BAB II
BENTUK-BENTUK KELALAIANMUDHARIBYANG MENGAKIBATKAN
TIMBULNYA KERUGIAN DALAM PEMBIAYAANMUDHARABAH PADA
PT BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN GAJAHMADA
A. PembiayaanMudharabahsebagai Karakteristik Bank Syariah
1. Pengertian PembiayaanMudharabah
Pembiayaan (financing) adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga atau dengan kata lain pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.73 Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah yang
mewajibkan nasabah untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.74
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 memberi pengertian
lebih terperinci tentang pembiayaan sebagai berikut:
73 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2005, hlm.17. Lihat pula definisi pembiayaan menurut Arthesa, “Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Ade Arthesa dan Edia Handiman,
Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank,Jakarta, Index, 2006, hlm. 1.
74Lihat juga pengertian dalam Kamus Bisnis dan Bank , “Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentukmudharabahdanmusyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutangmurabahah, salam, dan istishna'; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutangqardh; dan transaksi
sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalanujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Pembiayaan menurut penggunaannya, dapat dibagi atas pembiayaan produktif
dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha
baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Pembiayaan konsumtif yaitu
pembiayaan yang dipergunakan untuk memenuhi konsumsi, yang akan habis
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Pembiayaanmudharabahberdasarkan prinsip bagi hasil merupakan salah satu
bentuk pembiayaan produktif. Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan
landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Berdasarkan prinsip
ini bank Islam akan berfungsi sebagai mitra baik dengan penabung demikian juga
dengan pengusaha yang meminjam dana. Dalam hubungan dengan penabung, bank
akan bertindak sebagai mudharib (pengelola) sementara penabung sebagai
shahibul-mal (penyandang dana). Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang
menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak. Di sisi lain, dengan
(penyandang dana) baik yang berasal dari tabungan/ deposito/giro maupun dana bank
sendiri berupa modal pemegang saham). Sementara itu, pengusaha/peminjam akan
berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan mengelola
dana bank.
Mudharabah merupakan satu makna yang mengandung pengertian yang sama
dengan qiradh. Biasanya istilah qiradh digunakan penduduk Hijaz pada zaman
Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan mudharabah merupakan istilah yang
digunakan oleh penduduk Irak.75 Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya secara harfiah bepergian/berjalan. Seperti firman Allah dalam Qur’an Surat
Al-Muzzammil ayat 20 yang artinya: ”Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah”. Dari ayat Al-Qur’an tersebut mengandung makna
asal “berjalan di atas bumi untuk berniaga”.76 Sedangkan qiradh berasal dari kata
qaradh yang artinya (cabang) atau potongan, karena pemilik memotong sebagian
hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.77 Secara eksplisit dalam Al-Quran tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah.
Meskipun kata “dharb” yang merupakan asal kata dari mudharabah, digunakan
sebanyak lima puluh delapan (58) kali, namun ayat-ayat Al-Quran tersebut tidak
menyebutkan tentang mudharabah. Ayat-ayat tersebut memang memiliki kaitan
dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti
“perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.
Secara terminologi, para ulama mendefinisikan mudharabah atau qiradh
dengan “pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang)
untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan
dibagi menurut kesepakatan”.78 Akad mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan
unsur terpenting dalam akad mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana
kepada pengelola dana. Oleh karena kepercayaan merupakan unsur terpenting maka
mudharabahdalam istilah bahasa inggris disebuttrust financing. Pemilik dana yang
merupakan investor disebut beneficial ownership atau sleeping partner, dan
pengelola dana disebut managing trustee atau labour partner.79 Keuntungan yang diperoleh dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan perbandingan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya.
Nisbah merupakan rasio bagi hasil yang akan diterima oleh tiap-tiap pihak
yang melakukan akad kerjasama usaha, yaitu shahibul maal dan mudharib, dimana
78As-Sarakhsi dalam Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, Jakarta, Gaya Media Pratama, hlm. 175-176. Hanafiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Oleh sebab itu makamudharabahadalah: “Akad syirkahdalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.” Malikiyah berpendapat bahwamudharabah
merupakan akad perwakilan dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada pedagang untuk memperdagangkan dengan pembayaran ditentukan pada awal akad. Oleh karena itu mudharabah
adalah: “Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak).” Hanabilah berpendapat,
mudharabahadalah harta yang diserahkan pada orang lain dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian yang diketahui. Mudharabah ibarat pemilik harta yang menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari ketentuan yang diketahui.” Ulama’ Syafi’iyah berpendapat mudharabah adalah akad yang dapat menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dimanfaatkan, oleh sebab itu mudharabah
adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk ditijarahkan (diperniagakan).
79Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
nisbah ini tertuang di dalam akad yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak.80 Pembagian keuntungan bank syariah kepada nasabah berdasarkan nisbah yang disepakati pada awal akad pembiayan. Bagi hasil yang diperoleh
tergantung jumlah dan jangka waktu simpanan serta pendapatan bank pada periode
tersebut. Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan bank (revenue)
sehingga nasabah pasti memperoleh bagi hasil dan tidak kehilangan pokok simpanan.
Mudharabah, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu mudharabah muthalaqah, mudharabah
muqayyadah dan mudharabah musytarakah. Berikut adalah pengertian
masing-masing jenismudharabah:
a. Mudharabah muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola investasinya. Mudharabahini disebut juga investasi tidak terikat.
b. Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana mengenai lokasi, cara, dan atau objek investasi atau sektor usaha. Misalnya, tidak mencampurkan dana yang dimiliki oleh pemilik dana dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan dananya pada transakasi penjualan cicilan tanpa penjamin atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. Mudharabah jenis ini disebut investasi terikat.
c. Mudharabah musytarakah adalah mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling
membantu antara shahibul-mal (investor) dengan pengelola dana (mudharib). Ibn
Rusyd dari madzhab Maliki mengatakan bahwa kebolehan akad mudharabah
merupakan suatu kelonggaran yang khusus.81 Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh Al-Quran atau Hadits, ia adalah sebuah kebiasaan yang
diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya
terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan
karavan dan perdagangan jarak jauh.
Shahibul-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada
mudharib agar kontrak ini menjadi sah.82 Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batas-batas klausul kontrak mudharabah yang
secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan
lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya. Nisbah bagi hasil antara
pemodal dan pengelola harus disepakati di awal perjanjian. Besarnya nisbah bagi
hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam Syariah, tetapi tergantung kesepakatan
mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau
proporsi lain yang disepakati. Pembagian keuntungan yang tidak diperbolehkan
adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu pihak.
Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi yang berbeda untuk situasi yang
berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di bidang produksi, maka nisbahnya 50
persen, sedangkan kalau pengelola berusaha di bidang perdagangan, maka nisbahnya
40 persen.
Manfaat dari akadmudharabahini adalah:83
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat,
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalaminegative spread,
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah,
4) Bank akan lebih selektif dan hati hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
Sedangkan risiko dari akadMudharabahini adalah:84
1)Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak,
2) Nasabah lalai dan melakukan kesalahan yang disengaja,
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
2. RukunMudharabah
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akadmudharabahadalah terdiri atas
orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja, tidak hanya terbatas pada rukun
sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, ulama Hanafiyah85
memasukkan rukun-rukun yang disebutkan jumhur ulama itu, selain ijab dan qabul
sebagai syarat akad mudharabah. Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan
rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
1) Orang yang berakad harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
83M. Syafi’I Antonio,Op. Cithlm. 97. 84Ibid.,hlm. 98.
2) Mengenai modal disyaratkan: a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
3) Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
Rukun dan syarat mudharabah juga harus tunduk terhadap rukun dan syarat
perjanjian berdasarkan prinsip Islam yang menurut mayoritas ulama adalah sebagai
berikut:86
1)Shighat (formulasi) ijab dan qabul dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis, sarana komunikasi modem, dan bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan, tulisan, maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan suatu kontrak yang umumnya dikenal dengan namaal-mu'athah. 2) Pelaku kontrak disyaratkan harus orang mukallaf ('aqil-baligh, berakal sehat
dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk keabsahan kontrak diserahkan kepada'urfatau peraturan perundang-undangan yang tentunya dapat menjamin kemaslahatan para pihak.
3) Sesuatu yang menjadi objek kontrak harus memenuhi 4 ( empat) syarat : a) Sebagai objek kontrak, mudah menimbulkan persengketaan di Objek
kontrak harus sudah ada secara konkret ketika kontrak dilangsungkan; atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam kontrak-kontrak tertentu seperti dalam kontraksalam, istishna', ijarahdanmudharabah. b) Objek kontrak harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah
dijadikan objek kontrak, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan(mutaqawwam).
c) Objek kontrak harus dapat diserahkan ketika terjadi kontrak, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika.
d) Objek kontrak harus jelas (dapat ditentukan, mu 'ayyan) dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ketidakjelasan objek kontrak, selain ada larangan nabi untuk menjadikannya kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu objek kontrak ini, adat kebiasaan ('urf)mempunyai peranan penting.
86 As Sarakhsi, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Rukun akad dan rukun akad mudharabah juga diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. Rukun akad diatur dalam pasal 22 KHES yaitu:
a) pihak yang berakad,
b) objek akad,
c) tujuan pokok akad,
d) kesepakatan para pihak
Dalam akad mudharabah,ada beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan,
yaitu:87
a) Akad yang dilakukan para pihak (bank dan nasabah) bersifat mengikat (mulzim);
b) Para pihak yang melakukan akad harus memiliki iktikad baik (husnunniyah). Asas ini sangat penting diperhatikan dan akan turut menentukan kelangsungan dari pelaksanaan akad itu sendiri;
c) Memperhatikan ketentuan-ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang telah diatur oleh Islam, dan tidak berlawanan dengan asas-asasal-uqud (konsep hukum perikatan Islam);
d) Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan, sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral perekonomian dalam Islam.
B. Bentuk-bentuk Kelalaian Mudharib yang Menyebabkan Timbulnya
Kerugian dalam Pembiayaan Mudharabah yang Disalurkan oleh PT Bank
Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada
Perjanjian sebagai cerminan telah terjadinya hubungan dan kesepakatan antara
pihak bank dan nasabah harus mencerminkan asas-asas perjanjian yang tertuang
dalam perundang-undangan dan hukum muamalah Islam. Perjanjian berdasarkan
prinsip syariah inilah yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional,
karena perjanjian yang diterapkan di perbankan syariah memiliki konsekuensi
duniawi danukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalam penerapan
pola hubungan inilah sudah seharusnya tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan
dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing
menyadari akan pertanggungjawaban dari perjanjian tersebut.88
Dalam perjanjian pembiayaan mudharabah, para pihak sepakat untuk
membagi keuntungan usaha sesuai nisbah yang telah ditetapkan, sedangkan apabila
mengalami kerugian ditanggung pemilik modal selama kerugian tidak dikarenakan
kelalaian atau kesalahan pengelola/ mudharib. Jika kerugian itu diakibatkan
kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional 07/DSN/MUI/IV/2000 terdapat
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang akibat kelalaian mudharib dalam
pengelolaan danamudharabah.Ketentuan itu selengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Pada Bagian Pertama poin 6:
“LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian”.
b. Pada Bagian Kedua poin 4 c:
“Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.
88 Rahmani Timorita Yulianti, ”Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Kontrak Syariah”,La
c. Pada Bagian Ketiga poin 3:
“Pada dasarnya, dalammudharabahtidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.
Fatwa DSN tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 6 h Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran
Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
ditegaskan bahwa :
“Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha”.89
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan mengenai kelalaian
mudharib, maka kelalaian mudharib menimbulkan akibat hukum yang sama dengan
kesalahan yang disengaja, yaitu kewajiban untuk menanggung risiko kerugian yang
terjadi dalam pembiayaan mudharabah. Kelalaian mudharib tidak dapat menjadi
alasan pembenar ataupun alasan pemaaf untuk membebaskan mudharib dari
kewajibannya.
Kelalaian mudharib juga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
89 Selengkapnya Lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad
Kelalaian, jika ditinjau dari Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut adalah merupakan suatu kesalahan. Dalam pasal tersebut, disyaratkan adanya
unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum. Unsur kesalahan
tersebut dianggap ada jika memenuhi salah satu diantara 3 (tiga) syarat sebagai
berikut:90
1) Ada unsur kesengajaan, atau
2) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigings grond) seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.
Perihal kelalaian nasabah yang menimbulkan kewajiban untuk bertanggung
jawab terhadap kerugian dalam pembiayaan mudharabah diatur dalam Pasal 8 ayat
(3) Akad Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Mudharabah Bank Syariah Mandiri
sebagai berikut: “nasabah harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang timbul
dari pengelolaan usahanya yang dibiayai dengan Akad, jika nasabah lalai atau
melakukan pelanggaran atau menjalankan usaha secara tidak jujur, tidak memenuhi
standar kewajaran, melawan hukum atau cedera janji”.
Dalam Pasal 14 Akad Mudharabah BSM diatur pula tentang kriteria cedera
janji yang dilakukan oleh nasabah, yaitu:
a. NASABAH tidak melaksanakan pembayaran atas Jumlah Kewajiban kepada BANK sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dalam lampiran Akad;
b. Nasabah menggunakan Modal Mudharabah menyimpang dari tujuan penggunaan sebagaimana disebutkan di dalam Akad;
c. NASABAH tidak memenuhi dan/atau melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 13 Akad (mengenai kewajiban nasabah);
d. Agunan (baik seluruhnya atau sebagian) mengalami penurunan nilai, menjadi obyek sengketa, ada pihak lain menyatakan memiliki, hak kepemilikan atas Agunan batal atau beralih kepada pihak lain atau musnah dan Nasabah gagal untuk memberikan penggantian barang agunan yang dapat diterima oleh BANK pada waktu yang ditentukan BANK;
e. Karena sesuatu sebab sebagian atau seluruh Dokumen Agunan dinyatakan batal berdasarkan putusan pengadilan atau badan arbitrase;
f. NASABAH atau pihak yang mewakili NASABAH dalam Akad dihukum berdasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap dan pasti (in kracht van gewijsde) karena perbuatan kejahatan yang dilakukannya, yang diancam dengan hukuman penjara atau kurungan satu tahun atau lebih;
g. Melakukan pengalihan usahanya dengan cara apapun dan melakukan perubahan badan usaha termasuk dan tidak terbatas pada melakukan penggabungan, konsolidasi, dan/atau akuisisi dengan pihak lain;
h. Menjalankan usahanya tidak sesuai dengan ketentuan teknis yang diharuskan oleh BANK;
i. Lalai tidak memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain;
j. Menolak atau menghalang-halangi BANK dalam melakukan pengawasan dan/atau pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Akad;
Bentuk-bentuk kelalaian nasabah secara sangat terperinci dapat ditemukan
pada Syarat-Syarat Umum Pembiayaan PT Bank Syariah Mandiri.91 Kelalaian tersebut menurut aturan ini merupakan wanprestasi yang diatur dalam pasal 16
sebagai berikut:
1. Kejadian-kejadian yang disebutkan di bawah ini dianggap bahwa Nasabah
telah cedera janji:
1) Mengubah susunan pengurus dan/atau pemegang saham perusahaan tanpa
memperoleh persetujuan Bank.
91
2) Memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun non bank
tanpa pemberitahuan dan persetujuan Bank.
3) Tidak memenuhi pembayaran Jumlah Kewajiban (baik bagiannya atau
keseluruhannya) sebagaimana ditentukan berdasarkan jadwal pembayaran
yang disebutkan pada Akad selama 3 bulan berturut-turut, sekalipun
jangka waktu Akad belum berakhir.
4) Tidak dapat memenuhi dan/atau melanggar sebagian atau seluruh syarat
dan ketentuan yang tercantum dalam Akad.
5) Pernyataan dan Jaminan yang diberikan ternyata tidak benar atau palsu.
6) Dinyatakan pailit oleh instansi yang berwenang.
7) Terlibat dalam perkara di depan pengadilan atau lembaga/instansi lainnya.
8) Laporan-laporan/dokumen yang diserahkan oleh Nasabah ternyata tidak
benar
9) Tercantum dalam daftar kredit macet Bank Indonesia (BI), Daftar Hitam
Nasional (DHN), dan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan
(PPATK).
10) Penjamin telah lalai atau tidak memenuhi ketentuan Akad dan atau
Jaminan Perorangan atau Jaminan Perusahaan dan atau dokumen lain
yang berhubungan dengan Akad dan atau Jaminan Perorangan atau
Jaminan Perusahaan; atau
11) Pemilik Barang Agunan telah lalai atau tidak memenuhi ketentuan Akad
dan atau dokumen lain yang berhubungan dengan Akad; atau
12) Jika suatu dokumen yang diperlihatkan atau diserahkan kepada Bank
sehubungan dengan Akad ataupun Dokumen Agunan menurut pendapat
Bank adalah palsu atau menyesatkan.
13) Jika:
i. Hak Tanggungan, Hipotik, Resi gudang dan/atau Jaminan Fidusia
untuk kepentingan Bank karena sebab apapun tidak dapat
ii. Sertifikat hak atas tanah tidak/tidak dapat dibuat oleh kantor
pertanahan; dan/atau
iii. Hak Tanggungan tidak/tidak dapat dicatatkan dalam buku tanah hak
atas tanah; dan/atau
iv. Sertifikat Hak Tanggungan, sertifikat Hipotik, Resi Gudang dan/atau
sertifikat Jaminan Fidusia dan pendaftarannya tidak dapat diserahkan
kepada Bank karena alasan apapun juga; dan/atau
v. Agunan musnah, rusak berat, sehingga menurut pendapat Bank tidak
bernilai seperti pada waktu Akad bersangkutan di buat;
14. Nasabah dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan tidak
membayar hutangnya kepada pihak ketiga yang telah dapat ditagih atau jika
Nasabah dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan karena sebab
apapun menjadi tidak berhak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya;
atau
15. Jika suatu permohonan atau tuntutan telah diajukan kepada instansi yang
berwenang baik di Indonesia atau di luar negeri tentang kepailitan Nasabah
dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan; atau untuk mendapat
izin Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau Nasabah dan/atau
Penjamin dan/atau Pemilik Barang Agunan mengajukan permohonan kepada
instansi yang berwenang baik di Indonesia atau di luar negeri untuk
dinyatakan pailit atau untuk mendapat izin Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang; atau
16. Nasabah tidak mungkin lagi atau tidak mempunyai dasar hukum untuk
memenuhi sesuatu ketentuan atau kewajiban berdasarkan Syarat-syarat
Umum atau Akad; atau
17. Bank tidak mungkin lagi melaksanakan suatu haknya atau hak istimewanya
seperti ditetapkan dalam Akad; atau
18. Nasabah (perorangan) meninggal dunia atau jatuh sakit sedemikian rupa
menangguhkan untuk sementara usahanya, jika ada, sehingga menurut
pendapat Bank dapat mengurangi kemampuan Nasabah untuk memenuhi
kewajibannya sesuai Akad, atau Nasabah ditaruh di bawah pengampuan
(curatele) atau kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaannya, atau
Nasabah dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang atau
diberlakukan ketentuan serupa di luar Indonesia; atau
19. Penjamin (perorangan) meninggal dunia atau jatuh sakit sedemikian rupa
sehingga tidak dapat bekerja seperti biasanya atau Penjamin (sebagai suatu
badan hukum) dibubarkan atau suatu keputusan rapat diambil untuk
membubarkan Penjamin atau jika Penjamin menangguhkan untuk sementara
usahanya (jika ada) sehingga menurut pendapat Bank dapat mengurangi
kemampuan Penjamin untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan
Jaminan Perorangan atau Jaminan Perusahaan atau Penjamin (jika Penjamin
adalah perorangan) ditaruh di bawah pengampuan, atau Penjamin dinyatakan
pailit oleh Pengadilan Negeri yang berwenang atau diberlakukan ketentuan
serupa di luar Indonesia, atau (jika Penjamin adalah badan hukum) diangkat
seorang atau lebih pengelola untuk menjalankan usahanya; atau
20. Harta kekayaan Nasabah dan/atau Penjamin dan/atau Pemilik Barang
Agunan, baik sebagian atau seluruhnya disita oleh instansi yang berwenang;
atau
21. Salah satu atau lebih barang Agunan disita oleh instansi yang berwenang,
baik sebagian maupun seluruhnya, atau jika barang Agunan itu karena sebab
apapun juga hilang, rusak atau musnah; atau
22. Jika ada sebab atau kejadian lain yang terjadi atau mungkin akan terjadi
sehingga layak bagi Bank untuk melindungi kepentingannya.
23. Tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Bank:
a) Menerima pinjaman dari pihak lain manapun juga;
c) Mengadakan penyertaan baru dalam perusahaan-perusahaan lain dan
atau turut membiayai perusahaan-perusahaan lain;
d) Membagikan bonus dan ataudividen;
e) Membayar hutang kepada para pemegang saham/pemilik perusahaan
sendiri (sub ordinate loan);
f) Menjaminkan aset Nasabah kepada pihak lain atau menjadi penjamin
bagi pihak lain;
g) Melakukanmerger, akuisisi, mengadakan atau memanggil rapat umum
tahunan atau rapat umum luar biasa para pemegang saham dengan cara
mengubah permodalan dan atau mengubah nama pengurus (direksi
maupun pemegang saham) serta mencatat penyerahan/pemindahan
saham;
h) Mengadakan transaksi dengan orang atau pihak lain termasuk tetapi
tidak terbatas pada perusahaan affiliasinya di luar praktek-praktek dan
kebiasaan dalam dagang yang wajar dan melakukan pembelian lebih
mahal dari harga pasar atau menjual di bawah harga pasar;
i) Mengadakan ekspansi usaha dan atau investasi baru;
j) Melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang
mengagendakan perubahan anggaran dasar, susunan pengurus,
pemegang saham dan struktur modal, termasuk dan tidak terbatas pada
mengubah nama, maksud dan tujuan kegiatan usaha serta status
perusahaan;
k) Mengeluarkan pernyataan berhutang dalam bentuk pinjaman,
penyewaan atau garansi kepada pihak lain;
l) Membubarkan perusahaan, merger dengan perusahaan lain,
mengakuisisi perusahaan lain dan mohon dinyatakan pailit kepada
instansi yang berwenang;
m) Melakukan penjualan atau mengalihkan kepemilikan sebagian atau
n) Menjaminkan, menjual atau membebani dengan kewajiban seluruh atau
sebagian asset perusahaan termasuk pendapatan yang telah dan akan
diterima;
24. Cedera janji kepada pihak ketiga lainnya.
Menurut Nurhandayani, bentuk-bentuk kelalaian mudharib yang
menimbulkan kerugian pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada
selama ini diantaranya adalah:92
1)Mudharib menggunakan pembiayaan untuk hal di luar tujuan yang telah
disepakati dalam akad;
2)Mudharib tidak membayar jumlah kewajiban pembiayaan sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati dalam akad;
3)Mudharib menyampaikan laporan keuangan kepada bank tidak sesuai dengan
kenyataan;
4)Mudharib lalai memenuhi atau tidak memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan lain dalam akad pembiayaan;
5)Mudharib lalai dalam memelihara alat-alat produksi sehingga timbul
kerusakan yang berakibat pada terhambatnya kegiatan produksi
6)Mudharib lalai mengurus perizinan yang diperlukan sehingga mudharibtidak
berhak untuk membangun atau melaksanakan proyek.
Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban membayar
ganti rugi (schade vergoeding) tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru
efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak
melaksanakan prestasinya.93 Selanjutnya mengenai pernyataan lalai diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyatakan:
a. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan dari pada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan.
b. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
c. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaningyang biasa disebutsomasi
Berdasarkan Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri No. 11/009/OPS
Perihal Implementasi PSAK No. 105 tentang Akuntansi Mudharabah, tanggal 30
April 2009, dalam poin E6 disebutkan bahwa kelalaian atas kesalahan pengelolaan
dana antara lain ditunjukkan oleh:
a) Persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi
b) Tidak terdapat kondisi di luar kemampuan(force majeur) yang lazim dan/atau telah ditentukan dalam akad, atau
c) Hasil keputusan dari institusi yang berwenang.
Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri tentang Akuntansi Mudharabah
mengandung kesesuaian dengan ketentuan dalam Pasal 1238 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, khususnya dalam poin c yang menyatakan bahwa kelalaian
ditunjukkan oleh hasil keputusan dari institusi yang berwenang. Hal ini mengandung
makna bahwa kelalaian tidak seketika menimbulkan kewajiban ganti rugi, akan tetapi
harus didahului oleh adanya teguran secara resmi. Berdasarkan ketentuan tersebut,
Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada dalam memutuskan telah terjadi
kelalaian mudharib melalui mekanisme penetapan keadaan lalai dan memberi
peringatan secara resmi dalam bentuk somasi.
Menurut Sarimah, adanya peringatan lisan dan tulisan sangat diperlukan bagi
nasabah pembiayaan untuk mengingatkan kewajiban dan resiko bila di kemudian hari
pembiayaan dimaksud mengalami tunggakan dan dapat segera diantisipasi dan
dicarikan solusi atas permasalahan yang mungkin timbul.94
Akan tetapi, dalam Pasal 8 ayat (2) Syarat-syarat Umum Pembiayaan Bank
Syariah Mandiri disebutkan,
“Nasabah wajib membayar Denda dengan segera dan sekaligus lunas atas tagihan pertama Bank; dalam hal ini lewat waktu pembayaran sudah merupakan bukti terjadinya Cedera Janji, sehingga tidak perlu dilakukan teguran dengan cara apapun untuk membuktikan terjadinya Cedera Janji”.
Ketentuan ini mengandung makna bahwa tanpa adanya upaya apapun dari
pihak bank maka nasabah telah lalai untuk melaksanakan segala ketentuan yang telah
diperjanjikan dalam akad pembiayaan maupun syarat-syarat perjanjian yang melekat
pada pemberian pembiayaan itu. Hal ini untuk memberikan kesadaran kepada
nasabah bahwa tanpa pemberitahuan dari pihak bank maka nasabah telah menyadari
kelalaiannya apabila setelah lewat waktu yang disepakati dalam akad, nasabah tidak
melakukan pembayaran kewajibannya. Ditinjau dari prinsip syariah, ketentuan
94 Wawancara dengan Sarimah, nasabah pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang Medan
tersebut mencerminkan prinsip Keadilan (Al-‘Adalah), Keadilan dalam perspektif
Islam tidak berarti kesamaan atau kesetaraan kedudukan. Pelaksanaan asas ini dalam
kontrak menuntut para pihak untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak
dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi
segala hak dan kewajiban, tidak saling menzalimi dan dilakukannya secara berimbang
tanpa merugikan pihak lain yang terlibat dalam kontrak tersebut95. Islam
mengedepankan perdamaian dan musyawarah. Karenanya bagi nasabah (mudharib)
yang memiliki itikad baik dengan menunjukkan kemauan dan kemampuannya secara
jujur maka dapat diberikan opsi seperti dalam Surat Edaran Operasi Bank Syariah
Mandiri tentang Akuntansi Mudharabah maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional
tentangMudaharabah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional terkait Restrukturing dan
Reconditioning. Karena bank syariah mengedepankan prinsip-prinsip syariah secara
utuh.
Dalam praktiknya, Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada
menerapkan ketentuan memberikan peringatan lisan maupun tulisan kepada nasabah
yang lalai. Menurut Nurhandayani, dalam praktik Bank Syariah Mandiri Cabang
Medan Gajahmada juga telah melaksanakan upaya-upaya memberi peringatan kepada
mudharibyang terindikasi lalai. Bank tidak seketika langsung memberi sanksi kepada
mudharib. Terhadap kelalaian mudharib yang benar-benar tidak disebabkan itikad
buruk, bank melakukan langkah-langkah persuasif agarmudharibdapat memperbaiki
95
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Ekonomi Islam Sejarah Teori dan Konsep,
kinerjanya sehingga kerugian dapat dihindarkan. Akan tetapi, jika bank menilai
adanya kesengajaan dan itikad buruk mudharib yang akan atau telah menimbulkan
kerugian, maka bank akan segera memberi sanksi tegas.96 Sanksi tegas yang
dimaksud adalah melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri sebagaimana yang
disebutkan pada Akad Pembiayaan.
Salah satu bentuk kelalaian mudharib sebagaimana yang dikatakan oleh staf
Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada adalah “mudharibtidak membayar
jumlah kewajiban pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam
akad”97. Menurut Nurul Hasanah, kelalaian mudharib membayar kewajiban sesuai ketentuan yang telah disepakati dalam akad membutuhkan pembuktian apakah
tindakan mudharib yang tidak membayar sesuai kesepakatan memang disebabkan
kelalaian atau karena keadaan memaksa yang tidak dapat dihindarimudharib.Hal ini
dibutuhkan agar perjanjian mudharabah yang merupakan perjanjian kerjasama
berdasarkan pembagian untung rugi yang disepakati, benar-benar merupakan
perjanjian kerjasama yang tidak menimpakan risiko hanya kepada salah satu pihak98. Mudharabah bukanlah perjanjian kredit yang menempatkan pihak bank dan nasabah
pada kedudukan kreditor dan debitor.
C. Tanggung JawabMudharibterhadap Kerugian yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib
1. Tinjauan Umum terhadap Kelalaian dan Tanggung Jawab dalam Hukum Perdata
96 Wawancara dengan Nurhandayani, Verifikator Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada pada tanggal 13 Februari 2016.
97
Ibid
98 Wawancara dengan Nurul Hasanah, Nasabah Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang
Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan
sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari
proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan maka bank syariah perlu melakukan
pemantauan dan pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan
tidak mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank
syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat
melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan itu.
Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang tidak lancar, dimana
debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, yang tidak menepati jadwal
angsuran yang memiliki potensi merugikan bank dan menunggak dalam satu waktu
tertentu.99 Suatu pembiayaan dinyatakan sebagai pembiayaan bermasalah apabila pembiayaan tersebut sebagai pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet.100
Faktor utama yang menyebabkan pembiayaan bermasalah sehingga
menimbulkan kerugian dalam pembiayaan mudharabah adalah ketidakmampuan
mudharib memenuhi kewajibannya kepada bank. Ketidakmampuan memenuhi
kewajiban ini dalam istilah hukum disebut wanprestasi atau cedera janji. Wanprestasi
yang dilakukan seorangmudharibmenimbulkan kewajiban untuk bertanggung jawab
atas kerugian yang terjadi.
Tanggung jawab dalam istilah hukum adalah responsibility
(veranwoordelijkheheid) atauliability (aansprakelijkeheid).101 Pada umumnya setiap
99Abdullah Saed,Op.Cithlm. 139 100Agusmantoro,Op.Cit., hlm.51.
101Agus M. Toar,Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya, Kerjasama Ilmu
orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu bertanggung
jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan.102 Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum. Bila tanggung jawab ini hanya dibatasi pada hukum
perdata saja, maka orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan hukum diantara mereka.103
Suatu tanggung jawab dalam hukum perdata dapat timbul karena adanya
perikatan. Perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih di
dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan
pihak lain berkewajiban memenuhi prestasi.104 Subekti memberi batasan perikatan sebagai “suatu hubungan hukum (dalam bidang hukum kekayaan) antara dua
orang/pihak, berdasarkan mana yang satu berkewajiban melakukan sesuatu,
sedangkan yang lain berhak menuntut dilakukannya sesuatu itu. Sesuatu itu
dinamakan “prestasi”. Pihak yang wajib melakukan prestasi disebut debitur atau si
berutang, sedangkan pihak yang berhak atas prestasi tersebut dinamakan kreditur atau
si berpiutang.105
Tanggung jawab dalam hukum perdata dikaitkan dengan adanya perikatan
meliputi: tanggung jawab kontraktual (tanggung jawab yang muncul akibat adanya
102 Veronica Komalawati,
Hukum dan Etika dalam Profesi,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989, hlm.100.
103 Bernadette M. Waluyo, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Diklat Kuliah UNPAR, 1997, hlm.15.
104 Ridwan Sahrani, Seluk beluk dan Azas-Azas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985, hlm. 203.
105 Subekti, “Azas-Azas Hukum Perikatan dalam Hukum Perjanjian”,Majalah Hukum Pro
suatu perjanjian) dan tanggung jawab berdasarkan undang-undang (yakni tanggung
jawab yang timbul akibat perbuatan melawan hukum). Dalam pembiayaan
mudharabah, hubungan antara mudharib dan shahibul-mal, melahirkan dua macam
tanggung jawab yang tercermin dari bunyi penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf (c).106 Tanggung jawab tersebut terdiri atas: Pertama, “tanggung jawab kontraktual”, yakni
sesuai dengan bunyi penjelasan pasal tersebut secara kontraktual pihak shahibul-mal
bertanggung jawab atas segala risiko kerugian yang dialami;Kedua, “tanggung jawab
berdasarkan undang-undang”, yakni bilamana kerugian dalam kerjasama
mudharabah tersebut akibat kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian makamudharibharus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Tanggung
jawab mudharib merupakan tanggung jawab yang lahir berdasarkan perjanjian
sekaligus juga tanggung jawab berdasarkan undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 19
ayat (1) huruf (c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah
junctoPasal 1243 KUH Perdata mengenai wanprestasi. Berdasarkan ketentuan dalam
undang-undang, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh mudharib yang merugikan
shahibul-mal memberikan hak kepada shahibul-mal untuk menuntut ganti rugi, dan
mudharibberkewajiban untuk bertanggung jawab kepadashahibul-mal.107
106 Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) Huruf (c): “Yang dimaksud dengan “Akad Mudharabah”
dalam Pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (shahibul- mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.”
Sampai saat ini, secara umum hukum tentang tanggung jawab keperdataan di
Indonesia masih berlaku prinsip tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan
(liability based on fault) yang lebih dikenal dengan istilah perbuatan melawan
hukum.108Ketentuan ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Berdasarkan prinsip yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dimungkinkan untuk meminta tanggung jawab salah satu pihak untuk memberikan
ganti kerugian kepada pihak lain atas dasar perbuatan melawan hukum bila kerugian
yang timbul tidak didasari sebuah perjanjian/ kontrak. Bila ada hubungan kontraktual
diantara keduanya, misalnya antara shahibul-mal dengan mudharib, maka dasar
gugatan untuk meminta tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi adalah
wanprestasi.
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata “wan” yang
artinya tidak ada, dan kata “prestasi” yang berarti prestasi/kewajiban. Jadi
wanprestasi berarti prestasi buruk atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang
telah diperjanjikan. Wanprestasi bisa juga diartikan ketiadaan suatu prestasi109 atau suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi prestasi yang telah ditentukan
dalam perjanjian dikarenakan kelalaian atau kesalahannya.110 Menurut pasal 1234
108H.E. Saifullah,Beberapa Masalah Pokok tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara, Bandung, Pusat Penerbitan LPPM-UNISBA, 2006, hlm. 7.
109 Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1984, hlm. 45.
KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, atau seseorang yang menyerahkan sesuatu.111 Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak
memenuhi kewajiban yang harus ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang
timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang-undang.112 Subekti menyatakan bahwa wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam,
yaitu :113
a) Debitur tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b) Debitur melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
c) Debitur melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat.
d) Debitur melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
R. Setiawan menyatakan bahwa pada debitur terletak kewajiban untuk
memenuhi prestasi dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut karena
keadaan memaksa (overmacht), maka debitur dianggap melakukan wanprestasi. Ada
tiga bentuk wanprestasi yaitu:114
a) Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Dalam hal ini debitur dapat segera dituntut ganti rugi tanpa penetapan lalai.
b) Terlambat memenuhi prestasi, tanpa penetapan lalai. Debitur dapat dibebani ganti rugi setelah ada ketetapan yang berupa ketentuan waktu pembayaran
c) Memenuhi secara tidak baik (keliru melaksanakan perjanjian).
111Subekti Tjitrosudibio,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Paradnya Paramita, hlm.323.
112Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1982, hlm. 20. 113Subekti,Hukum Perjanjian, Op.Cit.,hlm. 45.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum di
atas dapat dikatakan bahwa wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak
dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena
tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, jelas dinyatakan bahwa kelalaian
merupakan salah satu penyebab debitur dinyatakan wanprestasi.
Kelalaian (negligence) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan
sebagai suatu sikap bathin ketika melakukan suatu perbuatan yang berbentuk sifat
kekurang hati-hatian yang bersangkutan baik akibat tidak memikirkan akan timbulnya
suatu resiko padahal seharusnya hal itu dipikirkannya (kelalaian yang tidak disadari)
mampu memikirkan tentang tidak akan timbulnya suatu resiko yang pada kejadian
tersebut resiko tersebut timbul (kelalaian yang disadari).115Dalam Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri No. 11/009/OPS Perihal Implementasi PSAK No. 105
tentang akuntansi mudharabah, tanggal 30 April 2009, dalam poin E6 disebutkan
bahwa kelalaian atas kesalahan pengelolaan dana antara lain ditunjukkan oleh:
a) Persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi
b) Tidak terdapat kondisi di luar kemampuan(force majeur) yang lazim dan/atau telah ditentukan dalam akad, atau
c) Hasil keputusan dari institusi yang berwenang.116
115www.kbbi.com, diakses tanggal 10 Maret 2016
116Surat Edaran Operasi Bank Syariah Mandiri No. 11/009/OPS Perihal Implementasi PSAK
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata walaupun tidak memberikan
pengertian yang tegas mengenai kelalaian, namun secara implisit makna kelalaian
dapat dimengerti dari rumusan pasal 1238 yang menyebutkan:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Berdasarkan isi pasal 1238 KUHPerdata bahwa kelalaian debitur tidak serta
merta menimbulkan kewajiban ganti rugi. Kewajiban debitur baru timbul setelah
adanya akta atau surat teguran atas kelalaiannya tersebut. Surat teguran itu biasa
disebut sebagai somasi.
Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi:
a) Adanya kelalaian debitur (mudharib)117
Pertama yang harus diingat bahwa yang menjadi dasar perjanjian itu
adalah janji, dan timbulnya janji itu karena adanya kemauan sendiri
merupakan suatu yang abstrak serta tidak mempunyai arti apa-apa
sebelum dinyatakan baik ucapan, perbuatan, maupun syarat. Apabila
kedua belah pihak sudah melaksanakan perjanjian berarti sejak itu
dianggap ada kemauan yaitu berupa kemauan menunaikan kewajiban dan
memperoleh hak dari janji yang diadakan itu.
b) Adanya keadaan memaksa (overmacht)
Keadaan memaksa (overmacht) adalah keadaan debitur yang tidak
melaksanakan apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal yang sama sekali
tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain,
tidak terlaksananya perjanjian atau keterlambatan dalam pelaksanaan itu
bukanlah disebabkan karena kelalaian atau kesalahannya. Debitur tidak
dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak bersalah tidak boleh
dijatuhi sanksi yang diancamkan atas kelalaiannya.118
Wanprestasi yang disebabkan kesalahan maupun kelalaian debitur
menimbulkan akibat hukum bagi pelakunya berupa sanksi atau hukuman kepada
debitur yang melakukan wanprestasi. Salah satu sanksi atau hukuman tersebut adalah
kewajiban membayar ganti rugi. Ketentuan tentang ganti rugi ini diatur dalam pasal
1246 KUHPerdata, disebutkan bahwa ganti rugi itu diperinci menjadi tiga macam
yaitu biaya, rugi dan bunga. Jadi apabila debitur yang telah melakukan wanprestasi
berarti debitur harus bertanggung jawab untuk mengganti segala sesuatu yang telah
dikeluarkan oleh kreditur berupa ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan
untuk keperluan yang ada sangkut pautnya dengan perjanjian.
Ganti rugi selanjutnya adalah berupa membayar segala kerugian karena
musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur.
Adapun unsur ganti rugi yang terakhir ini berbentuk bunga, yakni segala kerugian
yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah
diperhitungkan sebelumnya. Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan
harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya
boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.
2. Tinjauan Umum terhadap Kelalaian dan Tanggung Jawab dalam Hukum Pidana
Kelalaian dalam hukum pidana disebut culpa sedangkan kesengajaan disebut
dolus. Dalam hukum pidana, kelalaian mempunyai akibat hukum yang berbeda
dengan kesengajaan. Hal ini berbeda dengan konsep kelalaian dalam hukum perdata
yang tidak terlalu membedakan antara kelalaian dan kesalahan, keduanya disebut
sebagai wanprestasi.
Dalam hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan
disebut denganculpa. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa arti culpa adalah
“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti
teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja
terjadi.119Jan Remmelink dalam mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah.
Menurut Jan Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis
seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang
menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari
tindakan orang tersebut, padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya
dilakukan.120
Akibat hukum kelalaian dalam konsep hukum perjanjian berbeda dengan
hukum pidana. Dalam hukum pidana, kelalaian (culpa) merupakan unsur yang dapat
meringankan hukuman bagi si pelaku. Hukum perjanjian tidak membedakan apakah
suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau
karena kelalaian. Akibat hukum kelalaian adalah sama dengan akibat hukum yang
timbul dari kesalahan yang disengaja, yakni pemberian ganti rugi dengan
perhitungan-perhitungan tertentu. Kelalaian berbeda dengan force majeur, yang
umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk
sementara atau selama-lamanya).
Lange meyer mengatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir,
dan menunjuk kepada adanya keadaan bathin yang tertentu, dan di lain pihak
keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan demikian,
makaculpa(kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan
berupa kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa dalam
kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang
disadari daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat
positif ini tidak ada dalam kealpaan.121
Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memori
penjelasan (memorie van toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak
antara sengaja dan kebetulan, sehingga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding
dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa delikculpa
itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana.122 Simons mensyaratkan dua hal untuk kelalaian (culpa),yaitu:123
1. Tidak adanya kehati-hatian (het gemis van voorzichtigheid);
2. Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin terjadi (het gemis van de voorzienbaarheid van het gevolg).
3. Tinjauan Umum terhadap Kelalaian dan Tanggung Jawab dalam Hukum Islam
Hukum Islam memiliki ketentuan yang mendasar dalam masalah perikatan
dan perjanjian yaitu dengan memberi kebebasan kepada pihak-pihak yang terlibat
untuk mengambil bentuk dari macam-macam akad yang dipilihnya. Untuk ini segala
macam cara yang menunjukkan adanya ijab dan qabul sudah dapat dianggap akad,
dan akad ini memiliki pengaruh selama diselenggarakan oleh mereka dan memenuhi
persyaratan penyelenggaraannya.
Ketentuan inilah yang merupakan pokok-pokok syariat Islam yaitu suatu
kaidah bahwa “akad-akad dapat dengan diwujudkan dengan cara apa saja baik berupa
121C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, hlm. 257.
perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan maksud akad-akad tersebut”.124 Hukum Islam sangat memperhatikan agar penyelenggaraan akad diantara manusia itu
merupakan hasil keinginan dan kemauannya sendiri yang timbul dari kerelaan dan
mufakat kedua belah pihak yang mengadakan akad/perjanjian. Sebagaimana firman
Allah dalam surat An Nisa ayat 29.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. selanjutnya Hukum Islam menganjurkan agar perjanjian itu dikuatkan dengan tulisan dan saksi dengan tujuan agar hak masing-masing dapat terjamin”.
Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 283.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
Dalam Hukum Islam, kelalaian dalam memenuhi kewajiban untuk
memberikan hak orang lain tergolong perbuatan yang dilarang, dimana sebelumnya
telah diketahui adanya suatu perjanjian diantara mereka, maka selanjutnya bagi
mereka yang melakukan pelanggaran/cidera janji karena tidak melakukan prestasinya,
maka dikenakan sanksi kepadanya berupa pembayaran ganti rugi kepada pihak
kreditur, dan atau penahanan yang menjadi hak miliknya sebagai suatu jaminan dari
sejumlah yang dijanjikannya.
Ganti rugi sendiri dalam Islam dikenal dengan istilah dhaman. Dalam
menetapkan ganti rugi unsur-unsur yang paling penting adalah dharar atau kerugian
pada subyeknya. Dharar dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa dan juga
kerusakan yang bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan dharar adabi
termasuk didalamnya pencemaran nama baik. Tolak ukur ganti rugi baik kualitas
maupun kuantitas sepadan dengan dharar yang diderita pihak korban, walaupun
dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengan
kondisi pelaku.125
Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja
atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan
menimbulkan kerugian pada pihak lain. Besaran ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai
dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami dalam transaksi tersebut dan
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang
yang hilang (opportunity loss). Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada
transaksi (akad) yang menimbulkan hutang piutang (dayn) seperti salam,
istishna’,murabahah, dan ijarah.126
Wahbah al-Zuhaili dalam buku Nazariyah al-Dhaman menyatakan bahwa
ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau
kekeliruan.127 Ketentuan umum yang yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya) seperti memperbaiki
dinding. (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula
selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh
kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan
125 Asmuni A. Rahmad, Ilmu Fiqh 3, Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007, hlm.120.
126Ibid
benda yang sama (sejenis) atau dengan uang.128Sementara itu hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian
immateriil, menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti
(dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan
konkret.