2.1Komunikasi Terapeutik
2.1.1Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik menurut Potter (2005) adalah proses di mana
perawat yang menggunakan pendekatan terencana mempelajari klien. Komunikasi terapeutik adalah hubungan terapeutik dimana perawat dan klien
memperoleh pengalaman belajar bersama serta memperbaiki pengalaman emosional klien yang negatif. Komunikasi terapeutik juga dapat dipersepsikan sebagai proses interaksi antara klien dan perawat yang membantu klien
mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi diri (Kozier dan Glenora, 2000).
Sedangkan menurut Damaiyanti (2008), komunikasi terapeutik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan pasien. Jadi,
komunikasi terapeutik adalah komunikasi antara perawat dan pasien yang bertujuan untuk mengatasi pengalaman emosional klien serta stres sementara yang dialami sehingga memfasilitasi pasien sehat atau dengan kata lain yaitu
komunikasi yang mendukung proses penyembuhan pasien.
2.1.2Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik sengaja dirancang agar hubungan perawat dan
Suryani (2005) menyatakan komunikasi terapeutik bertujuan untuk
mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
a Kesadaran diri, penerimaan diri, dan meningkatkan kehormatan diri
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Dengan melakukan komunikasi terapeutik pada klien tersebut, diharapkan
perawat dapat mengubah cara pandang klien tentang penyakitnya, dirinya, dan menerima diri apa adanya.
b Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain
Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan
diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya.
c Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis
Perawat membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis dan meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan dirinya.
d Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas. Dalam hal ini
2.1.3 Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Arwani (2002) menyatakan ada 3 hal mendasar yang menjadi ciri-ciri (karakteristik) komunikasi terapeutik, yaitu:
1. Keikhlasan (Gunuineness)
Perawat dalam membantu klien harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu
menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan -nya secara
tepat. Perawat tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien.
2. Empati (Empathy)
Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak dibuat-buat
(objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati tidak sama dengan simpati. Perawat akan mudah mengatasi nyeri yang dirasakan pasien, misalnya,
jika dia mempunyai pengalaman yang sama tentang nyeri. Perawat yang berempati dengan orang lain dapat menghindarkan penilaian berdasarkan kata hati
(impulsive judgement) tentang seseorang dan pada umumnya dengan empati akan
menjadi lebih sensitif dan ikhlas. 3. Kehangatan (Warmth)
ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien.
Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam.
2.1.4 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers (dalam Purwanto, 1994, dalam Damaiyanti, 2008) adalah:
a Perawat harus mengenal dirinya yang berarti menghayati, memahami dirinya
sendiri serta nilai yang dianut.
b Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya, dan
saling menghargai.
c Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
d Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.
e Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien
memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah - masalah
yang dihadapi.
f Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan
maupun frustasi.
g Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan
konsistensinya.
i Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
j Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan menyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu
mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual, dan gaya hidup. k Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
l Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara
manusiawi.
m Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil
keputusan berdasarkan pripsip kesejahteraan manusia.
n Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.
2.1.5Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien, perawat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Beberapa teknik
komunikasi terapeutik menurut Wilson dan Kneist (1992) serta Stuart dan Sundeen (1998) (dalam Damaiyanti, 2008) antara lain:
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Dengan mendengarkan perawat mengetahui perasaan klien, memberi kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara (Mundakir, 2006).
2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
menyatakan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggeleng yang
menyatakan tidak percaya.
3. Menanyakan pertanyaan berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. Oleh karena itu, pertanyaan sebaiknya dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata yang
sesuai dengan konteks sosial budaya klien. 4. Pertanyaan tebuka
Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya sesuai kehendak klien tanpa membatasi (Mundakir, 2006). Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “ya” dan “mungkin”, tetapi pertanyaan memerlukan
jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya: “Coba adik ceritakan apa yang adik rasakan?”.
5. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri
Melalui penggulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan
umpan balik bahwa ia mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien (Mundakir,2006). Misalnya: “Oh.. jadi adik tadi
malam tidak bisa tidur karena…”. 6. Mengklarifikasi
klien. Tujuan teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian. Misalnya: “Apa
yang Adik maksudkan dengan…?”. 7. Memfokuskan
Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
8. Menyatakan hasil observasi
Perawat harus memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga klien dapat mengetahui apakah pesannya diterima
dengan benar atau tidak. Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Misalnya: “Adik tampak tegang”.
9. Menawarkan informasi
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien. Perawat tidak membenarkan memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, karena tujuan dari tindakan ini adalah
memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. Penahanan informasi yang dilakukan saat klien membutuhkan akan mengakibatkan klien menjadi tidak
percaya. 10.Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk
mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu, jika tidak akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam
11.Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama telah dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu mengingat topik yang telah
dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya. 12.Memberikan penghargaan
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi kepada klien untuk berbuat
yang lebih baik lagi. Penghargaan dalam pelayanan keperawatan tidak berbentuk materi, akan tetapi berbentuk dorongan psikologis atau inmaterial untuk memacu
lebih baik lagi (Nasir, 2009). 13.Menawarkan diri
Perawat menyediakan diri tanpa repons bersyarat atau respon yang
diharapkan. Misalnya: “ Suster akan duduk menemanimu selama 15 menit”. 14.Memberikan kesempatan pada klien untuk memulai pembicaraan
Memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih
topik pembicaraan.
15.Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. Teknik ini juga mengindikasikan bahwa perawat mengikuti apa yang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan
selanjutnya.
16.Menempatkan kejadian secara berurutan
perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya merupakan akibat dari
kejadian sebelumnya dan juga dapat menemukan pola kesukaran interpersonal. 17.Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien.
18.Refleksi
Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
19. Assertif
Asertif adalah kemampuan dengan secara meyakinkan dan nyaman mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain.
20.Humor
Dugan (1989) (dalam Damaiyanti,2008) menyebutkan humor sebagai hal yang penting dalam komunikasi verbal dikarenakan tertawa mengurangi
ketegangan dan rasa sakit akibat stres, dan meningkatkan keberhasilan asuhan keperawatan.
2.1.6 Sikap Komunikasi Terapeutik
Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi dengan klien.
a Kehadiran diri secara fisik
Egan (dalam Mundakir, 2006) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. 3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan kepedulian dan
keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang dialami klien.
4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat ini meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan
lainnya.
5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon terhadap klien.
b Kehadiran Diri secara psikologis
Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yaitu: 1. Dimensi Respon
Dimensi respon merupakan sikap perawat secara psikologis dalam berkomunikasi kepada klien. Dimensi respon terdiri dari respon perawat
yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan klien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus
dipertahankan sampai pada akhir hubungan. 2. Dimensi Tindakan
yang tinggi dan kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan. Dimensi
tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emotional
chataris, dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1987 dalam Mundakir,
2006).
2.1.7 Tahap Komunikasi Terapeutik
Stuart dan Sundee (dalam Damaiyanti, 2008) mengungkapkan dalam
membina hubungan terapeutik (berinteraksi) perawat mempunyai 4 tahap yaitu: fase pra-interaksi, orientasi, kerja dan terminasi.
1. Fase Pra-interaksi
Pra-interaksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan berkomunikasi dengan klien. Hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah
sebagai berikut: (a) pengetahuan yang dimiliki yang terkait dengan penyakit dan masalah klien, (b) kecemasan dan kekalutan diri, (c) analisis kekuatan diri, dan (d) waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Sedangkan,
hal-hal yang perlu dipelajari dari diri klien yaitu: (a) perilaku klien dalam menghadapi penyakitnya, (b) adat istiadat, dan (c) tingkat pengetahuan (Nasir, 2009).
2. Fase Perkenalan
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu klien. Tugas perawat pada tahap perkenalan adalah:
a Memberikan salam dan tersenyum pada klien b Memperkenalkan diri dan menanyakan nama klien
c Melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif) pada pertemuan berikutnya d Menentukan mengapa klien mencari pertolongan
f Membuat kontrak timbal balik
g Mengeksplorasi perasaan klien, pikiran dan tindakan h Mengidentifikasi masalah klien
i Mendefinisikan tujuan dengan klien
j Menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan k Menjelaskan kerahasiaan
3. Fase Kerja
Fase kerja merupakan inti hubungan perawatan klien yang terkait erat
dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Tugas perawat pada tahap ini adalah: (a) memberi kesempatan klien untuk bertanya, (b) menanyakan keluhan utama/
keluhan yang mungkin berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan, (c) memulai kegiatan dengan cara yang baik dan (d) melakukan kegiatan sesuai rencana.
4. Fase Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan perawat dan klien.
Terminasi dibagi dua, yaitu: terminasi sementara dan terminasi akhir. a. Terminasi sementara
Terminasi sementara dilakukan bila perawat mengakhiri tindakan
keperawatan, masa tugas berakhir atau operan dengan teman sejawat dalam rangka untuk peralihan tugas.
b. Terminasi akhir
discharge planning yaitu memberikan pesan-pesan pokok yang perlu dilakukan
oleh klien untuk ditindak lanjuti di rumah atau di tempat yang lain. Kegiatan yang dilakukan pada tahap terminasi adalah sebagai berikut:
a) Evaluasi subjektif, merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi suasana hati setelah terjadi interaksi dengan klien.
b) Evaluasi objektif, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi
respons objektif terhadap hasil yang diharapkan dari keluhan yang dirasakan, apakah ada kemajuan atau sebaliknya.Untuk mengevaluasi ini
perawat cukup berpegang pada Nursing Outcome Clasification dari tujuan yang ingin dicapai agar tidak terjadi bias dan tepat sasaran.
c) Tindak lanjut, merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
menyampaikan pesan kepada klien mengenai lanjutan dari kegiatan yang telah dilakukan (Nasir, 2009).
2.1.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
Menurut Potter & Perry dalam Nurjannah (2001) (Tamsuri, 2005), ada faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi terapeutik itu, diantaranya:
perkembangan, persepsi, nilai, latar belakang sosial budaya, emosi, pengetahuan, peran dan hubungan, lingkungan, jarak, dan masa kerja.
2.1.9 Komunikasi pada Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah, periode ini dimulai pada usia 6 tahun sampai 11 tahun atau 12 tahun (Supartini, 2004). Pada usia ini anak telah mencapai kesempurnaan
Pada usia ini, anak kurang mengandalkan apa yang mereka lihat tetapi
lebih pada apa yang mereka ketahui bila dihadapkan pada masalah baru. Mereka butuh penyelesaian untuk segala sesuatu tetapi tidak membutuhkan pengesahan
dari tindakan yang dilakukan. Pada masa ini anak sudah dapat memahami penjelasan sederhana dan mampu mendemonstrasikannya. Anak perlu diizinkan untuk mengekspresikan rasa takut dan keheranan yang dialaminya (Mundakir,
2006).
Anak usia sekolah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakannya akan
mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila perawat akan melakukan suatu tindakan, ia akan bertanya mengapa dilakukan, untuk apa, dan bagaimana caranya dilakukan? Anak membutuhkan penjelasan atas pertanyaannya. Gunakan
bahasa yang dapat dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya (Damaiyanti, 2008).
Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang
dewasa. Perbendaharaan katanya sudah lebih banyak, sekitar 3000 kata dikuasai dan anak sudah mampu berpikir secara kongkret. Apabila akan melakukan
tindakan, perawat dapat menjelaskannya dengan mendemonstrasikan pada mainan anak. Misalnya, bagaimana perawat akan menyuntik diperagakan terlebih dahulu pada bonekanya (Damaiyanti, 2008).
Fokus untuk komunikasi dengan anak usia sekolah menurut Potter & Perry (2005) yaitu:
b Anak tertarik dalam aspek fungsional objek dan kegiatan (apa yang akan
terjadi, mengapa hal itu terjadi). c Anak memperhatikan integritas tubuh.
d Anak harus diizinkan untuk memanipulasi perlengkapan, misalnya memegang palu perkusi.
e Anak memahami penjelasan sederhana dan mendemostrasikannya.
f Anak harus diizinkan untuk mengekspresikan rasa takut dan keheranan.
2.1.10 Cara Komunikasi Terapeutik pada Anak
Mundakir (2006) menyatakan bahwa cara yang terapeutik dalam
berkomunikasi dengan anak adalah sebagai berikut:
1. Nada suara, bicara lambat dan jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas
dengan pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendesak untuk dijawab dengan mengatakan “jawab dong”.
2. Mengalihkan aktivitas, Anak lebih tertarik pada aktivitas yang disukai
sehingga perlu dibuat jadwal yang bergantian antara aktivitas yang disukai dan aktivitas terapi yang diprogramkan.
3. Jarak interaksi, perawat yang mengobservasi tindakan non verbal dan sikap tubuh anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam berinteraksi.
4. Marah, perawat yang perlu mempelajari tanda kontrol perilaku yang rendah pada anak untuk mencegah tempertantrum. Perawat menghindari
5. Kesadaran diri, perawat harus menghindari konfrontasi secara langsung,
duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Perawat secara non verbal selalu memberi dorongan, penerimaan, dan persetujuan jika diperlukan.
6. Sentuhan, jangan sentuh anak tanpa izin anak. Salaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan stres dan cemas khususnya pada anak laki-laki. Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Ikatan
kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego, perpisahan, dan kemandirian.
2.2Konsep Hospitalisasi 2.2.1 Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi menurut Supartini (2005) adalah suatu proses yang karena
suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai
kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stres.
Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stress akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, anak
mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanismme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Berbagai perasaan
2.2.2 Stresor Hospitalisasi Anak Usia Sekolah
Menurut Wong (2008), stresor utama dari hospitalisasi antara lain: 1. Cemas akibat perpisahan
Secara umum anak usia sekolah lebih mampu melakukan koping terhadap perpisahan, stres dan sering kali disertai regresi akibat penyakit atau hospitalisasi dapat meningkatkan kebutuhan mereka akan keamanan dan bimbingan dari orang
tua. Anak-anak usia sekolah pertengahan dan akhir dapat lebih cemas terhadap perpisahan dengan aktivitas mereka yang biasa dan teman sebaya daripada
ketidakhadiran orang tua. Reaksi-reaksi yang umum terjadi pada anak usia sekolah seperti: kesepian, bosan, isolasi, dan depresi.
2. Kehilangan kendali
Anak usia sekolah biasanya rentan terhadap kejadian-kejadian yang dapat mengurangi rasa kendali dan kekuatan mereka, seperti rutinitas rumah sakit. Bagi anak usia sekolah, aktivitas ketergantungan seperti tirah baring yang dipaksakan,
penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, bantuan mandi di tempat tidur, atau berpindah dengan kursi roda atau brankar dapat
menjadi ancaman langsung bagi rasa aman mereka. Meskipun semua prosedur ini tampak rutin dan tidak bermakna, namun prosedur tersebut tidak memungkinkan kebebasan memilih bagi anak-anak yang ingin “bertindak dewasa”. Selain
lingkungan rumah sakit, penyakit juga dapat menyebabkan perasaan kehilangan kendali.
3. Cedera tubuh dan nyeri
yang menderita penyakit kronis lebih cenderung mengidentifikasi prosedur
instrusif sebagai hal yang menimbulkan stres, sedangkan anak-anak yang menderita penyakit akut cenderung mengindikasikannya dengan gejala fisik.
Pencarian informasi cenderung menjadi salah satu cara koping mempertahankan rasa kendali walau stres dan kondisinya yang tidak pasti.
Meskipun anak sekolah dapat bekerja sama selama pemeriksaan atau
selama prosedur yang dilakukan pada area genital, hal ini biasanya sangat menimbulkan stres bagi mereka, terutama pada kasus praremaja yang mulai
mengalami perubahan pubertas. Sebagian besar menghargai penjelasan prosedur yang diberikan dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang akan terjadi. Sebaliknya, anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali
dengan berupaya menunda kejadian tersebut.
2.2.3 Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi
Menurut Wong (2008), hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada
anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit sehingga anak harus beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut
dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman sebelumnya dengan penyakit, perpisahan, atau hospitalisasi, keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis, dan sistem pendukung yang ada.
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1) Perkembangan anak
muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan
pengalaman di rumah sakit.
2) Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya
Supartini (2004) mengungkapkan apabila anak pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan saat dirawat di rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan anak takut dan trauma, sebaliknya apabila saat dirawat di rumah sakit anak
mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter.
3) Dukungan keluarga
Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan
kepada orang terdekat dengannya misal orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat
merasa takut dan cemas bahkan sangat merasa ketakutan. 4) Perkembangan koping dalam menangani stressor
Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima keadaan bahwa dia harus di rawat di rumah sakit maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani perawatan di rumah sakit.
Proses perawatan yang seringkali butuh waktu lama akhirnya menjadikan anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi penyakit
a. Penolakan (avoidance)
Perilaku dimana anak berusaha menghindar dari situasi yang membuatnya tertekan. Anak berusaha menolak treatment yang diberikan, seperti tidak mau
disuntik, tidak mau dipasang infus, menolak minum obat, bersikap tidak kooperatif kepada petugas medis.
b. Mengalihkan perhatian
Anak berusaha mengalihkan perhatiaan dari pikiran atau sumber yang membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya membaca buku
cerita saat di rumah sakit, menonton TV saat dipasang infus, atau bermain mainan yang disukai.
c. Berupaya aktif (active)
Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara aktif. Perilaku yang sering dilakukan misalnya menanyakan tentang kondisi sakitnya kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap kooperatif terhadap
petugas medis, minum obat teratur, beristirahat sesuai dengan peraturan yang diberikan.
d. Mencari dukungan (support seeking)
Anak mencari dukungan dari orang lain untuk melepasakn tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang
yang dekat dengannya, misalnya dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta
2.3Konsep Stres 2.3.1 Definisi Stres
Selye (dalam Potter, 2005) menyatakan bahwa stres adalah segala situasi
di mana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk berespons atau melakukan tindakan, respon atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan psikologis. Sedangkan Lyness (2007) dalam Laela (2008) mencetuskan bahwa
stres merupakan perasaan yang muncul ketika seseorang berinteraksi dengan kejadian tertentu. Atkison (2000) menyebutkan bahwa stres dapat terjadi jika
seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Jadi, stres adalah suatu perasaan yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada kejadian/ situasi yang mengancam kesehatan fisik dan
psikologisnya sehingga mengharuskan seseorang untuk berespon secara fisiologis dan psikologis.
Stres dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan
dengan apa yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stres dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan
masalah, berpikir secara umum, dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Selain itu, stres dapat menganggu pandangan umum seseorang terhadap hidup, sikap yang ditujukan pada orang yang disayangi dan status kesehatan (Potter,
2005). Namun, selain dapat menyebabkan perasaan negatif, stres juga dapat menyebakan perasaan positif berupa semangat dan motivasi untuk merasih
sesuatu.
masih ringan, stres masih belum berpengaruh kepada fisik dan psikologis hanya
saja penderita sudah mulai tegang dan merasa was-was. Stres sedang, mulai kesulitan tidur, sering menyendiri, dan merasa tegang. Sedangkan stres berat
penderita sudah mulai mengalami gangguan fisik dan psikologis dimana kondisi ini sangat memerlukan bantuan dan penanganan dokter ahli.
2.3.2 Fisiologi Stres dan Adaptasi
Tubuh selalu berinteraksi dan mengalami sentuhan langsung dengan lingkungan, baik lingkungan internal (seperti pengaturan peredaran darah,
pernapasan) maupun lingkungan eksternal (seperti cuaca dan temperatur yang kemudian menimbulkan respon normal atau tidak normal). Keadaan dimana terjadi mekanisme relatif untuk mempertahankan fungsi normal disebut
homeostasis. Homeostasis dibagi dua yaitu homeostasis fisiologis (misalnya, respons adanya peningkatan pernapasan saat berolahraga) dan homeostasis psikologis (misalnya, perasaan mencintai dan dicintai, perasaan aman, dan
nyaman) (Tarwoto,2010).
2.3.3 Sumber Stres
Stresor adalah stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan (Potter, 2005). Menurut Alimul (2009), Stresor, faktor yang menimbulkan stres, dapat berasal dari sumber internal (diri sendiri) dan eksternal (keluarga,
masyarakat dan lingkungan).
1. Internal. Faktor internal stres bersumber dari diri sendiri. Stres individual
2. Eksternal. Faktor eksternal stres dapat bersumber dari keluarga, masyarakat
dan lingkungan.
2.3.4 Jenis Stres
Alimul (2009) membedakan stres ke dalam beberapa jenis yang ditinjau dari penyebabnya, yaitu:
1. Stres fisik, merupakan stres yang disebabkan oleh keadaan fisik, seperti suhu
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dan lain-lain.
2. Stres kimiawi, merupakan stres yang disebabkan oleh pengaruh senyawa
kimia yang terdapat pada obat-obatan, zat beracun asam, basa, dan lain-lain. 3. Stres mikrobiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh kuman, seperti
virus, bakteri, dan parasit.
4. Stres fisiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh gangguan fungsi organ tubuh, antara lain gangguan struktur tubuh dan lain-lain.
5. Stres proses tumbuh kembang, merupakan stres yang disebabkan oleh proses
tumbuh kembang.
6. Stres psikologis atau emosional, merupakan stres yang disebabkan oleh
gangguan situasi psikologis untuk menyesuaikan diri, misalnya hubungan interpersonal dan lain-lain.
2.3.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Terhadap Stesor
Respons terhadap stresor yang diberikan pada individu akan berbeda, hal tersebut tergantung dari faktor stresor dan kemampuan koping yang dimiliki
1. Sifat stresor
Sifat stresor dapat berubah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur dan dapat memengaruhi respons seseorang dalam menghadapi stres, tergantung
mekanisme yang dimilikinya. 2. Durasi stresor
Lamanya stresor yang dialami seseorang dapat memengaruhi, apabila
stresor yang dialami lebih lama, maka respons juga akan lebih lama, dan tentunya dapat memengaruhi fungsi tubuh.
3. Jumlah stresor
Semakin banyak stresor yang dialami seseorang, semakin besar dampaknya bagi fungsi tubuh.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu akan menjadi bekal dalam menghadapi stres berikutnya.
5. Tipe kepribadian
Menurut Friedman dan Rosenman (1974) dalam Alimul (2009),
terdapat dua tipe kepribadian, yaitu tipe A dan tipe B. Orang dengan tipe kepribadian A lebih rentan terhadap stres apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki tipe kepribadian B.
6. Tahap perkembangan
Tahap perkembangan individu dapat membentuk kemampuan adaptasi
2.3.6 Tahapan Stres
Robert J. Van Amerg, 1979 (dalam Dadang, 2001, Alimul 2009) menyebutkan stres dapat dibagi ke dalam enam tahap berikut:
1. Tahap pertama. Tahap ini dimana tahap stres yang paling ringan dan biasanya ditandai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih tajam dari biasanya, dan merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih
dari biasanya.
2. Tahap kedua. Pada tahap ini, dampak stres yang semula ‘menyenangkan’
mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena habisnya cadangan energi.
3. Tahap ketiga. Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai,
maka keluhan akan semakin nyata seperti gangguan lambung dan usus, ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan tidur, dan lain-lain.
4. Tahap keempat. Ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin.
5. Tahap kelima. Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut dan cemas. 6. Tahap keenam. Tahap ini merupakan tahap puncak. Biasanya ditandai dengan
timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan jantung berdetak lebih cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat, dan adanya
2.3.7 Stres Pada Anak
Anonim (2003) dalam Laela (2008) menjelaskan bahwa stres dalam dunia anak terjadi apabila merasa tidak mampu untuk menahan tekanan-tekanan yang
berasal dari luar dirinya (external pressure), misalnya tekanan dari teman-teman, keluarga dan sekolah; atau dari dalam dirinya sendiri (internal pressure).
Anak-anak bereaksi terhadap stres dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa anak mungkin dapat sakit, beberapa dapat mengalami ketegangan dan menarik diri dari lingkungan, sedangkan yang lainnya, dapat menunjukkan
amarah dan menjadi manja. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa anak yang tidak mengalami kesulitan oleh stres. Anak-anak seperti ini dikenal sebagai anak yang tabah (Ruffin (2001) dalam Laela (2008)).
Longgo dalam Laela (2008) menyatakan bahwa stres muncul sebenarnya sebagai manifestasi dari perasaan cemas yang membuat anak tertekan dan merasa tidak mampu mengatasinya. Anak usia sekolah awal terkadang akan
mengekspresikan perasaan secara langsung. Beberapa anak mungkin akan memendam stres dan menunjukkannya melalui kesedihan, depresi, atau menarik
diri dari lingkungan. Anak yang lain mungkin mengekspresikan perasaan stres keluar dan mulai berperilaku tidak pantas misalnya mencuri dan berbohong.
Selain itu, Ruffin (2001) dalam Laela (2008) menyebutkan bahwa
penyebab stres itu bisa terjadi karena kejadian negatif maupun positif. Kejadian dalam keluarga seringkali merupakan sumber stres pada anak. Perpecahan dalam
mampu menyebabkan stres pada anak, misalnya pesta ulang tahun,memiliki
peliharaan baru, dan kelahiran adik baru.
Anonim (2005) dalam Laela (2008) mencetuskan bahwa hal yang paling
sering menimbulkan stres adalah situasi yang mengancam dan menimbulkan rasa tidak aman. Bagi anak, sedikit perubahan atau kehilangan sesuatu atau seseorang yang disayangi maupun situasi yang bisa mengancam rasa aman atau kasih sayang
dan perhatian bisa menjadi sumber stres yang besar, misalnya, pindah rumah, perceraian orangtua, masuk sekolah, pindah sekolah, ditinggal orang terdekat,
kematian orang terdekat atau binatang kesayangan.
Kondisi fisik yang menurun, misalnya seperti seringkali sakit untuk jangka waktu lama, juga membuat anak tertekan dan daya tahan tubuhnya melemah,
sehingga mempengaruhi pula ketahanan mentalnya. Selain itu, sibling rivalry
(persaingan antarsaudara) juga dapat menimbulkan stres pada anak, karena hal tersebut berpengaruh pada kedudukan anak di rumah.
Untuk mengatasi stress, usia sekolah menggunakan mekanisme pemecahan masalah dan pertahanan meliputi regresi, penolakan, agresi, dan
supresi. Beberapa kategori perilaku koping anak usia sekolah yang mengalami hospitalisasi meliputi ketidakaftifan (diam total, kurang beraktivitas, dan apatis). Orientasi pra-koping (melihat dan mendengar , berjalan berkeliling, dan
mengamati, dan menanyakan pertanyaan, Kooperasi (kepatuhan terhadap perawatan), resistensi (berusaha menghindar dari situasi dengan menolak atau
Menurut Nuryanti (2008) beberapa gejala atau tanda yang menunjukkan
adanya stres pada anak-anak usia sekolah, diantaranya:
a. Kemunduran perilaku kembali ke tahap sebelumnya, mengompol, menggigit
kuku, menghisap jari.
b. Menarik diri dengan sebab yang tidak jelas, tidak mau bicara, murung. c. Kehilangan motivasi atau kemampuan untuk konsentrasi di sekolah.
d. Perubahan perilaku yang kelihatan.
e. Nafsu makan menurun dan tidur tidak nyenyak.
f. Mudah tersinggung tanpa sebab yang jelas. g. Keluhan fisik; sakit perut atau sakit kepala.