 : 3).

Menurut Curt Sachs dalam Nettl (1962:16) penelitian dalam etnomusikologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas musikal dalam sebuah kebudayaan manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi pentranskripsian, menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data4

Dalam rangka mendeskripsikan sebuah musik, kita dianjurkan memperhatikan strukturnya, maka dilakukanlah transkripsi terhadap musik tersebut. Dalam melakukan transkripsi terhadap suatu musik, kita dapat menggunakan dua

.

4Curt Sachs dalam Bruno Nettl, 1964 : 62

(14)

14

pendekatan, seperti yang diungkapkan oleh Nettl; pertama kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan kedua kita dapat mendeskripsikan apa yang kita lihat dan menuliskannya di atas kertas dengan cara penulisan tertentu (1964:98).

Apa yang dikemukakan oleh Nettl ini akan dijadikan pedoman oleh penulis dalam menganalisis. Dengan berpedoman pada pendekatan yang ke dua, gaya melodi yang terdapat dalam nganggukken tangis. Penulis juga melakukan pendekatan emik dan etik dalam penelitian ini, karena penulis adalah ‟orang dalam‟ (insider). Penulis menganggap hal ini penting karena dapat membantu penulis untuk mendapatkan semua informasi. Conrad dalam bukunya Cultural Anthropology mengemukakan:

Emic approaches focus on native perceptions and explanations. Etic approaches give priority to the ethnographer’s own observations and conclusions.

Conrad menyebutkan pendekatan emik merupakan fokus pendekatan menurut pandangan dan keterangan pemilik budaya tersebut, sedangkan pendekatan etik adalah pendekatan berdasarkan pengamatan dan kesimpulan peneliti itu sendiri5. Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Karo denganpendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif. Adapun metode-metode yang penulis lakukan dalam penulisan skripsi ini adalah: studi kepustakaan, penelitian lapangan dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi ke tiga metode tersebut akan dijelaskan selajutnya.

(15)

15 1.5.1 Studi kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapat input atau masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti.

Untuk melengkapi pengetahuan penulis dalam menulis skripsi ini, penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh salah seorang sarjana Etnomusikologi yaitu Tety Silva Kurnia Ginting dengan judul Analisis Struktur Musikal, Tekstual Dan Fungsi Sosial Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Masyarakat Karo Di Berastagi (2012), Marliana Manik dengan judul Analisis Fungsi, Tekstual, dan Musikal Tangis Simate Suatu Genre Nyanyian Ratapan dalam Konteks Kematian pada Masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil (2012), Ucok Haleluya Silalahi dengan judul Ahoi Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara : Suatu Kajian Tekstual dan Musikal (2011), Vanesia Sebayang dengan judul Dalan Gendang: Analisis Pola Ritme Dalam Ensambel Gendang Lima Sendalanen Oleh Tiga Pemusik Karo (2011). Dengan mempelajari skripsi ini penulis menemukan cara yang akan sangat membantu untuk penambahan informasi dalam penulisan skripsi ini.

(16)

16

Disamping itu, penulis juga membaca dan mendapat informasi dari beberapa buku, seperti The Anthropology of Music, tulisan Alan P. Merriam, 1964; Theory and

Method in Ethnomusicology, karya Bruno Nettl, 1864; Pokok-pokok Antropologi Budaya, karya T.O. Ihromi, 1987; Drs. Sarjani Tarigan, MSP (2010), M. Ukur

Ginting (Bp. Sulngam) (2013) Darwan Prints S.H (2008). Adapun informasi yang penulis peroleh dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan menganai adat istiadat dalam upacara kematian pada masyarakat Karo, sistem kekerabatan, dan sistem religinya.

1.5.2 Kerja lapangan 1.5.2.1 Observasi

Dalam kerja lapangan penulis melakukan kegiatan pengamatan dan pengambilan data terhadap jalannya upacara kematian tersebut. Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian lapangan, penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi.

1.5.2.2 Wawancara

Penulis akan melakukan berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, penyaji maupun individu-individu yang pernah terlibat dalam menyajikan

nganggukken tangis ini. Wawancara dengan informan yang pernah terlibat

melaksanakan nganggukken tangis penulis lakukan di desa Sarilaba Jahe, tempat dimana informan tersebut menetap. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free

(17)

17

interview) yaitu pertanyaan tidak hanya terfokus pada pokok permasalahan tetapi

pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh berbagai ragam data, namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Hal ini penulis lakukan untuk mendukung data yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi kepustakaan.

1.5.2.3 Rekaman

Perekaman terhadap upacara kematian yang menyajikan nganggukken tangis dilakukan di Jambur Kuta desa Sarilaba Jahe. Penulis juga melakukan perekaman tambahan dengan meminta informan yang pernah terlibat dalam penyajian

nganggukken tangis untuk menyajikan nganggukken tangis itu sendiri. Perekaman

audio-visual juga dilakukan selama upacara berlangsung. Perekaman audio menggunakan kamera DSLR Canon 700D yang sudah dilengkapi dengan alat perekam di dalamnya. Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar kegiatan. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan baik pada saat kegiatan. Rekaman ini dilakukan secara digital. Gelombang suara yang muncul dari suara si penyaji sesuai dengan permintaan penulis. Direkam secara

langsung juga dari kamera digital DSLR Canon 700D. Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-adegan yang terjadi dalam upacara juga tetap dilakukan dengan menggunakan kamera digital DSLR Canon 700D.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium akan dilakukan proses penganalisisan terhadap semua data-data yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan

(18)

18

maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

1.6 Lokasi penelitian

Lokasi yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal masyarakat karo yang ada di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang.

Adapun alasan penulis memilih lokasi ini adalah, karena Sarilaba Jahe merupakan salah satu daerah tempat bermukimnya sebagian masyarakat suku Karo di Kabupaten Deli Serdang, dengan begitu praktek penyajian nganggukken tangis masih sangat mudah ditemukan. Selain itu Desa Sarilaba Jahe juga merupakan daerah yang tidak jauh letaknya dari kampung halaman penulis dan semua kerabat dekat penulis menetap disana, sehingga mudah bagi penulis untuk mencari dan mendapatkan informan. Dalam melakukan wawancara dengan beberapa informan penulis juga tidak menemukan adanya kendala ataupun kesulitan, karena penulis menguasai bahasa Karo dengan baik, yang merupakan bahasa pengantar masyarakat di Desa Sarilaba Jahe. Dekatnya jarak dari kampus penulis yang berada di Medan dengan Sarilaba Jahe merupakan salah satu alasan penulis memilih lokasi ini. Karena dekatnya jarak tempuh tersebut, penulis dapat melakukan perjalanan pulang dan pergi hanya dalam waktu sehari saja.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah: (a)

Dalam tulisan ini, penulis memilih Kebal Kaban sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah:

Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah: (a)

BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO JAHE DI DESA RAJA TENGAH KABUPATEN LANGKAT, DAN BIOGRAFI RINGKAS LAPE SITEPU SEBAGAI SENIMAN MUSIK TRADISIONAL GENDANG

Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah: (a)

Studi Deskriptif Musik Vokal Gendang Keramat dalam Upacara Erpangir Kulau Perumah II Nujung Meriah Ukur pada Masyarakat Karo.. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU

Disamping kedua upacara adat tersebut diatas masih ada beberapa upacara-upacara adat lain yang juga dilakukan oleh masyarakat Karo dalam kehidupan mereka yaitu, memasuki rumah

Membahas tentang perubahan secara fungsi musik dalam upacara Cawir Metua pada masyarakat Karo di Jakarta, adalah sebuah penelitian yang terfokus untuk mengetahui tanggapan dari mereka