• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Sebagai Sebuah Sistem Pemeliharaan Kesehatan

2.1.1. Konsep Penyelenggaraan Program JPK

JPK adalah cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dasar paripurna (komprehensif) berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilakukan secara praupaya. Pemeliharaan kesehatan berarti upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan (UU No. 3 Tahun 1992). Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya penyembuhan penyakit (kuratif) (Penjelasan UU No. 3 Tahun 1992).

Program JPK diselenggarakan dengan berpedoman pada konsep managed care yang mengintegrasikasikan pembiayaan terkendali dengan kualitas pelayanan yang dapat diterima peserta. Dalam penerapannya, program JPK mengacu pada prinsip pemeliharaan kesehatan dasar paripurna dan pelayanan berjenjang. Pemeliharaan kesehatan dasar paripurna adalah upaya kesehatan yang diberikan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk meningkatkan kualitas

(2)

kesehatan yang diberikan kepada peserta disesuaikan dengan kemampuan sarana pelayanan kesehatan (PPK). Pelayanan kesehatan dimulai dari rawatan tingkat pertama dan apabila diperlukan sesuai indikasi medik dapat dilanjutkan kepada rawatan lanjutan. Rujukan pelayanan dapat berlangsung secara vertikal maupun horizontal yang memungkinkan pelayanan kesehatan berlangsung antar tingkat pelayanan sehingga terdapat koneksitas antar Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang terjadi melalui surat rujukan dan balasan rujukan. Dengan demikian, prognosis penyakit pasien dapat diikuti yang memungkinkan dilakukannya pengobatan yang efektif dan efisien (tidak tumpang tindih). Begitu juga, deteksi penyakit dapat dilakukan sejak dini sehingga tidak menjadi kronis yang membutuhkan pengobatan dengan biaya besar.

Dalam menjalankan kegiatan pemeliharaan kesehatan, PT. Jamsostek (Persero) membentuk jaringan Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dikontrak untuk memberikan pelayanan paripurna yang terjaga mutunya dan terkendali biayanya. Jaringan PPK bersifat berjenjang yang terdiri atas PPK tingkat pertama (PPK I) untuk memberikan rawat jalan tingkat pertama dan PPK tingkat lanjutan (PPK II) untuk pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialis), rawat inap, dan pelayanan khusus. PPK I dapat berupa dokter umum/dokter keluarga, dokter gigi, puskesmas, balai pengobatan, dan rumah bersalin. PPK II meliputi rumah sakit, apotek, optik, dan laboratorium klinik (PP 14 Tahun 1993).

Untuk menjadi peserta program JPK perusahaan peserta harus membayar iuran sebesar 3% dari upah bagi tenaga kerja lajang dan 6% dari upah bagi tenaga

(3)

kerja berkeluarga dengan catatan upah maksimum sebagai dasar perhitungan iuran sebesar Rp 1.000.000. Dengan pembayaran iuran ini, program JPK menangung risiko sakit tenaga kerja beserta istri/suami dengan maksimum 3 orang anak dengan ketentuan usia maksimum 21 tahun, belum menikah, dan belum berumah tangga. 2.1.2. Dokter: Tugas Pokok dan Fungsinya

Dalam pengertian formal, dokter adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan formal pada fakultas kedokteran (lulus dan berijazah) dan memiliki surat izin bekerja sebagai dokter. Makna lain dari pengertian dokter adalah orang yang memiliki pengetahuan kedokteran (klinik) dan memiliki hak serta kewajiban untuk mengamalkan (mempraktikkan) ilmu dan ketrampilannya (Daldiyono, 2006).

Secara umum tugas pokok dan fungsi dokter adalah: 1) menguasai dan melakukan pelayanan kedokteran sesuai metode klinik yang baku, 2) mampu melakukan anamnesis dengan baik, 3) mampu melakukan pemeriksaan fisik, 4) mampu membuat diagnosis, 5) mampu memberikan terapi yang sesuai, 6) mampu melakukan tindakan emergensi (gawat darurat), dan 7) mampu merujuk pasien ke pelayanan sekunder dan tersier (As’ad dalam www.4shared.com/.../19_ Peran_Fungsi_dan_Tugas_Seor.html

2.1.3. Dokter PPK I Sebagai Gatekeeper

, diakses tanggal 16 Juni 2011)

Pada sistem pemeliharaan kesehatan, setiap peserta diwajibkan menghubungi primary care provider (PPK I) sebelum menerima pelayanan kesehatan apapun. Kondisi inilah yang mendasari munculnya terminologi gatekeeper (Carlson, 2009).

(4)

Dokter seterusnya akan membuat rujukan kepada spesialis ketika pelayanan kesehatan oleh dokter spesialis dibutuhkan.

Gatekeeper berasal dari kata gate yang berarti gerbang dan keeper yang berarti penjaga. Secara sederhana gatekeeper diartikan sebagai seseorang yang memiliki tugas menjaga gerbang. Implikasi selanjutnya bermakna bahwa gatekeeper semestinya berada di gate (Watt, 1987). Maksudnya, dokter keluarga (dokter PPK I) semestinya selalu dapat diakses pasien bahkan ketika dokter sedang berstatus off duty. Lazimnya praktik dokter, keterbatasan waktu praktik selalu ada. Lantas bagaimana pasien mengakses dokter ketika pasien membutuhkan dokter pada malam hari atau akhir pekan. Dokter memiliki kewajiban untuk memastikan tersedianya dokter lain yang kompeten sebagai pengganti dan memberi tahu pasien tentang keberadaan dokter pengganti tersebut ketika ia sedang tidak bertugas.

Keberadaan dokter PPK I yang selalu dapat diakses peserta ini menjadi penting karena adanya beberapa keuntungan yang dapat diperoleh. Diperkirakan 90% kebutuhan medis peserta dapat ditangani dokter keluarga (dokter PPK I) sehingga kebutuhan biaya pelayanan kesehatan total dapat diturunkan (Carlson, 2009). Pada keadaan normal, dokter PPK I fokus pada penanganan persoalan menyeluruh daripada sebuah sistem organ tunggal. Dokter ini selanjutnya akan menekankan pentingnya tindakan pencegahan dan menyusun jadwal pemeriksaan kesehatan. Ketika diduga ada persoalan kesehatan, dokter akan menegakkan diagnosis, memberikan nasihat medis kepada pasien untuk pengobatan lanjutan, dan membuat rujukan bila diperlukan. Penyimpanan medical record pada satu wadah seperti family

(5)

folder turut memberi kontribusi penting bagi koordinasi pelayanan kesehatan yang lebih baik (Carlson, 2009)

Lebih lanjut Savas dkk (2011) menjelaskan fungsi gatekeeper secara spesifik yang dikaitkan dengan rujukan pasien. Otorisasi rujukan dari rawat jalan tingkat pertama kepada dokter spesialis dilakukan oleh provider rawat jalan tingkat pertama yang ditunjuk. Gatekeeping telah dianggap penting karena adanya bukti bahwa akses kepada spesialis memicu permintaan pelayanan kesehatan yang mahal dan kadang-kadang tidak perlu. Hal ini bisa menyebabkan kemungkinan prosedur diagnostik dan terapi yang akan diterapkan menjadi tidak tepat. Gatekeeper bisa menjadi filter untuk perawatan spesialis yang menimbulkan biaya sampingan. Pemberian insentif dan hukuman bagi dokter yang menjalankan fungsi gatekeeper dapat membatasi biaya rawat jalan dengan membatasi jumlah kunjungan dokter spesialis (Savas dkk, 2011). 2.1.4. Standar Pelayanan Medik Rawat Jalan Tingkat Pertama

Saat ini belum tersedia standar pelayanan medis bagi pelayanan primer (rawat jalan tingkat pertama). Standar pelayanan medis yang pernah dikeluarkan Kementerian Kesehatan dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) lebih diarahkan bagi pelayanan kesehatan sekunder dan tertier yang ada di rumah sakit. Menyikapi hal tersebut maka PT. Jamsostek (Persero) bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) telah menyusun standar pelayanan medis bagi dokter keluarga yang ada di PPK I sebagai pedoman untuk penatalaksanaan pengobatan bagi pasien (Sugito dan Yulherina, 2005).

(6)

Standar pelayanan ini disusun dalam bentuk algoritme untuk efisiensi penggunaannya. Didalam standar ini dimuat data-data anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien yang terkait dengan penyakit tertentu, obat-obatan yang digunakan dan kriteria penyakit yang dapat dirujuk kepada rumah sakit untuk maksud konsultasi spesialis atau rawat inap. Meskipun standar ini disusun oleh PT. Jamsostek (Persero) dan PDKI, namun pemanfaatannya tidak hanya sebatas di lingkungan PT. Jamsostek (Persero) saja karena standar ini disusun berdasarkan kaidah-kaidah klinis yang berlaku secara umum. Dengan demikian, standar ini semestinya bisa digunakan juga oleh dokter umum atau dokter keluarga untuk pelayanan pasien yang berasal diluar peserta program JPK PT. Jamsostek (Persero).

2.1.5. Rujukan Medis

Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri atas rujukan internal dan rujukan eksternal. Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit

Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam Sistem kesehatan Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efesien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan. Dalam pengertiannya, sistem rujukan upaya kesehatan adalah suatu tatanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal, kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional.

(7)

pelayanan di dalam institusi tersebut, misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk. Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah).

Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri atas rujukan Medik dan rujukan Kesehatan. Rujukan Medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya, merujuk pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum daerah. Rujukan Kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas (pos Unit Kesehatan Kerja) (Sudayasa, 2010 dalam

http://www.puskel.com/4-macam-sistem-rujukan-upaya-kesehatan/ diakses tanggal 16 Juni 2011)

Rujukan medik meliputi: a) konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik, pengobatan, dan atau operasi, b) pengiriman bahan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium, dan c) mendatangkan atau mengirimkan tenaga yang lebih kompeten atau yang lebih ahli untuk keperluan pelayanan kesehatan. Rujukan medis dimaksudkan untuk: a) menghasilkan upaya pelayanan kesehatan klinis yang bersifat

(8)

kuratif dan rehabilitatif, dan b) menghasilkan upaya kesehatan masyarakat yang bersifat preventif dan promotif.

2.2. Teori tentang Kinerja 2.2.1. Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance atau actual performance. Banyak ahli telah memberikan pendapat tentang kinerja. Gomes (1995) dalam Mangkunegara (2009) mengemukakan defenisi kinerja sebagai ungkapan seperti output, efisiensi, serta efektifitas yang sering dihubungkan dengan produktifitas. Mangkunegara (2009) sendiri berpendapat bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Bernardin dan Russel (1993) dalam Ruky (2002) yang disadur ulang Teorionline (2010) memberikan pengertian kinerja sebagai berikut: “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during time period” (Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu). Sementara menurut Gibson dkk (1997), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi, dan kefektifan kinerja lain.

(9)

2.2.2. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Kinerja

Gibson dkk (1997) menyusun teori yang mengatakan bahwa prestasi kerja (hasil yang diharapkan) merupakan hasil dari prilaku individu (apa yang dikerjakan orang) sehingga setiap menejer harus mampu mengamati, mengenali, memahami perbedaan masing-masing individu sekaligus menemukan hubungan perilaku antar individu supaya mendapatkan kinerja yang baik.

Gibson dkk (1997) mengatakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor individu (mental, fisik, latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, dan demografi), faktor psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi), dan faktor organisasi (sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan). Tampak, salah satu dari variabel psikologi adalah motivasi sehingga dapat dikatakan bahwa motivasi turut memengaruhi prestasi kerja karyawan.

Sumber : Gibson dkk, 1997, Organisasi: Prilaku, Struktur, Proses Edisi V, Jilid 1, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 52

Gambar 2.1. Variabel yang Memengaruhi Prilaku dan Prestasi Prilaku Individu

(apa yang dikerjakan orang) Prestasi

(hasil yang diharapkan)

Variabel Organisasi Sumber Daya Kepemimpinan Imbalan Struktur Desain Pekerjaan Variabel Individu Kemampuan dan Ketrampilan Mental Fisik Latar Belakang Keluarga Tingkat Sosial Pengalaman Demografis Umur Asal usul Jenis Kelamin Variabel Psikologis Persepsi Sikap Keperibadian Belajar Motivasi

(10)

2.2.3. Penilaian Kinerja

Gibson dkk (1997) menjelaskan bahwa hasil yang diharapkan dari setiap perilaku karyawan adalah prestasi sehingga salah satu tugas penting menejer adalah merumuskan prestasi terlebih dahulu, yaitu menentukan hasil apa yang diharapkan. Dalam organisasi, variabel individu, variabel organisasi, variabel psikologis tidak hanya memengaruhi perilaku tetapi juga prestasi. Perilaku yang dihubungkan dengan prestasi adalah perilaku yang berkaitan langsung dengan tugas-tugas pekerjaan dan yang perlu diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu pekerjaan.

Sopiah (2008) dalam bukunya yang berjudul Perilaku Organisasi menyajikan beberapa pendapat dan teori yang dikemukan ahli terkait pengukuran kinerja. Syarif (1987) dalam Sopiah (2008) mengemukakan bahwa untuk mengukur prestasi kerja karyawan maka perlu dilihat mutu kerja (kehalusan, ketelitian, dan kebersihan), jumlah waktu yang dibutuhkan, jumlah jenis alat (ketrampilan dalam menggunakan bermacam-macam alat), dan pengetahuan tentang pekerjaan.

Bernardin dan Russel (1995) dalam Sopiah (2008) mengemukakan enam kriteria primer yang dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja karyawan, yaitu: 1) Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan, 2) Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan (rupiah, unit, atau siklus), 3) Timeliless, merupakan lamanya suatu suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki dengan memperhatikan jumlah output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain, 4) Cost effectiveness, besarnya penggunaan sumber daya organisasi guna

(11)

mencapai hasil yang maksimal atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya, 5) Need for supervision, kemampuan karyawan untuk dapat melaksanakan fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang tidak diinginkan, dan 6) Interpersonal impact, kemampuan seorang karyawan untuk memelihara harga diri, nama baik, dan kemampuan kerjasama diantara rekan kerja dan bawahan.

Menurut Helriegel dan Slocum (1996) dalam Sopiah (2008), setiap individu merupakan individu yang khas dan tidak sama satu dengan yang lain sehingga wajar apabila kinerja individu pun berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu dibutuhkan karakteristik pekerjaan yang membatasi tugas dan tanggung jawab. Pengukuran kinerja didasarkan atas karateristik pekerjaan dimaksud yang meliputi: a) Jenis ketrampilan yang dibutuhkan, b) Identitas tugas, c) Sumbangan individu terhadap pekerjaan, d) Otonomi, dan e) Umpan balik yang diterima individu dari hasil kerjanya.

2.2.4. Manfaat Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja yang baik akan memberikan manfaat bagi pimpinan dan karyawan yang pada gilirannya juga bermanfaat bagi organisasi. Mangkunegara (2009) berpendapat penilaian kinerja bermanfaat bagi pimpinan karena: a) mengurangi keterlibatan pimpinan dalam semua hal, b) menghemat waktu sebab karyawan dapat mengambil berbagai keputusan sendiri setelah memastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan untuk mengambil

(12)

diantara karyawan tentang siapa yang mengerjakan dan siapa yang bertanggung jawab, dan d) karyawan mampu memperbaiki kesalahannya dan mengidentifikasi penyebab kesalahan maupun inefisiensi.

Bagi karyawan, penilaian kinerja bermanfaat untuk: a) membantu memahami apa yang seharusnya dikerjakan dan mengapa hal tersebut dikerjakan, b) memberi kesempatan mengembangkan keahlian dan kemampuan baru, c) mengenali hambatan peningkatan kinerja dan kebutuhan sumber daya yang memadai, dan d) memperoleh pemahaman yang lebih baikmengenai pekerjaan dan tanggung jawab mereka.

2.3. Teori tentang Motivasi 2.3.1. Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi dalam manajemen hanya ditujukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya dan potensi bawahan agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan (Hasibuan, 2003).

Flippo dalam Hasibuan (2003) mendefinisikan motivasi sebagai suatu keahlian dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai. Definisi lain dikemukakan Terry dalam Hasibuan (2003), motivasi adalah keinginan yang terdapat dalam diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan

(13)

tindakan-tindakan. Gibson dkk (1997) mendefinisikan motivasi sebagai suatu konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri karyawan memulai dan mengarahkan perilaku.

Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi situasi kerja di perusahaan sehingga motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan (Mangkunegara, 2009). Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Perusahaan bukan saja mengharapkan karyawan mampu, cakap, dan terampil, tetapi yang terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal. Kemampuan dan kecakapan karyawan tidak ada artinya jika mereka tidak mau bekerja giat (Hasibuan, 2003).

2.3.2. Proses dan Tujuan Motivasi

Proses motivasi diawali oleh adanya kebutuhan. Seseorang berusaha memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan orang mencari jalan untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh karena itu, orang akan memilih suatu tindakan dan terjadilah perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Setelah lewat beberapa waktu, para menejer mulai menilai perilaku tersebut. Evaluasi prestasi menghasilkan beberapa macam imbalan atau hukuman. Hasil tersebut dinilai orang bersangkutan

(14)

dan kebutuhan yang belum terpenuhi ditinjau kembali. Pada gilirannya, hal ini menggerakkan proses dan pola berlingkar (siklus) dimulai lagi (Gibson dkk, 1997).

Menurut Hasibuan (2003) tujuan motivasi diuraikan sebagai berikut: 1. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan

2. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan 3. Mempertahankan kestabilan karyawan 4. Meningkatkan kedisiplinan karyawan 5. Mengefektifkan pengadaan karyawan

6. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik

7. Meningkatkan loyalitas, kreatifitas, dan partisipasi karyawan 8. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan

9. Mempertinggi rasa tanggung jawabkaryawan terhadap tugas-tugasnya 10. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.

2.3.3.Teori Motivasi

Menurut Hasibuan (2003) motivasi diklasifikasikan atas:

a. Teori Kepuasan (Content Theory) yang memusatkan pada apa yang dimotivasi atau diberi motivasi

b. Teori Motivasi Proses (Process Theory) yang memusatkan bagaimana memotivasi

c. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory) yang menitikberatkan pada cara dimana perilaku dipelajari.

(15)

2.3.3.1. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow

Inti teori Maslow ialah bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki (Maslow, 1954 dalam Gibson dkk, 1997). Tingakt kebutuhan yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis dan tingkat tertinggi ialah kebutuhan akan perwujudan diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut didefinisikan sebagai berikut:

a. Fisiologis: kebutuhan makan, minum, tempat tinggal, dan bebas dari rasa sakit. b. Keselamatan dan keamanan: kebutuhan akan kebebasan dari ancaman, yakni

aman dari ancaman kejadian atau lingkungan.

c. Rasa memiliki, sosial, dan cinta: kebutuhan akan teman, afiliasi, interkasi, dan cinta

d. Harga diri: kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain

e. Perwujudan diri: Kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan memaksimumkan penggunaan kemampuan, keahlian, dan potensi.

Dari uraian pendapat Gibson dkk (1997) tentang teori Maslow dapat disimpulkan bahwa teori Maslow mengasumsikan orang berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa orang memiliki keinginan untuk berkembang dan maju. Meskipun banyak dikritik, teori Maslow masih memiliki relevansi untuk menjelaskan implikasi menejerial guna memotivasi karyawan. Logikanya, memotivasi karyawan akan lebih besar kemungkinan berhasilnya bila menejer mengarahkan perhatian untuk memperbaiki kebutuhan yang

(16)

berbahaya bagi menejer karena dapat menyebabkan frustasi, konflik, dan ketegangan mental.

2.3.3.2.Teori Dua Faktor Frederick Herzberg

Herzberg mengembangkan teori kepuasan yang disebut teori dua faktor tentang motivasi (Herzberg, 1959 dalam Gibson dkk, 1997). Penelitian awal Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut. Pertama, ada serangkaian kondisi ekstrinsik, keadaan pekerjaan (job context) yang menghasilkan ketidakpuasan di kalangan karyawan jika kondisi tersebut tidak ada, sehingga tidak perlu memotivasi karyawan. Kondisi tersebut adalah faktor-faktor yang membuat orang merasa tidak puas (dissatisfier factors) atau disebut juga faktor higiene. Faktor-faktor tersebut mencakup upah, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu supervisi, dan mutu hubungan antar pribadi.

Kedua, serangkaian kondisi intrinsik, isi pekerjaan (job content) yang apabila ada dalam pekerjaan tersebut akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi tersebut ada maka tidak akan timbul rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Faktor-faktor dari rangkaian ini disebut pemuas atau motivator yang meliputi prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan kemungkinan berkembang.

2.3.3.3. Teori Prestasi McClelland

McClelland mengajukan teori motivasi yang berkaitan erat dengan konsep belajar. Ia berpendapat bahwa banyak kebutuhan yang didapat dari kebudayaan (McClelland, 1962 dalam Gibson dkk, 1997). Tiga kebutuhan yang dipelajari tersebut

(17)

adalah kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi, dan kebutuhan kebutuhan berkuasa.

McClelland mengemukakan bahwa jika kebutuhan seseorang sangat kuat, dampaknya ialah motivasi orang tersebut untuk untuk menggunakan perilaku yang mengarah kepada pemuasan kebutuhannya. Seseorang yang mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi terdorong untuk menetapkan tujuan yang penuh tantangan dan bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut serta menggunakan keahlian dan kemampuan yang diperlukan untuk mencapainya (McClelland, 1962 dalam Gibson dkk, 1997).

Untuk menilai perbedaan individu dalam kebutuhan berprestasi, McClelland menggunakan Tes Apersepsi Tematis (Thematic Apperception Test, TAT). McClelland (1962) dalam Gibson dkk (1997) berpendapat:

”jika kita ingin memahami motif di balik tindakan, temukan apa yang ada dalam pikiran orang bersangkutan. Jika anda ingin menemukan apa yang ada di dalam pikiran seseorang jangan tanya dia, karena dia tidak akan menceritakannya secara tepat. Pelajari khayalan dan impiannya. Jika anda lakukan ini dalam jangka waktu tertentu, anda akan menemukan tema dimana pikirannya kembali berulang. Dan temna ini dapat digunakan untuk menjelaskan tindakannya”.

2.3.3.4. Teori Penguatan

Teori ini didasarkan atas 2 prinsip yaitu prinsip hukum ganjaran dan prinsip respon rangsangan. Berdasarkan prinsip hukum ganjaran, seseorang akan mengalami penguatan tingkah laku bila mendapat ganjaran positif atau menyenangkan. Seseorang yang merasa berhasil menunaikan pekerjaan dengan sangat baik memperoleh dorongan positif untuk bekerja keras lagi di masa yang akan datang

(18)

sehingga meraih keberhasilan yang lebih besar. Dalam hal ini terlihat motivasi bersifat positif.

Sebaliknya, jika seseorang kurang berhasil melakukan kewajiban maka ia akan mendapat teguran dari atasannya yang merupakan faktor negatif bagi yang bersangkutan yang seterusnya dapat dijadikan dorongan untuk memperbaiki kekurangan atau kesalahan di masa depan supaya situasi kekurangberhasilannya tidak terulang kembali (Siagian, 2004).

2.3.3.5. Teori Pengharapan

Teori pengharapan ini dikenal dengan teori Vector Vroom yang mengatakan bahwa kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu tergantung penghargaan, bahwa tindakan ini segera diikuti oleh suatu hasil dan tergantung pada daya tarik hasil tersebut kepada individu itu sendiri (Hasibuan, 2003).

2.4. Landasan Teori

Gibson dkk (1997) berpendapat bahwa salah satu variabel yang memengaruhi perilaku dan prestasi kerja adalah motivasi. Motivasi terbentuk dari motif yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu untuk memperoleh kebutuhan yang belum terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut akan mendorong terciptanya kepuasan kerja dan sebaliknya. Pada setiap individu karyawan termasuk dokter umum ada faktor-faktor yang dapat memberikan kepuasan kerja seperti tanggung jawab, kemajuan, dan kemungkinan berkembang yang kemudian disebut faktor motivator. Bila faktor motivator ini terpenuhi maka kepuasan kerja akan

(19)

diperoleh karyawan. Disisi lain terdapat faktor-faktor ketidakpuasan seperti Upah (gaji), jaminan pekerjaan, kondisi kerja, dan mutu supervisi yang selanjutnya disebut faktor higienis. Bila faktor higienis ini terjadi maka tidak akan terbentuk rasa ketidakpuasan di diri karyawan. Seterusnya, rasa puas atau ketidakpuasan ini menciptakan motivasi karyawan. Motivasi yang terbentuk mendorong karyawan berperilaku kerja yang baik dan berujung pada prestasi kerja yang baik pula. Pada konteks pelayanan kesehatan di PPK I, rasa puas atau tidak puas yang dirasakan dokter akan menciptakan motivasi yang akhirnya memengaruhi perilaku dan kinerja mereka dalam merujuk pasien ke rumah sakit.

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Pengaruh Motivasi Dokter terhadap Tindakan Merujuk Pasien Faktor Motivator (X1) : a. Tanggung Jawab b. Kemajuan c. Kemungkinan Berkembang Faktor Higienis (X2) : a. Kondisi Kerja b. Jaminan Pekerjaan c. Gaji d. Mutu Supervisi

Kinerja Dokter Dalam Merujuk Pasien

Gambar

Gambar 2.1. Variabel yang Memengaruhi Prilaku dan Prestasi
Gambar 2.2.   Kerangka Konsep Pengaruh Motivasi Dokter terhadap Tindakan  Merujuk Pasien Faktor Motivator  (X1) : a

Referensi

Dokumen terkait

4. Membantu implementasi management house keeping 5S di bidang Remaining Life Assessment Muara Karang 5. Ikut menjaga keamanan peralatan Remaining Life.. Assessment

Program bantuan pemagangan siswa MA di Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI) tahun anggaran 2011 merupakan kelanjutan dari program bantuan serupa yang telah mulai dilaksanakan pada

$EXTERNAL_NET any Host asal yang melewati port manapun -> Aliran dari host asal ke host tujuan (msg:"DOS Jolt attack";5. dsize:408; Pesan yang akan diterima

• Melalui Whattsapp group, Zoom, Google Classroom, Telegram atau media daring lainnya, Peserta didik mempresentasikan hasil kerjanya kemudian ditanggapi peserta didik

Krakteristik deformasi tanah lempung lunak di desa rawa urip kecamatan panganan kabupaten CIREBON yang diperbaki dengan menggunakan sement.. Universitas Pendidikan Indonesia |

kali sehingga revisi yang dilakukan lebih terbatas. Sejauh ini penelitian mengenai instrumen evaluasi yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilan problem

menghawatirkan reliabilitas dan validitas karena hasil yang didapat dalam penelitian ini dapat dikatakan baik walaupun nilai dari kedua aspek tersebut tidak terlalu tinggi

Semen, yang diejakulasikan selama akti%itas seksual pria, terdiri atas airan Semen, yang diejakulasikan selama akti%itas seksual pria, terdiri atas airan dan sperma yang berasal