• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN METROSEKSUAL PADA PRIA DEWASA AWAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN METROSEKSUAL PADA PRIA DEWASA AWAL"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KECENDERUNGAN METROSEKSUAL

PADA PRIA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Erna Dewi

NIM : 059114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii METROSEKSUAL PADA PRIA DEWASA AWAL

OLEH: ERNA DEWI NIM : 059114047

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

(3)

iii HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN

METROSEKSUAL PADA PRIA DEWASA AWAL

Dipersiapkan dan ditulis oleh : ERNA DEWI

NIM : 059114047

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 13 Mei 2009

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1

Penguji 2

Penguji 3

Y. Heri Widodo, S. Psi., M. Psi.

Dr. Christina Siwi Handayani

P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M. Si

...

...

...

Yogyakarta,

Fakultas Psikologi,

Universitas Sanata Dharma Dekan

(4)

iv

&

&

&

&

'(

)

'(

)

'(

)

'(

)

* (

+

,

-....

/

0

1

2

(

1

2

(

1

2

(

1

2

(

(5)

v Skripsi ini kupersembahkan bagi

Tuhan dan Sahabat Terbaikk, Yesus Kristus

Serta

pribadi-pribadi yang telah memenuhi hidupku dengan cinta dan kasih sayang

(6)

vi Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 23 April 2009 Penulis

(7)

vii ABSTRAK

Erna Dewi (2009). Hubungan antara harga diri dan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Yogyakarta: Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi; Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal.

Subjek dari penelitian ini adalah 100 pria dewasa awal dengan batasan usia 18 sampai 40 tahun. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran skala harga diri dan skala perilaku metroseksual. Koefisien reliabilitas dari skala harga diri adalah 0,907 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku metroseksual adalah 0,977. Hasil uji linearitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua variabel yaitu variabel perilaku metroseksual dan harga diri adalah tidak linier karena memiliki probabilitas sebesar 0,071 (p>0,05). Maka untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal digunakan teknik korelasi Spearman.

Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah -0,186 dengan probabilitas 0,032 (p < 0,05). Hal ini berarti ada korelasi negatif yang lemah antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi harga diri, maka semakin rendah kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal.

(8)

viii Erna Dewi (2009). The correlation between self-esteem and metrosexual behavior in early adult man. Yogyakarta: Psychology Faculty; Department of Psychology; Sanata Dharma University.

The aim of this research was to find the correlation between self-esteem and metrosexual behavior in early adult man. The hypothesis proposed there was negative correlation between self-esteem and metrosexual behavior in early adult man.

The Subject of this research were 100 early adult man from 18 to 40 years old. Data collecting was performed by distributing the self-esteem scale and metrosexual behavior scale. The reliability coefficient of the self-esteem scale was 0,907 and metrosexual behavior`s reliability coefficient was 0,977. Result of the linearity test in this study suggesting that the two variables, which were metrosexual behavior and self-esteem, was not linear since they have probability by 0.071 (p>0,005). Then, to finding out the relationship between self-esteem and metrosexual behavior in early adult man the Spearman correlation technique was used.

Coefficient of correlation (r) obtained in this study was -0.186 with probability by 0.032 (p<0, 05). This mean that there was insignificant negative correlation between self-esteem and metrosexual behavior in early adult man. It can be concluded that the higher self-esteem, the lower metrosexual behavior in early adult man.

(9)
(10)

x kasih dan terang-Nya yang senantiasa menyertai penulis, sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Harga Diri dengan Kecenderungan Metroseksual Pada Pria Dewasa Awal” dapat diselesaikan.

Penulis juga menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini dan memberikan semangat kepada penulis.

2. Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Psi. selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik yang bermanfaat bagi penulis.

3. Sylvia CMYM, S. Psi., M.Si. yang telah membantu dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi peneliti.

4. Kristiana Dewayani S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan dorongan agar penulis dapat segera menyelesaikan studi.

5. Agung Santoso, S.Psi., M.Psi. yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi peneliti.

6. Semua dosen di Fakultas Psikologi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama masa kuliah.

7. Mas Gandung, Mas Mudji, Mas Doni dan Pak Gik, yang telah memberi bantuan dan kemudahan kepada penulis. Terima kasih atas kesabaran, senyum dan keramahannya dalam menolong dan melayani kebutuhan kami semua. 8. Papa: Ery Santoso, terima kasih untuk setiap cinta, kasih sayang, pengorbanan

(11)

xi semangat, kekuatan dan inspirasi kami. Terima kasih atas kesempatan pendidikan di perguruan tinggi. Hanya ini yang dapat kupersembahkan sebagai rasa sayangku pada Papa dan Mama. Dewi sayang Papa dan Mama.... 9. Kakak (Edi), kakak iparku (sinta) dan adikku (Ade), sepupuku (Silvi) terima

kasih untuk segala dukungan kalian. Menjadi saudara kalian adalah kebahagiaan tersendiri bagiku, semoga kita sama-sama bertumbuh dalam kedewasaan. Aku sayang kalian....

10.Kakakku tercinta, terima kasih karena kakak selalu sabar dan menjadi pendengar yang baik, kakak telah memberi semangat dan pencerahan setiap kali aku merasa jenuh dan bingung. Kakak selalu ada saat aku membutuhkan kakak. Aku sangat sayang kakak....

11.Keponakanku (Tung-tung dan Evan) yang selalu membuatku tersenyum dan kembali bersemangat. Kalian adalah malaikat kecilku...

12.Mas Yovi, terima kasih untuk skalanya.... terima kasih untuk dukungan dan informasi yang telah diberikan pada penulis.

13.Teman-teman yang selalu setia menemani aku: Silvi (“Rajin kuliah ya.... jangan males lagi...!”), Mena (“Buruan nyusul ya bu!”), Melz (“thanks ya ciciku sayang....hehehe...”), Ntong (“Ayo buruan cari pasangan...!”), Mas Darmaji (“Makasih banget ya untuk dukungannya...”). Makasih banget ya teman-temanku, makasih untuk persahabatan, ketulusan serta kasih sayang yang kalian berikan.

14.Teman-teman Psikologi, Andien (makasih untuk semua pengertian dan bantuanmu....), Alit (makasih untuk kebersamaan kita...), Beatrix (Semangat ya bu.... pasti cepet nyusul de....!), Koen (Makasih untuk kesabaranmu....), Uci, Arya, Indra, Devi, Jc, Iik, Nora, Marni, Ita, Matilda, Sari, Agatha, Agnes, Ane, Ina, Opos, Piwi, Mbak Tinul, Joana, Adi, Angel, Agung, Tristan, Yandu, M`Esti, Eli, dan seluruh angkatan`05 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: “Thanks for all your support”.

(12)

xii dan persahabatan kita. Semoga kita dapat bertumbuh bersama dan semakin dewasa dalam menjalani hidup. Kalian akan selalu ada di hatiku, aku sayang kalian....

16.Teman-teman Pendamping PIA: Bu Rina (yang sabar ya bu ketua ma kita-kita...), Pak Bagas, Bu Wiwik, Bu Yuli, M`Dewi, Dundee (Ayo buruan lulus dan cari cewek...hehehe), Deni, Whoelu, Wiwit, Sita, Lisa, Septi, Deta, Boni, Tyas, Alto untuk semangat, doa dan kritik kalian saat aku kurang bersemangat serta kebersamaan kita yang indah. God Bless You All.

17.Para Biarawan dan Biarawati yang selalu mendukungku: Rm. Sigit (jangan makan banyak-banyak ya mo...inget asam urat...hehehe), Fr. Angga (cepet-cepet jadi monsinyur ye...), Rm. Pras (Makasih ya mo untuk semangat, tawa, kasih dan kepedulian romo), Sr. Eu (di mana engkau sekarang?? Aku uda lulus nih...), Sr. Kanis (Suster, adikmu uda lulus ni... makasih untuk kasih dan tawanya ya...), Br. Yos (Ati-ati latahnya kumat...hehehe...), Br. Cahyo (Makasih ya uda mau jadi temen yang baik...), Rm Yoran (Makasih untuk keceriaannya...) Terima kasih karena kesabaran dan keceriaan yang kalian berikan.... Tuhan akan selalu memberkati panggilan kalian...

18.Teman-teman kecilku: Ari Yunior (Ancello), Marji Yunior (Paskalis), Embun, Engki, Sonia, Dida, Ryan, Diki, Ryan Plaosan, Ega, Yosma, Putri, Lala, Shinta, Edo, Ivan, Irena, Lady, Pita, Michel, Desy, Cita, Wina, Danas, Nada, Berlinda, Linda, Yoga, Felix, Ica dan semua teman-teman kecilku di sekolah minggu: terima kasih untuk senyum dan tawa kalian. Kalian selalu memberikan pengalaman-pengalaman yang menarik dan membuat aku belajar menghargai hidup dan belajar menjadi pendengar yang baik. Kalian adalah malaikat penghiburku....

(13)

xiii dulu bimbing aku di mudika), M`Coy (jadi suami dan bapak yang baik ya...), Warih & X`ti (Kuliah yang bener ya....hehehe..), Noel, Angel, Endang, Puji, Senyum, Adin, Ajeng, Enjang, Firman, Jorsh, Towo, Mas Erik (makasih karena selalu setia memperbaiki laptopku....). Kalian adalah semangat dan penghiburanku.

20.Ibu-ibu gaul: Bu Wim (Jagoannya di jaga ya bu...abis ganteng c...hehe..), M`Lusi (Makasih untuk penhiburan selama ini..), Mbak Ika, Bu En, Mama Fafa, Mama Rena, M`Lani, M`Naning, Mami Atun; terima kasih untuk keramahan dan cinta kalian, terima kasih senyum dan canda yang selalu membuat penulis lebih bersemangat. Aku sangat salut pada kalian....

21.Bapak-bapak Pengertian: Pak Bagas (Makin bijaksana ya bapakku... kami berterima kasih karena selalu diingatkan dan didewasakan...), Pak Wim, Pak Totok, Pak Joyo (Makasih untuk persahabatannya...), Pak Irwan, Pak Marji (Tetap semangat ya pak... bapak sangat dibutuhkan di gereja...), M`Ari, Pak Johan (makasih untuk kesetiaannya melatih anak-anak d-Chox...); terima kasih untuk pengalaman-pengalaman yang boleh penulis lewatkan bersama kalian. Kalian adalah bapak-bapak yang penuh tanggung jawab dan bijaksana. Bagi kalian keluarga adalah yang utama. Terima kasih karena kalian memberikan kesempatan pada penulis untuk belajar tentang kehidupan. Tuhan memberkati kalian....

22.Ko Ruben (makasih ya ko karena koko selalu setia membantu dengan tulus....makasih karena koko mau jadi testee-ku dari awal sampai akhir kuliahku...), Mas Puput, Ari, Mas Antok & Mas Teguh (makasih untuk semua info yang diberikan....sehingga peneliti memahami jenis-jenis perawatan tubuh....), Agix, Koko, Holmes, Ko Agus, Deni, Kak Jo, Ko Agung, Ko Beni, Mas Hendi, Pak Adi, Tristan dan seluruh responden penelitian untuk informasi dan bantuannya dalam mengisi skala.

(14)

xiv menulis dengan lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan dunia Psikologi pada khususnya.

(15)
(16)

xvi 1. Pengertian Metroseksual………..

2. Karakteristik Pria Metroseksual………... 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Pria

Metroseksual……… 4. Metroseksual Pada Pria Dewasa Awal………. 5. Penelitian-Penelitian Tentang Metroseksual………

B. Harga Diri………...

1. Pengertian Harga Diri………... 2. Pembentukan Harga Diri……….. 3. Penggolongan Harga Diri………. 4. Harga Diri Pria Dewasa Awal……….. C. Hubungan Antara Harga Diri Dengan Perilaku Metroseksual

Pada Pria Dewasa Awal………. D. Definisi Operasional Variabel Penelitian………...

(17)

xvii

F. Metode Pengumpulan Data………

1. Skala Harga Diri………...

2. Skala Perilaku Metroseksual……… 3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………

G. Metode Analisis Data……….

1. Uji Asumsi Analisis Data……….

(18)

xviii

(19)

xix Lampiran 1. Skala Perilaku Metroseksual……….

Lampiran 2. Skala Harga Diri……… Lampiran 3. Reliabilitas Skala Metroseksual……… Lampiran 4. Reliabilitas Skala Harga Diri………. Lampiran 5. Uji Normalitas………... Lampiran 6. Uji Linearitas………. Lampiran 7. Uji Korelasi……….

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Awalnya, menjaga penampilan dan merawat tubuh memang menarik minat kaum wanita. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak sedikit kaum pria yang juga mulai memperhatikan penampilannya; bahkan perilaku mereka melebihi kaum wanita. Dandan rapi, harum, modis dan postur tubuh ideal menjadi ciri khas kaum pria ini. Nongkrong di butik, fitness center dan salon tidak lagi menjadi hal yang tabu bagi kaum pria ini untuk mempersolek diri. Beberapa tahun yang lalu, perilaku pria yang demikian, agak kurang umum. Kata-kata sarkas di dalam masyarakat seperti: bencong, banci hingga tuduhan

gay dapat muncul kapan saja kepada mereka. Saat ini, ketika dunia telah menabrak batas-batas kekaburan, kaum pria tadi telah menempatkan diri dalam strata sosial yang diakui. Mereka inilah yang disebut sebagai pria metroseksual.

Para pria metroseksual adalah sekelompok pria yang punya perhatian lebih terhadap citra dan penampilan dirinya sendiri; mulai dari perawatan tubuh di salon dan spa center, hingga memperhatikan atribut yang menempel di badan (fashion dan atribut tampil maskulin).

Istilah “metroseksual” sendiri pertama kali didefinisikan pada tahun 1994 oleh Mark Simpson, seorang jurnalis Inggris. Menurut Simpson, pria metroseksual adalah pria yang menikmati gaya hidup kelas atas dan

(21)

memprioritaskan penampilan fisik, dimana penampilan fisik merupakan bagian dari jati diri mereka atau sebagai kebutuhan primer. Pria metroseksual digambarkan sebagai sosok yang normal atau straight, sensitif dan terdidik, hanya saja mereka lebih mengedepankan sisi feminin yang mereka miliki (Jones, 2003 dalam Rahardjo, 2007).

Makna metroseksual tidak menyangkut simbol seksual manapun, tapi lebih ke life style. Menurut Euro RSCG Worldwide, pria metroseksual adalah juga pria heteroseksual. Mereka tak sungkan menampilkan sisi sensualitas, sehingga bisa jadi mereka diidolakan oleh perempuan dan kaum gay sekaligus (Chamim, 2004). Life style ini merupakan cermin kecintaan mereka untuk berpenampilan yang bagus dan menarik. Pria–pria metroseksual mempunyai penyadaran diri akan penampilan, khususnya penampilan secara fisik.

Gaya hidup metroseksual berkembang karena dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam diri individu (internal) dan faktor lingkungan (eksternal). Faktor internal terdiri atas konsep diri dan keadaan fisik individu. Individu merasa penampilannya kurang memuaskan dan akhirnya ingin tampil menarik untuk memperoleh konsep diri yang lebih positif.

(22)

Faktor-faktor tersebut mendorong individu untuk berusaha memiliki penampilan fisik yang maksimal dan menarik.

Para pria metroseksual dapat membeli apa pun yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pekerjaan dan penampilan. Kebanyakan pria metroseksual memiliki pendapatan yang besar. Hal ini diperlukan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan mereka, terutama yang berkaitan dengan penampilan. Hal ini menyebabkan perilaku konsumtif yang mereka tunjukkan relatif agak berbeda dengan orang kebanyakan.

Para pria metroseksual menjadi pria yang konsumtif karena mereka membeli produk bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan karena keinginan mereka untuk tampil menarik. Perilaku ini dapat dilihat melalui aktivitas-aktivitas mereka dengan pergi ke salon, butik dan mall (Kartajaya, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa fenomena metroseksual adalah suatu fenomena yang dapat membentuk para pria menjadi individu yang konsumtif. Para pria ini adalah pria yang up to date. Mereka selalu mengikuti perkembangan trend

yang ada, serta menghabiskan sebagian besar uangnya untuk menyesuaikan diri dengan trend yang sedang berkembang.

(23)

lingkungan sosial mereka. Permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan sosial ini terkait pula dengan permasalahan harga diri.

Harga diri merupakan penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri, dan kualitas (tinggi-rendahnya) harga diri seseorang dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan. Harga diri berperan penting dalam mengarahkan perilaku seseorang. Coopersmith (1967) menyatakan bahwa orang yang mempunyai harga diri tinggi percaya bahwa mereka adalah pribadi yang berhasil, menerima diri, bahagia, bisa memenuhi harapan lingkungan, dapat menerima kegagalan dan keberhasilan secara wajar dan lebih realistik, lebih percaya diri. Sedangkan orang yang mempunyai harga diri rendah tidak mempunyai keyakinan ini.

Individu yang memiliki harga diri rendah cenderung kurang menghargai dirinya dan melihat keterbatasan yang dia miliki secara berlebihan. Individu dengan harga diri yang rendah ini cenderung merasa tidak berharga dan mereka akan terus berusaha untuk memperoleh penerimaan sosial.

Demi memperoleh penerimaan sosial, para pria metroseksual akan berusaha melakukan segala sesuatu untuk memperoleh penampilan yang sesuai dengan standar sosial. Caranya adalah menggunakan produk kosmetik, mengikuti fashion, serta melakukan berbagai perawatan tubuh.

(24)

B. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang ingin digali dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Adakah hubungan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal?

C. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menyumbang bahan pengetahuan yang tertuang dalam sebuah laporan penelitian terutama dalam bidang psikologi sosial dan psikologi perkembangan, sehingga membantu memperluas wawasan tentang hubungan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal.

2. Manfaat Praktis

(25)

BAB II modern (perkotaan), dan “seksual” yang berasal dari istilah “homoseksual” yang menandakan bahwa tipe pria ini, meskipun biasanya normal, tetapi memiliki citarasa atau selera yang cenderung diasosiasikan dengan tipe lelaki gay (dalam Deni Tjahyadi, 2007).

Mark Simpson (1994) -penulis dan pengamat lifestyle Inggris- pertama kali mengedepankan hadirnya para pria metroseksual di tengah masyarakat. Menurutnya, secara umum istilah pria metroseksual ini dikategorikan sebagai,

A young man with money to spend, living in or within easy of reach of metropolis because that`s where all the best shop, clubs, gym, and hairdresser are. He might be officially gay, straight, or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference (Simpson, 2002).

Tokoh ini juga mengatakan bahwa pria metroseksual adalah sosok pria muda berpenampilan dandy yang sangat peduli dengan penampilan (performance), tertarik pada fashion dan berani menonjolkan sisi femininnya, senang memanjakan diri dan menjadi pusat perhatian. Umumnya mereka sosok yang narsistik, mencintai diri sendiri secara

(26)

berlebihan dan tergila-gila dengan gaya hidup urban berkualitas metropolitan (Mopangga, 2009).

Pengertian tersebut diperkuat oleh dua hasil survei, yaitu survei internasional AC Nielsen dan Indonesian Metroseksual Behavioral Survey yang dilakukan MarkPlus&Co. Hasil survey mendefinisikan metroseksual sebagai pria urban yang memiliki naluri estetis kuat, rela menghabiskan banyak uang dan menghabiskan waktu demi penampilan diri serta mengejar gaya hidup. (Fenomena Metroseksual, 2006)

Kartajaya dkk (2004) juga menambahkan bahwa pria metroseksual adalah women oriented man, namun bukan berarti kemudian mereka berperilaku seperti wanita, apalagi banci, mereka masih laki-laki seutuhnya dan tetap macho. Namun bedanya, dahulu sosok macho

digambarkan oleh icon-icon seperti John Wayne, Clint Eastwood, atau Arnold Schwarzeneger. Sedangkan saat ini pria macho digambarkan sebagai sosok yang normal atau straight, sensitif, dan terdidik, hanya saja mereka lebih mengedepankan sisi feminin yang mereka miliki, misalnya David Beckham, Johnny Depp, atau Robbue Williams.

(27)

salon, serta menggunakan berbagai produk kosmetik demi memperoleh penampilan diri yang sempurna.

2. Karakteristik Pria Metroseksual

Menurut Burhanuddin Abe, dalam artikelnya yang berjudul “Pria-pria

Metroseksual” yang dimuat dalam majalah SWA, edisi Selasa, 30 Maret 2004,

karakteristik kaum ini adalah mereka yang pekerja keras, berpenghasilan tinggi,

menikmati hidup (mewah), trendy, dengan life style yang selalu mengikuti tren

global. Parfum, busana, aksesori, semua mengikuti arahan mode dunia, dengan

merek-merek ternama yang dulunya hanya menjadi incaran wanita. (Abe, 2004)

Sedangkan menurut Jake Brennan, seorang lifestyle comentator, dalam artikelnya yang berjudul “Are You A Metrosexual?”, yang dimuat pada situs askmen.com setidaknya ada 8 karakteristik pria metroseksual, yaitu:

a Modern, dan umumnya single yang sangat peduli terhadap dirinya sendiri dan juga sisi feminimnya.

b Berdandan sebelum pergi ke tempat-tempat hangout atau menghadiri acara tertentu.

c Mempunyai pendapatan yang cukup untuk selalu tampil up to date, baik dalam urusan gaya rambut, parfum, sampai tren busana terbaru. d Membingungkan sejumlah laki-laki ketika melihat orientasi

seksualitasnya.

(28)

f Berusaha memikat perempuan yang menikmati kehadirannya dengan sejumlah pengetahuan yang dimilikinya, seperti film, music, atau bidang seni lainnya.

g Tinggal di perkotaan

h Menikmati bacaan majalah lelaki. (Abe, 2004)

Lebih lanjut, menurut Euro RSCG World-Wide, terdapat ciri-ciri dan karakteristik yang menyertai seorang pria metroseksual (dalam Kartajaya, 2004), yaitu:

a. Mereka adalah heteroseksual, tapi nyaman saja bergaul di lingkungan

gay

b. Mereka sangat tertarik dengan bermake-up dan melakukan perawatan tubuh, tentu saja sebagai wujud kecintaan pada dirinya

c. Mereka terus mengikuti mode terbaru dan selalu memperhatikan apa yang dipakai orang lain di sekitarnya

d. Mereka hobi shopping, menariknya mereka lebih banyak melakukannya secara iseng untuk hiburan (pleasure shopping) daripada untuk tujuan belanja tertentu (purpose shopping)

e. Mereka mengekspresikan sensualitas yang lebih halus antara pria dan wanita

f. Mereka lebih banyak berkumpul sambil bercengkerama dibanding laki-laki pada umumnya

(29)

h. Mereka suka menunjukkan sisi femininnya

i. Mereka sangat peka dan peduli terhadap penampilannya j. Umumnya memiliki interpersonal skill yang prima

Berdasarkan karakteristik di atas, karakteristik pria metroseksual yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mereka yang mempunyai pendapatan yang cukup untuk selalu tampil up to date, baik dalam urusan gaya rambut, parfum, sampai tren busana terbaru; Modern, dan umumnya

single yang sangat peduli terhadap dirinya sendiri dan juga sisi feminimnya; serta berdandan sebelum pergi ke tempat-tempat hang-out

atau menghadiri acara tertentu.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Pria Metroseksual

Ada dua faktor yang mempengaruhi para pria memilih gaya hidup metroseksual, faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal 1) Konsep diri

(30)

menampilkannya adalah dengan memakai produk kosmetik dan melakukan perawatan tubuh. Demikian pula yang dilakukan oleh para pria metroseksual. Mereka membeli berbagai produk kosmetik, melakukan perawatan tubuh di salon-salon serta mengikuti perkembangan fashion demi memperoleh penampilan yang maksimal dan menarik. Para pria ini merasa sangat senang saat orang lain memperhatikan penampilan mereka. Hal ini mendorong terbentuknya konsep diri yang lebih positif.

2) Fisik

Centi (1993) mengatakan bahwa keadaan fisik merupakan hal yang penting dalam suksesnya pergaulan. Setyaningsih (dalam Catharina, 2004) mengungkapkan bahwa berbagai upaya akan dilakukan individu untuk memiliki penampilan fisik yang ideal antara lain dengan cara mempercantik diri dan menutupi keadaan fisik yang kurang menarik. Dalam hal ini para pria metroseksual melakukan perawatan seperti facial, peeling, lulur dan lain-lain demi memperoleh penampilan kulit yang bersih (tanpa jerawat) dan cerah.

b. Faktor Eksternal

(31)

konteks pria metroseksual maka beriikut ini adalah penjabarannya, yaitu:

1) Kelas Sosial

Kelas sosial atau divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur dengan para anggotanya yang menganut nilai-nilai, minat dan tingkah laku yang serupa dan diukur sebagai kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan dan lain-lain. Dalam hal ini pria metroseksual sudah seperti kelas sosial baru dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat modern yang berbasis kapitalis. Oleh karena itu wajar jika mereka memiliki perilaku konsumtif yang berbeda dan khas dibandingkan dengan yang lain. 2) Peran dan Status Sosial

Seseorang berpartisipasi ke dalam banyak kelompok sepanjang hidupnya-keluarga, klub, organisasi. Kedudukan orang itu di masing-masing kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan statusnya. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang. Masing-masing peran menghasilkan status.

(32)

3) Pekerjaan

Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola perilakunya. Seseorang dengan jabatan yang tinggi pasti akan lebih memperhatikan penampilan dibandingkan seorang karyawan. Pria metroseksual kebanyakan adalah eksekutif muda. Jadi mereka dituntut untuk memperhatikan penampilannya. Masalah penampilan jelas terlihat dari pakaian dengan segala atributnya seperti dasi, sepatu sampai parfum dan sebagainya. Faktor yang relevan dengan sisi penampilan juga ditambah dengan perawatan tubuh mulai dari salon, spa, dan klub fitnes.

4) Situasi Ekonomi

Sudah dikatakan oleh Kartajaya dkk. (2004) bahwa pria metroseksual biasanya berasal dari kalangan dengan penghasilan ekonomi yang besar. Oleh karena itu besarnya materi yang dikeluarkan untuk menunjang perilaku konsumtif yang mereka lakukan bukan menjadi masalah.

4. Metroseksual pada Pria Dewasa Awal

(33)

kematian yang disertai dengan menurunnya kemampuan fisik serta psikologis tetapi ada upaya dalam hal berpenampilan, bertindak dan berperasaan seperti waktu masih muda (Hurlock, 1997).

Pria metroseksual berada pada masa perkembangan dewasa awal karena rentang usia pria metroseksual adalah 20 sampai 35 tahun (Kontroversi Pria Metroseksual, 2004) dan usia tersebut masuk dalam rentang usia dewasa awal.

Pada usia ini, para pria metroseksual mempunyai tugas perkembangan yang berhubungan dengan orang lain, antara lain bekerja atau berkarier, menikah, membentuk keluarga dan memelihara serta mempertahankan pernikahan (Hurlock, 1999). Untuk dapat memenuhi tugas perkembangannya dengan baik, maka pria metroseksual harus menjalin hubungan yang baik atau selaras dengan orang lain. Untuk mencapai hubungan yang selaras ini mereka harus melakukan penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial menurut Hurlock (1999) sangat penting dilakukan untuk mencapai kepuasan dalam berhubungan atau menjalin relasi dengan orang lain dan juga dengan lingkungan sekitarnya.

(34)

metroseksual sangat identik dengan penampilan luar yang menarik serta harum. Untuk mendapat penampilan yang menarik mereka tidak keberatan melakukan perawatan tubuh di salon-salon di mana hal tersebut biasanya dilakukan oleh kaum wanita.

Para pria metroseksual adalah sekelompok pria yang sangat memperhatikan penampilan. Kelompok pria ini muncul karena adanya tuntutan dari lingkungan bahwa individu harus berpenampilan menarik. Para pria dewasa awal mengusahakan hal tersebut karena pada usia ini mereka masuk dalam masa pengaturan (Hurlock, 1999). Pada masa ini individu diharapkan mampu untuk mulai mengatur dirinya maupun kehidupannya. Dalam mengatur dirinya individu dewasa diharapkan dapat menyesuaikan dengan hal-hal yang berlaku di masyarakat, sehingga individu tersebut tidak kesulitan dalam menjalankan tugas perkembangannya.

5. Penelitian-Penelitian Tentang Metroseksual

(35)

masuk menjadi bagian dari sebuah kelas sosial tertentu dan sebagainya karena gaya hidup sesungguhnya merupakan suatu atribut yang digunakan orang untuk menunjukkan eksistensi mereka; (2) Sebagian besar informan berpandangan bahwa dengan menggunakan produk-produk yang eksklusif dan berharga mahal dapat menaikkan gengsi dan memperbanyak simbol status. Selain juga dapat menambah rasa percaya diri bagi pemakainya; (3) Hubungan dengan lingkungan sosial ternyata mampu mempengaruhi para pria metroseksual dalam menumbuhkan pola hidup konsumtif. Lingkungan sosial baik keluarga atau komunitasnya mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik sifatnya. Mereka menyesuaikan diri, memelihara, serta mengelola lingkungan sosial. Hasil hubungan yang dinamis antara pria metroseksual dengan lingkungannya tersebut dapat menimbulkan suatu keinginan yang diwujudkan dalam suatu bentuk aktivitas yang dapat pula dilakukan bersama-sama.

Hasil penelitian Reny Puspita Sari (2006) yang berjudul “Iklan Televisi dan Gaya Hidup Pria Metroseksual di Jakarta dan Purwokerto” menunjukkan bahwa iklan hanya menjadi gambaran dari seorang metroseksual yang secara tidak langsung mempengaruhi para informan menjadi seperti apa yang ditampilkan, namun tidak dijadikan sebagai role model atau acuan bagi informan di Jakarta dan Purwokerto.

(36)

penelitian ini adalah (1) faktor motivasi, sikap, persepsi, bauran pemasaran jasa, keluarga dipertimbangkan oleh para pria metroseksual dalam memilih salon kecantikan di Surabaya. Faktor kelompok referensi, pembelajaran, kelas sosial tidak diperhatikan; (2) Faktor kelompok referensi bukan faktor yang paling dominan dipertimbangkan pria metroseksual dalam memilih salon kecantikan di Surabaya.

B. Harga Diri

1. Pengertian Harga Diri

Harga diri merupakan penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri, dan kualitas (tinggi-rendahnya) harga diri seseorang dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan. Coopersmith (1967) menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukan oleh seseorang pada dirinya sendiri yang sifatnya relatif tetap, diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, seperti penerimaan, penghargaan, dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Klass dan Hodge (dalam Tanoyo, 2008) menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan individu yang diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungan.

(37)

orang lain. Sebaliknya, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan harga diri menyebabkan timbulnya perasaan inferior, lemah, dan tidak berdaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Maslow (dalam Goebel, 1987) bahwa seseorang yang memiliki cukup harga diri akan mempunyai sifat percaya diri, lebih mampu menjalani kegiatannya dengan berhasil. Sebaliknya jika harga diri kurang atau rendah maka seseorang akan diliputi rasa rendah diri, tidak berdaya dan putus asa.

Menurut Maslow (dalam Tanoyo, 2008) harga diri bisa diperoleh melalui penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri maupun penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri meliputi: kebutuhan prestasi, keunggulan dan kompetisi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain meliputi: prestise, kedudukan, kemasyuran dan nama baik, martabat, dan penghargaan.

Dari berbagai macam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan suatu hasil penilaian atau evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu terhadap dirinya sendiri, sifatnya relatif tetap, dan diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.

2. Pembentukan Harga Diri

(38)

individu berusaha mengenal seperti apa orang lain dan seperti apa dirinya. Menurut Rogers (dalam Alwisol, 2005) persoalan mengenai siapa diri kita atau "siapa saya" akan membentuk suatu konsep yang terorganisasi di dalam diri seseorang. Konsep tersebut kemudian akan membentuk suatu persepsi secara keseluruhan tentang kualitas, kemampuan, dorongan dan sikap yang dimilikinya dalam berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut kemudian akan membentuk diri individu yang kemudian akan membentuk harga dirinya.

Coopersmith (1967) menyatakan bahwa pembentukan harga diri individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu berupa penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan tingkat penerimaan dan penghargaan dari orang lain yang dirasakannya. Faktor eksternal yaitu lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal dan berinteraksi, terutama dari keluarga. Setiap individu akan belajar menilai dirinya melalui sikap orang tua dan anggota keluarga yang lain. Perhatian, penerimaan, dan kasih sayang dari keluarga akan mempengaruhi perkembangan harga diri.

(39)

oleh lingkungannya, maka ia akan membentuk dan mengembangkan harga diri yang baik.

Selain itu, harga diri seseorang juga bisa dibentuk dan dipengaruhi oleh harapan individu terhadap dirinya sendiri. Calhoun & Acocella (1990) mengatakan bahwa individu membuat evaluasi terhadap dirinya sendiri berdasarkan penilaian antara gambaran diri individu dengan gambaran yang diharapkannya, semakin besar ketidaksesuaian antara kedua hal tersebut akan mengganggu proses pembentukan harga diri yang sehat.

Menurut Coopersmith (1967) ada empat aspek penting dalam pembentukan harga diri seseorang, yaitu :

1) Power : Kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain dan mengontrol dirinya sendiri. Pada situasi tertentu kebutuhan ini ditunjukkan dengan penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Aspek ini dapat berupa pengaruh dan wibawa pada seorang individu. Ciri-ciri individu yang mempunyai aspek ini biasanya menunjukkan sikap asertif.

(40)

menghormati individu yang bersangkutan sebagai orang yang berkelakuan baik dan bisa dijadikan teladan. Hal ini akan mendorong terbentuknya harga diri yang positif, demikian juga sebaliknya. Aspek ini ditunjukkan dengan bagaimana individu melihat persoalan benar atau salah berdasarkan moral, norma, dan etika yang berlaku di dalam lingkungan interaksinya.

3) Significance : Keberartian individu dalam lingkungan. Individu akan merasa berarti jika ada penghargaan, penerimaan, perhatian, dan kasih sayang dari orang-orang terdekat seperti keluarga, sahabat, atau masyarakat. Dengan adanya lingkungan yang mendukung, menerima, dan menghargai individu akan membuat individu semakin berarti yang akhirnya membentuk harga diri yang positif. Sebaliknya, jika lingkungan tidak atau jarang memberikan stimulus positif yang berupa penerimaan, penghargaan atau dukungan kepada seorang individu, maka ia akan merasa ditolak dan kemudian akan mengucilkan diri.

(41)

masalah. Sedangkan pengalaman masa lalu yang penuh dengan kegagalan akan membuat individu bermasalah dengan harga dirinya.

3. Penggolongan Harga Diri

Harga diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu harga diri tinggi dan harga diri rendah (Coopersmith, 1967), yaitu :

a. Harga diri tinggi

Orang yang mempunyai harga diri tinggi akan menilai dirinya secara positif. Mereka mampu menerima dan mengenal diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Coopersmith (1967) menyatakan bahwa orang yang mempunyai harga diri tinggi percaya bahwa mereka adalah pribadi yang berhasil, menerima diri, bahagia, bisa memenuhi harapan lingkungan, memandang dirinya sebagai orang yang beruntung dan dapat menikmati hidup, dapat menerima kegagalan dan keberhasilan secara wajar dan lebih realistik, mempunyai motivasi yang kuat untuk menghadapi kegagalan, mencoba menghadapi situasi kompetitif, lebih percaya diri dan lebih mampu cenderung cemerlang dan lebih beraspirasi. Sedangkan orang yang mempunyai harga diri rendah tidak mempunyai keyakinan ini. b. Harga Diri Rendah.

(42)

1991) seseorang dengan harga diri yang rendah akan merasa rendah diri, kecil hati dan tidak berharga dalam menghadapi kehidupan. Sedangkan Coopersmith (1967) menyatakan remaja yang memiliki harga diri rendah tidak menyadari kelebihannya sendiri, merasa tidak mempunyai kemampuan, dan merasa tidak berharga.

4. Harga Diri Pria Dewasa Awal

Coopersmith (1967) menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukan oleh seseorang pada dirinya sendiri yang sifatnya relatif tetap, diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, seperti penerimaan, penghargaan, dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Harga diri memiliki peran dalam pembentukan perilaku individu, khususnya para pria dewasa awal. Hal ini terjadi karena pada masa ini individu masuk dalam suatu periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan dalam harapan-harapan sosial baru (Hurlock, 1999). Seorang individu usia dewasa awal diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.

(43)

individu menerima penilaian diri negatif dari orang lain terhadap dirinya tanpa secara kritis mengolahnya, maka individu akan menilai dirinya negatif (coopersmith, 1967).

Individu dewasa awal yang memiliki harga diri tinggi akan menilai dirinya secara positif, lebih percaya diri, serta mampu menerima dan mengenal diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Sebaliknya, individu dengan harga diri rendah cenderung menilai dirinya sebagai pribadi yang negatif. Mereka tidak menyadari kelebihannya sendiri, merasa tidak mempunyai kemampuan, dan merasa tidak berharga.

Para pria dewasa awal yang memiliki harga diri tinggi akan sukses dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dibandingkan mereka yang memiliki harga diri rendah. Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah mencari kelompok sosial yang menyenangkan (Hurlock, 1999). Dalam mencari kelompok sosial yang menyenangkan tentunya mereka ingin dapat diterima dengan baik dalam kelompok tersebut. Individu yang merasa diterima oleh lingkungan sosialnya akan merasa lebih berharga dibandingkan mereka yang tidak diterima. Hal ini menunjukkan bahwa harga diri individu tinggi saat ia merasa diterima oleh lingkungan sosialnya.

(44)

pengaturan (Hurlock, 1999). Pada masa ini individu diharapkan mampu untuk mulai mengatur dirinya maupun kehidupannya. Dalam mengatur dirinya individu dewasa diharapkan dapat menyesuaikan dengan hal-hal yang berlaku di masyarakat, sehingga individu tersebut tidak kesulitan dalam menjalankan tugas perkembangannya. Seorang pria yang sudah memasuki usia dewasa awal hendaknya dapat mengatur dirinya dan menjalankan perannya sebagai seorang pria yang baik, sesuai dengan harapan dan norma yang ada di masyarakat. Individu yang berperan sesuai dengan harapan sosial akan memperoleh penerimaan dan penghargaan dari lingkungan sosial.

C. Hubungan antara Harga Diri dengan Kecenderungan Metroseksual

Pada Pria Dewasa Awal

Pria metroseksual adalah sosok pria muda yang normal atau straight, sensitif, dan terdidik, hanya saja mereka lebih mengedepankan sisi feminin yang mereka miliki. Para pria ini berpenampilan dandy yang sangat peduli dengan penampilan, mereka memiliki naluri estetis kuat, rela menghabiskan banyak uang dan menghabiskan waktu demi penampilan diri, tertarik pada

fashion, senang memanjakan diri dan menjadi pusat perhatian.

(45)

terlihat dari pakaian dengan segala atributnya seperti dasi, sepatu sampai parfum dan sebagainya.

Kepedulian para pria metroseksual terhadap penampilannya tampak dalam perilaku mereka sehari-hari. Kelompok pria ini suka membeli produk-produk kosmetik, pakaian yang sesuai fashion, serta melakukan berbagai perawatan tubuh mulai dari salon, spa, dan klub fitnes. Demi penampilan yang maksimal, mereka berperilaku konsumtif terhadap produk-produk tersebut. Padahal produk-produk yang dibeli itu belum tentu dibutuhkan, tetapi hanya karena para pria ingin memilikinya agar merasa senang, bangga, percaya diri, diterima dan dihargai oleh lingkungan sosialnya. Perilaku membeli yang dilakukan para pria ini dikatakan perilaku konsumtif, aspek perilaku konsumtif remaja adalah impulsive, boros, suka mencari kesenangan (pleasure seeking), dan mencari kepuasan (satisfaction seeking) (Hidayati, 2001 dalam Machretha, 2004). Ketika para pria metroseksual tidak bisa mengontrol dirinya untuk membeli barang yang diinginkannya, maka menjadi impulsif dan boros. Selain itu para pria ini pergi berbelanja untuk kesenangan dan mencari kepuasan (Kartajaya dkk, 2004).

(46)

Para pria metroseksual akan melakukan berbagai macam cara untuk memperoleh penerimaan dari lingkungan sosial. Pada saat inilah mereka membutuhkan alat bantu yang dapat menunjang penampilan fisiknya, seperti kosmetika, pakaian, dan melakukan berbagai perawatan tubuh.

(47)

Individu dengan harga diri yang rendah akan melakukan berbagai upaya untuk memperoleh penerimaan sosial dan meningkatkan harga dirinya. Cara-cara yang dilakukan oleh para pria metroseksual adalah menjaga dan merawat penampilannya semaksimal mungkin sesuai dengan harapan sosial. Mereka rela menghabiskan sebagian besar uangnya untuk memperoleh penampilan yang maksimal. Sebaliknya, para pria dengan harga diri tinggi tidak akan pusing dengan masalah penampilan mereka. Bagi mereka penampilan bukan merupakan hal yang utama karena mereka adalah pribadi-pribadi yang percaya diri. Mereka mampu menerima dan mengenal diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku metroseksual.

D. Hipotesis

(48)

Berdasarkan berbagai tinjauan di atas, maka dapat ditarik suatu hubungan yang dapat digambarkan dalam skema di bawah ini:

Performansi Fisik

Penerimaan Sosial

Evaluasi diri

Puas terhadap evaluasi

Tidak puas terhadap evaluasi

Harga diri tinggi Harga diri rendah

Penampilan bukan merupakan hal yang

utama

Berfokus untuk memperbaiki

penampilan

Kecenderungan metroseksual rendah

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris hubungan antara harga diri dengan perilaku metroseksual.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk mendeteksi sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2005). Penelitian ini akan mencari ada tidaknya hubungan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual.

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian. Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Kedua variabel dalam penelitian ini adalah:

• Variabel bebas : Harga diri

• Variabel tergantung : Kecenderungan metroseksual

(50)

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Harga diri

Harga diri merupakan suatu hasil penilaian atau evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu terhadap dirinya sendiri, sifatnya relatif tetap, dan diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Harga diri berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kata lain, harga diri terbentuk selama pengalaman hidup individu dalam berinteraksi baik dengan dirinya sendiri maupun dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung menilai dirinya secara positif, mampu menerima dan mengenal diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Sedangkan orang yang mempunyai harga diri rendah cenderung menilai dirinya secara negatif, melihat kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki secara berlebihan, merasa rendah diri, kecil hati, dan tidak berharga dalam menghadapi kehidupan.

Tingkat harga diri diukur dengan menggunakan skala yang dibuat oleh Yofi Setyo Tanoyo (2008) berdasarkan aspek-aspek pembentukan harga diri dari Coopersmith (1967) yaitu :

(51)

b. Virtue : Ketaatan pada nilai moral, etika, dan aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Aspek ini ditunjukkan bagaimana individu melihat persoalan benar atau salah berdasarkan moral, norma, dan etika yang berlaku di dalam lingkungan interaksinya.

c. Significance : Keberartian individu dalam lingkungan. Hal ini berhubungan dengan penerimaan dan perhatian dari lingkungan interaksinya. Semakin banyak ekspresi kasih sayang yang diterima individu, individu akan semakin berarti. Tetapi bila individu tidak atau jarang mendapatkan stimulus positif dari orang lain, maka individu akan merasa ditolak dan kemudian akan mengucilkan diri dari pergaulannya.

d. Competence : Kemampuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan atau diharapkan. Aspek ini berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki individu, dengan adanya kemampuan yang cukup individu merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan dan mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapinya.

2. Perilaku Metroseksual

(52)

diri, tertarik pada fashion, senang memanjakan diri dan menjadi pusat perhatian.

Peneliti mengelompokkan perilaku metroseksual dalam 3 kategori, yaitu:

1. Memperhatikan pakaian, perhiasan, dan accesories

2. Menggunakan berbagai produk perawatan kulit

3. Melakukan perawatan tubuh di salon atau tempat perawatan tubuh

E. Subyek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah kaum pria dewasa awal. Ciri-ciri populasi ini adalah individu dengan jenis kelamin pria dan berusia antara 18 sampai 40 tahun.

(53)

F. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini mengukur hubungan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual, maka untuk mengolah data digunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data mengenai harga diri dan perilaku metroseksual. Untuk itu alat yang dipakai adalah:

1. Skala Harga Diri dari Yofi (2008) 2. Skala Perilaku Metroseksual

Dalam penelitian ini, kedua skala tersebut diuji dengan ujicoba terpakai. Karena menurut Sutrisno Hadi untuk keperluan skripsi atau tesis yang waktu penyelesaiannya sangat terbatas, cara ujicoba terpakai ini jauh lebih menjanjikan. Gangguan yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan butir yang tidak sahih serta waktu yang lebih lama untuk menjawab secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan karena kondisi itu dialami secara merata oleh semua subyek (Hadi, 2005). Adapun skala untuk masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut:

1.Skala Harga Diri

(54)

menghilangkan 6 item yang tidak sesuai dengan konteks dalam penelitian ini. Sehingga jumlah item skala harga diri dalam penelitian ini terdiri dari 22 item favourabel dan 19 item unfavourabel. Dalam penelitian ini, skala harga diri langsung dibagikan kepada 100 orang yang merupakan subyek penelitian karena peneliti menggunakan ujicoba terpakai.

Data harga diri akan diperoleh dengan metode skala respon Likert yang menggunakan 4 pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Skala harga diri disusun berdasarkan 4 aspek harga diri Coopersmith (1967) yaitu power,

virtue, significant, dan competence. Berikut ini keempat aspek harga diri yang akan disajikan dalam suatu kawasan ukur.

Tabel 1. Blue print Skala Harga Diri sebelum seleksi item

Aspek

Nomor Item

Jumlah Favourabel Unfavourabel

Power 2, 3, 8, 17, 29, 41 7, 9, 14, 26, 30, 40 12

Virtue 1, 15, 18, 23, 35 21, 33 7

Significant 22, 27, 32, 37, 38 4, 10, 20, 24, 34 10 Competence 5, 6, 12, 16, 25, 36 11, 13, 19, 28, 31, 39 12

Total 41

Penyebaran alat ini dikelompokan menjadi 2 kategori, yaitu : a. Favourabel, dengan pilihan jawaban dan skor jawaban sebagai

(55)

Tabel 2. Pemberian skor pada Skala Harga Diri pilihan jawaban favourabel

SS S TS STS

4 3 2 1

b. Unfavourabel, dengan pilihan jawaban dan skor jawaban sebagai berikut :

Tabel 3. Pemberian skor pada Skala Harga Diri pilihan jawaban unfavourabel

SS S TS STS

1 2 3 4

Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi tingkat harga diri subyek.

2.Skala Perilaku Metroseksual

Skala perilaku metroseksual digunakan untuk mengukur perilaku metroseksual pada para pria. Alat ukur ini dikembangkan oleh peneliti sendiri terdiri dari 64 item favourabel. Dalam penelitian ini, skala perilaku metroseksual langsung dibagikan kepada 100 orang yang merupakan subyek penelitian karena peneliti menggunakan ujicoba terpakai.

(56)

Sering), S (Sering), J (Jarang), TP (Tidak Pernah). Skala perilaku metroseksual disusun berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 22 Januari 2009 tentang perilaku dan perawatan yang dilakukan oleh pria metroseksual. Berikut ini aspek-aspek perilaku metroseksual yang akan disajikan dalam suatu kawasan ukur.

Tabel 4. Blue print Skala Metroseksual

Indikator Jumlah

• Pakaian 6

• Perhiasan 2

• Accesoris 5

UV Protection 2

• Lulur 2

Lipgloss 3

• Perawatan tubuh 3

• Krim wajah 5

• Menggunakan Pembersih muka 4

• Menggunakan pelembab wajah 6

Massage scrub 3

• Masker wajah 4

• Masker badan 4

Peeling 2

(57)

• Spa 2

• Sauna 2

Facial 2

Meni + Pedicure 3

• Produk perawatan kulit 2

TOTAL 64

Penyebaran alat ini terdiri dari item-item favourabel, dengan pilihan jawaban dan skor jawaban sebagai berikut :

Tabel 5. Pemberian skor pada Skala Metroseksual pilihan jawaban favourabel

SS S J TP

4 3 2 1

Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi tingkat metroseksual subyek.

3.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur a. Validitas Isi

(58)

(aspek representatif) dan sejauhmana item-item tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi). Validitas yang digunakan pada Skala Harga Diri dan Skala Perilaku Metroseksual adalah validitas isi.

Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat

professional judgment (Azwar, 2001). Peneliti meminta penilaian dari dosen pembimbing dan item-itemnya dinyatakan sudah memenuhi aspek representatif dan aspek relevansi dalam pembuatan sebuah skala sehingga sudah bisa digunakan untuk penelitian.

b. Seleksi Item

(59)

1. Skala Harga Diri

Dari hasil penelitian skala harga diri diperoleh 32 item yang baik. Adapun item-item yang gugur sebagai berikut:

Tabel 6. Blue print Skala Harga Diri setelah seleksi item

Aspek

(60)

Tabel 7. Blue print Skala Harga Diri untuk penelitian setelah penyusunan ulang nomor item

Aspek

Nomor Item

Jumlah Favourabel Unfavourabel

Power 2, 3, 10, 21, 29 7, 22, 28 8 Virtue 1, 8, 11, 16, 25 14, 24 7 Significant 15, 19, 23, 27 13, 17 6 Competence 5, 9, 18, 26 4, 6, 12, 20 8

Total 29

2. Skala Perilaku Metroseksual

Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada item-item dalam skala perilaku metroseksual yang gugur. Sehingga terdapat 64 item yang baik.

c. Reliabilitas Alat Tes

(61)

Untuk mengetahui reliabilitas item digunakan tehnik alpha dari Cronbach yang diuji dengan SPSS for Window versi 15. Alat ukur dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitasnya mendekati nilai 0,9 (Azwar, 2001). Reliabilitas yang diperoleh skala harga diri adalah 0,907, sedangkan reliabilitas yang diperoleh skala perilaku metroseksual adalah 0,977. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kedua skala tersebut memiliki reliabilitas yang baik.

G. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi Analisis Data

Uji asumsi ini dilakukan untuk memperoleh kesimpulan yang tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Uji asumsi meliputi 2 hal yaitu: a. Uji Normalitas

Uji normalitas yang dimaksud untuk mengetahui apakah data variabel penelitian berdistribusi normal atau tidak. Jika taraf signifikansi lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka data yang diperoleh berdistribusi normal.

b. Uji Linearitas

(62)

signifikansi lebih besar dari 0,05 maka hubungan antar variabel tidak mengikuti fungsi garis liniear sehingga diuji dengan statistik non-parametrik.

2. Uji Hipotesis

(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 2 – 11 Maret 2009. pengambilan data dilaksanakan di kota Yogyakarta dengan subyek penelitian pria dewasa awal dengan batasan usia antara 18 – 40 tahun. Keseluruhan subyek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara meminta subyek untuk mengisi skala harga diri yang terdiri dari 41 item dan skala perilaku metroseksual yang terdiri dari 64 item. Cara mengisi skala harga diri adalah memberi tanda centang (√) pada huruf SS bila pernyataan tersebut Sangat Sesuai, S bila pernyataan tersebut Sesuai, TS bila pernyataan tersebut Tidak Sesuai, STS bila pernyataan tersebut Sangat Tidak Sesuai. Sedangkan cara mengisi skala perilaku metroseksual adalah memberi tanda centang (√) pada huruf SS bila pernyataan tersebut Sangat Sering dilakukan, S bila pernyataan tersebut Sering dilakukan, J bila pernyataan tersebut Jarang dilakukan, TP bila pernyataan tersebut Tidak Pernah dilakukan.

B. Analisa Data

Sebelum melakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran dan uji linearitas hubungan. Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi syarat dipergunakan analisis korelasi. Selain itu uji

(64)

asumsi juga dilakukan untuk memperoleh kesimpulan yang tidak menyimpang dari seharusnya.

1. Uji Normalitas

Pengujian normalitas menggunakan teknik analisis one sample Kolmogorov-Smirnof test dengan bantuan SPSS for Windows versi 15.00. Hasil pengujian menunjukkan bahwa taraf signifikansi pada variabel perilaku metroseksual sebesar 0,058 (p>0,05) dan variabel harga diri sebesar 0,843 (p>0,05). Hal tersebut mengindikasikan bahwa data perilaku metroseksual dan data harga diri berdistribusi normal. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 8 . Hasil uji normalitas sebaran

Harga diri Metroseksual

(65)

probabilitas sebesar 0,071 (p > 0,05). Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 9 . Hasil uji linearitas hubungan

F Sig.

Berdasarkan data yang diperoleh maka dilakukan analisis korelasi Spearman (Diekhoff, 1992), untuk mengetahui sejauh mana hubungan kedua variabel yaitu harga diri dengan perilaku metroseksual.

Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Spearman dengan bantuan SPSS for Windows versi 15.00 dengan taraf signifikansi 0,05 (5%). Artinya bahwa kemungkinan penolakan hipotesis yang benar adalah 5 diantara 100 atau dengan kata lain kepercayaan terhadap kebenaran hipotesis sebesar 95% (Hadi, 2000).

(66)

Dari hasil analisis didapatkan skor korelasi antara harga diri dan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal adalah -0,186 pada taraf signifikansi 0,05 dengan probabilitas 0,032 (p<0,05), artinya kedua variabel saling berkorelasi secara signifikan.

Analisis data ini membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal, sehingga hipotesis yang diajukan yaitu adanya hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal diterima. Jadi semakin rendah harga diri individu, maka semakin tinggi kecenderungan metroseksual individu tersebut, demikian pula sebaliknya.

Angka korelasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0,186. Angka ini menunjukkan bahwa korelasi dalam penelitian ini sangat lemah (Hasan, 2008). Selain itu, koefisien determinasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 3,4% artinya bahwa harga diri hanya memberikan sumbangan sebesar 3,4% terhadap kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Adanya sumbangan variabel harga diri sebesar 3,4% tersebut menunjukkan bahwa hanya 3,4% variasi dari variabel kecenderungan metroseksual dapat dijelaskan oleh variabel harga diri.

C. Pembahasan

(67)

probabilitas 0,032 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara harga diri dan kecenderungan metroseksual yang berarti semakin tinggi harga diri individu, maka semakin rendah kecenderungan metroseksual individu tersebut. Sebaliknya semakin rendah harga diri individu, maka semakin tinggi kecenderungan metroseksual individu tersebut. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal diterima.

(68)

Angka korelasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0,186. Angka ini menunjukkan bahwa korelasi dalam penelitian ini sangat lemah (Hasan, 2008). Selain itu, adanya sumbangan variabel harga diri hanya sebesar 3,4% menunjukkan bahwa ada variasi dari faktor-faktor lain sebesar 96,6% yang dapat menjelaskan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Hal ini berarti bahwa harga diri memiliki kecenderungan terhadap munculnya perilaku metroseksual pada pria dewasa awal. Faktor-faktor lain yang lebih dominan dalam menjelaskan kecenderungan metroseksual antara lain: fisik, munculnya wanita karir, kebudayaan, kelompok acuan dan peran media.

Faktor yang dapat menjelaskan munculnya perilaku metroseksual adalah fisik. Faturochman (1988) mengatakan bahwa arti penting daya tarik fisik dirasakan sejak dini dengan demikian mereka lebih memiliki kesempatan untuk mengalami sosialisasi yang baik. Setyaningsih (dalam Catharina, 2004) mengungkapkan bahwa berbagai upaya akan dilakukan individu untuk memiliki penampilan fisik yang ideal antara lain dengan cara mempercantik diri dan menutupi keadaan fisik yang kurang baik.

(69)

Pertama, perempuan membawa masuk kebiasaan mempercantik diri ke dalam dunia kerja. Norma ini kemudian mempengaruhi kebijakan dunia kerja yang mulai memasukkan penampilan diri sebagai kriteria dalam penilaian karyawan. Ketika penampilan diri diperhitungkan dalam promosi karir, bukanlah kejutan jika para pria mulai menginisiasi ritual perempuan berdandan di wastafel kantor. Semenjak banyak wanita masuk di lingkungan pekerjaan, pria pun mulai berpikir ulang bahwa mereka juga harus tampil menarik di lingkungan kerja. Pria-pria yang bekerja di tempat yang banyak wanitanya lebih memperhatikan penampilan dibandingkan dengan rekan mereka yang lingkungan kerjanya sedikit atau tidak ada wanitanya. Situasi ini paling sering terlihat di kota besar di mana pekerjaan biasanya lebih bernuansa administratif daripada manufaktur. Celana jeans dan keringat yang mendominasi sosok pekerja pria era pra-metroseksual telah digantikan oleh kemeja katun lengkap dengan dasi.

Sebab kedua, wanita modern mulai mereposisi dirinya sebagai bread

winner (pencari nafkah). Akibat dari kondisi ini adalah pria mengalami krisis identitas karena peran yang sejak lama menjadi dasar dalam hubungan sosialnya telah diambil alih. Namun, bukannya mengalami disorientasi diri, kaum pria justru melihat adanya ruang yang luas bagi proses rekonstruksi identitasnya yang baru. Begitu luasnya ruang itu sehingga mereka tidak lagi harus membuat batasan tegas dengan para wanita.

(70)

paling fundamental dari keinginan dan perilaku seseorang yang dipelajari dari serangkaian nilai-nilai, persepsi preferensi dan perilaku melalui sosialisasi dalam keluarga atau lembaga inti lainnya. Budaya yang berbeda akan membentuk minat yang berbeda pula. Suatu barang yang sangat diminati oleh komunitas tertentu kemungkinan dianggap tidak berharga sama sekali oleh komunitas lain (Kotler, 2005). Berdasarkan pernyataan Kotler tersebut maka kebudayaan juga berpengaruh terhadap perlu tidaknya seseorang dengan suatu budaya tertentu, seperti memakai produk kosmetik atau melakukan perawatan-perawatan tubuh.

Hal lain yang juga dapat menjelaskan perilaku metroseksual adalah kelompok acuan. Menurut Kotler (2005) kelompok acuan adalah kelompok yang memberi pengaruh langsung atau tidak langsung pada sikap dan perilaku seseorang. Kelompok acuan membuat seseorang menjalani perilaku dan gaya hidup baru dan mempengaruhi perilaku serta konsep pribadi seseorang. Kelompok acuan menuntut orang supaya mengikuti kebiasaan kelompok sehingga dapat mempengaruhi pilihan seseorang akan produk dan merk aktual, seperti mempergunakan produk-produk kosmetika atau melakukan perawatan-perawatan tubuh.

(71)

majalah-majalah itu yang menampilkan sosok pria bertubuh ideal –tidak terlalu kurus dan tidak pula terlalu berotot- serta mengenakan busana dan aksesori desain terbaru karya perancang kondang (Metroseksual, tanpa tahun). Munculnya majalah-majalah tersebut berfungsi mendidik konsumen agar lebih efisien dalam mengalokasikan belanjanya. Mereka sekaligus juga menjadi jembatan antara produsen yang ingin mengiklankan produknya dan pria yang ingin mengetahui produk yang cocok untuknya (Kartajaya, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa media memberikan pengaruh pada para pria untuk menggunakan produk-produk kosmetik, mengikuti fashion, serta melakukan berbagai perawatan tubuh.

(72)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui koefisien korelasi antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal adalah -0,186 dengan probabilitas 0,032 (p<0,05). Hasil hipotesis tersebut menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal, begitu juga sebaliknya semakin rendah harga diri individu maka semakin tinggi kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal. Hubungan antara harga diri dan kecenderungan metroseksual pada pria dewasa awal hanya mampu memberikan sumbangan sebesar 3,4%. Sedangkan 96,6% sisanya merupakan variasi dari faktor lain yang dapat menjelaskan variabel perilaku metroseksual.

B. Saran

Berdasarkan proses penelitian dan hasil penelitian, maka diajukan saran-saran bagi peneliti yang akan datang sebagai berikut:

1. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan perilaku metroseksual pada pria dewasa awal, disarankan untuk menggunakan variabel bebas lainnya karena hasil korelasi yang diperoleh

(73)

dalam penelitian ini sangat lemah. Contoh dari variabel bebas lainnya adalah faktor fisik, munculnya wanita karir, kebudayaan, kelompok referensi dan peran media.

2. Bagi peneliti yang akan datang disarankan untuk menggunakan metode lain seperti causal effect atau penelitian eksperimen untuk menguji perilaku metroseksual dikaitkan dengan variabel-variabel lain.

C. Keterbatasan Penelitian

(74)

DAFTAR PUSTAKA

Abe, Burhanuddin. (2004). Pria-pria Metroseksual. Dipungut 14 Januari, 2009, dari http://www.swa.co.id

Alwisol. (2005). Psikologi kepribadian. Edisi Revisi. Malang: UMM Press. Azwar, Saifudin. (2001). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, Saifudin. (2003). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Berne, Patricia H dan Savary, Louis M. (1988). Membangun harga diri anak.

Yogyakarta: Kanisius.

Brehm, S, & Kassin., M. (1989). Social psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Brennan, Jake. (tanpa tahun). Are you a metrosexual? Dipungut 14 Januari, 2009, dari http://ca.askmen.com

Calhoun, J. K. & Acocella, J. R., (1990). Psychology of adjusment and human relationship, 3rd Edition. NY: Mc. Graw Hill Publishing Company.

Centi, P. J. (1993). Mengapa rendah diri?. Yogyakarta: Kanisius.

Chamim, Mardiyah., Candraningrum, Nurhayati, & Rusmitantri, Telni. (2004).

Bertemu pria-pria venus. Dipungut 14 Januari, 2009, dari http://majalah.tempointeraktif.com

Coopersmith, J. (1967). The antecedent of self esteem. San Fransisco: Freeman and Company.

Gambar

Tabel 1. Blue print Skala Harga Diri sebelum seleksi item
Tabel 2. Pemberian skor pada Skala Harga Diri pilihan jawaban
Tabel 4. Blue print Skala Metroseksual
Tabel 5. Pemberian skor pada Skala Metroseksual  pilihan jawaban
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana yang terlihat pada gambar 2, sistem penilaian esai otomatis yang diusulkan terdiri dari tiga buah subsistem yaitu: (1) Subsistem pengindeksan, yang

Kecenderungan dari adaptasi linguistik yang terkait dengan kuat-kurangnya pengaruh bahasa Sasak terhadap bahasa Bajo pada enklave Tanjung Luar berkategori sedang dan

Berapakah viabilitas bakteri asam laktat pada yoghurt probiotik dengan penambahan kombinasi tepung kacang merah dan susu skim yang disimpan pada suhu pendingin (10

Skripsi Pembentukan Ruang Transisis Publik-Privat pada Apartemen di dalam. Kawasan Mixed-Use

Untuk mengantisipasi berbagai akibat melakukan olahraga yang merugikan maka guru Penjasorkes bukan hanya dituntut untuk memiliki profesionalitas yang tinggi dalam pengelolaan

6 (Enam) kelompok pengeluaran yang memberikan andil/sumbangan Deflasi Kota Serang adalah kelompok bahan makanan mengalami penurunan terbesar yaitu sebesar -0,1757

Terdapat tiga kategori enkripsi, yaitu: (1) kunci enkripsi rahasia, dalam hal ini terdapat sebuah kunci yang digunakan untuk mengenkripsi dan juga sekaligus mendekripsi informasi,

(4) Apabila temyata di dalam kawasan lindung terdapat indikasi adanya endapan mineral, kandungan air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan di nilai amat berharga