BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang
usahaatau jenis bisnis mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah
satuvariasi bisnis yang sedang berkembang adalah bisnis Multi Level
Marketing(selanjutnya disebut MLM). Meskipun belum mencapai puncak kejayaan
seperti di negara-negara lain, paling tidak MLM sudah berjalan di Indonesia. Artinya
adalah bahwa ada orang-orang Indonesia yang ‘welcome’ terhadap bisnis MLM.
MLM adalah sistem penjualan berkelompok melalui keanggotaan yang berbentuk tim
pemasaran secara bertingkat. Sistem MLM ini lebih mengutamakan kebersamaan
dalam mencapai tingkat omset penjualan perusahaan. Seorang anggota yang dapat
memimpin timnya dalam memasarkan produk perusahaan akan diberikan komisi atau
bonus sesuai dengan sistem yang berlaku pada masing-masing perusahaan MLM
tersebut.1
MLM termasuk kepada penjualan langsung (direct selling) dimana penjualan
langsung adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan
pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi
1
dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran
tetap.2
1. Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat), maksudnya adalah metode
pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui
program pemasaran berbentuk satu tingkat dimana, mitra usaha mendapatkan
komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau
jasa yang dilakukannya sendiri; dan
Penjualan langsung terdiri dari 2 (dua) sistem, yaitu :
2. Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat), maksudnya adalah metode
pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui
program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha
mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan
barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam
kelompoknya.3
Menurut Robert T. Kiyosaki, bisnis MLM berpotensi melahirkan orang yang
ultra kaya. Kalau menurut majalah Forbes, ultra-kaya adalah orang-orang yang
berpenghasilan lebih dari 1 juta US Dollar per bulan. Misalnya 1 USD adalah Rp.
8.500,- maka sebulan orang tersebut berpenghasilan Rp. 8,5 miliar. Dan bisnis ini
dapat melahirkan sekitar 20% dari 500 jutawan di Amerika, dari 100 (seratus)
2
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung.
3
perusahaan terbesar di Amerika, 37 persennya berjalan di bidang MLM. Menurut
John Naitsbitt, dalam buku Mega Trend yang diterbitkan tahun 2000, menyatakan
bahwa : “Dalam pasaran Asia tahun 1990-2000, hanya ada tiga jenis bisnis yang
berkuasa, yaitu telekomunikasi, komputer, dan produksi obat-obatan yang berasaskan
MLM. Di Malaysia, 35 persen jutawannya merupakan jutawan MLM. Diperkirakan
akan ada peningkatan besar-besaran pada abad ke-21. Hanya saja bisnis ini bisa
dijalankan sebagai bisnis sampingan dulu dengan memanfaatkan waktu luang. Inilah
keistimewaan bisnis ini. Jadi, kalau sebagai pekerja atau memiliki bisnis
konvensional, bisa saja untuk sementara waktu bisnis MLM dapat dijadikan sebagai
bisnis sampingan.4
Network Marketing atau lebih dikenal dengan Multi Level Marketing adalah
bisnis yang pernah booming di Indonesia. Sampai saat ini, member di Indonesia
mencapai lebih dari 5 juta orang. Prinsip yang digunakan oleh network marketing
adalah membantu orang lain untuk sukses guna meraih kesuksesan yang lebih lagi.5 Di Indonesia terdapat lebih dari 100 (seratus) perusahaan yang berkecimpung
dalam industri bisnis MLM. Pertumbuhannya pada tahun 2011 yang lalu diperkirakan
mencapai 20%. Menurut Helmi Attamimi, Ketua Asosiasi Penjualan Langsung
Indonesia (APLI) menyatakan bahwa “Permohonan Surat Izin Usaha Penjualan
Langsung (izin khusus penyelenggaraan usaha MLM) di BKPM selalu ada”.6
4
Mohd. Rozani Pawan Chek, Mind Therapy for MLM : Sukses Merangkai Gurita Bisnis Paling Luas dan Menguntungkan, Cet. I, (Jakarta : Hikmah, 2007), hal. 4.
5
Bong Chandra, Unlimited Wealth : Habis dibaca Dalam 10 Menit, Cet. Ke-VIII, (Jakarta : Gramedia, 2011), hal. 69.
6
Pada tahun 1986, di Indonesia terdapat perusahaan pertama yang memasarkan
produknya dengan cara MLM, yaitu PT. Nusantara Sun Chlorella, yang dikenal
dengan nama CNI. Kemudian diikuti pula oleh Amway masuk ke Indonesia, dan
perusahaan-perusahaan lain seperti Sunrider, Daxen, Sophie Martin, Herbalife, dan
lain sebagainya. Sayangnya perjalanan panjang perusahaan MLM di Indonesia
menjadi terseok-seok, akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab
mendirikan perusahaan yang memakai sistem money game.7
Praktek bisnis yang dijalankan berkedok MLM ini biasanya perusahaan
menjalankan sistem money game. Perusahaan money game yang berkedok MLM
bukanlah termasuk MLM. Sebagai contoh, pada tahun 1996, perusahaan BMA
(Banyumas Mulia Abadi) adalah bisnis yang paling jelas-jelas menipu masyarakat.
Dimana seseorang belanja 1 paket kaos dan jean senilai Rp. 1,5 juta maka 21 hari
kemudian dijanjikan bonus sebesar Rp. 2,5 juta sehingga orang tertarik bukan pada
paket produknya melainkan pada janji bonusnya. Contoh selanjutnya adalah PT.
Permata Nusantara, yang didirikan pada tahun yang sama, New Era 21 pada tahun
1999, CKSS (Citra Keluarga Sejahtera Sentosa pada tahun 1999, PT. MLM (Mekar
Langsung Mandiri) pada tahun 1999, PT. Media Laksana Mandiri pada tahun 1999,
PT. Inter Jasa Perkasa pada tahun 1999, dan Higam Net (Hidup Gembira Awet Muda
Network) pada tahun 1999. Konsep yang dipakai perusahaan seperti tersebut
sebelumnya adalah produk dijual setinggi langit namun yang menjadi nilai jual
7
(selling point) adalah pengembalian modal (return of investment) hingga minimal 1,5
– 2 x lipat dari modal awal bergabung.8
Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi khususnya
di bidang penyelenggaran usaha MLM yang memanfaatkan produk-produk
layanannya baik pemanfaatan teknologi maupun informasi dalam transaksi bisinisnya
telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan.9 Hal ini ditandai dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta
pertanggungjawaban atas kesalahan10
8
“Beberapa Jenis Kasus Bisnis Money Game”,
berupa tindak pidana yang dilakukan,
melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi
dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi
kejahatan.
5 November 2011.
9
Lihat : Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1, yang menyatakan bahwa : ”Teknologi informasi oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 dipandang sebagai hal yang amat vital dalam pertumbuhan ekonomi dunia ke delapan, perluasan kesempatan belajar serta perolehan informasi masyarakat di dunia. Salah satu pasal dari Deklarasi Okinawa tentang masyarakat informasi global menyatakan kegagalan negara-negara berkembang dalam mengikuti akselerasi teknologi informasi akan membuat mereka tidak mempunyai kesempatan berpartisipasi penuh di dalam masyarakat informasi dan masyarakat ekonomi dunia”.
10
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, (Semarang, 1987/1988), hal. 85, yang mengatakan bahwa : ”Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan kata lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.
Bandingkan dengan : Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 67, yang menyatakan bahwa : ”Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat persyaratan yakni, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang, dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau
Bisnis MLM merupakan bisnis yang bergerak di sektor perdaganganbarang
dan/atau jasa yang menggunakan sistem MLM sebagai strategi bisnisnya.Adapun
sistem MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah indukperusahaan
dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatujaringan orang-orang
bisnis yang independen.11Perkembangan Industri bisnis MLM di Indonesia memberi dampak positifbagi kemajuan perekonomian nasional. Masyarakat Indonesia yang
memperolehsumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah
4,5 jutajiwa dan masih akan bertambah lagi. Prestasi ini sayangnya sering kali
kurangmendapat apresiasi yang positif di masyarakat. Kurangnya apresiasi
tersebutdisebabkan karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak
orangdengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya, sehingga
mencorengnama baik dari industri MLM itu sendiri.12
“Bahwa korban merasa ditipu dan digelapkan haknya berupa reward dan bonus dari PT Latanza, menurut korban pelaku penipuan dan penggelapan adalah direktur utama dan direktur marketting merangkap pimpinan cabang medan. Produk yang diperdagangkan pt latanza adalah alat kesehatan yang ber merk “neopiko” dengan harga @ Rp.1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan bila masuk dalam jaringan multilevel diberikan “id” dan “passw” untuk dapat mengakses ke situs perusahaan
Praktek ilegal dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya dapat
dilihat dalam penanganan kasus di Polresta Medan berdasarkan Laporan Polisi No.
LP/1673/VI/2011/SU/Resta Medan dan Laporan Polisi No. LP/1268/V/201/SU/Resta
Medan, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
multi level marketing yang dijalankan adalah dengan menyediakan brosur
11
David Roller, Menjadi Kaya dengan Multi-Level Marketing, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 3.
12
yang berisi penawaran menarik, pada brosur tertera marketting plan perusahaan yaitu apabila member mencari atau mendapatkan member lain untuk menjadi anggota maka berhak mendapatkan bonus sponsor sebesar Rp.100.000,- bonus pasangan Rp.100.000,- bonus royalti sebesar 25% dari setiap member baru yang didapatkan, serta bonus atas reward dengan level 600 kiri dan kanan sebesar Rp.150.000.000,- Korban sudah mencapai level yg tertera dalam brosur namun sampai pada saat ini tidak mendapatkan reward sesuai yang dijanjikan dan korban mengetahui ada beberapa orang lainnya yang menjadi korban dari kegiatan ini”.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi yang dilakukan Penyidik Polresta Medan terhadap Wakil Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) dikemukakan bahwa PT. TVI Express dan PT. Latanza Global Interlink bukan merupakan anggota dari APLI, syarat untuk menjadi anggota APLI harus memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas rekomendasi dari Deperindag. Mengetahui bahwa PT TVI Express berdiri sejak tahun 2010 dengan modus operandi mirip dengan MLM namun bukan merupakan MLM karena kegiatan PT. TVI Express ada unsur rekrutmen dan kegiatan rekrutmen tersebut menghasilkan uang sedangkan kegiatan tersebut merupakan suatu perbuatan yg dilarang sesuai dengan Permendag RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Perizinan Penjualan Langsung, Pasal 1 angka 12 yang berbunyi sebagai berikut : “Jaringan pemasaran terlarang adalah kegiatan usaha dengan nama atau istilah apapun dimana keikutsertaan mitra usaha berdasarkan pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan yang berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, bukan dari hasil kegian penjualan barang atau jasa. Oleh karenanya menurut wakil ketua APLI kegiatan PT. TVI Express dan PT. Latanza merupakan usaha money game yang berkedok MLM”.
Adapun ciri-ciri usaha money game yakni: Pertama, menjanjikan untung besar dalam waktu singkat. Kedua, penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan. Ketiga, bonus dibayarkan apabila ada perekrutan. Keempat, bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding dengan harga barang tersebut. Kelima, ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.
Masyarakat yang menjadi korban akibat dari praktek-praktek ilegal
mencapaipuluhan triliun rupiah.13
Bisnis berkedok MLM di Indonesia hingga saat ini belum secara tegasdilarang
dalam suatu Undang-Undang yang khusus, sehingga penanggulangannyatidak
berjalan dengan efektif. Penanggulangannya hanya sebatas memidanakanpara pelaku
apabila korban mengadukannya ke pihak yang berwenang, samasekali belum
menyentuh sisi preventifnya. Disamping itu, sosialisasi pemerintahdalam
mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedokMLM juga
sangat minim. Kedua hal inilah yang terus menjadi pemicu maraknyapraktek bisnis
berkedok MLM di Indonesia.
Para korban maupun masyarakat yang hanya
mengetahuiberita-berita terungkapnya kasus penipuan berkedok MLM melalui media
massaumumnya tidak mengetahui perbedaan antara bisnis MLM dengan
bisnisberkedok MLM.
14
13
“Beberapa Jenis Kasus Money Game”, http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-money-game, diakses tanggal 27
Juni 2014. 14
Edy Zaqeus (editor), “Mengapa Orang ‘Mau Jadi Korban’ Money Game atau Skema Piramid?”, INFO APLI Edisi XXXIV (Okt-Des, 2006), hal. 11.
Maraknya bisnis berkedok MLM juga telah
berpengaruh buruk bagi citraindustri bisnis MLM murni. Ada beberapausaha MLM
yang diakui keabsahannya. Beberapa usaha MLM yang dikenal baikseperti CNI,
Amway, Oriflame, Sophie Martin, Prime & First New, Herbalife, dan lain-lain
diyakini sebagai bisnis yang legal karena usahanya telah berlangsung
selamabertahun-tahun dan produk-produknya pun memang sangat diterima
dimasyarakat, namun demikian, nama baik yang telah dibangun dengan
singkatakibat ulah praktek-praktek ilegal yang mengatasnamakan MLM sebagai
kedokusahanya.15
Maraknya praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia harus
segeraditanggulangi dengan upaya-upaya yang lebih konkrit yakni penegakan hukum
pidana yang dilakukan oleh Polri secara terintegrasi. Hal ini didasarkan pertimbangan
bahwa Modus operandi kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mempunyai sifat
spesifik dibandingkan dengan kejahatan konvensional baik yang dilakukan oleh orang
perseorangan ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization
crime. Pencegahan tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem
termasuk sebagai sub-sistem adalah peranan Polri dalam pemberantasan kejahatan
praktek bisnis berkedok MLM dengan tujuan yakni dapat dipidananya perbuatan
pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dengan
menggunakan perangkat hukum yang diatur KUHP,16
15
“Akan Jenuhkah Bisnis MLM?”, http://bravo9682.wordpress.com/category/mlm/page/3/, diakses pada 14 April 2012.
16
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 87, yang menyatakan bahwa : “KUHP adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUHP terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUHP maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUHP (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUHP harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUHP itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUHP itu, berbeda dengan KUHP. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain”.
artinya bahwa penggunaan
yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. Penggunaan KUHP
dalam meminta pertanggungjawaban pelaku adalah mengkonstrusikan Pasal 378
Jo.Pasal 372 Jo.Pasal 55 KUHP tentang Penipuan, Penggelapan dan Turut Serta.
Penanggulangan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM secara represif
dengan menggunakan kerangka KUHP merupakan tindakan pemberantasan dan
sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana (crimal justice system). Penegakan hukum penanggulangan
kejahatan melalui tindakan represif dimulai dari tindakan pihak kepolisian yang
menempatkan Polri sebagai penyidik merupakan salah satu suatu proses dari
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah
merupakan : “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang
telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan
mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Dalam rangka menjerat pelaku
kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mengharuskan terlebih dahulu penyidik
dapat membuktikan adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah
dilakukannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de
veranttwoordelijkheid rechtens).17
Kebijakan penanggulangan kejahatan tetap dilakukan secara integral yang
berarti segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
harus merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana.18 Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka prinsip
utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni19
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
:
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu”.
Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri20
17
Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan). Lihat : Sheldon Glueck, Principles of a Rational Code. Dalam buku : Stanley E. Grupp, Theories of Punishment, Prison and the Public, 1971. P:287-288. Sebagaimana dikutip : Yesmil Anwar & Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal. 37-38.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Alumni, 2002), hal. 13 dan 74.
19
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 34.
20
Lihat : Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
sebagai sub-sistem
dari sistem peradilan pidana dalam penanganan kejahatan praktek bisnis berkedok
pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana21
1. Bagaimana penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?
adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi Hak-hak
Asasi Manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan
utama dari proses Sistem Peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari
kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan,
hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh
sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat
menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan
atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka perlu untuk dilakukan penelitian
dengan judul : “
PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA
YANG TERKAIT DENGAN
MULTI LEVEL
MARKETING”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan
(problem) yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
21
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM?
3. Bagaimana peran Polri dalam penyidikankejahatan praktek bisnis berkedok
MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.
2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek
bisnis berkedok MLM.
3. Untuk mengetahui peran Polri dalam penyidikan kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini nantinya akan dapat memberikan manfaat kepada
Penyidik Polri, Akademisi, Praktisi Hukum dan Masyarakat serta dapat memperkaya
literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Ada 2 (dua) manfaat yang
terdapat dalam penelitian ini, yaitu :
a. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap peran
Polri dalam menangani tindak pidana praktek bisnis berkedok
MLM;dan
b. Memperkaya literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara;
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya
Penyidik Polri untuk menangani dan menjerat pelaku tindak pidana
praktek bisnis berkedok MLM;
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat ingin menginvestasikan
uangnya kepada bisnis MLM agar terhindar dari tipu muslihat
pengusaha pebisnis berkedok MLM;
c. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi Hukum dalam menangani
perkara terkait bisnis berkedok MLM yang dapat merugikan
masyarakat.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan,
penelitian yang berjudul “PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING” khususnya
di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister
Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini merupakan
hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional,
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya
membangun terkait dengan topik dan permasalahan dlam penelitian ini.
Namun, ada juga beberapa penelitian yang membahas permasalahan yang
berbeda, yaitu : “ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS BERKEDOK
MULTI LEVEL MARKETING”, ditulis oleh Susfani Kesuma Maharani. Penelitian
ini membahas mengenai22
1. Legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap bisnis
berkedok MLM; dan :
2. Penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek
bisnis berkedok MLM.
Terhadap penelitian tersebut di atas merupakan penelitian yang dibuat dalam
bentuk skripsi, dan mengenai permasalahan yang diangkat juga berbeda dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, apabila ada ditemukan plagiat ataupun duplikasi dari penelitian lain di
kemudian hari. Selanjutnya, penelitian ini juga dapat disebut asli sesuai dengan
asas-asas keilmuan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
22
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Pencapaian kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan nasional
harus di dukung oleh perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan, oleh
karenanya pembangunan di bidang hukum yang berorientasi pada pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai sarana perwujudan proses penegakan hukum
harus ditempatkan sebagai sarana perioritas dan penunjang pembangunan nasional
tersebut, salah satu prosesnya adalah menempatkan kriminalisasi kejahatan penipuan
dengan menggunakan alat transaksi perbankan dalam menjalankan aksi kejahatan.
Kriminalisasi23
23
Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, (Semarang: Makalah dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988), hal. 22-23, yang menyatakan bahwa : ”Syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social (public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbangan-pertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)”.
ini harus didasarkan pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan dan penggunaan sarana
transaksi perbankan. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang
ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan,
oleh karena itu setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus
dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama,
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan
(predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah
yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama
kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan
tradisional.24 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan sebagai white collar crime.25
Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice systemterhadap kejahatan
praktek bisnis berkedok MLM pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum
pidana,26
24
Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12, selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.
25
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, (Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004), yang menyatakan bahwa : Konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”.
26
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan
hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat
berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum
hakikatnya sama dengan penegakan hukum.27 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi
atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan
penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu
tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak
pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan
hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan
tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.28
Hakekat dari fungsi kepolisian terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi
utama yaitu, preemtif, preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif
adalah mencari dan menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang
bersifat lintas sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan
pencegahan yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early
warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi, sedangkan Hakekat fungsi kepolisian dalam suatu negara yang berdasar hukum seperti
Indonesia maka Polri adalah aparatur penegak hukum sesuai Pasal 2 UU No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerinatahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
penganyoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
27
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157. 28
represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam hal fungsi represif
penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri terhadap pelaku kejahatan.
Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan
hukum kejahatan praktek bisnis berkedok MLM untuk mengukur profesionalisme
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari29
1. “Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada Undang-Undang saja.
:
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat”.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum yang terpadu. hubungan kerja sama tersebut di atas
akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan
memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub
sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan
satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan
semua pihak.
Untuk menjawab seluruh permasalahan pada rumusan masalah di atas
digunakanlah teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam
bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid”, “criminal responsibility”,
“criminal liability”, pertanggungjawaban pidana disini untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap
tindakan yang dilakukannya itu.30
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound, menyatakan bahwa:
“I … Use simple word ‘liability’ for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjeced to the exaction”.31
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka untuk menjawab rumusan masalah
pada permasalahan tetang penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung di Indonesia adalah bagi pelaku bisnis
berkedok MLM harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya yang telah
merugikan orang lain. Akan tetapi, harus dibuktikan terdahulu apakah perbuatan Pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
30
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet-IV, (Jakarta : Alumni Ahaem-Peteheam, 1996), hal. 245.
31
Roscoe Pound, Introduction to The Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita,
pelaku bisnis tersebut menyebabkan orang lain merugi. Kerugian dalam bentuk
apakah dalam bentuk materil atau immateril.
Dalam konsep KUHP tahun 1982 – 1983, pada Pasal 27 menyatakan bahwa :
“Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara objektif kepada pembuat yang
memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya”.32
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa :
“Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan
merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis
mengatakan “Tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada
dipidananya si pembuat/pelaku.33
32
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogjakarta : Liberty, 1987), hal. 75.
33Ibid .
Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang pelaku bisnis berkedok MLM
bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur
pasal yang dipersangkakan atau tidak. Dalam kaitannya dengan praktek bisnis
berkedok MLM, maka ketentuan hukum yang dapat dipersangkakan kepada pelaku
kejahatan tersebut adalah Pasal 372 Jo. 379 KUHP yaitu Penipuan dan atau
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu
melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian,
menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu34
1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan
:
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.
Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam kaitannya dengan praktek
bisnis berkedok MLM adalah apakah seorang pelaku bisnis berkedok MLM tersebut
telah memenuhi unsur pasal yang persangkakan kepadanya atau tidak. Sebagai
contoh: Sebuah MLM yang memberikan janji-janji palsu kepada nasabah-nasabahnya
akan keuntungan yang menggiurkan, maka terhadap pelaku bisnis berkedok MLM
tersebut dapat dipersangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 378 KUHP yaitu
Penipuan. Selanjutnya apabila perbuatannya sudah dapat dikualifisir merupakan
perbuatan melawan hukum, maka unsur kesalahan selanjutnya yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur kesalahan kepada pelaku praktek bisnis berkedok MLM tersebut.
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka
prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni35
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
:
34
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997), hal. 31.
35
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu”.
Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan
mengenai hakikat kejahatan, yaitu36
1. “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya;
:
2. Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah
kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya
saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan bathin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,
36
sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat.37
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci
ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana,
misalnya Van Hammel yang mengatakan bahwa
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka
ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP, yang menyatakan bahwa :
“1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menepatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
3. Yang ditemukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.
38
37
I Gusti Bagus Sutrisna, “Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan Terhadap Pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah (Ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78.
38
I Gusti Bagus Sutrisna, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hal. 79.
:
“Orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidak-tidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan;
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat;
Sementara itu, secara lebih tegas, Simmons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan
sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendaknya.39 Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, yaitu40
Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih
muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP, yang disebutkan tidak mampu
bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat
disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan
51. Jadi, bagi Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja :
“1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi”.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan 2
(dua) faktor terpenting, yaitu :
1. Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
yang dilarang atau melanggar hukum; dan
2. Faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan
menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
39Ibid. 40Loc.cit
karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga
karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.41
2. Kerangka Konsep
Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut,
sebagai berikut:
1. Multi Level Marketing (MLM) merupakan bisnis yang bergerak di sektor
perdagangan barang dan/atau jasa sebagai strategi bisnisnya. Adapun sistem
MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah induk perusahaan
dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatu jaringan
orang-orang bisnis yang independen.42
2. Praktek bisnis berkedok MLM dapat dilihat dari cara maupun modus
operandinya,yaitu43
a. “Menjanjikan untung besar dalam waktu singkat; :
b. Penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan; c. Bonus dibayarkan apabila ada perekrutan;
d. Bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding dengan harga barang tersebut;.
e. Ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.
41
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 83.
42
David Roller, Op.cit., hal. 3. 43
3. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal
yang lebih menitiberatkan pada sifat represif (penindakan / pemberantasan /
penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih
menitiberatkan sifat preventif (pencegahan / penangkalan / pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi.44 Penanggulangan terkait dengan fungsi kepolisian terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu : preemtif,
preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif adalah mencari dan
menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang bersifat lintas
sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan pencegahan
yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early
warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi,
sedangkan represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam
hal fungsi represif penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri
terhadap pelaku kejahatan. Secara garis besar kebijakan kriminal dapat
ditempuh melalui 2 (dua) cara, yaitu45
a. “Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya represive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) dengan menggunakan sarana penal (hukum penal);
:
b. Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan”.
44
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2.
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.46
5. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.47
6. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana
itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan
masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi
suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu48 a. “Melawan hukum;
:
b. Merugikan masyarakat;
c. Dilarang oleh aturan pidana;
d. Pelakunya diancam dengan pidana”.
46
Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 47
Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 48
7. Kejahatan adalah perbuatan jahat (strafrechtelijk misdaadsbegrip)
sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.
Perbuatan yang dapat dipidana dibagi menjadi49
a. “Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang; dan :
b. Orang yang melanggar larangan itu”.
8. Polri adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, fungsi kepolisian
dimaksud sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.50
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif.51
49
Sudarto, Op.cit., hal. 38 50
Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan
asas-51
asas serta prinsip-prinsip hukum untuk mengatur pemidanaan bagi pelaku kejahatan
dalam praktek bisnis berkedok MLM.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analisis. Penelitian yang bersifat
deskriptif analisis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah,
menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.52Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif.
Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.53 Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan
hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
dalam berbagai perangkat hukum.
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Tujuannya adalah untuk
mendeskripsikan dengan tepat, akurat, dan sistematis terkait gejala-gejala hukum
mengenai penanggulangan kejahatan dalam praktek bisnis berkedok MLM yang
merugikan masyarakat.
ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 139; Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan ke-V, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994), hal. 10.
52
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press,1986), hal.63. 53
2. Sumber Data
Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan
informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang
digunakan terdiri dari54
1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang
terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan
berkaitan dengan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dan peranan Polri,
yaitu :
:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht);
b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
2) Bahan hukum sekunder, digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan.
54
3) Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Kamus hukum yang digunakan adalah Black’s Law Dictionary.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitan tesis ini menggunakan teknik studi
dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data
sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih
perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Selain itu, untuk melengkapi
data pustaka, juga dilakukan analisis terhadap beberapa penanganan kasus praktek
illegal MLM yang dilakukan oleh jajaran Polresta Medan dan juga data dari pelaku
praktek bisnis berkedok MLM serta dari korban kejahatan tersebut. Dengan kerangka
teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan
hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa
informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan
sebagai landasan teoritis.
Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain
bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan
mendalam (indepth interview).55
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah
dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan
pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kejahatan praktek
bisnis berkedok MLM serta menyalahgunakan perangkat hukum yang telah tersedia,
kemudian membuat sistematikan dari pasal-pasal tersebut sehingga akan
menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk
uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,
selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif
sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan jawaban terhadap Adapun para informan yang diwawancarai dalam
penelitian ini, yaitu :
1. Penyidik Polri pada Satuan Reskrim Polresta Medan
2. Pihak Korban
3. Pelaku Usaha MLM
4. Analisa Data
55Indepth Interview
permasalahan yang dikemukakan diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.56
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam peran polri dalam penanggulangan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM.
Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan
penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya
teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif
adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada awal
penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut
apakah57
1. “Hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada;
:
2. Apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi;
3. Apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu,
56
Dilihat dari tujuan analisis, maka ada 2 (dua) hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena. Sumber : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Op.cit., hal. 153.
57
lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan menggunakan teori baru”.
H. Sistematika Penulisan
Sebagai karya ilmiah, penelitian ini memiliki sistematika yang teratur,
terperinci di dalam penulisannya agar dimengerti dan dipahami maksud dan
tujuannya. Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengikuti dengan apa yang
telah ditetapkan oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang akan diperinci
lagi dalam sub bab, adapun kelima bab itu terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang
mengapa judul penelitian tersebut diangkat dengan materi yang
ditelilti dalam bentuk tesis, permasalahan, tujuan dan manfaat
penulisan, dilanjutkan dengan kerangka teori dan konsep,
metode penelitian, keaslian penelitian serta sistematika
penulisan penelitian ini.
BAB II : PENENTUAN KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS
BERKEDOK MULTI LEVEL MARKETING (MLM) DALAM
KEGIATAN PENYELENGGARA PENJUALAN
Bab ini berisikan uraian mengenai bagaimana kualifikasi
kejahatan praktek bisnis berkedok MLM, dan bagaimana pula
menentukan suatu MLM tersebut hanya kedok belaka dalam
kegiatan penyelengara penjualan langsung di Indonesia.
BABIII : SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU
KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MLM
Pada bab ini diuraikan secara teoritis mengenai sistem
pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok
MLM dan bagaimana kualifikasi pelaku kejahatan tersebut.
BAB IV : PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN KEJAHATAN
PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MLM PADA KEGIATAN
PENYELENGGARAAN PENJUALAN LANGSUNG DI
INDONESIA
Bab ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang ada
dalam penelitian ini, khususnya permasalahan nomor 3 (tiga),
yaitu tentang peran Polri selaku Penyidik dalam melakukan
penyidikan terhadap kejahatan praktek bisnis berkedok MLM.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan dan
saran dari penulisan tesis ini. Dimana dalam bab ini ditemukan