• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB II"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

19

KAJIAN PUSTAKA

A.

KERANGKA TEORI

1. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Konsep Negara Kesejahteraan (welvaartsstaat, Welfare State) mulai pertama kali dimunculkan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Konsep

ini erat kaitannya dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat

yang mengalami masa suram akibat gagalnya sistem politik dan ekonomi

kapitalis yang bebas dengan bertumpu pada konsep negara hukum liberal.

Utrecht mengemukakan bahwa suatu negara semacam itu, yang umum

dikenal sebagai tipe negara liberal, di mana negara berperan dan

bertindak sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat).1

Welfare State sendiri merupakan respon terhadap konsep “negara penjaga malam”. Pada negara penjaga malam, karakter dasarnya adalah

kebebasan (libera lism), yang berkembang pada abad pertengahan hingga abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang Invisible

Hands yang termuat dalam buku Adam Smith dan David Ricardo berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes.

1 Aminuddin Ilmar, Ha k Mengua sa i Nega ra Da la m Priva tisa si BUMN, Kencana,

(2)

Dalam sistem liberal ini, peran negara sangat minim, sehingga sering

dikatakan juga sebagai minimum state atau minarchism, yakni sebuah pandangan yang meyakini bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk

menggunakan monopoli memaksakan atau mengatur hubungan atau

transaksi antar warga negara. Dengan kata lain, pemerintah lebih

mengedepankan pendekatan la issez faire dalam menciptakan kesejahteraan. Sebagai gantinya, mekanisme pasar mendapat porsi besar

dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.2

Adapun negara/pemerintah hanya mempunyai fungsi/peran

perlindungan warga negara dari penyerangan, pencurian, pelanggaran

kontrak, penipuan, dan gangguan keamanan lainnya. Maka tidaklah aneh jika institusi negara yang dibentuk dalam sistem liberalism juga hanya

institusi yang berhubungan dengan aspek keamanan, yakni militer,

kepolisian, peradilan, pemadam kebakaran, termasuk penjara.3

Dengan dilatarbelakangi oleh kondisi so sial ekonomi masyarakat

yang semakin memprihatinkan, khususnya kegagalan sistem ekonomi

kapitalis yang mengandalkan pada berlakunya sistem ekonomi pasar yang

bebas tanpa campur tangan negara, telah mengakibatkan krisis ekonomi

2 Tri Widodo W Utomo, “Memahami Konsep Negara Kesejahteraan (

Welfa re Sta te)”,http://triwidodowutomo.b logspot.nl/2013/ 07/ me maha mi

-konsep-negara-kesejahteraan.html, dikunjungi pada tanggal 10 November 2016 pukul 07.04.

(3)

pada masyarakat. Kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) yang melandasi perhubungan masyarakat dengan negara dirasakan sudah tidak

memadai lagi. Peranan negara yang dahulunya dirasakan terbatas pada

penjagaan ketertiban semata, diupayakan untuk diperluas dengan

memberikan kewenangan yang lebih besar pada negara untuk mengatur

perekonomian masyarakat.4

Kepentingan umum sebagai asas hukum publik tidak lagi diartikan

sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban

atau kepentingan kaum borjuis sebagai basis masyarakat dari negara

hukum liberal, tetapi kepentingan umum adalah kepentingan dari “gedemocratiseerde nationale staat, waarvan het hele volk in al zijn

geledin gen deel uitmaakt” berubahnya pandangan tentang konsep negara

liberal tersebut, melahirkan suatu konsep baru tentang tipe negara

kesejahteraan yang lebih dikenal dengan konsep welfare state (welvaarstaat), yang pada akhir abad ke – 19 dan memasuki paruh awal abad ke – 20 berkembang pesat di eropa barat.5

Negara Kesejahteraan atau welfare state disebut juga “negara

hukum modern.” Tujuan pokoknya tidak saja terletak pada pelaksanaan

hukum semata, tetapi juga mencapai keadilan sosial (social gerechtigheid) bagi seluruh rakyat. Konsepsi negara hukum modern

(4)

menempatkan eksistensi dan peranan negara pada posisi kuat dan besar.

Kemudian konsepsi negara demikian ini dalam berbagai literatur disebut

dengan bermacam- macam istilah, antara lain: negara kesejahteraan

(welfare state) atau negara memberi pelayanan kepada masyarakat (social service state) atau negara melakukan tugas servis publik. Dengan demikian negara kesejahteraan merujuk pada sebuah model pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan

masyarakat melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara

dalam memberikan pelayanan sosial kepada warganya.

Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mengupayakan

kesejahteraan umum sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 adalah negara yang menganut paham kesejahteraan. Hal itu

tercermin dari Tujuan Negara yaitu “...melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial...”

Ciri utama dari negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah

untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata

(5)

mencampuri kehidupan ekonomi dan social masyarakat, menjadi

staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah aktif dalam kehidupan ekonomi dan social masyarakat, sebagai langkah untuk

mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjaga ketertiban dan

keamanan (rust en orde).6

Dalam negara hukum modern yang menganut paham welfare state/ negara kesejahteraan, tugas alat administrasi negara sangat luas sekali

karena mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Ideologi welfare state mengajarkan tentang peranan negara yang lebih luas ketimbang sekedar sebagai penjaga malam, yang oleh Utrecht

dikatakan bahwa lapangan pekerjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat luas,yaitu bertugas menjaga keamanan dalam arti kata

yang seluas- luasnya, yakni keamanan sosial di segala bidang

kemasyarakatan dalam suatu welfare state. Sehingga ketika itu, para pemikir kenegaraan menyatakan bahwa masa ekonomi liberal telah

ditinggalkan, sistem ekonomi liberal klasik diganti dengan sistem

ekonomi yang dipimpin oleh pusat (central geleide economie),

6 S. F. Marbun, Hukum Administra si Nega ra I, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, h.

(6)

Staatssonthouding telah digantikan oleh Staatsbemoeenis, pemisahan antara negara dengan masyarakatnya telah ditinggalkan.7

Ideologi negara kesejahteraan (welfare state) menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuursfunctie) oleh negara-negara modern. Konsep negara kesejahteraan lahir atas dasar pemikiran untuk

melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya eksekutif yang pada masa monarki absolut telah

terbukti banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Konsep negara

kesejahteraan inilah yang mengilhami sekaligus menjadi obsesi para

aktivis pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya “Bung

Hatta” selaku pejuang dan pendiri Negara Republik Indonesia, bahkan

menjadi figur sentralnya.8

Dilatarbelakangi pemikiran-pemikiran para pendiri negara,

utamanya “Bung Hatta”, maka Undang-Undang Dasar Negara 1945

mengandung semangat ke arah pembentukan model negara kesejahteraan

dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya; yaitu:

1. Mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk

kepentingan publik;

2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata;

7 E. Ut recht, Penga nta r Hukum Administra si Nega ra , Ichtiar baru, Ja karta, 1985, h.

3-4.

8 W. Riawan Tjandra, Hukum Administra si Nega ra , Universita s Atma Ja ya,

(7)

3. Mengurangi kemiskinan;

4. Menyediakan asuransi sosial (pendidikan dan kesehatan) bagi

masyarakat miskin;

5. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantage people;

6. Memberi proteksi sosial bagi setiap warga negara.9

Polarisasi tujuan-tujuan pokok negara kesejahteraan tersebut

dirumuskan, pada hakiktnya dimaksudkan untuk menetapkan

indikator-indikator sebagai alat ukur dalam menilai apakah masyarakat sudah

sejahtera atau belum. Selain fungsinya sebagai indikator juga

dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi negara (pemerintah) dalam mengambil langkah- langkah strategis dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, tujuan-tujuan pokok

tersebut pada hakikatnya hanyalah merupakan bagian-bagian dari tujuan

akhir dari welfare state yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat.10

Tujuan tersebut tidak dibatasi secara limitatif pada bidang material

saja, melainkan meliputi semua aspek kehidupan karena kesejahteraan

berkaitan langsung dengan harkat dan martabat manusia. Dengan

9 Marilang, “

Nila i Kea dilan Sosia l Da la m Perta mba nga n”, Diserta si, di dalam Marilang, Ideologi Welfa re Sta te Konstitusi: Ha k Menguasai Negara Atas Barang Tambang, Jurnal Konstitusi, Volu me 9, No mor 2, Juni 2012, h . 267.

10 Marilang, Ideologi Welfa re Sta te Konstitusi: Ha k Menguasai Negara Atas Barang

(8)

demikian, dalam suatu negara yang menganut paham welfare state biasanya mencantumkan bentuk-bentuk kesejahteraan dalam pasal-pasal

konstitusi atau undang-undang dasar negaranya. Salah satu sarana

penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan adalah mewujudkankan

“keadilan sosial” sebagaimana ditegaskan dalam sila ke-5 Pancasila yang

kemudian dijabarkan secara eksplisit di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang pada hakikatnya menghendaki agar kekayaan atau

pendapatan yang diperoleh dari hasil kerjasama oleh suatu komunitas

(negara) didistribusikan secara merata dan seimbang (proporsional)

kepada seluruh warga negara, bahkan kekayaan atau pendapatan yang

diperoleh merupakan kewajiban bagi negara yang menjadi tugas pokok pemerintah untuk menyisihkan anggaran bagi kalangan atau rakyat yang

tidak mampu yang sering diklaim sebagai kalangan ekonomi lemah (fakir

miskin) dan anak-anak terlantar sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34

(1) UUD 1945.11

Dalam mewujudkan tujuan-tujuan pokok tersebut menurut konsep

negara berideologi welfare state, diperlukan keterlibatan dan intervensi negara (pemerintah) dalam bentuk regulasi sehingga tujuan-tujuan

tersebut dapat terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,

khususnya melalui sektor pertambangan yang menguasai hajat hidup

(9)

orang banyak sebagaimana telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal

33 UUD 1945 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”. Kesemuanya itu demi mewujudkan kewajiban

pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau

bestuurszorg.12

2. Teori Hak Menguasai Oleh Negara

Secara umum hak menguasai negara dapat dikatakan sebagai suatu kewenangan atau wewenang formal yang ada pada negara dan

memberikan hak kepada negara untuk bertindak baik secara aktif maupun

pasif dalam bidang pemerintahan negara, dengan kata lain wewenang

negara tidak hanya berkaitan dengan wewenang pemerintahan semata,

akan tetapi meliputi pula semua wewenang dalam rangka melaksanakan

tugasnya.13

Namun terdapat banyak silang pendapat mengenai maksud dan

tujuan dari hak menguasai negara, itu, apakah dapat diartikan negara

secara langsung menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut

ataukah hanya sebatas pada pengaturan saja. Oleh karena itu menjadi hal

12 Ibid. h. 268.

13 Aminuddin Ilmar, Ha k Mengua sa i Nega ra Da la m Priva tisa si BUMN, Kencana

(10)

penting untuk memperjelas pengertian tentang arti penguasaan negara

itu.14

Dari penelusuran secara historis terhadap perumusan dan

penyusunan UUD NRI 1945, maka akan k ita ketemukan secara jelas

nama Muhammad Hatta sebagai salah seorang tim perumus UUD NRI

1945 khususnya ketentuan pasal 33 UUD N RI 1945. Mohammad Hatta secara tegas mengemukakan, bahwa lembaga usaha yang seharusnya

mendapat tempat sentral dalam sistem ekonomi Indonesia adalah

koperasi. Mohammad Hatta beranggapan, bahwa bangsa Indonesia lemah

kedudukan ekonominya hanya pada pengadaan pelayanan umum, seperti

listrik, air dan gas, atau apa yang disebut public utilities yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara lainnya seperti industri pokok

dan tambah, sehingga perlu dikuasai oleh negara. Menurut beliau

pengertian “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh

negara atau pemerintah akan tetapi dapat menyerahkan kepada pihak

swasta, asalkan dengan pengawasan pemerintah.15

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tampak jelas komitmen dan

pandangan Mohammad Hatta terhadap arah perekonomian nasional yang

dikehendaki. Mohammad Hatta dengan berpangkal tolak dari ketentuan

Pasal 33 UUD NRI 1945, kemudian membagi bidang ekonomi itu ke

14 Ibid. h. 51-52.

(11)

dalam tiga sektor usaha, yakni koperasi, usaha negara, dan usaha swasta.

Dalam kaitan dengan usaha negara, maka ia berpendapat bahwa tidak

perlu negara menjadi pengusaha atau ondernemer, akan tetapi cukup dengan pengawasan dari pemerintah.16

Berdasarkan pandangan Mohammad Hatta tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pengertian kalimat “harus dikuasai oleh negara”

dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945, menurut Mohammad

Hatta negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau

menyelenggarakan cabang produksi akan tetapi hal itu dapat diserahkan

kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat

peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran ekonomi demi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Tidak ada keharusan

bagi negara untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut

memberikan peluang kepada swasta untuk menyelenggarakan cabang –

cabang produksi yang terpenting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak.17

Sehubungan dengan hal itu, maka penguasaan negara dalam

cabang-cabang produksi tersebut yang terpenting adalah bagaimana

16

Miria m Budia rjo, Da sa r -da sa r Ilmu Politik, Gra media Pustaka Uta ma, Jaka rta, Cetakan Ketujuh Be las, 1996, h. 45.

(12)

bentuk penguasaan negara itu dapat menjamin terselenggaranya

kesejahteraan masyarakat.18

Hal tersebut di atas sejalan dengan pandangan yang dikemukakan

oleh Ace Partadiredja. Beliau mengemukakan, bahwa penguasaan oleh

negara adalah suatu iklim atau kebijaksanaan ekonomi yang

memungkinkan negara untuk ikut serta berusaha dan/atau menentukan dalam proses produksi. Ikut menentukan tidak selalu berarti bahwa

memiliki sendiri suatu cabang produksi dapat saja dimiliki oleh swasta,

akan tetapi negara c.q. pemerintah mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk ikut menentukan atau bahkan sepenuhnya menentukan jalannya

produksi tersebut.19

Selain itu, Mubyarto mengemukakan bahwa penguasaan oleh

negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk

menguasai cabang-cabang produksi tertentu yang menguasai hajat hidup

orang banyak adalah bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat

secara maksimal. Lebih tegas lagi Sri Edi Swasono menguraikan bahwa

perkataan dikuasai tidak harus diartikan sebagai dimiliki. Pemerintah

negara bisa menguasai melalui peraturan dan kebijaksanaan ekonomi

tanpa harus memiliki. Dikuasai oleh negara memberikan petunjuk

(13)

langsung, bahwa mekanisme pasar atau mekanisme harga bebas tidak

boleh berlaku dalam perekonomian, yang terpenting dan menjadi tujuan

utama adalah pengamanan kepentingan negara dan kepentingan rakyat

banyak.20

Dari berbagai uraian dan pendapat yang telah dikemukakan

berkaitan dengan makna atau pengertian kalimat “harus dikuasai oleh

negara”, maka dapat disimpulkan bahwa hak menguasai (penguasaan)

negara itu tidak harus negara ikut serta secara langsung

menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang bersangkutan dengan

membentuk usaha negara, akan tetapi bisa dengan jalan membuat

peraturan atau kebijaksanaan ekonomi yang tujuan utamanya adalah untuk pengamanan kepentingan negara dan kepentingan rakyat banyak.

Dengan kata lain, hak menguasaai (penguasaan) negara itu bukanlah

dalam arti memiliki cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun demikian hak

menguasai (penguasaan) negara itu hanya terbatas sebagai kuasa usaha

penyelenggaraan cabang-cabang produksi tersebut untuk kesejahteraan

rakyat banyak.21

20 Ibid.

(14)

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa secara

konstitusional Hak Penguasaan Negara diatur secara eksplisit pada Pasal

33 UUD 1945, sehingga pasal ini menjadi landasa n konstitusional

dibenarkannya Negara memiliki hak menguasai kekayaan alam yang

terkandung di dalam perut bumi. Namun batasan hak menguasai negara

tersebut tidak terdefinisikan lagi secara otentik dalam konstitusi, karena penjelasan UUD 1945 telah ditiadak an (dihapus). Dengan demikian

konsep dan batasan hak menguasai negara diserahkan kepada ilmu

pengetahuan hukum dan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya

Lembaga Peradilan Negara yang diberi kompetensi untuk menafsirkan

konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33

UUD 1945 dapat kita cermati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber

daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU

Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA)

menafsirkan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN) bukan dalam

makna negara memilki tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya

(15)

melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad).22

Dengan demikian makna HMN terhadap cabang-cabang produksi

yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap

sumber daya alam, tidak menafikkan kemungkinan perorangan atau

swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah serta

pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.23

3. Tanggungjawab Hukum Dan Kepastian Hukum

Tanggung jawab hukum Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan

Ruang akibat Kelalaian dalam Pengendalian dan pengawasan

pelaksanaan pemanfaatan pemasangan jaringan kabel fiber optik di Kota

Salatiga adalah sebagai jaminan dan kepastian dalam penyelenggaraan jalan kota. Bagi masyarakat bahwa keluarnya rekomendasi izin

diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bahwa hak- hak

pengguna jalan beserta bangunan pelengkap akan terpenuhi dan

22

J. Ronald Mawuntu, Konsep Pengua saa n Nega ra Berda sa rka n Pa sa l 33 UUD 1945 da n Putusa n Ma hka ma h Konstitusi, Jurnal Vol. XX/No.3/April-Juni/ 2012, d iunduh pada situs http: // repo.unsrat.ac.id/ 273 / 1/ KONSEP_PENGUASAAN_ NEGA RA_ BERDASARKAN__ PASA L_ 33_ UUD_ 1945__ DAN_PUTUSAN_ MAHKAMAH_ KONSTITUSI.pdf, pada tanggal 20 November 2016 pukul 07.29.

(16)

terlindungi dari kemungkinan wanprestasi yang dilakukan oleh

pemegang izin.

Hanya saja instrument rekomendasi kurang menjadi jaminan

hak-hak pelayanan pemanfaatan fasum oleh masyarakat bilamana si

pemegang izin melakukan wanprestasi. Terlebih pertanggungjawaban

apabila negara mengalami kerugian akibat kelalaian yang dilakukan oleh aparat dinas teknis terkait dalam memberikan rekomendasi izin selama

ini terbaikan. Dikarenakan di dalam rekomendasi izin tersebut belum

terdapat ketentuan kepada aparat apabila mengalami kerugian akibat

kesengajaan maupun kelalaian dalam pengawasan pelaksanaan perizinan.

a) Tanggung Jawab Perdata

Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara umum

konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk pada tanggung jawab hukum dalam ranah hukum publik dan tanggung jawab hukum

dalam ranah hukum privat. Tanggung jawab hukum dalam ranah

hukum publik misalkan tanggung jawab administrasi Negara dan

tanggung jawab hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab dalam

ranah hukum privat, yaitu tanggung jawab hukum dalam hukum

(17)

tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) atau

dalam bahasa belanda dikenal dengan sebutan onrechtmatige daad.24 Tanggung jawab perdata berdasarkan wanprestasi lahir dengan

adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak.

Perjanjian diawali dengan adanya janji (prestasi). Apabila dalam

hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar

kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai

(wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat diminta pertanggungjawaban

hukum berdasarkan wanprestasi.

Sementara tanggungjawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan

hukum hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum.25

Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan

perbuatan melanggar hukum adalah Tiap perbuatan melanggar

hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang

yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

24 Kiki Nitalia Hasibuan, Mis-selling Perba nka n Perbuata n Mela wa n Hukum, Tesis,

Magister Ilmu Huku m Un iversitas Indonesia, Depok, 2011, h. 35.

25

(18)

tersebut. Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori dari perbuatan melawan

hukum, yaitu sebagai berikut:

 Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan

 Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur

kesengajaan maupun kelalaian)

 Perbuatan melawan hukum karena kelalaian

Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:

 Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

 Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian

sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata yaitu:

“setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

 Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat

dalam pasal 1367 KUHPerdata yaitu:

(19)

Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau

kealpaan , yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau

bertentangan baik dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap

hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain

atau benda.26

Rosa Agustina27 menjelaskan bahwa PMH dapat dijumpai baik

dalam ranah hukum pidana (publik) maupun dalam ranah hukum

perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan hukum pidana

begitupun melawan hukum perdata. Dalam konteks itu jika

dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.

Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk

dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan

hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan

hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan

(interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan hukum pidana lebih memberikan

26

M.A. Moegni Djojodird jo,SH, Perbua ta n Mela wa n Hukum, Penerbit Pradnya Para mita, Ja karta, 1982. H 57-58.

27

(20)

perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan hukum perdata

lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif

dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).28

i. Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Wanprestasi

Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari

adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual timbul baik

karena perjanjian atau karena undang-undang.29 Kontrak pada

dasarnya merupakan perikatan antar manusia/subyek hukum yang

berwujud hak dan kewajiban hukum dan yang terbit secara

bertimbal-balik sebagai konsekuensi dari kesepakatan/persetujuan

yang terbentuk di antara dan atas kehendak pihak-pihak pembuatnya30. Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia

diatur dalam KUHPerdata buku ketiga tentang perikatan.

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata definisi persetujuan adalah

suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih

28

Kiki Nita lia Hasibuan, Op. Cit., h. 36.

29 Lihat Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Huku m Perdata.

30 Badan Pe mb inaan Huku m Nasional Ke menterian Hu ku m Dan HAM RI, Na ska h

(21)

mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.31

Menurut KUHPerdata suatu perjanjian valid dan mempunyai

kekuatan mengikat apabila telah memenuhi empat syarat sahnya

perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:

a) kesepakatan (the mutual consent of the parties);

Sepakat artinya kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian harus setuju atau seia sekata mengenai hal yang

diperjanjikan, sehingga apa yang dikehendaki pihak yang

satu, juga dikehendaki pihak yang lain. Adanya sepakat itu

terjadi apabila kedua belah pihak itu dapat menyatakan

secara bebas dan adanya kebebasan itu dapat dilihat dalam pasal 1321 KUHPerdata.

Pasal 1321 KUHPerdata :

“tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.32

b) kecakapan (a capacity to contract);

orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut

hukum. pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau

31 Ibid. Pasal 1313.

32 Dyah Hapsari Prananingru m, Hukum Da ga ng, Fakultas Hukum Universitas Kristen

(22)

akil balik yang sehat pikirannya dianggap cakap menurut

hukum. Orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian

menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah :

1. orang-orang yang belum dewasa

2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. orang-orang perempuan dalam hal- hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang

kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian tertentu.33

c) hal tertentu (a subject certain); dan

obyek dalam perjanjian paling tidak harus ditentukan jenisnya, namun barang yang menjadi obyek dalam

perjanjian juga diisyaratkan harus barang tertentu yang

diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Syarat untuk dapat

menentukan hak dan kewajiban masing- masing pihak jika

terjadi perselisihan bahwa barang yang diperjanjian harus

ada atau sudah ada di tangan salah satu pihak pada waktu

perjanjian dibuat tidak diharuskan dalam undang-undang.

Tetapi hal ini perlu dinyatakan secara tegas dengan diberikan

beberapa penjelasan agar jumlah dan jenis barang tidak

(23)

berbeda jauh antara jumlah dan jenis yang diperjanjikan

dengan kenyataan sesungguhnya.34

d) sebab yang halal (a legal cause).35

maksud sebab di sini adalah isi perjanjian itu sendiri. obyek

perjanjian itu dapat dikatakan halal apabila tidak

bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.36

Dengan adanya perikatan yang melahirkan hak dan

kewajiban maka jika salah satu pihak tidak melaksanakan hal-hal

yang telah disepakati, maka akan berakibat pada dilanggarnya

kepentingan salah satu pihak, dan hukum memberikan

perlindungan atas kepentingan dari pihak yang dilanggar tersebut. Pihak yang melanggar perjanjian tersebut bertanggung jawab

terhadap tindakannya tersebut.

Dalam hukum perikatan, apabila salah satu pihak tidak

melaksanakan prestasinya maka dikatakan wanprestasi. Kata

34

Ibid.

35

Kee mpat syarat tersebut dibedakan menjad i syarat subyektif (kesepakatan dan kecakapan) dan syarat obyektif (hal tertentu dan sebab yang halal). Pengolongan tersebut me miliki art i, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi ma ka akibatnya perjanjian tersebut

“dapat dibatalkan”. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut “batal

demi huku m.”

(24)

wanprestasi diresap dari kata wanprestasie (Belanda) dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan non-performance of contract atau breach of contract. Wanprestasi adalah keadaan di mana seorang debitur (berhutang) tidak memenuhi atau

melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu

perjanjian.37

Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan dimana pihak yang

berkewajiban untuk melaksanakan prestasi:

a) Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;

b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak tepat seperti

apa yang dijanjikan;

c) Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi terlambat;

d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.

Konsekuensi keadaan wanprestasi adalah pihak yang

dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi

berupa penggantian kerugian dengan perhitungan-perhitungan

tertentu berupa biaya, rugi dan bunga dan/atau pengakhiran

kontrak. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran

dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat

37 P.N.H, Siman juntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia , Jembatan, Jakarta,

(25)

adanya wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian

adalah berkurangnya nilai kekayaan debitur sebagai akibat adanya

wanprestasi dari pihak debitur. Selanjutnya yang dimaksud dengan

bunga adalah kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh

tetapi tidak jadi diperoleh oleh kreditur karena tindakan

wanprestasi dari debitur.38

Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat

dituntut untuk:

a) pemenuhan perjanjian;

b) pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;

c) ganti rugi

d) pembatalan perjanjian timbal balik;

e) pembatalan dengan ganti rugi.

Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru

efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243

KUHPerdata. Sedangkan bentuk pernyataan lalai diatur da lam

Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:

38 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Da ri Sudut Pa nda ng Hukum Bisnis) Cetakan ke-II,

(26)

1) P ernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu sa linan dar ipada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan.

2) Berdasa rkan kekuatan perjanjian itu sendiri.

3) Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi.

Pada prinsipnya debitur memiliki kewajiban untuk

mememuhi prestasi sebagaimana diperjanjikan, dan apabila debitur

tidak memenuhinya maka ia dapat dimintakan

pertanggungjawaban dalam bentuk membayar ganti rugi kepada

kreditur. Namun KUHPerdata memberikan pengecualiannya.

KUHPerdata memberikan tiga alasan yang dapat digunakan oleh

debitur yang dituduh lalai, yaitu:

1) F orce Majeure yaitu keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau

peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Hal

ini diatur dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.

2) Kreditur sendiri telah lalai (exceptio non adimpleti contractrus) dan

3) Kreditur telah melepaskan haknya.39

(27)

ii. Tanggungjawab Hukum Berdasarkan Perbuatan Melawan

Hukum

Perkara Lindenbaum vs Cohen adalah suatu tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen.40

Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum

dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama

pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.

Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat ora

ng-orang akan memilih kantor percetakannya dari pada kantor

Lindenbaum. Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh

Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan

gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen,

40 http://www.huku monline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan -me lawan-huku

(28)

Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen

tersebut.41

Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat

banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding,

dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu

perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh Cohen.42

Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya

Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang

dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa

pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak- hak orang lain,

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau

bertentangan dengan kesusilaan.43 Sejak Arrest tanggal 31 Januari

1919, suatu perbuatan melawan hukum, apabila :

a. Melanggar hak orang lain, atau

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau

c. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau

41

Ibid.

(29)

d. Bertentangan dengan kepatuhan yang terdapat dalam

masyarakat terhadap diri atau barang orang lain44

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu

merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan

Melawan Hukum lahir karena adanya prinsip bahwa barang siapa

melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian

tersebut (Pasal 1365 KUHPerdata).

Dalam hal tanggung jawab hukum, terdapat beberapa prinsip

tentang tanggung jawab hukum sangat penting. Dalam hukum,

setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung

jawab, sehingga diperlukan kehati- hatian dalam menganalisis siapa

yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab

yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

Secara umum, terdapat beberapa prinsip tanggung jawab

hukum antara lain :

1) Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (liability based

on fault)

44 Rach mat Set iawan, Tinja ua n Elementer Perbua tan Mela wa n Hukum, Alu mni,

(30)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup aman berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya

Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang

dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,

mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a) adanya perbuatan;

Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si

pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan

dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam

pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

b) adanya unsur kesalahan;

Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan

(31)

dengan undang- undang, tetapi juga bertentangan dengan

kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.45

Kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:

1) perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;

2) perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya:

dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;

dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat

menduga akibatnya.

3) dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan

cakap.46

c) adanya kerugian yang diderita;

Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya

harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh

perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar

norma oleh pihak lain.47 Kerugian yang diderita seseorang

secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu

45

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab% 202.pdf, dikunjungi pada tanggal 20 januari 2017 pada pukul 12.30.

46 Purwahid Patric k, Da sa r-Da sa r Hukum Perikata n (Perikata n ya ng Lahir dari

Perja njia n da n Unda ng -Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, H. 10-11.

47 Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perika ta n (terje mahan Djasadin Saragih),

(32)

kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa

harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda

sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta

kehilangan yang diharapkan.

d) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan

kerugian.

Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang

yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak

korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus

mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban

pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.48

2) Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Selalu

Bertanggung Jawab (presu mption of liability)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung

jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah.

Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan

istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban

48 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35723/5/ Chapter%20III -V.pdf,

(33)

pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang

bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.49

3) Tanggung Jawab Hukum Tidak Selalu Bertanggung

Jawab (presu mption of nonliabiity)

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya

dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contohnya dapat kita lihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi

kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh

penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta

pertanggungjawabannya.45 Sekalipun demikian, dalam Pasal

44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang

Angkatan Udara, ada penegasan,”prinsip praduga untuk tidak

selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara

mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan

pembatasan uang ganti rugi, artinya bagasi kabin/ tangan tetap

dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti

(34)

kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban

pembuktian ada pada si penumpang.50

4) Tanggung Jawab Mutlak (absolute liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability) kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua

terminology diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada

pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain

itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan

perbedaan keduanya pada, ada atau tidak adanya hubungan

kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan

kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability dapat saja si tergugat

50

(35)

yang dimintai pertanggung jawaban itu bukan si pelaku

langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana

alam).51

Pertanggungjawaban hukum strict liability dikenal dan digunakan dalam hukum lingkungan dan hukum penerbangan.

Diterapkannya konsep pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 88 menyatakan “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan.

Di dalam penjelasan pasal 88, dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan “bertanggungjawab mutlak” atau strict liability ada lah unsur kesalahan yang tidak per lu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.52

(36)

5) Tanggung Jawab Dengan Pe mbatasan (limitation of liability)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian

standar yang dibuatnya. Seperti dalam perjanjian cuci cetak

film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak

itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),

maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar

sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab

ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak

oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku

usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang

merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal

tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus

berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.53

b)Kepastian Hukum

53 https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab%202.pdf, d ikunjungi pada

(37)

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat

dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk

nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum

terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.

Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan

apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan

hukum tanpa diskriminasi.54

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari

hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut

sebagai salah satu tujuan dari hukum.55

Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu

sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal- formal.

Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan

sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis

54

Moh. Mahfud MD, Penegaka n Hukum Da nTa ta Kelola Pemerinta han Ya ng Baik,

Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan

oleh DPP Partai HANURA. Mahka mah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.

55 Jaka Mulyata, Kea dilan, Kepa stia n, Da n Akiba t Hukum Putusa n Ma hka mah

(38)

minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh

konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi,

sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan

inilah masyarakat menjadi tertib. O leh sebab itu, kepastian akan

mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.56

Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada

kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentua n baku dalam

menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav

Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari

hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan ses uai yang

bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian

hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam

pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak

dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam

kehidupan masyarakat.57

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari

hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

(39)

kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan

sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut

sebagai salah satu tujuan dari hukum.58

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah

jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum

dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun

hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat

setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat

subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum

merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam

memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah

bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum

yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada

hukum positif. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya

pengaturan hukum dalam perundang- undangan yang dibuat oleh pihak

yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki

(40)

aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum

berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.59

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka

kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,

tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan

dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna

atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak

boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian

hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung

kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan

kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang

ada.60

B.

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN

PERIZINAN PEMASANGAN JARINGAN KABEL

FIBER OPTIK

(41)

Secara umum terdapat berbagai peraturan perundang- undangan yang

mengatur tentang ruang manfaat jalan untuk penempatan bangunan utilitas

serta perizinannya. Utilitas itu sendiri ialah fasilitas yang menyangkut

kepentingan umum meliputi listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak,

gas dan bahan bakar lainnya, sanitasi dan sejenisnya.61 Berbagai peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang perizinan pemasangan bangunan utilitas dalam hal ini Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Pada Pasal 12 menyatakan bahwa :

1. Dalam rangka pembangunan, pengopera sian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai P emerintah

2. P emanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar

3. P embangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemer intah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Penjelasan Pada Pasal 12 ayat (3) diatas dikatakan bahwa

61 Pasal 1 ayat (13) Peraturan Menteri Pe kerjaan Umu m No mor: 20/ Prt/M/2010

(42)

“Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi yang secara langsung menguasai, memiliki, dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan.”

Pasal tersebut menunjukan jelas bahwa Penyelenggaran

telekomunikasi/operator seluler wajib memperoleh izin dalam

pembangunan jaringan telekomunikasi, dan salah satunya yaitu wajib

memperoleh izin dalam pemasangan jaringan kabel fiber optik.

2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Pada Pasal 1 ayat (4) dikatakan bahwa :

Jalan adalah prasa rana transportasi da rat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecua li jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel;

Menurut statusnya Jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan

nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.62

Terhadap pengelompokan ini menunjukan pihak yang berbeda dalam

penyelenggaraan jalan. Terhadap jalan nasional, Wewenang

penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah pusat.63 Terhadap jalan provinsi, wewenang penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah

(43)

provinsi.64 Terhadap jalan kota, wewenang penyelenggaraan berada pada

pemerintah kota, sedangkan pada jalan kabupaten dan desa, wewenang

penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah kabupaten.65 Terhadap

perizinan secara spesifik tidak dijelaskan dalam Undang-Undang a quo namun dilimpahkan kepada peraturan pemerintah, dalam hal ini

peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

3. Peraturan Peme rintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan

Terhadap Perizinan dalam Pemanfaataan rumaja pemasangan yang

dimanfaatkan untuk penempatan bangunan utilitas (jaringan kabel fiber

optik) wajib memperoleh izin.66 Izin pemanfaatan ruang manfaat jalan

dan ruang milik jalan ditetapkan oleh penyelenggara jalan sesuai

kewenangannya.67 Dalam hal pada jalan nasional pemberian izin dapat dilimpahkan kepada gubernur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan wajib dilaporkan kepada menteri. Pemberian izin untuk

lintas wilayah kabupaten/kota dapat dikoordinasikan oleh gubernur. Dan

terhadap jalan provinsi dapat dikoordinasikan dengan oleh Menteri.68

64

Ibid Pasal 15. 65

Ibid Pasal 16

66

Pasal 52 ayat (1) PP No mor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

(44)

Selanjutnya mengenai izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang

milik jalan diatur dalam peraturan Menteri, dalam hal ini Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedo man

Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.

4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2010 tentang

Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.

Dalam Peraturan Menteri a quo menjelaskan bahwa izin adalah persetujuan dari penyelenggara jalan atau pemberi izin tentang

pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan dengan

persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.69 Dalam pasal 4 ayat (1)

dikatakan bahwa pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan

wajib memperoleh izin dari penyelenggaran jalan sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal jalan nasional, Wewena ng Menteri selaku

penyelenggara jalan nasional dalam pemberian izin untuk pemanfaatan

ruang milik jalan nasional dapat dilimpahkan kepada pejabat yang

ditunjuk sesuai dengan penetapan Menteri setelah memperoleh

pertimbangan teknis dari Kepala Balai Besar/ Balai Pelaksanaan Jalan

Nasional. Pemberian izin untuk pemanfaatan ruang milik Jalan nasional

oleh pejabat yang ditunjuk dilakukan setelah memperoleh pertimbangan

69 Pasal 1 ayat (10) Pe raturan Menteri Pe kerjaan Umu m No mor: 20/ PRT/M/2010

(45)

teknis dari Kepala Balai Besar/ Balai Pelaksanaan Jalan Nasional.

Gubernur selaku penyelenggara jalan provinsi dalam pemberian izin,

untuk jalan provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk, sedangkan

Wewenang bupati/ walikota selaku penyelenggara jalan kabupaten/ kota

dalam pemberian izin, untuk jalan Kabupaten/ Kota dilaksanakan oleh

pejabat yang ditunjuk.70

Untuk Prosedur Izin dalam Peraturan Menteri a quo menyatakan antara lain sebagai berikut :

Permohonan Izin diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan

persyaratan administrasi dan persyaratan teknis oleh pemohon dalam hal

ini perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi, badan usaha, badan hukum, instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan

disampaikan kepada penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya

atau pemberi izin.71

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud di atas mencakup : a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai dengan

Formulir A.1;

b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan

menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media informasi/

(46)

bangun bangunan/ bangunan gedung untuk keselamatan umum dan

menanggung segala resiko atas segala akibat yang mungkin

ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau prasarana

yang dibangun/dipasang pada bagian–bagian jalan yang dimohon

sesuai dengan Formulir A.2.72

Sedangkan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud di atas mencakup: a. lokasi;

b. rencana teknis; dan

c. jadwal waktu pelaksanaan.73

Setelah pemohon memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di

atas, pemberi izin melakukan evaluasi dan peninjauan lapangan untuk jalan nasional dilakukan bersama dengan Kepala Balai Besar/ Balai

Pelaksanaan Jalan Nasional.

Hasil evaluasi dan peninjauan lapangan tersebut diselesaikan

dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya

permohonan yang telah memenuhi persyaratan. Berdasarkan hasil

evaluasi dan peninjauan lapangan dalam jangka waktu paling lama 5

(lima) hari kerja pemberi izin menerbitkan persetujuan prinsip sesuai

72 Ibid Pasal 7 73

(47)

dengan Formulir A.3. Kemudian Berdasarkan persetujuan prinsip

dimaksud, pemohon wajib melengkapi persyaratan sebagai berikut:

a. rencana teknis rinci;

b. metode pelaksanaan;

c. izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha;

d. perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah; dan

e. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan bank

serta polis asuransi kerugian pihak ketiga.

f. Jaminan pelaksanaan, jaminan pemeliharaan dan polis asuransi

kerugian pihak ketiga diterima dan disimpan oleh pemberi izin.

Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak dilengkapinya seluruh persyaratan di atas oleh pemohon, Kepala Balai

Besar/ Balai Pelaksanaan Jalan Nasional memberikan pertimbangan

teknis. Setelah itu pejabat yang ditunjuk menerbitkan izin untuk jalan

nasional sesuai dengan Formulir A.4. Penerbitan izin untuk jalan

nasional oleh pemberi izin dilakukan setelah persyaratan di atas

dipenuhi.

Selanjutnya terhadap Penerbitan izin untuk jalan provinsi dan jalan

kabupaten/kota oleh pemberi izin dilakukan dalam jangka waktu paling

(48)

teknis dalam rangka pemanfaatan barang milik negara/daerah (BMN/D)

sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.74

74 Pasal 9 Pe raturan Menteri Peke rjaan Umu m No mor: 20/PRT/M/2010 tentang

Referensi

Dokumen terkait