• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filosofi Pendidikan dan Iwan Fals SKRIPS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filosofi Pendidikan dan Iwan Fals SKRIPS"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Filosofi Pendidikan dan Iwan Fals

segala hal tentang pendidikan dan filosofi iwan fals serta seluk beluknya ada disini

Sabtu, 31 Juli 2010

SKRIPSI TENTANG LAGU IWAN FALS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Perkembangan karya sastra selalu berdampingan dengan lembaga sosial tertentu dalam masyarakat karena sastra tidak dapat dilepaskan dengan keadaan yang ada di masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial yang mencakup hubungan antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seeorang (Damono, 1987: 1). Karya sastra adalah intansi sosial dan sastra dalam penelitian dapat dikaitkan dalam situasi tertentu (Semi, 1988: 109).

Menciptakan sebuah karya sastra, pengarang atau sastrawan sebenarnya tidak bisa lepas dari keadaan sosial yang ada pada saat ia menciptakan karyanya. Dengan demikian, sebuah karya sastra amat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik masyarakat setempat maupun keadaan sosial pengarang itu sendiri yang beperan sebagai pencipta karya sastra itu. Hubungan antara pengarang dengan masyarakat itu sangat erat karena suatu

masyarakat tertentu yang menghidupi seorang pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu jenis karya tertentu. Dengan sendirinya masyarakat merupakan faktor yang menentukan apa yang harus ditulis pengarang, bagaimana menulisnya, untuk siapa karya sastra itu ditulis, dan apa tujuan menulis hal itu. Oleh sebab itulah, sebuah hasil karya sastra merupakan cerminan masyarakat pada saat karya sastra itu di ciptakan.

Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto lahir di Jakarta, 3 september 1961 adalah seorang penyanyi beraliran balada yang menjadi legenda hidup Indonesia. Lewat lagu-lagunya Iwan Fals berusaha menyuarakan apa yang selama ini terjadi di masyarakat Indonesia. Lewat lagu-lagunya ia juga banyak mengkritik atas perilaku sekelompok orang seperti wakil rakyat, empati bagi kelompok marginal misalnya lagu siang seberang istana, lonteku atau tentang bencana yang terjadi di Indonesia. Kadang-kadang diluar Indonesia pun dikritik misalkan Ethiopia mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya

Kesenian, khususnya seni musik, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan zaman bersangkutan. Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah era Orde Baru yang dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada penghujung 1990-an. Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan ikonnya Iwan Fals. Mereka telah menelurkan sejumlah album dan salah satu yang menonjol adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini me-wakili pandangan hidup mereka, sekaligus

mengekspresikan semangat zamannya. Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami I, kita perlu meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.

Perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak terlepas dari faktor situasi sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya kesusastraan, peristiwa yang cukup penting dan menentukan bagi kehidupan kesusastraan untuk masa berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dengan paham humanisme universalnya dan kekalahan kubu Lekra dengan paham realisme sosialnya. Teeuw (1986: 43) mencatat bahwa di bidang kebudayaan, segala macam kelompok dan perorangan, yang praktis tutup mulut sejak 8 Mei 1964, menjadi kembali bergerak dan mulai memperdengarkan suara mereka. Koran-koran dan majalah yang pernah dilarang pada masa Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Juga terbit majalah baru, yakni Horison sebagai majalah sastra. Keith Foulcher (Prisma, 1988: 20) mengatakan bahwa sebagian dari karya sastra terpenting awal periode Orde Baru dapat dilihat sebagai pemekaran energi yang kemungkinan tampak tidak mempunyai tempat dalam iklim sekitar tahun 1965, ketika pendefisian kesetiaan politik mendominasi sebagian kerja dan hasil kreatif orang Indonesia.

▸ Baca selengkapnya: lingkaran emas filosofi pendidikan

(2)

Surmadjo (1984: 6-7) membuat analisis sosiologis dengan menyebut tiga faktor sebagai titik tolak. Latar belakang sosiologis munculnya pembaruan dan inovasi tersebut, selain karena situasi sosial politik awal Orde Baru, Jakob Sumardjo menambahkan dengan faktor maecenas Dewan Kesenian Jakarta dan faktor pergantian generasi sastra. Dengan adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian memperoleh subsidi dari

pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk berkreasi secara merdeka. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki ditambah dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan mencipta semakin semarak. Sedangkan faktor pergantian generasi sastra menekankan pada munculnya kecenderungan untuk bereksperimen pada sastrawan yang baru mulai karier kesastraannya pada dekade 70-an, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma dan Putu Wijaya.

Sebagai hasil olah pikir atau kreativitas seseorang seniman, karya sastra memancarkan hal-hal yang tersangkut pada proses sosio budaya dimana karya sastra itu berada. Hal-hal yang terpancarkan oleh karya sastra

disebabkan keterlibatan seseorang seniman dalam memandang, menghayati, dan menginterpretasikan suatu yang sedang terjadi dalam masyarakatnya hal ini bisa berupa pola berpikir, ekonomi, sosial, politik, agama maupun seni.

Dengan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa penulis berusaha meneliti tentang analisis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals. Selain tertarik atau suka dengan lagu-lagu Iwan Fals penulis juga ingin mengetahui lebih jauh tentang lirik lagu iwan fals yang berhubungan kritik sosial.

1.2 Identifikasi Masalah

Mengapresiasi sastra dapat dilakukan dengan meninjau unsur-unsur didalamnya yang meliputi unsure intrinsik dan unsure ekstrinsik. Didalam penelitian, penulis mengkaji diluar yang membentuk karya sastra itu sendiri. Unsur diluar itu meliputi sosiologi yang dalam hal ini membahas tentang unsur sosial politik dan sosial ekonomi yang pada kumpulan lagu Iwan Fals.

Masalah-masalah yang dibahas dalam skripsi ini terangkum dalam lingkup sosiologi yang berhubungan dengan sastra. Sedangkan masalah sosiologi ini mencangkup masalah kompleks dan beragam. Banyaknya definisi yang diberikan oleh para ahli sebagian besar mempunyai inti yang sama yaitu proses sosial dalam masyarakat. Untuk memperjelas penulis kutipan dua buah pendapat sosiologi dari para ahli.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk didalamnya perubahan sosial. Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan masyarakat yang katagoris, murni, abstrak, berusaha memberikan pengertian-pengertian umum (Soekanto. 1982: 50)

Sedangkan menurut Drs.Atar Semi (1985: 50) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan di atas maka penulis berusaha membahas tentang unsur ekstrinsik yang di sini mencangkup tentang kritik sosial ekonomi dan sosial politik yang ada pada lagu-lagu Iwan Fals. 1.3 Batasan Masalah

Mengingat permasalahan sosial yang ada dalam lagu-lagu Iwan Fals sangat luas dan kompleks, maka

permasalahan di atas perlu dibatasi dengan maksud untuk mempermudah pembahasan yang memfokuskan pada masalah-masalah yang akan kami kemukakan dibawah ini .

Adapun masalah-masalah tersebut penulis batasi pada : 1. Mengetahui unsur sosial ekonomi dalam lagu-lagu Iwan Fals 2. Mengetahu unsur sosial politik dalam lagu-lagu Iwan Fals 1.4 Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pembatasan masalah yang diambil dari jangkauan masalah sehingga penulis dapat membuat rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah unsur sosial ekonomi pada analisis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals pada saat itu? 2. Bagaimanakah unsur sosial politik pada analis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals pada saat itu? 1.5 Tujuan Penelitian

Langkah penelaah sastra tidak lepas dari suatu tujuan, sedangkan tujuan dari penelitian tersebut meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui unsur sosial yang terdapat dalam lagu-lagu Iwan Fals 1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui unsur kritik sosial ekonomi yang ada pada lagu-lagu Iwan Falas 2. Mengetahui unsur kritik sosial politik yang ada pada lagu-lagu Iwan Fals 1.6 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(3)

2. Manfaat Praktis

Dari segi kemanfaatan maka sejauh manakah kopetensi ilmu yang penulis kuasai dan penulis dapatkan selama penulis menjadi mahasiswa dapat diterapkan. Disamping itu diharapkan dari hasil penelitian ini dapat membantu pembaca/peminat. Dalam persoalan pemahaman tentang dunia kesastraan Indonesia pada umumnya dan mengetahui kritik sosial yang ada pada lagu Iwan Fals pada khususnya.

1.7 Asumsi

Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau budaya serta peradapan yang telah menghasilkannya. Harus dipelajari dalam kontek seluas-luasnya, dan tidak dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari faktor-faktor dan cultural yang rumit.

Dengan demikian juga dengan lagu-lagu Iwan Fals , tidak dapat dipahami maknanya apabila dipisahkan dengan lingkungan sosial yang terciptanya lagu-lagu itu. Oleh sebab itu seorang Iwan Fals didalam menciptakan karyanya ytidak lepas dari keadaan masyarakat dan tak lepas juga dari situasi pada saat ia menciptakan lagu-lagunya.

Sehubungan dengan latar belakang tersebut, kritik sosial dalam kumpulan lagu Iwan Fals, ini mengandung unsur yang kompleks yang meliputi unsure sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya, sosial religi bahkan unsur percintaan juga ada didalam lagu-lagu Iwan Fals. Didalam menganalisis lagu-lagu Iwan Fals ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan menggunakan metode dialektik yang mana metode dialektik ini sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya sedangkan data penelitiannya adalah teks.

Pendekatan sosiologi ini bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan dari kehidupan masyarakat. Melalui sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu kritik sastra banyak mengandung unsur-unsur sosial yang mana berpedoman pada kehidupan masyarakat.

1.8 Metode sekilas 1.8.1 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata “metodos” dan “logos”. Metodos metode atau cara-cara untuk melakukan pekerjaan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi metodologi itu berarti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bagaimana cara-cara melakukan pekerjaan dengan jalan bagaimana suatu tujuan dapat tercapai.

Dalam karya ilmiah skripsi, selalu dipergunakan satu atau beberapa metode yang dipakai untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan demi kelengkapan karya ilmiah tersebut. Demikian juga dengan penulis, dalam menyusun skripsi yang membahas tentang kritik sosial menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan proses, tujuan, sifat dan teori yang penulis anut. Sedangkan metode yang baik adalah metode yang dipilih secara tepat, yang umumnya berupa metode yang bersifat enklitik atau camputan atau gabungan dari dua atau lebih metode, hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih lengkap (Udin, Syahrul, 1988:23).

Untuk menyesuaikan dengan judul yang penulis sajikan maka metode penelitian yang sesuai dengan tujuan dan prosesnya adalah metode dialektik. Alasan pemilihan metode dialektik adalah bahwa metode ini berangkat dari pandangan bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat atau cerminan kehidupan manusia dan alam. Dengan demikian metode ini merupaya mengaitkan sejauh mana karya sastra mampu merefleksi realita sosial tertentu (Udin, 1988 : 25)

Mekanisme kerja metode dialektik ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis. Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di samping interdependensinya. Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya. Prinsip-prinsip dialektik hampir sama dengan hermeutik yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode ini, kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan makna secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektik dianggap sebagai energi pemahaman obyek (Asep, 2007: 8).

1.8.2 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis berusaha menggunakan pendekatan yang pas sesuai dengan apa yang penulis ingin teliti, maka dari itu penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan mayarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Suwandi, 1994: 77).

(4)

agak lebih general. Yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.

Wellek dan Werren (1956: 84) membuat klsifikasi masalah sosiologi sastra sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Yang ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

1.8.3 Jenis Dan Sumber Data 1.8.3.1 Jenis Data

Menurut Sutrisno Hadi (1989: 66) pada prinsipnya dalam suatu penelitian ada dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang hanya dapat diukur secara tidak langsung sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur secara langsung atau secara tepatnya dapat dihitung. Dari kedua jenis data tersebut, jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Karena data yang dikumpulkan diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat yang berhubungan dengan kategori, karakter, sifat, fenomena, atau gejala sesuatu.

1.8.3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan album iwan fals dari tahun 1983 – 2007, yang mana album tersebut sudah diambil beberapa lagu yang cocok untuk dijadikan sampel penelitian sesuai dengan judul analis unsur ekstinsik kumpulan lagu Iwan Fals yang ingin diteliti penulis.

1.8.4 Populasi Dan Sampel 1.8.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan album Iwan Fals dari tahun 1983 -2007 yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Sumbang (1983) 2. Barang Antik (1984) 3. Sore Tugu Pancoran (1985) 4. Aku Sayang Kamu (1986) 5. Lancar (1987)

6. Wakil Rakyat (1988) 7. Mata Dewa (1989) 8. Kantata Takwa (1990) 9. Swami II (1992) 10. Hijau (1993) 11. Dalbo (1994)

12. Kantata Samsara (1998) 13. Best Of The Best (2000) 14. In Collaboration with (2003) 15. Manusia ½ Dewa (2005) 16. Iwan Fals In Love (2006) 17. 50 : 50 (2007)

1.8.4.2 Sampel

Untuk kepentingan penelitian ini diambil 25 lagu yang dijadikan sampel, lagu-lagu tersebut meliputi : 1. Surat Buat Wakil Rakyat

2. Oemar Bakrie 3. Oh ya

4. Galang Rambu Anarki 5. Tikus-tikus Kantor 6. Bongkar

7. Sore Tugu Pancoran 8. Belalang Tua 9. Desa

10. Kembang Pete 11. Contrasmu Bisu

12. Bangunlah Putra Putri Ibu Pertiwi 13. Potret

14. Bento

(5)

17. Sumbang

18. Mereka Ada Di Jalan 19. Pesawat Tempur 20. Barang Antik 21. Manusia ½ Dewa 22. Asyik Gak asyik 23. Negeriku

24. O Ea Eo (Orang Pinggiran) 25. Sugali

Alasan penulis menggunakan 25 sampel pada kumpulan lagu Iwan Fals yaitu selain mempermudah penulis dalam penulisannya, lagu-lagu tersebut juga telah mewakili karakter dari seorang Iwan Fals.

1.9 Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi (pengamtan) dan teknik dokumentasi. Secara rinci teknik observasi dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap obyek secara tidak langsung (Indirect Observation), yaitu pengamatan yang dilakukan melalui perantara suatu alat atau cara, misalnya dengan membaca dan memahami isi yang ada didalam kumpulan lagu Iwan Fals, sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi obyek pengamatan. Teknik dokumentasi suatu cara

pengumpulan data melalui dokumen-dokumen. Dalam pelaksanaan teknik dokumen ini, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen berupa pengumpulan lagu-lagu Iwan Fals yang telah beredar dipasaran. Hal ini sangat membantu sekali di dalam pengadaan penelitian.

1.9.1 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data sesuai dengan judul “Analisis Unsur Ekstrinsik Kumpulan Lagu Iwan Fals” penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data yaitu kumpulan lagu Iwan Fals

2. menyeleksi data, yaitu memilih dan memilah data yang perlu dianalisis 3. Mengorganisasi dan mengurutkan data

4. Mendeskripsikan data, yaitu menguraikan data disertai penjelasan dan pembahasannya.

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Lagu

Manusia dizaman sekarang ini memerlukan sebuah hiburan salah satunya adalah melalui lagu, dengan lagu manusia akan menjadi tenang menjadi frees dalam berfikir sehingga dapat memulai aktifitas keseharian dengan baik.

Setiap lagu pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya. Lagu berisi barisan kata-kata yang dirangkai secara baik dengan gaya bahasa yang menarik oleh komposer dan dibawakan dengan suara indah penyanyi.

2.1.1 Pengertian Lagu

Lagu adalah salah satu cabang seni yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Bahkan sejak kita masih bayi, mugkin kita sudah dikenalkan dengan seni musik oleh ibu kita, yaitu lewat nyanyian-nyanyian sederhana misalnya: lagu Nina Bobo, Pelangi, Pak Pos, dan banyak lagi. Nyanyian-nyanyian itu juga menyemarakkan hidup kita hingga memasuki masa pendidikan prasekolah maupun awal-awal sekolah. Selama pendidikan sekolah formal maupun di lingkungan kita masing-masing, kita pun selalu dikenalkan nyanyian-nyanyian yang makin lama makin rumit seiring dengan makin bertambahnya tingkat pendidikan kita. Lagu yang kita kenal pun bukan lagi hanya sekedar musik vokal, tapi lebih dari itu kita pun mengenal instrumen-instrumen lagu baik itu instrumen ritmis maupun melodis. Dan lagu akan selalu mengiringi hidup kita hingga kita dewasa bahkan hinggga kita kembali kepangkuan-Nya.

(6)

seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. 2.1.2 Fungsi Lagu

Lagu secara umum sangat penting bagi kehidupan masyarakat, tanpa lagu masyarakat tidak akan pernah merasakan suatu kenyamanan di dalam menjalankan suatu aktifitas, berikut ini fungsi lagu antara lain sebagai berikut :

1. Media Hiburan

Masyarakat secara umum memahami lagu sebagai media hiburan. Radio, musik rekaman, film, telivisi dan internet memberikan arah yang jelas terhadap citra lagu sebagai media hiburan.

2. Media Pengobatan (therapy)

Beberapa tabib muslim pada abad ke-9 dan ke-10 telah menggunakan lagu sebagai sarana penyembuh penyakit, baik jasmani maupun rohani. Seorang filusuf Al-farabi, telah menulis risalah tentang pengobatan melalui lagu. Beethoven, tanpa disadarinya juga membuktikan bahwa lagunya telah menjadi alat penyembuh penyakit jiwa. 3. Media Peningkatan Kecerdasan (Intelegensi)

Otak manusia terbagi menjadi otak kanan dan otak kiri. Keseimbangan dua bagian otak tersebut dapat

mempengaruhi kecerdasan manusia. Otak kiri merupakan pengendali fungsi intelektual, sedangkan otak kanan pengendali fungsi spontanitas dan mental. Lagu dapat dijadikan sebagai alat penyeimbangan otak kiri. Daya estetis lagu dapat dimanfaatkan sebagai penambah intelegensi.

4. Suasana Upacara Keagamaan

Lagu keagamaan dapat mengilhami penganut suatu agama untuk selalu mengingatnya, baik dalam upacara adat, upacara pernikahan, maupun upacara kematian.

Unsur-unsur yang Membangun Lagu 2.2.1 Unsur-unsur Intrinsik

Banyaknya para ahli sastra memberikan pendapatnya tentang adanya unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra memberika gambaran kepada kita bahwa penyikapan yang diambil oleh para ahli sastra itu berbeda-beda. Misalnya, Sudjiman (1988:5-7) dalam bukunya memahami cerita rekaan menyebutkan adanya unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra yaitu : (1) Tokoh caracterzation, (2) Alur dan plot, (3) Latar atau setting, (5) Sudut pandang atau point of view, (6) Tehnik.

Sedangkan menurut Aminuddin, (1991 : 67-91) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Apresiasi Karya Sastra menyebutkan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra adalah : (1) Penokohan atau perwatakan, (2) Alur, (3) Tema, (4) Setting, (5) Titik pandang, (6) Gaya.

Ahli sastra lain yang juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur intrinsik karya sastra yaitu Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam bukunya Apresiasi Kesusastraan, mengemukakan unsur-unsur intrinsik tersebut meliputi : (1) Karakter, (2) Plot, (3) Tema, (4) setting, (5) Point of view, (6) Gaya, (7) Suasana (1988 : 48-109) Menilik pendapat-pendapat ahli sastra mengenai unsur-unsur intrinsik yang membangun sebuah karya sastra, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya unsur-unsur pokok dalam karya sastra itu adalah : (1) Tokoh, (2) Tema, (3) setting, (4) Plot, (5) Sudut pandang.

Sedangkan unsur-unsur tambahan yang kadang-kadang tiap pendapat memberikan definisi yang berbeda mengenai ketiga unsur tambahan yaitu : (1) gaya, (2) Tema, (3) Suasana.

Sebenarnya masih banyak pendapat yang mengemukakan tentang unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra, tetapi apabila penulis mengutip semua pendapat itu, maka tulisan ini hanya akan berisi pendapat-pendapat tentang unsur-unsur intrinsik saja, padahal tujuan sebenarnya dari tulisan ini buakn semata-mata menitik beratkan pada unsur intrinsik tetapi bahkan sebaliknya, tulisan ini akan mengangkat salah satu dari unsur ekstrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra. Uraian tentang unsur-unsur intrinsik akan penulis kupas di bawah ini.

2.2.1.1 Alur

Alur atau plot dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1991:83).

Ada pula yang mengatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang membangun cerita secara utuh dan saling mengait (Syahrul, 1988:46).

Sedangkan menurut Sunardjo dan Saini (1988:48) dalam bukunya yang diberi judul Apresiasi Kesusastraan bahwa apa yang disebut plot atau alur dalam cerita memang sulit dicari ia tersembunyi dibalik jalannya cerita. Namun jalannya cerita bukanlah plot, jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Disebutkan pula intisari plot adalah konflik.

Dari ketiga pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sastra itu dapat ditarik kesimpulan bahwa alur adalah rangkaian dalam suatu cerita tetapi bukan semata-mata jalan cerita, melainkan manifestasi cerita.

(7)

menyedihkan, dan solution yakni penyelesaian yang masih tertunda), (Udin, 1988:46). Plot sering juga dikupas menjadi elemen-elemen yaitu :

(1) Pengenalan (2) Timbulnya konflik (3) Konflik memuncak (4) Klimaks

(5) Pemecahan soal (Sunardjo, 1988:49).

Montage dan Hen Shaw menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot tersusun dalam tahapan eksposition, yaitu tahapan awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita, tahap inciting force, yaitu tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku, ricing iction, yaitu situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonfliks, crisis, yaitu situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya, klimax, yaitu situasi puncak ketika konflik berada pada kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu

mendapat kadar nasibnya sendiri-sendiri, falling action, yaitu kadar konflik sudah menuntun sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita. 2.2.1.2 Tema

Istilah tema menurut Scharbach berasal dari bahasa latin yang berarti ”tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut tema adalah merupakan ide yang mendasari suatu cerita, sehingga berpesan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Aminuddin, 1991:91)

Dalam buku Apresiasi Kesusastraan yang dikarang oleh Jacob Sumardjo dan Saini mengungkap tema sebagai ide sebuah cerita, tema tidak selalu berwujud moral.

Sedangkan menurut Udin menyebutkan tema adalah ide dasar yang mendasari keseluruan cerita secara utuh. Sedang tema diperoleh setelah pembaca atau kritikus memahami pokok persoalan (subject matter) yang ada dalam cerita (1988:48). Pada dasarnya tema merupakan ide cerita yang menjadi dasar dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakan pengarang.

2.2.1.3 Penokohan

Masalah penokohan ini merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah karya fiksi amat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak dan akhirnya membentuk alur cerita. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita yang disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan (Semi, 1988:37).

Lain lagi menurut Syahrul Udin dalam bukunya yang berjudul Pra Pengantar Belajar Sastra menyebutkan yang dimaksud perwatakan atau penokohan adalah semua pelaku-pelaku yang terlibat dalam cerita dengan segala perwatakannya yang saling mengait. Ditinjau dari frekuensi kemunculannya dan tindakan/lakuan yang dilakukan, dikenal tokoh tambahan dan tokoh utama. Sedangkan ditinjau dari perwatakannya, dikenal tokoh protagonis, yaitu tokoh yang memiliki watak baik dan menimbulkan rasa simpati bagi pembaca, dan tokoh antagonis, yaitu tokoh yang memiliki watak buruk yang biasanya tidak disenangi oleh pembaca atau tidak menimbulkan rasa simpati bagi pembaca (1988:47).

Dalam memperkenalkan tokoh dan watak tokoh pada fiksi ada dua macam cara yaitu : (1) secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak/karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya; (2) secara dramatis, yaitu pengarang menggambarkan watak yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik/postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya,(3) dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain (Semi, 1988:41).

2.2.1.4 Latar

Menurut Semi, yang dimaksud dengan latar atau landas tumpu adalah cerita tentang lingkungan tempat peristiwa terjadi (1988:46).

Pendapat di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Drs. Aminuddin dalam bukunya Pengantar Apresiasi Karya Sastra yang memberikan pengertian setting adalah latar peristiwa dalam karya sastra baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi psikologis (1991:66).

Sedangkan menurut Drs. Syahrul Udin, yang dimaksud dengan latar adalah tempat, waktu, peristiwa kejadian yang melatarbelakangi cerita sehingga cerita tampak hidup dan berjalan lancar serta wajar (1988:45). Setting yang di dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu (Sumarjo, 1988:75-76). Uraian mengenai latar/setting yang dikemukakan sekian banyak oleh para ahli di atas pada hakekatnya sama yaitu menekankan pada tempat cerita atau peristiwa sebuah cerita terjadi baik waktu, maupun kejadian-kejadian lain yang melatarbelakanginya.

2.2.1.5 Sudut Pandang

(8)

yang terlibat dalam cerita (Udin, 1988:49).

Semi menyebutkan pusat pengisahan sebagai sudut pandang atau titik pandang yaitu posisi dan penempatan diri pengarang dalam seritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa yang terdapat dalam cerita itu (1988:57). Sedangkan Jakob Sumardjo dan saini K.M. dalam bukunya, Apresiasi Kesusastraan mengemukakan pengertian point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita (1988:82).

Titik kisah ini umumnya dapat dibedakan menjadi; (1) pengisah atau pengarang sebagai pelaku atau narrator omniscient; (2) pengarang sebagai observer; (3) pengarang sebagai pengamat yang serba tabu segala perilaku batiniah pelaku-pelaku lainnya atau narrator observer omniscient; (4) pengarang sebagai pelaku tambahan atau ketiga atau sebagai orang pertama narrator the thirdperson omniscient.

2.2.1.6 Gaya

Istilah gaya berasal dari istilah Style yang berasal dari bahasa latin stilus dan mengandung arti leksikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara orang atau pengarang menyampaikan gagasan dengan menggunakan medium bahasa yang indah dan harmonis serta mampu

memuaskan maknanya, serta suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1991:72).

Menurut Atar Semi dalam bukunya Anatoni Sastra menyebutkan gaya penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Tingkah laku berbahasa ini merupakan suatu sarana sastra yang amat penting tanpa bahasa, tanpa gaya bahasa, sastra tidak ada (1988:47).

Gaya adalah cara khas pengungkapan pengarang, cara bagaimana seseorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerita, itulah gaya seorang pengarang. Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri (Sumardjo, 1988:92).

Pendapat jacob Sumardjo hampir sama yang di kemukakan oleh Udin yang mengemukakan gaya merupakan cara pengarang mengungkapkan pribadinya lewat kata atau kalimat yang menimbulkan efek-efek tertentu bagi pembaca (Udin, 1988:48).

2.2.2 unsur-unsur Ekstrinsik

Dalam menciptakan sebuah karya sastra tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur yang secara utuh membangun sebuah karya sastra, tetapi dibangun unsur-unsur luar yang turut menentukan bentuk maupun isi sebuah karya sastra.

Menurut Wellek dan waren, bahwa unsur-unsur ekstrinsik yang membangun sebuah karya sastra adalah: (1) Biografi/ psikologi pengarang, (2) Kemasyarakatan dan kesejarahan, (3) ideologi, filsafat, teologi, (4) Semangat zaman, atmosfer, atau iklim intelektual (Udin, 1988:45).

Lain lagi menurut (Putu wijaya, 1985:50-51). Dalam bukunya yang berjudul Teori Sastra yang di dalamnya disebutkan adanya unsur-unsur ekstrinsik karya sastra dalam bentuk pertanyaan yang tersusun menjadi enam pertanyaan sebagai berikut: (1) Siapa pegarangnya, (2) Dalam keadaan bagaimana ia mengarang, (3) Mengapa dan kapan ia mengarang, (4) Mengapa karya itu disenangi pembaca, (5) Bagaimana isi cerita dengan selera masyarakat, (6) adakah hubungan dengan baris, penerbit, mutu, atau kadar sastra.

Antara dua pendapat yang penulis kemukakan dalam uraian mengenai unsur-unsur ekstrinsik karya sastra yaitu Wellek dan Werren dan Putu Wijaya yang masing-masing memberikan rincian unsur-unsur ekstrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra. Walaupun kelihatannya berbeda, karena dua pendapat itu yang pertama menampilkan pertanyaan, yang kedua berupa pertanyaan, tetapi sebenarnya kedua pendapat itu tidak jauh berbeda bahkan hampir sama antara yang satu dengan yang lain. Misalnya pada biografi atau psikologis pengarang dengan siapa pengarangnya, kedua sama-sama membahas tentang seputar keadaan pengarang dan segala segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup dan kehidupan pengarang.

Mengenai uraian dari masing-masing unsur ekstrinsik yang dikemukakan dari dua ahli sastra itu akan penulis ambil dari pendapat Wellek dan Werren, hal itu karena menurut pendapat penulis lebih ringkas dan mudah dipahami.

2.2.2.1 Sosial

2.2.2.1.1 Pengertian Nilai Sosial

(9)

Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.

2.2.2.1.2 Jenis Sosial

Menurut Emile Durkheim (1858-1917), sosiologi meneliti lembaga-lembaga dalam masyarakat dan proses-proses sosial. Adapun jenis-jenis sosial meliputi: (a) sosial politik, (b) sosial ekonomi, (c) sosial budaya, (d) sosial agama, (e) sosial hukum dsb.

2.2.2.2 Sosial Ekonomi

Sosiologi ekonomi mempelajari berbagai macam kegiatan yang sifatnya kompleks dan melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumen barang dan jasa yang bersifat langka dalam masyarakat.

Baik ekonomi maupun sosiologi merupakan disiplin ilmu dengan tradisi ilmu yang mapan. Munculnya ekonomi sebagai disiplin ilmu dapat terlihat dari fenomena ekonomi sebagai suatu gejala bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang langka yang diawali oleh proses produksi, konsumsi dan pertukaran.

Dengan sendirinya dalam pemenuhan kebutuhannya atau dalam melakukan tindakan ekonomi, seseorang akan berhubungan dengan institusi-institusi sosial seperti pasar, rumah sakit, keluarga dan lainnya. Smelser kemudian mendefinisikan ilmu ekonomi: “Studi mengenai cara manusia dan masyarakat memilih, dengan atau tanpa memakai uang, untuk menggunakan sumber daya produktif yang dapat mempunyai alternatif untuk

menghasilkan berbagai komoditi dan mendistribusikannya untuk konsumsi, sekarang atau masa depan, di antara berbagai orang dan kelompok orang dalam masyarakat.

2.2.2.3 Sosial Politik

Perkembangan sosiologi politik salah satunya dapat ditelusuri melalui penyimakan dinamika yang melekat dalam sejarah atau asal mula lahirnya disiplin ilmu tersebut. Berbicara tentang sejarahnya, sosiologi politik sebetulnya lahir dari dinamika tradisi logika dialektik dalam perkembangan scientific, yakni tesis, antitesis, dan sintesis. Sosiologi politik merupakan disiplin ilmu yang muncul dari sintesis ilmu sosiologi dan ilmu politik yang telah berkembang sebelumnya. Bahkan proses sintesis ilmu, seperti penggabungan sosiologi dan politik menjadi sosiologi politik telah menggejala dikalangan ilmuan. Mereka banyak memikirkan cara melihat sesuatu realitas dengan analisis perspektif penggabungan disiplin ilmu. Misalnya, psikologi politik, politik ekonomi, sosiologi ekonomi, komunikasi politik, sosiologi komunikasi, dan sebagainya (Sahid, 2007:41).

2.2.2.4 Pendekatan Sosiologis

Hampir semua manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga. Walaupun anggota-anggota keluarga tadi selalu menyebar, pada waktu-waktu tertentu mereka pasti akan berkumpul seperti misalnya pada makan pagi, siang dan malam. Setiap anggota mempunyai pengalaman-pengalaman masing-masing dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya di luar rumah. Bila mereka berkumpul, terjadilah tukar menukar pengalaman diantara mereka. Pada saat-saat demikian, yang terjadi bukanlah

pertukaran pengalaman semata, tetapi para anggota tersebut mungkin telah mengalami perubaan-perubahan, walaupun sama sekali tidak disadari (Soerjono, 2006:102)

2.2.2.5 Kemasyarakatan dan Kesejarahan

Kehidupan sosial masyarakat baik secara individu maupun kelompok dapat menjadi bahan penciptaan suatu hasil sastra. Comik kehidupan sosial masyarakat yang dapat diangkat menjadi bahan penciptaan itu dapat beraneka ragam. Mungkin berupa adat kebiasaan, pandangan hidup, maupun perilaku suatu masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan masalah politik tetapi berhubungan dengan masalah kehidupan sosial (Aminnudin, 1991:188).

2.2.2.6 Ideologi, Filsafat, dan Teologi

Pada dasarnya karya sastra merupakan ideologi, filsafat, dan teologi pengarang yang dituangkan dalam tulisan yang berbentuk karya sastra. Ideologi yang dianutnya ia jabarkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita maupun tema yang dipilih. Filsafat dan teologi tentang dirinya dapat lihat melalui karya yang diciptakannya.

2.2.2.4 Semangat zaman, Atmosfer, Iklim Intelektual

Penciptaan suatu karya sastra sering kali dipengaruhi oleh pandangan tentang kesastraan pada suatu zaman yang dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan antara karya sastra yang diciptakan oleh angkatan yang

dikelompokkan dan dinamakan Angkatan Pujangga Baru dengan karya sastra dari pengarang yang dikelompokkan dalam angkatan ’45.

(10)

dituangkan pengarang serta pada cara menyampaikan gagasan, tapi juga akan menentukan bagaimana bentuk karya sastra itu.

Pengertian Sosiologi dan Sosiologi Sastra

Bila ditinjau secara harfiah sosiologi dari kata ” Sozius”, bahasa latin, yang berarti ”kawan” dan ”Logos” yang berarti ”Ilmu menurut aturan dan sistematis”. Menurut pengertian umum sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial, ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang dikategorikan murni dan absah serta berusaha memberikan pengertian-pengertian yang berkaitan dengan masyarakat.

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemua itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

Ditinjau dari segi kemasyarakatan, sosiologi yaitu usaha mempertahankan sistem sosial dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Ini terlihat pada tataran yang dibentuk kemudian muncul sebagai lembaga hukum yang di dalamnya terdapat norma-norma yang telah disepakati dan harus ditaati oleh masyarakat.

Secara singkat obyek sosiologi adalah masyarakat secara keseluruan, serta hubungan antara orang-orang di dalam kelompok. Obyek dan materi itu meliputi gejala dan proses kehidupan dalam kelompok, proses pembentukan masyarakat, dan perkembangan masyarakat, maksudnya karya sastra berarti ciptaan, tindakan sosial masyarakat yang dilahirkan dari hasil pikiran pengarang yang selanjutnya dikomunikasikan kepada orang lain.

Meskipun sudah jelas, bahwa objek utama studi sastra adalah karya sastra, persoalan yang muncul kemudian adalah karya sastra yang mana dan seperti apa yang menjadi obyek studi sastra. Mengenai hal ini, levefere dalam Suwondo (2003:5) menyatakan bahwa karya sastra yang dapat menjadi obyek studi sastra adalah karya yang bernilai, artinya karya tersebut meskipun sederhana, tetapi mampu menguraikan berbagai pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial. Selain itu, Budi Darma (1995:59)

menjelaskan bahwa karya sastra yang pantas menjadi obyek studi sastra adalah karya sastra yang baik, dalam arti bahwa karya tersebut inspiratif, sublim, menyodorkan pemikiran, membuka kesadaran, menambah wawasan dan mempunyai daya gugah yang tinggi. Menurutnya, karya-karya yang demikian itu mampu menggugah kritikus untuk menulis karangan yang lebih baik.

Satu hal yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan obyek studi sastra adalah sifat karya sastra itu sendiri. Karya sastra adalah hasil kegiatan kreatifitas manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstaksi kehidupan, karya sastra mempergunakan bahasa sebagai mediumnya sehingga studi sastra dan linguistik berkaitan erat (Culler, 1982:2) tetapi studi utama dari studi sastra bukan medium ekspresi bahasanya, melainkan kehidupan yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra. Oleh karena itu, dalam studi ilmiah sastra, karya sastra sebagai studi memiliki karakteristik tersendiri yang khas berbeda dengan obyek ilmu-ilmu lain.

Dari uraian di atas, jelas bahwa lagu dan hasil kesusastraan lainya erat hubungannya dengan kehidupan sosial yang dipelajari dalam sosiologi. Dalam hubungan tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan penjelasan yang bermanfaat terhadap sastra. Dengan kata lain pemahaman tentang sastra belum lengkap dan sempurna, yang masih perlu dijelaskan melalui dimensi-dimensi lain, termasuk dimensi sosial yang terdapat dalam sosiologi.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, berikut ini dikemukakan beberapa pandangan dan pendapat tentang sosiologi dan sosiologi sastra menurut para ahli dan tokoh sastra. Menurut Soekanto (1990:16) secara singkat dikemukakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dan keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Sedangkan menurut Pitirim Sorokin (dalam Soekanto, 1990:20) bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara gejala-gejala sosial (misalnya, antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik), hubungan timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial, dan ciri-ciri umum semua jenis gejala sosial.

(11)

Menurut Damono (1978:2) sosiologi adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga masyarakat dan proses sosial. Hardjana (1994:74) berpendapat bahwa pembahasan secara sosiologis dapat mengembangkan ruangan yang lebih jauh lagi yakni kecenderunganuntuk menafsirkan tokoh-tokoh khayal dengan lingkungannya sebagai identik tidak lain dan tidak bukan adalah mewakili tokoh dalam suatu kelompok sosial tertentu dan lingkungan hidup kelompok tersebut. Menurut Semi (1989:52) yang dimaksud dengan sosiologi sastra adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang kehidupan sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang sedangkan menurut Prof Awang Saleh (dalam Semi, 1989:53) bahwa sosiologi bersifat kognitif sedangkan sastra bersifat afektif. Berbeda halnya dengan pendapat Wellek dan Werren (dalam Semi,1989:53) yang menyatakat bahwa sosiologi sastra adalah telaah sosiologis terhadap karya sastra. Telaah ini meliputi tiga klasifikasi yaitu: (a) Sosiologi pengarang yakni

mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi, politik dan sebagainya yang menyangkut pengarang, (b) Sosiologi karya sastra, yakni memasalahkan tentang suatu karya yang menjadi pokok sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan, (c) Sosiologi sastra, yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Ian Watt (dalam Farux, 1994:4) mengemukakan tiga pendekatan sosiologi sastra yang berbeda, yakni: pertam konteks pengarang, yang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, kedua sastra sebagai cermin masyarakat, sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis, sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra, dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) Sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, (b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejauh mana terjadi sintesis antara kenungkinan a dan b di atas.

Secara epistimologi dapat dikatakan bahwa tidak mungkin membangun suatu sosiologi sastra sebagai pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang mempunyai lingkup yang luas, beragam dan rumit yang menyangkut tentang pengarang, hasil karya dan pembacanya (Semi, 1989:54).

Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi seorang pengarang, dengan sendirinya akan melahirkan jenis sastra dan jenis karya tertentu pula. Kecenderungan ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa tata

kemasyarakatan bersifat normative, maksudnya mengandung unsur-unsur pengaruh yang mau tidak mau harus dipatuhi, sehingga hubungan antar manusia ditentukan atau paling sedikit dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan hidup, sikap, dan niali-nilai termasuk kebutuhan-kebutuhan seseorang, termasuk pengarang ditinjau dari sumber tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku di masyarakat. Dengan sendirinya, masyarakatnya harus merupakan faktor yang menentukan apa yang semestinya ditulis pengarang, bagaimana menulisnya, dan untuk siapa karya sastra ditulis, serta apa dan tujuan maksudnya (Hardjana, Andre.1985:70).

Ada anggapan bahwa sastra sebagai karya seni menggambarkan masyarakat cenderung untuk mengalihkan fungsi sastra sebagai propaganda. Hal itu dapat berakibat segi-segi teknik dan seni diabaikan. Ada pula yang beranggapan kalau sastra tidak memperhatikan apa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, hal itu dapat menyebabkan sastra kehilangan fungsi sosialnya (Semi, 1988:56).

2.4 Definisi Kebudayaan

Kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta yaitu berbunyi ”buddayah” ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti ”budhi” atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Dari pengertian kata budhi itulah kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal kemampuan. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata ”kebudayaan itu, kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budhi daya,” artinya daya dari budhi, kekuasaan dari akal

(Koentjoroningrat, 1993:9). Dalam suatu kebudayaan juga mengandung suatu sistem, nilai budaya yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yaitu yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai nilai-nilai yang harus mereka anggap amat bernilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjoroningrat, 1994:25).

(12)

1993:14).

Kebudayaan (Culture) berarti keseluruan dari hasil manusia bermasyarakat yang berisi kepandaian,

kepercayaan, kesenian, moral, dan adat kebiasaan misalnya didalam kehidupan kampung. Menurut kampung umpamanya dianggap terpuji dan diharuskan datang melayat ke rumah keluarga yang anggotanya meninggal, kecuali ada halangan.

2.5 Definisi Nilai Sosial

Sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologis ini mempunyai tiga klasifikasi, pertama sosiologi pengarang, idiologi politik dari pengarang. Kedua sosiologi karya sastra yang menjadi pokok telaah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut, dan mudah disampaikan. Ketiga sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat (Wellek dan Werren:1956 dalam Semi, 1989:53).

Dalam kehidupan masyarakat nilai-nilai sosial memainkan peranan penting. Kebanyakan hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada faktor-faktor sosial, tetapi juga pada pertimbangan-pertimbangan nilai. Dube (dalam Soleman, 1990:63). Mengatakan bahwa nilai-nilai juga memberikan perasaan identitas masyarakat dan menentukan seperangkat tujuan yang hendak dicapai.

Nilai sosial secara umum dapat dinyatakan sebagai keyakinan relatif kepada yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, kepada apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah, kepada apa yang seharusnya tidak ada. Pengertian tersebut dipertegas oleh Polka (1985:3), yang menyatakan bahwa nilai valves

dimaksudkan sebagai ukuran-ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan, keyakinan-keyakinan yang dianut oleh orang banyak dalam lingkungan suatu kebudayaan tertentu mengenai apa yang benar, pantas, luhur dan baik untuk dikerjakan, dilaksanakan atau diperhatikan. Nilai sosial ini meliputi beberapa hal diantaranya nilai sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan lain-lain.

Sosial budaya adalah kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi yang telah mendapat pengakuan dari kelompok masyarakat tertentu yang bersifat positif dan pengakuan itu disepakati secara sadar untuk kelangsungan hidup secara berdampingan maupun kegiatan sosial lainnya.

Menurut Robet K.Merton diantaranya segenap unsur-unsur sosial budaya terdapat dua unsur penting yaitu kerangka aspirasi-aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur kegiatan-kegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan kata lain sosial budaya merupaka rangkaian dari pada konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran dari warga masyarakat.

2.6 Sistem Religi

Kienkegaard (dalam Koentjoroningrat, 1987:233) menggambarkan kehidupan religius sebagai paradoks besar baginya untuk melonggarkan paradoks itu hanya akan mengingkari dan menghancurkan kehidupan religius. Religius tetap sebuah teka-teki, tidak hanya teka-teki teoritis, tetapi juga teka-teki etis. Religi menjanjikan hubungan erat dengan alam, sesama dengan daya daerah diduniawinya dan Maha Pencipta

Filsafat kebudayaan tidak melihat masalah religi sebagai sistem teologi melainkan mempersoalkan bentuk imajinasi dan bentuk pemikiran religius simbolnya berubah-ubah dan prinsipnya tetap sama. Bahwa religi telah berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat baik sosial ekonomi dan lainnya tidak biasa dihilangkan dari tinjauan sosilogi. Ternyata bukan masyarakat yang berdasar agama (Shadily, 1993:347).

Religi tidak mampu mengembangkan untuk membasmi naluri-naluri kedalam diri manusia. Namun simpati religius berbeda dengan simpati mistis dan magis, simpati religius memberikan tempat perasaan baru yakni individualitas. Individualitas tampak sebagai pengingkaran atau pembatasan terhadap universilitas yang oleh religi dianggap dalil, setiap penentuan ialah penyangkalan. Perkembangan pemikiran dapat dianut menurut tiga arah (1) Psikologi, (2) Sosiologis, (3) Etis.

2.7 Pandangan Hidup

Pandangan hidup adalah konsep berupa nilai yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah hidup di alam dunia ini.

Membicarakan tentang pandangan hidup, bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup. Pengarang tidak bisa mengekspresikan pengalaman dan pandangan hidup tetapi tidak benar kalau pengarang

mengekspresikan kehidupan secara menyeluruh. Dengan menyatakan bahwa pengarang harus mengekspresikan kehidupan sepenuhnya mewakili masyarakat dan zamannya kita sudah memaksakan suatu kriteria penilaian tertentu (Wellek, 1995:10).

Pengertian pandangan hidup menurut beberapa ahli sosiologi dan antropologi. Menurut Koentjoringrat (Antropologi, 1994:11) bahwa pandangan hidup biasanya mengandung sebagian niali-nilai yang dianut oleh masyarakat.

Sedangkan menurut M. Habib Mustofa (Antropologi, 1994:11) menyatakan bahwa pandangan hidup merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dan cita-cita, baik perorangan, kelompok masyarakat, maupun bangsa. Dari pengertian di atas, jadi pandangan hidup tampak dalam pemikiran dan renungan sebelum diwujudkan dalam sebuah perilaku atau sikap. Juga pemikiran yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan. Selain itu dalam pandangn hidup ada perlu diperhatikan yaitu: bahasa, kebudayaan, dan gaya hidup.

(13)

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dengan kata istilah ilmiah saling berinteraksi yaitu suatu kesatuan manusia dapat mempunyai sarana dan prasarana melalui warga-warganya apa yang dapat saling berinteraksi, juga hendaknya tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu

masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan yang khusus yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan. Semua itu harus bersifat mantap dan kontinyu, dengan kata lain pola khas itu harus menjadi adat istiadat yang khas (Koentjoroningrat, 1990:144).

2.9 Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi

kemasyarakatan oleh beberapa penulis. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda pengertian dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau sosio cultural terhadap sastra. Pendekatan sosiologis ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan satu ciri kesamaan yaitu mempunyai kesamaan terhadap sastra sebagai intuisi sosial, yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat (Supardi Djoko Damono, 1978). Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang seorang termasuk penyair antar manusia dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seorang yang menjadi subyek matter karya sastra, adalah refleksi hubungan seseorang dengan orang lain dan dengan masyarakat. Jika pandangan itu diperluas, yang menjadi bahan sastra juga akan menyangkut masalah yang timbul akibat

hubungan orang seseorang atau masyarakat dengan Tuhan Yang Maha tinggi sebagai perwjudan sikap relegiusitas.

Dari sisi lain juga dilihat bahwa seseorang peneliti sastra akan berhadapan dengan sebuah struktur kehidupan yang imajinatif yang bermediumkan bahasa, struktur sastra itu sendiri. Struktur sastra di sini adalah susunan penegasan dan gambaran semua materi serta bagian-bagian (elemen-elemen) yang menjadi komponen karya sastra dan merupakan kesatuan yang indah dan tepat (Abrams, 1981). Dengan demikian secara sosiologis antara sastrawan, masyarakat dan karya sastra akan berhubungan erat dan bertemu dalam satu bahasa.

Dalam pandangan Wolff (faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-maing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Ia juga menawarkan studi sosiologi yang lebih verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level makna dari karya sastra.

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. 2.10 Biografi/Psikologi Pengarang

Keberadaan sebuah karya sastra tidak mungkin lepas dari pengarang sebagai penciptanya, tetapi juga menyangkut hal-hal mengenai seseorang pengarang baik mengenai ide-idenya, pandangan hidupnya,cita-cita maupun latar belakang sosio budaya yang semua itu amat mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya (Mariskan, 1984:82)

Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto (lahir di Jakarta, 3 September 1961) adalah seorang penyanyi beraliran balada yang menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia.

Iwan lahir dari Lies (ibu) dan mempunyai ayah Haryoso almarhum (kolonel Anumerta). Iwan menikahi Rosanna (Mbak Yos) dan mempunyai anak Galang Rambu Anarki (almarhum), Annisa Cikal Rambu Basae, dan Rayya Rambu Robbani.

Galang mengikuti jejak ayahnya terjun di bidang musik. Walaupun demikian, musik yang ia bawakan berbeda dengan yang telah menjadi trade mark ayahnya. Galang kemudian menjadi gitaris kelompok Bunga dan sempat merilis satu album perdana menjelang kematiannya.

Nama Galang juga dijadikan salah satu lagu Iwan, berjudul Galang Rambu Anarki pada album Opini, yang bercerita tentang kegelisahan orang tua menghadapi kenaikan harga-harga barang sebagai imbas dari kenaikan harga BBM pada awal tahun 1981 yaitu pada hari kelahiran Galang (1 Januari 1981).

Nama Cikal sebagai putri kedua juga diabadikan sebagai judul album dan judul lagu Iwan Fals yang terbit tahun 1991. Sebelumnya Cikal juga pernah dibuatkan lagu dengan judul Anissa pada tahun 1986. Rencananya lagu ini dimasukkan dalam album Aku Sayang Kamu, namun dibatalkan. Lirik lagu ini cukup kritis sehingga perusahaan rekaman batal menyertakannya. Pada cover album Aku Sayang Kamu terutama cetakan awal, pada bagian penata musik masih tertulis kata Anissa.

Galang Rambu Anarki meninggal pada bulan April 1997 secara mendadak yang membuat aktivitas bermusik Iwan Fals sempat vakum selama beberapa tahun. Galang dimakamkan di pekarangan rumah Iwan Fals di desa Leuwinanggung, Cimanggis, Depok Jawa Barat. Sepeninggal Galang, Iwan sering menyibukkan diri dengan melukis dan berlatih bela diri.

(14)

Anarki. Pada lagu ini istri Iwan Fals (Yos) juga ikut menyumbangkan suaranya.

Sejak meninggalnya Galang Rambu Anarki, warna dan gaya bermusik Iwan Fals terasa berbeda. Dia tidak segarang dan seliar dahulu. Lirik-lirik lagunya terkesan lebih dewasa dan puitis. Iwan Fals juga lebih banyak membawakan lagu-lagu bertema cinta baik karangannya sendiri maupun dari orang lain.

Pada tanggal 22 Januari 2003, Iwan Fals dianugrahi seorang anak lelaki yang diberi nama Rayya Rambu Robbani. Kelahiran putra ketiganya ini seakan menjadi pengganti almarhum Galang Rambu Anarki dan banyak memberi inspirasi dalam dunia musik seorang Iwan Fals.

Lewat lagu-lagunya, ia 'memotret' suasana sosial kehidupan Indonesia di akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti Wakil Rakyat, Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia) mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya. Iwan Fals tidak hanya menyanyikan lagu ciptaannya tetapi juga sejumlah pencipta lain.

Iwan yang juga sempat aktif di kegiatan olahraga, pernah meraih gelar Juara II Karate Tingkat Nasional, Juara IV Karate Tingkat Nasional 1989, sempat masuk pelatnas dan melatih karate di kampusnya, STP (Sekolah Tinggi Publisistik). Iwan juga sempat menjadi kolumnis di beberapa tabloid olah raga.

Kharisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum 'akar rumput'. Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar diseluruh nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan mendirikan sebuah yayasan pada tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang Indonesia atau biasa dikenal dengan seruan Oi. Yayasan ini mewadahi aktivitas para penggemar Iwan Fals. Hingga sekarang kantor cabang OI dapat ditemui setiap penjuru nusantara dan beberapa bahkan sampai ke manca negara. Masa kecil Iwan Fals dihabiskan di Bandung, kemudian ikut saudaranya di Jeddah, Arab Saudi selama 8 bulan. Bakat musiknya makin terasah ketika ia berusia 13 tahun, di mana Iwan banyak menghabiskan waktunya dengan mengamen di Bandung. Bermain gitar dilakukannya sejak masih muda bahkan ia mengamen untuk melatih kemampuannya bergitar dan mencipta lagu. Ketika di SMP, Iwan menjadi gitaris dalama paduan suara sekolah.

Selanjutnya, datang ajakan untuk mengadu nasib di Jakarta dari seorang produser. Ia lalu menjual sepeda motornya untuk biaya membuat master. Iwan rekaman album pertama bersama rekan-rekannya, Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam Amburadul, namun album tersebut gagal di pasaran dan Iwan kembali menjalani profesi sebagai pengamen. Album ini sekarang menjadi buruan para kolektor serta fans fanatik Iwan Fals.

Setelah dapat juara di festival musik country, Iwan ikut festival lagu humor. Arwah Setiawan (almarhum), lagu-lagu humor milik Iwan sempat direkam bersama Pepeng, Krisna, Nana Krip dan diproduksi oleh ABC Records, tapi juga gagal dan hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. Sampai akhirnya, perjalanan Iwan bekerja sama dengan Musica Studio. Sebelum ke Musica, Iwan sudah rekaman sekitar 4-5 album. Di Musica, barulah lagu-lagu Iwan digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani oleh Willy Soemantri. Iwan tetap menjalani profesinya sebagai pengamen. Ia mengamen dengan mendatangi rumah ke rumah, kadang di Pasar Kaget atau Blok M. Album Sarjana Muda ternyata banyak diminati dan Iwan mulai mendapatkan berbagai tawaran untuk bernyanyi. Ia kemudian sempat masuk televisi setelah tahun 1987. Saat acara Manasuka Siaran Niaga disiarkan di TVRI, lagu Oemar Bakri sempat ditayangkan di TVRI. Ketika anak kedua Iwan, Cikal lahir tahun 1985, kegiatan mengamen langsung dihentikan.

Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada awal karirnya, Iwan Fals banyak

membuat lagu yang bertema kritikan pada pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals enggan atau lebih tepatnya tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas. Belakangan Iwan Fals juga mengakui kalau pada saat itu dia sendiri juga tidak tertarik untuk memasukkan lagu-lagu ini ke dalam album.

Rekaman lagu-lagu yang tidak dipasarkan tersebut kemudian sempat diputar di sebuah stasiun radio yang sekarang sudah tidak mengudara lagi. Iwan Fals juga pernah menyanyikan lagu-lagu tersebut dalam beberapa konser musik, yang mengakibatkan dia berulang kali harus berurusan dengan pihak keamanan dengan alasan lirik lagu yang dinyanyikan dapat mengganggu stabilitas negara. Beberapa konser musiknya pada tahun 80-an juga sempat disabotase dengan cara memadamkan aliran listrik dan pernah juga dibubarkan secara paksa hanya karena Iwan Fals membawakan lirik lagu yang menyindir penguasa saat itu.

Pada bulan April tahun 1984 Iwan Fals harus berurusan dengan aparat keamanan dan sempat ditahan dan diinterogasi selama 2 minggu gara-gara menyanyikan lirik lagu Demokrasi Nasi dan Pola Sederhana juga Mbak Tini pada sebuah konser di Pekanbaru. Sejak kejadian itu, Iwan Fals dan keluarganya sering mendapatkan teror. Hanya segelintir fans fanatik Iwan Fals yang masih menyimpan rekaman lagu-lagu ini, dan sekarang menjadi koleksi yang sangat berharga.

(15)

Setiawan Djodi. Konser-konser Kantata Takwa saat itu sampai sekarang dianggap sebagai konser musik yang terbesar dan termegah sepanjang sejarah musik Indonesia. Setelah kontrak dengan SWAMI yang menghasilkan dua album (SWAMI dan SWAMI II) berakhir, dan disela Kantata (yang menghasilkan Kantata Takwa dan Kantata Samsara), Iwan Fals masih meluncurkan album-album solo maupun bersama kelompok seperti album Dalbo yang dikerjakan bersama sebagian mantan personil SWAMI.

Sejak meluncurnya album Suara Hati pada 2002, Iwan Fals telah memiliki kelompok musisi pengiring yang tetap dan selalu menyertai dalam setiap pengerjaan album maupun konser. Menariknya, dalam seluruh alat musik yang digunakan baik oleh Iwan fals maupun bandnya pada setiap penampilan di depan publik tidak pernah terlihat merek maupun logo. Seluruh identitas tersebut selalu ditutupi atau dihilangkan. Pada panggung yang menjadi dunianya, Iwan Fals tidak pernah mengizinkan ada logo atau tulisan sponsor terpampang untuk menjaga idealismenya yang tidak mau dianggap menjadi wakil dari produk tertentu.

Di luar musik dan lirik, penampilan Iwan Fals juga berubah total. Saat putra pertamanya meninggal dunia Iwan Fals mencukur habis rambut panjangnya hingga gundul. Sekarang dia berpenampilan lebih bersahaja, rambut berpotongan rapi disisir juga kumis dan jenggot yang dihilangkan. Dari sisi pakaian, dia lebih sering

menggunakan kemeja yang dimasukkan pada setiap kesempatan tampil di depan publik, sangat jauh berbeda dengan penampilannya dahulu yang lebih sering memakai kaus oblong bahkan bertelanjang dada dengan rambut panjang tidak teratur dan kumis tebal. Peranan istrinya juga menjadi penting sejak putra pertamanya tiada. Rossana menjadi manajer pribadi Iwan Fals yang mengatur segala jadwal kegiatan dan kontrak. Dengan adanya Iwan Fals Manajemen (IFM), Fals lebih profesional dalam berkarir.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menyajikan data yang akan digunakan untuk menganalisis, rumusan masalah yang terdapat dalam bab I yaitu mengenai unsur sosial ekonomi pada analisis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals dan unsur sosial politik pada analisis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals. Berikut ini merupakan sajian hasil analisis terhadap 25 lagu Iwan Fals yang telah dipilih.

3.1 Unsur Sosial Ekonomi OEMAR BAKRIE Tas hitam dari kulit buaya

Selamat pagi berkata bapak Oemar Bakrie Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali

Tas hitam dari kulit buaya

mari kita pergi, memberi pelajaran Ilmu pasti itu murid bengalmu Mungkin sedang menunggu

Laju sepeda kumbang dijalan berlubang Selalu begitu dari dulu waktu zaman jepang Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang Banyak polisi bawa senjata berwajah garang

Bapak Oemar Bakrie kaget apa gerangan Berkelahi pak jawab murid seperti jagoan Bapak Oemar Bakrie takut bukan kepalang Itu sepeda butut dikebut lalu

Cabut kalang kabut cepat pulang…..busyet Standing dan terbang

Oemar Bakrie…..Oemar bakrie Pegai negri

Oemar bakrie….Oemar Bakrie Empat puluh tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

(16)

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri

Oemar Bakrie…..Oemar Bakrie Bikin otak orang seperti otak habibie

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri

Dengan adanya lirik lagu yang berjudul Oemar bakrie ini Iwan Fals berusaha mengkritik kondisi seorang pada masa itu, hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.

Tas hitam dari kulit buaya

Selamat pagi berkata bapak Oemar Bakrie

Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali (Oemar Bakrie, 1:1) Tas hitam dari kulit buaya

mari kita pergi, memberi pelajaran Ilmu pasti itu murid bengalmu

Mungkin sedang menunggu (Oemar Bakrie, 2:1) Oemar Bakrie…..Oemar Bakrie

Banyak ciptakan menteri Oemar Bakrie…..Oemar Bakrie Professor doktor insinyur pun jadi

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri (Oemar Bakrie, 6:1)

Lirik lagu tersebut menceritakan bagaimana seorang pegawai negeri yang bernama Oemar Bakrie yang cukup loyal berprofesi sebagai guru, namun mengalami nasib yang menyedihkan. Pak guru yang bersahaja dan jauh dari kesan mewah digambarkan lewat atribut yang dikenakannya berupa tas hitam dari kulit buaya dan bersepeda kumbang. Tapi balasan yang diterima oleh pak guru tersebut tidak sesuai dengan pengabdian yang dialaminya, gaji guru dilambangkan dengan kebiri yang berarti gaji yang diterima sangat kecil sekali. Sungguh ironis pada zaman itu nasib seorang guru, guru yang bisa menjadikan seorang murid menjadi profesor, doktor, insinyur, yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak tau menjadi tau, tapi apa yang diperoleh seorang guru pada saat itu adalah gaji yang sangat tidak layak untuk diterima.

POTRET

Orang resah berlomba kejar nafkah Demi anak bini

Demi sesuap nasi

Kuno memang memang memang kuno

Namun kenyataan kita butuh soal itu Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? Seperti binatang bila lapar menerjang Seperti kereta nafasnya terdengar Soal harga diri sudah tak berarti

Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? Pergi kau! Jangan nasehati aku oh ya! Pergi kau! Aku mau uangmu oh ya! Pergi kau! Jangan menggurui aku oh ya!

Pergi kau! Aku mau uangmu oh ya! Pergi kau! Jangan menggurui aku oh ya! Pergi kau! Aku mau nasimu oh!

Anak anak kecil tengadahkan tangan Mainkan tamborin gapai masa depan Tanah lahirku aku cinta kau

Bumi darahku aku cium engkau

(17)

Orang orang resah Berlomba kejar nafkah Demi anak bini Demi sesupa nasi Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?(Potret, 1:3)

Orang orang dari kelompok sosial ini ditampilkan sebagai orang-orang yang resah karena berlomba mengejar nafkah. Mencari uang untuk membeli makanan diumpamakan sebagai sebuah pertandingan, siapa cepat dia dapat. Itu semua dilakukan hanya untuk mendapatkan uang dan nasi, yang berarti bahwa nafkah yang dikejar itu bukan uang dalam jumlah besar melainkan jumlah yang kecil. Ukuran kecil disini karena hanya cukup untuk membeli makanan.

Oh....Ya

Andai kata di mobil itu tentu tidak di bus ini Seandainya aku rumah itu tentu tidak digubuk ini A a a andai kata se se se seandainya

Oh ya! Kalau saja aku jadi direktur Umpamanya aku dapat lotere Tentu saja aku tidak kere Ka ka ka kalau saja

U u u umpamanya Oh ya! Oh ya!

Ya nasib nasibmu jelas bukan nasibku Oh ya! Ya takdir takdirmu jelas bukan takdirku Oh ya! Ya nasib nasibmu bukan nasibku Oh ya! Ya takdir takdirmu jelas bukan takdirku La la la la la la la la la la la la la la la la la la La la la la la la la la la la la la la la la la la la Perhatikan kutipan lirik lagu berikut ini. Andai kata aku di mobil itu

Tentu tidak di bus ini Seandainya aku rumah itu

Tentu tidak di gubuk ini (Oh ya,1:1)

Dalam lirik lagu Oh ya, kondisi miskin yang menguasai kelas bawah diperlihatkan secara tajam melalui kontras antara impian masyarakat kelas bawah dengan kenyataan yang dihadapinya. Di dalam lirik lagu ini, aku lirik yang berasal dari kelas bawah bermimpi untuk memiliki materi dan kedudukan yang umumnya menjadi penanda kelas atas. Materi yang diimpikan adalah mobil yang dikontraskan dengan bus dan rumah dengan gubuk. Meskipun mobil dan bus sama-sam merupakan alat transportasi , tetapi kualitasnya berbeda, demikian juga rumah dan gubuk. Mobil dan rumah menawarkan kenyamanan sekaligus prestise yang tidak didapatkan dari bus dan gubuk

Kalau saja aku jadi direktur Tentu tidak jadi penganggur Umpamanya aku dapat lotere Tentu saja aku tidak kere (Oh ya, 1:4) A a a andai kata

Se se se seandainya Oh ya! Ka ka kalu saja U u u umpamanya Oh ya! Oh ya! Ya nasib Nasibmu jelas bukas nasibku Oh ya! Ya takdir

Takdirmu jelas bukan takdirku (2x) Aku bosan

(18)

U u u umpamanya Oh ya (Oh ya, 2:1)

Impian lainnya berkaitan dengan kedudukan yang ditandai dengan kontras antara direktur dengan penganggur. Selain menyatakan jabatan yang tinggi di dalam susunan organisasi perusahaan, direktur juga mengindikasikan posisi yang tinggi di dalam pandangan masyarakat yang tidak didapatkan aku lirik sebagai penganggur. Setelah berangan-angan untuk jadi direktur, aku lirik berandai-andai mendapat lotere, yang kemudian dikontraskan dengan kenyataan ia hanya kere. Pemilihan kata kere ini menunjukkan bahwa aku lirik berada pada tingkat sosial yang paling rendah. Terdapat rasa pesimis disini bahwa keadaan aku lirik sudah sedemikian terpuruk sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukan adalah berkhayal sebagai mana tampak dari pengulangan kata andai kata, seandainya, kalau saja, umpamanya. Karena terlalu sering bermimpi, pada akhirnya aku lirik menjadi bosan dan pasrah pada nasib, pada takdir. Dengan mengatakan bahwa semua perbedaan itu merupakan nasib dan takdir, maka aku lirik tidak melihat adanya jalan keluar dari kemiskinannya.

SORE TUGU PANCORAN

Si Budi kecil kuyup menggigil Menahan dingin tanpa jas hujan Disimpang jalan tugu pancoran Tunggu pembeli jajakan Koran

Menjelang magrib hujan tak reda Si Budi murung menghitung laba Surat kabar sore dijual malam Selepas is’ya melangkah pulang

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal Cepat langkah waktu pagi menunggu

Si Budi sibuk siapkan buku Tugas dari sekolah selesai setengah Sanggupkah si Budi diam di dua sisi

Dalam lirik lagu sore tugu pancoran yang mengisahkan tentang perjuangan seorang anak kecil yang hidup dikota metropolitan, dimana berjuang untuk menggapai impian

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu

Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal (Stp, 3:1)

Terlihat jelas perjuangan seorang anak kecil demi menggapai sebuah impian yang mana impian tersebut adalah impian yang sangat kecil, demi berjuang hidup di kota besar sampai-sampai tak dapat menikmati waktu seperti halnya yang dialami oleh anak kecil yang lainnya seperti bermain dan sekolah. Terlihat jelas pengorbanan seorang anak kecil demi bertahan hidup. Dalam seusia itu dipaksakan untuk bekerja sebagai penjual koran yang semestinya dilakukan oleh orang dewasa.

Cepat langkah waktu pagi menunggu Si Budi sibuk siapkan buku

Tugas dari sekolah selesai setengah

Sanggupkah si Budi diam di dua sisi (Stp, 3:1)

Disatu sisi anak itu harus menimba ilmu dengan bersekolah, tetapi sekolah dijadikan yang kedua oleh anak itu kita lihat didalam mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah anak itu hanya mampu mengerjakan separonya saja sehingga terjadi gejolak dihati anak itu antara sekolah dengan bekerja.

GALANG RAMBU ANARKI

Referensi

Dokumen terkait

Dapat digunakan untuk meninjak lanjuti penanganan pedagang kaki lima di sekitar kawasan Pantai Kuta khususnya dan Tempat-tempat wisata lainnya di Kabupaten

Perekonomian Kecamatan Tamansari didukung oleh saran dan prasarana wilayah yang ada, yang merupakan aspek pendukung utama dalam pembangunan yang secara tidak langsung akan

Berdasarkan hasil dari penelitian tentang Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K – Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram, dapat

Dari urian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh peristiwa yang terjadi pada seseorang (locus of control), pengetahuan

Madrasah Aliyah Matholi’ul Huda Troso Pecangaan Jepara sebagai lembaga pendidikan dasar berciri khas Islam perlu mempertimbangkan harapan Peserta Didik, orang tua Peserta

Apabila Daoed Joesoef menggunakan konsep kosmologi Budha dalam mengkaji keterkaitan antara makna simbol Candi Borobudur dengan ajaran Budha, maka pada skripsi ini lebih condong

Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan

Ahmad yani 2016, dengan judul “Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada dinas perhubungan provonsi Jawa Barat.” Berdasarkan hasil penelitian ini analisis