19
KAJIAN PUSTAKA
A.
KERANGKA TEORI
1. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Konsep Negara Kesejahteraan (welvaartsstaat, Welfare State) mulai pertama kali dimunculkan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Konsep
ini erat kaitannya dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat
yang mengalami masa suram akibat gagalnya sistem politik dan ekonomi
kapitalis yang bebas dengan bertumpu pada konsep negara hukum liberal.
Utrecht mengemukakan bahwa suatu negara semacam itu, yang umum
dikenal sebagai tipe negara liberal, di mana negara berperan dan
bertindak sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat).1
Welfare State sendiri merupakan respon terhadap konsep “negara penjaga malam”. Pada negara penjaga malam, karakter dasarnya adalah
kebebasan (libera lism), yang berkembang pada abad pertengahan hingga abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang Invisible
Hands yang termuat dalam buku Adam Smith dan David Ricardo berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes.
1 Aminuddin Ilmar, Ha k Mengua sa i Nega ra Da la m Priva tisa si BUMN, Kencana,
Dalam sistem liberal ini, peran negara sangat minim, sehingga sering
dikatakan juga sebagai minimum state atau minarchism, yakni sebuah pandangan yang meyakini bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk
menggunakan monopoli memaksakan atau mengatur hubungan atau
transaksi antar warga negara. Dengan kata lain, pemerintah lebih
mengedepankan pendekatan la issez faire dalam menciptakan kesejahteraan. Sebagai gantinya, mekanisme pasar mendapat porsi besar
dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.2
Adapun negara/pemerintah hanya mempunyai fungsi/peran
perlindungan warga negara dari penyerangan, pencurian, pelanggaran
kontrak, penipuan, dan gangguan keamanan lainnya. Maka tidaklah aneh jika institusi negara yang dibentuk dalam sistem liberalism juga hanya
institusi yang berhubungan dengan aspek keamanan, yakni militer,
kepolisian, peradilan, pemadam kebakaran, termasuk penjara.3
Dengan dilatarbelakangi oleh kondisi so sial ekonomi masyarakat
yang semakin memprihatinkan, khususnya kegagalan sistem ekonomi
kapitalis yang mengandalkan pada berlakunya sistem ekonomi pasar yang
bebas tanpa campur tangan negara, telah mengakibatkan krisis ekonomi
2 Tri Widodo W Utomo, “Memahami Konsep Negara Kesejahteraan (
Welfa re Sta te)”,http://triwidodowutomo.b logspot.nl/2013/ 07/ me maha mi
-konsep-negara-kesejahteraan.html, dikunjungi pada tanggal 10 November 2016 pukul 07.04.
pada masyarakat. Kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) yang melandasi perhubungan masyarakat dengan negara dirasakan sudah tidak
memadai lagi. Peranan negara yang dahulunya dirasakan terbatas pada
penjagaan ketertiban semata, diupayakan untuk diperluas dengan
memberikan kewenangan yang lebih besar pada negara untuk mengatur
perekonomian masyarakat.4
Kepentingan umum sebagai asas hukum publik tidak lagi diartikan
sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban
atau kepentingan kaum borjuis sebagai basis masyarakat dari negara
hukum liberal, tetapi kepentingan umum adalah kepentingan dari “gedemocratiseerde nationale staat, waarvan het hele volk in al zijn
geledin gen deel uitmaakt” berubahnya pandangan tentang konsep negara
liberal tersebut, melahirkan suatu konsep baru tentang tipe negara
kesejahteraan yang lebih dikenal dengan konsep welfare state (welvaarstaat), yang pada akhir abad ke – 19 dan memasuki paruh awal abad ke – 20 berkembang pesat di eropa barat.5
Negara Kesejahteraan atau welfare state disebut juga “negara
hukum modern.” Tujuan pokoknya tidak saja terletak pada pelaksanaan
hukum semata, tetapi juga mencapai keadilan sosial (social gerechtigheid) bagi seluruh rakyat. Konsepsi negara hukum modern
menempatkan eksistensi dan peranan negara pada posisi kuat dan besar.
Kemudian konsepsi negara demikian ini dalam berbagai literatur disebut
dengan bermacam- macam istilah, antara lain: negara kesejahteraan
(welfare state) atau negara memberi pelayanan kepada masyarakat (social service state) atau negara melakukan tugas servis publik. Dengan demikian negara kesejahteraan merujuk pada sebuah model pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara
dalam memberikan pelayanan sosial kepada warganya.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mengupayakan
kesejahteraan umum sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah negara yang menganut paham kesejahteraan. Hal itu
tercermin dari Tujuan Negara yaitu “...melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial...”
Ciri utama dari negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah
untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata
mencampuri kehidupan ekonomi dan social masyarakat, menjadi
staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah aktif dalam kehidupan ekonomi dan social masyarakat, sebagai langkah untuk
mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjaga ketertiban dan
keamanan (rust en orde).6
Dalam negara hukum modern yang menganut paham welfare state/ negara kesejahteraan, tugas alat administrasi negara sangat luas sekali
karena mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Ideologi welfare state mengajarkan tentang peranan negara yang lebih luas ketimbang sekedar sebagai penjaga malam, yang oleh Utrecht
dikatakan bahwa lapangan pekerjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat luas,yaitu bertugas menjaga keamanan dalam arti kata
yang seluas- luasnya, yakni keamanan sosial di segala bidang
kemasyarakatan dalam suatu welfare state. Sehingga ketika itu, para pemikir kenegaraan menyatakan bahwa masa ekonomi liberal telah
ditinggalkan, sistem ekonomi liberal klasik diganti dengan sistem
ekonomi yang dipimpin oleh pusat (central geleide economie),
6 S. F. Marbun, Hukum Administra si Nega ra I, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, h.
Staatssonthouding telah digantikan oleh Staatsbemoeenis, pemisahan antara negara dengan masyarakatnya telah ditinggalkan.7
Ideologi negara kesejahteraan (welfare state) menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuursfunctie) oleh negara-negara modern. Konsep negara kesejahteraan lahir atas dasar pemikiran untuk
melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya eksekutif yang pada masa monarki absolut telah
terbukti banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Konsep negara
kesejahteraan inilah yang mengilhami sekaligus menjadi obsesi para
aktivis pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya “Bung
Hatta” selaku pejuang dan pendiri Negara Republik Indonesia, bahkan
menjadi figur sentralnya.8
Dilatarbelakangi pemikiran-pemikiran para pendiri negara,
utamanya “Bung Hatta”, maka Undang-Undang Dasar Negara 1945
mengandung semangat ke arah pembentukan model negara kesejahteraan
dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya; yaitu:
1. Mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk
kepentingan publik;
2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata;
7 E. Ut recht, Penga nta r Hukum Administra si Nega ra , Ichtiar baru, Ja karta, 1985, h.
3-4.
8 W. Riawan Tjandra, Hukum Administra si Nega ra , Universita s Atma Ja ya,
3. Mengurangi kemiskinan;
4. Menyediakan asuransi sosial (pendidikan dan kesehatan) bagi
masyarakat miskin;
5. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantage people;
6. Memberi proteksi sosial bagi setiap warga negara.9
Polarisasi tujuan-tujuan pokok negara kesejahteraan tersebut
dirumuskan, pada hakiktnya dimaksudkan untuk menetapkan
indikator-indikator sebagai alat ukur dalam menilai apakah masyarakat sudah
sejahtera atau belum. Selain fungsinya sebagai indikator juga
dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi negara (pemerintah) dalam mengambil langkah- langkah strategis dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, tujuan-tujuan pokok
tersebut pada hakikatnya hanyalah merupakan bagian-bagian dari tujuan
akhir dari welfare state yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat.10
Tujuan tersebut tidak dibatasi secara limitatif pada bidang material
saja, melainkan meliputi semua aspek kehidupan karena kesejahteraan
berkaitan langsung dengan harkat dan martabat manusia. Dengan
9 Marilang, “
Nila i Kea dilan Sosia l Da la m Perta mba nga n”, Diserta si, di dalam Marilang, Ideologi Welfa re Sta te Konstitusi: Ha k Menguasai Negara Atas Barang Tambang, Jurnal Konstitusi, Volu me 9, No mor 2, Juni 2012, h . 267.
10 Marilang, Ideologi Welfa re Sta te Konstitusi: Ha k Menguasai Negara Atas Barang
demikian, dalam suatu negara yang menganut paham welfare state biasanya mencantumkan bentuk-bentuk kesejahteraan dalam pasal-pasal
konstitusi atau undang-undang dasar negaranya. Salah satu sarana
penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan adalah mewujudkankan
“keadilan sosial” sebagaimana ditegaskan dalam sila ke-5 Pancasila yang
kemudian dijabarkan secara eksplisit di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang pada hakikatnya menghendaki agar kekayaan atau
pendapatan yang diperoleh dari hasil kerjasama oleh suatu komunitas
(negara) didistribusikan secara merata dan seimbang (proporsional)
kepada seluruh warga negara, bahkan kekayaan atau pendapatan yang
diperoleh merupakan kewajiban bagi negara yang menjadi tugas pokok pemerintah untuk menyisihkan anggaran bagi kalangan atau rakyat yang
tidak mampu yang sering diklaim sebagai kalangan ekonomi lemah (fakir
miskin) dan anak-anak terlantar sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34
(1) UUD 1945.11
Dalam mewujudkan tujuan-tujuan pokok tersebut menurut konsep
negara berideologi welfare state, diperlukan keterlibatan dan intervensi negara (pemerintah) dalam bentuk regulasi sehingga tujuan-tujuan
tersebut dapat terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,
khususnya melalui sektor pertambangan yang menguasai hajat hidup
orang banyak sebagaimana telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal
33 UUD 1945 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Kesemuanya itu demi mewujudkan kewajiban
pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau
bestuurszorg.12
2. Teori Hak Menguasai Oleh Negara
Secara umum hak menguasai negara dapat dikatakan sebagai suatu kewenangan atau wewenang formal yang ada pada negara dan
memberikan hak kepada negara untuk bertindak baik secara aktif maupun
pasif dalam bidang pemerintahan negara, dengan kata lain wewenang
negara tidak hanya berkaitan dengan wewenang pemerintahan semata,
akan tetapi meliputi pula semua wewenang dalam rangka melaksanakan
tugasnya.13
Namun terdapat banyak silang pendapat mengenai maksud dan
tujuan dari hak menguasai negara, itu, apakah dapat diartikan negara
secara langsung menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut
ataukah hanya sebatas pada pengaturan saja. Oleh karena itu menjadi hal
12 Ibid. h. 268.
13 Aminuddin Ilmar, Ha k Mengua sa i Nega ra Da la m Priva tisa si BUMN, Kencana
penting untuk memperjelas pengertian tentang arti penguasaan negara
itu.14
Dari penelusuran secara historis terhadap perumusan dan
penyusunan UUD NRI 1945, maka akan k ita ketemukan secara jelas
nama Muhammad Hatta sebagai salah seorang tim perumus UUD NRI
1945 khususnya ketentuan pasal 33 UUD N RI 1945. Mohammad Hatta secara tegas mengemukakan, bahwa lembaga usaha yang seharusnya
mendapat tempat sentral dalam sistem ekonomi Indonesia adalah
koperasi. Mohammad Hatta beranggapan, bahwa bangsa Indonesia lemah
kedudukan ekonominya hanya pada pengadaan pelayanan umum, seperti
listrik, air dan gas, atau apa yang disebut public utilities yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara lainnya seperti industri pokok
dan tambah, sehingga perlu dikuasai oleh negara. Menurut beliau
pengertian “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh
negara atau pemerintah akan tetapi dapat menyerahkan kepada pihak
swasta, asalkan dengan pengawasan pemerintah.15
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tampak jelas komitmen dan
pandangan Mohammad Hatta terhadap arah perekonomian nasional yang
dikehendaki. Mohammad Hatta dengan berpangkal tolak dari ketentuan
Pasal 33 UUD NRI 1945, kemudian membagi bidang ekonomi itu ke
14 Ibid. h. 51-52.
dalam tiga sektor usaha, yakni koperasi, usaha negara, dan usaha swasta.
Dalam kaitan dengan usaha negara, maka ia berpendapat bahwa tidak
perlu negara menjadi pengusaha atau ondernemer, akan tetapi cukup dengan pengawasan dari pemerintah.16
Berdasarkan pandangan Mohammad Hatta tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengertian kalimat “harus dikuasai oleh negara”
dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945, menurut Mohammad
Hatta negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau
menyelenggarakan cabang produksi akan tetapi hal itu dapat diserahkan
kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat
peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran ekonomi demi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Tidak ada keharusan
bagi negara untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut
memberikan peluang kepada swasta untuk menyelenggarakan cabang –
cabang produksi yang terpenting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak.17
Sehubungan dengan hal itu, maka penguasaan negara dalam
cabang-cabang produksi tersebut yang terpenting adalah bagaimana
16
Miria m Budia rjo, Da sa r -da sa r Ilmu Politik, Gra media Pustaka Uta ma, Jaka rta, Cetakan Ketujuh Be las, 1996, h. 45.
bentuk penguasaan negara itu dapat menjamin terselenggaranya
kesejahteraan masyarakat.18
Hal tersebut di atas sejalan dengan pandangan yang dikemukakan
oleh Ace Partadiredja. Beliau mengemukakan, bahwa penguasaan oleh
negara adalah suatu iklim atau kebijaksanaan ekonomi yang
memungkinkan negara untuk ikut serta berusaha dan/atau menentukan dalam proses produksi. Ikut menentukan tidak selalu berarti bahwa
memiliki sendiri suatu cabang produksi dapat saja dimiliki oleh swasta,
akan tetapi negara c.q. pemerintah mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk ikut menentukan atau bahkan sepenuhnya menentukan jalannya
produksi tersebut.19
Selain itu, Mubyarto mengemukakan bahwa penguasaan oleh
negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk
menguasai cabang-cabang produksi tertentu yang menguasai hajat hidup
orang banyak adalah bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat
secara maksimal. Lebih tegas lagi Sri Edi Swasono menguraikan bahwa
perkataan dikuasai tidak harus diartikan sebagai dimiliki. Pemerintah
negara bisa menguasai melalui peraturan dan kebijaksanaan ekonomi
tanpa harus memiliki. Dikuasai oleh negara memberikan petunjuk
langsung, bahwa mekanisme pasar atau mekanisme harga bebas tidak
boleh berlaku dalam perekonomian, yang terpenting dan menjadi tujuan
utama adalah pengamanan kepentingan negara dan kepentingan rakyat
banyak.20
Dari berbagai uraian dan pendapat yang telah dikemukakan
berkaitan dengan makna atau pengertian kalimat “harus dikuasai oleh
negara”, maka dapat disimpulkan bahwa hak menguasai (penguasaan)
negara itu tidak harus negara ikut serta secara langsung
menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang bersangkutan dengan
membentuk usaha negara, akan tetapi bisa dengan jalan membuat
peraturan atau kebijaksanaan ekonomi yang tujuan utamanya adalah untuk pengamanan kepentingan negara dan kepentingan rakyat banyak.
Dengan kata lain, hak menguasaai (penguasaan) negara itu bukanlah
dalam arti memiliki cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun demikian hak
menguasai (penguasaan) negara itu hanya terbatas sebagai kuasa usaha
penyelenggaraan cabang-cabang produksi tersebut untuk kesejahteraan
rakyat banyak.21
20 Ibid.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa secara
konstitusional Hak Penguasaan Negara diatur secara eksplisit pada Pasal
33 UUD 1945, sehingga pasal ini menjadi landasa n konstitusional
dibenarkannya Negara memiliki hak menguasai kekayaan alam yang
terkandung di dalam perut bumi. Namun batasan hak menguasai negara
tersebut tidak terdefinisikan lagi secara otentik dalam konstitusi, karena penjelasan UUD 1945 telah ditiadak an (dihapus). Dengan demikian
konsep dan batasan hak menguasai negara diserahkan kepada ilmu
pengetahuan hukum dan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya
Lembaga Peradilan Negara yang diberi kompetensi untuk menafsirkan
konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33
UUD 1945 dapat kita cermati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber
daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU
Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA)
menafsirkan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN) bukan dalam
makna negara memilki tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya
melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad).22
Dengan demikian makna HMN terhadap cabang-cabang produksi
yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap
sumber daya alam, tidak menafikkan kemungkinan perorangan atau
swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah serta
pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.23
3. Tanggungjawab Hukum Dan Kepastian Hukum
Tanggung jawab hukum Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang akibat Kelalaian dalam Pengendalian dan pengawasan
pelaksanaan pemanfaatan pemasangan jaringan kabel fiber optik di Kota
Salatiga adalah sebagai jaminan dan kepastian dalam penyelenggaraan jalan kota. Bagi masyarakat bahwa keluarnya rekomendasi izin
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bahwa hak- hak
pengguna jalan beserta bangunan pelengkap akan terpenuhi dan
22
J. Ronald Mawuntu, Konsep Pengua saa n Nega ra Berda sa rka n Pa sa l 33 UUD 1945 da n Putusa n Ma hka ma h Konstitusi, Jurnal Vol. XX/No.3/April-Juni/ 2012, d iunduh pada situs http: // repo.unsrat.ac.id/ 273 / 1/ KONSEP_PENGUASAAN_ NEGA RA_ BERDASARKAN__ PASA L_ 33_ UUD_ 1945__ DAN_PUTUSAN_ MAHKAMAH_ KONSTITUSI.pdf, pada tanggal 20 November 2016 pukul 07.29.
terlindungi dari kemungkinan wanprestasi yang dilakukan oleh
pemegang izin.
Hanya saja instrument rekomendasi kurang menjadi jaminan
hak-hak pelayanan pemanfaatan fasum oleh masyarakat bilamana si
pemegang izin melakukan wanprestasi. Terlebih pertanggungjawaban
apabila negara mengalami kerugian akibat kelalaian yang dilakukan oleh aparat dinas teknis terkait dalam memberikan rekomendasi izin selama
ini terbaikan. Dikarenakan di dalam rekomendasi izin tersebut belum
terdapat ketentuan kepada aparat apabila mengalami kerugian akibat
kesengajaan maupun kelalaian dalam pengawasan pelaksanaan perizinan.
a) Tanggung Jawab Perdata
Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara umum
konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk pada tanggung jawab hukum dalam ranah hukum publik dan tanggung jawab hukum
dalam ranah hukum privat. Tanggung jawab hukum dalam ranah
hukum publik misalkan tanggung jawab administrasi Negara dan
tanggung jawab hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab dalam
ranah hukum privat, yaitu tanggung jawab hukum dalam hukum
tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) atau
dalam bahasa belanda dikenal dengan sebutan onrechtmatige daad.24 Tanggung jawab perdata berdasarkan wanprestasi lahir dengan
adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
Perjanjian diawali dengan adanya janji (prestasi). Apabila dalam
hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar
kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai
(wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat diminta pertanggungjawaban
hukum berdasarkan wanprestasi.
Sementara tanggungjawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan
hukum hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum.25
Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan
perbuatan melanggar hukum adalah Tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
24 Kiki Nitalia Hasibuan, Mis-selling Perba nka n Perbuata n Mela wa n Hukum, Tesis,
Magister Ilmu Huku m Un iversitas Indonesia, Depok, 2011, h. 35.
25
tersebut. Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori dari perbuatan melawan
hukum, yaitu sebagai berikut:
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur
kesengajaan maupun kelalaian)
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata yaitu:
“setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat
dalam pasal 1367 KUHPerdata yaitu:
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau
kealpaan , yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau
bertentangan baik dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap
hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain
atau benda.26
Rosa Agustina27 menjelaskan bahwa PMH dapat dijumpai baik
dalam ranah hukum pidana (publik) maupun dalam ranah hukum
perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan hukum pidana
begitupun melawan hukum perdata. Dalam konteks itu jika
dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.
Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk
dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan
hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan
hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan
(interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan hukum pidana lebih memberikan
26
M.A. Moegni Djojodird jo,SH, Perbua ta n Mela wa n Hukum, Penerbit Pradnya Para mita, Ja karta, 1982. H 57-58.
27
perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan hukum perdata
lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif
dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).28
i. Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Wanprestasi
Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari
adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual timbul baik
karena perjanjian atau karena undang-undang.29 Kontrak pada
dasarnya merupakan perikatan antar manusia/subyek hukum yang
berwujud hak dan kewajiban hukum dan yang terbit secara
bertimbal-balik sebagai konsekuensi dari kesepakatan/persetujuan
yang terbentuk di antara dan atas kehendak pihak-pihak pembuatnya30. Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia
diatur dalam KUHPerdata buku ketiga tentang perikatan.
Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata definisi persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih
28
Kiki Nita lia Hasibuan, Op. Cit., h. 36.
29 Lihat Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Huku m Perdata.
30 Badan Pe mb inaan Huku m Nasional Ke menterian Hu ku m Dan HAM RI, Na ska h
mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.31
Menurut KUHPerdata suatu perjanjian valid dan mempunyai
kekuatan mengikat apabila telah memenuhi empat syarat sahnya
perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:
a) kesepakatan (the mutual consent of the parties);
Sepakat artinya kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian harus setuju atau seia sekata mengenai hal yang
diperjanjikan, sehingga apa yang dikehendaki pihak yang
satu, juga dikehendaki pihak yang lain. Adanya sepakat itu
terjadi apabila kedua belah pihak itu dapat menyatakan
secara bebas dan adanya kebebasan itu dapat dilihat dalam pasal 1321 KUHPerdata.
Pasal 1321 KUHPerdata :
“tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.32
b) kecakapan (a capacity to contract);
orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut
hukum. pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau
31 Ibid. Pasal 1313.
32 Dyah Hapsari Prananingru m, Hukum Da ga ng, Fakultas Hukum Universitas Kristen
akil balik yang sehat pikirannya dianggap cakap menurut
hukum. Orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian
menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah :
1. orang-orang yang belum dewasa
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. orang-orang perempuan dalam hal- hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.33
c) hal tertentu (a subject certain); dan
obyek dalam perjanjian paling tidak harus ditentukan jenisnya, namun barang yang menjadi obyek dalam
perjanjian juga diisyaratkan harus barang tertentu yang
diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Syarat untuk dapat
menentukan hak dan kewajiban masing- masing pihak jika
terjadi perselisihan bahwa barang yang diperjanjian harus
ada atau sudah ada di tangan salah satu pihak pada waktu
perjanjian dibuat tidak diharuskan dalam undang-undang.
Tetapi hal ini perlu dinyatakan secara tegas dengan diberikan
beberapa penjelasan agar jumlah dan jenis barang tidak
berbeda jauh antara jumlah dan jenis yang diperjanjikan
dengan kenyataan sesungguhnya.34
d) sebab yang halal (a legal cause).35
maksud sebab di sini adalah isi perjanjian itu sendiri. obyek
perjanjian itu dapat dikatakan halal apabila tidak
bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.36
Dengan adanya perikatan yang melahirkan hak dan
kewajiban maka jika salah satu pihak tidak melaksanakan hal-hal
yang telah disepakati, maka akan berakibat pada dilanggarnya
kepentingan salah satu pihak, dan hukum memberikan
perlindungan atas kepentingan dari pihak yang dilanggar tersebut. Pihak yang melanggar perjanjian tersebut bertanggung jawab
terhadap tindakannya tersebut.
Dalam hukum perikatan, apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan prestasinya maka dikatakan wanprestasi. Kata
34
Ibid.
35
Kee mpat syarat tersebut dibedakan menjad i syarat subyektif (kesepakatan dan kecakapan) dan syarat obyektif (hal tertentu dan sebab yang halal). Pengolongan tersebut me miliki art i, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi ma ka akibatnya perjanjian tersebut
“dapat dibatalkan”. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut “batal
demi huku m.”
wanprestasi diresap dari kata wanprestasie (Belanda) dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan non-performance of contract atau breach of contract. Wanprestasi adalah keadaan di mana seorang debitur (berhutang) tidak memenuhi atau
melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu
perjanjian.37
Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan dimana pihak yang
berkewajiban untuk melaksanakan prestasi:
a) Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;
b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak tepat seperti
apa yang dijanjikan;
c) Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi terlambat;
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Konsekuensi keadaan wanprestasi adalah pihak yang
dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi
berupa penggantian kerugian dengan perhitungan-perhitungan
tertentu berupa biaya, rugi dan bunga dan/atau pengakhiran
kontrak. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran
dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat
37 P.N.H, Siman juntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia , Jembatan, Jakarta,
adanya wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian
adalah berkurangnya nilai kekayaan debitur sebagai akibat adanya
wanprestasi dari pihak debitur. Selanjutnya yang dimaksud dengan
bunga adalah kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh
tetapi tidak jadi diperoleh oleh kreditur karena tindakan
wanprestasi dari debitur.38
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat
dituntut untuk:
a) pemenuhan perjanjian;
b) pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;
c) ganti rugi
d) pembatalan perjanjian timbal balik;
e) pembatalan dengan ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru
efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243
KUHPerdata. Sedangkan bentuk pernyataan lalai diatur da lam
Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:
38 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Da ri Sudut Pa nda ng Hukum Bisnis) Cetakan ke-II,
1) P ernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu sa linan dar ipada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan.
2) Berdasa rkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
3) Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi.
Pada prinsipnya debitur memiliki kewajiban untuk
mememuhi prestasi sebagaimana diperjanjikan, dan apabila debitur
tidak memenuhinya maka ia dapat dimintakan
pertanggungjawaban dalam bentuk membayar ganti rugi kepada
kreditur. Namun KUHPerdata memberikan pengecualiannya.
KUHPerdata memberikan tiga alasan yang dapat digunakan oleh
debitur yang dituduh lalai, yaitu:
1) F orce Majeure yaitu keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Hal
ini diatur dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
2) Kreditur sendiri telah lalai (exceptio non adimpleti contractrus) dan
3) Kreditur telah melepaskan haknya.39
ii. Tanggungjawab Hukum Berdasarkan Perbuatan Melawan
Hukum
Perkara Lindenbaum vs Cohen adalah suatu tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen.40
Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum
dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama
pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.
Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat ora
ng-orang akan memilih kantor percetakannya dari pada kantor
Lindenbaum. Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh
Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan
gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen,
40 http://www.huku monline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan -me lawan-huku
Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen
tersebut.41
Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat
banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding,
dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu
perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh Cohen.42
Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya
Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang
dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa
pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak- hak orang lain,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
bertentangan dengan kesusilaan.43 Sejak Arrest tanggal 31 Januari
1919, suatu perbuatan melawan hukum, apabila :
a. Melanggar hak orang lain, atau
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau
c. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau
41
Ibid.
d. Bertentangan dengan kepatuhan yang terdapat dalam
masyarakat terhadap diri atau barang orang lain44
Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu
merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan
Melawan Hukum lahir karena adanya prinsip bahwa barang siapa
melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian
tersebut (Pasal 1365 KUHPerdata).
Dalam hal tanggung jawab hukum, terdapat beberapa prinsip
tentang tanggung jawab hukum sangat penting. Dalam hukum,
setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung
jawab, sehingga diperlukan kehati- hatian dalam menganalisis siapa
yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Secara umum, terdapat beberapa prinsip tanggung jawab
hukum antara lain :
1) Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (liability based
on fault)
44 Rach mat Set iawan, Tinja ua n Elementer Perbua tan Mela wa n Hukum, Alu mni,
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup aman berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya
Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang
dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a) adanya perbuatan;
Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si
pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan
dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam
pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
b) adanya unsur kesalahan;
Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan
dengan undang- undang, tetapi juga bertentangan dengan
kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.45
Kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:
1) perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
2) perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya:
dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;
dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat
menduga akibatnya.
3) dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan
cakap.46
c) adanya kerugian yang diderita;
Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya
harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh
perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar
norma oleh pihak lain.47 Kerugian yang diderita seseorang
secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu
45
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab% 202.pdf, dikunjungi pada tanggal 20 januari 2017 pada pukul 12.30.
46 Purwahid Patric k, Da sa r-Da sa r Hukum Perikata n (Perikata n ya ng Lahir dari
Perja njia n da n Unda ng -Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, H. 10-11.
47 Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perika ta n (terje mahan Djasadin Saragih),
kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa
harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda
sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta
kehilangan yang diharapkan.
d) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian.
Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang
yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak
korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus
mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban
pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.48
2) Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Selalu
Bertanggung Jawab (presu mption of liability)
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah.
Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan
istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban
48 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35723/5/ Chapter%20III -V.pdf,
pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.49
3) Tanggung Jawab Hukum Tidak Selalu Bertanggung
Jawab (presu mption of nonliabiity)
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contohnya dapat kita lihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi
kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh
penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta
pertanggungjawabannya.45 Sekalipun demikian, dalam Pasal
44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang
Angkatan Udara, ada penegasan,”prinsip praduga untuk tidak
selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara
mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan
pembatasan uang ganti rugi, artinya bagasi kabin/ tangan tetap
dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti
kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban
pembuktian ada pada si penumpang.50
4) Tanggung Jawab Mutlak (absolute liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability) kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminology diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain
itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan
perbedaan keduanya pada, ada atau tidak adanya hubungan
kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan
kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability dapat saja si tergugat
50
yang dimintai pertanggung jawaban itu bukan si pelaku
langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana
alam).51
Pertanggungjawaban hukum strict liability dikenal dan digunakan dalam hukum lingkungan dan hukum penerbangan.
Diterapkannya konsep pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 88 menyatakan “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan.”
Di dalam penjelasan pasal 88, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “bertanggungjawab mutlak” atau strict liability ada lah unsur kesalahan yang tidak per lu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.52
5) Tanggung Jawab Dengan Pe mbatasan (limitation of liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuatnya. Seperti dalam perjanjian cuci cetak
film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak
itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),
maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar
sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab
ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak
oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal
tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.53
b)Kepastian Hukum
53 https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab%202.pdf, d ikunjungi pada
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat
dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk
nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan
apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan
hukum tanpa diskriminasi.54
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut
sebagai salah satu tujuan dari hukum.55
Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu
sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal- formal.
Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan
sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis
54
Moh. Mahfud MD, Penegaka n Hukum Da nTa ta Kelola Pemerinta han Ya ng Baik,
Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan
oleh DPP Partai HANURA. Mahka mah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.
55 Jaka Mulyata, Kea dilan, Kepa stia n, Da n Akiba t Hukum Putusa n Ma hka mah
minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh
konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi,
sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan
inilah masyarakat menjadi tertib. O leh sebab itu, kepastian akan
mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.56
Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada
kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentua n baku dalam
menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav
Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari
hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan ses uai yang
bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian
hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam
pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak
dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam
kehidupan masyarakat.57
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan
sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut
sebagai salah satu tujuan dari hukum.58
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah
jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun
hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat
subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum
merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah
bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum
yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada
hukum positif. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya
pengaturan hukum dalam perundang- undangan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki
aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.59
Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka
kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,
tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan
dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna
atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak
boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian
hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung
kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan
kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang
ada.60
B.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN
PERIZINAN PEMASANGAN JARINGAN KABEL
FIBER OPTIK
Secara umum terdapat berbagai peraturan perundang- undangan yang
mengatur tentang ruang manfaat jalan untuk penempatan bangunan utilitas
serta perizinannya. Utilitas itu sendiri ialah fasilitas yang menyangkut
kepentingan umum meliputi listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak,
gas dan bahan bakar lainnya, sanitasi dan sejenisnya.61 Berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perizinan pemasangan bangunan utilitas dalam hal ini Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Pada Pasal 12 menyatakan bahwa :
1. Dalam rangka pembangunan, pengopera sian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai P emerintah
2. P emanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar
3. P embangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemer intah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Penjelasan Pada Pasal 12 ayat (3) diatas dikatakan bahwa
61 Pasal 1 ayat (13) Peraturan Menteri Pe kerjaan Umu m No mor: 20/ Prt/M/2010
“Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi yang secara langsung menguasai, memiliki, dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan.”
Pasal tersebut menunjukan jelas bahwa Penyelenggaran
telekomunikasi/operator seluler wajib memperoleh izin dalam
pembangunan jaringan telekomunikasi, dan salah satunya yaitu wajib
memperoleh izin dalam pemasangan jaringan kabel fiber optik.
2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Pada Pasal 1 ayat (4) dikatakan bahwa :
“Jalan adalah prasa rana transportasi da rat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecua li jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel;”
Menurut statusnya Jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan
nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.62
Terhadap pengelompokan ini menunjukan pihak yang berbeda dalam
penyelenggaraan jalan. Terhadap jalan nasional, Wewenang
penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah pusat.63 Terhadap jalan provinsi, wewenang penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah
provinsi.64 Terhadap jalan kota, wewenang penyelenggaraan berada pada
pemerintah kota, sedangkan pada jalan kabupaten dan desa, wewenang
penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah kabupaten.65 Terhadap
perizinan secara spesifik tidak dijelaskan dalam Undang-Undang a quo namun dilimpahkan kepada peraturan pemerintah, dalam hal ini
peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
3. Peraturan Peme rintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Terhadap Perizinan dalam Pemanfaataan rumaja pemasangan yang
dimanfaatkan untuk penempatan bangunan utilitas (jaringan kabel fiber
optik) wajib memperoleh izin.66 Izin pemanfaatan ruang manfaat jalan
dan ruang milik jalan ditetapkan oleh penyelenggara jalan sesuai
kewenangannya.67 Dalam hal pada jalan nasional pemberian izin dapat dilimpahkan kepada gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan wajib dilaporkan kepada menteri. Pemberian izin untuk
lintas wilayah kabupaten/kota dapat dikoordinasikan oleh gubernur. Dan
terhadap jalan provinsi dapat dikoordinasikan dengan oleh Menteri.68
64
Ibid Pasal 15. 65
Ibid Pasal 16
66
Pasal 52 ayat (1) PP No mor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Selanjutnya mengenai izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang
milik jalan diatur dalam peraturan Menteri, dalam hal ini Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedo man
Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.
Dalam Peraturan Menteri a quo menjelaskan bahwa izin adalah persetujuan dari penyelenggara jalan atau pemberi izin tentang
pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan dengan
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.69 Dalam pasal 4 ayat (1)
dikatakan bahwa pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan
wajib memperoleh izin dari penyelenggaran jalan sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal jalan nasional, Wewena ng Menteri selaku
penyelenggara jalan nasional dalam pemberian izin untuk pemanfaatan
ruang milik jalan nasional dapat dilimpahkan kepada pejabat yang
ditunjuk sesuai dengan penetapan Menteri setelah memperoleh
pertimbangan teknis dari Kepala Balai Besar/ Balai Pelaksanaan Jalan
Nasional. Pemberian izin untuk pemanfaatan ruang milik Jalan nasional
oleh pejabat yang ditunjuk dilakukan setelah memperoleh pertimbangan
69 Pasal 1 ayat (10) Pe raturan Menteri Pe kerjaan Umu m No mor: 20/ PRT/M/2010
teknis dari Kepala Balai Besar/ Balai Pelaksanaan Jalan Nasional.
Gubernur selaku penyelenggara jalan provinsi dalam pemberian izin,
untuk jalan provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk, sedangkan
Wewenang bupati/ walikota selaku penyelenggara jalan kabupaten/ kota
dalam pemberian izin, untuk jalan Kabupaten/ Kota dilaksanakan oleh
pejabat yang ditunjuk.70
Untuk Prosedur Izin dalam Peraturan Menteri a quo menyatakan antara lain sebagai berikut :
Permohonan Izin diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis oleh pemohon dalam hal
ini perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi, badan usaha, badan hukum, instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan
disampaikan kepada penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya
atau pemberi izin.71
Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud di atas mencakup : a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai dengan
Formulir A.1;
b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan
menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media informasi/
bangun bangunan/ bangunan gedung untuk keselamatan umum dan
menanggung segala resiko atas segala akibat yang mungkin
ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau prasarana
yang dibangun/dipasang pada bagian–bagian jalan yang dimohon
sesuai dengan Formulir A.2.72
Sedangkan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud di atas mencakup: a. lokasi;
b. rencana teknis; dan
c. jadwal waktu pelaksanaan.73
Setelah pemohon memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di
atas, pemberi izin melakukan evaluasi dan peninjauan lapangan untuk jalan nasional dilakukan bersama dengan Kepala Balai Besar/ Balai
Pelaksanaan Jalan Nasional.
Hasil evaluasi dan peninjauan lapangan tersebut diselesaikan
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang telah memenuhi persyaratan. Berdasarkan hasil
evaluasi dan peninjauan lapangan dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja pemberi izin menerbitkan persetujuan prinsip sesuai
72 Ibid Pasal 7 73
dengan Formulir A.3. Kemudian Berdasarkan persetujuan prinsip
dimaksud, pemohon wajib melengkapi persyaratan sebagai berikut:
a. rencana teknis rinci;
b. metode pelaksanaan;
c. izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha;
d. perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah; dan
e. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan bank
serta polis asuransi kerugian pihak ketiga.
f. Jaminan pelaksanaan, jaminan pemeliharaan dan polis asuransi
kerugian pihak ketiga diterima dan disimpan oleh pemberi izin.
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak dilengkapinya seluruh persyaratan di atas oleh pemohon, Kepala Balai
Besar/ Balai Pelaksanaan Jalan Nasional memberikan pertimbangan
teknis. Setelah itu pejabat yang ditunjuk menerbitkan izin untuk jalan
nasional sesuai dengan Formulir A.4. Penerbitan izin untuk jalan
nasional oleh pemberi izin dilakukan setelah persyaratan di atas
dipenuhi.
Selanjutnya terhadap Penerbitan izin untuk jalan provinsi dan jalan
kabupaten/kota oleh pemberi izin dilakukan dalam jangka waktu paling
teknis dalam rangka pemanfaatan barang milik negara/daerah (BMN/D)
sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.74
74 Pasal 9 Pe raturan Menteri Peke rjaan Umu m No mor: 20/PRT/M/2010 tentang