PENGARUH PEMUPUKAN N DAN PUPUK KANDANG
TERHADAP HASIL BIOMAS DAN DAYA DUKUNG TERNAK
PADA DYSTRUDEPT DI SUBANG
(The Effect of N ad Cattle Dung Fertilizers to Biomas Production and
Carrying Capacity on Subang District)
JOKO PURNOMO1,ENGGIS TUHERKIH1danNURHAYATI2
1Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT
Ninthy percent of national cow meat production depending on traditional husbandry mainly consumed native forage which was low in quality and quantity was not same distributed lengthen of a year. One action for increasing quality and quantity of forage is improving soil fertility and introducing high yielding of forage. The research activity was located at Typic Dystrudept in Station Research Wera, Subang District that has low content in C-organic, N-total, P-Bray I, Mg, but high of Al saturation. The purpose of study was to improve soil organic matter, to increase efficiency of N fertilization for forage production. Treatments were arranged with randomized block design with three replications. The experiment consisted of 10 incomplete combinations of four factors. The four factors were: (a) three forage patterns: (Panicum maximum monoculture; Arachis pintoi and D. Rensonii with land area ratio 66%: 34%; P. maximum, A. pintoi and D.
Rensonii = 55%: 25%: 20%); (b) four rates of urea (0, 100, 200 and 300 kg/ha); (c) four rates of cattle dung
(0, 2.5, 5 and 10 t/ha), and (d) two application of bio-fertilizers (with and with out bio-fertilizer). The study showed that application of urea and dung significantly increased biomass of forages and optimum rate for urea was 200 kg/ha and 5 t/ha for dung yielded biomass cutting of P. maximum, A. pintoi and D. Rensonii were 11.35, 0.9, and 4.03 t biomass/ha/6 weeks, respectively. However, Application of urea and dung significantly increased carrying capacity for cows from 5.7-cow unit/ha to 8.0 animal unit/ha.
Key Word: Forage Crop, Fertilizers, Carrying Capacity ABSTRAK
Sembilan puluh persen produksi daging sapi nasional bersumber dari peternakan rakyat yang terutama mengkonsumsi pakan alami dengan kualitas rendah dan kuantitas pakan yang tidak merata sepanjang tahun. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pakan adalah melalui peningkatan kesuburan tanah dan introduksi pakan unggul. Penelitian ditempatkan pada Typic Dystrudept di Kebun Percobaan Wera Kabupaten Subang yang berkadar C-organik, N-total, P-Bray I, dan Mg rendah, serta kejenuhan Al tinggi. Tujuan penelitian adalah untuk memperbaiki kadar bahan organik, meningkatkan efisiensi pemupukan N, dan produksi tanaman pakan ternak (TPT). Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Penelitian pertama terdiri dari 10 perlakuan dengan kombinasi tidak lengkap dari empat faktor. Keempat faktor tersebut adalah: (a) tiga tata botani pakan (Panicum maximum tanaman tunggal; Arachis
pintoi : Desmodium Rensonii dengan perbandingan luas 66% : 34%; dan P. maximum : A. pintoi : D. Rensonii
= 55% : 25% : 20%), (b) empat takaran pupuk urea (0, 100, 200, dan 300 kg/ha), (c) empat takaran pupuk kandang (pukan) (0, 2,5, 5, dan 10 t/ha), dan (d) dua perlakuan pupuk bio (tanpa dan dengan pupuk bio). Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea dan pupuk kandang nyata meningkatkan hasil pangkasan TPT dan takaran optimumnya adalah 200 kg urea/ha dan 5 t pukan/ha yang menghasilkan pangkasan P. maximum, A. Pintoi, dan D. Rensonii masing-masing sebesar 11,35; 0,9; dan 4,03 t/ha/6 minggu. Selain itu, pemberian 200 kg urea/ha dan 5 t pukan/ha meningkatkan daya dukung ternak sapi secara nyata dari 5,7 satuan ternak sapi (ST)/ha menjadi 8,0 ST/ha.
PENDAHULUAN
Potensi lahan dan peluang pengembangan peternakan ruminansia di Indonesia masih sangat besar. Evaluasi kesesuaian lahan untuk peternakan pada 11 propinsi menunjukkan bahwa terdapat sekitar 21,5 juta ha lahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan peternakan dimana seluas 14,5 juta ha berpotensi tinggi. Data ini menggambarkan potensi bahwa lahan untuk pengembangan peternakan masih sangat besar dan dapat diusahakan berdampingan dengan lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan, atau pada padang penggembalaan (SURATMAN, 2003).
Pengelolaan lahan memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi dan kualitas pakan. Sebagai contoh, program pengembangan ternak sapi yang terkait dengan transmigrasi di Jambi, pada awalnya (tahun 1980an) kematian ternak sangat tinggi yang disebabkan tanah kahat hara makro dan mikro, hingga bertahun-tahun petani enggan memelihara sapi, tetapi saat ini dengan mulai meningkatnya kesuburan tanah kematian ternak sapi makin jarang ditemui (komunikasi pribadi dengan peternak sapi di Desa Tanjung Benuang, Kab. Merangin pada Agustus 2003). TUHERKIH dan NURJAYA (2003) mengemukakan bahwa kandungan hara pada tanaman pakan ternak (TPT) alami sangat tergantung pada tingkat perkembangan tanah. Perkembangan tanah yang semakin lanjut mengakibatkan kadar Ca dan Mg pada pakan alami di empat kabupaten di Jambi cenderung semakin menurun.
Faktor penghambat perkembangan peternakan ruminansia diantaranya adalah rendahnya mutu pakan dan manajemen. Pengembangan ternak ruminasia besar secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas atau tingkat kesuburan tanah. Sekitar 70–80% komposisi pakan ternak ruminansia besar adalah TPT. Seperti halnya tanaman yang lain, kuantitas dan kualitas TPT sangat ditentukan oleh kemampuan tanah untuk menyediakan hara. Apabila TPT tersebut tumbuh pada tanah yang kahat hara, maka pertumbuhan ternak menjadi kurang baik. Peningkatan kesuburan tanah untuk memproduksi pakan sangat besar
akan menempatkan TPT sebagai salah satu penggerak industri peternakan ruminansia.
Kombinasi penanaman rumput dan legum unggul sangat dianjurkan untuk meningkatkan kesuburan tanah (DIR.BINPROD.PETERNAKAN, 1999). Hal ini berkaitan dengan semakin sedikitnya pupuk buatan yang diberikan, akar rumput dan legum yang tersebar di lapisan atas tanah dapat menekan erosi dan aliran permukaan, sementara akar legum yang mempunyai perakaran lebih dalam dapat menarik air dan hara tanah ke permukaan mampu mengikat N yang bersimbiose dengan rizhobium.
Pengalaman menunjukkan bahwa terdapat respon pemupukan terhadap produksi dan mutu pakan ternak. Sorgum pakan yang ditanam pada Ultisol di Jambi respon terhadap pemberian pupuk N, P, dan K. MARYAM et al. (2000) mengemukakan bahwa pemberian 135 kg N/ha menghasilkan pangkasan 3 t/ha atau meningkat dua kali lipat dibandingkan tanpa N, sedangkan pemberian 90 kg P/ha menghasilkan pangkasan 3,4 t/ha atau meningkat lima kali lebih banyak dibandingkan tanpa P. Pemberian 120 kg K/ha meningkatkan hasil pangkasan sorgum 3 t/ha atau meningkat 3 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa K Selain itu, pemberian pupuk NPK meningkatkan kadar N, P, dan K dan tanah dan serapan N, P, dan K oleh sorgum. TUHERKIH et al. (1999) mengemukakan bahwa pemberian 30 kg S/ha meningkatkan kadar S tanah; dan kadar S, protein kasar, dan serat kasar dari hijauan pakan Paspalum sp. dan Arachis glabrata. Pemupukan S pada hijauan pakan pada padang penggembalaan di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan bobot ternak 15%/tahun (BLAIR dan TILL, 1981).
Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N melalui pemberian pukan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produksi tanaman pakan ternak.
MATERI DAN METODE
Tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan batuan volkan masam dan intermedier, sedangkan fisiografi lahan tergolong volkan. Berdasarkan peta tanah tinjau skala 1 : 250.000
tersebut tergolong pada Dystropept. Kelas kesesuaian lahan untuk palawija jagung, ubikayu/ubijalar, dan kacang-kacangan adalah S3 (sesuai bersyarat) dengan kendala media perakaran, ketersediaan hara rendah (N, P, K), dan retensi hara yang tinggi. Untuk meningkatkan produktivitas tanah maka diperlukan pengapuran untuk jenis tanaman peka kemasaman, perbaikan media perakaran, mengurangi besarnya retensi hara, dan pemupukan serta pemberian bahan organik.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dengan 10 perlakuan dan diulang 3 kali. Kombinasi perlakuan terdiri dari pemberian urea dan pupuk kandang, serta introduksi tata botani pakan (Tabel 1). Luas petakan yang digunakan adalah 7,5 m x 5 m. Tanaman indikator yang digunakan adalah
Panicum maximum (rumput Benggala) dan
legum Desmodium rensonii, dan Arachis
pintoi. Tata botani yang dimaksud adalah
pengaturan tanam yaitu ketiga TPT ditanam secara tunggal (perlakuan 1), campuran antar legum (perlakuan 2), dan campuran rumput dan legum (perlakuan 3-10). Perbandingan luas tanam pada perlakuan satu adalah 100 % ditanami P. maximum, pada perlakuan 2 yaitu
D. Rensonii : A. pintoi = 66 : 34, kombinasi P. maximum : A. pintoi : D. Rensonii adalah 55 :
25 : 20. Rumput P. maximum (pertanaman tunggal) ditanam pada jarak tanam 40 x 40 cm;
sedangkan bila dikombinasikan dengan legum menggunakan jarak tanam 1,2 m x 40 cm. Perbandingan luas legum : rumput = 50 : 50. Legum Arachis pintoi dan Desmodium rensonii ditanam berselang-seling dengan jarak tanam 30 cm x 20 cm dan 60 cm x 40 cm
Untuk keseragaman dan menghindari kematian, P. maximum dan A. pintoi disemai terlebih dahulu pada polibag dengan menggunakan stek, sedangkan untuk
Desmodium rensonii ditanam menggunakan
biji. Penanaman ke petak percobaan dilakukan pada umur enam minggu. Aplikasi pupuk bio dilakukan 3 minggu setelah tanam pada polibag.
Pupuk dasar yang diberikan adalah kalsit (CaCO3) setara dengan 1/2 x Aldd, 200 kg SP 36 ha-1tahun-1, sedangkan takaran KCl adalah 150 kg ha-1 hingga pemangkasan pertama. Pemberian KCl berikutnya diberikan 1/3 dosis setiap habis pemangkasan. Semua takaran SP-36, kapur, bahan dan organik (sesuai perlakuan) diinkubasi selama satu minggu. Ketiga bahan pupuk tersebut diberikan dengan cara disebar dan diaduk merata di seluruh petakan. Urea (sesuai perlakuan) dan KCl diberikan 2 kali masing-masing setengah takaran pada saat tanam dan 4 minggu setelah tanam (MST). Pemupukan pemeliharaan dilakukan setiap habis pemangkasan dengan 1/3 takaran (Tabel 1).
Tabel 1. Kombinasi perlakuan tata botani, urea, pukan, dan pupuk bio di Kabupaten Subang
No Tata botani Urea Pukan Pupuk Bio
(kg/ha) (t/ha) T-1 P. maximum 200 5 0 T-2 A. pintoi + D. rensonii (LM) 200 5 0 T-3 P. maximum + LM 0 0 0 T-4 P. maximum + LM 200 0 0 T-5 P. maximum + LM 200 5 0 T-6 P. maximum + LM 200 5 * T-7 P. maximum + LM 100 5 * T-8 P. maximum + LM 300 5 * T-9 P. maximum + LM 200 2,5 * T-10 P. maximum + LM 200 10 *
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat kimia tanah sebelum percobaan
Tekstur tanah Dystrudept lapisan atas (0−15 cm) adalah lempung berliat dengan tingkat kesuburan termasuk rendah. Kendala kesuburan tanah antara lain: tanahnya masam, kadar C-organik dan N-total rendah, kadar P tersedia rendah (Bray I) walaupun kadar P-potensialnya tinggi, kadar HCl 25% dan K-dd tergolong rendah, selain itu kadar kation tukar Ca dan Mg juga rendah, sedangkan KTK tanah tergolong sedang (Tabel 2).
Kadar C-organik di lokasi penelitian sekitar 1,0–1,5% dan tergolong rendah. Bahan organik mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembaik tanah baik sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah salah satunya dilakukan dengan usaha mempertahankan kadar bahan organik tanah. Sumber bahan organik yang dapat diberikan adalah pupuk kandang, sisa panen, kompos, dan tanaman penutup tanah. Rendahnya kadar N-total sejalan dengan kadar bahan organiknya yang rendah.
Tabel 2. Sifat fisik dan kimia tanah Dystrudept yang diambil secara komposit, kedalaman 0-15 cm di lokasi
percobaan
Nilai analisis Jenis penetapan
Contoh 1 Contoh 2 Contoh 3
Tekstur Lempung berliat Lempung berliat Lempung berliat
Pasir (%) 7 7 8 Debu (%) 29 33 26 Liat (%) 64 60 66 pH (1: 5)–H2O 4,4 4,4 4,5 pH (1: 5)–KCl 3,9 3,9 3,9 Bahan organik C-organik (%) 1,06 1,54 1,44 N-total (%) 0,14 0,19 0,17 C/N 8 8 8 P–HCl 25% (mg P2O5/100 g) 62 72 73 K–HCL 25% (mg K2O/100 g) 23 21 32 P-Bray-1 (ppm P2O5) 3,6 5,5 7,2
Nilai Tukar Kation
Ca-dd (me/ 100 g) 1,47 2,50 2,82 Mg-dd (me/ 100 g) 1,70 1,05 1,47 K-dd (me/ 100 g) 0,36 0,32 0,47 Na-dd (me/ 100 g) 0,18 0,12 0,31 Jumlah kation 3,71 3,99 5,07 KTK (me/100 g) 17,59 18,65 18,76 KCl 1 N–Al3+ (me/ 100 g) 2,94 2,94 3,36 KCl 1 N–H+ (me/ 100 g) 0,34 0,36 0,43 Kejenuhan Al (%) 55 57 40
Rendahnya kadar P-tersedia berhubungan erat dengan tingginya kadar Al-dd dalam tanah, karena Al+3 mampu mengikat P menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini ditunjukkan bahwa kadar P-potensial (HCl 25%) sangat tinggi ( lebih dari 60 mg P2O5/100 gram tanah), sedangkan kadar P-tersedia (Bray I) sangat rendah yaitu sekitar 3,6–7,2 ppm P2O5. Usaha untuk meningkatkan kadar P-tersedia dapat dilakukan dengan pemberian pupuk P ataupun bahan pembaik tanah, seperti kapur dan bahan organik.
Salah satu kendala pertumbuhan tanaman pangan terutama kacang-kacangan dan seralia pada lahan masam adalah tanahnya bereaksi masam dan kejenuhan Al yang tinggi. Kadar Al+3 sekitar 2,94–3,36 me/100 g dengan kejenuhan Al adalah 40–55% dan tergolong tinggi (Tabel 2). Untuk mengatasi kejenuhan Al dan untuk meningkatkan pH tanah digunakan kapur. Selain itu, pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat kimia tanah dalam hubungannya dengan ketersediaan hara tanaman dan menekan keracunan, meningkatkan kadar Ca. Pemberian kapur hanya diberikan sampai ambang batas toleransi
kejenuhan Al masing-masing tanaman, sehingga tidak semua Al-dd harus dinetralkan. Pada penelitian ini kapur diberikan sebanyak 1/2 x Al-dd; atau setara dengan 1,5 t kapur/ha.
Pemupukan N dan bahan organik
Penanaman Desmodium rensonii, Panicum
maximum, dan Arachis pintoi telah
dilaksanakan tanggal pada 9-10 Nopember 2004. Keterlambatan tanam lebih dari satu bulan disebabkan datangnya musim hujan yang terlambat dari biasanya yang jatuh pada awal Oktober. Pada pengamatan 5 MST menunjukkan bahwa tanpa pemberian pupuk kandang dan urea (perlakuan T-3) menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah anakan dan biomas P. maximum yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 3). Hal ini disebabkan tanah di lokasi penelitian kahat N dan berkadar bahan organik rendah, sehingga pemberian ke dua bahan tersebut dapat memperbaiki kesuburan tanah yang selanjutnya berdampak pada hasil tanaman.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah anakan dan tinggi P. Maximum, dan jumlah bintil dan tinggi
D. Rensonii, serta penutupan tanah oleh TPT pada 5 MST di Dystrudept, Subang*
P. Maximum D. Rensonii Penutupan TPT
No Tata botani*** Pukan Urea
Tinggi Anakan Tinggi Bintil
t/ha kg/ha cm anak cm buah %
T1 P. maximum 5 200 186a** 20 b - - 100a
T2 pintoi + D. rensonii (LM) 5 200 - - 57b 46 63c T3 P. maximum + LM 0 0 153b 20b 57b 8 83b T4 P. maximum + LM 0 200 165ab 23ab 66b 21 93a T5 P. maximum + LM 5 200 169ab 28a 72ab 64 93a T6 P. maximum + LM 5 200 180a 23ab 79a 26 93a T7 P. maximum + LM 5 100 172ab 22ab 70ab 21 93a T8 P. maximum + LM 5 300 163ab 23ab 77a 10 93a T9 P. maximum + LM 2,5 200 162ab 22ab 71ab 21 93a T10 P. maximum + LM 10 200 175ab 21b 80a 25 93a *TPT = P. maximum, D. Rensonii, dan A. Pintoi
**Angka dalam kolom sama dan didampingi huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan’s 5% ***Perlakuan T-6 sampai T10 diaplikasikan pupuk bio
Sebagaimana halnya dengan P. maximum,
D. Rensonii juga memberikan respon terhadap
pemupukan urea dan pupuk kandang yang diberikan (Tabel 3). Hal ini tercermin dengan meningkatkan tinggi tanaman yang disebabkan oleh pemberian ke dua pupuk tersebut. Tanpa urea dan pupuk kandang tinggi tanaman D.
Rensonii sekitar 57 cm, meningkat menjadi 72
cm dan 77 cm dengan pemberian 200 dan 300 kg urea/ha. Pemberian pupuk kandang 10 t/ha menghasilkan tinggi tanaman 80 cm, sedangkan tanpa pupuk kandang adalah 57 cm.
Panicum maximum relatif cepat menutup
tanah, hal ini ditunjukkan oleh hasil penutupan tanah 100% pada 5 MST, sedangkan kacang-kacangan (T-2) baru menutup 63%, sedangkan pada perlakuan dengan leguminosa (T3−T10) menutup sekitar 93% (Tabel 3).
Pemberian pupuk urea dan pupuk kandang nyata meningkatkan biomas P. maximum dan takaran optimum untuk urea adalah 200 kg SP 36/ha, sedangkan untuk pupuk kandang adalah 5 t/ha (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman memberikan respon terhadap bahan pupuk yang diberikan.
Gambar 1. Hubungan antara pemupukan urea dan pupuk kandang terhadap biomas basah P. maximum di
Subang pada 5 MST
Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap biomas basah dan daya dukung P. Maximum pangkasan pertama (5
MST) pada Dystrudept, Subang*
No Tata botani1) Pukan Urea Biomas Daya dukung
t/ha kg/ha t/ha ST/ha2)
T1 P. maximum 5 200 39,0 a3) 8.1 T2 A. pintoi + D. rensonii (LM) 5 200 - - T3 P. maximum + LM 0 0 16,8 d 3.5 T4 P. maximum + LM 0 200 25,4 bc 5.3 T5 P. maximum + LM 5 200 29,6 b 6.2 T6 P. maximum + LM 5 200 30,9 b 6.5 T7 P. maximum + LM 5 100 25,4 bc 5.3 T8 P. maximum + LM 5 300 30,3 b 6.3 T9 P. maximum + LM 2.5 200 22,9 cd 4.8 T10 P. maximum + LM 10 200 30,1 b 6.3
1)Perlakuan T6 sampai T10 diaplikasikan pupuk bio y = 16,4 + 0,098 x -0,0002x2 R2 = 0,99 0 10 20 30 40 0 100 200 300 Urea (kg/ha) B iom as P m a xi m u m ( t/ha) y = 15,9 + 3,50 - 0,2069x2 R2 = 0,96 0 10 20 30 40 0 2.5 5 7.5 10
Pupuk kandang (t/ha)
Bi o m a s P. ma xi mu m (t /h a )
Pada pemangkasan pertama daya dukung ternak dari Panicum maximum yang baru dapat diketahui, karena tanaman legum belum dapat dipanen. Panicum maximum tanaman tunggal (T-1) menghasilkan biomas P. maximum lebih banyak dibandingkan kombinasi antar ketiganya (T-3 sampai T-10). Daya dukung ternak pada perlakuan tanpa urea dan pupuk kandang hanya sekitar 3,5 ST/ha dapat ditingkatkan dengan pemberian urea 200 kg/ha atau pupuk kandang 5 t/ha menjadi sebesar 6,3 ST/ha/tahun (Tabel 4). Jadi dengan pemupukan urea dan pupuk kandang daya dukung ternak sapi dapat ditingkatkan 2 kali lebih banyak.
Pertanaman tunggal P. maximum (T-1) menghasilkan daya dukung ternak paling tinggi yaitu 8,1 ST/ha, sedangkan kombinasi dengan leguminosa (T-5) hanya menghasilkan 6,2 ST/tahun/ha. Hal ini disebabkan pada pertanaman tunggal semua areal ditanami P.
maximum (100%), sedangkan pada kombinasi
3 tanaman areal ditanami P. maximum hanya menempati 55%. Kombinasi dengan legum dan rumput bertujuan untuk meningkatkan kualitas hijauan pakan terutama dalam hal peningkatan kadar protein dan produksi pakannya.
Pada pemangkasan kedua, pemberian pupuk kandang, urea, serta tata botani pakan tidak menghasilkan beda nyata biomas P.
maximum antar perlakuan (Tabel 5). Biomas A. Pintoi dan D. Rensonii tertinggi dicapai
pada perlakuan T-2 masing-masing sebesar 6,60 t dan 6,92 t/ha dan hasil ini berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lain. Perbedaan
hasil biomas A. Pintoi dan D. Rensonii disebabkan pada perlakuan T-2 luas tanamnya masing-masing 55% dan 45%, sedangkan pada perlakuan yang lain (T3 sampai T10) luas tanamnya 25 dan 20%. Pada tata botani yang sama yaitu pada perlakuan T-3 hingga T-10, pengaruh bahan organik dan urea tidak nyata meningkatkan hasil pangkasan A. Pintoi dan
D. Rensonii. Daya dukung ternak dihitung
dengan menjumlahkan semua TPT pada petakan yang sama. Daya dukung ternak tertinggi sebesar 8,0 ST/ha dicapai pada perlakuan T-8 (5 t pukan/ha dan 300 urea/ha) dan berbeda nyata dengan perlakuan T3 (tanpa pukan dan urea) sebesar 5,7 t/ha. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan biomas dan daya dukung ternak yang tinggi pada Dystrudept di Subang perlu pemberian bahan organik dan pupuk N.
KESIMPULAN
Pemberian pupuk kandang (pukan) dan urea nyata meningkatkan pangkasan biomas
Panicum maximum dengan takaran optimum 5 t
pukan/ha dan 200 kg urea/ha dan meningkatkan daya dukung menjadi 6,5 satuan ternak sapi/ha dari 3,5 satua ternak/ha dibandingkan tanpa pukan dan urea.
Kombinasi ketiga tanaman pakan tersebut juga tidak berbeda nyata dibandingkan dengan pertanaman tunggal P. Maximum.
Tabel 5. Hasil biomas P. maximum, A. pintoi, dan D. rensonii pangkasan ke dua (11 MST) pada Dystrudept,
Subang
No Tata botani Pukan Urea P. Maximum A. Pintoi D. rensonii Daya
dukung
t/ha kg/ha t/ha ton /ha t/ha ST/ha
T-1 P. maximum 5 200 13,67a - - 7,0ab
T-2 pintoi + D. rensonii (LM) 5 200 - 6,60a 6,92a 6,7ab
T-3 P. maximum + LM 0 0 9,36a 0,83bc 1,56b 5,7b T-4 P. maximum + LM 0 200 13,21a 0,74c 2,09b 6,3ab T-5 P. maximum + LM 5 200 7,95a 0,69c 3,74b 6,3ab T-6 P. maximum + LM 5 200 10,65a 0,83bc 3,16b 7,3ab T-7 P. maximum + LM 5 100 11,35a 0,90bc 4,03b 8,0a T-8 P. maximum + LM 5 300 13,10a 0,76bc 2,46b 8,3a T-9 P. maximum + LM 2,5 200 10,17a 1,04b 3,16b 7,3ab
DAFTAR PUSTAKA
BLAIR, G.J. and A.R. TILL. 1981. Sulphur in Southeast Asia. Sulphur in Agric. 5: 5−11. DIR. BUD. PETERNAKAN. 2002. Model
pengembangan sapi Hissar di Indonesia. Direktorat Budidaya-Dirjen Bina Produksi Peternakan.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1965. Peta Tanah Tinjau Kabupaten Subang Skala 1 : 250.000. MARYAM, E. TUHERKIH dan J. PURNOMO. 2000.
Respon pemupukan N, P, dan K terhadap produksi hijauan sorgum pakan pada Tanah Ultisol, Jambi. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Lido, 6-8 Des ember 1999. hlm. 159−177.
PUSLITTANAK. 1990. Peta tanah tinjau Pantura Bagian Timur Propinsi Jawa Barat Skala 1 : 250.000.
SURATMAN. 2003. Lahan potensial untuk pengembangan peternakan ruminansia di Indonesia. Berita HITI. Vol. 9 No 24. Januari 2003. hlm. 29−31
TUHERKIH, E. dan NURYAJA. 2003. Identifikasi status hara Ca, Mg, dan K dalam tanah dan pakan ternak pada lahan penggembalaan di Propinsi Jambi. Makalah diseminarkan pada tanggal 21−23 Juli 2003 di Konggres HITI VIII Padang.
TUHERKIH,E.,J.PURNOMO dan D.SANTOSO. 2000. Pengelolaan hara Ca, Mg, K pada tanah Ultisol untuk meningkatkan produktivitas tanaman pakan ternak. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua, 9–11 Februari 2000. hlm. 425–444
DISKUSI Pertanyaan:
Penggunaan urea pada HMT berkompetisi dengan penggunaan urea untuk tanaman pangan dan perkebunan, mengapa tidak memanfaatkan pupuk organik feses ternak ruminansia?
Jawaban:
Untuk mendapatkan biomasa tinggi dari HMT yang ditanam pada tanah yang kurang subur adalah pupuk. Pemberian urea dan pupuk kandang di daerah pengamatan menunjukkan hasil yang memuaskan. Kompetisi penggunaan pupuk urea untuk HMT atau pangan, tidak masalah dan sangat tergantung pada pilihan petani.