• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjaan Klaim Proyek Konstruksi Pada Sen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjaan Klaim Proyek Konstruksi Pada Sen"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjaan Klaim Proyek Konstruksi Pada Sengketa

Di Pengadilan Negeri

Naufal Abdurrahman1, Ayomi Dita Rarasati2

1. Program Studi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Indonesia, Depok, 1624, Indonesia.

2. Program Studi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Indonesia, Depok, 1624, Indonesia.

E-mail : naufal_bisa90@yahoo.com

Abstrak

Perkembangan kemajuan proyek di Indonesia berkembang semakin pesat. Dalam

penyelenggaraan proyek, seluruh aktivitas yang berlangsung di dalamnya tidak terlepas dari

kontrak. Oleh karena itu, kita harus benar-benar mengerti dan memahami isi kontrak tersebut

agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal-hal yang tidak memenuhi kewajiban dan hak salah

satu pihak sebagaimana yang tercantum dalam kontrak dapat menyebabkan timbulnya klaim.

Berdasarkan 10 Putusan Pengadilan Negeri yang didapat, penyebab utama klaim adalah

wanprestasi serta faktor alam dan administrasi. Klaim dapat diselesaikan melalui Pengadilan

Negeri dan Arbitrase. Banyak perusahaan yang lebih memilih menyelesaikan klaim melalui

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) karena sifat persidangannya yang tertutup

diibandingkan melalui Pengadilan Negeri yang bersifat terbuka. Namun biaya yang harus

dikeluarkan melalui BANI berkisar antara Rp 200.000.000,00 – Rp 850.000.000,00, berbeda

jauh dengan Pengadilan Negeri yang berkisar Rp 350.000,00 – Rp 600.000,00. Klaim yang

diputuskan melalui Arbitrase dapat dibatalkan melalui Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal

70 UU No. 30/1999, yaitu adanya dokumen palsu atau dinyatakan palsu, adanya dokumen

yang bersifat menentukan disembunyikan, dan adanya tipu muslihat. Selain dari tiga hal di

(2)

Claim Construction Project Analysis In District Court Case

Abstract

The progress of the project in Indonesia is growing more rapidly. In the operation of the

project, all the activity that takes place in it can not be separated from the contract, therefore,

we must thoroughly understand and comprehend the contents of the contract in order to avoid

misunderstandings. Things that do not fulfill one of the obligations and rights of the parties as

specified in the contract may lead to a claim. Based on the 10 District Court obtained, the

main cause of the claim is in default as well and force major and administration. Claims can

be settled by the District Court and Arbitration. Many companies prefer to resolve claims

through the Indonesian National Arbitration Board (BANI) due to the closed trial than using

District Court because it is open trial. But the costs to be incurred through BANI ranges

between Rp 200.000.000,00 - Rp 850.000.000,00, far with the District Court that ranges from

Rp 350.000,00 - Rp. 600.000,00. Claims are decided through arbitration can be canceled by

the District Court based to Article 70 of Law No. 30/1999, which is the existence of false

documents or false otherwise, the decisive document is hidden, and the ruse. Apart from the

three above, then any reason can not be used to overturn the decision of BANI.

(3)

Pendahuluan

Dalam penyelenggaraan proyek, seluruh aktivitas yang berlangsung di dalamnya tidak

terlepas dari kontrak, yaitu bentuk perikatan mengenai kegiatan jasa konstruksi (Yasin,

2006). Oleh karena itu, kita harus benar-benar mengerti dan memahami isi kontrak tersebut

agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaan proyek kontrak konstruksi.

Klaim bukanlah hal yang tabu ataupun sebuah hal tuntutan. Klaim merupakan sebuah

permintaan, dimana kita meminta hak kita yang telah hilang berdasarkan kesepakatan antara

dua atau lebih pihak yang menyetujui perjanjian tersebut. Oleh karena itu, perlu kita

mengetahui apa saja penyebab terjadinya klaim, dan bagaimana cara menyelesaikan klaim

tersebut.

Berdasarkan hal diatas, penulis ingin mengangkat masalah seputar penyelesaian klaim di

Pengadilan Negeri, baik dari hal apa saja penyebab klaim, proses penyelesaian klaim yang

ditempuh, maupun dasar pengajuan ke Pengadilan Negeri untuk kasus di bidang proyek

konstruksi.

Tinjauan Pustaka

Ada beberapa definisi klaim konstruksi sebagai berikut :

a. Akuntansi Konstruksi dalam Pengerjaan-Komite Standar Akuntansi Pemerintah, 2004

Jumlah yang diminta kontraktor kepada pemberi kerja sebagai pengganti biaya-biaya

yang tidak termasuk dalam nilai kontrak.

b. H. N. Yasin, 2006

Klaim bukanlah hal tabu, klaim diartikan sebagai tuntutan, suatu permintaan

c. Edward & Fisk (1997)

Klaim adalah permasalahan yang dapat menimbulkan terjadinya perselisihan dan

permohonan tambahan uang, waktu pelaksanaan, atau perubahan metode pekerjaan.

Penyebab utama klaim dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu (Yasin, 2004) :

a. Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa, seperti pengurangan nilai kontrak,

(4)

b. Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa, seperti tambahan waktu pelaksanaan

pekerjaan, tambahan kompensasi, dan tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi

teknis atau bahan.

c. Dari sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama.

Berikut pasal-pasal yang digunakan terkait dalam penelitian skripsi :

a. Pasal 71 UU no 30/1999

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran

putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

b. Pasal 1 angka 4 UU no 30/1999

Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

tinggal pemohon.

c. Pasal 70 UU No. 30/1999

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan

apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

 Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

 Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, disembunyikan oleh pihak lawan; atau

 Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

d. Pasal 31 ayat (1) UU RI No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambaga

Negara serta Lagu Kebangsaan

“(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang

melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta

Indonesia atau perseorangan Warga Negara Indonesia”

e. Pasal 62 ayat (4) UU No. 30/1999

Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari Putusan

Arbitrase.

f. Pasal 4 ayat (2) UU No. 30/1999

Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu

dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

(5)

Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan

untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan

terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.

h. Pasal 3 ayat (1) UU No. 30/1999

Arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang

bersengketa.

i. Pasal 1 Butir 7 Peraturan Presiden No. 54/2010

Yang dimaksud kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut kontrak

adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana

Swakelola.

j. Pasal 13 ayat (1) UU No. 30/1999

Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter

atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan

Negeri menunjuk arbiter atau Majelis Arbitrase.

k. Pasal 72 ayat (4) UU No. 30/1999

Atas Putusan Pengadilan Negeri (Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase) dapat

diajukan banding ke Mahkamah Agung Republik Indonesia

Metode Penellitian

Data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu ptuusan Pengadilan Negeri sebanyak

10 kasus proyek konstruksi. Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah

metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum dalam pengertian meneliti kaidah-kaidah

dan norma-norma, dimana penelitian yuridis normatif biasanya hanya merupakan studi

dokumentasi dengan mempergunakan sumber-sumber data sekunder seperti peraturan

perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para ahli

(Mertokusumo, 2002). Berikut langkah penulis dalam mengolah dan menganalisis data :

a. Meresume sumber-sumber putusan yang diperoleh.

b. Mengidentifikasi penyebab klaim dari tiap putusan.

c. Mengidentifikasi cara penyelesaian klaim yang di tempuh dari tiap putusan.

d. Mengidentifikasi dasar pengajuan ke Pengadilan Negeri.

e. Membuat matriks tiap putusan.

(6)

g. Menarik kesimpulan dan memberikan saran.

Hasil dan Pembahasan

Berikut kasus berdasarkan 10 putusan Pengadilan Negeri :

1. Kasus Pekerjaan Pemancangan di Lampung

Pemohon : PT Manunggal Engineering

Melawan

Termohon I : PT Terapan Nilai Osilasi Indonesia

Termohon II : Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

2. Kasus Proyek Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjang di Bandar Udara Internasional

Lombok

Pemohon : PT Angkasa Pura I

Melawan

Termohon I : Badan Arbitase Nasional Indonesia

Termohon II : PT Hutama Karya

3. Kasus PLTU Jawa Barat

Pemohon : PT Truba Jaya Engineering

Melawan

Termohon I : Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Termohon II : PT Adhi Karya

4. Kasus Tender Pembangunan Dermaga

Pemoohon : PT Hutama Karya

Melawan

Termohon I : Badan Arbitase Nasional Indonesia

Termohon II : PT Krakatau Bandar Samudra

5. Kasus Pembangunan Pusat Perbelanaan PTC

Pemohon I : PT Asia Pacific Coating

Pemohon II : Kohar

Melawan

Termohon I : PT Nusantara Jaya Konstruksi

Termohon II : Herianto Tan

(7)

Pemohon : PT Karya Bersama Takarob

Melawan

Termoohon I : Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Termohon II : PT Adhi Karya

7. Kasus Proyek Jalan Tol

Pemohon : Dipl. Ing. John Wiraman (Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari)

Melawan

Termohon I : PT Waskita Karya

Termohon II : Badan Arbitrase Nasional Indonesia

8. Kasus Wanprestasi Manunggal Engineering

Pemohon : PT Manunggal Engineering

Melawan

Termohon I : Badan Arbirase Nasional Indonesia

Termohon II : PT Multi Adverindo

Termohon III : PT Geostructure Dinamics

9. Kasus Pembangunan Komplek Griya Kemayoran

Pemohon : PT Tunas Diptapersada

Melawan

Termohon I : PT Hutama Karya

Termohon II : PT Hutama Binamaint Join Operation

Termohon III : Tuan M. Husseyn Umar, SH

Termoohon IV : Tuan Ir. H. R. Sidjabat

10. Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan BTS, Jabar-Tegal-Slawi

Pemohon I : Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M

Pemohon II : Ir. Eddy Soetarno, M.T

Pemohon III : Ir. Herman Soeroyo, M.T

Pemohon IV : Soemarjono, S.T., M.T

Pemohon V : Ir. Noertjahjo Widodo, M.T

Melawan

Termohon : PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Join Operation

(8)

Penyebab utama klaim :

1. Wanprestasi

Kasus wanprestrasi dalam skripsi ini terdapat pada kasus 1, 5, 6, 7, 8, dan 9. Pada

kasus 1 wanprestasi terjadi karena PT Manunggal Engineering tidak mampu

melaksanakan tugas sesuai kontrak Pekerjaan Pemancangan No.

046/Lampungext/Pilling Works/CLD/07-08-YY tertanggal 17 Juli 2008, sehingga

dialihkan ke PT Truba Alam Manunggal Engineering. Oleh karena itu, PT Terapan

Osiliasi Indonesia menuntut mereka ke BANI. Dilain pihak berbeda dengan kasus 5,

yaitu kasus Pembangunan Pusat Perbelanjaan PTC dimana Kohar ditunjuk oleh PT

Asia Pacific Coating (PT APC) untuk mencari kontraktor pemborong utntuk

melaksanakan pembangunan tersebut, lalu ditunjuklah PT Nusantara Jasya Konstruksi

(PT NJK) melalui Direkturnya Herianto Tan untuk melakukan pemborongan yang

meliputi pekerjaan pendahuluan, struktur, finishing, mekanikal, dan elektrikal dengan

borongan senilai Rp 34.850.000.000,00 berdasarkan SPK No.

0101-PTC/SPK/XII-2003. Pekerjaan mampu dilakukan oleh pemborong, yaitu PT NJK dengan bukti

berita acara prestasi fisik yang telah mencapai 100%, namun banyak terjadi defect

kerja yang dilakukan oleh pemborong sehingga menimbulkan kerugian diantaranya

banyak kios yang batal dibeli maupun disewa.

Pada kasus 6 yaitu Proyek Pembangunan Cirebon Superblock Mall yang berlokasi di

Jl. Cipto Mangunkusumo senilai Rp 77.850.000.000,00 lump sum termasuk PPn

terhitung dari 14 Februari 2011 sampai dengan 11 Desember 2011 antara PT Karya

Bersama Takarob sebangai pengguna jasa dengan PT Adhi Kartya sebagai penyedia

jasa. Bahwa terjadi ketidakcakapan kerja yang dilakukan oleh PT Adhi Karya (PT

AK) yang ditandai dengan kualitas pekerjaan yang tidak baik, ditambah lagi dengan

pengunduran PT AK dalam proyek tersebut. Dilain pihak, PT AK menuntut PT Karya

Bersama Takarob (PT KBT) kepada BANI karena menurut PT AK, PT KBT lah yang

melakukan cidera janji yaitu keterlambatan pembayaran termin. Pada kasus 7 yaitu

Proyek Jalan Tol Semarang – Solo tahap I ruas Semarang Bawen Seksi III Penggaron

– Beji antara Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari dengan PT Waskita

Karya-DIY II. Dimana Direktur CV Jaya Wahan Lestari (CV JWL) merasa keberatan atas

putusan BANI No. 498/XXI/ARB-BANI/2012 tanggal 3 September 2013 karena CV

(9)

dituntut untuk mengembalikan uang yang merupakan hak dari PT WK sebesar Rp

742.544.300,00. Awalnya PT WK sebagai kontraktor menerima pekerjaan dari PT

Trans Marga Jateng sebagai owner, kemudian PT WK memberikan tanggun jawab

pekerjaan yang telah diterima dari PT Trans Marga Jateng kepada CV JWL

berdasarkan Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan No. 14/SPP/WK.D-II/2012

tanggal 14 Maret 2012. Namun, karena CV JWL tidak mampu melaksanakannya

dengan baik, maka PT WK menuntutnya di BANI.

Pada kasus 8 tejadi sengketa wanprestasi antara PT Manunggal Engineering dengan

PT Multi Adverindo dan PT Geostructure Dinamics. Sehingga PT Multi Adverindo

dan PT Geostructure Dinamics menuntutnya di BANI yang kemudian pada intinya

BANI mengeluarkan putusan untuk menghukum PT Manunggal Engieering

membayar ganti rugi sebesar Rp 13.197.546.400,00. Untuk kasus 9, yaitu kasus

Proyek Pembangunan Komplek Griya Kemayoran antara PT Tunas Diptapersada

sebagai pengguna jasa dan PT Hutama Karya sebagai penyedia jasa serta PT Hutama

Binamaint Join Operation sebagai penyedia jasa yang berlokasi di Jl. Industri No.

9-11, Jakarta Pusat sesuai dengan SPK No. 004/TDP/SPK/PMBG/1/96 tentang

pemborongan. Tanpa alasan dan dasar hukum yang sah, PT Hutama Karya dan PT

Hutama Binamaint Join Operation mengajukan permohonan penyelesaian sengketa

melalui BANI karena adanya upaya cidera janji yang dilakukan oleh PT Tunas

Diptapersada yang pada intinya BANI menghukum untuk memerintahkan PT Tunas

Diptapersada membayar ganti rugi sebesar Rp 26.353.364.455,00.

2. Faktor Alam dan Administrasi

Kasus force major yang terjadi terdapat pada kasus 2, 4, dan 10. Pada kasus 2, yaitu

kasus Proyek Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjang di Bandar Udara

Internasional Lombok, faktor alam yang mempengaruhi terjadinya klaim adalah

terdapat hujan yang menggenangi lokasi, lalu untuk pengamanan pekerjaan utama

dilakukan Cross Drain dan Dewatering. Meskipun hal ini tidak terdapat dalam

hitungan BQ seusai dengan kesepakatan, namun hal ini mutlak harus dilakukan oleh

PT Hutama Karya. PT Angkasa Pura I tetap bersikukuh bahwa PT Hutama Karya

telah melakukan Cross drain dan Dewatering tanpa ijin dari PT Angkasa Pura I. Di

(10)

sangat lambat, dan apabila PT Hutama Karya menunggu ijin dari PT Angkasa Pura I

untuk melaksanakannya tentu itu akan memakan waktu ekstra dan list pekerjaan

masih banyak yang harus dilakukan.

Pada kasus 4 yaitu Tender Pemabangungan dermaga antara PT Hutama Karya sebagai

penyedia jasa dengan PT Krakatau Bandar Samudra sebagai pengguna jasa berupa

pekerjaan pengerukan karang keras dan kompak dalam lapisan tanah yang berlokasi

di Dermaga Pelabuhan Cigading, Banter dengan sistem kontrak Lump sum fixed price.

Permasalahan berawal dari timbulnya lapisan tanah keras kurang dari 17 meter,

padahal berdasarkan hasil uji sebelumnya menyatakan bahwa tanah keras hanya

berada pada kedalaman diatas 17 meter. PT Hutama Karya merasa sangat tidak adil

kepada pihak Arbitrase karena berpendapat sistem pembayaran Fixed Lump Sum

Price, maka pekerjaan tanah dengan SPT > 50 menjadi resiko dan tanggung jawab sepenuhnya PT Hutama Karya. PT Hutama Karya berpendapat bahwa Fixed Lump

Sum Price berarti nilai kontrak bersifat tetap sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah.

Yang terakhir adalah kasus 10, yaitu Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan

BTS, Jabar, Tegal, Slawi antara Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M., Ir. Eddy Soetano,

M.T., Ir. Herman Suroyo, M.T., Sumarjono, S.T., M.T., dan Ir. Noertjahjo Widodo,

M.T., yang kemudian disebut sebagai Para Pemohon sebagai pengguna jasa dengan

PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Joint Operation yang kemudian disebut

dengan BBJO sebagai penyedia jasa untuk pekerjaan Brebes-Tegal By Pass dengan

nilai kontrak Rp. Rp. 190.360.238.851,22 termasuk PPn. Awal mulanya timbul klaim

adalah tidak adanya kesepakatan antara 2 belah pihak, yaitu adanya justifikasi teknik

yang diajukan BBJO mengenai perubahan nilai kontrak menjadi Rp

205.920.819.000,00 dan mengubah lama pekerjaan dari 720 hari kalender menjadi

920 hari kalender. Namun proyek telah berjalan sebagian dan masalah justifikasi tidak

juga selesai, sehingga BBJO menuntut Para Pemohon dalam BANI yang putusannya

menghukum Para Pemohon untuk membayar kerugian sebesar Rp 26.871.672.000,00

kepada pemohon untuk klaim akibat idle alat, idle tenaga kerja, sewa lahan base

camp, alat pendukung yang sudah tersedia, uang jaminan, dan bunga pinjaman.

(11)

Cara untuk menyelesaikan proses klaim pada dasarnya ada 6 yaitu melalui melaui badan

peradilan, melalui arbitrase, mediasi, negosiasi, engineering judgement, dan mini trial.

Namun yang akan dibahas pada skripsi ini adalah proses penyelesaian melalui badan

peradilan dan arbitrase. Pada dasarnya banyak perusahaan yang mengutamakan cara

penyelesaian klaim melalui badan arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

dibandingkan mengutamakan penyelesaian melaui badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri.

Kelebihan Arbitrase (Suyud, 2000) :

• Bebas dan otonom menentukan aturan dan intuisi arbitrase

• Menghindari ketidakpastian akibat perbedaan sistem hukum dengan Negara tempat sengekta diperiksa, maupun keputusan sepihak dari hakim yang menguntungkan salah

satu pihak

• Waktu prosedur lebih efisien

• Persidangan tertutup, dan memberi perlindungan terhadap data yang rahasia • Pertimbangan hukum bersifat win-win solution

Namun dibalik itu semua, tentu ada kekurangan dari menggunakan Majelis Arbitrase, berikut

kekurangan dari penggunaan Majelis Arbitrase (Suyud, 2000) : • Honor relatif mahal

• Tidak memiliki juru sita sendiri, sehingga menghambat penerapan prosedur dan mekanisme arbitrase secara efektif

• Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif

• Eksekusi putusan arbitrase cenderung mudah diinterprestasi oleh pihak kalah melalui lembaga peradilan

Sedangkan berikut kekurangan menggunakan Majelis Peradilan (Suyud, 2000) : • Penyelesaian sengketa lambat

• Peradilan tidak tanggap

• Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah • Kemampuan para hakim bersifat generalis

Dilain sisi adapun kelebihan menggunakan Majelis Peradilan :

• Biaya relatif lebih murah dibandingkan dengan menggunakan arbitrase • Proses yang terjadi bersifat transparan

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, Pengadilan Negeri dari mulai

pendaftaran hingga menjatuhkan putusan paling cepat tiga bulan. Itupun termasuk kasus yang

(12)

paling cepat satu bulan. Tentu ini merupakan pertimbangan utama bagi para pihak yang

bersengketa karena dapat menghemat waktu dalam mengatasi pemeriksaan terkait sengketa

yang terjadi, karena selisih perbedaan waktu yang digunakan mulai dari pendaftaran hingga

putusan dijatuhkan bisa mencapai dua bulan. Selain itu, yang menjadi pertimbangan utama

dalam pemilihan menggunakan Majelis Arbitrase adalah persidangan yang tertutup, dan

memberi perlindungan terhadap data yang rahasia. Dengan adanya persidangan yang tertutup,

para pihak yang terkait sengketa tidak perlu khawatir informasi seputar sengketa yang terjadi

akan bocor keluar dan muncul di media massa. Dengan begitu nama baik dari perusahaan

tersebut akan tetap terjaga di mata umum.

Di balik itu semua, biaya penyelesaian melalui Majelis Arbitrase sangatlah tinggi. Harga

untuk membayar biaya perkara pada BANI bisa mencapai Rp 900.000.000,00. Bila

dibandingkan dengan melalui Majelis Peradilan yang tidak mencapai Rp 1.000.000,00 untuk

kasus nonbanding. Selisih biaya yang dikeluarkan sangat besar, karena Majelis Arbiter adalah

majelis swasta, berbeda dengan Majelis Peradilan yang merupakan majelis negeri yang

dibayar oleh Negara. Belum lagi apabila menggunakan BANI, biaya akan semakin besar jika

menggunakan banyak arbiter. Untuk mendapatkan nilai pasti, penulis memaparkan biaya

Pengadilan Negeri dari kasus 4.2.1 – 4.2.10 yang ditunjukkan pada tabel 5.1 diluar dari biaya

pengacara.

Tabel 4.1 Biaya Penyelesaian Perkara Melalui Pengadilan Negeri

Kasus Biaya (Rp)

4.2.1 500.000

4.2.2 581.000

4.2.3 416.000

4.2.4 514.000

4.2.5 562.000

4.2.6 516.000

4.2.7 500.000

(13)

4.2.9 500.000

4.2.10 342.000

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan range biaya yang harus dikeluarkan melalui Pengadilan

Negeri adalah sebesar Rp 342.000,00 – Rp 581.000,00. Sedangkan untuk biaya menggunakan

jasa BANI ditunjukkan pada Tabel 5.2.

Tabel 4.2 Biaya Penyelesaian Perkara Melalui BANI

Kasus Biaya (Rp)

4.2.1 296.861.000

4.2.2 Tidak disebutkan

4.2.3 198.188.750

4.2.4 Tidak disebutkan

4.2.5 Tidak melalui proses BANI

4.2.6 330.163.500

4.2.7 Tidak disebutkan

4.2.8 298.331.000

4.2.9 251.607.850

4.2.10 839.687.000

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan range untuk biaya jasa BANI sebesar Rp

198.861.000,00 – Rp 839.687.000,00. Biaya menggunakan BANI relatif mahal, hal ini

tergantung dari berapa banyak arbiter yang ditunjuk untuk menyelesaikan kasus tersebut,

serta gelar atau pengalaman dari arbiter terssebut. Semakin banyak arbiter yang ditunjuk

maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluaran, begitu pula semakin tingginya

pendidikan dan pengalaman arbiter tersebut maka biaya pun semakin mahal. Seperti halnya

pada kasus 4.2.10 dimana ditunjuk 3 majelis arbiter sehingga biaya yang harus dikeluarkan

(14)

Pengajuan Penyelesaian Di Pengadilan Negeri

Pengajuan ini pada dasarnya dikarenakan tidak puas dengan putusan BANI sebelumnya.

Ketidakpuasan yang dimaksud adalah putusan dianggap mengandung salah satu unsur

maupun seluruh unsur dari pasal 70 No. 30/199, berikut bunyi Pasal 70 No. 30/1999 :

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan

apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

disembunyikan oleh pihak lawan, atau

- Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa”

Dokumen Yang Bersifat Menentukan Disembunyikan Oleh Pihak Lawan

Untuk kasus dokumen yang bersifat menentukan disembunyikan oleh pihak lawan terdapat

pada kasus 2 yaitu Kasus Proyek Pembuatan Run Way dan Fasilitas Penunjang di Bandar

Udara Internasional Lombok, PT Angkasa Pura I mengajukan permohonan pembatalan

putusan BANI karena ditemukannya dokumen antara PT Hutama Karya dengan PT

Metropolitan Aulia Mix yang mana PT Metropolitan Aulia Mix ini bertindak sebagai

subkontraktor dari PT Hutama Karya untuk pengerjaan aspal bandara. Bahwa kontrak ini

terjalin tanpa sepengetahuan PT Angksa Pura I, dan bisa saja masih banyak lagi kontrak

perjanjian seperti ini antara PT Hutama Karya dengan subkontraktor lain agar PT Hutama

Karya memperoleh keuntungan yang lebih. Namun dilain pihak PT Angkasa Pura I malah

lebih menekankan kepada eskalasi PT Hutama Karya yang mengada-ada tanpa adanya bukti

yang ditunjukkan dan dibandingkan dengan bukti adanya dokumen yang disembunyikan oleh

PT Hutama Karya. Namun setelah dihitung volume pekerjaan yang dilakukan oleh PT

Metropolitan Aulia MIX hanya sebagian kecil dari total pekerjaan PT Hutama Karya. Oleh

karena itu, pernyataan tentang adanya dokumen yang bersifat menentukan yang

disembunyikan oleh PT Hutama Karya tidak dapat dibenarkan. Selain itu, tentang eskalasi

harga yang dilakukan PT Hutama karya tidak dapat dipertimbangkan karena tidak memiliki

(15)

Selanjutnya, pada kasus 7, yaitu kasus Proyek Jalan Tol antara direktur Utama CV Jaya

Wahan Lestari melawan PT Waskita Karya-DIY II untuk pengerjaan Jalan Tol

Semarang-Solo, Tahap I ruas Semarang Bawen Seksi III Penggaron-Beji, dimana Direktur Utama CV

Jaya Wahana Lestari mengatakan adanya dokumen yang disembunyikan oleh PT Waskita

Karya-DIY II atara PT Firma Karya selaku perusahaan perencana dengan PT Trans Marga

Jateng selaku pemilik poyek. Awalnya PT waskita Karya terikat kerja dengan PT Trans

Marga Jateng, lalu PT Waskita Karya mengalihkan dan/atau memberikan tanggung jwab

pekerjaan kepada Direktur CV Jaya Wahana Lestari berdasarkan Surat Perjanjian

Pemborongan Pekerjaan No. 14/SPP/WK.D-II/2012, yang mana SPPP tersebut cacat hukum.

Oleh karena itu, Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari ingin membatalkan putusan BANI

atas SPPP yang digunakan tidak dapat dijadikan sebagai dasar perjanjian. Di lain pihak, SPPP

tersebut telah diungkapkan dalam pemeriksaan BANI sebelumnya. Kasus ini merupakan

suatu pembatalan yang sangat tidak jelas, yang mana dasar pembatalan putusan BANI ini

berdasarkann adanya dokumen yag disembunyukan, yaitu dokumen antara PT Waskita Karya

dengan PT Firma Karya dan PT Trans Marga Jateng.Namun di lain sisi, Direktur Utama CV

Jaya Wahana Lestari menitikberatkan tentang SPPP yang cacat hukum namun tidak dapat

dibuktikan secara jelas. Terlebih lagi pengajuan tentang SPPP yang cacat hukum sudah

diajukan sebelumnya pada persidangan BANI sehingga Pengadilan Negeri tidak berhak untuk

mengadili alasan BANI sebelumnya. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri menolak untuk

mengabulkan permohonan pembatalan putusan BANI.

Adanya Tipu Muslihat

Sedangkan untuk terdapat tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak pada kasus 1

yaitu kasus Pekerjaan Pemancangan di Lampung antara PT Manunggal Engineering sebagai

penyedia jasa dengan PT Terapan Nilai Osilasi Indonesia sebagai pengguna jasa berdasarkan

SPK No 046/Lampungext/Pilling Works/CLD/07-08-YY. Adapun bentuk tipu muslihat yang

dilakukan oleh PT Terapan Nilai Osilasi Indnesia adalah adanya pernyataan dari PT Terapan

Nilai Osilasi Indonesia mengenai kewajiban PT Manunggal Engineering untuk pembayaran

Pilling Works sebesar Rp 2.547.980.453,00. Namun, perubahan kontrak yang disepakati berdasarkan 7 Mei 2009 hanya membahas kewajiban PT Manunggal Engineering untuk

membayar Piling Material sebesar Rp 7.642.587.645,00.

Pada kasus 3, yaitu kasus PLTU Jawa Barat antara PT Truba Jaya Engineering sebagai

(16)

digunakan oleh PT Truba Jaya Engineering adalah adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh

PT Adhi Karya, dimana PT Adhi Karya menuntut atas biaya keterlambatan sebesar Rp

21.715.905.090,00. Namun, tidak ada satu pasal perjanjian yang mengatur ganti rugi atas

keterlambatan, meskipun keterlambatan tersebut diakibatkan oleh PT Adhi Karya. Di lain

pihak, BANI menyatakan bahwa pengajuan tuntutan merupakan hak dari PT Adhi Karya

yang dijamin oleh hukum untuk mendapatkan kembali apa yang dilanggar oleh PT Truba

Jaya Engineering. Selain itu, alasan pembatalan putusan BANI yang diajukan oleh PT Truba

Jaya Engineering telah diperiksa sebelumnya pada proses pemeriksaan BANI. Oleh karena

itu, Pengadilan Negeri tidak berhak untuk menanggapii maupun mempertanyakan putusan

BANI, hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat (4) No. 30/1999 yang berbunyi sebagai berikut :

“Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan

Arbitrase”. Berdasarkan pasal ini, maka alasan BANI tidak dapat diperiksa dan alasan

pembatalan putusan BANI oleh PT Truba Jaya Engineering tidak dapat diterima.

Selanjutnya, pada kasus 6, yaitu Proyek Cirebon Superblock Mall antara PT Karya Bersama

Takarob sebagai pengguna jasa dengan PT Adhi Karya sebagai penyedia jasa yang mana

lokasi proyek ini berada di Jl Cipto Mangunkusumo. Pembatalan putusan BANI berawal dari

adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT Adhi Karya, yaitu dengan menunjukkan adanya

tagihan pada termin ke VII sebesar Rp 7.458.434.820,00 mengandung cacat administrasi

karena tidak ditandatangani dan disetujui oleh PT Karya Bersama Takarob. Tidak

ditandatanganinya administrasi perihal tagihan termin tersebut karena adanya perbedaan

penilaian volume pekerjaan, dimana penilaian antara PT Karya Bersama Takarob dengan PT

Adhi Karya tidak sama. Berdasarkan hal tersebut sudah jelas adanya tipu muslihat dan

penggunaan dokumen yang tidak sah yang dilakukan oleh PT Adhi Karya yang memengaruhi

BANI dalam menjatuhkan putusan. Namun di lain pihak, PT Karya Bersama Takarob hanya

karena tidak puas atas putusan BANI yang diterima dan disebabkan karena PT Karya

Bersama Takarob tidak mampu mempertimbangkan termasuk dalam golongan tipu muslihat

atau penggunaan dokumen yang tidak sah sehingga menjadi tidak jelas. Oleh karena itu,

Pengadilan Negeri memutuskan alasan yang digunakan oleh PT Karya Bersama Takarob

menjadi kabur dan tidak dapat diterima.

Pada kasus 8, yaitu terjadinya wanprestasi antara PT Manunggal Engineering dengan PT

Multi Adverindo dan PT Geostructure Dinamics. PT Manunggal Engineering

mengungkapkan adanya pemberian surat kuasa oleh PT Multi Adverindo dan PT

(17)

BANI sebelumnya. Adapun surat kuasa yang digunakan tidak bersifat khusus yang dapat

mewakili persidangan dan tidak menyebutkan secara legkap subjek dan objek perkara. Selain

itu, pengangkatan Arbiter ke-3 tidak sah menurut PT Manunggal Engineering karena

pengangkatan arbiter ke-3 merupakan kesepakatan bersama. Namun BANI menunjuk arbiter

ke-3 atas kehendak sendiri tanpa adanya kesepakatan dari PT Manunggal Engineering, PT

Multi Adverindo, dan PT Geostructrual Dinamics. Dalil yang digunakan oleh PT Manunggal

Engineering tidak berdasar hukum dan mengada-ada karena dalil tersebut seharusnya

diajukan dalam proses pemeriksaan arbitrase, bukan dalam Pengadilan Negeri. Oleh karena

itu, Pengadilan Negeri memutuskan untuk menolak permohonan PT Mangunggal

Engineering.

Kasus 10 yaitu Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan BTS, Jabar, Tegal, Slawi

antara Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M., Ir. Eddy Soetano, M.T., Ir. Herman Suroyo, M.T.,

Sumarjono, S.T., M.T., dan Ir. Noertjahjo Widodo, M.T., yang kemudian disebut sebagai

Para Pemohon sebagai pengguna jasa dengan PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Joint

Operation yang kemudian disebut dengan BBJO. BBJO yang pada awalnya adalah Pemohon dalam BANI yang kemudian permohonannya dikabulkan sebagian berupa mendapat ganti

rugi sebesar Rp 26.871.672.000,00 dalam putusan BANI No. 516/V/ARB-BANI/2013

tanggal 28 Januari 2014. Para Pemohon kemudian menyatakan pembatalan kepada

Pengadilan Negeri Tegal karena adanya unsur tipu muslihat berupa suspensi dari Bank Dunia

yang disembunyikan oleh BBJO. Selain itu, Para Pemohon menyatakan Majelis Arbiter cacat

hukum karena penunjukan arbiter oleh Para Pemohon terlambat dan adanya arbiter sepihak

tanpa melalui penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, alasan-alasan

yang diajukan oleh Para Pemohon sudah diperiksa sebelumnya dalam proses pemeriksaan

BANI, sehingga Pengadilan Negeri Tegal tidak memiliki wewenang berdasarkan Pasal 62

ayat (4) UU No. 30/1999. Kewenangan Pengadilan Negeri sebatas pembatalan putusan

BANI, bukan memeriksa alasan putusan BANI sepanjang memenuhi unsur Pasal 70 UU No.

30/1999. Adapun alasan yang diajukan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan,

sehingga pengadilan menyatakan alasan-alasan tersebut dapat atau tidak dijadikan sebagai

pertimbangan pembatalan putusan. Di lain sisi, BBJO menyatakan bahwa surat dari Bank

Dunia merujuk kepada Para Pemohon karena Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah

Republik Indonesia. Oleh karena itu, tidak mungkin surat tersebut untuk BBJO, melainkan

untuk Para Pemohon. Menanggapi tanggapan dari Para Pemohon dan BBJO, Pengadilan

Negeri Tegal memutuskan untuk menolak permohonan dari Para Pemohon dan

(18)

putusan Pengadilan Negeri Tegal, Para Pemohon mengajukan banding ke Mahkamah Agung

yang pada intinya Pengadilan Negeri Tegal tidak menilai dan mempertimbangkan unsur tipu

muslihat yang telah diungkapkan sebelumnya karena kehilangan kewenangan. Namun karena

alasan banding Para Pemohon tidak memiliki bukti yang kuat, maka Mahkamah Agung

menolak permohonan banding Para Pemohon dan menghukum Para Pemohon membayar Rp

500.000,00.

Selain dari tiga unsur di atas, maka apapun alasan yang digunakan tidak dapat dijadikan

sebagai dasar pembatalan BANI. Apa pun pertimbangannya, tentu pengajuan pembatalan

selain tiga unsur di atas merupakan hal yang sia-sia karena tidak mungkin dapat

dimenangkan. Terlebih lagi putusan BANI tidak dapat dibatalkan, tidak dapat diubah isinya

berupa tuntutan balik, baik menuntut dari pihak perseorangan maupun dari sebuah badan.

Sebagai contoh pada kasus 4, yaitu Tender Pembangunan Dermaga antara PT Hutama Karya

sebagai penyedia jasa dengan PT Krakatau Bandar Samudra sebagai pengguna jasa, dimana

proyek ini berlokasi di Dermaga Pelabuhan Cigading, Banter. PT Hutama Karya menolak

putusan BANI, yang mana BANI menjatuhkan putusan menghukum PT Hutama Karya

membayar seluruh biaya administrasi.

Pada intinya PT Hutama Karya tidak puas karena BANI menganggap sistem pembayaran

Fixed Lump Sum Price menjadi seluruh tanggung jawab dari PT Hutama Karya serta tidak mempertimbangkan notulen rapat dimana terdapat kesepekatan pada tanggal 28 Juli 2009

yang menyetujui bahwa tanah dengan SPT > 50 bukan tanggung jawab kontraktor (PT

Hutama Karya). Kondisi tersebut menghilangkan kewajiban PT Krakatu Bandar Samudra

untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan tanah (karang) keras yang telah dilakukan oleh

PT Hutama Karya karena sebelumnya pada tanggal 27 Agustus 2010 PT Krakatau Bandar

Samudra berkeinginan untuk volume pekerjaan karang keras hanya diperhituungkan sebesar

denda 5% dari nilai kontrak. Pada kasus ini, jelas terlihat bahwa alasan yang digunakan oleh

PT Hutama Karya tidak ada satupun yang mewakili unsur dari Pasal 70 No. 30.1999. Hal

yang dilakukan oleh PT Hutama Karya merupakan hal sia-sia karena pihak lawan langsung

membalas pernyataan dari PT Hutama Karya dengan alasan tidak ada satupun alasan yang

dikemukakan mengandung unsur dari Pasal 70 No. 30/1999, dan itupun sudah cukup untuk

Pengadilan Negeri membatalkan permohonan dari PT Hutama Karya walaupun pihak dari PT

(19)

Selain itu, pembatalan putusan BANI atas Pasal 70 No. 30/1999, tidak mungkin ada bukti

yang diajukan adalah hal yang sama, namun melanggar dua unsur sekaligus, yang mana

terjadi pada kasus 9 yaitu Proyek Pembangunan Komplek Griya Kemayoran antara PT Tunas

Diptapersada sebaga pengguna jasa dengan PT Hutama Karya dan PT Hutama Binamaint

Join Operation sebagai penyedia jasa. Perjanjian atar pihak terkait terikat dalam SPK No. 004/TDP/SPK/PMBG/1/96 yang mnegatur tentang pemborongan. Dalam pelaksanaannya PT

Hutama Karya dan PT Hutama Binamaint Join Operation mengalami keterlambatan dan

membuat SPK baru No. HK-BM/1040/SP.B-GK/34 tanpa sepengetahuan dan ditandatangani

PT Tunas Diptapersada dan SPK tersebut diajadikan sebagai dasar klaim pada persidangan

BANI. PT Tunas Diptapersada menyatakan bahwa SPK tersebut cacat hukum. Oleh karena

itu dokumen yang diajukan dalam persidangan merupakan dokumen palsu. Di lain sisi, PT

Tunas Diptapersada mengatakan bahwa dokumen tersebut disembunyikan oleh PT Hutama

Karya dan PT Hutama Binamaint Join Operation. Berdasarkan pernyataan PT Tunas

Diptapersada, sungguh jelas tidak masuk akal karena bangaimana mungkin dokumen yang

diajukan palsu dan kemudian dokumen tersebut disembunyikan selama proses pemeriksaan.

Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar.

Penutup

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai

berikut :

a. Penyebab utama klaim yang terjadi adalah karena 2 hal yatu wanprestasi, dan faktor

alam dan administrasi.

b. Pemilihan untuk penyelesaian sengketa dapat melalui BANI dan Pengadilan Negeri

dengan pertimbangan bila penyelesaian sengketa melalui BANI jauh lebih singkat yaitu

selama 1 bulan, namun biaya yang dikeluarkan mahal yaitu berkisar antara Rp.

200.000.000 – Rp. 850.000.000, sedangkan melalui Pengadilan Negeri membutuhkan

waktu paling cepat tiga bulan untuk kasus ringan dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih

murah yaitu berkisar Rp. 350.000 – Rp. 600.000

c. Pada dasarnya pengajuan di Pengadilan Negeri berdasarkan putusan yang didapat

adalah untuk menyelesaikan sengketa, adapun sengketa yang di maksud adalah

pembatalan putusan BANI berdasarkan Pasal 70 No. 30/1999.

(20)

a. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk penyelesaian klaim melalui mediasi dan

negosi.

b. Mengunakan data primair seperti benuk kontrak yang digunakan sehingga dapat

mengkaji lebih dalam.

Daftar Referensi

Barrie, D.S., and Paulson, B. C. (1992). Professional Construction Management. New York : Mc. Graw-Hill.

Chaterine Tay, Swee Kian and Tang, See Chim. (2004). Contract Law : Marshall Cavendish International.

Chow Kok Fong. (2006). Construction Contract Dictionary : Sweet and Maxwell Asia.

Edward R., Fisk, P.E. (1997). Construction Project Administration. New Jersey : Fifth Edition, Prentice Hall.

Ervianto, wolfram. (2009). Manajemen Proyek Konstruksi.

Garner, Bryan A. (2004). Black;s Law Dictionary : Thomson West. Lukman ali et al. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia : Balai Pustaka.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Agung. Diakses pada tanggal 4 November 2015. http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-agung/direktori/perdata-khusus.

Malak, A., Asem, M.U., El-Saadi, M. M.H., Abouzed, M.G. (2002). Journal of Construction Engineering and Management.

Margono, Suyud. Alternative Dispute Resolution And Arbitrase – Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Indonesia : Ghalia.

Mertokusumo, Sudikno. (2002). Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberti. PP No. 24 tahun 2005. Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan, Standar Akutansi

Pemerintah, p.1,p.4.

UU No. 30 tahun 1999. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Yasin, Ir. H. Nazarkhan. (2004). Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi. Indonesia : Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Tabel 4.1 Biaya Penyelesaian Perkara Melalui Pengadilan Negeri
Tabel 4.2 Biaya Penyelesaian Perkara Melalui BANI

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan strategi Quantum Teaching dilakukan dengan berpedoman pada kerangka pembelajarannya yang dikenal dengan sebutan TANDUR yang merupakan singkatan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah hasil belajar siswa yang

dan Candida albicans.Isolat-isolat endofit dari akar tanaman purwoceng yang tidak menunjukkan potensi antimikrobia kemungkinan memiliki senyawa potensial

Dari uraian yang telah disajikan dapat disimpulkan bahwa, secara keseluruhan baik kinerja kegiatan maupun kinerja pencapaian sasaran dalam pelaksanaan kegiatan yang

Nilai Tingkat Kepentingan didapatkan dari perolehan jumlah seluruh hasil jawaban yang terdapat dalam kuisioner dibagi oleh jumlah responden, seperti yang

Oleh karena itu, berikut ini terdapat contoh penggunaan media pembelajaran dalam matematika yaitu Monika (monopoli matematika); Jarimatika, digunakan sebagai media

Peserta didik diminta untuk memusatkan perhatiannya mengamati, mendengarkan penjelasan guru, pada slide materi yang ditampilkan melalui google classroom:.. •

Pemodelan tiga dimensi model produk berbasis feature ini diharapkan mampu mewakili bentuk produk yang akan dibuat sehingga dapat digunakan untuk mempermudah kegiatan perancangan