7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada penelitian ini, penulis menggunakan konsep diplomasi publik, soft power dan teori konstruktivisme. Konsep diplomasi publik dipakai oleh penulis karena, konsep ini dirasa
penulis mampu menjelaskan mengenai diplomasi Korea Selatan di Indonesia melalui KOICA
sektor pendidikan. Sedangkan teori konstruktivisme digunakan oleh penulis untuk
menjelasakan bagaimana, ide-ide dan norma-norma mempengaruhi soft power dan kepentingan-kepentingan dari Korea Selatan dan Indonesia.
2.1 Diplomasi Publik
Hans Tuch mendefinisikan diplomasi publik sebagai proses komunikasi pemerintah
dengan negara lain dalam upaya untuk memberikan pengertian mengenai ide dan idelisme
negara, serta memperkenalkan, institusi budaya sebagai tujuan dan politik nasionalnya.
Menurut Jay Wang diplomasi dianggap sebagai suatu usaha untuk mempertinggi mutu
komunikasi antar negara dengan masyarakat, dampaknya terjadi pada bidang ekonomi, sosial
dan politik. Selain itu, menurut Jan Mellisen (2006), diplomasi publik adalah alat yang
digunakan oleh suatu negara untuk mempengaruhi kehendak negara lain dengan cara yang
baik. Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diplomasi publik
merupakan alat yang digunakan oleh suatu negara untuk mempromosikan kepentingan negara
melalui pemahaman, dan informasi serta untuk mempengaruhi publik di luar negeri.
Berdasarkan sifatnya, diplomasi publik memiliki tiga sifat yang membedakannya dengan
diplomasi resmi (tradisonal) (Heninda, 2008) :
1. Diplomasi publik bersifat transparan dan berjangkauan luas, sebaliknya diplomasi
tradisional cenderung tertutup dan cenderung terbatas.
2. Diplomasi publik ditransmisikan dari pemerintah lain kepemerintah lainnya.
3. Tema dan isu yang diangkat oleh diplomasi publik lebih ke arah sikap dan perilaku
publik, sedangkan tema dan isu yang diusung oleh diplomasi tradisonal ada pada
perilaku dan kebijakan pemerintah.
Beberapa tujuan dari diplomasi publik yaitu (Heninda, 2008):
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai suatu negara dan merubah pendapat
mereka mengenai suatu negara tersebut.
2. Meningkatkan apresiasi masyarakat mengenai suatu negara, dalam hal ini
meningkatkan persepsi positif mereka, menyamakan opini mereka dengan negara
8
3. Meningkatkan hubungan dengan suatu negara, dalam hal ini dalam lingkup
pendidikan, mendorong masyarakat untuk datang kesuatu negara, baik untuk berlibur,
belajar serta mendorong mereka untuk mengkonsumsi barang-barang milik suatu
negara.
4. Mempengaruhi masyarat di suatu negara untuk melakukan investasi di negaranya,
ataupun memperlihatkan posisi kita atau suatu negara serta mengajak aktor politik
untuk menyesuaikan ide-ide kita dengan mereka atas dasar kerja sama.
Untuk memenuhi tujuan-tujuan di atas maka diperlukan strategi yang baik,
diplomasi publik menekankan pada pesan yang disampaikan oleh siapa saja. Untuk itu,
pemerintah harus dapat melakukan strategi komunikasi yang baik misalnya dengan membuka
komunikasi pada badan-badan non pemerintah dan membuka komunikasi kepada publik
mancanegara. diplomasi publik memiliki beberapa tingkatan komunikasi :
1. Perangkat diplomasi publik „menjual‟ apapun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
2. „Menjual‟ kebijakan pemerintah namun memiliki wewenang untuk mengkondisikan
model serta kebijakan luar negerinya.
3. Menempatkan sebagai instrumen kebijakan bukan pada metode komunikasi
kebijakan.
Kemudian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan strategi
komunikasi:
1. Dalam pembentukan dan penerapannya diplomasi publik harus disesuaikan dengan
keadaan tempat dan kasus-kasus tertentu.
2. Diplomasi budaya dapat dijadikan jembatan untuk mengisi gap antara budaya- budaya
radikal.
3. Diplomasi publik dapat dilakukan dalam komunikasi dua arah
4. Berusaha untuk menyewa jasa konsultasi untuk melakukan diplomasi publik
meskipun cara ini belum tentu berhasil.
2.1.1 Tahapan Diplomasi Publik
Simon membagi tahapan perkembangan diplomasi dalam tiga tahap:
1. Ketika para pelaku diplomasi publik secara sederhana menempati posisinya dalam
pemerintahan untuk menentukan beberapa kebijakan yang dapat diambil. Misalanya,
untuk mempromosikan kebudayaannya Korea Selatan mulai merancang
9
2. Ketika fungsi dari para aktor masih mendasar untuk „menjual‟ kebijakan negara,
namun lingkup para aktor ini semakin meningkat dan memiliki kewenangan lebih
untuk mengatur kondisi dan bentuk penyampaian isi dari kebijakan luar negeri ini.
Mempromosikan kebudayaannya menjadi salah satu kebijakan luar negeri Korea
Selatan, Korea melakukan misinya tersebut melalui Korean Wave.
3. Tahap terakhir adalah di mana diplomasi publik digunakan sebagai alat kebijakan luar
negeri dalam dua cara sekaligus, baik secara formal maupun informal. Atau kata lain
diplomasi digunakan sebagai instrumen kebijakan dari pada sebagai sebuah metode
komunikasi. Korean Wave menjadi alat diplomasi publik Korea yang tertuang dalam
beberapa dokumen penting seperti, white paper 2006, white paper 2008 dan Visi Global Korea.
Dalam pelaksanaan diplomasi publik melewati beberapa tahapan, dan
masing-masing tahapannya memiliki aktivitas yang berbeda.
a. Tahapan pertama adalah tahapan yang paling mendasar di mana negara mencoba
memberikan pengetahuan mengenai keberadaan negaranya kepada dunia
internasional. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memperkenalkan negaranya
kepada publik negara lain. Aktitivitas-aktivitas yang dilakukan dalam tahapan ini
adalah memperkenalkan sebuah negara kepada negara lain termasuk masyarakat di
dalamnya misalnya dengan melakukan perbaikan citra atau meningkatkan citra yang
sudah ada agar dikenal oleh masyarakat negara lain (Effendy, 2013).
b. Tahap kedua adalah tahapan di mana masyrakat negara lain telah mengenal dan telah
terbiasa dengan keberadaan negara tersebut, maka hal yang selanjutnya dilakukan
adalah meningkatkan apresiasi terhadap negara tersebut. Ketika masyarakat dari
negara lain telah mengenal masyarakat dari negara yang bersangkutan maka hal yang
harus dilakukan adalah berusaha agar masyarakat dari negara lain tersebut memiliki
pandangan yang positif kepada masyarakat dari negara yang bersangkutan. Aktivitas
yang dilakukan adalah menciptakan apresiasi yang positif seperti mencoba untuk
menggambarkan bahwa negara yang bersangkutan adalah negara yang pantas
diperhitungkan dalam dunia internasional. Misalnya negara yang memiliki kelebihan
dalam isu-isu tertentu dari segi kapasitas kapabilitas dan peran yang dimainkan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara menunjukkan dirinya sebagai „teman‟ di mana memiliki kesamaan pandangan terhadap isu tertentu (Effendy,2013). Setelah
masyarakat negara lain telah memiliki pandangan yang positif pada negara yang
10
ketertarikan masyarakat negara lain dengan negara yang bersangkutan. Aktivitas yang
dilakukan misalnya dengan mengundang masyarakat negara lain untuk datang
berkunjung. Baik untuk belajar, pariwisata, membeli produk bahkan memahami nilai
dan budaya negara tersebut (Effendy, 2013).
c. Tahap ketiga yaitu ketika tahap-tahap di atas telah terlaksana. Tahap akhirnya adalah
dengan mempengaruhi. Tahap ini dilakukan dengan banyak cara, misalnya
meningkatkan kerja sama dalam bidang pendidikan seperti, pertukaran pelajar,
penelitian bersama maupun memberikan bantuan dana pendidikan seperti pemberian
beasiswa (Effendy,2013).
2.1.2 Pendidikan sebagai Diplomasi Publik
Humphrey Taylor membedakan diplomasi publik dengan diplomasi tradisional
melalui power. Diplomasi tradisional sering menggunakan hard power, seperti menggunakan
kekuatan militer dan ekonomi. Cara seperti ini kadang berhasil namun kadang juga tidak
menemui keberhasilan, cara seperti ini cenderung dapat menimbulkan ketakutan, kebencian
maupun ketidakpercayaan dari negara lain. Sedangkan diplomasi publik sering menggunakan
soft power seperti dengan menggunakan kebudayaan, pendidikan, kapabilitas militer dalam artian secara kualitas seperti bantuan teknis dan pendidikan militer maupun ekonomi.
Wawasan mengenai soft power telah mengubah pemikiran banyak negara seperti Amerika, Jepang bahkan Korea Selatan. Mereka tidak lagi berdiplomasi menggunakan cara
kekerasan seperti ancaman militer. Namun, mereka lebih tertarik berdiplomasi menggunakan
cara yang lebih halus, baik melakukannya melalui pameran-pameran kebudayaan, pemberian
beasiswa bahkan penyebaran budaya pop.
Saat ini pendidikan juga merupakan salah satu alat diplomasi publik yang lumayan
menjanjikan bagi dunia internasional. Salah satunya mengenai pertukaran pelajar, Carol
Atkinson pernah melakukan penelitian yang hasilnya dimuat pada Foreign Policy Analysis pada tahun 2010. Atkinson mengatakan bahwa terjadi dampak yang positif dari program
pertukaran pelajar terhadap penegakan HAM pada masing-masing negara asal pelajar.
Pemerintah negara asal menjadi lebih menghormati kepada hak gerakan masyarakat, ucapan,
agama, partisipasi politik dan hak-hak pekerja (Atkinson, 2010, dikutip oleh Mangwola,
2010).
Dari penelitian di atas terbukti bahwa pendidikan dapat mempengaruhi tingkat
ketertarikan masyarakat terhadapat suatu negara. Penanamaan pengaruh negara melalui
11
Monbukugasho, Uni Eropa melalui Erasmus Mundus hingga Amerika dengan Aminef.
Beberapa program beasiswa di atas biasanya mewajibkan pelajarnya untuk mampu
menguasai bahasa daerah mereka, seperti Monbukugasho memiliki sistem seleksi yang cukup
ketat dimana pelajarnya wajib mempelajari bahasa Jepang secara mendalam. Kemudian
Amerika juga memggunakan program beasiswa dan pertukaran pelajarnya untuk
menyebarkan ideologi demokrasi dan HAM yang mereka anut. Hal-hal ini membuktikan
bahwa pendidikan menjadi alat yang baik dalam diplomasi publik suatu negara.
2.2 Soft Power
Joseph S. Nye (2004), mendeskripsikan konsep power sebagai kemampuan mempengaruhi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, bahkan bilaperlu mengubah
perilaku orang lain demi terwujudnya hasil yang diinginkan tersebut. Dalam power politic terdapat dua konsep power yaitu hard power dan soft power. Menurut Copeland hard power
adalah tentang bagaimana meyakinkan musuh anda untuk membunuh, menangkap atau
mengalahkan musuh. Teknik yang digunakan seperti penggunaan sanksi terhadap ekonomi
dan penggunaan senjata. Etos dari hard power seperti menimbulkan rasa takut, penderitaan dan rasa saling curiga. Sedangkan soft power menurut Nye adalah kemampuan dalam hal mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Soft power terletak pada kemampuan suatu pihak beragam. Dalam membuat keputusan kita harus membuat peraturan
yang ramah dan menarik sehingga masyarakat mau membantu untuk mencapai tujuan
bersama.
Hard power dan soft power saling terkait karena keduanya merupakan cara untuk mencapai kepentingan suatu negara. Namun perbedaannya terletak pada sifat dari perilaku
dan terlihat tidaknya sumber power. Command power (power yang didapat dengan memerintah) dihasilkan oleh koersi dan induksi, sedangkan co-optive power (power yang didapat dengan bekerjasama) dihasilkan oleh daya tarik terhadap budaya dan nilai suatu
bangsa atau kemampuan untuk memanipulasi agenda politik dengan cara membuat pihak lain
gagal mengutarakan prefensinya karena mereka terlihat tidak realistis. Rentang tipe perilaku
kedua jenis power terbentang dari koersi, hingga induksi ekonomi hingga pengaturan agenda,
12
Nye (2004) menggambarkan spektrum perilaku dan sumber penghasilan power tersebut sebagai berikut:
Table 2.1
Perilaku dan Sumber Penghasilan Power (Sumber: Nye, 2004)
Kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ini cendrung dikaitkan dengan
aset-aset tak terlihat seperti, kepribadian yang menarik, budaya, nilai dan institusi politik dan
kebijakan yang terlihat didasarkan pada hukum yang benar dan memiliki otoritas moral. Soft
power tidak hanya mengenai kemampuan berargumen agar orang lain setuju dengan pendapat kita namun soft power juga menangani kemampuan untuk menarik atau membuat orang tertarik karena ketertarikan dapat mempengaruhi orang lain. Soft power bekerja dengan cara menghasilkan daya tarik dalam nilai yang dianut bersama dan keadilan, serta kewajiban
untuk berkontribusi dalam mewujudkan nilai-nilai tersebut.
Dalam politik internasional sumber soft power berasal dari nilai-nilai yang dianut kemudian diperlihatkan oleh organisasi maupun negara dalam budayanya, dalam praktek dan
kebijakan, dan dalam hubungan dengan negara lain.
Soft power memiliki batasan-batasan sebagai berikut: 1. Adanya imunitas yang dapat mengurangi efek soft power
2. Ketergantungan soft power terhadap konteks yang lebih besar dari pada hard power
3. Daya tarik memiliki efek yang lebih besar sehingga sulit untuk melakukan
pengukuran dengan pasti
4. Soft power akan menjadi sesuatu yang kurang penting jika power hanya dikonsentrasikan pada suatu negara
5. Soft power lebih sering memberikan efek pada tujuan umum suatu negara, meski sering juga berdampak pada tujuan khususnya
13
7. Pengukuran tidak dapat dilakukan dengan sempurna
2.3 Teori Kontruktivisme
Konstruktivisme hadir sebagai reaksi terhadap realisme terutama kritiknya terhadap
neorealis. Teori neorealis berfokus pada bagaimana distribusi kekuatan material, seperti
kekuatan militer dan kemampuan ekonomi, mendefinisikan keseimbangan kekuatan antar
negara dan menerangkan perilaku antar negara. konstruktivis menolak fokus materi satu sisi
tersebut. Konstruktivisme berfokus pada kesadaran manusia dan tempatnya di dunia
(Jackson, 2007:162). Menurut konstriktivis aspek hubungan internasional yang paling
penting adalah sosial bukan material. Mereka berpendapat bahawa dunia sosial, politik
termasuk hubungan internasional bukanlah identitas fisik atau objek material yang berada
diluar kesadaran manusia. Akibatnya, studi Hubungan Internasional harus berfokus pada ide
dan keyakinan yang menginformasikan dikancah internasional serta saling memahami antar
mereka.
Konstruktivis melihat dunia sebagai sebuah proyek yang sedang dikerjakan, seperi
menjadi apa bukan apa adanya. Konstruktivisme juga percaya bahwa sistem internasional
bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya melainkan sistem internasional hanya ada
sebagai kesadaran intersubjektif atau pemahaman umum diantara orang-orang; dalam makna
itu sistem internasional disusun dalam ide-ide, bukan oleh kekuatan material. Sistem
internasional merupakan rangkaian ide, kerangka pemikiran, sistem norma yang telah disusun
oleh orang-orang tertentu di waktu dan tempat tertentu. Jika pemikiran dan ide yang masuk
ke dalam kebenaran hubungan internasional berubah, maka sistem itu sendiri juga akan
berubah, karena sistem terdiri dari pemikiran dan ide.
Karena sistem internasional itu bersifat relatif dan hasil bentukan bersama, maka
bisa diubah bila manusia mulai memikirkan cara baru dan mendukung norma-norma baru
yang secara radikal berbeda dengan yang lama. Terkonstruksi berarti bahwa dunia muncul
terkonstruksi melalui proses interaksi antar agen-agen (individu, negara, dan NGO) dengan
struktur lingkungan yang lebih luas. Ada proses saling mempengaruhi antar agen-agen dan
struktur melalui proses deliberasi (musyawarah), argumentasi dan konsep-konsep lain
(Checkel,2008). Konstruktivisme dibagi ke dalam tiga aspek umum, yaitu:
1.Intersubjective Understanding
Para konstruktivis memfokuskan pada dimensi intersubjektif dari pengetahuan
karena mereka ingin menjelaskan aspek sosial dari keberadaan manusia, peranan ide-ide
14
mengasumsikan adanya struktur soasial. Dalam konteks ini konstruktivis juga bersifat
empiris, namun yang diamati bukan dunia atau struktur material, tetapi struktur ide para
subyek yang mendefinisikan hubungan internasional.
2. Hubungan Struktur ide dan Perilaku aktor
Struktur internasional bagi kalangan kontruktivis memiliki pengaruh yang
membentuk dan mengatur, bukan pengaruh langsung yang bersifat kausalitas terhadap
aktor-aktor. Struktur ini juga mengarahkan aktor untuk mendefinisikan kembali kepentingan dan
identitas mereka dalam proses (sewaktu proses) interaksi (dan para aktor menjadi
tersosialisasi oleh proses). Struktur idealis ini membentuk para aktor mendefinisikan
dirinya-siapa mereka, tujuan mereka, dan peran yang mereka yakini harus mereka lakukan
(Copeland, 2006a:3-4).
Menurut Nina Tannenwald, terdapat empat struktur atau sistem ide dalam kaitannya
dengan perilaku aktor-aktor:
- Sistem-sistem ideologis atau sistem kepercayaan yang dimiliki bersama
- Kepercayaan-kepercayaan normatif
- Kepercayaan sebab akibat
- Preskripsi-preskripsi kebijakan
3.Hubungan Agen dan Struktur
Struktur ideasional dan aktor-aktor atau agen-agen saling membentuk dan
menentukan satu sama lain. Struktur membentuk kepentingan dan identitas aktor tetapi
struktur juga diproduksi, direproduksi dan diubah melalui praktik terus menerus dari para
agen. Sehingga, berbeda dengan neo-realis yang melihat bahwa aktor tak dapat melakukan
sesuatu dalam struktur kecuali merespon, kontruktivis mengatakan bahwa struktur eksis
melalui interaksi timbal balik para aktor. Oleh karena itu, agen melalui tindakan sosial dapat
merubah struktur. Mereka karenanya dapat beremansipasi untuk menggantikan praktik
konfliktual yang dilakukan negara-negara kepada praktik-praktik yang lebih bersahabat.
Macam-macam Aliran Konstruktivisme.
a. Konstruktivis Modern/Konvensional.
untuk lebih detailnya kita bisa membaca beberapa tulisan Wendt, ia banyak
menjelaskan mengenai bagaimana negara berprilaku dalam hubunganya dengan negara lain
dan dalam hubungan internasional. Tulisannya berfokus pada interaksi antar negara dalam
sistem internasional dan mengabaikan faktor-faktor domestik. Menurut Wendt keadaan
politik internasional dibuat melalui proses bukan sudah ditakdirkan seperti adanya pada suatu
15
aktor. Negara berinteraksi dengan negara lain, kemudian mereka melihat perilaku negara
dengan melihat gelagat yang ditunjukkan oleh negara lain. Negara-negara saling memberikan
sinyal apakah mereka memutuskan untuk berteman atau bermusuhan. Tindakan sosial terdiri
atas pengiriman sinyal, menginterpretasikannya dan merespon dengan menggunakan
interpretasi yang tepat (Wednt, 1992).
Dalam struktur internasional menurut Wendt, anarki tidak ada dengan sendirinya
tetapi tergantung pada interaksi antar negara. Mengenai struktur internasional yang sudah
terbentuk selama ini, titik tolak pemikiran Wendt adalah sama dengan Kenneth Waltz
interaksi negara adalah dalam sebuah sistem yang ditandai dengan anarki. Tetapi baginya,
anarki tidak mesti membawa pada keadaan Self-Help di mana negara-negara harus menolong
diri sendiri untuk selamat, manusia harus mempelajari interaksi secara terus-menerus antar
negara dalam rangka menemukan makna sebenarnya dari apa yang disebut sebagai budaya
anarki yang telah berkembang antar negara. Wendt menganggap bahwa sebagai sebuah
negara dalam sistem anarki, mereka memiliki kemampuan militer dan kapabilitas lain yang
mungkin dilihat sebagai ancaman potensial bagi negara-negara lain. Namun, perlombaan
senjata dan permusuhan bukanlah suatu yang dapat dielakkan. Interaksi antar negara bisa
membawa kearah hubungan berdasarkan budaya anarki yang lebih baik dan bersahabat.
Konstruktivis lain yang mengamati secara sistemik seperti Wendt adalah Martha
Finnemore dalam bukunya National Interest in Internationa Society, 1996. Ia berfokus pada
norma-norma dalam masyarakat internasional dan bagaimana norma-norma ini
mempengaruhi indentitas-identitas dan kepentingan-kepentingan. Perilaku negara
didefinisikan oleh perilaku dan kepentingan. Kemudian norma-norma kenegaraan disebar ke
negara-negara melalui organisasi-organisasi internasional. Norma-norma ini membentuk kebijakan nasional dengan „mengajari‟ negara-negara apa yang seharusnya menjadi kepentingan mereka. (Hara, 2011).
Konstruktivis sistemik seperti ini menentukan pentingnya lingkungan internasional
dalam membentuk identitas negara. Namun sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh
lingkungan internasional saja tetapi adalah juga konstruktivis yang menekankan pentingnya
lingkungan domestik. Salah satu cara untuk melihat pengaruh domestik adalah dengan
mengamati bagaimana norma-norma internasional memiliki pengaruh yang tidak sama
diberbagai negara dan kemudian mengasumsikan bahwa faktor-faktor domestik menentukan
pengaruh yang berbeda di setiap negara.
16
konstruktivis bahwa budaya, norma dan identitas berpengaruh kepada keamanan nasional.
Norma-norma domestik misalnya berpengaruh sangat kuat di beberapa negara seperti China.
Dalam tulisan Johnston, ia mengamati tentang perilaku Mois di China ia melihat seberapa
jauh ide mempengaruhi perilaku realpolitik. Argumennya adalah bahwa para pembuat
keputusan di China telah „menginternalisasi budaya strategis ini‟ dan bahwa „budaya itu telah
menguat dalam sistem antar negara secara berbeda, sesuai tipe-tipe rezim, tingkat
perkembangan teknologi dan tipe-tipe ancaman‟ (Johnston, 1996).
Selain itu, dalam buku Peter Katzeinstein yang menulis tentang Jepang ia
mengembangkan argumen konstruktivis tentang peranan norma-norma domestik terhadap
keamanan nasional. Menurutnya, teori sistem tidak cukup karena tidak secara memadai
memperhitungkan bagaimana proses di dalam negara mempengaruhi perilaku
negara-negara di dalam sistem internasional.
b. Konstruktivisme Modern Linguistik: Krachtochwill dan Onuf Sebagai Perantara.
Konstriktivisme ini mencoba mengeksplorasi peranan bahasa dalam mengantarai
dan membentuk realitas sosial. Dalam konstruktivis konvensional, difokuskan pada
bagaimana ide merubah identitas negara. Pada konstruktivis interpretatif akan mengekplorasi
kondisi-kondisi yang melatarbelakangi dan konstruksi bahasa yang membuat perubahan
demikian pada tempat pertama. Berarti kontruktivis interpretatif tidak menjelaskan mengenai
bagaimana suatu ide mempengaruhi tindakan negara tetapi melihat isi dari identitas negara
dalam suatu kasus khusus. (Hara, 2011).
Krachtochwill mencoba mengangkat masalah aturan-aturan dan norma-norma dalam
perilaku negara. Untuk memahami pengaruh norma, ia mengatakan bahwa harus dipahami
secara benar apa norma yang dimaksud. Aturan dan norma bisa dilihat dari bahasa sehari-hari
dan norma-norma yang membimbing perilaku manusia. Sistem-sistem politik dibuat dan
diubah melalui praktik-praktik aktor-aktor yang dilandasi norma-norma dan aturan-aturan.
Interaksi politik menurut Krachtochwill, terjadi atas landasan pemahaman-pemahaman
bersama tentang prinsip-prinsip walaupun permahaman tersebut belum sepenuhnya
disepakati dan terus diperdebatkan. Aktor-aktor politik domestik terlibat dalam proses
argumentasi perdebatan pembentukan norma yang disebut Krachtochwill sebagai proses
reasoning.
Proses reasoning tidak membawa pada satu solusi pemecahan terbaik walaupun ada
beberapa argumen yang dilihat lebih persuasi daripada yang lain. Oleh sebab itu, keputusan
yang otoritas tidaklah perlu. Hal ini tidak mengurangi pengaruh norma dan konteks
17
berbeda dari keputusan yang arbitrer. Krachtochwill berpendapat bahwa peran rules dan norma dalam kehidupan sosial harus secara radikal dikonseptualkan kembali.
Tokoh lain yang dibicarakan di sini adalah Nicholas Onuf menurutnya, makna dalam
hubungan sosial bergantung pada keberadaan rules. Rules itu sendiri adalah sebuah pernyataan yang mengatakan kepada orang apa yang harus ia lakukan. Rules menyediakan bimbingan bagi perilaku manusia dan memungkinkan makna bersama. Rules juga memungkinkan lahirnya agensi. Manusia sama juga seperti negara menjadi agen-agen
melalui rules. Pada saat yang sama, rules juga memberikan kita pilihan apakah kita mau menentangnya atau mengikutinya. (Hara, 2011).
Konseptual Onuf terhadap rules bergantung kepada Speech act, tindakan bicara yang
dapat membuat orang lain bertindak. Speech act mengikuti pola ‘I (you,ect) hereby assert (demand,promise) to anyone hering me that some state of affairs exists of can be achieved’ (Onuf, 1989). Onuf mengklasifikasikan speech act ke dalam tiga kategori yaitu, assertive,directive dan commissive bergantung pada bagaimana pembicara menginginkan pengaruh pembicaraannya pada dunia. Jika speech act sering kali diulangi dengan akibat yang besar ia akan menjadi konvensi. Ketiga agen-agen menerima bahwa mereka harus
melakukan sesuatu yang telah mereka lakukan berulang-ulang, konvensi menjadi rules (aturan). Akhirnya para agen mengakui bahwa mereka harus mengikuti aturan karena itu
adalah aturan.
Dunia sosial dan politik dibuat melalui kepercayaan bersama lebih daripada identitas
fisik. Jawaban terhadap siapa musuh siapa kawan dimulai dari dalam negeri. Menemukan
secara tepat bagaimana suatu identitas mempengaruhi pembentukan kepentingan dalam
hubungan dengan negara lain menuntut kajian terhadap konteks sosial di mana kumpulan
identitas negara berada secara mendalam dan luas. Hal ini bermakna mengkaji tidak saja
bagaimana identitas negara diproduksikan dalam interaksi dengan negara-negara lain, tetapi
juga bagaimana identitas itu diproduksi dalam interaksi dengan masyarakatnya sendiri dan
dengan banyak identitas dan wacana yang membentuk masyarakat (Hopf,2002).
2.4 Korea International Cooperation Agency (KOICA)
KOICA merupakan lembaga milik Pemerintah Korea Selatan yang bernaung di
bawah Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Republik Korea. Badan ini mengelola
bantuan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang didirikan pada 1 April
1991. Bantuan tersebut, berupa bantuan dana maupun program-program kerjasama teknis
18
dari perubahan negara Korea Selatan dari negara penerima bantuan akibat perang dengan
Korea Utara yang akhirnya berubah menjadi negara pemberi bantuan akibat dari bangkitnya
perekonomian negara tersebut.
Misi KOICA berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan pembangunan
sumber daya manusia yang kemudian dibagi menjadi beberapa sektor seperti pendidikan,
kesehatan, agraria/kehutanan/perikanan, administrasi publik dan industri energi. Agar misi
yang dimiliki dapat terwujud, KOICA berupaya untuk selalu meningkatkan efektifitas
bantuan asing yaitu menyusun Country Assistance Strategies (CAS) dan The Mid-Term Assistance Strategies melalui konsultasi dengan mitra serta mengenalkan beberapa instrumen untuk sistem manajemen berbasis kinerja (“Kajian Persiapan Pembentukan Institusi Kerjasama Selatan-Selatan”, 2012). KOICA juga menyediakan Official Development Assistance (ODA) sebesar 400-500 juta pertahun kepada negara-negara berkembang di Asia, Asia Tengah, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika.
2.4.1 Perubahan negara penerima bantuan menjadi negara pemberi bantuan
Korea yang merupakan wilayah jajahan Jepang selama 35 tahun mendapatkan
kebebasanya. Tiga tahun setelahnya, PBB mengakui Korea sebagai satu-satunya negara sah
di Semenanjung Korea dengan nama resmi Republik of Korea (ROK). Bagian utara
Semenanjung Korea memiliki ideologi yang berbeda dengan Rok dan telah menjadi negara
komunis. Perbedaan ideologi pada satu daratan yang sama ini akhirnya menimbulkan perang
pada tahun 1950. Perang tersebut dimulai oleh serangan Korea Utara yang dipersenjatai Uni Soviet ke Korea Selatan (“Fakta Tentang Korea,”2015, p. 218-219). Perang tersebut menghancurkan dua pertiga dari kapasitas produksi nasional Korea Selatan dan berdampak
pada meningkatnya jumlah pengangguran. Keadaan saat itu menjadikan Korea Selatan sangat
bergantung dengan bantuan yang diberikan oleh USA sejak 1945 hingga 1952. Bantuan yang
diberikan berupa makanan, pakaian, obat-obatan serta bahan untuk memperbaiki infrastruktur
negara. Korea Selatan masih menerima bantuan USA ditambah dengan bantuan dari UN
selama masa pembangunan kembali yaitu tahun 1953-1962, kemudian bantuan yang
diberikan berkurang menjadi 70% pada tahun 1963-1979 yang merupakan masa kebangkitan
dari perekonomian Korea Selatan dengan mengandalkan produk industri ringan dan bahan
mentah (KOICA, 2015).
Pada tahun 1980 pemerintah Korea mulai merancang program untuk membantu
pembangunan internasional. Banyak yang percaya bahwa pengalaman Korea sebelumnya
19
negaranya. Pada tahun 1982 mulai berdiri, International Development Program (IDEP). Badan ini kemudian pejabat pemerintah dan pembuat kebijakan untuk berpartisipasi dalam kursus pelatihan terdiri dari ceramah, seminar, lokakarya dan kunjungan lapangan (“Kajian Persiapan Pembentukan Institusi Kerjasama Selatan-Selatan”, 2012,)
Program-progarm kerjasama teknis pemerintah, tumbuh dan menjadi populer
dikalangan negara-negara berkembang. Permintaan dari negara-negara berkembangpun
semakin meningkat, Pemerintah Korea berusaha untuk membuat saluran yang lebih konsisten
dan sistematik untuk kerja sama pembangunan. Pada tahun 1987, pemerintah Korea Selatan
mendirikan Dana Pembangunan Ekonomi ( ECDF) melalui pinjaman lunak untuk
proyek-proyek pengembangan yang diserahkan kepada pemerintah negara berkembang. Pada tahun
1989 Korea Selatan mengirimkan tenaga sukarelanya untuk UNESCO dan akhirnya pada
tahun 1991, Korea Selatan mendapatkan pengakuan dari United Nation Develpment Programme (UNDP) yaitu sebagai negara pemberi donor setelah sebelumnya merupakan negara penerima Donor. Kemudia di tahun yang sama Korea Selatan mendirikan KOICA
(Sejarah KOICA, 2015).
2.4.2 Visi dan misi KOICA
Visi mereka adalah untuk membangun dunia internasional melalui harmoni global
dan memfasilitasi pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan dari negara-negara mitra.
Tujuannya adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkan kualitas hidup di
negara-negara berkembang. Sedangkan misi mereka adalah menjadi wadah kerjasama pembangunan
untuk memulai era baru yang bahagia. Visi, misi tersebut tersebut diharapkan dapat terwujud
melalui core value yang mereka miliki yaitu, pengetahuan, keterbukaan, inovasi, kolaborasi dan tanggung jawab dengan direction sebagai berikut (KOICA, Visi&misi):
Results-base development cooperation
Fokusnya adalah sustainable development dengan mainstreaming development agenda, penguatan sistem kinerja proyek dan membangun sistem kinerja yang
terintegrasi.
Participatory development cooperation melalui memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memperkuat hubungan dengan mitra kerjasama yang sesuai dan memperkuat
20
Inovative development cooperation melalui pemeliharaan ekosistem kerja sama pembangunan yang kompeten, menerapkan pendekatan pembangunan yang inovatif
dan memperkuat pengetahuan manajemen dasar.
Smart management melalui menciptakan tempat kerja yang baik, memperkuat integrity-ethics management dan menambah sistem manajemen organisasi.
2.4.3 Strategi jangka panjang dan jangka pendek KOICA
Untuk mendukung visi dan misi KOICA diatas makan KOICA memiliki Mid and Long-Term Tretegi. Dimana, Mid and Long-Term Strategy ini dilakukan pada dua lingkup yaitu pada lingkup Internasional dan Lingkup Domestik. Yang kemudian akan penulis
jelaskan melalui poin-poin di bawah ini:
Pada Lingkup Internasional KOICA mencoba untuk melakukan:
1. Kerja sama global yang baru untuk menciptakan perdamaian, keamanan,
solusi, dan pembangunan berkelanjutan.
2. Perpanjangan pembiayaan kreatif untuk membangun kerja sama yang aktif.
3. Menggunakan teknologi baru untuk meningkatkan pembangunan yang efektif. Pada lingkup domestik KOICA mencoba untuk melakukan:
1. Mempertahankan kontribusi nation keynote untuk pembangunan dan perdamaian dunia.
2. Segmentasi yang lebih dalam dari aktor ODA dan mengupayakan kerja sama
yang lebih banyak serta berkomunikasi dengan departemen pembangunan.
3. Memperkuat strategi „Win-Win ODA‟ yang dapat membantu kerja sama
pembangunan industri dan ekspansi luar negeri pada kerja sama domestik dan
21
2.4.4 Konsep platform pengembangan strategi jangka panjang dan jangka pendek KOICA
Terdapat tiga platform pengembangan strategi jangka panjang dan jangka pendek
KOICA yaitu, Knowledge Sharing, Resource Sharing dan Project Engagement. Pada Knowledge Sharing digabungkan untuk menghasilkan platform kerja sama pengembangan
KOICA.
Gambar 1
22
2.4.5 Efek yang diharapkan dari strategi jangka panjang dan jangka pendek KOICA Dimasa lalu KOICA memainka peran pemimpin di dalam selalu memuaskan
kebutuhan mitranya. Dimasa sekarang setiap aktor pembangunan berkomunikasi dengan
jaringan-jaringan dan memuaskan kebutuhannya sebagai pemasok dan demander untuk inovasi diri.
(
Gambar 2
Efek yang Diharapkan dari Strategi Jangka Panjang dan Jangka Pendek KOICA
(Sumber: Policies & Strategies, KOICA, 2015)
2.4.6 Asia sebagai wilayah penerima bantuan KOICA
Kedekatan geografi dan budaya menjadi salah satu alasan Asia dan wilayah Pasifik
mendapat prioritas bantuan KOICA. Bantuan KOICA berupa melaksanakan dan menawarkan
program-program bantuan yang mencerminkan tingkat pendapatan mitra serta tuntutan
spesifik di Asia Tenggara, Asia Barat Daya, Asia Timur Laut dan Pasifik. Pemberian bantuan
internasional kemanusiaan ke daerah konflik di Asia seperti Afganistan. Selain itu, negara
dalam ASEAN juga mendapat dukungan pembangunan nasional juga dilakukan oleh lembaga
ini (KOICA, 2016).
Dalam rangka membangun negara-negara berkembang di Asia –Pasifik, KOICA
memberikan bantuan untuk empat tujuan khusus yaitu pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yang seimbang, penguatan kemampuan administrasi dan transparansi
environmentally-23
friendly yang berkelanjutan. Mengingat kedekatan geografi antara Korea Selatan dan wilayah Asia-Pasifik maka KOICA mencoba untuk semakin menggerakan hubungan persahabatan
antara negara-negara di kawasan Asia-Pasifik KOICA memperkuat bantuannya pada bidang
pendidikan, kesehatan dan medis, serta pengembangan pedesaan dimana semuanya adalah
masalah-masalah yang umum dihadapi oleh masyarakat di negara-negara berkembang
Asia-Pasifik (KOICA annual Report, 2013).
Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan merevilitalisasi perekonomian di kawasan
Asia-Pasifik KOICA telah memfokuskan dukungan bantuan pada bidang pendidikan,
industri dan energi, dan kesehatan. Berdasarkan Creative Problem Solving (CPS), yang memperhitungkan statistik wilayah, KOICA telah mengupayakan bantuanya dalam
pengorasian program-program KOICA di negara-negara tersebut. Melalui langkah seperti itu
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pembangunan di wilayah Asia-Pasifik, sekaligus
memperkuat kerja sama teknologi antara KOICA dengan negara-negara di Asia-Pasifik
melalui perluasan mendalam (KOICA anual report, 2013).
2.5 Penelitian Terdahulu
Korean Wave merupakan salah satu alat diplomasi publik Korea Selatan yang telah berhasil mempengaruhi pandangan dunia internasional. Keberhasilan diplomasi publik Korea
Selatan ini telah tertulis dalam skripsi Adina Dwirezanti yang berjudul Budaya Populer Sebagai Alat Diplomasi Publik: Analisis Peran Korean Wave dalam Diplomasi Publik Korea Periode 2005-2010, yang ia tulis pada tahun 2010. Ia mengatakan bahwa budaya populer menjadi salah satu tren baru yang mulai dikembangkan oleh negara-negara khususnya
negara-negara di Asia dengan memadukan konsep Barat dan Timur dalam satu kesatuan.
Dengan tetap memegang pada konsep modern budaya populer tidak sepenuhnya melepaskan
budaya masing-masing. Kepopuleran budaya ini sangat signifikan sehingga mendorong
pemerintah suatu negara untuk mengembangkan industri budaya populernya dan menjadikan
bagian dalam aktivitas diplomasi dalam rangka memperkenalkan negaranya kepada
masyarakat luas (Adina, 2010).
Salah satu aktivitas diplomasi dengan menggunakan budaya populer adalah
keberadaan Korean Wave dalam aktivitas diplomasi Korea Selatan yang berhasil tersebar dan
dikenal oleh masyarakat asing, terutama masyarakat-masyarakat negara Asia. Keberhasilan
24
Menurut Adina, Korean Wave Korea Selatan ini dinyatakan berhasil dijalankan
dalam mencapai dua tujuan utama Korea Selatan yaitu mendorong kerjasama dengan negara
lain dan juga memperkuat daya saing nasional melalui peningkatan citra nasional negara
Korea Selatan. hal ini disimpulkan oleh Adina selama masa penelitiannya dimana, ia
menemkan empat hal pertama, fenomena Korean Wave berhasil menarik minat masyarakat asing untuk mengunjungi Korea selatan, di mana terjadi peningkatan kedatangan warga asing
ke Korea Selatan sebesar kurang lebih 10%. Kedua, Adina menilai bahwa diplomasi publik
ini berhasil meningkatkan citra positif Korea dimata Internasional. Ketiga, aktivitas diplomasi
ini berhasil mendorong kemajuan bidang lain dari Korea Selatan seperti olahraga dan budaya
tradisional Korea Selatan, yang keempat aktivitas diplomasi publik melalui Korean Wave berhasil mendorong adanya kerjasama antara korea dengan negara-negara lainnya.
Tulisan selanjutnya adalah yang ditulis oleh Pohan, 2014 ia menulis jurnal yang berjudul „Diplomasi Kebudayaan Pemerintah Korea Selatan dalam Penyebaran Hallyu di Indonesia Tahun 2010-2012‟. Dalam tulisannya ia menganalisis diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh Korea Selatan di Indonesia menggunakan dua konsep pemikiran yang pertama
adalah Soft Power dan yang kedua adalah konsep diplomasi kebudayaan (Pohan, 2014).
Pada konsep Soft Power Korea Selatan merupakan salah satu negara yang mulai membangun soft power nya, salah satu elemen dari soft power adalah kebudayaan. Korea Selatan tidak hanya mengembangkan potensi kebudayaan tradisionalnya namun juga turut
mengembangkan potensi budaya modernnya yang dikemas ke dalam musik dan drama korea
dan akhirnya berkembang keseluruh dunia. Diplomasi budaya yang dilakukan Korea Selatan
melalui penyebaran Hallyu akan menginspirasi negara lain untuk melakukan soft power dan menyebarkan misi perdamaian.
Dalam konsep diplomasi budaya Korea Selatan merupakan salah satu yang mampu
mengembangkan diplomasi budaya. Melalui penyebaran Hallyu di Indonesia Korea Selatan
berhasil menarik banyak wisatawanya. Masyarakat Indonesia mulai menggemari lagu dan
musik Korea Selatan. Sehingga, untuk mensiasati hal tersebut pemerintah Korea Selatan
Bekerja sama dengan perusahaan swasta Korea Selatan untuk menjadikan bintang-bintang
Korea Selatan sebagai Ikon produk-produk asal Korea sehingga masyarakat Indonesia tertarik
untuk membeli produk negara tersebut. Dari hasil penelitiannya didapati melalui diplomasi
budaya Korea Selatan berhasil menarik wisatawan asal Indonesia. Diplomasi budaya menjadi
instrumen penting dalam pengambilan kebijakan di Korea Selatan. Ketika suatu negara
mampu untuk melaksanakan diplomasi yang baik maka negara tersebut akan disegani oleh
25
Dari kedua karya ilmu di atas, keduanya sama-sama menjelaskan mengenai Korean
Wave menjadi salah satu alat diplomasi Korea Selatan baik itu dalam ranah diplomasi publik maupun diplomasi budaya. Kedua karya tulis ini menjelaskan mengenai keberhasilan korea
utara dalam menggunakan soft powernya melalui Korean Wave guna menarik perhatian negara lain. Dalam penelitian penulis kali ini, penulis akan mencoba meneliti alat diplomasi
publik Korea Selatan selain melalui Korean Wave. Dimana, penulis akan mencoba melihat diplomasi publik Korea Selatan melaui bidang pendidikan. Dalam penelitian ini penulis
mencoba melihatnya melalui organisasi yang bernaung di bawah payung pemerintah Korea
Selatan yaitu KOICA dimana badan ini memiliki program-program yang dikhususkan untuk
membantu negara-negara berkembang mitra Korea Selatan, salah satunya adalah program
pendidikan. Penulis akan meneliti bagaimana kemudian program-program tersebut akan
26 2.6 Kerangka Berpikir
Keterangan Kerangka Berpikir:
Korea Selatan memilih diplomasi melakukan publik sebagai alat mencapai
kepentingannya di Indonesia. Korea Selatan KOICA, KOICA merupakan organisasi milik
pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Perdagangan dan Hubungan Luar Negeri
Korea Selatan yang menyalurkan bantuan kepada negara-negara berkembang. Salah satu
sektor yang dimiliki oleh KOICA merupakan sektor Pendidikan. Salah satu alat diplomasi
publik Korea Selatan yaitu melalui sektor pendidikan KOICA. Sektor Pendidikan
Kesimpulan Diplomasi Publik Korea
Selatan di Indonesia melalui sektor Pendidikan KOICA Korea International Cooperation Agency
(KOICA)