”Bukan. Ini hati saya...” Perempuan itu yang selalu menyakiti?” saya kirim ke dia. SMS ke saya ya, disusul Menebang Pohon Silsilah .
S
ALAHsatu rumusan penting dari Kongres Basa Penginyongan I yang digelar pada 25-27 Oktober 2016 lalu, soal penertiban istilah untuk menyebut na-ma bahasa Jawa ragam Banyuna-masan. Kongres menyepakati dan merekomendasikan istilah ÔBasa PenginyonganÕ digu-nakan sebagai nomenklatur resmi untuk menyebut bahasa Banyumasan. Keputusan ini diharapkan dapat mengakhiri polemik penggunaan berbagai terminologi dan maknanya yang berkaitan dengan posisi bahasa Banyumas.Sebelum itu kita mengenal beragam istilah yang biasa digu-nakan untuk menyebut varian bahasa Jawa ini. Mulai dari sebutan yang bernada olok-olok, sampai penamaan yang bersifat lingusitik. Salah satu istilah populer yang sering digu-nakan adalah Ôbahasa ngapakÕ. Meski istilah ini merujuk pada cara pengucapan kata dalam bahasa Penginyongan, namun istilah ini lebih bersifat olok-olok ketimbang linguistik. Istilah ÔngapakÕ disematkan oleh penutur bahasa dari luar Banyumas yang belum terbiasa mendengar tuturan bahasa tersebut.
Bahasa Perlawanan
Istilah bahasa ngapak ini sempat menimbulkan inferioritas bagi penutur native (asli) bahasa Penginyongan. Namun da-lam perjalanannya istilah ini justru berterima sebagai bentuk resistensi oleh sebagian kalangan penutur asli bahasa Penginyongan. Istilah ngapak menjadi sebuah bahasa per-lawanan sekaligus perper-lawanan kultural melalui bahasa. Salah satu wujud perlawanan tersebut adalah munculnya beragam adagium, seperti; ora ngapak ora kepenak(jika tidak menggu-nakan bahasa ngapak, maka tidak enak) atau bersatu kita kompak, bahasa kita ngapakÕ.
Istilah ngapak sebenarnya merujuk pada aksen atau cara pelafalan kata-kata dalam bahasa Penginyongan yang cen-derung lugas, tegas, dan apa adanya. Bunyi vokal /a/ diucap-kan /a/ secara tegas. Misalnya pada kata ÔsegaÕ (nasi) yang tetap dibaca ÔsegaÕ. Ini berbeda dengan pengucapan vokal /a/
pada bahasa Jawa standar (Yogya-Solo). Kata ÔsegaÕ bi-asanya diucapkan menjadi ÔsegoÕ dalam bahasa wetanan. Pengucapan /a/ menjadi /o/ ini menjadi pembeda antara ba-hasa Penginyongan dengan baba-hasa wetanan atau band-hekan (dari kata ghandek yang berarti abdi dalem).
Bahasa Jawa baku dianggap sebagai alat legitimasi kekuasaan dinasti Mataram. Budaya feodal menciptakan adanya pembedaan strata sosial, salah satu perwujudannya adalah melalui penggunaan bahasa. Itulah sebabnya, bahasa Jawa baku memiliki tingkatan yang digunakan untuk meng-identifikasi status sosial penuturnya.
Ini berbeda dengan bahasa Penginyongan yang me-megang prinsip egaliter atau kesetaraan. Bahasa Peng-inyongan merupakan ÔantilanguageÕ, melalui bahasa ini akan terbina hubungan akrab pada sesama anggota entitias bu-daya. Partisipan komunikasi atau tindak tutur dalam masyara-kat bahasa Penginyongan tidak dibedakan berdasarkan sta-tus. Pilihan bahasa Penginyongan merupakan perwujudan re-sistensi masyarakat bahasa Penginyongan terhadap pe-ngaruh kekuasaan dan penetrasi budaya dari luar. Penutur bahasa Penginyongan lebih memilih merdeka dalam bersikap melalui tutur kata. Mereka menolak sikap feodalisme, hege-moni, dan pengaruh strata dan kelas sosial tertentu.
Identitas Kultural
Ranah penutur bahasa Penginyongan berada di per-batasan wilayah tutur bahasa Jawa standar (Yogya-Solo) di sebelah timur dan bahasa Sunda di sebelah barat. Penutur bahasa Penginyongan diapit oleh dua bahasa yang menge-nal adanya tingkatan dan strata. Posisi ini menyebabkan hasa Penginyongan di satu sisi menyerap unsur-unsur ba-hasa Jawa standar, di sisi lain menyerap unsur baba-hasa Sunda. Di sisi lain, bahasa Penginyongan masih memperta-hankan unsur Jawa Kuna.
Masyarakat Banyumas yang merasa keturunan Majapahit resistan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Mereka menolak hegemoni bahasa Jawa dari dinasti Mataram Islam. Fenomena ini dapat ditemui dalam tindak tutur masyarakat
Banyumas asli di pedesaan yang belum terkontaminasi ba-hasa baku. Baba-hasa Jawa Pertengahan yang berkembang dari masa akhir Majapahit tidak mengenal strata bahasa se-hingga lebih egaliter ketimbang bahasa Jawa baku. Bahasa inilah yang menjadi asal mula bahasa Penginyongan yang dikenal sekarang.
Bahasa menunjukkan jati diri dan kepribadian penuturnya. Bahasa Penginyongan menunjukkan jati diri masyarakat penuturnya. Penutur bahasa Penginyongan tersebar di wila-yah Banyumas Raya yang meliputi Banjarnegara, Purba-lingga, Banyumas, Cilacap, dan sebagian Kebumen. Penutur bahasa ini juga tersebar di wilayah Pemalang, Brebes, Tegal, dan Cirebon.
Bahasa merepresentasikan gagasan, pandangan hidup, dan ideologi yang khas milik anggota entitas budaya tertentu. Inilah yang mungkin menjadi pertimbangan kongres dalam menyepakati terminologi ÔBahasa PenginyonganÕ dipilih seba-gai istilah yang cenderung netral dari persoalan administrasi politik dan pemerintahan.
Namun demikian istilah bahasa Penginyongan sebenarnya mengandung dua perkara kultural sekaligus. Nomenklatur ba-hasa tersebut merupakan bagian dari identitas budaya sekali-gus wujud politik perlawanan kultural menggunakan bahasa lokal di hadapan ideologi dan bahasa politik lain yang tengah berkembang.
Bahasa, identitas, dan budaya memiliki pertalian yang erat dalam berbagai kontestasi politik dan perubahan kemajuan masyarakat. Sistem bahasa pada konteks ini boleh jadi meru-pakan benteng akhir pertahanan identitas bangsa.
Sebuah langkah besar penertiban istilah bahasa telah di-ambil. Ini merupakan batu pijakan untuk melangkah mema-suki berbagai kontestasi politik dan budaya yang lebih besar. Ada banyak konsekuensi logis yang harus dilakukan. Semoga keputusan ini tidak hanya berhenti pada dataran wacana kongres semata. ❑- g
*)Teguh Trianton, lahir di Purbalingga, mahasiswa Program Doktor PBI-UNS, mengajar di Prodi PBSI-UMP.