• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BENTUK-BENTUK KELALAIANMUDHARIBYANG MENGAKIBATKAN

TIMBULNYA KERUGIAN DALAM PEMBIAYAANMUDHARABAH PADA

PT BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN GAJAHMADA

A. PembiayaanMudharabahsebagai Karakteristik Bank Syariah

1. Pengertian PembiayaanMudharabah

Pembiayaan (financing) adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak

kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik

dilakukan sendiri maupun lembaga atau dengan kata lain pembiayaan adalah

pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.73 Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah yang

mewajibkan nasabah untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka

waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.74

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 memberi pengertian

lebih terperinci tentang pembiayaan sebagai berikut:

73 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2005, hlm.17. Lihat pula definisi pembiayaan menurut Arthesa, “Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Ade Arthesa dan Edia Handiman,

Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank,Jakarta, Index, 2006, hlm. 1.

74Lihat juga pengertian dalam Kamus Bisnis dan Bank , “Pembiayaan Berdasarkan Prinsip

(2)

“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentukmudharabahdanmusyarakah;

b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutangmurabahah, salam, dan istishna'; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutangqardh; dan transaksi

sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalanujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Pembiayaan menurut penggunaannya, dapat dibagi atas pembiayaan produktif

dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan

untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha

baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Pembiayaan konsumtif yaitu

pembiayaan yang dipergunakan untuk memenuhi konsumsi, yang akan habis

digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Pembiayaanmudharabahberdasarkan prinsip bagi hasil merupakan salah satu

bentuk pembiayaan produktif. Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan

landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Berdasarkan prinsip

ini bank Islam akan berfungsi sebagai mitra baik dengan penabung demikian juga

dengan pengusaha yang meminjam dana. Dalam hubungan dengan penabung, bank

akan bertindak sebagai mudharib (pengelola) sementara penabung sebagai

shahibul-mal (penyandang dana). Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang

menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak. Di sisi lain, dengan

(3)

(penyandang dana) baik yang berasal dari tabungan/ deposito/giro maupun dana bank

sendiri berupa modal pemegang saham). Sementara itu, pengusaha/peminjam akan

berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan mengelola

dana bank.

Mudharabah merupakan satu makna yang mengandung pengertian yang sama

dengan qiradh. Biasanya istilah qiradh digunakan penduduk Hijaz pada zaman

Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan mudharabah merupakan istilah yang

digunakan oleh penduduk Irak.75 Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya secara harfiah bepergian/berjalan. Seperti firman Allah dalam Qur’an Surat

Al-Muzzammil ayat 20 yang artinya: ”Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi

mencari sebagian karunia Allah”. Dari ayat Al-Qur’an tersebut mengandung makna

asal “berjalan di atas bumi untuk berniaga”.76 Sedangkan qiradh berasal dari kata

qaradh yang artinya (cabang) atau potongan, karena pemilik memotong sebagian

hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.77 Secara eksplisit dalam Al-Quran tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah.

Meskipun kata “dharb” yang merupakan asal kata dari mudharabah, digunakan

sebanyak lima puluh delapan (58) kali, namun ayat-ayat Al-Quran tersebut tidak

menyebutkan tentang mudharabah. Ayat-ayat tersebut memang memiliki kaitan

dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti

“perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.

(4)

Secara terminologi, para ulama mendefinisikan mudharabah atau qiradh

dengan “pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang)

untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan

dibagi menurut kesepakatan”.78 Akad mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan

unsur terpenting dalam akad mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana

kepada pengelola dana. Oleh karena kepercayaan merupakan unsur terpenting maka

mudharabahdalam istilah bahasa inggris disebuttrust financing. Pemilik dana yang

merupakan investor disebut beneficial ownership atau sleeping partner, dan

pengelola dana disebut managing trustee atau labour partner.79 Keuntungan yang diperoleh dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan perbandingan nisbah

yang telah disepakati sebelumnya.

Nisbah merupakan rasio bagi hasil yang akan diterima oleh tiap-tiap pihak

yang melakukan akad kerjasama usaha, yaitu shahibul maal dan mudharib, dimana

78As-Sarakhsi dalam Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, Jakarta, Gaya Media Pratama, hlm. 175-176. Hanafiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Oleh sebab itu makamudharabahadalah: “Akad syirkahdalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.” Malikiyah berpendapat bahwamudharabah

merupakan akad perwakilan dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada pedagang untuk memperdagangkan dengan pembayaran ditentukan pada awal akad. Oleh karena itu mudharabah

adalah: “Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak).” Hanabilah berpendapat,

mudharabahadalah harta yang diserahkan pada orang lain dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian yang diketahui. Mudharabah ibarat pemilik harta yang menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari ketentuan yang diketahui.” Ulama’ Syafi’iyah berpendapat mudharabah adalah akad yang dapat menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dimanfaatkan, oleh sebab itu mudharabah

adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk ditijarahkan (diperniagakan).

79Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan

(5)

nisbah ini tertuang di dalam akad yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua

belah pihak.80 Pembagian keuntungan bank syariah kepada nasabah berdasarkan nisbah yang disepakati pada awal akad pembiayan. Bagi hasil yang diperoleh

tergantung jumlah dan jangka waktu simpanan serta pendapatan bank pada periode

tersebut. Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan bank (revenue)

sehingga nasabah pasti memperoleh bagi hasil dan tidak kehilangan pokok simpanan.

Mudharabah, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)

diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu mudharabah muthalaqah, mudharabah

muqayyadah dan mudharabah musytarakah. Berikut adalah pengertian

masing-masing jenismudharabah:

a. Mudharabah muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola investasinya. Mudharabahini disebut juga investasi tidak terikat.

b. Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana mengenai lokasi, cara, dan atau objek investasi atau sektor usaha. Misalnya, tidak mencampurkan dana yang dimiliki oleh pemilik dana dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan dananya pada transakasi penjualan cicilan tanpa penjamin atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. Mudharabah jenis ini disebut investasi terikat.

c. Mudharabah musytarakah adalah mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.

Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling

membantu antara shahibul-mal (investor) dengan pengelola dana (mudharib). Ibn

(6)

Rusyd dari madzhab Maliki mengatakan bahwa kebolehan akad mudharabah

merupakan suatu kelonggaran yang khusus.81 Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh Al-Quran atau Hadits, ia adalah sebuah kebiasaan yang

diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya

terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan

karavan dan perdagangan jarak jauh.

Shahibul-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada

mudharib agar kontrak ini menjadi sah.82 Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batas-batas klausul kontrak mudharabah yang

secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan

lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya. Nisbah bagi hasil antara

pemodal dan pengelola harus disepakati di awal perjanjian. Besarnya nisbah bagi

hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam Syariah, tetapi tergantung kesepakatan

mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau

proporsi lain yang disepakati. Pembagian keuntungan yang tidak diperbolehkan

adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu pihak.

Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi yang berbeda untuk situasi yang

berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di bidang produksi, maka nisbahnya 50

persen, sedangkan kalau pengelola berusaha di bidang perdagangan, maka nisbahnya

40 persen.

(7)

Manfaat dari akadmudharabahini adalah:83

1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat,

2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalaminegative spread,

3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah,

4) Bank akan lebih selektif dan hati hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

Sedangkan risiko dari akadMudharabahini adalah:84

1)Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak,

2) Nasabah lalai dan melakukan kesalahan yang disengaja,

3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.

2. RukunMudharabah

Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akadmudharabahadalah terdiri atas

orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja, tidak hanya terbatas pada rukun

sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, ulama Hanafiyah85

memasukkan rukun-rukun yang disebutkan jumhur ulama itu, selain ijab dan qabul

sebagai syarat akad mudharabah. Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan

rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:

1) Orang yang berakad harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.

83M. Syafi’I Antonio,Op. Cithlm. 97. 84Ibid.,hlm. 98.

(8)

2) Mengenai modal disyaratkan: a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.

3) Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.

Rukun dan syarat mudharabah juga harus tunduk terhadap rukun dan syarat

perjanjian berdasarkan prinsip Islam yang menurut mayoritas ulama adalah sebagai

berikut:86

1)Shighat (formulasi) ijab dan qabul dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis, sarana komunikasi modem, dan bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan, tulisan, maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan suatu kontrak yang umumnya dikenal dengan namaal-mu'athah. 2) Pelaku kontrak disyaratkan harus orang mukallaf ('aqil-baligh, berakal sehat

dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk keabsahan kontrak diserahkan kepada'urfatau peraturan perundang-undangan yang tentunya dapat menjamin kemaslahatan para pihak.

3) Sesuatu yang menjadi objek kontrak harus memenuhi 4 ( empat) syarat : a) Sebagai objek kontrak, mudah menimbulkan persengketaan di Objek

kontrak harus sudah ada secara konkret ketika kontrak dilangsungkan; atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam kontrak-kontrak tertentu seperti dalam kontraksalam, istishna', ijarahdanmudharabah. b) Objek kontrak harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah

dijadikan objek kontrak, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan(mutaqawwam).

c) Objek kontrak harus dapat diserahkan ketika terjadi kontrak, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika.

d) Objek kontrak harus jelas (dapat ditentukan, mu 'ayyan) dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ketidakjelasan objek kontrak, selain ada larangan nabi untuk menjadikannya kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu objek kontrak ini, adat kebiasaan ('urf)mempunyai peranan penting.

86 As Sarakhsi, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional,

(9)

Rukun akad dan rukun akad mudharabah juga diatur dalam Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah. Rukun akad diatur dalam pasal 22 KHES yaitu:

a) pihak yang berakad,

b) objek akad,

c) tujuan pokok akad,

d) kesepakatan para pihak

Dalam akad mudharabah,ada beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan,

yaitu:87

a) Akad yang dilakukan para pihak (bank dan nasabah) bersifat mengikat (mulzim);

b) Para pihak yang melakukan akad harus memiliki iktikad baik (husnunniyah). Asas ini sangat penting diperhatikan dan akan turut menentukan kelangsungan dari pelaksanaan akad itu sendiri;

c) Memperhatikan ketentuan-ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang telah diatur oleh Islam, dan tidak berlawanan dengan asas-asasal-uqud (konsep hukum perikatan Islam);

d) Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan, sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral perekonomian dalam Islam.

B. Bentuk-bentuk Kelalaian Mudharib yang Menyebabkan Timbulnya

Kerugian dalam Pembiayaan Mudharabah yang Disalurkan oleh PT Bank

Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

Perjanjian sebagai cerminan telah terjadinya hubungan dan kesepakatan antara

pihak bank dan nasabah harus mencerminkan asas-asas perjanjian yang tertuang

dalam perundang-undangan dan hukum muamalah Islam. Perjanjian berdasarkan

(10)

prinsip syariah inilah yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional,

karena perjanjian yang diterapkan di perbankan syariah memiliki konsekuensi

duniawi danukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalam penerapan

pola hubungan inilah sudah seharusnya tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan

dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing

menyadari akan pertanggungjawaban dari perjanjian tersebut.88

Dalam perjanjian pembiayaan mudharabah, para pihak sepakat untuk

membagi keuntungan usaha sesuai nisbah yang telah ditetapkan, sedangkan apabila

mengalami kerugian ditanggung pemilik modal selama kerugian tidak dikarenakan

kelalaian atau kesalahan pengelola/ mudharib. Jika kerugian itu diakibatkan

kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas

kerugian tersebut.

Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional 07/DSN/MUI/IV/2000 terdapat

ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang akibat kelalaian mudharib dalam

pengelolaan danamudharabah.Ketentuan itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

a. Pada Bagian Pertama poin 6:

“LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian”.

b. Pada Bagian Kedua poin 4 c:

“Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.

88 Rahmani Timorita Yulianti, ”Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Kontrak Syariah”,La

(11)

c. Pada Bagian Ketiga poin 3:

“Pada dasarnya, dalammudharabahtidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.

Fatwa DSN tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 6 h Peraturan Bank

Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran

Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

ditegaskan bahwa :

“Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha”.89

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan mengenai kelalaian

mudharib, maka kelalaian mudharib menimbulkan akibat hukum yang sama dengan

kesalahan yang disengaja, yaitu kewajiban untuk menanggung risiko kerugian yang

terjadi dalam pembiayaan mudharabah. Kelalaian mudharib tidak dapat menjadi

alasan pembenar ataupun alasan pemaaf untuk membebaskan mudharib dari

kewajibannya.

Kelalaian mudharib juga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum

sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.”

89 Selengkapnya Lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad

(12)

Kelalaian, jika ditinjau dari Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

tersebut adalah merupakan suatu kesalahan. Dalam pasal tersebut, disyaratkan adanya

unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum. Unsur kesalahan

tersebut dianggap ada jika memenuhi salah satu diantara 3 (tiga) syarat sebagai

berikut:90

1) Ada unsur kesengajaan, atau

2) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan

3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigings grond) seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

Perihal kelalaian nasabah yang menimbulkan kewajiban untuk bertanggung

jawab terhadap kerugian dalam pembiayaan mudharabah diatur dalam Pasal 8 ayat

(3) Akad Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Mudharabah Bank Syariah Mandiri

sebagai berikut: “nasabah harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang timbul

dari pengelolaan usahanya yang dibiayai dengan Akad, jika nasabah lalai atau

melakukan pelanggaran atau menjalankan usaha secara tidak jujur, tidak memenuhi

standar kewajaran, melawan hukum atau cedera janji”.

Dalam Pasal 14 Akad Mudharabah BSM diatur pula tentang kriteria cedera

janji yang dilakukan oleh nasabah, yaitu:

a. NASABAH tidak melaksanakan pembayaran atas Jumlah Kewajiban kepada BANK sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dalam lampiran Akad;

b. Nasabah menggunakan Modal Mudharabah menyimpang dari tujuan penggunaan sebagaimana disebutkan di dalam Akad;

(13)

c. NASABAH tidak memenuhi dan/atau melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 13 Akad (mengenai kewajiban nasabah);

d. Agunan (baik seluruhnya atau sebagian) mengalami penurunan nilai, menjadi obyek sengketa, ada pihak lain menyatakan memiliki, hak kepemilikan atas Agunan batal atau beralih kepada pihak lain atau musnah dan Nasabah gagal untuk memberikan penggantian barang agunan yang dapat diterima oleh BANK pada waktu yang ditentukan BANK;

e. Karena sesuatu sebab sebagian atau seluruh Dokumen Agunan dinyatakan batal berdasarkan putusan pengadilan atau badan arbitrase;

f. NASABAH atau pihak yang mewakili NASABAH dalam Akad dihukum berdasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap dan pasti (in kracht van gewijsde) karena perbuatan kejahatan yang dilakukannya, yang diancam dengan hukuman penjara atau kurungan satu tahun atau lebih;

g. Melakukan pengalihan usahanya dengan cara apapun dan melakukan perubahan badan usaha termasuk dan tidak terbatas pada melakukan penggabungan, konsolidasi, dan/atau akuisisi dengan pihak lain;

h. Menjalankan usahanya tidak sesuai dengan ketentuan teknis yang diharuskan oleh BANK;

i. Lalai tidak memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain;

j. Menolak atau menghalang-halangi BANK dalam melakukan pengawasan dan/atau pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Akad;

Bentuk-bentuk kelalaian nasabah secara sangat terperinci dapat ditemukan

pada Syarat-Syarat Umum Pembiayaan PT Bank Syariah Mandiri.91 Kelalaian tersebut menurut aturan ini merupakan wanprestasi yang diatur dalam pasal 16

sebagai berikut:

1. Kejadian-kejadian yang disebutkan di bawah ini dianggap bahwa Nasabah

telah cedera janji:

1) Mengubah susunan pengurus dan/atau pemegang saham perusahaan tanpa

memperoleh persetujuan Bank.

91

(14)

2) Memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun non bank

tanpa pemberitahuan dan persetujuan Bank.

3) Tidak memenuhi pembayaran Jumlah Kewajiban (baik bagiannya atau

keseluruhannya) sebagaimana ditentukan berdasarkan jadwal pembayaran

yang disebutkan pada Akad selama 3 bulan berturut-turut, sekalipun

jangka waktu Akad belum berakhir.

4) Tidak dapat memenuhi dan/atau melanggar sebagian atau seluruh syarat

dan ketentuan yang tercantum dalam Akad.

5) Pernyataan dan Jaminan yang diberikan ternyata tidak benar atau palsu.

6) Dinyatakan pailit oleh instansi yang berwenang.

7) Terlibat dalam perkara di depan pengadilan atau lembaga/instansi lainnya.

8) Laporan-laporan/dokumen yang diserahkan oleh Nasabah ternyata tidak

benar

9) Tercantum dalam daftar kredit macet Bank Indonesia (BI), Daftar Hitam

Nasional (DHN), dan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan

(PPATK).

10) Penjamin telah lalai atau tidak memenuhi ketentuan Akad dan atau

Jaminan Perorangan atau Jaminan Perusahaan dan atau dokumen lain

yang berhubungan dengan Akad dan atau Jaminan Perorangan atau

Jaminan Perusahaan; atau

11) Pemilik Barang Agunan telah lalai atau tidak memenuhi ketentuan Akad

dan atau dokumen lain yang berhubungan dengan Akad; atau

12) Jika suatu dokumen yang diperlihatkan atau diserahkan kepada Bank

sehubungan dengan Akad ataupun Dokumen Agunan menurut pendapat

Bank adalah palsu atau menyesatkan.

13) Jika:

i. Hak Tanggungan, Hipotik, Resi gudang dan/atau Jaminan Fidusia

untuk kepentingan Bank karena sebab apapun tidak dapat

(15)

ii. Sertifikat hak atas tanah tidak/tidak dapat dibuat oleh kantor

pertanahan; dan/atau

iii. Hak Tanggungan tidak/tidak dapat dicatatkan dalam buku tanah hak

atas tanah; dan/atau

iv. Sertifikat Hak Tanggungan, sertifikat Hipotik, Resi Gudang dan/atau

sertifikat Jaminan Fidusia dan pendaftarannya tidak dapat diserahkan

kepada Bank karena alasan apapun juga; dan/atau

v. Agunan musnah, rusak berat, sehingga menurut pendapat Bank tidak

bernilai seperti pada waktu Akad bersangkutan di buat;

14. Nasabah dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan tidak

membayar hutangnya kepada pihak ketiga yang telah dapat ditagih atau jika

Nasabah dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan karena sebab

apapun menjadi tidak berhak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya;

atau

15. Jika suatu permohonan atau tuntutan telah diajukan kepada instansi yang

berwenang baik di Indonesia atau di luar negeri tentang kepailitan Nasabah

dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan; atau untuk mendapat

izin Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau Nasabah dan/atau

Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan mengajukan permohonan kepada

instansi yang berwenang baik di Indonesia atau di luar negeri untuk

dinyatakan pailit atau untuk mendapat izin Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang; atau

16. Nasabah tidak mungkin lagi atau tidak mempunyai dasar hukum untuk

memenuhi sesuatu ketentuan atau kewajiban berdasarkan Syarat-syarat

Umum atau Akad; atau

17. Bank tidak mungkin lagi melaksanakan suatu haknya atau hak istimewanya

seperti ditetapkan dalam Akad; atau

18. Nasabah (perorangan) meninggal dunia atau jatuh sakit sedemikian rupa

(16)

menangguhkan untuk sementara usahanya, jika ada, sehingga menurut

pendapat Bank dapat mengurangi kemampuan Nasabah untuk memenuhi

kewajibannya sesuai Akad, atau Nasabah ditaruh di bawah pengampuan

(curatele) atau kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaannya, atau

Nasabah dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang atau

diberlakukan ketentuan serupa di luar Indonesia; atau

19. Penjamin (perorangan) meninggal dunia atau jatuh sakit sedemikian rupa

sehingga tidak dapat bekerja seperti biasanya atau Penjamin (sebagai suatu

badan hukum) dibubarkan atau suatu keputusan rapat diambil untuk

membubarkan Penjamin atau jika Penjamin menangguhkan untuk sementara

usahanya (jika ada) sehingga menurut pendapat Bank dapat mengurangi

kemampuan Penjamin untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan

Jaminan Perorangan atau Jaminan Perusahaan atau Penjamin (jika Penjamin

adalah perorangan) ditaruh di bawah pengampuan, atau Penjamin dinyatakan

pailit oleh Pengadilan Negeri yang berwenang atau diberlakukan ketentuan

serupa di luar Indonesia, atau (jika Penjamin adalah badan hukum) diangkat

seorang atau lebih pengelola untuk menjalankan usahanya; atau

20. Harta kekayaan Nasabah dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang

Agunan, baik sebagian atau seluruhnya disita oleh instansi yang berwenang;

atau

21. Salah satu atau lebih barang Agunan disita oleh instansi yang berwenang,

baik sebagian maupun seluruhnya, atau jika barang Agunan itu karena sebab

apapun juga hilang, rusak atau musnah; atau

22. Jika ada sebab atau kejadian lain yang terjadi atau mungkin akan terjadi

sehingga layak bagi Bank untuk melindungi kepentingannya.

23. Tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Bank:

a) Menerima pinjaman dari pihak lain manapun juga;

(17)

c) Mengadakan penyertaan baru dalam perusahaan-perusahaan lain dan

atau turut membiayai perusahaan-perusahaan lain;

d) Membagikan bonus dan ataudividen;

e) Membayar hutang kepada para pemegang saham/pemilik perusahaan

sendiri (sub ordinate loan);

f) Menjaminkan aset Nasabah kepada pihak lain atau menjadi penjamin

bagi pihak lain;

g) Melakukanmerger, akuisisi, mengadakan atau memanggil rapat umum

tahunan atau rapat umum luar biasa para pemegang saham dengan cara

mengubah permodalan dan atau mengubah nama pengurus (direksi

maupun pemegang saham) serta mencatat penyerahan/pemindahan

saham;

h) Mengadakan transaksi dengan orang atau pihak lain termasuk tetapi

tidak terbatas pada perusahaan affiliasinya di luar praktek-praktek dan

kebiasaan dalam dagang yang wajar dan melakukan pembelian lebih

mahal dari harga pasar atau menjual di bawah harga pasar;

i) Mengadakan ekspansi usaha dan atau investasi baru;

j) Melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang

mengagendakan perubahan anggaran dasar, susunan pengurus,

pemegang saham dan struktur modal, termasuk dan tidak terbatas pada

mengubah nama, maksud dan tujuan kegiatan usaha serta status

perusahaan;

k) Mengeluarkan pernyataan berhutang dalam bentuk pinjaman,

penyewaan atau garansi kepada pihak lain;

l) Membubarkan perusahaan, merger dengan perusahaan lain,

mengakuisisi perusahaan lain dan mohon dinyatakan pailit kepada

instansi yang berwenang;

m) Melakukan penjualan atau mengalihkan kepemilikan sebagian atau

(18)

n) Menjaminkan, menjual atau membebani dengan kewajiban seluruh atau

sebagian asset perusahaan termasuk pendapatan yang telah dan akan

diterima;

24. Cedera janji kepada pihak ketiga lainnya.

Menurut Nurhandayani, bentuk-bentuk kelalaian mudharib yang

menimbulkan kerugian pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

selama ini diantaranya adalah:92

1)Mudharib menggunakan pembiayaan untuk hal di luar tujuan yang telah

disepakati dalam akad;

2)Mudharib tidak membayar jumlah kewajiban pembiayaan sesuai dengan

ketentuan yang telah disepakati dalam akad;

3)Mudharib menyampaikan laporan keuangan kepada bank tidak sesuai dengan

kenyataan;

4)Mudharib lalai memenuhi atau tidak memenuhi syarat-syarat dan

ketentuan-ketentuan lain dalam akad pembiayaan;

5)Mudharib lalai dalam memelihara alat-alat produksi sehingga timbul

kerusakan yang berakibat pada terhambatnya kegiatan produksi

6)Mudharib lalai mengurus perizinan yang diperlukan sehingga mudharibtidak

berhak untuk membangun atau melaksanakan proyek.

Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban membayar

ganti rugi (schade vergoeding) tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru

(19)

efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak

melaksanakan prestasinya.93 Selanjutnya mengenai pernyataan lalai diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyatakan:

a. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan dari pada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan.

b. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.

c. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaningyang biasa disebutsomasi

Berdasarkan Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri No. 11/009/OPS

Perihal Implementasi PSAK No. 105 tentang Akuntansi Mudharabah, tanggal 30

April 2009, dalam poin E6 disebutkan bahwa kelalaian atas kesalahan pengelolaan

dana antara lain ditunjukkan oleh:

a) Persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi

b) Tidak terdapat kondisi di luar kemampuan(force majeur) yang lazim dan/atau telah ditentukan dalam akad, atau

c) Hasil keputusan dari institusi yang berwenang.

Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri tentang Akuntansi Mudharabah

mengandung kesesuaian dengan ketentuan dalam Pasal 1238 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, khususnya dalam poin c yang menyatakan bahwa kelalaian

ditunjukkan oleh hasil keputusan dari institusi yang berwenang. Hal ini mengandung

makna bahwa kelalaian tidak seketika menimbulkan kewajiban ganti rugi, akan tetapi

(20)

harus didahului oleh adanya teguran secara resmi. Berdasarkan ketentuan tersebut,

Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada dalam memutuskan telah terjadi

kelalaian mudharib melalui mekanisme penetapan keadaan lalai dan memberi

peringatan secara resmi dalam bentuk somasi.

Menurut Sarimah, adanya peringatan lisan dan tulisan sangat diperlukan bagi

nasabah pembiayaan untuk mengingatkan kewajiban dan resiko bila di kemudian hari

pembiayaan dimaksud mengalami tunggakan dan dapat segera diantisipasi dan

dicarikan solusi atas permasalahan yang mungkin timbul.94

Akan tetapi, dalam Pasal 8 ayat (2) Syarat-syarat Umum Pembiayaan Bank

Syariah Mandiri disebutkan,

“Nasabah wajib membayar Denda dengan segera dan sekaligus lunas atas tagihan pertama Bank; dalam hal ini lewat waktu pembayaran sudah merupakan bukti terjadinya Cedera Janji, sehingga tidak perlu dilakukan teguran dengan cara apapun untuk membuktikan terjadinya Cedera Janji”.

Ketentuan ini mengandung makna bahwa tanpa adanya upaya apapun dari

pihak bank maka nasabah telah lalai untuk melaksanakan segala ketentuan yang telah

diperjanjikan dalam akad pembiayaan maupun syarat-syarat perjanjian yang melekat

pada pemberian pembiayaan itu. Hal ini untuk memberikan kesadaran kepada

nasabah bahwa tanpa pemberitahuan dari pihak bank maka nasabah telah menyadari

kelalaiannya apabila setelah lewat waktu yang disepakati dalam akad, nasabah tidak

melakukan pembayaran kewajibannya. Ditinjau dari prinsip syariah, ketentuan

94 Wawancara dengan Sarimah, nasabah pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang Medan

(21)

tersebut mencerminkan prinsip Keadilan (Al-‘Adalah), Keadilan dalam perspektif

Islam tidak berarti kesamaan atau kesetaraan kedudukan. Pelaksanaan asas ini dalam

kontrak menuntut para pihak untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak

dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi

segala hak dan kewajiban, tidak saling menzalimi dan dilakukannya secara berimbang

tanpa merugikan pihak lain yang terlibat dalam kontrak tersebut95. Islam

mengedepankan perdamaian dan musyawarah. Karenanya bagi nasabah (mudharib)

yang memiliki itikad baik dengan menunjukkan kemauan dan kemampuannya secara

jujur maka dapat diberikan opsi seperti dalam Surat Edaran Operasi Bank Syariah

Mandiri tentang Akuntansi Mudharabah maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional

tentangMudaharabah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional terkait Restrukturing dan

Reconditioning. Karena bank syariah mengedepankan prinsip-prinsip syariah secara

utuh.

Dalam praktiknya, Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

menerapkan ketentuan memberikan peringatan lisan maupun tulisan kepada nasabah

yang lalai. Menurut Nurhandayani, dalam praktik Bank Syariah Mandiri Cabang

Medan Gajahmada juga telah melaksanakan upaya-upaya memberi peringatan kepada

mudharibyang terindikasi lalai. Bank tidak seketika langsung memberi sanksi kepada

mudharib. Terhadap kelalaian mudharib yang benar-benar tidak disebabkan itikad

buruk, bank melakukan langkah-langkah persuasif agarmudharibdapat memperbaiki

95

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Ekonomi Islam Sejarah Teori dan Konsep,

(22)

kinerjanya sehingga kerugian dapat dihindarkan. Akan tetapi, jika bank menilai

adanya kesengajaan dan itikad buruk mudharib yang akan atau telah menimbulkan

kerugian, maka bank akan segera memberi sanksi tegas.96 Sanksi tegas yang

dimaksud adalah melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri sebagaimana yang

disebutkan pada Akad Pembiayaan.

Salah satu bentuk kelalaian mudharib sebagaimana yang dikatakan oleh staf

Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada adalah “mudharibtidak membayar

jumlah kewajiban pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam

akad”97. Menurut Nurul Hasanah, kelalaian mudharib membayar kewajiban sesuai ketentuan yang telah disepakati dalam akad membutuhkan pembuktian apakah

tindakan mudharib yang tidak membayar sesuai kesepakatan memang disebabkan

kelalaian atau karena keadaan memaksa yang tidak dapat dihindarimudharib.Hal ini

dibutuhkan agar perjanjian mudharabah yang merupakan perjanjian kerjasama

berdasarkan pembagian untung rugi yang disepakati, benar-benar merupakan

perjanjian kerjasama yang tidak menimpakan risiko hanya kepada salah satu pihak98. Mudharabah bukanlah perjanjian kredit yang menempatkan pihak bank dan nasabah

pada kedudukan kreditor dan debitor.

C. Tanggung JawabMudharibterhadap Kerugian yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib

1. Tinjauan Umum terhadap Kelalaian dan Tanggung Jawab dalam Hukum Perdata

96 Wawancara dengan Nurhandayani, Verifikator Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada pada tanggal 13 Februari 2016.

97

Ibid

98 Wawancara dengan Nurul Hasanah, Nasabah Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang

(23)

Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan

sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari

proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan maka bank syariah perlu melakukan

pemantauan dan pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan

tidak mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank

syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat

melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan itu.

Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang tidak lancar, dimana

debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, yang tidak menepati jadwal

angsuran yang memiliki potensi merugikan bank dan menunggak dalam satu waktu

tertentu.99 Suatu pembiayaan dinyatakan sebagai pembiayaan bermasalah apabila pembiayaan tersebut sebagai pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet.100

Faktor utama yang menyebabkan pembiayaan bermasalah sehingga

menimbulkan kerugian dalam pembiayaan mudharabah adalah ketidakmampuan

mudharib memenuhi kewajibannya kepada bank. Ketidakmampuan memenuhi

kewajiban ini dalam istilah hukum disebut wanprestasi atau cedera janji. Wanprestasi

yang dilakukan seorangmudharibmenimbulkan kewajiban untuk bertanggung jawab

atas kerugian yang terjadi.

Tanggung jawab dalam istilah hukum adalah responsibility

(veranwoordelijkheheid) atauliability (aansprakelijkeheid).101 Pada umumnya setiap

99Abdullah Saed,Op.Cithlm. 139 100Agusmantoro,Op.Cit., hlm.51.

101Agus M. Toar,Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya, Kerjasama Ilmu

(24)

orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu bertanggung

jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan.102 Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap

ketentuan-ketentuan hukum. Bila tanggung jawab ini hanya dibatasi pada hukum

perdata saja, maka orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur

hubungan hukum diantara mereka.103

Suatu tanggung jawab dalam hukum perdata dapat timbul karena adanya

perikatan. Perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih di

dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan

pihak lain berkewajiban memenuhi prestasi.104 Subekti memberi batasan perikatan sebagai “suatu hubungan hukum (dalam bidang hukum kekayaan) antara dua

orang/pihak, berdasarkan mana yang satu berkewajiban melakukan sesuatu,

sedangkan yang lain berhak menuntut dilakukannya sesuatu itu. Sesuatu itu

dinamakan “prestasi”. Pihak yang wajib melakukan prestasi disebut debitur atau si

berutang, sedangkan pihak yang berhak atas prestasi tersebut dinamakan kreditur atau

si berpiutang.105

Tanggung jawab dalam hukum perdata dikaitkan dengan adanya perikatan

meliputi: tanggung jawab kontraktual (tanggung jawab yang muncul akibat adanya

102 Veronica Komalawati,

Hukum dan Etika dalam Profesi,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989, hlm.100.

103 Bernadette M. Waluyo, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Diklat Kuliah UNPAR, 1997, hlm.15.

104 Ridwan Sahrani, Seluk beluk dan Azas-Azas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985, hlm. 203.

105 Subekti, “Azas-Azas Hukum Perikatan dalam Hukum Perjanjian”,Majalah Hukum Pro

(25)

suatu perjanjian) dan tanggung jawab berdasarkan undang-undang (yakni tanggung

jawab yang timbul akibat perbuatan melawan hukum). Dalam pembiayaan

mudharabah, hubungan antara mudharib dan shahibul-mal, melahirkan dua macam

tanggung jawab yang tercermin dari bunyi penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf (c).106 Tanggung jawab tersebut terdiri atas: Pertama, “tanggung jawab kontraktual”, yakni

sesuai dengan bunyi penjelasan pasal tersebut secara kontraktual pihak shahibul-mal

bertanggung jawab atas segala risiko kerugian yang dialami;Kedua, “tanggung jawab

berdasarkan undang-undang”, yakni bilamana kerugian dalam kerjasama

mudharabah tersebut akibat kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi

perjanjian makamudharibharus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Tanggung

jawab mudharib merupakan tanggung jawab yang lahir berdasarkan perjanjian

sekaligus juga tanggung jawab berdasarkan undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 19

ayat (1) huruf (c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah

junctoPasal 1243 KUH Perdata mengenai wanprestasi. Berdasarkan ketentuan dalam

undang-undang, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh mudharib yang merugikan

shahibul-mal memberikan hak kepada shahibul-mal untuk menuntut ganti rugi, dan

mudharibberkewajiban untuk bertanggung jawab kepadashahibul-mal.107

106 Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) Huruf (c): “Yang dimaksud dengan “Akad Mudharabah”

dalam Pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (shahibul- mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.”

(26)

Sampai saat ini, secara umum hukum tentang tanggung jawab keperdataan di

Indonesia masih berlaku prinsip tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan

(liability based on fault) yang lebih dikenal dengan istilah perbuatan melawan

hukum.108Ketentuan ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Berdasarkan prinsip yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

dimungkinkan untuk meminta tanggung jawab salah satu pihak untuk memberikan

ganti kerugian kepada pihak lain atas dasar perbuatan melawan hukum bila kerugian

yang timbul tidak didasari sebuah perjanjian/ kontrak. Bila ada hubungan kontraktual

diantara keduanya, misalnya antara shahibul-mal dengan mudharib, maka dasar

gugatan untuk meminta tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi adalah

wanprestasi.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata “wan” yang

artinya tidak ada, dan kata “prestasi” yang berarti prestasi/kewajiban. Jadi

wanprestasi berarti prestasi buruk atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang

telah diperjanjikan. Wanprestasi bisa juga diartikan ketiadaan suatu prestasi109 atau suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi prestasi yang telah ditentukan

dalam perjanjian dikarenakan kelalaian atau kesalahannya.110 Menurut pasal 1234

108H.E. Saifullah,Beberapa Masalah Pokok tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara, Bandung, Pusat Penerbitan LPPM-UNISBA, 2006, hlm. 7.

109 Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1984, hlm. 45.

(27)

KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, atau seseorang yang menyerahkan sesuatu.111 Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak

memenuhi kewajiban yang harus ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang

timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang-undang.112 Subekti menyatakan bahwa wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam,

yaitu :113

a) Debitur tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

b) Debitur melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

c) Debitur melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat.

d) Debitur melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

R. Setiawan menyatakan bahwa pada debitur terletak kewajiban untuk

memenuhi prestasi dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut karena

keadaan memaksa (overmacht), maka debitur dianggap melakukan wanprestasi. Ada

tiga bentuk wanprestasi yaitu:114

a) Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Dalam hal ini debitur dapat segera dituntut ganti rugi tanpa penetapan lalai.

b) Terlambat memenuhi prestasi, tanpa penetapan lalai. Debitur dapat dibebani ganti rugi setelah ada ketetapan yang berupa ketentuan waktu pembayaran

c) Memenuhi secara tidak baik (keliru melaksanakan perjanjian).

111Subekti Tjitrosudibio,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Paradnya Paramita, hlm.323.

112Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1982, hlm. 20. 113Subekti,Hukum Perjanjian, Op.Cit.,hlm. 45.

(28)

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum di

atas dapat dikatakan bahwa wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak

dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena

tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu

yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, jelas dinyatakan bahwa kelalaian

merupakan salah satu penyebab debitur dinyatakan wanprestasi.

Kelalaian (negligence) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan

sebagai suatu sikap bathin ketika melakukan suatu perbuatan yang berbentuk sifat

kekurang hati-hatian yang bersangkutan baik akibat tidak memikirkan akan timbulnya

suatu resiko padahal seharusnya hal itu dipikirkannya (kelalaian yang tidak disadari)

mampu memikirkan tentang tidak akan timbulnya suatu resiko yang pada kejadian

tersebut resiko tersebut timbul (kelalaian yang disadari).115Dalam Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri No. 11/009/OPS Perihal Implementasi PSAK No. 105

tentang akuntansi mudharabah, tanggal 30 April 2009, dalam poin E6 disebutkan

bahwa kelalaian atas kesalahan pengelolaan dana antara lain ditunjukkan oleh:

a) Persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi

b) Tidak terdapat kondisi di luar kemampuan(force majeur) yang lazim dan/atau telah ditentukan dalam akad, atau

c) Hasil keputusan dari institusi yang berwenang.116

115www.kbbi.com, diakses tanggal 10 Maret 2016

116Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri No. 11/009/OPS Perihal Implementasi PSAK

(29)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata walaupun tidak memberikan

pengertian yang tegas mengenai kelalaian, namun secara implisit makna kelalaian

dapat dimengerti dari rumusan pasal 1238 yang menyebutkan:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Berdasarkan isi pasal 1238 KUHPerdata bahwa kelalaian debitur tidak serta

merta menimbulkan kewajiban ganti rugi. Kewajiban debitur baru timbul setelah

adanya akta atau surat teguran atas kelalaiannya tersebut. Surat teguran itu biasa

disebut sebagai somasi.

Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi:

a) Adanya kelalaian debitur (mudharib)117

Pertama yang harus diingat bahwa yang menjadi dasar perjanjian itu

adalah janji, dan timbulnya janji itu karena adanya kemauan sendiri

merupakan suatu yang abstrak serta tidak mempunyai arti apa-apa

sebelum dinyatakan baik ucapan, perbuatan, maupun syarat. Apabila

kedua belah pihak sudah melaksanakan perjanjian berarti sejak itu

dianggap ada kemauan yaitu berupa kemauan menunaikan kewajiban dan

memperoleh hak dari janji yang diadakan itu.

b) Adanya keadaan memaksa (overmacht)

(30)

Keadaan memaksa (overmacht) adalah keadaan debitur yang tidak

melaksanakan apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal yang sama sekali

tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap

keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain,

tidak terlaksananya perjanjian atau keterlambatan dalam pelaksanaan itu

bukanlah disebabkan karena kelalaian atau kesalahannya. Debitur tidak

dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak bersalah tidak boleh

dijatuhi sanksi yang diancamkan atas kelalaiannya.118

Wanprestasi yang disebabkan kesalahan maupun kelalaian debitur

menimbulkan akibat hukum bagi pelakunya berupa sanksi atau hukuman kepada

debitur yang melakukan wanprestasi. Salah satu sanksi atau hukuman tersebut adalah

kewajiban membayar ganti rugi. Ketentuan tentang ganti rugi ini diatur dalam pasal

1246 KUHPerdata, disebutkan bahwa ganti rugi itu diperinci menjadi tiga macam

yaitu biaya, rugi dan bunga. Jadi apabila debitur yang telah melakukan wanprestasi

berarti debitur harus bertanggung jawab untuk mengganti segala sesuatu yang telah

dikeluarkan oleh kreditur berupa ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan

untuk keperluan yang ada sangkut pautnya dengan perjanjian.

Ganti rugi selanjutnya adalah berupa membayar segala kerugian karena

musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur.

Adapun unsur ganti rugi yang terakhir ini berbentuk bunga, yakni segala kerugian

yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah

(31)

diperhitungkan sebelumnya. Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan

harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya

boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.

2. Tinjauan Umum terhadap Kelalaian dan Tanggung Jawab dalam Hukum Pidana

Kelalaian dalam hukum pidana disebut culpa sedangkan kesengajaan disebut

dolus. Dalam hukum pidana, kelalaian mempunyai akibat hukum yang berbeda

dengan kesengajaan. Hal ini berbeda dengan konsep kelalaian dalam hukum perdata

yang tidak terlalu membedakan antara kelalaian dan kesalahan, keduanya disebut

sebagai wanprestasi.

Dalam hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan

disebut denganculpa. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa arti culpa adalah

“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti

teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat

seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja

terjadi.119Jan Remmelink dalam mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah.

Menurut Jan Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis

seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang

(32)

menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari

tindakan orang tersebut, padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya

dilakukan.120

Akibat hukum kelalaian dalam konsep hukum perjanjian berbeda dengan

hukum pidana. Dalam hukum pidana, kelalaian (culpa) merupakan unsur yang dapat

meringankan hukuman bagi si pelaku. Hukum perjanjian tidak membedakan apakah

suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau

karena kelalaian. Akibat hukum kelalaian adalah sama dengan akibat hukum yang

timbul dari kesalahan yang disengaja, yakni pemberian ganti rugi dengan

perhitungan-perhitungan tertentu. Kelalaian berbeda dengan force majeur, yang

umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk

sementara atau selama-lamanya).

Lange meyer mengatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang sangat

gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir,

dan menunjuk kepada adanya keadaan bathin yang tertentu, dan di lain pihak

keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan demikian,

makaculpa(kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan

berupa kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa dalam

kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang

(33)

disadari daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat

positif ini tidak ada dalam kealpaan.121

Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memori

penjelasan (memorie van toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak

antara sengaja dan kebetulan, sehingga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding

dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa delikculpa

itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana.122 Simons mensyaratkan dua hal untuk kelalaian (culpa),yaitu:123

1. Tidak adanya kehati-hatian (het gemis van voorzichtigheid);

2. Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin terjadi (het gemis van de voorzienbaarheid van het gevolg).

3. Tinjauan Umum terhadap Kelalaian dan Tanggung Jawab dalam Hukum Islam

Hukum Islam memiliki ketentuan yang mendasar dalam masalah perikatan

dan perjanjian yaitu dengan memberi kebebasan kepada pihak-pihak yang terlibat

untuk mengambil bentuk dari macam-macam akad yang dipilihnya. Untuk ini segala

macam cara yang menunjukkan adanya ijab dan qabul sudah dapat dianggap akad,

dan akad ini memiliki pengaruh selama diselenggarakan oleh mereka dan memenuhi

persyaratan penyelenggaraannya.

Ketentuan inilah yang merupakan pokok-pokok syariat Islam yaitu suatu

kaidah bahwa “akad-akad dapat dengan diwujudkan dengan cara apa saja baik berupa

121C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, hlm. 257.

(34)

perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan maksud akad-akad tersebut”.124 Hukum Islam sangat memperhatikan agar penyelenggaraan akad diantara manusia itu

merupakan hasil keinginan dan kemauannya sendiri yang timbul dari kerelaan dan

mufakat kedua belah pihak yang mengadakan akad/perjanjian. Sebagaimana firman

Allah dalam surat An Nisa ayat 29.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. selanjutnya Hukum Islam menganjurkan agar perjanjian itu dikuatkan dengan tulisan dan saksi dengan tujuan agar hak masing-masing dapat terjamin”.

Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 283.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

Dalam Hukum Islam, kelalaian dalam memenuhi kewajiban untuk

memberikan hak orang lain tergolong perbuatan yang dilarang, dimana sebelumnya

telah diketahui adanya suatu perjanjian diantara mereka, maka selanjutnya bagi

mereka yang melakukan pelanggaran/cidera janji karena tidak melakukan prestasinya,

maka dikenakan sanksi kepadanya berupa pembayaran ganti rugi kepada pihak

kreditur, dan atau penahanan yang menjadi hak miliknya sebagai suatu jaminan dari

sejumlah yang dijanjikannya.

Ganti rugi sendiri dalam Islam dikenal dengan istilah dhaman. Dalam

menetapkan ganti rugi unsur-unsur yang paling penting adalah dharar atau kerugian

pada subyeknya. Dharar dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa dan juga

(35)

kerusakan yang bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan dharar adabi

termasuk didalamnya pencemaran nama baik. Tolak ukur ganti rugi baik kualitas

maupun kuantitas sepadan dengan dharar yang diderita pihak korban, walaupun

dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengan

kondisi pelaku.125

Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja

atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan

menimbulkan kerugian pada pihak lain. Besaran ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai

dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami dalam transaksi tersebut dan

bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang

yang hilang (opportunity loss). Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada

transaksi (akad) yang menimbulkan hutang piutang (dayn) seperti salam,

istishna’,murabahah, dan ijarah.126

Wahbah al-Zuhaili dalam buku Nazariyah al-Dhaman menyatakan bahwa

ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau

kekeliruan.127 Ketentuan umum yang yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya) seperti memperbaiki

dinding. (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula

selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh

kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan

125 Asmuni A. Rahmad, Ilmu Fiqh 3, Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007, hlm.120.

126Ibid

(36)

benda yang sama (sejenis) atau dengan uang.128Sementara itu hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian

immateriil, menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti

(dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan

konkret.

Referensi

Dokumen terkait

Fitur aplikasi yang terdapat dalam aplikasi Kabusaki ini adalah menu pencarian yang di dalamnya terdapat berbagai tombol yang dapat digunakan untuk mencari informasi

Di Kelurahan Botoran Kecamatan Tulungagung misalnya, disini dalam pandanag peneliti, masyarakat Kelurahan Botoran dalam mereka mengamalkan Alquran dengan

Fenomena tersebut merupakan bentuk penyimpangan sosial yang disebabkan oleh .... Kakek : pejabat Anak : karyawan Cucu

ada peradangan atau iritasi pada mukosa lambung Tn.S dalam waktu 2 x 24 jam dengan kriteria: 1.Skala Nyeri Tn.S berkurang 2.Tn.S tidak merasa nyeri pada epigastrium

Kecamatan Pedan yang memiliki Pasar Pedan sebagai pusat ekonomi masyarakat akan tetapi saat ini pasar pedan yang sudah di revitalisasi menjadi pasar modern oleh investor

Ketika link yang dibuat dengan menggunakan nama- nama dari Route yang ada, secara otomatis Laravel akan membuat URI yang sesuai.. • Restful Controllers , memberikan sebuah

Peningkatan Pemahaman Mata Pelajaran IPS Materi Keragaman Suku Bangsa Dan Budaya Indonesia Melalui Media POKARSO (Pop Up Dan Kartu Soal) Di Kelas IV MI Muhammadiyah 23

 Strength : - memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia kepada anak-anak, pemuda, dan warga dusun Butoh kidul. - Hadiah dan penghargaan yang diberikan diharapkan