PELAKSANAAN PEMBIAYAAN MURABAHAH BERDASARKAN PRINSIP HUKUM EKONOMI SYARIAH
(Studi di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung)
(Skripsi)
Oleh M Haris Fikri
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PELAKSANAAN PEMBIAYAAN MURABAHAH BERDASARKAN PRINSIP HUKUM EKONOMI SYARIAH
(Studi di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung) Oleh:
M. HARIS FIKRI
Bank syariah adalah bank yang menggunakan dasar syariah Islam dan menjalankan usahanya dengan prinsip syariah yang mengacu kepada Al-Quran
dan Al-Hadits. Bank yang pertama kali menjalankan sistem syariah adalah Bank Muamalat, pada Bank Muamalat bentuk akad yang telah dikembangkan salah satunya adalah pembiayaan murabahah (jual beli barang pada harga pokok dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati). Adanya pembiayaan yang disalurkan Bank Muamalat senantiasa akan mengandung risiko, yaitu risiko kerugian akibat pemberian pembiayaan yang tidak lancar atau pembiayaan bermasalah. Untuk itu, penelitian ini dilakukan pada Bank Muamalat Cabang Bandar Lampug mengkaji dan membahas, pertama pelaksanaan pembiayaan
murabahah pada Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ditinjau berdasarkan prinsip hukum ekonomi syariah, kedua upaya penyelamatan terhadap pembiayaan
murabahah yang bermasalah.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif, mengunakan pendekatan normatif-terapan dengan tipe pendekatan normatif analitis substansi hukum (approach of legal content analysis). Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data dan sistematisasi data yang selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Upaya penyelamatan pembiayaan murabahah bermasalah pada Bank Muamalat Cabang Bandarlampung meneliti nasabah, apabila beritikad baik maka upaya penyelamatan pembiayaan murabahah bermasalah dilakukan melalui restrukturisasi pembiyaan dengan cara rescheduling (penjadwalan kembali),
reconditioning (persyaratan kembali), dan restructuring (penataan kembali). Dengan adanya restrukturisasi pembiayaan, maka nasabah mampu melaksanakan kewajibannya kembali dan risiko kerugian bank syariah pun dapat terhindari.
PELAKSANAAN PEMBIAYAAN MURABAHAH BERDASARKAN PRINSIP HUKUM EKONOMI SYARIAH
(Studi di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung)
Oleh M. Haris Fikri
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah M Haris Fikri. Penulis
dilahirkan di Panjang, Bandarlampung pada tanggal 11
Januari 1994, yang merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara, dari pasangan Bapak Ahud Misbahuddin dan
Ibu Misnawati.
Penulis telah menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD 1 Karang Maritim
Panjang, Bandarlampung pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP
23 Bandarlampung pada tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Al-
Kautsar Bandarlampung pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN
Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Tanjung Harapan
MOTO
“Penjual dan pembeli keduanya berhak memilih selama keduanya belum berpisah.
Maka jika keduanya jujur dan saling menjelaskan dengan benar, maka akan
diberkahi pada bisnis keduanya. Namun jika menyembunyikan cacat dan dusta,
maka terhapuslah keberkahan jual beli tersebut”
(HR. Bukhari – Muslim)
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”
(HR. Ibnu Majah)
“Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman. Tamu
itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan”
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kepada-Mu Allah SWT dan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Penulis persembahkan karya ini kepada:
Ayahandaku Ahud Misbahuddin dan Ibundaku Misnawati yang telah membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang tiada henti-hentinya menasehati, mendoakan dan mendidik anaknya dengan penuh kesabaran dan rasa
sayang yang tulus dan selalu menyemangati anaknya agar terus berproses , berjuang menjalani dan memaknai hidup yang diridhoi Allah SWT, serta
Kakak dan adikku yang telah mendoakan dan memberikan motivasi.
dan
SANWACANA
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh
Alhamdulillahirobbil’alaamiin, puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah
SWT, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah Berdasarkan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah (Studi Di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung)”, sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak
lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu dalam
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih
yang setulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H, M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum
kesabaran, memberikan motivasi, kritikan, dan kesediaan untuk meluangkan
waktunya disela-sela kesibukan beliau;
4. Bapak Aprilianti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan motivasi dan masukan
yang membangun serta mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan;
5. Ibu Wati Rahmi Ria, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;
6. Ibu Dita Febrianto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas II yang juga telah
memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;
7. Ibu Rehulina, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah membantu
penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;
8. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung,
khususnya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Keperdataan yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta segala
kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;
9. Teristimewa untuk orang tuaku tercinta Papa dan Mama yang telah membesarkan
penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta kakak dan adikku yang
memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada penulis. Tanpa kasih sayang
dan doa kalian semua ini bukan apa-apa.
kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya dan menjadi manfaat bagi
penulis untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuannya di bidang
hukum.
Wabillahitaufik Walhidayah Wassalamu’allaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, 20 April 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...i
HALAMAN JUDUL ...iii
HALAMAN PERSETUJUAN ...iv
HALAMAN PENGESAHAN ...v
RIWAYAT HIDUP ...vi
MOTO ...vii
HALAMAN PERSEMBAHAN . ...viii
SANWACANA ...ix
DAFTAR ISI ...xiii
I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang . ...1
B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ...9
1. Rumusan Masalah...9
2. Ruang Lingkup ...9
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ...9
1. Tujuan Penelitian ...9
2. Kegunaan Penelitian ...10
II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum Tentang Akad ...11
1. Pengertian Akad...11
2. Rukun dan Syarat Akad ...14
a. Shigat al-‘Aqd (Ijab Kabul) ...15
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ekonomi Syariah ...18
1. Pengertian Ekonomi Syariah ...18
2. Konsep Ekonomi Syariah ...19
3. Pertukaran yang Dilarang ...22
a. Riba ...22
b. Gharar atau Taghrar ...24
c. Ghabn ...25
d. Masyir ...25
4. Permasalahan Penyerahan Dan Pengikatan Objek Pertukaran ...26
C. Tinjauan Umum Tentang Akad Pembiayaan ...31
1. PengertianPembiayaan ...31
2. Dasar Hukum Pembiayaan pada Bank Syariah ...31
D. Tinjauan Umum Tentang Akad Murabahah ...32
1. Pengertian Murabahah ...32
a. Pengertian Murabahah Secara Bahasa ...32
b. Pengertian Murabahah Secara Istilah ...33
c. Pengertian Murabahah Secara Praktik ...34
2. Rukun Murabahah ...36
3. Dasar Hukum Murabahah ...36
4. Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah ...37
E. Gambaran Umum Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...41
1. Profil Singkat Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...41
2. Produk Perbankan di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...42
F. Kerangka Pikir ...44
III. METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ...46
1. Bahan Hukum Primer ...48 A.Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...52
1. Regulasi yang dipakai dalam Akad Murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...52
2. Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah Berdasarkan Teori dan Praktik ....57
a. Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah ...57
b. Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...58
c. Ketentuan yang dipakai dalam Akad Murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...60
d. Prosedur yang dilakukan Nasabah Guna Memperoleh Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...65
e. Contoh Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah Menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah ...68
B.Upaya Penyelamatan Pembiayaan Murabahah Bermasalah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...69
1. Syarat Restrukturisasi Pembiayaan ...72
2. Tahapan Penyelesaian Pembiayaan Murabahah yang Bermasalah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung ...74
a) Rescheduling (penjadwalan kembali) ...74
V. KESIMPULAN ...81
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam mengembangkan pembangunan nasional. Kegiatan utama dari
perbankan adalah menyerap dan menyalurkan dana ke masyarakat.1 Dunia
perbankan mengenal dua sistem, yaitu sistem ekonomi konvensional dan sistem
ekonomi syariah. Sistem ekonomi konvensional terdapat Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat.
Secara yuridis formal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan selanjutnya disebut UUP. Pengertian bank umum sendiri dijabarkan
dalam Pasal 1 angka 3 UUP yang mengemukakan, bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa-jasa dalam lau lintas
pembayaran.2 Seperti halnya bank umum, terminologi bank perkreditan rakyat
dapat ditemui dalam Pasal 5 Ayat (1) UUP. Sedangkan pengertian bank
perkreditan rakyat dijabarkan dalam Pasal 1 angka 4 UUP yang menyatakan, bank
perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
1
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008, hlm. 3. 2
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Mencermati pengertian yang
diberikan dalam UUP sebenarnya tidak ada perbedaan mencolok antara bank
umum dengan bank perkreditan rakyat (BPR), kecuali dalam bidang usaha
layanan jasa dalam lalu lintas pembayaran hanya diberikan kepada Bank Umum.3
Kegiatan dari bank konvensional mengikuti dasar dan prinsip-prinsip perbankan
yang sudah ada sejak bank pertama kali didirikan. Pada bank konvensional,
kepentingan pemilik dana adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan
yang tinggi, sedangkan kepentingan pemegang saham adalah diantaranya
memperoleh dan mengoptimalkan antara suku bunga simpanan dan suku bunga
pinjaman. Lain halnya dengan bank syariah, bank syariah adalah bank yang
memakai dasar syariah Islam dan menjalankan usahanya dengan prinsip syariah
yang mengacu kepada Al-Quran dan Al-Hadis.4 Bank Syariah dalam hal ini sebagai lembaga keuangan yang dalam aktivitasnya mempraktikan prinsip syariah
Islam.
Saat awal pelaksanaan bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil, azas
hukumnya ada pada Undang-undang Perbankan No.10 tahun 1992. Namun itu
belum cukup, karena perbankan syariah tersendat jalannya dan terbukti dalam
enam tahun pertama kemudian hanya satu bank syariah yang muncul yakni Bank
Muamalat pada tahun 1992. Sistem ekonomi syariah sekarang ini semakin
berkembang bila dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional, hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya bank konvensional yang membuka bank
dengan sistem syariah. Selain itu pertumbuhan ekonomi syariah juga dapat dilihat
3
Ibid., hlm. 8. 4
dari banyaknya perbankan syariah dan lembaga syariah di Indonesia. Salah satu
faktor pendukungnya adalah permintaan islamic product dari penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah muslim. Perbankan syariah semakin marak sejak
diterbitkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang
memungkinkan bank menjalankan dual banking system atau bank konvensional yang dapat mendirikan divisi syariah, dengan adanya undang-undang tersebut
konvensional mulai melirik dan membuka unit usaha syariah.
Setelah berjalannya peraturan perbankan yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, akhirnya diterbitkan undang-undang yang lebih spesifik
menerangkan tentang perbankan syariah secara eksplisit yaitu Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008. Undang-undang ini menjadikan perbankan syariah sebagai
landasan hukum yang jelas dari sisi kelembagaan dan sistem operasionalnya,
Paling tidak terdapat enam hal baru dalam UU Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, yaitu itu adalah otoritas fatwa dan komite perbankan syariah,
pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS),
masalah pajak, penyelesaian sengketa, dan konversi unit usaha syariah (UUS)
menjadi bank umum syariah (BUS). dengan kehadiran undang-undang ini memicu
peluang yang lebih besar yang diberikan kepada masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan perbankan sepenuhnya yang sesuai dengan syariat Islam. Salah satunya
adalah perbankan syariah menawarkan transaksi yang tidak berlandaskan pada
konsep bunga, dapat diharapkan untuk lebih optimal melayani kalangan
masyarakat yang belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional, dan
memberikan pembiayaan dalam pengembangan usaha berdasarkan sistem syariat
Konsep ekonomi syariah (islamic economic) itu sendiri menurut M. Yasir Nasution mengemukakan bahwa ekonomi syariah mempunyai perbedaan yang
mendasar dengan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakaan untuk
ekonomi sekuler). Perbedaan yang paling mendasar adalah pada landasan
filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi syariah dibangun
atas empat landasan filosofinya, yakni pertama ketauhidan, dengan pengertian
bahwa semua yang ada di alam ini merupakan ciptaan Allah SWT dan hanya
Allahlah yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan
antarmanusia, cara memperoleh rezki dan melakukan transaksi bisnis serta
kegiatan ekonomi lainnya; kedua, keadilan dan keseimbangan, dalam pengertian
kedua hal ini harus digunakan sebagai dasar untuk mencapai kesejahteraan umat
manusia.
Oleh sebab itu, seluruh kegiatan ekonomi harus dilandasi kepada paham keadilan
dan keseimbangan sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT; ketiga,
kebebasan dalam arti bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi
sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya dan keempat;
pertanggungjawaban, dalam arti manusia sebagai pemegang amanah memikul
tanggung jawab atas segala putusan-putusan yang diambilnya. 5 Bisa disimpulkan
secara garis besar ekonomi konvensional berorientasi kepada hal-hal yang bersifat
dunia, sedangkan ekonomi Islam berorientasi tidak hanya dunia saja tetapi juga
kepada hal-hal yang bersifat ukhrawi sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5
Landasan syariah perbankan syariah adalah ketentuan-ketentuan hukum
muamalah, khususnya menyangkut hukum akad. Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah terbilang banyak. Ada tiga jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan di perbankan syariah, yaitu bai’ al- murabahah (jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati), bai’ as-salam
(pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari di mana pembayaran
dilakukan di muka/tunai), dan bai’ al-istishna (Istishna’ hampir sama dengan
Salam yaitu dari segi obyek pesanannya yang harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus, hanya saja pembayaran dilakukan secara bertahap
sesuai kesepakatan).6
Keabsahan operasional produk bai’ al-murabahah sendiri dalam perbankan syariah masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama kontemporer. Ada
sebagian ulama yang membolehkan, karena merupakan jual beli. Sebaliknya,
sebagian ulama yang lain melarangnya karena menganggapnya sebagai bai’ al -inah (seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan)
yang haram hukumnya, bai’ al-ma’dum (jual beli atas barang yang tidak ada pada seseorang), atau dianggap sebagai bai’ atani fi bai’ah (dua akad dalam satu transaksi), dan bahkan dianggap hilah (melakukan rekayasa atau menyiasati,
6M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktek
mengelak dari ketentuan syariat yang secara teknik tidak dipandang sebagai
melanggar hukum) untuk mengambil riba. 7
Sejak awal munculnya dalam fiqh, akad murabahah ini tampaknya telah digunakan murni untuk tujuan dagang. Murabahah adalah suatu bentuk jual beli dengan komisi, di mana pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang ia
inginkan kecuali lewat seorang perantara atau ketika pembeli tidak mau
susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang perantara.
Bank-bank syariah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin
nasabah tidak memiliki uang untuk membayar.
Akad pembiayaan al-Murabahah adalah akad yang paling banyak diminati para nasabah di Bank Syariah. Beberapa alasan yang menjadi sebab diminatinya akad
ini adalah sebagai berikut :
1. Murabahah adalah suatu mekanisme investasi pembiayaan jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem Profit and Loss Sharing (PLS), lebih mudah;
2. Mark-up dalam murabahah dapat ditentukan secara pasti yang merupakan jaminan bagi LKS dalam memberikan return kepada penyimpan dana dan juga dapat melakukan perbandingan dengan tingkat bunga yang ada di bank
konvensional;
3. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS;
7
4. Murabahah tidak memungkinkan LKS untuk mencampuri manajemen bisnis, karena LKS bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam
murabahah adalah hubungan antara penjual dan pembeli atau pemberi dan
penerima pembiayaan.
Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung menerapkan akad murabahah yang bersifat mengikat. Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung hanya akan
melakukan pembelian barang apabila telah dipastikan ada nasabah yang akan
membeli kembali barang tersebut secara akad murabahah. Dalam menjalankan pembiayaan murabahah, Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung menjual barang dengan menegaskan harga perolehan barang kepada nasabah secara jujur
dan nasabah membayar dengan harga lebih sebagai keuntungan (margin) bagi bank selaku penjual sesuai dengan kesepakatan antara pihak Bank Muamalat
Cabang Bandar Lampung dan nasabah. Pembayaran kewajiban dilakukan oleh
nasabah secara tangguhan atau cicilan.
Namun, Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung melakukan pembiayaan
murabahah dengan memberikan pembiayaan berupa sejumlah uang sesuai dengan
pembiayaan yang dibutuhkan kepada nasabah, di mana hal ini disebut dengan
akad wakalah, yaitu adanya pemberian kuasa atas dana dan nama bank kepada
nasabah untuk melakukan pembelian barang sendiri sesuai spesifikasi yang
diinginkan kepada pihak supplier setelah memperoleh pembiayaan dari pihak
bank. Hal ini hampir sama dengan pemberian kredit pada bank konvensional,
maka penerapan murabahah dengan memberi pembiayaan berupa kuasa pada
nasabah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung, kurang sesuai dalam
dengan akad pertukaran, sering terdapat persoalan berkaitan dengan penyerahan
objek akad. Bahwa penyerahan benda/objek akad wajib hukumnnya. Akad
pertukaran dalam bentuk jual beli dinilai tidak memenuhi syarat (fasid) dan dapat dibatalkan apabila benda yang menjadi objek akad tidak diserahkan. Akad yang
tidak dibarengi dengan penyerahan objek akad dinilai sebagai gharar
(ketidakjelasan pada waktu penyerahan barang/obejk akad). Hal ini termasuk
transaksi yang dilarang berdasarkan hadis Rasulullah saw.8
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, menurut penulis, menjadi suatu hal
yang penting untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum ekonomi syariah
(fiqh) berkaitan dengan pembiayaan al-Murabahah, Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini pada Bank Muamalat Cabang Bandarlampung
karena Bank Muamalat merupakan bank pertama syariah dan salah satu
penggagas lahirnya produk-produk pembiayaan dengan sistem non interest (tidak memakai bunga). Atas dasar tersebut penulis memilih penelitian skripsi ini di
Bank Muamalat cabang Bandar Lampung. Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan tersebut dalam skripsi yang
berjudul:
“Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah Berdasarkan Prinsip Hukum
Ekonomi Syariah (Studi Di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung).
8
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung?
b. Bagaimana upaya penyelamatan terhadap pembiayaan murabahah yang bermasalah?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah tentang pelaksanaan pembiayaan
murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung, dengan ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang hukum keperdataan khususnya
hukum ekonomi syariah.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pembiayaan murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung, apakah sesuai dengan prinsip
Hukum Ekonomi Syariah.
b. Untuk mengetahui upaya penyelamatan terhadap pembiayaan murabahah
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
rangka untuk menambah wawasan dan pengetahuan hukum ekonomi syariah
khususnya tentang pembiayaan murabahah di Bank Muamalat Cabang Bandar Lampung.
b. Kegunaan praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya dan khususnya praktisi yang berkecimpung di Lembaga Keuangan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Akad
1. Pengertian Akad
Istilah akad (al-„aqdu). Kata al-„aqdu merupakan bentuk masdar dari „aqada,
„yaqidu, „aqdan. Ada juga ahli bahasa yang melafalkannya „aqida, ya’qidu,
„aqadatan. Dari kata asal tersebut terjadilah perkembangan dan perluasan arti
sesuai dengan konteks pemakaiannya. Misalnya, „aqada dengan arti “menyimpul,
membuhul dan mengikat, atau dengan arti mengikat janji”. Menurut al-Jurjani,
bertitik tolak dari kata „aqd atau „uqdah yang berarti “simpul atau buhul” seperti
yang terdapat pada benang atau tali, maka terjadilah perluasan pemakaian kata
„aqd pada semua yang dapat diikat dan ikatan itu dapat dikukuhkan. Oleh karena
itu, menanamkan ikatan syar’i antara suami istri disebut dengan „uqdatu al-nikah
sedangkan melakukan ikatan antara satu dengan yang lain dalam rangka kegiatan
usaha seperti transaksi jual beli dinamakan „aqdu al-buyu’ dengan menggunakan kata „aqad atau „uqdah.7
7
Kata „aqada dalam AlQuran ditemukan 7 kali dalam lima surah dengan berbagai bentuknya, yaitu „aqadat pada surah An-Nisa (4): 33, uquud pada surah Al-Ma’idah (5): 1,
Secara bahasa akad adalah “ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata
maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.8
Sedangkan
menurut ahli hukum Islam, akad dapat diartikan secara umum dan khusus.
Pengertian akad dalam artian umum, menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanfiyah, yaitu “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan
dan gadai”.9 Sementara dalam artian khusus diartikan “perikatan
yang ditetapkan
dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya”
atau “menghubungkan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya
sesuai syara’dan berdampak pada objeknya”.10
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, para ahli hukum Islam kemudian
mendefinisikan aqad sebagai berikut:11 Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada
objek perikatan. Rumusan akad tersebut, mengindikasikan bahwa akad terdiri dari
adanya para pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan
dalam suatu hal tertentu. Kemudian akad ini diwujudkan melalui pertama, adanya
ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perjanjian yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan qabul ini diadakan untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap akad yang akan dilakukan oleh dua pihak yang
8
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, Jilid IV, hlm. 80.
9
Ibn Taymiyah, An-Nazhariyah al-Aqdi, hlm. 18-21. 10
Imam al-Syaukani, Fathul Qadir, Juz V, hlm. 74. 11
bersangkutan. Kedua, adanya kesesuaian dengan kehendak syariat Islam. Artinya
bahwa seluruh akad yang diperjanjiakan oleh kedua pihak atau lebih (baik dari
objek perjanjian, aktivitas yang dilakukan dan tujuan) dianggap sah apabila sesuai
atau sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Ketiga, adanya akibat hukum pada
objek akad. Setiap transaksi memiliki akibat hukum masing-masing sesuai dengan
jenis dan bentuknya. Dalam bentuk transaksi jual beli, maka akibat hukumnya
adalah terjadinya pemindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul). Sementara itu, untuk bentuk sewa, akibat hukumnya adalah terjadinya pengalihan kemanfaatan dari suatu barang atau
jasa dari pemilik sewa kepada pengguna sewa, dan begitu seterusnya dalam
transaksi-transaksi lain.12
Adapun di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang
Akad Perhimpunan Atau Penyaluran Dan Bagi Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(3) dikemukakan bahwa akad adalah perjanjian yang tertulis yang memuat ijab
(penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.13
Selanjutnya, di dalam Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis
antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya
hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.14
12
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, cetakan kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hlm. 4-6.
13
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan Atau Penyaluran Dan Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
14
Dari definisi Akad sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa
akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang bertujuan untuk
saling mengikatkan diri satu sama lainnya, dengan diwujudkan dalam ijab dan
qabul yang objeknya sesuai dengan syariat Islam, dengan pengertian lain bahwa perjanjian tersebut berlandaskan keridhoan atau kerelaan secara timbal balik dari
kedua belah pihak terhadap objek yang diperjanjikan dan tujuannya tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan demikian akad atau perjanjian akan
menimbulkan kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak lain atas
prestasi tersebut.
2. Rukun dan Syarat Akad
Beberapa ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang rukun akad, sebagian
mereka mengatakan rukun akad adalah al-„aqidain, mahallul „aqad, dan al-„aqad.
Selain ketiga hal ini, ada juga para fuqaha yang menambah rukun akad dengan
tujuannya (maudhu’ul „aqd). Menurut Gemala Dewi,15 di kalangan mazhab
Hanafi rukun akad hanya satu saja yaitu shigat al-aqd, yakni ijab dan qabul, sedangkan syarat adalah al-„aqidain (subjek akad) dan mahallul „aqd (objek akad). Alasannya adalah karena al-aqidain dan mahallul „aqad bukan merupakan bagian dari tasyarruuf aqad (perbuatan hukum akad), kedua hal ini berada di luar perbuatan akad (aqad). Di kalangan mazhab Syafi’i, al-„aqidain dan mahallul „aqd termasuk rukun akad karena kedua hal ini merupakan salah satu pilar utama
dalam terjadinya akad. Dalam kaitan ini, Hasbi ash-Shiddieqy16 mengatakan
bahwa suatu akad harus memenuhi empat rukun yang tidak boleh ditinggalkan
15
Gemala Dewi et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum UI dan Prenada Media, 2005, hlm. 253.
16
yaitu shigat al-„aqd, al-„aqidain, mahallul „aqd, dan maudhu’ul „aqd. Beberapa komponen ini harus terpenuhi dalam pembentukan suatu akad (akad). Adapun penjelasan lebih lanjut dari keempat rukun dan syarat akad tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Shigat al-‘Aqd (Ijab Qabul)
Formuliasi ijab qabul dalam suatu akad dapat dilaksanakan dengan ucapan lisan, tulisan, atau isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis.
Bahkan dapat dilaksanakan dengan perbuatan (fi’il) yang menunjukkan kerelaan
kedua belah pihak untuk melakukan suatu akad yang umumnya dikenal dengan
al-mu’athah. Tidak ada petunjuk baik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yang mengharuskan penggunaan bentuk atau kata-kata tertentu dalam pelaksanaan ijab qabul dalam akad yang dibuat oleh para pihak. Formulasi ijab qabul dapat dilaksanakan menurut kebiasaan („urf) sepanjang tidak bertentangan dengan
syara’.
Menurut Wahbah Zuhaili,17 ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab
dan qabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum yakni: pertama, jala’ul ma’na yaitu yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami
jenis akad yang dikehendaki; kedua, tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab
dan qabul; dan ketiga, jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di
bawah tekanan, dan tidak berada dalam keadaan terpaksa.
17
b. Al-‘Aqidain (Pihak-Pihak yang Melaksanakan Akad)
Subjek hukum dalam suatu akad dapat timbul dari manusia, dan dapat juga lahir
dari badan hukum18. Dalam hal al-„Aqidain (subjek hukum akad), maka hal yang perlu diperhatikan yaitu kecakapan bertindak (ahliyah), kewenangan (wilayah), dan perwakilan (wakalah)19 dari subjek akad. Apabila hal itu terpenuhi, maka akad yang dibuatnya mempunyai nilai hukum yang dibenarkan syara’.
c. Mahallul ‘Aqd (Objek Akad)
Objek akad dalam muamalah jangkauannya sangat luas, bentuknya pun
berbeda-beda satu dengan yang lain. Dalam akad jual beli, objeknya adalah barang yang
diperjual-belikan dan termasuk harganya. Para ahli hukum Islam (para fuqaha)
sepakat bahwa suatu objek akad harus memenuhi empat syarat yakni: pertama,
objek akad harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan atau
diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Kedua, dibenarkan oleh syara’, jadi sesuatu yang bertentangan dengan hukum syariah (tidak halal secara
perolehan atau hukumnya) tidak dapat menjadi objek akad; ketiga, akad harus dapat diserahkan ketika terjadi perikatan atau al-aqdu; keempat, akad harus jelas atau dapat ditentukan (mua’ayyan) dan harus diketahui oleh kedua belah pihak
yang membuat akad. Apabila tidak ada kejelasan tentang akad yang dibuatnya,
maka akan menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
18
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: PT Alumni, 2005, hlm. 21. 19
d. Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Akad dan Akibatnya)
Tujuan akad merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah akad yang
dilaksanakan. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan maudhu’ul „Aqd
(tujuan akad) adalah untuk apa suatu akad dilakukan (al maqshad al ashli alladzi syariah al „aqd min ajlih) oleh seseorang dengan orang lain dalam rangka
melaksanakan suatu muamalah antara manusia, dan yang menentukan akibat
hukum dari suatu akad adalah al-musyarri’ (yang menetapkan syariah) yakni Allah. Dengan kata lain, akibat hukum dari suatu akad harus diketahui melalui
syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar ini, semua akad
yang tujuannya bertentangan dengan syara’ (hukum Islam) adalah tidak sah dan
oleh karena itu tidak menimbulkam akibat hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Azhar Basyir20 menentukan tiga syarat
yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat
hukum sebagai berikut: yaitu; pertama, tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan,
tujuan hendaknya baru ada pada saat akad diadakan, misalnya akad ijarah
(perjanjian kerja) yang diadakan antara suami dan istri untuk melakukan
pekerjaan dalam rumah tangga. Akad ini tidak sah, sebab tujuan akad telah
menjadi kewajiban istri untuk melakukan pekerjaan itu menurut ketentuan agama,
meskipun tanpa adanya akad tersebut; kedua, tujuan harus berlangsung hingga
berakhirnya pelaksanaan akad, misalnya dalam akad sewa menyewa rumah dalam
jangka waktu dua tahun, tujuannya untuk mengambil manfaat dari akad tersebut.
20
Jika manfaat tidak tercapai, maka akad menjadi rusak sejak tujuannya hilang;
ketiga, tujuan akad harus dibenarkan syara’, jika syarat ini tidak terpenuhi, maka akad tidak sah, seperti akad riba dan sebagainya.
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ekonomi Syariah 1. Pengertian Ekonomi Syariah
Secara terminologi pengertian ekonomi telah banyak diberikan/dijelaskan oleh
para pakar ekonomi. Disini dikemukakan pengertian ekonomi Islam yaitu yang
ditulis Yusuf Halim al-Alim21 yang mengemukakkan bahwa ilmu ekonomi Islam
adalah ilmu tentang hukum-hukum syarat aplikatif yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci terkait dengan mencari, membelanjakan, dan tata cara
membelanjakan harta. Fokus kajian ekonomi Islam adalah mempelajari perilaku
muamalah22 masyarakat Islam yang sesuai dengan nash23 Al-Quran, Al Hadis,
Qiyas24, dan Ijma’25 dalam kebutuhan hidup manusia dalam mencari ridha Allah SWT. Ekonomi syariah berorientasi tidak hanya dunia saja tetapi juga kepada
hal-hal yang bersifat ukhrawi sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Menurut M. Akram Khan26 yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
23
Teks dalil yang maknanya jelas dan tidak mengandung kemungkinan makna lainnya 24
Menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
25
Kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu masalah/peristiwa hukum tertentu berdasarkan Al-Qur'an dan al-Hadis
26
participation” (ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang
kebahagiaan hidup manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar gotong royong dan partisipan).
Menurut definisi ini, M. Akram Khan tampaknya mengarahkan secara tegas
tujuan kegiatan ekonomi manusia menurut Islam, yakni human fallah
(kebahagiaan manusia) yang tentunya dengan mengikuti petunjuk yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Definisi ini juga bermaksud memberikan muatan
normatif dalam tujuan-tujuan aktivitas ekonomi yakni kebahagiaan atau
kesuksesan hidup manusia yang tidak saja di dunia ini tetapi juga akhirat kelak.
Selanjutnya, definisi ini secara implisit menjelaskan tentang cara yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan itu, yakni kerjasama (ta’awun) dan partisipasi
aktif dalam mencapai tujuan yang baik.
2. Konsep Ekonomi Syariah
Pada awalnya kehadirannya ekonomi syariah, termasuk lembaga-lembaga yang
dilahirkannya oleh sebagian masyarakat disambut dengan sikap apriori dan
pesimis, bahkan dalam beberapa hal ditangani dengan sikap sinis. Sebenarnya
sikap ini lahir karena mereka belum memahami dan kurangnya pengetahuan serta
sifat kakunya kerangka berpikir yang digunakan dalam memahami ekonomi
syariah. Oleh karena ekonomi syariah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan dan bersifat unik, dan karena lembaganya juga kompetitif dengan
lembaga ekonomi konvensional yang sejenis, maka para ilmuan dan para
pemerhati masalah kemanusiaan, baik muslim maupun nonmuslim tertarik untuk
Said Sa’ad Marathon27
mengemukakan bahwa selain sistem bagi hasil, ekonomi
syariah dibangun atas empat karakteristik, yakni pertama, dialektika nilai-nilai
spiritualisme dan materialisme. Sistem ekonomi kontemporer hanya konsen
terhadap nilai yang dapat meningkatkan utility (kegunaan) saja, hanya terfokus kepada nilai materialize (terwujud) saja, sedangkan ekonomi syariah selalu menekankan kepada nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang sesama individu
dan masyarakat; kedua, kebebasan berekonomi dalam arti sistem ekonomi Islam
tetap membenarkan kepemilikan individu dan kebebasan dalam berinteraksi
sepanjang dalam koridor syariah; ketiga, dualisme kepemilikan, pada hakikatnya
pemilik alam semesta beserta isinya hanya milik Allah semata.
Manusia hanya sebagai wakil Allah dalam memakmurkan dan menyejahterakan
Bumi. Kepemilikan oleh manusia merupakan derivasi atas kepemilikan Allah
yang hakiki (istikhalaf), oleh karena itu setiap kegiatan ekonomi yang diambil oleh manusia demi kemakmuran alam semesta tidak boleh bertentangan dengan
kehendak Allah SWT; dan keempat, menjaga kemaslahatan individu dan
masyarakat. Terhadap dua hal ini tidak boleh dikotomi (saling bertentangan)
antara yang satu dan yang lain, dalam pengertian bahwa kemaslahatan individu
tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan masyarakat, atau sebaliknya. Dalam
mewujudkan kemaslahatan ini, negara mempunyai hak meintervensi apabila
terjadi eksploitasi atau kezaliman dalam mewujudkan sebuah kemaslahatan itu.
Ahmad Azhar Basyir28 menarik beberapa prinsip ekonomi syariah yang dapat
dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, anatara lain: pertama,
manusia adalah makhluk pengemban amanah Allah untuk memakmurkan
kehidupan di Bumi dan diberi kedudukan sebagai khalifah (wakil-nya) yang wajib melaksanakan petunjuk-Nya; kedua, bumi dan langit seisinya diciptakan untuk
melayani kepentingan hidup manusia, dan dituntut kepadanya untuk taat terhadap
amanat Allah. Allah adalah pemilik mutlak atas semua ciptaan-Nya; ketiga
manusia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya di dunia
ini. Keempat, kerja adalah sesuatu yang harus menghasilkan (produksi); kelima,
Islam menentukan berbagai macam bentuk kerja yang halal dan haram. Keenam,
hasil kerja manusia diakui sebagai miliknya; ketujuh, hak milik manusia dibebani
kewajiban-kewajiban yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial; kedelapan,
harta jangan sampai beredar di kalangan kaum kaya saja, tetapi diratakan dengan
jalan memenuhi kewajiban-kewajiban kebendaan yang telah ditetapkan dan
menumbuhkan kepedulian sosial berupa anjuran berbagai macam sedekah;
kesembilan, harta difungsikan bagi kemakmuran bersama, tidak hanya ditimbun
tanpa menghasilkan sesuatu secara halal; dan kesepuluh, harta jangan
dihambur-hamburkan untuk memenuhi kenikmatan sesaat yang melampaui batas.
Mensyukuri dan menikmati perolehan usaha hendaknya dalam batas-batas yang
dibenarkan syara’.
Disamping itu, sebagian pakar hukum ekonomi Islam menambahkan beberapa
prinsip lain yakni; pertama, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
dilarang untuk melakukan hal-hal yang mubazir (berlebih-lebihan), harus
28
dilaksanakan secara berimbang; kedua, dalam mencapai kebahagiaan di dunia ini
manusia hendaknya melaksanakan tolong-menolong dalam kebaikan, jangan
bertolong-tolongan atas perbuatan yang tidak baik; ketiga, dalam segala kerja
sama nilai-nilai keadilan haruslah ditegakkan; keempat, nilai kehormatan manusia
harus dijaga dan dikembangkan dalam usaha memperoleh kecukupan kebutuhan
hidup; dan kelima, campur tangan negara dibenarkan dalam rangka penertiban
kegiatan ekonomi dalam mencapai keadilan sosial masyarakat.
3. Pertukaran yang Dilarang a. Riba
Salah satu bentuk transaksi yang dilarang dalam kegiatan usaha menurut ajaran
Islam adalah riba. Pembahasan riba dalam hadis dikaitkan dengan bentuk-bentuk
jual beli pada masa pra-Islam. Dalam salah satu sabdanya Nabi menyatakan
“bahwa semua bentuk transaksi riba pada masa pra-Islam adalah batal dan tidak
berlaku”. Inti dari kegiatan transaksi pra-Islam adalah riba nasiah, yaitu
bertambahnya nilai dana pinjaman (loan) karena bertambahnya waktu. Sedangkan menurut pandangan para ulama, bahwa seluruh riba yang dilarang dalam Alquran
adalah bentuk pemaksaan beban utang terhadap debitur yang melanggar pelunasan
utang sampai batas waktu yang telah ditentukan, sedangkan dalam sunnah
dikaitkan dengan bentuk aktivitas transaksi jual beli.
Salah satu hadis yang membincangkan tentang riba menunjukkan tentang
kebolehan melakukan transaksi terhadap komoditi, dengan syariat mitslan bi mitslin (sama mutunya), sawaan bisawain (sama jumlahnya), aynan bi aynin
(sama waktu penyerahannya), yang semuanya dapat dipahami dengan makna
lain yang digunakan adalah waznan bi waznin (sama beratnya) dan kaylan bi kaylin (sama ukurannya).
Sedangkan riba dalam fiqh, para ulama umumnya membagi kepada riba fadhl dan nasiah. Riba Fadhl adalah tambahan terhadap transaksi jual beli harta (ribawi) yang sejenis yang kuantitas dan kualitas barangnya tidak sama. Misalnya 1 kg
gandum dengan 2 kg gandum atau 10 gram emas dengan 12 gram emas.29 Riba fadhl terdapat dalam bentuk transaksi yang dilakukan melalui serah terima secara langsung (dari tangan ke tangan). Disini terjadi kelebihan atau tambahan terhadap
niali tukar salah satu komoditi yang mestinya termasuk dalam jenis yang sama
dan keduanya memiliki nilai tukar yang sama, baik dalam kadar berat maupun
ukurannya. Sedangkan riba nasiah terjadi karena penundaan penyerahan salah satu komoditi dalam suatu transaksi jual beli yang menyebabkan perbedaan nilai
tukar dari masing-masing komoditi tersebut. Perbedaan nilai tukar yang
dimaksud, baik dalam jenis, jumlah, ukuran, atau penyerahannya. Riba nasiah
disebut juga riba jahiliyah, karena sering terjadi pada masyarakat jahiliyah. Sebagian ahli fiqh menyebut riba nasiah ini dengan sebutan riba jaly/jelas, karena sudah dijelaskan di dalam Alquran atau disebut riba qath’i/tegas, karena secara
tegas dilarang dalam Alquran. Berdasarkan uraian di atas, riba dapat diartikan sebagai pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah, baik dalam transaksi
pertukaran yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyeahan, atau dalam
transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan mengembalikan pinjaman
yang diterima melibihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu.
29
b. Gharar atau Taghrar
Gharar secara bahasa berarti bahaya (al-khathar) cenderung pada kerusakan ( al-ta’ridh lilhalak), penipuan (al-khida’), ketidakjelasan (al-jahalah) atau sesuatu
yang lahirnya disukai, tetapi batinnya dibenci.
Beberapa ulama memberi pengertian terhadap gharar ini, antara lain menurut Sayid Sabiq, gharar ialah semua jenis jual beli yang mengandung ketidakjelasan (jahalah), spekulasi (mukhatharah) dan atau mengandung taruhan (qumaar).30 Menurut al-Shan’ani, gharar ini memiliki beberapa bentuk, yaitu barang yang diperjualbelikan tidak dapat diserahkan, barang yang tidak ada atau tidak
diketahui secara pasti, dan barang yang tidak dimiliki. Berdasarkan definisi di
atas, unsur-unsur gharar adalah bahwa benda yang menjadi objek akad itu tidak ada ditangan atau dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, tidak dapat diserahkan,
sehingga mengakibatkan pembeli mengalami kerugian, penyesalan, dan bahaya.
Sedangkan bagi pelakunya sendiri dianggap memakan harta secara batil. Gharar
ini bisa dalam bentuk barang dan bisa pula dalam bentuk shigat atau objek akadnya.
Adanya gharar dalam akad menjadikan akad tersebut dapat dibatalkan. Beberapa alasan dilarangnya gharar, diantaranya adalah berkaitan dengan penipuan, karena suatu penjualan mewajibkan adanya pemberian kepemilikan kepada yang lain atau
akad yang akan menimbulkan perselisihan dan ketidaksetujuan antara para pihak
dalam akad. Sementara menurut hukum Islam suatu kesepakatan harus membawa
kewajiban segera dan tertentu atau mengikat. Oleh karena itu, tidak
mengherankan ditemukannya larangan-larangan oleh hukum Islam terhadap
30
praktik-praktik perjanjian atau kesepakatan pertukaran yang ada pada masa
sebelum Islam. Hal ini karena tidak menentu atau tidak diketahui oleh para pihak
terhadap yang diperjanjikan, sehingga menimbulkan perselisihan dan
ketidakadilan.
c. Ghabn
Al-ghabn menurut bahasa berarti al-khada’ (penipuan pada harga barang). Ghabn
adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata atau
dengan harga yang lebih rendah dari harga rata-rata. Larangan penipuan ini antara
lain didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW sebagai berikut:
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW bahwa ia telah menipu dalam jual beli, maka beliau bersabda: “apabila kamu menjual, maka katakanlah: tidak ada penipuan”.31
d. Maysir
Yang dimaksud dengan maysir adalah suatu permainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut. Salah
satu kegiatan atau perbuatan dianggap sebagai maysir ketika terjadinya zero same game, yaitu keadaan yang menempatkan salah satu pihak atau beberapa pihak harus menanggung beban pihak lainnya dari kegiatan atau permainan yang
dilakukannya.32
31
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A, Op.cit, hlm. 87 32
4. Permasalahan Penyerahan Dan Pengikatan Objek Pertukaran
Penyerahan objek akad dalam pertukaran khususnya akad jual beli merupakan
bagian penting dari akad tersebut. Berkaitan dengan penyerahan objek akad ini,
para ulama fiqh melakukan pembahasan meliputi diantaranya:33
a. Bolehkah mendayagunakan objek jual beli dan harga yang belum
diserahterimakan?
b. Siapa yang harus menyerahkan terlebih dahulu?
c. Bagaimana penyerahan tersebut dijalankan?
Dalam hal pendayagunaan objek akad dan harga sebelum diserahterimakan,
terdapat beberapa pendapat. Menurut Abu Hanifah boleh mendayagunakan objek
akad jual beli asalkan jenis bendanya berupa benda tetap („aqar). Argumen
kebolehan tersebut didasarkan pada dalil hukum ijma’. Asumsinya benda tersebut tidak gharar dan tidak rusak. Menurut Hasan, Zufar, dan al-Safi’i, merupakan sebaliknya dari Abu Hanifah, yaitu tidak boleh mendayagunakan obyek akad jual
beli sekalipun harta tetap. Argumennya karena termasuk transaksi gharar. Adapun pendayagunaan harga yang belum diserahterimakan, para fuqaha sepakat membolehkannya karena harga yang belum dibayarkan merupakan utang,
sehingga selama harga tersebut belum dibayarkan kepada penjual, maka tetap
menjadi utang pembeli.
Dalam hal siapa yang harus menyerahkan terlebih dahulu mengenai objek akad
dan harga, secara umum tampaknya disepakati bahwa penyerahan barang yang
dijual kepada pembeli merupakan kewajiban penjual. Penyerahan ini merupakan
33
kewajiban yang berakad, dan untuk memastikan berlakunya hak milik. Namun
secara khusus, bila bentuk akad tukar-menukar (ayn bil ayn) kedua belah pihak saling menyerahkan barang secara bersamaan sesuai dengan prinsip persamaan
(musawah). Sedangkan dalam bentuk jual beli (ayn bi dayn) dilakukan secara tertib/berurutan, yaitu pembeli menyerahkan harga terlebih dahulu bila diminta
penjual dan penjual menyerahkan bendanya.
Bagaimana kalau si penjual menahan barang yang dijualnya? Menurut fuqaha, boleh saja dilakukan penjual, tetapi dengan syarat pertukaran tersebut dalam
bentuk akad jual beli (ayn bi dayn) bukan dalam bentuk akad tukar-menukar (ayn bi ayn) dan pembayaran dilakukan secara tunai (halan), bukan merupakan bayar tangguh (muajjal).34 Adapun mengenai cara penyerahan objek akad, para fuqaha
membagi pada 4 (empat) macam bentuk, yaitu sebagai berikut:
1) Al-takhliyyah (Melalui Pengosongan)
Dimaksud al-takhliyyah adalah meniadakan penghalang bagi pembeli atau penyewa untuk mendayagunakan atau memanfaatkan barang yang dijual atau
yang disewa tersebut kepada pembeli atau penerima sewa. Cara melakukan
pengosongan tersebut, diantaranya dengan cara penjual membolehkan pembeli
untuk mengambil barang yang dijual tanpa halangan apa pun terhadap objek akad
dengan seizinnya. Bentuknya baik secara jelas (sharih) maupun secara isyarat yang menunjukkan secara jelas pada penyerahan objek akad. Dalam hal objek
akad berupa kendaraan misalnya, secara sharih diberikan langsung mobil tersebut atau secara simbolik menyerahkan kunci mobil kepada pembeli atau penyewa.
34
2) Al-itlaf (Melalui Perusakan Objek akad)
Jika pembeli melakukan perusakan sendiri terhadap objek akad yang masih ada di
tangan penjual, maka dianggap sudah terjadi penyerahan dari penjual kepada
pembeli. Pembeli sudah berkewajiban membayar harga objek akad tersebut. Hal
ini karena pembli dianggap sudah mendayagunakan benda tersebut dan bentuk
pendayagunannya dengan cara merusaknya.
3) Melalui Penitipan Atau Peminjaman Objek Akad Kepada Pembeli Oleh Penjual Atau Kepada Orang Lain Atas Perintah Pembeli
Menitip atau meminjamkan barang yang dijual kepada pembeli dianggap sudah
menyerahkan barang yang diperjualbelikan. Hal ini karena memberikan penitipan
atau peminjaman kepada pemilik barang sendiri adalah tidak sah. Dengan kata
lain, pemilik tidak berhak mendapat pinjaman dan penitipan barangnya sendiri.
Begitu pula apabila pembeli menyuruh penjual untuk menitip atau meminjamkan
barang kepada orang lain dianggap terlah terjadi serah terima, karena penitipan
dan peminjaman kepada bukan pemilik barang adalah sah.
4) Melalui penanggungan ganti rugi yang dilakukan pembeli terhadap adanya kerusakan dari objek akad yang dilakukan oleh orang lain.
Apabila terjadi kerusakan dari objek akad dan kerusakan tersebut bukan dilakukan
oleh pembeli dan penjual, kemudian pembeli menanggung atau bertanggung
jawab untuk melakukan ganti rugi terhadap kerugian dari objek tersebut, maka
dianggap objek akad tersebut telah diserahkan. Kasus tersebut dinamakan
penyerahan dengan tanggungan ganti rugi (qabdh al-dhaman). Apabila kerusakan tersebut ditanggung oleh penjual, maka objek akad tersebut dianggap belum
Berdasarkan pembahasan para fuqaha tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
fiqh Islam berkaitan dengan cara penyerahan dan berpindahnya hak milik dalam akad pertukaran secara umum sudah dijelaskan. Namun berkaitan dengan cara
pengikatan, tampaknya belum dibahas secara seksama. Dalam pembahasan
fuqaha tersebut. Tampak jelas bahwa prosedur penyerahan objek akad dari penjual kepada pembeli termasuk bentuk pengikatan didasarkan pada dalil hukum
urf dan istihsan35 sesuai dengan pemahanan mujtahid. Tidak adanya pengaturan secara pasti mengenai bentuk penyerahan dan pengikatan, boleh jadi karena
kebutuhan untuk adanya bentuk penyerahan tersebut pada saat pembentukan
hukum belum dianggap suatu kebutuhan nyata masyarakat. Keabsahan suatu
transaksi, dianggap cukup dilihat dari proses terpenuhinya unsur-unsur dari suatu
transaksi. Sebagaimana sudah dijelaskan, bahwa apabila rukun dari suatu akad itu
sudah dipenuhi, maka transaksi tersebut dianggap sudah memadai dan secara
otomatis penyerahan itu sudah terjadi. Tidak adanya penyerahan dari objek yang
dipertukarkan, yang merupakan salah satu rukun akad, maka akad tersebut
dianggap tidak sah. Dengan demikian, fiqh pada awalnya lebih menekankan moralitas dan itikad baik dari pihak-pihak yang berakad, sehingga terjadi transaksi
yang memenuhi ketentuan dan tidak timbul perselisihan atau ketidakrelaan dan
kerugian dari salah satu pihak. Oleh karena itu, cara-cara penyerahan barang tidak
secara rinci diungkapkan oleh ahli fiqh, karena hal-hal tersebut dianggap sudah dipahami (ma’ruf/mafhum) masyarakat yang termasuk dalam unsur akad.
35
Meskipun demikian, apabila melihat isyarat sumber dan dalil hukum dari akad,
yaitu Al Quran dan al-Sunnah, kita mendapati beberapa petunjuk yang mengarah
pada perlunya upaya-upaya untuk menghindari terjadinya ketidakpastian dan
perselisihan dikemudian hari dari transaksi yang dibuat. Diantara isyarat tersebut,
misalnya terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 272, yang menyatakan bahwa
pentingnya administrasi atau pencatatan dalam suatu transaksi disamping perlu
adanya saksi. Ayat ini menunjukkan isyarat secara jelas bahwa apabila dalam
suatu transaksi yang dibuat akan menimbulkan perselisihan dan ketidakpastian
bagi para pihak yang melakukan akad, maka cara-cara dan bentuk penyerahan
dapat dikembangkan sesuai kebutuhan semestinya dalam masyarakat dan hal
tersebut merupakan bagian dari proses perkembangan dari hukum Islam.
Dengan demikian, sekalipun tidak jelas rincian cara dan bentuk penyerahan dan
juga pengikatan, maka segala sesuatu yang membawa kebaikan bagi para pihak
yang berakad dapat diakui oleh fiqh sebagai ketentuan yang dapat dijalankan dan mengikat bagi para pihak yang menjalankannya. Hal ini didasarkan pada kaidah
ushul fiqh, “mala yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (artinya: Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib). Dari kaidah
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak sempurna suatu transaksi tertentu kecuali
adanya bentuk penyerahan objeknya dengan dibuktikan oleh pengikatan
sebagaimana diatur kebiasaan dalam masyarakat, maka pengikatan dalam
transaksi yang dilakukan berjalan sebagaimana mestinya (memenuhi unsur-unsur
akad).36
C. Tinjauan Umum Tentang Pembiayaan
1. Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan menurut Undang-undang 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a.
Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. Transakasi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam, istishna’; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.
Pembiayaan atau nuqud i’timani menurut PERMA No. 2 Tahun 2008 KHES
(Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) adalah penyediaan dana dan atau tagihan
berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil. Pembiayaan menurut Muhammad Syafi’i Antonio37 yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang merupakan defisit unit.
2. Dasar Hukum Pembiayaan pada Bank Syariah
Dasar hukum pembiayaan pada Bank Syariah adalah undang-undang Perbankan
Syariah, pada pasal 19 Ayat (1) maka diketahui bahwa kegiatan usaha Bank
Umum Syariah dalam hal pembiayaan diantaranya adalah menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudharabah, Akad Musyarakah, atau
36
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A, Op.cit, hlm.94-99 37 Muhammad Syafi’i Antonio,
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dasar hukum lainnya
adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 Tentang Bank Umum
Syariah, dalam penjelasan umum disebutkan bahwa kegiatan operasional
perbankan syariah yang mencakup seluruh aspek kehidupan ekonomi seperti
kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), jual beli (Murabahah,salam, dan istishna), sewa (ijarah) dan jasa lainnya (rahn, sharf, dan
kafalah) telah menjadikan Bank Syariah lebih dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat.
D. Tinjauan Umum Tentang Akad Murabahah
1. Pengertian Murabahah
a. Pengertian Murabahah Secara Bahasa
Kata murabahah berasal dari kata (Arab) rabaha, yurabihu, murabahatan, yang berarti untung atau menguntungkan, seperti ungkapan “tijaratun rabihihah, wa
baa’u asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan, dan
menjual sesuatu barang yang memberi keuntungan.38 Kata murabahah juga berasal dari kata ribhun atau rubhun yang berarti tumbuh, berkembang, dan
bertambah.39
b. Pengertian Murabahah Secara Istilah
Menurut fuqaha (para ahli hukum Islam), pengertian murabahah adalah “al-bai’ bira „sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah
keuntungan yang diketahui.40Ibn Jazi menggambarkan jenis transaksi ini ”penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan
diambil dari barang tersebut”.41
Para fuqaha mensifati murabahah sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ al-amanah). Hal ini mengingat penjual percaya kepada pembeli yang diwujudkan dengan menginformasikan
harga pokok barang yang akan dijual berikut keuntungannya kepada pembeli.42
Menurut Dewan Syariah Nasional, murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya
dengan harga yang lebih sebagai laba.43 Murabahah menurut Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana
Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin
keuntungan yang disepakati.44 Murabahah menurut Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan
harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
40
Ibn Qudamah, Al-Mugmi, Juz IV, hlm. 199. 41
c. Pengertian Murabahah dalam Praktik
Pengertian murabahah dalam praktik adalah apa yang diistilahkan dengan bai al-murabahah liamir bisy-syira, yaitu permintaan seseorang atau pembeli terhadap orang lain untuk membelikan barang dengan ciri-ciri yang ditentukan. Untuk
singkatnya bentuk ini dinamakan Murabahah Permintaan/Pesanan Pembeli (MPP). MPP ini merupakan dasar kesepakatan dari terjadinya transaksi jual beli
barang dan permintaan/pesanan tersebut dianggap bersifat lazim (pasti/mengikat)
bagi pemesan. Sedangkan besarnya keuntungan, harga jaul, penyerahan barang,
dan cara pembayaran dalam MPP ini ditentukan atas kesepakatan para pihak.45
Dalam jual beli MPP ini ada 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu A, B, dan C. A
meminta kepada B untuk membelikan barang untuk keperluan A. B tidak
memiliki barang-barang tersebut tetapi berjanji untuk membelikannya dari pihak
lain, yaitu C. B adalah sebagai perantara dan penjual, dan dalam perjanjian MPP
hubungan hukum terjadi antara A dan B. Bentuk perjanjian murabahah ini diartikan sebagai menjual suatu komoditi dengan harga yang ditentukan penjual
(B) ditambah dengan keuntungan (untuk B) dan dibeli oleh A.46
Menurut Yusuf al-Qardhawi, dalam MPP ini ada dua unsur utama yang perlu
dipahami, yaitu adanya wa’ad (janji), artinya janji untuk membelikan barang yang diminta pembeli dan janji penjual untuk meminta keuntungan dari barang
tersebut. Di samping itu, disepakati pula oleh pembeli dan penjual bahwa janji ini
bersifat mengikat (iltizam) yang kemudian akan dilakukan pembayaran dengan
45
Muhammad Usman Syubair, Ibid., hlm. 264. 46