• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Organisasi pada Medical Representative di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Organisasi pada Medical Representative di Kota Medan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN ORGANISASI

1. Definisi Komitmen Organisasi

Mowday, Porter, dan Steers (1982) menyatakan bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai sebuah sikap yang mencerminkan loyalitas yang berkesinambungan pada karyawan terhadap organisasi dimana karyawan mengekspresikan perhatian mereka pada organisasi dan juga pada kesuksesan organisasi. Komitmen organisasional menurut William dan Hazer (dalam Lum, Kervin, Clark, Reid, & Sirola, 1998) didefinisikan sebagai identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana seseorang loyal terhadap organisasi dan memiliki tujuan pribadi yang selaras dengan tujuan organisasi.

(2)

Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen dapat muncul dalam bentuk yang berbeda-beda sehingga tiap-tiap individu dapat merasakan komitmen yang berbeda terhadap organisasi, pekerjaan, atasan, dan atau terhadap kelompok kerjanya. Model komitmen yang dimiliki individu dibagi ke dalam tiga komponen di mana ketiganya mempunyai pengaruh yang berbeda bagi perilaku individu terhadap organisasi dan pekerjaannya. Tiga komponen komitmen tersebut adalah:

1. Affective Commitment melibatkan kelekatan emosional karyawan pada organisasi, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan pada organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen afektif mempertahankan keanggotaannya di dalam perusahaan karena adanya keinginan untuk tetap bekerja pada perusahaan.

2. Continuance commitment melibatkan komitmen yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu apabila meninggalkan organisasi, misalnya pertimbangan akan kehilangan senioritas dalam promosi atau keuntungan-keuntungan lainnya. Karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan (continuance commitment) mempertahankan keanggotaannya di perusahaan karena adanya kebutuhan untuk tetap bekerja pada perusahaan.

(3)

perusahaan karena adanya keharusan atau kewajiban untuk tetap bekerja pada perusahaan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi dapat muncul dalam komponen komitmen afektif, komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif di mana karyawan dapat merasakan ketiganya dalam tingkatan yang berbeda-beda (Meyer & Allen, 1991).

2. Aspek Pengukuran Komitmen Organisasi

Menurut Meyer dan Allen (1991) komitmen organisasi adalah suatu kondisi psikologis yang mencakup:

1. Hubungan yang dimiliki karyawan terhadap organisasi, dan

2. Keputusan untuk mempertahankan atau melanjutkan keanggotaan di dalam organisasi.

Pengukuran komitmen organisasi dapat diukur dengan menggunakan Organizational Commitment Scale berdasarkan teori Meyer dan Allen (1991). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi diklasifikan menjadi tiga, yaitu karakteristik personal, karakteristik organisasi dan pengalaman selama bekerja. Berikut akan dijelaskan ketiga faktor yang memengaruhi komitmen organisasi.

(4)

2004; Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002; Suliman & Iles, 2000; Mathieu & Zajac, 1990), masa jabatan (Salami, 2008; Meyer dkk., 2002; Mathieu & Zajac, 1990), tingkat pendidikan (Salami, 2008) dan status pernikahan (Salami, 2008; Mathieu & Zajac, 1990). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, karyawan yang lebih tua ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Karyawan yang sudah menikah lebih berkomitmen terhadap organisasi. Karyawan yang sudah lama bekerja juga ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang baru bekerja di perusahaan.

Selain variabel demografis, terdapat variabel disposisi yang meliputi atribut-atribut psikologis seperti afiliasi, otonomi dan work ethic (Meyer & Allen, 1991), motivasi berprestasi (Salami, 2008; Meyer & Allen, 1991), locus of control (Suman & Srivastava, 2010; Meyer dkk., 2002), trait kepribadian (Seniati, 2006; Silva, 2006; Morrison, 1997) dan kecerdasan emosional (Salami, 2008; Nikolaou & Tsaousis, 2002). Karyawan yang extraverted, conscientiousness dan yang emosinya stabil cenderung lebih berkomitmen terhadap perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional dan motivasi berprestasi yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi pula komitmennya.

(5)

tantangan (Dixon, Cunningham, Sagas, Turner, & Kent, 2005; Meyer & Allen, 1997), ekspektasi peran, ruang lingkup pekerjaan dan hubungan dengan supervisor (Meyer & Allen, 1997), perubahan organisasi (Lopopolo, 2002), sosialisasi dalam organisasi, nilai prososial di dalam organisasi dan prestige (dalam Nicholson, 2009).

3. Pengalaman selama bekerja, mencakup persepsi akan kebijakan yang adil (Chughtai & Zafar, 2006; Meyer & Allen, 1997; Konovsky & Cropanzano, 1991), dukungan yang dirasakan dari organisasi (Boehman, 2006; Allen, Shore, & Griffeth, 2003), keterlibatan kerja, persepsi akan pemberdayaan dan kesempatan untuk pelatihan (dalam Nicholson, 2009) dan kepuasan kerja (Salami, 2008; Chughtai & Zafar, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa semakin karyawan puas terhadap pekerjaannya, maka semakin tinggi pula komitmennya terhadap perusahaan.

B. ADVERSITY QUOTIENT

1. Definisi Adversity Quotient

(6)

bisnis dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, mengatasi permasalahan sehari-hari memiliki tantangannya tersendiri. Untuk dapat menjawab bagaimana orang-orang mengatasi masalah di dalam kehidupannya, Stoltz mengembangkan teori tentang Adversity Quotient pada tahun 1997.

Adversity quotient terwujud dalam tiga bentuk (Stoltz, 2000). Pertama, AQ merupakan kerangka konseptual untuk memahami dan meningkatkan kesuksesan. Kedua, AQ mengukur bagaimana respon seseorang terhadap masalah. Ketiga, AQ adalah seperangkat alat yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan. Dalam lingkup pekerjaan, adversity quotient menentukan kesuksesan karyawan dalam perusahaan. Karyawan yang memiliki AQ yang lebih tinggi menunjukkan kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, dan daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan lain dengan AQ yang lebih rendah (Stoltz, 2000).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient merupakan kecerdasan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi masalah, mengubah sikap terhadap masalah dan menemukan solusi sehingga masalah dapat dipecahkan.

2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient

(7)

individu secara menyeluruh. Berikut penjelasan empat dimensi adversity quotient tersebut:

1. Kendali/control (C); seberapa besar karyawan merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Stoltz (2003) menjelaskan bahwa dimensi Control mencakup:

a. Sejauh mana seseorang secara positif mampu mengubah situasi b. Sejauh mana seseorang memiliki kendali atas kesulitan yang

dihadapi.

Karyawan dengan skor control yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang tinggi untuk bertahan terhadap kesulitan dan dapat menyelesaikannya dengan efektif. Individu dengan skor control yang sedang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Pada awalnya, mungkin karyawan tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali apabila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan karyawan yang memiliki tingkat control yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengantisipasi akibat dari kesulitan tersebut. Karyawan menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan menyerah kepada nasib.

Respon umum karyawan dengan skor rendah dalam dimensi ini

(8)

lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke

dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan karyawan

dengan skor yang lebih tinggi, pada umumnya cenderung berpikir :

“Wow, ini sulit! Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”;

“Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak

berdaya dalam situasi seperti ini, Selalu ada jalan”; “Siapa berani, akan

menang; Saya harus mencari cara lain”.

2. Ownership (O); mengacu kepada sejauh mana seseorang mau mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya (Stoltz, 2003). Karyawan dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Karyawan dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui atau menolak serta menghindar dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.

Respon umum karyawan dengan skor rendah pada dimensi ini

biasanya berpikir: “Ini semua kesalahan saya” ; “Saya memang bodoh

sekali”; “Seharusnya saya lebih tahu”; “Apa yang tadi saya pikirkan, ya?

“; “ Saya malah jadi tidak mengerti” ; “Saya sudah mengacaukan

semuanya”; “Saya memang orang yang gagal”. Sedangkan respon umum

karyawan dengan skor yang lebih tinggi pada dimensi ini biasanya

berpikir: “Waktunya tidak tepat”; “Seluruh industri sedang menderita”;

(9)

tidak gembira hatinya”; “Beberapa anggota tim tidak memberikan

kontribusi”; “Tak seorang pun bisa meramalkan datanya yang satu ini”;

“Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, saya tahu ada cara

untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan saya aka

menerapkannya bila lain waktu saya berada dalam situasi seperti itu lagi”.

3. Jangkauan/reach (R); dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari kehidupan karyawan. Ketika kesulitan tidak dibiarkan memengaruhi aspek kehidupan lainnya, maka karyawan dapat berpikir jernih dan mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi kesulitan. Semakin luas masalah atau kesulitan yang muncul, semakin rendah skor R, semakin besar pula kemungkinan seseorang menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas dan menghambat kebahagiaan seseorang. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk membatasi masalah atau kesulitan yang dihadapi agar tidak meluas kepada peristiwa lain (Stoltz, 2000).

(10)

kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung lama. Hal ini dapat membuat karyawan menunda dalam mengambil tindakan yang konstruktif (Stoltz, 2000). Karyawan dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan selamanya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka Adversity quotient dapat diukur dengan menggunakan skala adversity quotient yang didasarkan pada teori Adversity Quotient oleh Stoltz (2000); meliputi aspek control (C) atau kendali, ownership (O), reach (R) atau jangkauan dan endurance (E) atau daya tahan. Adversity quotient terletak dalam sebuah rangkaian sehingga penggolongannya dibagi ke dalam kategori rendah, sedang dan tinggi.

a. Penggolongan Kepribadian Berdasarkan Skor Adversity Quotient Terdapat tiga kelompok tipe manusia ditinjau dari tingkat AQ yang dimilikinya (Stoltz, 2000), yaitu:

1) Quitters

Quitters adalah mereka yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Karyawan dengan tipe ini bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menunjukkan sedikit ambisi dan semangat. Selain itu, tipe ini kurang kreatif, menghindari resiko dan tidak banyak memberikan kontribusi bagi perusahaan.

(11)

2) Campers

Campers atau satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi). Karyawan dengan tipe ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Campers setelah mencapai tahap tertentu, berhenti melangkah meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan quitters, campers sekurangkurangnya telah menanggapi tantangan yang dihadapinya sehingga mampu mencapai tingkat tertentu.

Dalam bekerja, para campers menunjukkan sejumlah inisiatif dan usaha. Karyawan dengan tipe ini akan bekerja keras untuk dapat merasa aman dan tidak akan dengan sengaja mengambil resiko dipecat.

3) Climbers

(12)

mendapatkan yang terbaik. Karyawan dengan tipe ini akan terus memperbaiki, bertumbuh dan memberikan kontribusi bagi perusahaan dan kehidupannya sendiri.

Para quitters tidak selamanya kehilangan kesempatan jika mendapatkan berbagai bantuan. Para campers akan mendapat dorongan untuk bertahan ketika menghadapi kesulitan yang dihadapi. Para climbers menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada hentinya. Meskipun demikian, ada kalanya ketika climbers menghentikan pendakiannya untuk sementara waktu dan memilih untuk berkemah. Namun, persinggahan ini berbeda dengan tipe campers yang menetap di perkemahan tersebut. Para climbers berhenti sejenak untuk memulihkan tenaga dan kekuatan untuk menghadapi kesulitan selanjutnya. Kesuksesan yang diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan setelah yang lainnya menyerah.

C. MEDICAL REPRESENTATIVE

(13)

memiliki surat izin untuk penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

Mehrotra (1996) mengatakan bahwa alur kerja seorang medical reps bersifat penjualan secara tidak langsung (indirect selling). Penjualan dimulai dengan mempromosikan produk/obat farmasi kepada dokter, lalu dokter menuliskan resep obat yang dipromosikannya, setelah itu resep tiba di apotek dan apotek akan membeli persediaannya kembali ke pedagang besar farmasi atau pabrik farmasi. Dengan kata lain, penjualan tidak langsung dilakukan medical reps kepada dokter yang dikunjunginya.

Keberhasilan seorang medical reps apakah tercapai atau tidak tercapainya target dilihat dari jumlah order apotek di wilayah kerja medical representative. Selain jumlah penjualan, target yang harus dicapai juga mencakup jumlah kunjungan dokter. Hal ini dapat memudahkan usaha para medical reps untuk mencapai target penjualan obat (Wardana, 2010).

D. DINAMIKA ADVERSITY QUOTIENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA MEDICAL REPRESENTATIVE

(14)

tingkatan yang bervariasi (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif mengacu kepada keinginan karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi karena memiliki kelekatan emosional dengan perusahaan. Komitmen berkelanjutan mengacu kepada keputusan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi karena adanya kebutuhan untuk tetap bekerja di dalam perusahaan. Komitmen normatif mengacu kepada perasaan wajib yang dimiliki karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam perusahaan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi, salah satunya adalah faktor personal. Faktor personal merupakan variabel-variabel individual, yang mencakup variabel demografis dan variabel disposisi. Variabel demografis terdiri dari usia (Salami, 2008; Marchiori & Henkin, 2004; Meyer, dkk., 2002; Suliman & Iles, 2000; Mathieu & Zajac, 1990), masa jabatan (Salami, 2008; Meyer dkk., 2002; Mathieu & Zajac, 1990), tingkat pendidikan (Salami, 2008) dan status pernikahan (Salami, 2008; Mathieu & Zajac, 1990). Variabel disposisi terdiri dari atribut-atribut psikologis seperti afiliasi, otonomi dan work ethic (Meyer & Allen, 1991), motivasi berprestasi (Salami, 2008; Meyer & Allen, 1991), locus of control (Suman & Srivastava, 2010; Meyer dkk., 2002), trait kepribadian (Seniati, 2006; Silva, 2006; Morrison, 1997) dan kecerdasan emosional (Salami, 2008; Nikolanu & Tsaousis, 2002).

(15)

yang dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap rekan-rekan, atasan, pekerjaan dan komitmen mereka terhadap perusahaan (Salami, 2008). Wilding (2010) menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosi yang baik, terlebih dahulu harus mengembangkan resiliensi sehingga dapat mengatur emosinya ketika menghadapi masalah. Resiliensi (daya tahan) dipengaruhi oleh adversity quotient (Woo & Song, 2015; Kusumaningtyas, 2012; Stoltz, 2000).

Adversity quotient merupakan kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah dan mengatasi permasalahan hidup (Stoltz, 2000). Ketika bekerja, setiap karyawan pasti pernah mengalami permasalahan, kesulitan dan tantangan, termasuk karyawan pemasaran di perusahaan Farmasi yang bertugas memasarkan obat-obatan, seperti medical representative. Penurunan penjualan dan pemotongan jumlah karyawan harus dihadapi sebagai dampak dari Program BPJS Kesehatan bagi perusahaan farmasi. Untuk dapat mengatasi kesulitan tersebut, medical representative diharapkan memiliki adversiy quotient yang tinggi. Karyawan yang memiliki adversity quotient yang tinggi akan terus berusaha untuk mengatasi masalah sehingga dapat mencapai tujuan dan sukses (Stoltz, 2000).

(16)

ketika karyawan memiliki adversity quotient yang tinggi, maka karyawan tersebut akan mengembangkan resiliensi sehingga mampu beradaptasi dan bangkit ketika menghadapi situasi sulit. Karyawan yang memiliki resiliensi yang tinggi akan lebih berkomitmen ketika perusahaan menghadapi perubahan, termasuk gejolak akibat program BPJS Kesehatan terhadap perusahaan farmasi.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa adversity quotient memiliki hubungan dengan komitmen karyawan terhadap organisasi. Komitmen organisasi terdiri dari 3 komponen, sehingga dapat diasumsikan pula bahwa adversity quotient berhubungan dengan komitmen afektif, komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan asumsi-asumsi dan kajian teoretik di atas, diajukan beberapa hipotesis, yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SEJARAH

Proxy server adalah sebuah sistem yang menjembatani komputer dengan jaringan internet, dimana jaringan internet sering digunakan untuk mencari data dan informasi dengan cepat

[r]

Virtual Class khususnya pada matakuliah Rekayasa Pondasi Dangkal jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma ini di tujukan kepada mahasiswa dan dosen yang bersangkutan untuk

Penulisan ilmiah ini berisi tentang cara bagaimana menggunakan atau memanfaatkan osCommerce untuk membangun sebuah toko online, dari tahap instalasi, konfigurasi admin, sampai

[r]

Soetetjo (2014) meneliti implementasi web – scada untuk memonitor dan mengontrol sistem pembangkit hibrida surya – angin secara remote melalui jaringan

Semen Portland pozzolan (SPP) atau dikenal juga sebagai Portland Pozzolan Cement (PPC) adalah merupakan semen hidrolisis yang terdiri dari campuran yang homogen antara semen Portland