• Tidak ada hasil yang ditemukan

Okupasi Liar Kaaphout in Landbouw Conces

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Okupasi Liar Kaaphout in Landbouw Conces"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Okupasi Liar, Kaaphout in Landbouw Concessie dan Tanah Jaluran:

Kriminalisasi Petani dalam Zaman Setelah Perang di Sumatera Timur (1947 – 1960) A. Okupasi Liar atas Tanah-Tanah Konsesi Perkebunan Asing

Pemeriksaan-pemeriksaan lapangan yang dilakukan pihak perkebunan terhadap tanah-tanah perkebunan selepas aksi polisionil 1948 menemukan keadaan dimana banyak dan tersebarnya penduduk yang mengusahakan tanah-tanah tersebut untuk tanaman pangan dan tempat tinggal.1 Kondisi ini menyebabkan kesulitan yang amat sangat dari pihak perkebunan untuk

melakukan rehabilitasi perkebunan secara utuh. Kedatangan Jepang di wilayah ini pada tahun-tahun sebelumnya menyebabkan terjadinya penutupan seluruh perkebunan yang ada. Di sisi lainnya impor beras terhenti. Dua kejadian itu menurut Van de Waal menyebabkan kelumpuhan (ontwricht) seluruh sel ekonomi di wilayah ini.2

Jepang tidak saja menghancurkan fundamen penting pengelolaan perkebunan namun juga terlibat penuh mendorong penduduk yang bukan berasal dari wilayah perkebunan (tembakau utamanya) untuk menanam tanaman pangan, apalagi perang diperkirakan akan panjang dan kebutuhan akan bahan pangan utama seperti beras dan palawija meningkat. Selepas kapitulasi Jepang dan pemerintahan dikuasai oleh Republik Indonesia, ternyata okupasi lahan perkebunan ini tidak juga mengecil termasuklah juga di dalamnya berbagai praktek penguasaan lahan menjadi kepemilikan pribadi.3

Kondisi ini menyebabkan penerima hak tanah jaluran tidak bisa lagi menggarap lahan-lahan tembakau yang sudah dipanen, para buruh kebun tidak lagi mendapatkan upahnya dan wilayah ini kehilangan hasil padi sekurang-kurangnya 10.000 ton per bulan, dan ini sama nilainya dengan 50% dari konsumsi total penduduk per bulan. Teminologi Okupasi lahan (grond occupatie) mulai diperkenalkan dalam periode ini.4 Satu terminologi yang nantinya

secara negatif dikonstruksikan sebagai okupasi yang bertentangan dengan undang-undang atau “Okupasi Liar” (onwettige of wilde occupatie). Okupasi mana terjadi di atas tanah-tanah yang dulunya dikonsesikan untuk perusahaan perkebunan.

Aliran penduduk yang kelaparan datang dari mana saja, tak terkecuali dari kawasan Tapanuli, terutama dari kawasan sekitar Danau Toba yang relatif padat penduduknya. Di kawasan ini, eksploitasi tanah dengan sistem intensif pada masa sebelum perang telah menyebabkan kerusakan kualitas tanah dan menyebabkan erosi dan kegersangan tanah. Kebutuhan tanah yang lebih subur dan epidemi cacar ( pokkenepidemie) di tanah Batak pada tahun 1948 menyebabkan mereka pergi meninggalkan kampung halamannya menuju dataran rendah di bekas-bekas lahan perkebunan.5

1 Satu peraturan tertanggal 1 Mei 1947 (No.1138/VI/16), yang dikeluarkan Residen Sumatera Timur di Tebing

Tinggi menyebutkan alasan kekurangan bahan makanan di wilayah ini sebagai suatu kondisi yang melatarbelakangi diterbitkannya peraturan tersebut. Judul peraturan tersebut berbunyi: Peraturan tentang Tanah Konsessi Kosong di Keresidenan Sumatera Timur. Dalam peraturan ini, tanah-tanah kosong dalam lingkungan konsesi perkebunan meliputi juga tanah-tanah yang telah dipinjamkan kepada penduduk di zaman pemerintahan Belanda, Jepang dan Negara Republik Indonesia. Pasal 4 dari peraturan ini berbunyi: “Penduduk yang tidak mempunyai tanah perkebunan/persawahan boleh mendapat 1 Ha untuk tiap-tiap satu kelamin dan sudah harus selesai dikerjakan (diusahai) selambat-lambatnya dalam tempo 6 (enam) bulan.

2 Van de Waal, Op.cit. Hal.70.

3Economisch Weekblad voor Ned.Indie, 14 Augustus 1948, No.33. Hal.1 4 Van de Waal, Loc.cit.

5 Sebelum perang, umumnya tidak ada kesulitan bagi pemerintah (Hindia Belanda) untuk menyelesaikan

(2)

Usaha-usaha untuk membatasi onwettig occupatie sulit sulit dijalankan mengingat situasi sosial, ekonomi dan politik yang terjadi pada saat ini, apalagi untuk menerapkan satu aturan yang tegas akan hal tersebut. Padahal, di tahun itu (1948) satu staatsblad dengan no 110, tertanggal 24 Juni 1948 telah dikeluarkan dengan sebuah pasal yang memberi ancamam hukuman bagi pengambilan tanah pemerintah serta tanah perkebunan dengan tidak sah. Van de waal mengambarkan situasi pada saat itu: “ De tijden waren onzeker, zodat de bevolking zich zoveel doenlijk door grondbezit veilig trachtte te stellen tegen een mogelijk voedseltekort bij stagnerende rijstaanvoer. De Chinezen die van grondbezit uitgesloten waren geweest, kwamen naast de andere groepen van ocuppanten beslag leggen op een bouwveld en toonden zich nog onhandelbaarder dan de overigen. Bovendien was de occupatie ook een politiek strijd middel tegen het Nederlandse gezag.” (Situasi tidak menentu, penduduk berusaha untuk mengamankan penguasan tanah untuk keamanan diri atas kemungkinan berkurangnya bahan makanan akibat dihentikannya impor beras. Orang-orang Cina yang tertutup kemungkinannya untuk menguasai tanah, datang untuk ikut juga menyita tanah-tanah tersebut disamping kelompok-kelompok okupasi lainnya, dan juga tidak bisa dikendalikan dibanding sebelumnya. Lagipula, Okupasi yang dilakukan merupakan juga perlawanan politik yang dilakukan penduduk terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.)

Para buruh perkebunan sebenarnya sebelum perang juga sudah mulai merasakan masuknya kelompok-kelompok orang yang mulai mengusahakan lahan “secara tidak sah”. Ketika selesai peperangan tidak ada kepemimpinan yang jelas, kelompok-kelompok ini, dalam rangka untuk memperkuat tindakan-tindakan mereka dalam mengusahakan lahan/tanah eks perkebunan, secara sosiologis membentuk persatuan-persatuan (tani bonden). Pengukuran dilakukan untuk kepentingan para anggota persatuan tani. Baik pihak Belanda maupun Pemerintah Indonesia kemudian berulangkali berusaha untuk mengakhir okupasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada tahun 1947, onwettige occupatie di lahan tembakau sudah mencapai ± 12.000 ha. Dan pada akhir tahun 1951 telah mencapai 25.000 ha,6 dan angka ini terus bertambah di

tahun-tahun berikutnya. Untuk jenis tanaman lainnya yang belum diusahakan, pada tahun-tahun 1951, ada sekitar 54.000 ha yang diusahai dalam terminologi onwettige occupatie, sementara 22.000 ha mendapatkan izin dari perusahaan perkebunan.7

Akibat perkembangan-perkembangan politik, pemerintah Republik Indonesia merasa perlu sesudah bulan Desember 1949 mengeluarkan pernyataan tegas terhadap pengambilan tanah kebun secara tidak sah. Maka, pada tanggal 22 Mei 1950 dalam Maklumat Bersama No.248/1950 yang ditandatangani oleh Wali Negara Sumatera Timur (T. Dr. Mansoer) dan Gubernur Militer VII (Kolonel M.Simbolon), diulangi lagi ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1948/110 tersebut bagi daerah ini. Inti dari Maklumat Bersama itu adalah bahwa untuk pengambilan tanah secara tidak sah yang terjadi hingga waktu itu tidak digugat.8 Hanya

yang menguasai tanah secara tidak sah harus meninggalkan tanah-tanah yang dikuasainya tersebut. Malah Staatsblad 1937/No.560 tersebut juga menyediakan fasilitas ganti rugi bagi pihak perkebunan yang tanahnya diambil dengan cara yang tidak sah.

6 Van de Waal, Loc.cit.

7 Kekurangan bahan makanan menjadi alasan pembenar okupasi itu dilakukan. Satu data menurut keadaan tahun

1942 yang dikeluarkan oleh salah satu organisasi tani menunjukkan perbandingan yang tidak seimbang antara luas tanah yang diusahai dengan penduduk Sumatera Timur. Diperkirakan ada sejumlah 2.225.00 jiwa dengan luas tanah yang diusahai 103.500 ha (rata-rata 0.20 ha per rumah tangga) sementara luas tanah konsesi saat itu 850.000 ha. Lihat Surat GerakTani Daerah Sumatera Utara tertanggal 7 April 1950 yang ditujukan kepada Pengurus Perkebunan Sumatera Timur.

8 Tanggal 1 Mei 1947 dengan No.1138/VI/16, Residen Sumatera Timur memberikan kekuasaan kepada Jabatan

(3)

pengambilan tanah secara tidak sah sesudah tanggal 22 Mei 1950 akan dihukum, dengan harapan serta kepercayaan bahwa hal ini akan menghalangi pengambilan-pengambilan tanah selanjutnya oleh Serikat-Serikat Tani.9 Di sini dapatlah dikatakan adanya standfast untuk

pertamakalinya sejak berlakunya ketentuan mengenai ancaman hukum dalam Staatsblad 1948/110 tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan juga bahwa Ketetapan Residen Sumatera Timur N.R.I No.1138/VI/16 tertanggal 1 Mei tahun 1947 tentang peminjaman lahan sebesar 40.000 ha kepada kelompok-kelompok tani tidak berjalan dengan apa yang dibayangkan, terutama oleh para petani. Pengurus Gerak Tani, salah satu Serikat Tani yang terkemuka di saat itu menunjukkan sejumlah hambatan untuk mengusahakan lahan yang dipinjamkan oleh pihak perkebunan. Kondisi yang menyebabkan semakin parahnya kemelaratan kelompok tani dipakai oleh Serikat Tani untuk melancarkan tekanan kepada pihak perkebunan untuk konsisten menjalankan Ketetapan Residen Sumatera Timur. Jika tidak mereka akan maju untuk mengusahai kembali tanah-tanah yang dipinjamkan.10

Satu surat11 seorang petani yang bernama Abdoel Manan Damanik yang ditujukan kepada

pimpinan perkebunan dan kepala wilayah di bawah ini bisa dipakai sebagai gambaran atas kebutuhan tanah untuk pertanian di masa itu dan tekanan yang mereka lakukan terhadap perkebunan dan kepala wilayah setempat.

Padoeka Toean,

Saja Abdoel Manan Damanik, atas nama rajat asli Simeloengoen dan pendoedoek kampoeng Bandar Sahkoeda, Timbaan, Hoeta Bajoe dan Bah Bajoe bermohon seperti berikoet. Berhoeboeng karena berkembangnya rajat asli dari pendoedoek kampoeng jang tersebut di atas, djadi pada masa ini rajat kekoerangan tanah ontoek perladangan/peroesahaan pentajaharian, berarti kemoendoeran keselamatan pendoedoek tentang hal makanan. Djadi permohonan rajat kehadapan Pd. Toean, agar Pd. Toean menolong soepaja Pemerintah dapat memberi tanah perladangan kepada Rajat oentoek kemakmoeran berarti kemakmoeran Soematra Toimoer. Teroetama sekali jang akan ditoejoe dalam hal ini agar sebagian ketjil dari keboen Kerasaan dapat diberikan kepada rajat asli (Simeloengoen). Rajat meminta agar afdeeling Bah Bajoe/ bekas persawahan jang diboeat semasa Nippon/ dapat diberikan kepada rajat boeat dijadikan persawahan.

Benar saja akoei pada masa ini banjak bangsa lain jang tinggal di dalam kampoeng (seoempama: Sipirok, Djawa, Soenda d.l.l) jang mempoenjai tanah dalam kampoeng, tetapi itu boekan kesalahan dari rajat. Dahoeloe antara tahoen 1918 sampai tahun 1922, wakil Pemerintah di dalam kampoeng (Penghoeloe/Perbapaan) memberikan tanah hak rajat asli kepada siapa saja jang maoe dengan membajar oeang pantjang sadja.

9 3 dari 8 organisasi Tani di Sumatera Timur yang terkemuka adalah Barisan Tani Indonesia (BTI) di bawah

pimpinan sdr. Tarigan, Gerakan Tani, dibawah pimpinan sdr.Samosir dan SEKATA, di bawah pimpinan sdr.Pattipeluhu. BTI di Sumatera Timur adalah cabang dari Organisasi pusatnya di Jogyakarta. Gerakan Tani didirikan tahun 1945 dan berkedudukan di Pematang Siantar, sedangka SEKATA berdiri tanggal 1 Juli 1948, lebih kurang 1 bulan sesudah Negara Sumatera Timur berdiri. Jusuf Muda Dalam dan I.J. Kasimo. Laporan Penyelidikan di Sumatera Timur tentang Soal Tanah Perkebunan dan Pemkaian Tanah-Tanah Bekas Perkebunan oleh Rakyat. Jakarta, 27 Mei. 1950. Hal.6.

10 Surat Gerak Tani, Loc.cit.

(4)

Permohonan rajat ini apabila sampai 3 (tiga) boelan sesoedah soearat ini ta’ berhasil, maka rajat semoea akan mengambil tindakan memantjang tanah keboen Kerasaan untuk diperoesahai masing-masing. Saja soedahi dengan pengharapan yang penoeh. Soepaja permohonan rajat ini dapat dikabulkan

Pekan Kerasaan, 9 April 1950, Hormat saja,

ttd. Abdoel Manan Damanik. Rekaman soerat ini dikirimkan:

Kehadapan Pd.Toean Departemen Kemakmoeran (Medan) Kehadapan Pd.Toean Administrateur Avros (Medan)

Kehadapan Pd.Toean Kepala Wilajah Simeloengoen (P.Siantar) Kehadapan Pd.Toean Districthoofd Bandar (Perdagangan)

Pemerintahan di Jakarta, dalam masa itu (khususnya antara tahun 1950 – 1953) memandang sangat penting untuk mempertahankan perkebunan di Sumatera Timur sebagai bagian dari kebutuhan ekonomi nasional. Maka, atas Surat Keputusan DPR Republik Indonesia Serikat tertanggal 13 April 1950 ditetapkanlah satu tim penyelidik soal tanah-tanah konsesi perkebunan dan soal pemakaian tanah-tanah bekas perkebunan oleh rakyat di daerah Sumatera Timur. Tim tersebut terdiri dari Jusuf Muda Dalam dan I.J.Kasimo. Dari penelusuran mereka terkait pemaiakan tanah untuk wilayah Negara Sumatera Timur seluas 3.031.000 ha terpampang struktur dasar penguasaan dan atau pemakaian seperti tertera dalam tabel di bawah ini:

No. Jenis Peruntukan/Pemakaian Tanah12 Luas

`1. Tanah Konsesi Perkebunan: a. Konsesi Tembakau

b. Konsesi Perkebunan Tanaman Keras b1. Sudah ditanami

b2. Belum ditanami Jumlah Konsesi Perkebunan

261.000 ha

394.000 ha 233.000 ha 888.000 ha13

2. Tanah Pertanian Rakyat a. Tanaman Keras

a1. Karet a2. Kopi a3. Kelapa a4. Aren

a.5.Pohon Buah-Buahan

60.000 ha 500 ha 15.000 ha 500 ha 7.000 ha

12 Menilik angka-angka di atas hampir 30% dari luas Negara Sumatera Timur masuk dalam tanah-tanah konsesi

perkebunan dan hanya lebih kurang 8% saja merupakan tanah pertanian bumiputera. Tanah pertanian rakyat yang merupakan sumber produksi bahan makanan (jadi tidak termasuk tanah dengan tanaman karet milik penduduk) , hanya berjumlah 192.000 ha atau 6% saja dari luas keseluruhan daerah Sumatera Timur. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat sementara lahan terbatas menimbulkan terjadinya apa yang dikonseptualisasikan sebagai okupasi liar. Lihat lebih jauh , Jusuf Muda Dalam dan I.J. Kasimo. Op.cit. Hal. 3. 13 Tanah konsesi seluas 888.000 ha di atas dikuasai oleh 257 pemegang konsesi berkebangsaan Belanda dan 197

(5)

b. Tanaman Padi

.3. Hutan Cadangan (Reservebos)) 519.000 ha

4. Hutan Rimba Liar dan Tanah yang Tidak Dipergunakan

172.000 ha

Beberapa kesimpulan dan saran dari penyelidikan yang dilakukan secara cepat oleh tim yang dimaksudkan di atas menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap persoalan dasar yang dihadapi oleh penduduk dan utamanya petani, yakni landhonger (Kurangnya tanah pertanian bagi kaum tani). Pada butir 26 laporan tersebut dkatakan: “Kekurangan lahan pertanian mesti segera diselesaikan. Menurut keterangan kepala bagian agraria departemen pemerintahan NST, dari perkebunan tembakau dan perkebunan tanaman keras akan dapat dilepaskan tanah sejumlah 230.000 ha. Dari pendapat tim, jumlah ini dapat mudah dinaikkan hingga menjadi 150.000 ha dari konsesi tembakau dan 150 ha lagi dari konsesi perkebunan keras.” Selanjutnya dalam butir 27-nya dikatakan: “ Penglepasan 150.000 ha dari konsesi tembaau akan mudah dilaksanakan apabila sistem rotasi atau giliran yang sekarang lamanya 8 atau 9 tahun diperpendek menjadi paling lama 6 tahun. Tindakan memperpendek waktu rotasi tidak akan membawa akibat buruk bagi cultuur dan kwaliteit tembakau. Pada sisi lainnya biaya produksi mungkin akan sedikit naik, tetapi untuk kepentingan umum tegasnya kepentingan rakjat dan negara, soal ini tak oleh terlalu diberatkan.”14

Melalui keputusan Menteri Dalam Negeri No.12/5/14 tertanggal 28 Juni 1951 diputuskan bahwa 125.000 ha lahan perkebunan tembakau di wilayah ini diserahkan ke dalam sebuah status hak kebendaan baru untuk paling lama 30 tahun dan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah sementara sisanya (125.000 ha) akan jatuh kembali ke tangan negara. Gubernur Sumatera Utara dengan bekerjasama dengan perusahaan perkebunan yang dimaksud bertanggunggjawab untuk melaksanakan keputusan tersebut. Oleh AVROS15 dibuat

14 Dari tanah konsesi tanaman keras, yang berjumlah 627.000 ha, masih ada 233.000 ha yang belum ditanami

oleh pemegang konsesi dan dianggap cocok untuk pertanian rakyat. Lihat Jusuf Muda Dalam dan I.J. Kasimo. Ibid. Hal.9.

15 Krisis tahun 1891 memaksa para pengusaha mencari alternatif pengganti dan karet menjadi pilihan yang

masuk akal walaupun harus dikelola dengan tenaga kerja dan modal besar. Percobaan penanaman karet (Heva brasiliensis Muel Erg) dilakukan pada awal 1885 di onderneming eks tembakau seperti Mariendal dekat Medan dan Rimbun di bagian tanah tinggi Medan. Pada tahun 1902, Maskapai Deli mempunyai kira-kira 5000 pohon karet di perkebunan Batang Serangan di Langkat. Perkebunan ini diperluas sampai dengan 19.999 pohon karet

(6)

pengusaha-sebuah ikhtisar (gambaran) tanah yang akan tetap diperuntukkan untuk tanaman tembakau (125.000 ha). Ikhtisar atau gambaran inilah yang dipergunakan sebagai dasar keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.36/K/Agr. tertanggal 28 September 1951 tentang peruntukan tanah untuk perkebunan tembakau.16

Di dalam Surat Keputusan Gubernur tersebut disebutkan sejumlah syarat atau ketentuan tambahan atas alokasi tanah 125.000 ha yang diperuntukkan bagi tanaman tembakau. Pertama, untuk tanah-tanah ditepi-tepi jalan antara a. Tanjung Pura – Bindjei – Medan – Tebing Tinggi dan b. Medan- Bandar Baru, selebar 250 meter dari tepi jalan masuk ke dalam dan dikembalikan kepada pemerintah.17 Kedua, untuk persawahan yang sudah ada diserahkan

kembali oleh perusahaan perkebunan kepada pemerintah. Ketiga, untuk tanah-tanah perkampungan dan kota serta tanah-tanah yang diperlukan untuk perluasannya untuk selama 30 tahun akan ditentukan dan diserahkan kepada pemerintah yang patut luasnya buat menampung pertumbuhan penduduk kampung yang dimaksud. Keempat, Tanah-tanah kiri-kanan sungai-sungai dan anak-anak sungai yang mana airnya terus mengalir sepanjang minimum 5 meter diukur dari pinggir sungai dan anak-anak sungai itu dan sekeliling mata air minimum 100 meter diukur dari pinggirnya wajib dihutankan atau ditanami dengan pohon-pohon keras seperti jati, rumbia, bambu, juar dan lain-lain yang diperlukan untuk usahanya serta diurus oleh pihak perkebunan, untuk mencegah adanya erosi dan lain-lain.

Pertengahan tahun 1951, satu dinas baru yang dinamakan Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah dibentuk untuk mengatur pembagian tanah-tanah bekas konsesi perkebunan tembakau untuk penduduk. Oleh Kantor tersebut, pada bulan Pebruari tahun 1952, dibuat dua pengelompokan penduduk yang akan mendapatkan jatah tanah-tanah eks konsesi tersebut, yakni kelompok tani dan kelompok buruh tani (para buruh kebun di lingkungan tanah-tanah itu berada). Dengan kelompok tani, dimaksudkan adalah mereka-mereka yang pendapatan/mata pencahariannya total dari pertanian (sawah/ladang), satu pembatasan yang sulit dijalankan karena sedikitnya orang dengan kategori tersebut di wilayah ini. Sementara itu, kelompok buruh tani adalah mereka-mereka yang pendapatan utamanya berasal dari luar pertanian dan tidak lebih dari Rp.500 per tahun. Untuk para petani diberikan tanah kering (ladang) 2 ha atau 1 ha sawah untuk memulai penghidupannya, sementara untuk buruh tani, mendapatkan 0.2 ha ladang. Atas tanah-tanah tersebut diberlakukan sewa.18

pengusaha perkebunan, seperti AVRO dipersatukan dengan DPV (Deli Planters Vereeniging) pada tahun 1952. Demikian pula apa yang terjadi pada pusat-pusat penelitian yang dikelola oleh AVROS. Pada tahun 1957 APA (Algemeene Proeffstation de AVROS) dikelola oleh Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumatera (GAPPERSU) diubah namanya menjadi RISPA (Research Institute of Sumatera Planters Association). Lebih jauh lihat, Inventaris Arsip AVROS, 1892-1985. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2009. Hal.viii.

16 Dari Memorandum yang dikeluarkan oleh AVROS, ternyata dalam prakteknya Pemerintah meminta

pengusaha perkebunan untuk melepaskan lagi 13.000 ha, sehingga secara riil di lapangan, pengusaha perkebunan mempergunakan 112.000 ha. Lihat Memorandum AVROS tertanggal 22 Pebruari 1954.

17 Penyerahan kembali kepada pemerintah atas tanah-tanah tersebut pada ayat a dan b tidak berlaku pada

bahagian-bahagian tanah di atas mana ada terdapat bangunan-bangunan berikut pekarangannya dari pihak perkebunan yang sangat diperlukan olehnya seperti rumah-rumah, kantor-kantor, gedung-gedung, bangsal-bangsal, jalan-jalan air, jalan kenderaan, tanaman jati dan bambu yang belum diduduki rakyat pada tangga ketetapan ini. Lihat Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.36/K/Agr. tertanggal 28 September 1951. 18 Van de Waal, Op.cit. Hal.73. Dalam Pengumuman Penjelasan Mengenai Pembagian Tanah yang dikeluarkan

(7)

Berikut perkiraan kebutuhan tanah untuk tani dan buruh tani sebelum 1 Januari tahun 1953 (dalam hitungan hektar)19

Wilayah Tani Buruh Tani Jumlah Total

Sawah Ladang Ladang

Deli Bawah 8.242 3.056 11.544 22.842

Deli Atas 8.429 3.921 1.011 13.361

Serdang Bawah 8.278 8.451 1.720 16.449

Serdang Atas - 1.385 - 1.385

Langkat Bawah 3.473 113 138 3.724

Langkat Atas 2.006 7.199 3.486 12.691

Tanah yang dibutuhkan

28.428 x 1 = 28.428

24.125 x 2 = 48.250

17.899 x 0.2 = 3.580

80.258

Angka-angka di atas ternyata hanya berujung pada pemetaan belaka dan sulit untuk direalisasikan. Pertama karena, persoalan tanah ini kemudian menjadi isu atau alat perjuangan politik dari kelompok-kelompok tani dan kesulitan-kesulitan dari Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah untuk melakukan konversi atas tanah-tanah perkebunan tembakau eks asing tersebut. Alasan lainnya menyangkut kevakuman kekuasaan (gezagvacuum) yang dirasakan saat itu, sehingga sangat sulit untuk memastikan pemberlakuan keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut. Kondisi inilah yang kemudian dilihat sebagai dasar awal “okupasi liar” yang dimaksudkan perusahaan perkebunan dan pemerintah berkembang dan memasuki satu zaman pergolakan baru yang kelak akan mempresentasikan situasi zaman waktu itu dan implikasi sesudahnya.

Satu zaman atau situasi yang baru itu adalah dibawanya sejumlah petani yang dituduhkan telah melakukan okupasi liar itu ke ranah hukum formal yang tak pernah mereka kenal dan duga sebelumnya. Kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan Negeri Medan oleh Hakim yang bernama Batara Harahap pada tanggal 25 Maret 1952 adalah kasus 26 tani (anggota BTI) yang dituduh telah melakukan okupasi liar di kawasan Sei Agul, Medan. Sidang pertama ini dipenuhi oleh sekitar 150 tani lainnya sebagai bagian dari solidaritas.20 Salah satu dialog

antara hakim dengan ke 26 tani tersebut antara lain:

“Apakah benar, tanah yang terletak di afdeeling I Helvetia telah diusahakan; dari mana mendapatkan tanah tersebut, dan apakah ada mendapatkan izin untuk mengusahakan tanah tersebut. Dan apakah kalian mengetahui Keputusan Gubernur Sumatera Utara tertanggal 28 September 1951 No.36/K/Agr. terkait pengembalian tanah-tanah perkebunan kepada para pengusaha perkebunan.”

Jawaban dari para petani kira-kira bebunyi:

19 Ibid.

20 Harian Rakyat, 26 Maret 1952. Tidak jelas kemudian apakah ke 26 tani tersebut dikenakan hukuman, namun

(8)

“Tanah tersebut telah kami usahakan sejak zaman pendudukan Jepang sampai era pemerintahan republik Indonesia. Setelah evakuasi kami mengusahakan kembali tanah tersebut. Tentu saja kami tidak meminta izin atas tanah yang telah kami usahakan terdahulu. Dan demi menghindarkan kelaparan anak dan istri kami, tanah itu kami usahakan lagi, selain itu kami tidak bisa menunggu terlalu lamu keputusan pemerintah terkait tanah tersebut”

Satu keputusan yang menguatkan posisi petani terkait tuduhan okupasi liar, lahir dari tangan Mahkamah Agung, di atas sebuah kasasi yang diajukan oleh sejumlah petani di daerah Lubuk Pakam. Putusan bernomor Reg.No.33K/Kr./1954 memberikan kemenangan pertama kepada para petani yang mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi di Lubuk Pakam tertanggal 8 Desember 1953 (Reg. No.2091/1953 P.L). R.Wirjono Prodjodikoro yang menjadi hakim ketua dalam perkara ini menilai bahwa para petani tersebut memiliki hak untuk mengolah atau mengusahakan tanah-tanah eks perkebunan tersebut dengan alasan: bahwa tanah-tanah yang dulunya merupakan tanah konsesi, namun saat di mana para petani mulai mengusahakannya tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan waktu konsesi telah berakhir tatkala para petani mulai mengusahakan lahan tersebut. Selain itu Majelis yang beranggotakan hakim R, Soekardono dan R.Soetjotjokro mengatakan bahwa walaupun perusahaan perkebunan tersebut memiliki hak, namun itu hanyalah hak atas objek yang fungsinya sudah tidak sesuai lagi dengan aturan yang ada.21

Proses kriminalisasi terhadap para petani terus berlansung dalam periode ini dan sesudahnya. Di salah satu harian di Belanda, Algemeen Handelsblad, Amsterdam termuat satu informasi singkat tentang hukuman yang dijatuhkan terhadap 21 petani:

“Onwettige Occupatie in Deli Berecht”

Voor de Landraad van Medan hebben in de afgelopen twee weken wegens onwettige occupatie van ondernemingsgronden 21 Indonesische landbouwers te rechtsgestaan. De beklaagden zijn verordeeld tot voorwaardelijke gevangenisstraffen van drie tot zes maanden onder voorwarde, dat zij de onwettig geoccupeerde gronden verlaten. Deze beklaagden zijn tot occupatie van de betrokken gronden overgegaan na 20 April 1954. Binnenkort zullen vijftig andere gevalen worden berecht.22

Keresahan di kalangan penguasa pekebunan sangat terlihat dengan jelas dari surat menyurat yang yang terjadi antara AVROS sebagai wakil pengusaha perkebunan dengan Gubernur Sumatera Utara. Dalam salah satu suratnya, Ketua AVROS, Mr. R.Nolen, menyerang Gubernur dengan mengatakan bahwa berbagai instruksi dan keputusan Gubernur yang ditujukan kepada para pemimpin dan polisi setempat tidak dihiraukan di dalam prakteknya oleh para petani (Zoals in onze brief van 19 Februari j.l.nr.326 moeten wij helaas thans wederom constateren, dat de instructies die Uwerzijds onlangs aan de plaatselijke ambtenaren van bestuur en politie zijn gegeven om pal en perk te stellen aan de occupatie excessen, nog immer nagenoeg geen effect sorteren).23

AVROS menunjukkan tingkat kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Utara bagi ekonomi negara dan penduduk wilayah ini dengan mengatakan bahwa luas tanah

21 Salinan Putusan Kasasi MA Reg.No.33K/Kr./1954.

22 Algemeen Handelsblad, Amsterdam, 8 Juli 1954.

(9)

yang diserahkan dengan konsesi dan erfpacht kepada kebun-kebun di Sumatera Utara ialah kira-kira 90.000 ha atau hanya 7% dari seluruh luas Propinsi yang besarnya 12.500.000 ha. Selain itu, sekitar 550.000 (± 12%) dari jumlah penduduk 4.500.000 jiwa bermata pencaharian di kebun-kebun serta penduduk-penduduk yang mendapatkan keuntungan tidak langsung dari keberadaan kebun yakni perusahaan-perusahaan dagang, pengangkutan, pelayaran dan perkebunan). Ditaksir sekitar seperempat dari penduduk Sumatera Utara mendapat penghidupan dari perkebunan. Dan di tahun 1952, nilai keuntungan negara dari eksport perkebunan mencapi 1,9 milyard rupiah (sekitar 18% dari total dari keuntungan eksport Indonesia dalam tahun itu, yang berjumlah 10,4 milyard rupiah).24

Negara dengan mempertimbangkan soal kesulitan bahan pangan akibat tindakan yang dilakukan Jepang sebelumnya dan blokade musuh ( agresi I dan II Belanda), akhirnya pada 12 Juni Tahun 1954 mengeluarkan UU Darurat No.8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. UU Darurat tersebut menunjukkan sebuah pembelaan terhadap rakyat tanpa ingin merendahkan pengusaha perkebunan yang telah menjalankan usaha tersebut selama ini. Pasal 6 ayat 2 nya berbunyi: “Di dalam mengambil keputusan tersebut di atas (soal-soal perundingan pengusaha dan rakyat, pen) harus diperhatikan kepentingan rakyat yang bersangkutan, kepentingan penduduk di daerah tempat letaknya perusahaan kebun dan kedudukan perusahaan kebun itu dalam perekonomian negara pada umumnya.”

UU Darurat ini menetapkan tanggal 12 Juni 1954 sebagai standfast 25untuk mengakhiri

kemelut tanah-tanah yang diusahakan rakyat di atas tanah-tanah perkebunan asing. Itu artinya adalah bahwa segala tanah-tanah yang diduduki, diambil, dikerjakan, diusahakan, digarap oleh rakyat sebelum tanggal tersebut dianggap sebagai pendudukan tetap oleh rakyat.26 Di

kalangan pengusaha perkebunan, cara-cara dengan menggeser-geser waktu standfast ini adalah bagian dari maksud-maksud jahat para petani untuk terus memperbesar tanah yang diduduki dengan bantuan Pemerintah.27 Kekesalan para pengusaha perkebunan ini

ditunjukkan juga dengan cara menggugat ketidakkonsistenan polisi dan pengadilan dalam menindak para petani yang menduduki tanah-tanah perkebunan tersebut. Intensifitas petani dalam pendudukan tanah-tanah perkebunan melalui strategi menanam tanaman bahan-bahan makanan, utamanya padi, pisang dan jagung, dalam prakteknya dibiarkan saja oleh kepolisian. Padahal menurut AVROS, seharusnya polisi sudah bisa melakukan tindakan pengamanan untuk meluasnya pendudukan tanah-tanah tersebut.28

24 AVROS, Memorandum tentang Masalah Tanah di Sumatera Timur. Medan 22 Pebruari 1954. Hal.1

25 Setidaknya telah terjadi beberapa kali standfast sebelum tanggal 12 Juni 1954. Pertama adalah tanggal 24 Juni 1948, melalui staatsblad 1948/10 yang menyatakan bahwa pengambilan tanah pemerintah serta tanah kebun secara tidak sah diancam dengan hukum. Seterusnya 22 Mei 1950, dalam maklumat bersama No.248/1950 yang ditandatangani oleh Wali Negara Sumatera Timur dan Gubernur Militer dan kemudian 27 Agustus 1953, sebagai janji yang diberikan oleh serikat-serikat tani pada waktu itu untuk tidak lagi mengambil tanah-tanah perkebunan. Secara keseluruhan standfast yang dilakukan tidak dipatuhi dan pendudukan tanah-tanah perkebunan terus berlangsung.

26 Pasal 1 ayat 3 UU Darurat No.8 tahun 1954, yang kelak diubah lagi dengan UU Darurat No.1 Tahun 1956

merumuskan pengertian “Memakai Tanah Perkebunan” dengan kalimat: “ialah dengan nyata-nyata menduduki, mengerjakan atau menguasai sebidang tanah perkebunan atau mempunyai tanaman, rumah atau bangunan lainnya di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah rumah atau bangunan itu ditempati atau dipergunakan sendiri atau tidak.”

27 Lihatlah Dokumen Prosedure Standfast dalam Masa yang Lampau Berkenaan dengan Pengambilan Lahan. Tanpa tahun dan tempat.

28 AVROS. Memorandum tentang Pengadilan para Pengambil Tanah Secara Tidak Sah berdasarkan UU

(10)

Atas dasar UU Darurat tersebut, pemerintah menyusun pokok-pokok konsepsi tentang penyelesaian soal pembagian tanah perkebunan Sumatera Timur. Butir 5 dari dokumen itu menjadi inti pengaturan yang menyatakan bahwa rakyat yang ada di tanah-tanah yang akan dilangsungkan menjadi tanah perkebunan diharuskan pindah. Sementara di dalam butir 7 pokok-pokok konsepsi tersebut disebutkan bahwa rakyat yang menduduki tanah perkebunan di Sumatera Timur didaftar dan di bagi menjadi tiga golongan, yakini: pertama, mereka yang ingin bertani; kedua, meeka yang ingin pindah ke tepi jalan dan ketiga, mereka yang ingin pindah ke kota-kota. Untuk golongan yang pertama akan di beri tanah pertanian masing-masing 2 hektar sedang golongan kedua dan ketiga diberi pembagian tanah masing-masing-masing-masing setengah hektar dan 400 m² luasnya. Khusus untuk golongan rakyat penunggu, akan diberi masing-masing kelamin 2 hektar, sepanjang mereka berhak menurut syarat-syarat termaktub dalam akte konsesi dan juga orang-ornag yang diharuskan pindah berdasarkan pokok-pokok konsepsi ini.29

Implementasi dari pokok-pokok konsepsi penyelesaian itu ternyata juga dalam prakteknya tidak menggembirakan, terutama di mata para pengusaha perkebunan. Hal ini disebabkan tidak ada tindakan yang tegas dari aparat hukum untuk mencegah dan mengambil tindakan terhadap ekspansi tanah yang dilakukan oleh mereka-mereka yang tersu masuk merengsek tiap jengkal lahan dari perkebunan. Selain itu disebutkan juga bahwa proses-proses hukum di antara proses verbal dan penjatuhan hukum oleh pengadilan juga berlangsung sangat lama, sementara mereka-mereka yang menguasai lahan tersebut masih terus dibiarkan menguasai lahan yang mereka duduki.30

AVROS mencoba menunjukkan secara konkrit fakta meluasnya pengambilan lahan di beberap tempat di dalam dan luar Deli pasca dikeluarkannya UU Darurat No. 8 tahun 1954 seperti yang tertera di bawah ini31:

No. Nama Kebun Luas Yang Diduduki Rakyat

1. Bah Lias 6794 ha 2316 ha

2. Laras 8461 ha 3531ha

3. Rambutan 13.330 ha 6344 ha

4. Mata Pao 3636 ha 1680 ha

5. Bekalla 9164 ha 4094 ha

6. Medan Estate 1529 ha 727 ha

7. Bandar Klippa 3642 ha 1369 ha

8. Kwala Namu 4282 ha 2502 ha

9. Pagar Marbau 5032 ha 1872 ha

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada mereka-mereka yang dipandang pengusaha perkebunan telah mengambil dan menduduki lahan-lahan perkebunan secara tidak sah tersebut juga dianggap sangat ringan sekali. Walaupun UU Darurat menetapkan untuk

29 Kelak materi dari pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dimasukkan sebagi inti pengaturan Keputusan

Bersama No. 1 tahun 1955 yang dibuat oleh Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman. Lihat Keputusan Bersama No 1/1955 tertanggal 30 Juni 1955. 30 Satu contoh bisa disebutkan di sini yakni perkara pidana terhadap pengambil tanah secara tidak sah yang

bertempat tinggal di Tadjong Balai Sidomuljo, kebun Bekiun. Perkara pidana mana diperiksa di Pengadilan Negeri Binjai. Pengambilan tanah secara tidak sah dimaksud dilaporkan kepada Asisten-Wedana di Kwala pada tanggal 14 September 1954, akan tetapi sidang Pengadilan pertama di Binjai baru dilangsungkan pada tanggal 4 April 1955 dan seterusnya sampai sidang terakhir 5 Desember 1955 tanpa mengambil suatu keputusan. Lihat Memorandum AVROS tentang Pelaksanaan UU Darurat 1954 No.8. tanggal 6 September 1955: Hal.1.

(11)

pengambilan tanah secara tidak sah, hukuman maksimumnya tiga bulan, namun pada umumnya diberikan hukuman bersyarat atau denda rendah berjumlah setinggi-tingginya RP.10.- (Sepuluh Rupiah) ataupun hukuman penjara yang tidak lebih dari tujuh hari. Selain itu diperkenankan pula pemotongan bagi tahanan sementara, maka orang-orang yang dihukum dapat pula langsung pulang ke rumah dari sidang-sidang pengadilan.32

Berikut beberapa contoh putusan yang diinventarisir AVROS untuk menunjukkan betapa ringannya hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang dituduhkan telah melakukan pendudukan atau pengambilan lahan secara tidak sah33:

NO. Pengadilan

4. Medan 10-11-1955 110 orang Denda Rp.10.- Helvetia

5. Lubuk

Pakam

----10-1955 180 orang Hukuman bersyarat 10 hari dengan waktu Propinsi Sumatera Utara, tertanggal 7 April 1955, AVROS mengurai secara lebih rinci tentang tanah-tanah yang diduduki di seluruh areal perkebunan yang menjadi tanggungjawab koodinasi mereka. Untuk Kebun-kebun tanaman keras, angka totalnya saja yang disebutkan di sini, per tanggal 27 Agustus 1953, ada sejumlah 56.673,81 ha yang diduduki tanpa izin, per tanggal 12 Juni 1954, 63.558,81 ha dan per tanggal 28 pebruari 1955 meningkat menjadi 69.160,69 ha, Sementara lahan yang diizinkan diduduki sebesar 4.621,50 ha. Keseluruhan luas itu ada di 145 Kebun.34

Sementara untuk kebun-kebun tembakau, berdasarkan lampiran surat tersebut tercatat peningkatan yang signifikan di 27 kebun tembakau atas tanah-tanah yang diduduki tanpa izin.Per tanggal 27 Agustus 1953, tercatat angka 16.946 ha tanah yang diduduki tanpa izin, kemudian bergerak menjadi 18.607, 70 per tanggal 12 Juni 1954 dan kemudian tercatat mejadi 21.012,50 ha di tanggal 28 Pebruari 1955. Tanah-tanah perkebunan tembakau di

32 AVROS. Memorandum 26 November 1955, Op.cit. Hal.2.

33 AVROS, Lampiran Beberapa Contoh dari Tuntutan Hukum Berkenan dengan Pengambilan Tanah Secara

dengan Tidak Sah. Hal. 1.

34 Surat AVROS kepada Tuan Paduka Inspektur Kepala Jawatan Pertanian Rakyat Propinis Sumatera Utara,

(12)

Kebun Bekalla per tanggal 28 Pebruari 1955, tercatat sebagai kebun yang tanahnya paling luas diduduki, yakni sebesar 4050 ha, menyusul dibawahnya adalah Tanjung Morawa Kiri, sebesar 1899 ha dan Pagar Marbau, 1833 ha. Sementara yang terkecil adalah Kebun Klumpang dengan 7,7 ha., Bulu Cina 15 ha. dan Klambir Lima dengan luas 60 ha.35

Menyusul diundangkannya UU darurat No.8 tahun 1954 serta mempertimbangkan kerumitan-kerumitan dalam perundingan yang dilakukan wakil pengusaha, pemerintah dan wakil-wakil dari rakyat yang menduduki tanah, dikeluarkanlah Keputusan Bersama No.1/1955 antara Menteri Agraria, Pertanian, Perekonomian, Dalam Negeri dan Kehakiman seperti yang telah disinggung sedikit dalam catatan kaki di halaman-halaman sebelumnya. Dan atas Surat Keputusan Bersama itu, Menteri Agraria mengeluarkan SK. No.102/Ka/1955 tentang pembentukan Kantor Reorganiasai pemakaian Tanah Sumatera Timur, yang bekerja langsung di bawah Kementerian Agraria dan SK No.104/Ka/1955 tentang Tugas dan Susunan Badan Pembantu Reorganisasi Pemakaian tanah Sumatera Timur yang secara langsung akan bertugas untuk melaksanakan pembagian tanah perkebunan dan pemindahan rakyat di daerah Sumatera Timur.

Tidak cukup dengan membentuk Kantor seperti yang termaktub dalam alinea di atas, Pemerintah pada tanggal 2 Oktober 1956 mengundangkan UU Darurat No 1 Tahun 1956 tentang Perubahan dan Tambahan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Kekhawatiran yang berlebih atas ekspansi lahan perkebunan oleh rakyat tercermin dalam Memori Penjelasan UU Darurat tersebut.

“Pada waktu yang akhir-akhir ini pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat dengan tidak seizin pengusahanya telah meningkat dengan tingkatan yang membahayakan suatu cabang produksi yang penting bagi negara dewasa ini dan sebagai akibatnya membahayakan pula perekonomian negara pada umumnya dan keuangan negara pada khususnya. Sebagai misal dapatlah dikemukakan pemakaian tanah-tanah perkebunan tembakau di Sumatera Timur, yang hingga beberapa bulan yang lalu masih terbatas pada tanah-tanah yang disediakan untuk ditanami tembakau. Tetapi sejak bulan Juli yang lalu pemakaian tanah itu tambah meluas, bahkan ditujukan pula pada tanah-tanah persemaian bibit untuk tanaman tahun 1957. Hingga saat itu pemakaian oleh rakyat tersebut, meskipun berarti mengurangi luasnya tanaman tembakau, akan tetapi tidaklah amat mempengaruhi jalannya produksi. Tetapi apa yang terjadi dalam bulan-bulan terakhir ini, khususnya yang mengenai tanah-tanah persemaian tersebut, benar berarti suatu tikaman maut terhadap produksi bahan yang penting bagi keuangan negara itu, apabila meluasnya pemakaian tanah-tanah tersebut selanjutnya tidak dapat diberantas dan dicegah segera.”36

Kriminalisasi terhadap rakyat semakin diperkuat dengan UU Darurat ini. Ancaman hukuman yang semula ditetapkan selama-lamanya 3 bulan hukuman kurungan atau denda

sebanyak-35 Ibid. Hitungan yang pasti tentang jumlah tanah-tanah yang diduduki untuk seluruh wilayah kebun dituliskan

oleh P.Rozendaal, Acting Head of The Financial Economic Dept AVROS untuk menjawab permintaan Francis J.Galbraith, American Consul di Medan. Per Kabupaten beliau menulis: Langkat, 7.732 ha, Deli/Serdang, 38.151 ha, Simelungun, 20.346 ha, Asahan, 14.791 ha, Labuhan Batu, 2.112 ha. Total 85.132 ha. Sementara jumlah penduduk yang menduduki lahan tersebut tidak ditemukan data yang pasti. Catatan yang diberikan Gubernur Sumatera Utara ada sekitar 120.000 jiwa, sementara estimasi AVROS adalah antara 40 – 50.000 keluarga berbasis estimasi penggunaan lahan 0.6 ha per keluarga. Lihat lebih lanjut Surat dari AVROS kepada American Consulate No.1080, tertanggal 25 Juli 1955 dengan judul: Data about Illegal Occupation.

(13)

banyaknya Rp.500.- diperberat masing-masing menjadi 6 bulan hukuman kurungan dan denda Rp.5000.-. Demikian juga pasal-pasal mengenai perintah pengosongan ternyata perlu pula disempurnakan, karena dalam prakteknya perintah-perintah pengosongan itu terpaksa harus ditangguhkan untuk waktu yang lama, akibat dimintakannya banding, kasasi oleh yang bersangkutan. Pasal 15 UU Darurat ini memberikan kekuasaan kepada Jaksa dan Polisi untuk mendukung pengosongan atas tanah-tanah tersebut terhitung 14 hari sejak keputusan tersebut diambil oleh hakim.

Kantor Berita Antara menelisik adanya aksi-aksi yang diorganisir dan tidak dapat dipertanggungjawabkan terkait pengambilan tanah oleh Rakyat dalam masa ini. Mereka mencatat sejak berlakunya UU Darurat No.8 tahun 1954 telah diduduki secara tidak sah seluas setidaknya 8.000 ha tanah kebun. Sejak tanggal 1 Januari 1956 – selama jangka waktu 4 bulan – dari tanah-tanah kebun tembakau saja telah nyata-nyata dipakai seluas 4.000 ha oleh pengambil-pengambil tanah. Kini orang tidak ragu-ragu lagi menebang atau membakar tanaman-tanaman jati dan hutan-hutan bambu. Dibentuk kiranya panitia-panitia untuk “membagi-bagi tanah konsesi”; markas-markas besarnya memasang papan-papan nama dan surat-surat-surat edaran dikirimkan kepada calon-calon pengambil tanah. Bahkan para pekerja di kota-kota pun dikerahkan untuk turut melakukan aksi-aksi pengambilan tanah secara besar-besaran. Para pengambil tanah yang telah habis menguras tanahnya, menjual tanah-tanah yang bersangkutan (beserta kartu pendaftaran menurut mana mereka digolongkan sebagai “pengambil tanah lama”) kepada tengkulak-tengkulak dan seterusnya menggabungkan diri dalam kumpulan-kumpulan pengambil tanah. Orang-orang yang berkedudukan lebih baik menyuruh orang lain mewakili dirinya dalam aksi-aksi pengambilan tanah.37

Hanya sekitar enam tahun saja sejak bulan Juni 1951, tanah seluas 125.000 ha yang khusus dialokasikan untuk tanaman tembakau berkurang sampai setengahnya, atau sekurang-kurangya tinggal sekitar 65.000 ha saja. Menurut Noelen, jumlah tersebut benar-benar tidak mencukupi untuk melanjutkan produksi tembakau –Deli pada taraf dewasa ini, terlebih oleh karena harus turut diperhatikan bahwa dari tanah ini terdapat banyak tanah-tanah cadangan (tarra) seperti: emplasemen kebun, jalan umum dan jalan kebun, tempat-tempat kediaman (kolonisasi) buruh (rumah-rumah, kebun-kebun, ladang), hutan bamboo dan hutan jati, saluran pengeluaran air, tanah-tanah pelindung (di pinggir sungai), tanah-tanah yang tidak dapat dipergunakan untuk pertanian.38

Gugatan atau setidaknya penolakan atas pemberlakuan UU Darurat No.1 Tahun 1956 datang dari sejumlah organisasi tani. Satu kesepakatan bersama, tertanggal 6 Maret 1957 yang ditandatangani oleh organisasi PETANI, STII, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu, SAKTI, PB.RTI, BP4.R, GTI dan Gaperta menyatakan bahwa: a. mereka tidak turut serta sehubungan dengan konsepsi BTI/VDM; b. Tidak dapat menerima penyerahan tanah secara langsung atau tidak langsung oleh Pemerintah kepada sesuatu Organisasi Tani; c. dalam penyelesaian tanah

37 Antara, 16 Juni 1956.

38 Surat Mr.R.Noelen, Ketua AVROS kepada Menteri Agraria tertanggal 1 Agustus 1956. Beberapa contoh

(14)

di Sumatera Timur supaya dilaksanakan tuntutan-tuntutan Organisasi Tani dengan dibentuknya satu Badan KRPT, dimana di dalamnya duduk organisasi-organisasi tani yang representatif dan d. tetap menolak berlakunya UU Darurat No.1 Tahun 1956.39

Akhir tahun 1957, satu panitia interdepartemental untuk urusan penyelesaian sengketa tanah perkebunan di Sumatera Timur dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri tertanggal 17 Oktober 1957 No.390/PM/1957. Laporan dari panitia inilah kelak yang dijadikan salah satu sandaran utama dibentukna Badan Pelaksana Penyelesaian Sengketa Tanah Perkebunan Sumatera Timur, yang menunjuk Gubernur Sumatera Utara sebagai Ketua merangkap anggota, dan R.Moh.Aliwasitohardjo, selaku Kepala Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah sebagai wakil ketua merangkap anggota dan bendahara. Dua dari empat tugas utama dari Badan pelaksana tersebut adalah membuat rencana penetapan areal baru bagi perusahaan ke bun di Sumatera Utara dan membuat rencana penyelesaian masalah-masalah dalam bidang perburuhan dan masalah-masalah pendudukan tanah perkebunan oleh Rakyat.40

Usaha-usaha melalui perundingan dan seterusnya yang terus dijalankan oleh pemerintah ternyata tidak pernah mencapai keberhasilan yang memuaskan di lapangan. Bersamaan dengan kegagalan Konprensi Meja Bundar dan Nasionalisasi Perkebunan Belanda, Militer masuk dan mengambil peran untuk terlibat dalam penyelesaian pendudukan lahan-lahan perkebunan menurut cara yang mereka fahami yakni apa yang disebut dengan “tindakan militer”. Sejak dikeluarkannya Surat No.K-1457/1958 dari, Let.Kol.Djamin Gintings, Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Sumatera Utara, terbukalah jalan bagi militer untuk menjadi bagian penting dalam konflik tanah-tanah perkebunan di wilayah ini. Butir C dari Surat tersebut menyebutkan:”Dengan tidak bermaksud untuk menutup jalan penyelesaian secara musyawarah antara semua pihak yang bersangkutan, supaya Komandan mengambil tindakan yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap setiap penggarap liar tanah perkebunan yang dengan perbuatannya nyata-nyata mengancam atau membahayakan kelangsungan hidup perkebunan yang bersangkutan.41

Setidaknya persoalan pendudukan lahan perkebunan tidak pernah diselesaikan secara tuntas sampai tahun 1960 dan sesudahnya. Perpindahan penguasaan lahan-lahan eks konsesi perkebunan yang semulanya adalah tanah-tanah Kesultanan di Sumatera Timur dan masyarakat adatnya ke tangan pemerintah Indonesia mendapat tambahan amunisi dengan masuknya rakyat dari berbagai tempat di wilayah ini untuk menduduki dan menguasai lahan konsesi eks perkebunan asing. Kesulitan beras selepas Kapitulasi Jepang menstimulir pendudukan tersebut.

B. Kaaphout in Landbouwconcessie (Pemotongan Kayu di Lahan Konsesi)

Diskusi tentang pemotongan kayu di lahan-lahan konsesi perlu dibentangkan dalam konteks ini setidaknya dengan dua alasan. Pertama, kejadian ini membuka ruang untuk menelusuri rekam jejak hak-hak rakyat atas tanah konsesi perkebunan berbasis aturan-aturan yang ada sebelumnya (pasal-pasal dalam konsesi perkebunan). Kedua, ingin menunjukkan bagaimana cara pandang perkebunan dan pemerintahan setempat dalam memformulasikan hak-hak

39 Lihat Pernyataan Bersama Organisasi Tani, Tanggal 6 Maret 1957. Organisasi Tani kelihatan menolak dengan

tegas perlakuan diskriminatif terhadap mereka dan hanya menjadikan BTI sebagai representatipitas Organisasi Tani dalam KRPT.

40 Lihat Surat keputusan Menteri Agraria Republik Indonesia No.SK.;224/Ka.Thn.1958.

41 Lihat Surat Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Sumatera Utara, No. K-1457/1958 tentang Pedoman

(15)

rakyat atas tanah yang telah ada sebelumnya dan hilangnya kekuasaan raja-raja Melayu di atas konsesi yang telah dibuatnya bersama dengan perkebunan asing.42

Soal tentang pemotongan kayu dalam lahan konsesi sudah sejak lama menjadi isu penting dalam hubungannya dengan apa yang bisa diambil dan siapa saja yang mempunyai hak untuk itu. Menurut Baros, sejak awal ada banyak pertanyaan terkait apa saja yang dimaksud dengan boschproducten (hasil hutan), natuurlijke producten (hasil alam) sebagai yang tersebut dalam pasal-pasal akte konsesi yang ada. Menurut catatan beliau, Sultan Serdang merasa keberatan bahwa satu onderneming memotong dan menggergaji kayu dari dalam konsesinya dan membawa kayu tersebut ke lain onderneming yang letaknya di luar negeri Serdang, yakni di negeri Langkat. Tahun 1902 juga terjadi perselisihan yakni perkebunan merasa keberatan terhadap Sutan Mengedar dari Langkat yang menyuruh memotong kayu hutan di dalam tanah perkebunan dan menyuruh menggergajinya menjadi papan untuk rumahnya dan mesjid yang akan didirikannya.43

Aturan normatif paling awal yang mengatur tentang pemotongan kayu di lahan-lahan konsesi bisa dirujuk ke pasal 9 model akte konsesi 1877 dan 1878. Pasal 9 model akte 1877 berbunyi: “Het zal aan de bevolking ten allen tijde vrij staan in het nog niet ontgonnen gedeelte der aan den contracten ter andere zijde afgestane gronden rotting en andere boschproducten te verzamelen.” (Di bagian tanah yang belum dibuka oleh pihak perkebunan, rakyat senantiasa berhak mengambil rotan dan hasil-hasil hutan lainnya). Pasal 9 model akte 1878 dan 1884 kata-kata “rotting en andere boschproducten” diubah menjadi “natuurlijke producten in te verzamelen, ook brand en timmerhout, doch in het laatste alleen voor haar eigen gebruik” (hasil-hasil alam, juga kayu api dan kayu untuk pertukangan, sepanjang hanya untuk kebutuhan/penggunaan sendiri). Dalam pasal 9 model akte 1878 dan 1884 ini juga disebut istilah “de daarop volgens de landinstellingen rechthebbende bevolking”. Yang menurut Mahadi, istilah ini mengandung makna, bahwa yang berhak untuk mengambil hasil alam dan hutan adalah orang-orang yang berhak berdasarkan hukum setempat (adat).44

Perkembangan-perkembangan berikutnya menunjukkan persoalan ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk di atur dengan cara bagaimana pengusaha perkebunan melibatkan dirinya. Pasal 8 Model akte konsesi tahun 1892 menunjukkan hal ini secara jelas. Pasal 8 berbunyi: “Het zal aan de daarop volgens landinstellingen rechthebbende bevolking te allen tijde vrij staan om in het nog niet ontgonnen gedeelte van het concessieterrein natuurlijke

42 Mahadi menyebutkan hilangnya kewenangan Kesultanan (zelfbestuur/swapraja) yang ada di zaman Hindia Belanda sejalan dengan terbentuknya Negara Sumatera Timur (Stb.1947/217), tertangga; 25 Desember 1947, yang dalam pasal 5 ayat 1 nya menyatakan: “Sementara menunggu adanya aturan yang lebih lanjut tentang kedudukan-kedudukan swapraja yang ada di Negara Sumatera Timur, tugas dan kedudukan swapraja-swapraja itu dijalankan oleh Negara Sumatera Timur. Mahadi, Op.cit. Hal.139. Sementara Budi Harsono menyebutkan semua hak-hak dan wewenang-wewenang swapraja itu sudah beralih kepada Menteri Agraria berdasarkan ketentuan UU No.7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan wewenang Agraria. Lihat Harsono, Budi. “Undang-Undang Pokok Agraria.” Bagian Pertama, Jilid I, Jakarta, Penerbit Jambatan, 1971: Hal.418. Namun menurut hemat kami, hilangnya kewenangan, semestinya tidak menghilangkan hak-hak keperdataan yang dimilikinya, terutama terkait akibat-akibat dari kontrak konsesi yang dibuat secara bersama dengan para

planters.

43 Baros. W.H.U. Persoalan Pemotongan Kayu di Dalam Tanah Landbouw Concessie/Erfpact. Bahagian Afraria GAPPERSU, 18 September 1958.

44 Mahadi, Sedikit Sejarah.. dst. Op.cit. Hal.107. Menurut Bool, HJ, Op.cit. Hal.73, dengan istilah

(16)

producten in te zemelen, ook brand en timmerhout, doch dit laatste alleen voor har eigen gebruik en met voorkennis van den Concessionaris.” Pasal ini menunjukkan adanya perubahan pemanfaatan hasil-hasil alam di atas lahan konsesi yang belum ditanami secara leluasa oleh rakyat dengan voorkennis (pengetahuaan awal) dari pemegang konsesi terlebih dahulu.

Larangan-larangan terhadap eksploitasi lahan secara membabi buta oleh pemegang konsesi perkebunan dan terkait dengan penghormatan atas tanaman-tanaman yang mempunyai nilai penting dalam masyarakat setempat juga ditandai dalam akta konsesi. Pengaturannya misalnya bisa dijumpai dalam pasal 12 model akte 1884, yang bagian pentingnya berbunyi: “Langs de oevers der rivieren moet een strook lands van ten minste 25 vadem breedte buiten expolitatie blijven. Het op die strook voorkomende houtgewas zal niet gekapt mogen worden.” (sepanjang 25 depa dari tepian sungai, dilarang untuk mengekspolitasinya dan memotong pepohonan yang tumbuh berikutnya). Pengaturan pasal ini kemudian dirubah kembali dalam pasal 11 model akte 1892 dengan menyebutkan batas sampai 50 meter dari sungai dan 100 meter dari mata air, sebagai kawasan dimana pepohonan tidak boleh ditebang kecuali ada izin dari penguasa setempat (Het Hoofd van Plaatselijk Bestuur). Ayat 2 Pasal 11 model akte 1892 memberikan pengecualian kepada Hoofd van Plaatseleijk Bestuur untuk meminta pemegang konsesi melakukan pemotongan di kawasan yang ditunjuk jika itu dibutuhkan untuk kepentingan umum (het algemeen belang).45

Kekaburan-kekaburan tentang kewenangan zelfbestuur dan concessionaris atas kayu yang ada dalam tanah perkebunan coba diantisipasi oleh Governeur der Oostkust van Sumatra melalui suratnya No.920/Agr, tertanggal 23 Desember 1922. Surat tersebut ditujukan kepada Planters Committee di Medan. Isi surat tersebut intinya menyatakan: “Het Zelfbestuur moet derhalve ook na de uitgifte van eenig perceel in landbouw concessie, geacht worden het beschikkingsrecht over houtgewas, voor zover het kappen daarvan niet ten behoeve van de landbouw concessie nodig is, te hebben behouden.” ( Kesultanan memiliki hak penguasaan atas tanaman yang berada di atas tanah konsesi perkebunan setelah konsesi ditandatangani, pemotongan atas kayu tersebut sepanjang tidak menjadi kebutuhan dari landbouwconcessie). Sedangkan wewenang concessionaris di atas kayu-kayu yang tumbuh di dalam kebunnya, Tuan Asisten Resident yang diperbantukan atas perintah Tuan Gouverneur der Oostkust van Sumatra di dalam suratnya No.1114/AZ bertanggal 7 Juni 1928 dialamatkan kepada Tuan Voorzitter van de Algemene Vereneging van Rubberplanters (AVROS) ter Oostkust van Sumatra menyatakan antara lain: “ dat de landbouwconcessieonaris gerechtigd is over houd, dat gekapt is om het landbouwbedrijf mogelijk te maken, vrijelijk te beschikken en dus dat hout deswild mag verkopen en naar elders vervoeren.” (terhadap tanaman-tanaman yang terletak di dalam areal konsesi perkebunan, pemegang hak konsesi memiliki hak untuk memotongnya dan menjualnya kepada pihak ketiga). Sementara untuk kayu-kayu yang berasal di areal konsesi yang belum dibuka atau ditanami, tidak boleh dijual oleh pemegang

45 Pengaturan tentang hal yang kurang lebih sama dapat terlihat dalam erfpachtsovereenkomst, namun tidak terlalu disinggung dalam konteks ini lebih karena studi ini mengandalkan perjanjian konsesi sebagai basis dasar kajian. Pasal 27 erfpachtsovereenkomst misalnya mengatakan “zonder vergunning van het afdelingshoofd mag het houtgewas niet gekapt worden (tanpa izin dari kepala afdeling, tanaman/pepohonan tidak boleh ditebang); 100 meter dari sumber air dan pepohonan tersebut terletak 200 meter di atas permukaan laut. Soal kewenangan pemegang hak erfpacht (erfpachter) atas pepohonan dan tanaman yang ada di dalam tanah perkebunan, jauh lebih jelas di dalam perjanjian erfpacht dibanding perjanjian konsesi (Pasal 25 erfpachtovereenkomst, menyebutan misalnya, bahwa pemegang hak erfpacht mempunyai hak penguasaan atas bomen dan gewassen

(17)

konsesi (Hout afkomstig van onontgonnen gronden zal echter zeker niet door de concessionaris mogen worden verkocht).

Walaupun kedua ketentuan itu sedikit banyak memberikan patokan yang tegas dalam soal pemotongan kayu di dalam perkebunan, namun masih timbul juga perselisihan pendapat di dalam mengartikan “wat the behoeve van de landbouwconcessie nodig is” sebagai pengecualian atas wewenang Kesultanan sebagaimana ditentukan dalam surat Gubernur Sumatera Timur yang disebutkan di atas. Tafsir yang dipakai oleh pemerintah (umumnya Jawatan Kehutanan setempat) adalah bahwa segala pohon-pohon kayu di areal kebun yang belum dibuka dianggap sebagai kayu yang belum dibutuhkan oleh pemegang konsesi, oleh karena itu rakyat boleh mengusahakannya.46 Sementara itu soal pemotongan kayu di dalam

tanah perkebunan oleh rakyat untuk keperluan sendiri persyaratannya adalah: a. Ia harus rakyat yang menurut adat berhak atas pohon-pohon kayu tersebut; b. Kayu yang ia berhak memotongnya itu ialah kayu yang ada di onontgonnen gedeelte dari perkebunan; c. Kayu yang dipotongnya itu adalah untuk dipakainya sendiri.

Perubahan-perubahan derastis tentang terminologi zelfbestuur selepas perang (selepas kemerdekaan 17 Agustus 1945) terlihat sekali dalam pengaturan pemotongan kayu ini. Jika sebelum perang terminologi itu merujuk kepada Kesultanan dengan pemerintahannya sendiri, namun sekarang kewenangan itu merujuk kepada pemerintahan negara Sumatera Timur. Menurut Ketetapan Direktur Departemen Pemerintahan Negara Sumatera Timur tertanggal 27/B/A.Z. bertanggal 17 Desember 1948, yang dimaksud dengan zelfbestuur dalam hal ini adalah Kepala Jabatan Negara untuk Kehutanan Sumatera Timur, cq. Camat/Asisten Wedana.47 Kewenangan ini diperololehnya berdasarkan pasal 9 zelfsbestuursverordening op

het kappen van hout buiten de bosreserves, yang berbunyi: “Keizinan tersebut boleh diberi buat memotong dalam hutan yang belum pernah direba, di kebun-kebun dan tambang (mijnbouw) asal jangan merusakkan sekalian apa yang digunai buat pertamanan dan tambang.”48

Satu perubahan lainnya zaman setelah perang adalah izin penebangan kayu untuk kebutuhan sendiri tidak lagi hanya diberikan secara khusus kepada rakyat sekitar perkebunan yang menurut adat berhak untuk itu, melainkan juga orang-orang lain yang datang dan membutuhkan kayu, seperti misalnya para transmigran yan mulai berdatangan ke wilayah ini. Dan selanjutnya perusahaan perkebunan yang ingin melakukan pemotongan kayu di lahan yang belum ditanami, juga harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah setempat.49

Surat Dinas Kehutanan Daerah Sumatera Utara yang disebutkan dalam alinea di atas dibalas oleh Gabungan Pengusaha Perkebunan (GAPPERSU), melalui suratnya tertanggal 31 Oktober 1959 dengan menyitir kembali pasal 9 model akte 1884, pasal 8 model akte 1892 yang telah disebutkan dalam alinea-alinea terdahulu dengan menekankan terminologi “het zal aan de daarop volgens de landinstelinggen rechthebbende bevolking.” Terminologi tersebut belum pernah dihapus, dan jika memang itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan maka mestinya ada aturan hukum yang mengubahnya.

46Baros, Op.cit. Hal.2

47 Ibid Hal.4

48 Lihat Surat Dinas Kehutanan Daerah Sumatra tingkat I Sumatera Utara, No 482/VI/7, tertanggal 17 Pebruari

1959 dan Surat No.12789/3/Sekr. Tertanggal 3 Juni 1959yang dialamatkan kepada Gubernur Propinsi Sumatera Utara.

49 Ini didasarkan oleh suppletoir artikel 32 akte konsesi yang berbunyi: “De concesionaris heeft allen de vrije

(18)

Menurut GAPPERSU, jawatan kehutanan belum berhak memberi izin memotong kayu di dalam tanah kebun yang belum dibuka (in onontgonen gedeelte). Biarpun nanti wewenang itu diberikan kepada Jawatan Kehutanan namun Jawatan Kehutanan harus mendapat keterangan dari Pengusaha Perkebunan lebih dulu atau sudah diputuskan oleh Kepala Daerah Propinsi, bahwa kayu yang mau dipotong tersebut itu tidak diperlukan untuk kepentingan perkebunan.50

Jawaban GAPPERSU sebenarnya lebih memakai logika hukum postif berbasis kepada zelfsbestuursverordening.

Pasal 1 dari peraturan tersebut mengatakan bahwa dilarang memotong kayu di dalam daerah zelfbestuur itu tanpa izin. Kemudian di pasal 2 nya ditetapkan pihak-pihak yang diberi wewenang untuk memberikan izin, yakni a. Zelfbestuur sendiri atau, b. Oleh kepala-kepala yang akan ditunjuk oleh zelfbestuur atau c. Oleh pegawai-pegawai yang diangkat oleh zelfbestuur dan d. Boleh juga, jika zelfbestuur menghendaki, di atas nama zelfbestuur oleh Kepala Pemerintahan Setempat (Hoofd of Hoofden van Plaatselijk Bestuur dan boleh juga, jika dikehendaki manakala ada di daerah zelfbestuur itu, oleh Jawatan Kehutanan. Oleh karena itu, tidak beralsanlah sebenarnya dari Jawatan Kehutan bisa memberikan izin untuk pemotongan kayu secara langsung dengan menghiraukan pasal-pasal dalam zelfsbestuursverordening.

Perbenturan cara pandang dan kepentingan antara perkebunan dan pemerintah terlihat jelas sekali dalam penyelesaian soal kewenangan pemberian izin pemotongan kayu baik untuk kebutuhan pemakain sendiri oleh rakyat maupun untuk diperniagakan. Pada akhir tahun 1959 pihak GAPPERSU sekali lagi melancarkan tekanan kepada pemerintah dengan mengajukan satu konsep surat yang panjang memerinci sejumlah argumentasi dan keberatan-keberatan mereka atas campur tangan yang berlebihan pemerintah dan ketidaktaatan mereka atas hukum positif yang masih ada dan belum pernah dicabut.

Keberatan pengusaha perkebunan terhadap pemotongan kayu di dalam tanah kebun untuk pemakaian sendiri bertumpu kepada fakta bahwa: a. Banyak golongan instansi Pemerintah yang memberikan surat izin memotong kayu di dalam tanah kebun, sehingga disangsikan bahwa apakah orang tersebut berwenang memberikan izin itu atau tidak. Diantaranya disebut wakil Penghulu, Penghulu, Lurah dan sebagainya; b. Pemberian izin itu diberikan kepada siapa saja yang pandai meminta, sehingga kepada orang yang tidak berhakpun izin itu diberikan; c. Jumlah kayu yang dipotong itu selalu didapati jumlah yang berlebih-lebihan, yautu dengan cara umpamanya diperlukan 1 ton, maka diminta 10 ton. Yang 9 ton itu diberikan kepada saudagar kayu dengan janji 1 ton kayu diberikan kepada orang yang pandai meminta izin itu dengan Cuma-Cuma; d. Kayu yang dipotong itu tidak selamanya dipotong dari dalam hutan yang mereka berhak memotongnya; e. Tempo-tempo kayu yang diperlukan untuk kepentingan perkebunan tanpa dimufakatkan dengan pengusaha perkebunan, juga diizinkan dipotong guna pakai sendiri.51

Mengenai pemotongan kayu di dalam tanah kebun untuk diperniagakan, keberatan yang diajukan adalah: a. Sampai dimanakah hak kebun (si penyewa) dan hak Pemerintah sebagai pihak kedua (yang menyewakan) atas pokok-pokok kayu yang berada di dalam tanah kebunnya; b. Bolehkah kayu-kayu itu dibenarkan dipotong untuk perniagaan atau sebagai perusahaan tanpa izin, persetujuan atau pemberitahuan kepada perkebunan; c. Siapakah yang

50Lebih lanjut lihat Surat GAPPERSU No.980 tertanggal 31 Oktober 1959 yang ditujukan kepada Paduka Tuan

Gubernur/Kepala Daerah Swatantra I Sumatera Utara.

(19)

berhak memberikan izin untuk memotong kayu untuk perniagaan atau sebagai perusahaan itu, dan d. Wajibkah pengusaha perkebunan atau tidak meminta izin terlebih dahulu sebelum ia memotong kayu di dalam perkebunannya guna kepentingan perkebunannya.52

Yang menarik dari konsep surat yang ditulis oleh GAPPERSU tersebut adalah soal siapakah yang berhak mendapatkan izin untuk memotong kayu di tanah perkebunan untuk pemakaian sendiri. Pihak perkebunan selamanya berpendapat bahwa orang yang berhak itu ialah Rakyat yang berhak menurut adat istiadat yang disebut dalam pasal 9 dari model akte konsesi 1884 dan pasal 8 dari model akte 1892. Rakyat yang dimaksud menurut adat istiadat tersebut adalah rakyat yang diatur dalam peraturan Rakyat Penunggu tahun 1924. Jadi menurut perkebunan, tidak tiap-tiap orang dapat dikatakan rakyat yang berhak menurut adat istiadat itu.53

Peneguhan terhadap kompetensi Rakyat Penunggu dalam kewenangan mendapatkan izin pemotongan kayu di dalam areal perkebunan yang dipakai oleh pengusaha perkebunan cukup beralasan baik secara juridis, historis dan sosiologis. Secara juridis, Peraturan Rakyat Penunggu tahun 1924 masih tetap berlaku dan merupakan peraturan terakhir yang dibuat untuk mengurangi ketegangan-ketegangan antara Rakyat yang berada disekililing perkebunan dengan pengusaha perkebunan yang mengikat perjanjian konsesi dengan Kesultanan (untuk dan atas nama rakyat Melayu setempat). Secara historis, Rakyat Penunggulah yang merupakan kelompok rakyat yang terlibat dan mengalami akibat-akibat langsung dari pengikatan perjanjian konsesi, yakni hilangnya peluang untuk mengeksploitasi lahan-lahan nenek moyang mereka secara bebas dan maksimal. Dan secara sosiologis, serbuan pendatang-pendatang baru dari wilayah-wilayah lain di kawasan ini setelah Jepang angkat kaki, menimbulkan kekaburan tentang kelompok-kelompok mana yang secara orisinil berwenang untuk mendapatkan izin pemotongan kayu tersebut.

Banyaknya kayu yang boleh dipotong oleh Rakyat Penunggu, menurut pengusaha perkebunan dipulangkan kepada pasal 9 model akte 1884 dan pasal 8 model akte 1892. Kedua pasal tersebut membolehkan mengambil kayu untuk keperluan sendiri. Di dalam pengertian keperluan sendiri tersebut telah termasuk pengertian bahwa banyaknya kayu itu tidak boleh melebihi untuk keperluan sendiri itu. Penjelasan terakhir ini sedikit agak kabur, sehingga oleh pemerintah Negara Sumatera Timur kemudian diperjelas bahwa banyaknya keperluan sendiri itu untuk tiap-tiap surat izin adalah 5-6 m³ kayu bulat atau 3 m³ kayu yang telah digergaji atau 50 biji kayu panjang dan bulat atau 80 m kayu api.54

Mengakhiri uraian berkaitan isu diseputar pemotongan kayu di areal perkebunan ini, kita melihat betapa perusahaan perkebunan yang berbasis konsesi (bukan erfpacht) berupaya untuk menguasai hak konsesi yang dimilikinya secara holistik dengan mengartikan vrije beschikking yang tertera dalammodel akte yang telah disebutkan berulang kali di atas sebagai penguasaan hak secara bebas atas areal konsesi perkebunan. Ini terlihat dari uraiam mereka yang mengatakan bahwa jika perusahaan memiliki de vrije beschikking, maka tidaklah ada logikanya untuk minta izin lebih dahulu apakah ia mau mengunakan hak vrije beschikking-nya itu.

52 Ibid. Hal.1

53 Ibid . Hal.2.

54 Lihat Keputusan Kepala departemen Pemerintahan Negara Sumatera Timur No.27/B/AZ tertanggal 17

(20)

Menurut Perusahaan perkebunan, hak vrije beschikking-nya itu terletak atas seluruh tanah perusahaannya, jadi juga di atas bahagian yang belum diusahakannya (in niet ontgonnen gedeelte). Jadi kata-kata naar het ordeel van het hoofd van gewestelijke bestuur strekt ten behoeve van zijn onderneming, menurut perusahaan perkebunan tidaklah harus diartikan bahwa perkebunan harus meminta izin terlebih dahulu untuk melakukan pemotongan kayu di atas areal konsesinya. Melainkan kata-kata tersebut adalah sebagai alat koreksi di dalam penyalahgunaan hak vrije beschikking yang dimilikinya itu.55 Argumentasi ini setidaknya

pengusaha perkebunan yang berbasis kontrak konsesi ingin menyamaratakan haknya seperti pengusaha perkebunan yang memperoleh hak erfpacht, dan oleh karena itu tidak perlu meminta izin bagi pemotongan-pemotongan kayu di areal perkebunannya.56 Padahal dengan

sifat konsesi yang dimiliknya ada batasan-batasan yang tak bisa dilanggarnya dalam pemenuhan hak dan kewajiban konsesi tersebut.

C. Tanah Jaluran: Masa-masa Akhir Pengakuan dan Awal Perjuangan Organisasi Rakyat Penunggu

Rentang waktu sekitar 30 tahun setelah Peraturan Rakyat Penunggu di tahun 1924 dikukuhkan, gejolak tentang pengusahaan lahan-lahan tembakau yang baru selesai dipanen masih terus berlangsung di kawasan ini. Persoalan ini menjadi tambah rumit karena soal-soal kemunduran perkebunan akibat kapitulasi Jepang, kekurangan beras, perpindahan penduduk dari wilayah-wilayah lain di Sumatera Utara (utamanya dari wilayah Tapanuli), kriminalisasi petani dan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh perkebunan dalam pemberian tanah jaluran kepada buruh-buruh perkebunan mereka sendiri.

Bagian ini mencoba mengurai kembali dinamika yang terjadi dalam zaman setelah perang sampai sekitar era nasionaliasi dimana kekuasaan zelfsbestuur Kesultanan Deli dan kawasan lainnya di Sumatera Utara mulai memudar dan semakin tidak lagi mendapatkan tempat dan perbincangan dalam pengaturan atas lahan-lahan konsesi perkebunan yang pernah mereka buat dengan para planters asing yang datang kehadapan mereka untuk sebuah perjanjian sewa jangka panjang yang lazim disebut konsesi.

Jaluran dan Rakyat Penunggu adalah dua sisi dari mata uang yang saling terhubung. Rakyat Penunggu ada karena Jaluran, sebaliknya Jaluran tersedia dan disediakan hanya untuk Rakyat Penunggu. Konsekwensi dari karakteristik tanah dari tanaman tembakau yang membutuhkan satu masa panjang untuk diberakan (dibiarkan, dikosongkan) setelah panenan, merupakan jalan masuk rakyat yang ada di sekitar perkebunan untuk memanfaatkan areal yang sangat kaya unsur haranya bagi penanaman padi dan palawija. Peraturan Rakyat Penunggu tahun 1924 mengakhir perdebatan panjang yang terus terjadi tentang siapa yang berhak atas tanah jaluran tersebut.

Untuk Kesultanan Deli, Peraturan tersebut disahkan melalui melalui Keputusan Sultan tertanggal 12 Maret 12 Maret 1924, Nomor.361 dan dinyatakan berlaku oleh Gubernur Sumatera Timur pada tanggal 23 Juni 1924. Di Kesultanan Serdang, disahkan melalui Keputusan Sultan tertanggal 19 Mei 1924/ No.40/B, dan diberlakukan oleh Gubernur Sumatera Timur pada tanggal 23 Juni 1924.Sementara di Kesultanan Langkat, disahkan

55 Konsep Surat GAPPERSU, Op.cit. Hal.5

56 Pasal 25 dari erfachtovereenkomst menyatakan bahwa de erfachter heeft de vrije beschikking, tenzij

Referensi

Dokumen terkait

Latasir adalah lapis penutup permukaan jalan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya dan aspal keras yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “RISK ASSESSMENT PADA UNIT PENGELOLAAN

Pada tahun 2003, berdasarkan hasil analisis daerah rawan DBD dilihat dari faktor lokasi kejadian dan faktor kesehatan lingkungan, kecamatan Cibeunying Kidul dan kecamatan

Jelaskan sertakan contohnya, penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan kesehatan akibat dari kelebihan atau kekurangan zat gizi, yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, khususnya

Merakit (pemasangan setiap komponen, handle, poros pemutar, dudukan handle alas atas bawah, dan saringan).. Mengelas (wadah dengan alas atas, saringan, handle, dan

Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko

Berdasarkan pada analisa pasar dapat disimpulkan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan, mengingat belum adanya pesaing langsung dalam bisnis ini walaupun pesaing

jantung pada dinding dada.Batas bawahnya adalah garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung... FISIK DIAGNOSTIK JANTUNG DAN