• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI IDENTITAS KULTURAL PADA KUMPULAN CERPEN CERITA-CERITA JAKARTA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

N/A
N/A
Anita Rosy

Academic year: 2024

Membagikan "KONSTRUKSI IDENTITAS KULTURAL PADA KUMPULAN CERPEN CERITA-CERITA JAKARTA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH "

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSTRUKSI IDENTITAS KULTURAL

PADA KUMPULAN CERPEN CERITA-CERITA JAKARTA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Muhammad Teguh Saputro 11170130000019

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

ABSTRAK

Muhammad Teguh Saputro, NIM. 11170130000019, “Konstruksi Identitas Kultural pada Kumpulan Cerpen Cerita-Cerita Jakarta serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum. 2022.

Kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta merupakan karya sastra terbaru yang mengisahkan Jakarta. Relasi antara manusia dan kotanya (Jakarta) menjadi poin utama dalam karya tersebut. Relasi tersebut berhasil menunjukkan wacana representasi kultural mengenai Jakarta terkait multikulturalisme, etnisitas, konflik sosial, moralitas, sampai hal- hal personal. Oleh karena itu, dalam kumpulan cerpen ini, Jakarta hidup bukan tentang soal 'di mana', melampauinya sangat dekat dengan 'siapa' dan 'bagaimana'. Kedekatan tersebut menjadi alasan penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan 1) Mendekrispikan unsur instrinsik dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta, 2) Mendeskripsikan identitas kultural dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta, 3) Mendeskripsikan implikasi identitas kultural dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode penelitian ini menggunakan metode deskripstif-kualitatif melalui teknik simak-catat dengan pendekatan teori identitas kultural (anti-esensialisme) yang dipopulerkan Stuart Hall. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian menunjukkan konstruksi identitas kultural pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta membuktikan bahwa identitas yang terbentuk pada tokoh-tokoh utama bukanlah merupakan identitas yang esensial; bersifat tetap (being), melainkan identitas yang anti-esensial; bersifat plastis (becoming), yang sangat dipengaruhi oleh tanda-tanda kultural yang dihasilkan Jakarta sebagai ruang kultural dan bersifat kontekstual. Berbagai konstruksi identitas kultural yang dapat dihasil penelitian skripsi ini, seperti cerpen Rahasia dari Kramat Tunggak karya Dewi Kharisma Michellia memperlihatkan representasi identitas kultural perempuan Jakarta minoritas dan tersubordinasi. Cerpen Haji Syiah karya Ben Sohib memperlihatkan perbedaan representasi identitas kultural antara pemuka agama dari komunitas Islam-Betawi yang plural dan puritan. Cerpen Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi memperlihatkan perbedaan representasi identitas kultural antara perempuan Tionghoa elit dan non-elit di Jakarta.

Kata kunci: identitas kultural, Stuart Hall, kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta, Dewi Kharisma Michellia, Ben Sohib, Cyntha Hariadi.

(6)

vi

ABSTRAC

Muhammad Teguh Saputro, NIM. 11170130000019, “Construction of Cultural Identity in a Collection of Short Stories Cerita-Cerita Jakarta and Their Implications for Learning Indonesian Language and Literature in Schools”, Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum. 2022.

The collection of short stories Cerita-Cerita Jakarta is the latest literary work that tells the story of Jakarta. The relationship between humans and their city (Jakarta) is the main point in the work. This relationship succeeded in showing a discourse of cultural representation regarding Jakarta related to multiculturalism, ethnicity, social conflict, morality, to personal matters. Therefore, in this collection of short stories, Jakarta lives not about 'where', beyond it is very close to 'who' and 'how'. This closeness is the reason this research was conducted. This study aims to 1) describe the intrinsic elements in the short story collection of Cerita-Cerita Jakarta, 2) describe the cultural identity in the short story collection of Cerita-Cerita Jakarta, 3) describe the implications of cultural identity in the short story collection of Cerita-Cerita Jakarta on learning Indonesian language and literature in schools. . This research method uses a descriptive-qualitative method through a note-taking technique with a cultural identity theory (anti-essentialism) approach popularized by Stuart Hall. Based on the research that has been done, the results of the research show that the construction of cultural identity in the three short stories in the collection of Cerita-Cerita Jakarta proves that the identity formed in the main characters is not an essential identity; is fixed (being), but an anti-essential identity; is plastic (becoming), which is heavily influenced by cultural signs generated by Jakarta as a cultural and contextual space. Various constructions of cultural identity that can be produced by this thesis research, such as the short story Rahasia dari Kramat Tunggak by Dewi Kharisma Michellia shows the representation of the cultural identity of minority and subordinated Jakarta women. The short story Haji Syiah by Ben Sohib shows the different representations of cultural identity between religious leaders from the plural and puritan Islam-Betawi community. The short story Matahari Tenggelam di Utara by Cyntha Hariadi shows the difference in representation of cultural identity between elite and non- elite Chinese women in Jakarta.

Keywords: cultural identity, Stuart Hall, collection of short stories Cerita-Cerita Jakarta, Dewi Kharisma Michellia, Ben Sohib, Cyntha Hariadi.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Untaian syukur ke hadirat Allah subhannallahu ta’ala atas rahmat dan karunia- Nya yang telah mengiringi selangkah demi langkah hingga penulis dapat menempuh titik akhir penelitian skripsi dengan baik. Salawat serta salam juga selalu tersampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wa salam, beserta keluarga, sahabat, penerus, dan pengikut setia ajaran-ajarannya yang mulia.

Skripsi ini berjudul Konstruksi Identitas Kultural pada Kumpulan Cerpen Cerita- Cerita Jakarta serta Implikasinya Terhadap Pembalajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2022. Selain itu, skripsi ini membahas pengaruh Jakarta sebagai ruang kultural dalam mengonstruksi identitas tokoh- tokohnya, dalam hal ini adalah perempuan pekerja seks komersial yang termarginalisasi, perempuan minoritas etnis Tionghoa di pusaran peristiwa Mei 1998, dan komunitas Islam- Betawi di Jakarta.

Penulis menyadari bahwa proses penelitian dan penulisan skripsi ini tidak luput dari bantuan, doa, usaha, serta semangat moral dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Juruan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dosen akademik, dosen pembimbing, serta mentor intelektual yang telah meluangkan waktunya untuk kesabarannya memberikan bimbingan, saran, kritikan, dan dukungan yang penuh kepada penulis dari awal menjadi mahasiwa sampai skripsi ini terselesaikan.

4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan nasihat yang berguna kepada penulis selama menempuh pendidikan sarjana dalam waktu yang cukup panjang ini.

5. Orang tua tercinta, Ibu Misro’atin dan Bapak Miftahul Ulum, yang sudah memberikan segenap cinta, kasih sayang, perhatian, kesabaran, pengorbanan,

(8)

viii

keikhlasan, serta sepenuh hidupnya kepada penulis sampai saat ini, esok, lusa, dan tiada waktu mampu memutuskannya.

6. Keluarga kecil di rumah, anak cucu Mbah Mud, anak cucu Mbah Sumian, dan anak cucu Mbah Mat Salekan yang telah menjadi harta paling berharga, pelukan paling hangat, dan pendukung paling istimewa yang mendorong penulis sampai skripsi ini terselesaikan.

7. Chaeratunnisa, yang sudah memberikan waktunya untuk tetap menjadi yang paling setia berada di samping, pengkritik paling pedas, penasihat paling bijak, dan pendengar paling berharga yang telah rela dan ikhlas membantu dengan utuh dan penuh sampai skripsi ini terselesaikan.

8. Teman-teman terdekat, Uqi, Faldiy, Mufid, Feby, Huda, Dedy, Samsul, Vena, Fitri, Agung, Ahdimas, Reza, Dimas, dan manusia-manusia lain yang tak mampu ditulis secara utuh, yang sudah menjadi teman seperjuangan selama penulis berproses sampai skripsi ini terselesaikan.

9. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Komunitas Lorong Ciputat, Himpunan Mahasiswa Juruan (HMJ) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pestarama, Forum Mahasiswa Lamongan (Formala) Jabodetabek, dan Jaringan Gusdurian Ciputat yang telah bersedia menjadi ruang berharga bagi penulis untuk berproses menjadi manusia yang bermakna dan bermanfaat selama menempuh proses pendidikan sarjana di Ciputat.

10. Seluruh pihak yang terlibat dalam menyelesaikan penyusunan skripsi dan memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis berharap semoga segala bentuk usaha, doa, dan dukungan yang diberikan dapat berbuah kebermanfaatan, keberkahan, dan kebaikan dalam bentuk lain dari Allah subhannallahu ta’ala, amin. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi semua pihak. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, karena penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya.

Akhirul kalam, wallahulmuwafiq ilaa aqwaamitthariq.

Ciputat, 15 Desember 2022

Muhammad Teguh Saputro

(9)

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... v

ABSTRAC ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

G. Metode Penelitian ... 9

1. Objek Penelitian ... 10

2. Sumber Data ... 10

3. Teknik Pengumpulan Data ... 11

4. Teknik Analisis Data ... 11

BAB II ... 12

ACUAN TEORI ... 12

A. Pengertian Cerpen ... 12

B. Struktur Naratif ... 13

1. Fakta-fakta Cerita ... 13

2. Tema ... 20

3. Sarana-sarana Sastra ... 24

C. Pandangan Identitas dan Kritik Anti-Esensialisme ... 26

D. Identitas Kultural ... 28

E. Identitas, Kota, dan Ruang Kultural ... 31

F. Implikasi Pembelajaran Sastra ... 32

G. Penelitian Relevan ... 34 BAB III ... Error! Bookmark not defined.

PROFIL PENGARANG DAN SINOPSIS ... Error! Bookmark not defined.

A. Biografi Singkat Dewi Kharisma Michellia ... Error! Bookmark not defined.

B. Biografi Singkat Ben Sohib ... Error! Bookmark not defined.

(10)

x

C. Biografi Singkat Cyntha Hariadi ... Error! Bookmark not defined.

D. Sinopsis Cerpen Rahasia dari Kramat Tunggak karya Dewi Kharisma Michellia Error! Bookmark not defined.

E. Sinopsis Cerpen Haji Syiah karya Ben Sohib ... Error! Bookmark not defined.

F. Sinopsis Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi .. Error! Bookmark not defined.

BAB IV ... Error! Bookmark not defined.

HASIL ANALISIS ... Error! Bookmark not defined.

A. Analisis Struktur Naratif ... Error! Bookmark not defined.

1. Analisis Struktur Naratif pada Cerpen Rahasia dari Kramat Tunggak karya Dewi Kharisma Michella (a) ... Error! Bookmark not defined.

2. Analisis Struktur Naratif pada Cerpen Haji Syiah karya Ben Shohib (b) .. Error!

Bookmark not defined.

3. Analisis Struktur Naratif Cerpen Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi (c) ... Error! Bookmark not defined.

B. Hasil Analisis Struktur Naratif ... Error! Bookmark not defined.

C. Analisis Identitas Kultural pada Cerpen Rahasia dari Kramat Tunggak Karya Dewi Kharisma Michellia (a) ... Error! Bookmark not defined.

1. Tokoh Ibu dan Identitas Esensialisme ... Error! Bookmark not defined.

2. Tokoh Ibu dan Ruang Kultural Jakarta ... Error! Bookmark not defined.

3. Tokoh Ibu dan Konstruksi Identitas Kultural... Error! Bookmark not defined.

4. Tokoh Ibu dan Perbandingan Identitas ... Error! Bookmark not defined.

D. Analisis Identittas Kultural pada Cerpen Haji Syiah Karya Ben Sohib (b) ... Error!

Bookmark not defined.

1. Tokoh Haji Syiah, Haji Jamil, Faruk dan Ketel, dan Identitas Esensialisme Error! Bookmark not defined.

2. Tokoh Haji Syiah, Haji Jamil, Faruk, dan Ketel, dan Ruang Kultural Jakarta Error! Bookmark not defined.

3. Tokoh Haji Syiah, Haji Jamil, Faruk dan Ketel, dan Konstruksi Identitas

Kultural ... Error! Bookmark not defined.

4. Tokoh Haji Syiah, Haji Jamil, Faruk, Ketel, dan Sebuah Perbandingan Identitas Error! Bookmark not defined.

E. Analisis Identitas Kultural pada Cerpen Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi (c) ... Error! Bookmark not defined.

1. Tokoh Tata, Tokoh Ace, dan Identitas Esensialisme ... Error! Bookmark not defined.

2. Tokoh Tata, Tokoh Ace, dan Ruang Kultural Jakarta. .... Error! Bookmark not defined.

3. Tokoh Tata, Tokoh Ace, dan Kontruksi Identitas Kultural ... Error! Bookmark not defined.

(11)

xi

4. Tokoh Tata, Tokoh Ace, dan Sebuah Perbandingan Identitas Error! Bookmark not defined.

F. Hasil Analisis Identitas Kultural ... Error! Bookmark not defined.

G. Implikasi Terhadap Pembalajaran Sastra di Sekolah ... Error! Bookmark not defined.

BAB V ... 39

PENUTUP ... 39

A. Simpulan ... 39

B. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 129

LEMBAR-LEMBAR ... Error! Bookmark not defined. LEMBAR UJI REFERENSI ... Error! Bookmark not defined. ... Error! Bookmark not defined. LEMBAR RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Error! Bookmark not defined. RIWAYAT PENULIS ... 133

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota menjadi salah satu medium yang tak pernah bisa dilepaskan dalam pembicaraan mengenai kehidupan. Sebagai dunia yang dipenuhi aktivitas manusia dengan segala persinggungannya, kota merupakan salah satu prasyarat yang turut hadir dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Melebihi makna sebagai yang-tentang-tempat, kota merupakan sesuatu yang bersifat kultural, ruang untuk sejarah bergerak, aktivitas manusia berjalan, produksi makna, relasi sosio-kultural menyebar, dan pilar-pilar kebudayaan menegakkan kuasa. Hal ini dipertegas oleh Barker bahwa kota adalah formasi (bentuk) spesifik tempat sosio-kultural hidup dibentuk oleh relasi sosial kekuasaan.

1

Dalam konteks sejarah kota di Indonesia, Jakarta dijadikan sebagai objek pembicaraan dari segala proses kajian (pembacaan dan penelitian) untuk merepresentasikan salah satu ruang kehidupan. Sebagai ibu kota megapolitian, Jakarta dipenuhi dengan kehidupan yang multikultural. Di dalamnya terdapat berbagai etnis, keyakinan, kelas, dan ragam pandangan sosial hidup mewarnai perjalanan Jakarta sebagai kota dan sebuah gelanggang kehidupan manusianya.

Representasi kehidupan yang beragam dan dinamis tersebut mengantarkan Jakarta hampir selalu hadir sebagai pilihan latar cerita dari prosa-prosa sastra Indonesia. Tercatat, semenjak Republik ini berdiri, Jakarta hidup sebagai salah satu sumber pengembangan konstruksi latar yang menopang ide-ide cerita untuk terus berkembang. Penulis prosa di Indonesia juga pernah meminjam Jakarta untuk menggambarkan ide kekaryaannya, seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Seno Gumira Ajidarma. Penulis-penulis tersebut berusaha merekam kehadiran Jakarta dan kehidupannya di lintasan masa ke masa. Dari karya-karya

1 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2019), h. 307.

(13)

penulis tersebut, beragam turunan ide terwujud sebagai reprentasi wajah Jakarta dan kehidupannya, seperti etnisitas, pergulatan kelas sosial, konflik sosial, moralitas, sampai yang menyangkut hal-hal pengalaman personal.

Pramoedya Ananta Toer dalam kumpulan cerpen “Cerita dari Jakarta” yang ditulis pada tahun 1950-an semisal, berusaha mengisahkan warga miskin kota yang berasal dari kelas bawah dan saling memperebutkan uang serta ruang hunian di kota.

2

Dalam kisah lain, di novel “Senja di Jakarta” karya Mochtar Lubis, mengisahkan kondisi moralitas dan nilai luhur yang dicerminkan melalui tokoh-tokohnya dalam cerita sebagai akibat dari mengorbankan diri untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan akses di ruang kultural perkotaan (Jakarta).

3

Tak hanya itu, Seno Gumira Ajidarma juga beberapa kali menggunakan Jakarta sebagai medium pengisahannya. Kumpulan cerpen “Iblis Tak Pernah Mati” berusaha menggambarkan kritik sosial berupa kekerasan, penindasan, atau intimidasi

4

, mewarnai pengisahannya mengenai kerasnya kehidupan di kota ini. Dalam percobaan lain, Seno Gumira Ajidarma juga merekam nuansa parodis-romantik dalam sela-sela kehidupan Jakarta melalui karyanya

“Dilarang Menyayi di Kamar Mandi”. Di tengah kedinamisan Jakarta sebagai sebuah ruang kultural, ide-ide bernuansa lokalitas (bagian dari etnisitas Betawi) juga turut hadir mewarnai kompleksnya Jakarta. Tema- tema lokalitas tersebut hadir di karya-karya seperti, “Kronik Betawi” karya Ratih Kumala, “Terang Bulan Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta”

karya S.M Ardan, dan “Lingkaran-lingkaran Retak” karya M. Balfas.

5

Selain itu, tentu Jakarta masih banyak dan berulang kali tertuang dalam prosa-prosa karya penulis-penulis lainnya dari berbagai masa.

Salah satu karya terbaru yang menggunakan Jakarta sebagai latar dari pengisahannya adalah kumpulan cerpen berjudul “Cerita-Cerita

2 Ridha, Al Qadri, “Prosa dan Kehidupan Kota, Jurnal Jentera, Vol. 2, No. 1, Juli, Tahun 2013. h. 36.

3 Ibid., h. 37.

4 Ferdinandus, Moses Tempo, “Kekerasan Personal dalam Cerpen ‘Jakarta, Suatu Ketika’

Karya Seno Gumira Ajidarma”, Jurnal Madah, Vol. 4, No. 1, April, Tahun 2013. h. 26-27.

5 Ahmad, Bahtiar, “Sastra Warna Lokal Betawi Sebagai Bahan Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)”, Jurnal Insania, Vol. 23, No. 1, Januari-Juni, Tahun 2018.

h. 82.

(14)

Jakarta”. Kumpulan cerpen tersebut terbit pertama kali dalam seri Reading The City

6

yang diterbitkan penerbit Comma Press di Manchester, Inggris, pada 2020 dengan judul “The Book of Jakarta”. Terjemahan berbahasa Indonesia –yang merupakan bahasa asli dari karya-karya yang terdapat dalam kumpulan cerpen— baru saja diterbitkan di awal tahun 2021 oleh salah satu penerbit independen

7

di Jakarta, yakni Post Press. Dalam kumpulan cerpen ini, berbagai kisah mengenai pengalaman personal penulis dengan Jakarta dihadirkan. Kumpulan cerpen ini berisi 10 cerpen dari 10 penulis yang berbeda, yakni Ratri Ninditya (B217AN), Hanna Fransisca (Aroma Terasi), Sabda Armandio (Masalah), Utiuts (Buyan), Dewi Kharisma Michellia (Rahasia dari Kramat Tunggak), Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (Anak-Anak Dewasa), Ben Sohib (Haji Syiah), Cyntha Hariadi (Matahari Tenggelam di Utara), Afrizal Malna (Pengakuan Teater Palsu), sampai Yusi Avianto Pareanom (Suatu Hari Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta). Tema-tema yang dihadirkan dalam kumpulan cerpen ini juga beragam, mulai dari keterasingan, kebebasan, kritik sosial dan hegemoni sosial, demonstrasi dan geliat politik, lingkungan dan kegagapan teknologi, perempuan dan prostitusi, nihilisme, nuansa keyakinan, etnisitas dan kelas sosial, sampai tema-tema abstraksi- kedirian seperti eksistensialisme dan sinisme-romantik. Melalui tema-tema tersebut, Jakarta menjadi sebuah kisah yang dapat dibaca lewat banyak sudut pandang, mulai dari kesedihan, kegembiraan, luka, sampai kemenangan lewat imajinasi yang tercurah dari cerita ke cerita yang ada.

Pemilihan tema-tema yang tidak umum menjadi alasan untuk mengantarkan tujuan kumpulan cerpen ini diterbitkan. Sebagai karya paling

6 Proyek penerbitan buku oleh Comma Press dalam rangka memberikan pengalaman pengisahan mengenai kota-kota melalui karya-karya pilihan; sepuluh cerita oleh sepuluh penulis berbeda dari kota-kota bersangkutan. Pengisahan mengenai kota-kota tersebut menawarkan kesan yang beragam dan bertentangan, mengungkap lapisan sejarah yang berbeda, serta membuka subkultur dan rahasia kota. Kota-kota yang bersangkutan tersebut, meliputi Bristol, Reykjavik, Tbilisi, Sheffield, Barcelona, Newcastle, Ramallah, Venice, Shanghai, Jakarta, Kairo, Tehran, Brimingham, Riga, Khartoum, Dhaka, Tokyo, Gaza, Rio, Liverpool, Leeds, Istanbul, Havana, Beijing, dan Madinah.

7 Istilah penerbit independen mengacu pada penerbit mandiri atau penerbit indie, yakni penerbitan buku yang menggunakan cara-cara alternatif dalam proses industri yang dijalankannya.

Istilah ini juga mengacu pada penerbit-penerbit yang memiliki pasar lebih kecil dengan sistem yang berbeda dibandingkan dengan penerbit mayor atau penerbit besar.

(15)

baru yang mengisahkan Jakarta, kumpulan cerpen “Cerita-Cerita Jakarta”

ingin menceritakan Jakarta sebagai kota yang selalu bergerak, kota yang tidak pernah tidur, kota yang ceritanya belum selesai, dan masih berkembang terus.

8

Dalam kata pengantar kumpulan cerpen ini dijelaskan bahwa kisah sebuah kota adalah cerita hubungan personal antara orang dan ruangnya, yang dibangun hari demi hari, menciptakan relasi yang rumit, dan berlapis, dan tak kunjung selesai.

9

Kumpulan cerpen ini tak hanya turut melengkapi pengisahan Jakarta dalam prosa-prosa yang ada sebelumnya, melampauinya memberikan narasi yang relatif baru dan berbeda di tengah kompleksnya narasi-narasi tentang Jakarta. Kumpulan cerpen ini seakan tidak ingin menjelaskan Jakarta sebagai objek yang hanya dikisahkan selayaknya yang-adalah, lebih dari itu Jakarta ingin dikisahkan sebagai subjek pengalaman yang bersinggungan dengan penulis, sehingga membentuk narasi mengenai kota yang menciptakan kehidupan dan segala persoalannya, yang dipengaruhi oleh masa lalu, sekarang, dan tidak selesai.

10

Oleh karena itu, Jakarta dalam kumpulan cerpen ini tidak hanya sebuah kota –tempat, melainkan ruang kultural yang membentuk manusia dengan segala aktivitas, emosional, sampai konstruksi identitasnya.

Bergerak dari cerita ke cerita, Jakarta hidup bukan hanya tentang pertanyaan soal ‘di mana’, melampauinya sangat dekat dengan ‘siapa’ dan

‘bagaimana’.

Kedekatan tersebut yang menjadi latar belakang penelitian ini digarap, yakni melihat konstruksi identitas kultural yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Cerita-Cerita Jakarta”, seperti hubungan Jakarta dan manusianya –kontruksi kultural (tema, latar, plot, konflik), dan tokoh dan penokohan yang tergambar dari cerpen-cerpen yang ada. Dalam mendukung penelitian ini nantinya, peneliti akan menyandingkan analisis intrinsik dengan teori identitas kultural yang dipopulerkan Stuart Hall untuk membedah pembacaan dan mengantarkan pada simpulan penelitian.

8 Tedy dan Maesy dalam “Wawancara Plus Jakarta: Cerita Jakarta di “The Book of Jakarta”, #TanyaJakarta”, pada 10 April 2021 di Channel Youtube Plus Jakarta.

9 Ratri Ninditya, dkk, Cerita Cerita Jakarta, (Jakarta: Post Press, 2021). h. viiii-ix.

10 Tedy dan Maesy, Op.Cit.

(16)

Teori identitas kulturual dianggap relevan dengan ide-ide yang tertuang dalam beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut. Berbagai persoalan identitas kultural, meliputi kelas, gender, seksualitas, umur, etnisitas, politik, moralitas, dan agama mempunyai kedekatan dengan tema- tema yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Nantinya, konsep identitas kultural yang dipakai sebagai ‘pisau bedah’ akan membantu pembacaan dan analisis pembentukan konstruksi identitas yang terbentuk secara plastis dipengaruhi ruang kulturalnya. Hal ini menyebabkan identitas yang terlihat merupakan proyek yang terus menjadi, mencipta, dan membentuk –becoming bukan being. Sesuai dengan penegasan Hall dalam karyanya “Identity, Community, Culture, Different”, identitas kultural bukanlah sesuatu yang jelas dan tanpa masalah karena identitas kultural adalah suatu produk yang tidak pernah selesai, selalu dalam proses pembentukan dan terbentuk dalam suatu representasi.

11

Sebagai bagian dari mengefektifkan proses penelitian untuk melihat konstruksi identitas kultural pada kumpulan cerpen ini, peneliti membatasi dengan hanya mengambil tiga cerpen sebagai objek penelitian, yakni

“Rahasia dari Kramat Tunggak” karya Dewi Kharisma Michellia, “Haji Syiah” karya Ben Sohib, dan “Matahari Tenggelam di Utara” karya Cyntha Hariadi. Penelitian ini akan mengarah pada pembahasan identitas kultural yang terdapat dalam tiga cerpen bersandingan dengan tema-tema besar, seperti gender, agama, kelas, dan isu minoritas. Pemilihan tiga cerpen tersebut disebabkan ketiga cerpen tersebut memiliki unsur kultural yang kuat, yang sangat dekat dengan subjek penelitian yang dipilih.

12

Oleh

11 Gaudensio, Angkasa, “Teori Postkolonial dalam Konteks Identitas” dalam Academia. h.

5.

12 Ketiga cerpen tersebut merupakan cerpen-cerpen yang kuat dalam menarasikan tema- tema sosial (‘yang-eksternal’ dalam kehidupan), dibanding cerpen-cerpen lain yang lebih mengarah ke pembahasan tema-tema yang bersifat abstraksi-refleksi atau kedirian (‘yang-internal’ dalam kehidupan), seperti dalam cerpen “B217AN”, “Anak-Anak Dewasa”, “Pengakuan Teater Palsu”, dan “Suatu Hari dalam Kehidupan Warga Depok yang Pergi ke Jakarta”. Beberapa cerpen lain juga hanya kuat dalam penggambaran peristiwa dan kritik sosial tanpa kualitas yang kuat dalam pembentukan tokoh yang merepresentasikan suatu identitas tertentu, seperti dalam cerpen “Aroma Terasi”, “Buyan”, dan “Masalah”. Oleh karenanya, pemilihan ketiga cerpen tersebut dibanding cerpen-cerpen lain bukan bermaksud mengesampingkan cerpen-cerpen yang lain, melainkan dikarenakan kedekatannya dengan relevansi teori identitas kultural yang digunakan dalam penelitian.

(17)

karenanya, pemilihan tiga cerpen sebagai objek penelitian dirasa mempunyai alasan yang kuat dan relevan.

Penulis-penulis yang cerpennya menjadi objek penelitan ini merupakan penulis muda yang karya-karyanya ramai dibicarakan serta diapresiasi. Ben Sohib semisal, merupakan penulis muda yang terkenal dengan karakter cerita yang dekat dengan penggambaran mengenai komunitas Arab-Betawi yang ada di Jakarta. Beberapa cerita yang dibangun dalam karya-karyanya terkenal sangat dekat dengan unsur-unsur yang menggambarkan karakter tersebut. Oleh sebab itu, pembacaan mengenai kritik pada ide-ide kultur keagamaan sangat terlihat dalam beberapa karya- karya populernya. Beberapa karyanya yang mendapat banyak perhatian, meliputi “The Da Peci Code” (2008), dan “Rosid dan Delia” (2008).

Sementara itu, penulis lain yang cerpennya menjadi objek dalam penelitian ini adalah Dewi Kharisma Michellia. Dewi, merupakan penulis perempuan yang karya-karyanya dikenal publik melalui koran-koran atau majalah ternama di Indonesia. Dewi saat ini menghabiskan waktu megurus salah satu penerbit independen di sela proses kekaryaannya. Dewi juga terkenal dengan karya-karya yang memiliki kekuatan dalam penggambaran karakter tokoh-tokohnya, serta dekat dengan pengembangan data-data dari suatu peristiwa tertentu. Dewi menulis karya dengan beragam genre yang berbeda-beda, mulai dari roman, kriminal, misteri-horor, sampai sci-fi, kesemuanya tersebar secara acak di karya-karyanya. Beberapa karyanya, meliputi novel “Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya” (2013), dan kumpulan cerpen “Elegi” (2017). Selain itu, penulis terakhir adalah Cyntha Hariadi. Cyntha dikenal sebagai jurnalis perempuan yang menulis kisah-kisah bertema keluarga. Cyntha juga tercatat pernah meraih penghargaan pada Sayambara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2015. Beberapa karyanya, meliputi kumpulan cerpen

“Manifesto Flora” (2017) dan kumpulan puisi “Ibu Mendulang Anak Berlari” (2016).

Penelitian ini juga dirancang mampu berkontribusi untuk

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di tingkat sekolah. Penelitian ini

(18)

akan menjadi media bagi guru dan peserta didik untuk menggunakan karya sastra, salah satunya kumpulan cerpen “Cerita Cerita Jakarta” sebagai bahan dan media ajar dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, ide-ide yang menjadi isi dari kumpulan cerpen ini, dibantu dengan isi penelitian yang digarap mampu mengantarkan menjadi medium baru untuk membuka cakrawala pengetahuan peserta didik, dan melengkapi referensi karya-karya yang efektif dan relevan dimanfaatkan dalam pembelajaran. Terlebih, cerpen sebagai salah satu karya sastra, implikasinya diharapkan mampu membantu dalam pembentukan nilai-nilai karakter sebagaimana yang terdapat dalam amanat kurikulum 2013. Selain itu, persoalan identitas saat ini menjadi isu utama dalam pergaulan sosial terutama di kalangan generasi muda di tingkat sekolah. Nilai-nilai karakter seperti keterbukaan, toleransi, dan kepedulian sosial yang mampu berguna dalam menjawab persoalan- persoalan identitas diharapkan mampu digali melalui implikasi dari penelitian ini.

Berdasarkan uraian latar belakang, penelitian skripsi ini mengangkat judul “Konstruksi Identitas Kultural pada Kumpulan Cerpen Cerita-Cerita Jakarta Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Belum ada penelitian yang menggunakan kumpulan cerpen Cerita- Cerita Jakarta sebagai objek penelitian.

2. Belum ada penelitian yang menganalisis identitas kultural pada kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta.

3. Kurangnya pembahasan mengenai identitas kultural pada analisa kritik sastra, terutama pembahasan identitas yang berada pada bangunan pandangan anti-esensialisme.

4. Kurangnya pembahasan identitas kultural yang diimplikasikan

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

(19)

C. Batasan Masalah

Dalam penelitian diperlukan pembatasan masalah agar pembahasan penelitian tidak meluas. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah penggunaan kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta sebagai objek penelitian, penggunaan identitas kultural (terutama pandangan identitas anti-esensialisme) sebagai teori analisis, serta relasi analisis dengan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Oleh karena itu, berdasarkan batasan-batasan masalah tersebut, analisis pada penelitian ini hanya meliputi tiga cerpen dalam Cerita Cerita Jakarta;

(a) Rahasia dari Kramat Tunggak karya Dewi Kharisma Michellia; (b) Haji Syiah karya Ben Shohib; (c) Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi.

D. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur naratif yang terdapat dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta?

2. Bagaimana konstruksi identitas kultural yang terdapat pada tokoh- tokoh dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta?

3. Bagaimana implikasi identitas kultural dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk, di antaranya:

1. Mendeskripsikan struktur naratif dalam kumpulan cerpen Cerita- Cerita Jakarta.

2. Mendeskripsikan identitas kultural dalam kumpulan cerpen Cerita- Cerita Jakarta.

3. Mendeskripsikan implikasi identitas kultural dalam Cerita-Cerita

Jakarta terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di

sekolah.

(20)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari hasil analisis penelitian ini terdapat dua macam, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. Berikut pemaparan mengenai kedua manfaat penelitian berikut:

1. Manfaat teoritis: manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah menambah referensi keilmuan di bidang kritik sastra, khususnya dalam pembahasan mengenai sosiologi sastra dan identitas kultural anti-esensialisme.

2. Manfaat praktis: manfaat dari hasil penelitian ini dapat digunakan oleh berbagai pihak, di antaranya:

a. Bagi guru: hasil penelitian ini dapat digunakan guru sebagai bahan penyampaian materi pembelajaran Bahasa Indonesia, terutama dalam fokus sastra, agar pembelajaran berjalan lebih menarik dan kreatif.

b. Bagi pembaca: hasil penelitian dapat digunakan pembaca sebagai bahan acuan atau pegangan dalam membaca karya sastra untuk lebih jeli dan lebih luas dalam memaknainya.

c. Bagi peneliti lain: hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi yang relevan bagi peneliti lain yang berniat melakukan penelitian dengan menggunakan objek penelitian yang sama atau pendekatan yang sama.

G. Metode Penelitian

Untuk menunjang proses analisis, serta menghasilkan kesimpulan penelitian secara objektif seputar identitas kultural dalam kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta, maka peneliti melakukan studi kepustakaan.

Dalam penelitian ini juga membutuhkan metode penelitian sebagai koridor rangkaian proses penelitian. Ratna mengungkapkan, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah- langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.

13

Ratna mempertegas, sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi

13 Nyoman, Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007). h. 34.

(21)

untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.

14

Dalam prosesnya, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Artinya, penelitian secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskriptif, dibatasi oleh hakikat fakta-fakta sosial –fakta-fakta yang sebagaimana dibatasi oleh subjek

15

. Serta sumber datanya, meliputi karya dan data penelitian (kata, kalimat, dan wacana). Adapun dokumen sebagai karya yang diteliti, sebagaimana dalam uraian batasan masalah di atas, yakni meliputi tiga cerpen dalam Cerita-Cerita Jakarta; (a) Rahasia dari Kramat Tunggak karya Dewi Kharisma Michellia; (b) Haji Syiah karya Ben Shohib; (c) Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi.

1. Objek Penelitian

Objek penelitian ini meliputi tiga cerpen dalam Cerita-Cerita Jakarta; (a) Rahasia dari Kramat Tunggak karya Dewi Kharisma Michellia; (b) Haji Syiah karya Ben Shohib; (c) Matahari Tenggelam di Utara karya Cyntha Hariadi.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Terkait data primer penelitian ini bersumber pada kumpulan cerpen Cerita-Cerita Jakarta yang diterbitkan oleh Post Press, 2021, vii+211 halaman. Untuk perinciannya, cerpen (a) terdapat pada halaman 71-94, cerpen (b) terdapat pada halaman 117-134, dan cerpen (c) terdapat pada halaman 135-160. Sedangkan data sekunder penelitian meliputi buku-buku teori, karya ilmiah, yang berkaitan dengan objek penelitian dan pendekatan yang digunakan.

14 Ibid., h. 34.

15 Ibid., h. 46-47.

(22)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka. Artinya, teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis yang digunakan sebagai bahan untuk memperoleh data. Seperti yang diungkapkan Nazir, studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi menelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan- laporan yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang akan diselesaikan.

16

Selain itu, dalam menunjang prosesnya, teknik studi pustaka ini dibekali proses simak dan catat terkait data-data penting yang diperoleh selama proses pembacaan dan penelitian. Seperti yang diungkapkan Sudaryanto, simak-catat ini merupakan seperangkat cara atau teknik untuk menyimpulkan fakta-fakta yang berada pada masalah penelitian.

17

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tahap- tahap penelitan berdasarkan metode deskriptif kualitatif. Tahap-tahap analisis ini adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis struktur naratif pada objek penelitian, serta menghubungkan keterkaitan antar unsur intrinsik berikut.

b. Menganalisis cerpen dengan pendekatan teori identitas kultural (anti-esensialisme) yang dibangun oleh Stuart Hall untuk menghasilkan gambaran kontruksi identitas kultural pada cerpen-cerpen yang dijadikan objek penelitian. Langkah- langkah tersebut meliputi identifikasi, klasifikasi, dan deskripsi.

c. Membuat simpulan yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

16 Moh, Nazir. Metode Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).

17 Faruk. Metode Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). h. 24.

(23)

12

BAB II ACUAN TEORI

A. Pengertian Cerpen

Cerpen atau cerita pendek merupakan salah satu jenis dari karya sastra.

Sesuai dengan preferensi istilah yang mengacu pada kata “pendek”, cerpen mempunyai bentuk yang unik dan berbeda dengan berbagai jenis karya sastra lainnya (sebut saja novel, puisi, naskah drama, dll). Cerpen sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan.

Abrams menyebut cerpen sebagai “the prose tale; sebuah prosa kecil”

selaras dengan sifat serba pendek yang dimiliki cerpen. Edgar Allan Poe juga mendefinisikan cerpen sebagai sebuah cerita yang selesai dibaca sekali duduk,1 karena bentuknya yang serba pendek dan terbatas.

Kependekan dan keterbatasan cerpen tidak hanya menyangkut bentuk (jumlah kata) semata. Isi cerita, unsur pembangun cerita, dan aspek permasalahan yang disajikan dalam cerita juga dihadirkan dalam bentuk yang serba pendek dan terbatas. Namun, bukan berarti kependekan dan keterbatasan cerpen adalah suatu ketidaksempurnaan, justru cerpen mempunyai sifat yang mesti totalitas; pendek, padat, dan lengkap. Hal ini dipertagas Rosidi, bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek dan merupakan kebulatan ide.2

Cerpen hadir sebagai sebuah bentuk cerita yang tidak ada bagian-bagian isinya boleh lebih atau bisa dibuang. Cerpen menjadi lebih padu (dibanding karya sastra lain; novel), lebih memenuhi ke-unity-an, karena bentuknya yang pendek menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang ‘kurang penting’ yang lebih memperpanjang cerita.3 Semuanya terjalin dan terikat membentuk keterhubungan yang total. Memahami cerpen yang mengandung kompleksitas masalah yang bulat dan terbatas, menuntut cerpen harus didayagunakan secara maksimal, agar ide cerita – pesan dan makna – dapat tersampaikan secara jelas.

1 Edgar Allan Poe dalam Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2015), h. 12.

2 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 50- 51.

3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 13.

(24)

Bentuk kependekan cerpen sendiri sejauh ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli yang tak pernah selesai. Tidak adanya kesepakatan mengenai batas kependekan cerpen, membuatnya seringkali kabur dan tumpang tindih.

Bentuk cerpen sendiri juga bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.4

B. Struktur Naratif

Struktur naratif atau unsur pembangun cerita merupakan bagian-bagian yang hadir dalam sebuah cerita. Kehadiran unsur-unsur tersebut bersifat faktual, artinya kehadirannya dapat dibayangkan – ditemukan, diuraikan – dalam cerita.

Stanton menjelaskan, struktur naratif terbagi menjadi tiga bagian: fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra.5 Ketiganya harus dipandang sebagai kesatuan dalam keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.6

1. Fakta-fakta Cerita

Fakta-fakta cerita atau struktur faktual (factual structure) merupakan catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita.7 Unsur ini merupakan unsur yang tertera jelas dalam sebuah cerita. Bagian-bagian dari unsur ini meliputi karakter (tokoh dan penokohan), plot, dan latar.

a. Tokoh dan Penokohan

Tokoh (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.8 Menurut Baldic, tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama.9 Stanton menambahkan, bahwa istilah tokoh merujuk pada individu-

4 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 12.

5 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 20.

6 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 32.

7 Stanton, Op.Cit., h. 22.

8 M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 32-33.

9 Chris Baldick, The Concise Oxford Dictionery of Literary Term, (Oxford: Oxford Paperback Reference, 2001), . 37.

(25)

individu yang muncul dalam cerita dan percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut.10

Selain tokoh, istilah lain yang seringkali disalahartikan secara tumpang tindih adalah penokohan. Penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.11

Mengacu pada penjelasan di atas, tokoh (character) dan penokohan (characterization) merupakan dua istilah yang tidak bisa dilepaskan sebagai unsur pembangun cerita. Istilah “tokoh”

mengacu pada tokoh (orang-orang/karakter) dalam cerita, sedangkan istilah “penokohan” mengacu pada kualitas yang melekat dan dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut dalam cerita.

Dalam perkembangannya, tokoh dan penokohan dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan peran dan pentingnya, fungsi penampilan tokoh, perwatakannya, kriteria berkembang tidaknya perwatakan, dan pencerminannya.

Berdasarkan peran dan pentingnya, tokoh dan penokohan dibagi menjadi dua jenis, di antaranya sebagai berikut:12

1) Tokoh utama (central character): tokoh/karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita.13

2) Tokoh tambahan (peripheral character): tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

Berdasarkan fungsi penampilan tokohnya, tokoh dan penokohan dibagi menjadi dua jenis, di antarnya sebagai berikut:14

10 Stanton, Op.Cit, h. 33.

11 Baldick, Op.Cit, h. 37.

12 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 258.

13 Stanton, Op.Cit., h. 33.

14 Ibid., h. 261.

(26)

1) Tokoh protagonis: tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero – tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh ini seringkali menjadi tokoh utama dalam cerita.15

2) Tokoh antagonis: tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung atau pun tidak langsung, secara fisik atau pun batin.

Berdasarkan perwatakannya, tokoh dan penokohan dibagi menjadi dua jenis, di antaranya sebagai berikut:16

1) Tokoh sederhana (simple/flat character): tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja.

2) Tokoh bulat (complex/round character): tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakannya, tokoh dan penokohan dibagi menjadi dua jenis, di antaranya sebagai berikut:17

1) Tokoh statis (static character): tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

2) Tokoh berkembang (developing character): tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot dikisahkan.

Berdasarkan pencerminannya, tokoh dan penokohan dibagi menjadi dua jenis, di antaranya sebagai berikut:18

1) Tokoh tipikal (typical character): tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih

15 Baldick, Op.Cit, h. 207.

16 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 265-266.

17 Ibid., h. 272.

18 Ibid., h. 274-275.

(27)

banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang bersifat mewakili.

2) Tokoh netral (neutral character): tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Artinya, merupakan tokoh hasil imajinasi yang hanya hadir atau bereksistensi dalam semesta karya itu sendiri – hadir dan dihadirkan semata-mata untuk kepentingan cerita.

Selanjutnya, mengenai tokoh dan penokohan tidak hanya soal kategorisasi jenisnya saja. Tokoh dan penokohan juga menyangkut teknik atau cara bagaimana tokoh dan penokohan tersebut dilukiskan atau dihadirkan dalam cerita. Istilah mengenai ini dalam tokoh dan penokohan disebut teknik pelukisan tokoh. Dalam perkembangannya, teknik pelukisan tokoh dibagi menjadi dua jenis, di antaranya sebagai berikut:19

1) Teknik ekspositori/analitis (langsung): pelukisan tokoh yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Deskripsi ini berupa uraian mengenai sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan ciri fisiknya yang langsung dihadirkan secara eksplisit oleh pengarang dalam cerita.

2) Teknik dramatik (tidak langsung): pelukisan tokoh yang dilakukan dengan tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat atau sikap serta tingkah laku tokoh. Biasanya pelukisan tokoh dilakukan melalui aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun non- verbal lewat tindakan dan tingkah laku, dan juga melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita.

b. Alur

Alur secara umum dimaknai sebagai urutan kronologis peristiwa dalam sebuah cerita. Stanton menjelaskan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang

19 Ibid., h. 279-283.

(28)

biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja.20

Penekanan aspek kausalitas peristiwa dalam alur menjadikan tiap bagian dalam cerita menjadi tidak bisa diabaikan. Aspek kausalitas mengikat tiap bagian tidak hanya menjadi ‘suatu-yang-kronologis’, lebih dari itu, menjadi ‘suatu- yang-padu’ atau keterpaduan yang saling mempengaruhi untuk membentuk cerita yang utuh. Menurut Stanton, peristiwa kausal (kausalitas peristiwa) tidak terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan-perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan- keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.21 Penekanan alur pada aspek kausalitas peristiwa dikuatkan oleh pendapat Forster, bahwa alur adalah peristiwa- peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada hubungan sebab akibat.22 Kenny juga menambahkan, bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa- peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. 23

Alur dibagi menjadi beberapa tahapan. Mengacu pada Burhan Nurgiyantoro dalam Tasrif (dalam Mochard Summers?), plot dibagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan tersebut sebagai berikut:24

1) Tahap Penyituasian (Situation): Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

2) Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances): Tahap ini merupakan tahap

20 Stanton., Op.Cit., h. 26.

21 Ibid., h. 26.

22 E.M. Foster dalam . Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 167.

23 William Kenny dalam Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 167.

24 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 209-210.

(29)

pemunculan konflik, masalah-masalah, dan peristiwa- peristiwa yang menyulut konflik mulai dimunculkan.

3) Tahap Peningkatan Konflik (Rising Actions): Tahap ini merupakan tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.

4) Tahap Kimaks (Climax): Tahap ini merupakan tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.

5) Tahap Penyelesaian (Denouement): Tahap ini merupakan tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

SIMBOL TAHAPAN

A Tahap Penyituasian (Situation)

B Tahap Pemunculan Konflik

(Generating Circumstances) C Tahap Peningkatan Konflik (Rising

Actions)

D Tahap Kimaks (Climax)

E Tahap Penyelesaian (Denouement)

(30)

Selain itu, alur juga dikategorisasikan berdasarkan kriteria urutan waktu dan kriteria isi. Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibagi menjadi tiga jenis, di antaranya sebagai berikut:25

1) Alur maju: jika alur dilukiskan bersifat maju (lurus, progresif) atau kronologis, peristiwa (-peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).

2) Alur mundur (sorot-balik/flash back): jika alur dilukiskan bersifat mundur atau tidak kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru tahap awal cerita dikisahkan.

3) Alur campuran: jika alur dilukiskan bersifat acak (tidak maju dan tidak mundur) atau tidak kronologis.

Selanjutnya, mengacu pada kategorisasi Friedman berdasarkan kriteria isi, alur dibagi menjadi tiga jenis, antara lain sebagai berikut:26

1) Alur peruntungan: alur yang berhubungan dengan cerita yang menggunakan nasib atau peruntungan yang menimpa tokoh (utama) cerita pada sebuah cerita fiksi.

2) Alur tokohan: alur yang lebih banyak menyoroti keadaan tokoh dari pada kejadian yang ada atau yang berurusan dengan pemlotan (peraluran).

3) Alur pemikiran: alur yang mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan lain-lain yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia.

25 Ibid., h. 213-215.

26 Ibid., h. 222-223.

(31)

c. Latar

Latar (setting) adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.27 Latar juga diartikan sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.28 Mengacu pada definisi-definis tersebut, latar merupakan deksripsi ruang – mencakup keterangan tempat, waktu, dan keadaan atau kondisi – yang dihadirkan pengarang dalam membangun peristiwa- peristiwa dalam cerita. Latar mempunyai posisi yang sangat penting dalam menghubungkan tiap unsur-unsur pembangun cerita sehingga membentuk keterpaduan yang logis.

Selanjutnya, latar dibagi menjadi tiga unsur pokok, di antaranya sebagai berikut:29

1) Latar tempat: latar yang menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya.

2) Latar waktu: latar yang berhubungan dengan masalah

“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya.

3) Latar sosial-budaya: latar yang menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya. Unsur ini mencakup kondisi, tata nilai kehidupan, adat dan tradisi, serta permasalahan-permasalahan sosial-budaya yang sedang terjadi.

2. Tema

Tema (theme) adalaj aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’

dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.30 Hartoko dan Rahmanto mendefinisikan bahwa tema

27 Stanton, Op.Cit., h. 35.

28 Abrams, Op.Cit., h. 284.

29 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 314-322.

30 Stanton., Op.Cit., h. 36.

(32)

merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Sedangkan, Baldic mendefinisikan bahwa tema merupakan gagasan abstrak utama yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang-ulang dimunculkan baik secara eksplisit maupun (yang banyak ditemukan) implisit lewat pengulangan motif.31 Shipley mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita.32 Pengertian mengenai tema bersinonim dengan ide utama (central idea) dan maksud utama (central purpose).33 Kesamaan makna tema dengan ide utama dan tujuan utama dari cerita menjadikannya berfungsi sebagai “aspek pengikat” unsur-unsur keseluruhan dalam cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ‘mengikat’

kehadiran dan ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain karena unsur-unsur tersebut mesti mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.34 Tema seolah-olah menjadi titik sentral, titik temu, atau titik pijak dari unsur- unsur pembangun cerita untuk menyampaikan pesan dari pengarang ke pembaca.

Tema dikategorisasikan berdasarkan beberapa jenis pengkategorisasian. Berbagai kategorisasi, meliputi, berdasarkan bentuk, berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, dan tingkat keutamaan.

a. Berdasarkan Bentuk

Tema berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua jenis, yakni tema tradisional dan tema non-tradisional. Tema tradisional dimaksudkan untuk tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama.35 Tema jenis ini bersifat mempertahankan status quo dari sistem pengetahuan yang ada.

31 Baldick, Op.Cit., 258.

32 Joshep T. Shipley dalam Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 130.

33 Stanton., Op.Cit., h. 37.

34 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 116.

35 Ibid., h. 125.

(33)

Selain tema berbentuk tradisional, tema dengan jenis lain, yakni tema non-tradisional. Tema jenis ini merujuk pada pengertian tema yang mengangkat sesuatu tidak lazim, melawan arus, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, mengejutkan, atau berbagai reaksi afektif lain36 – berbanding terbalik dengan tema tradisonal. Tema jenis ini bersifat melawan, mengkritik, dan membongkar status quo dari sistem pengetahuan yang ada.

b. Berdasarkan Tingkatan Pengalaman Jiwa

Kategorisasi dalam tema ini disusun oleh Shipley berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa (pemaknaan). Terdiri dari lima tingkatan yang disusun dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat yang paling tinggi, di antaranya sebagai berikut:37

1) Man as Molecul

Tingkatan pertama, tema man as molecul atau tema tingkat fisik, merupakan tema yang lebih banyak menyangkut dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik dari pada kejiwaan. Tema ini lebih memberikan penekanan atau porsi lebih besar kepada mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan yang bersangkutan.

2) Man as Protoplasm

Tingkatan kedua, tema man as protoplasm atau tema tingkat organik, merupakan tema yang yang lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas – suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.

3) Man as Socius

Tingkatan ketiga, tema man as socius atau tema tingkat sosial, merupakan tema yang lebih banyak menyangkut masalah-masalah sosial, seperti masalah

36 Ibid., h. 127.

37 Ibid., h. 130-132.

(34)

ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih antar sesama, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya munsul dalam karya yang berwujud kritik sosial.

4) Man as Individualism

Tingkatan keempat, tema man as individualism atau tema tingkat egois, merupakan tema yang lebih banyak menyangkut masalah individualitas manusia.

Seperti, masalah egoisitas, martabat, harga diri, dan sikap atau sifat tertentu masalah lainnya yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.

5) Divine

Tingkatan kelima, tema divine, merupakan tema yang lebih banyak menyangkut masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religionalitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

c. Berdasarkan Tingkat Keutamaan

Kategorisasi tema berdasarkan tingkat keutamaan atau intensitas terbagi menjadi dua jenis, yakni tema mayor dan tema minor.

1) Tema Mayor: tema mayor atau tema pokok cerita merujuk pada makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Tema mayor bersifat sebagian besar, untuk tidak dikatakan kesuluruhan, dari yang dikandung oleh karya yang bersangkutan.

2) Tema Minor: tema minor atau tema tambahan merujuk pada makna-makna tertentu yang merupakan makna tambahan. Tema minor bersifat sebagaian kecil, bagian dari keseluruhan, dari yang dikandung oleh karya yang bersangkutan.

(35)

3. Sarana-sarana Sastra

Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detil cerita agar tercapai pola-pola bermakna.38 Sarana-sarana sastra ini penting keberadaannya sebagai alat untuk mengungkap makna-makna yang dikandung oleh struktur faktual dalam cerita. Sarana-sarana sastra, menurut Stanton, terdiri dari sudut pandang dan gaya bahasa.

a. Sudut Pandang

Sudut pandang (point of view) adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita.39 Sudut pandang dikembangkan menjadi suatu teknik atau strategi yang dipilih untuk menarasikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang terdapat dalam cerita. Lebih lanjut, sudut pandang tidak hanya berhenti pada perkara teknis belaka.

Sudut pandang juga dapat disamakan dengan istilah

“pengisahan” – fokalisasi atau focalization.40 Artinya, pemilihan sudut pandang berhubungan dengan visi atau tujuan penyampaian makna dan gagasan pengarang, lewat cerita tersebut agar dapat sampai kepada pembaca secara jelas.

Selanjutnya, sudut pandang dikategorisasikan menjadi empat jenis, di antaranya sebagai berikut:

1) Pada “orang pertama-utama” (persona pertama;

Aku Utama”): sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri.

2) Pada ‘”orang pertama-sampingan” (persona pertama; “Aku Sampingan/Tambahan”): cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan).

3) Pada “orang ketiga-terbatas” (personal ketiga;

“Dia Terbatas”): pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai

38 Stanton, Op.Cit., h. 46.

39 Abrams, Op.Cit, 231.

40 Nurgiyantoro, Op.Cit., 339.

(36)

orang ketiga hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja.

4) Pada “orang ketiga-tidak terbatas” (persona ketiga; “Dia Mahatahu”): pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketidak tidak satu karakter pun hadir.

b. Gaya Bahasa

Fiksi sebagai “dunia dalam kemungkinan” mensyaratkan kebertautan yang erat dengan penggunaan bahasa. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra yang mengemban fungsi utamanya, yaitu fungsi komunikatif.41 Pengarang diharuskan melakukan pemilihan khusus tentang penggunaan bahasa yang khas – yang berbeda-beda dengan pengarang lain – untuk memastikan ide besar dalam karya dapat tersampaikan dengan baik kepada pembacanya. Pemilihan yang khas dari pengarang tersebut yang diistilahkan sebagai gaya bahasa.

Stone mengungkapkan bahwa gaya (sebutan untuk gaya bahasa yang digunakannya) adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.42 Abrams menambahkan, gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.43 Gaya bahasa ini meliputi berbagai aspek, seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora.44

Berbagai aspek dalam gaya bahasa tersebut bersifat khas di antara pengarang. Setiap pengarang memiliki gaya yang berbeda dengan lainnya. Penggunaan gaya bahasa selain bersifat

41 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 364.

42 Stanton, Op.Ciit., h. 61.

43 Abrams, Op.Cit., h. 303.

44 Stanton, Op.Cit., h. 61.

(37)

personal juga seringkali dipengaruhi oleh tema yang diangkat dalam cerita. Bahkan, gaya bahasa secara khusus dapat menandai penulis, aliran, periode, dan genre tertentu.45

c. Amanat

Amanat atau dalam istilah lain disebut “moral” adalah suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Amanat berupa pesan-pesan yang dapat diperoleh pembaca dari sebuah cerita melalui petunjuk langsung atau pun tidak langsung. Lebih lanjut, bahkan, amanat sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya (cerita) itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.46

C. Pandangan Identitas dan Kritik Anti-Esensialisme

Persoalan identitas merupakan tema penting yang menjadi salah satu sentra pembahasan dalam diskursus kebudayaan (culture studies) di Barat di sepanjang dekade 1990-an. Pengaruh spirit pascamodernisme47 dan pascakolonialisme48 dalam menggugat wacana mapan membuahkan cara pandang baru dalam berbagai hal, termasuk persoalan identitas.

Sebelumnya, identitas dipahami sebagai suatu entitas yang inheren dimiliki sejak awal oleh tiap-tiap individu. Identitas dalam pandangan ini didefinisikan selayaknya ‘esensi’ yang alamiah, abadi, universal, dan selalu ada – melekat; dimiliki– oleh tiap-tiap individu. Asumsi yang mengatakan identitas adalah ensensi yang mutlak dikenal dengan istilah identitas esensial. Identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup, kita bisa mengatakan bahwa orang memiliki ‘esensi’ diri yang kita sebut dengan identitas.49 Hall mengungkapkan identitas esensial dipandang sebagai nama dari ‘satu diri sejati’ kolektif dan dipandang terbentuk di

45 Baldick, Op.Cit, h. 247.

46 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 430.

47 Istilah pascamodernisme mengacu pa

Referensi

Dokumen terkait