• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPLOITASI REPTIL DI DAS MAHAKAM KALIMANTAN TIMUR Reptile Exploitation at Mahakam River on East Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSPLOITASI REPTIL DI DAS MAHAKAM KALIMANTAN TIMUR Reptile Exploitation at Mahakam River on East Kalimantan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPLOITASI REPTIL DI DAS MAHAKAM KALIMANTAN TIMUR

Reptile Exploitation at Mahakam River on East Kalimantan

Teguh Muslim

Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja

Jalan Soekarno Hatta Km. 38 PO. BOX 578 Balikpapan 76112 Telp. (0542) 7217663. Indonesia *Surel korespondensi: [email protected]

Abstract. East Kalimantan is the largest contributor to the province's trade reptiles in Indonesia that still rely on the results of the exploitation of nature. Most reptiles are derived from the waters of the Mahakam particularly upstream watershed of Mahakam. To know the location of harvesting and the type of reptile that utilized the survey needs to be done then. The survey is conducted by the method of snowball sampling aimed at tracing the chain of the reptile trade in East Kalimantan. Some reptiles there are collectors who came from the fishermen and gatherers of the fish, but there are also making it the main livelihood. Almost no results from fishermen who wasted, no exception reptiles that caught the net or fishing line. Recorded at least three (3) district in East Kalimantan as gatherers and the main suppliers of the reptile trade i.e. Kutai Kartanegara, Kutai Barat and Kutai Timur. Freshwater in 3 (three) district is connected by watershed of Mahakam including 3 large lakes namely Jempang lake, Semayang lake and Melintang lake. Species of reptiles collected include: Python reticulatus, Acrochordus javanicus, Amyda cartilaginea, Dogania subplana, Varanus salvator and Coura amboinensis. It also often caught reptiles protected i.e. Crocodylus siamensis, Orlitia borneensis as well as other species. Lack of knowledge of Community fishermen and gatherers against reptile species are allowed to bring a bad impact is traded for the preservation of wildlife.

Keywords: exploitation, reptile, Mahakam watershed, East Kalimantan

1. PENDAHULUAN

Perairan tawar di Kalimantan Timur dibagi menjadi 6 (enam) kelompok wilayah sungai yaitu kelompok sungai Sesayap, Kayan, Berau-Kelai, Mahakam, Karangan dan Kendilo (Muslim, 2015) dan terdapat 3 (tiga) danau besar yang terletak di dalam kelompok DAS Mahakam (Muslim, 2016). Kelompok wilayah sungai disajikan pada Gambar 1.

Dalam perairan tawar di Kalimantan Timur menyimpan banyak sumberdaya ikan khususnya di aliran hulu sungai. Selain itu, juga terdapat beberapa jenis reptil yang dimanfaatkan terutama yang dapat dijual atau diperdagangkan. Eksploitasi jenis – jenis reptil tersebut banyak ditangkap dari DAS Mahkam, karena merupakan kantong utama habitat reptil. Sebagai pemasok utama untuk perdagangan ekspor seringkali usaha penangkapan tidak sesuai aturan dan terkadang melebihi quota tangkap. Beberapa eksportir mengklaim bahwa populasi reptil di alam masih sangat banyak dan menginginkan penambahan quota ekspor, sementara beberapa survei telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa untuk jenis tertentu perlu dilakukan upaya pencegahan kelangkaan dengan sistem rotasi lokasi tangkap. Hasil survei juga menunjukkan bahwa usaha penangkapan untuk jenis reptil tertentu sangat kecil peluang tangkapnya. Dari hasil survei terdahulu dapat

dijadikan bahan pertimbangan bahwa kemungkinan populasi jenis reptil yang dipanen semakin menurun. Sementara tidak hanya 1 jenis reptil yang ditangkap untuk tujuan perdagangan tetapi 4 – 5 jenis bahkan tidak menutup kemungkinan jenis dilindungi dan terancam juga diperdagangkan. Untuk itu harus dilakukan survei, monitoring, dan penyadartahuan yang berkesinambungan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hasil pengumpulan reptil oleh pengepul berkaitan dengan struktur populasi hasil tangkapan, hasil tangkapan perhari, alat tangkap, dan usaha penangkapan. Tujuan lain adalah mengetahui penyebaran habitat berdasarkan lokasi tangkap dan lokasi pengepul.

2. METODE

Objek penelitian adalah semua jenis reptil yang ditangkap dan dikumpulkan oleh nelayan, pemburu dan pengepul. Data yang dikumpulkan adalah jenis (termasuk morfologi sebagai alat untuk identifikasi) reptil yang terdapat di penampung/pengumpul serta wawancara dengan penampung/pengumpul dan masyarakat lokal di sekitar lokasi penelitian terkait dengan rantai perdagangan. Untuk mengumpulkan data dan informasi digunakan metode snowball

sampling, yang mana dilakukan penelusuran dari

pengumpul yang sudah diketahui sebelumnya berdasarkan informasi awal dari instansi pemerintah

(2)

yang berwenang dalam izin perdagangan reptil yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim). Sumber informasi yang menjadi tokoh kunci penelusuran antara lain: nelayan, pengepul ikan, pengepul reptil, eksportir. Data reptil adalah semua jenis reptil yang diperdagangkan. Data lokasi penangkapan yang merupakan habitat reptil berupa kualitas air diuji di laboratorium dan kondisi fisik sungai lokasi tangkap (warna, kedalaman, lebar, suhu, arus, substrat dasar perairan), pengambilan sampel air sungai, pengambilan titik koordinat. Vegetasi di kanan-kiri sungai sepanjang sungai lokasi tangkap serta aktivitas masyarakat sekitar sungai secara umum didata.

Bahan untuk penelitian ini adalah peta wilayah DAS Mahakam, buku catatan, sampel air. Peralatannya adalah senar nilon, besi pemberat, rol meter, pita ukur, timbangan, thermometer, stop watch, GPS, perangkap/bubu, gabus, botol air mineral 1 liter, kamera dan alat tulis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Lokasi Pengumpulan Reptil

Lokasi pengumpulan dan pemanenan antara lain Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan

Kutai Barat dengan total pengumpul teridentifikasi 14 orang yang sebagian besarnya berperan sebagai pengumpul kecil (12 orang) dan sisanya (2 orang) pengumpul besar. Pengumpulan reptil banyak teridentifikasi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kecamatan Kota Bangun, Muara Wis, Muara Muntai, Kahala, Kembang Janggut) dengan lokasi tangkap di Sungai Belayan, Loa Surut, sungai Teluk Bingkai, Sungai Kenohan, Danau Semayang dan Danau Melintang; di Kutai Barat terdapat di Kecamatan Muara Pahu, Melak, Barong Tongkok dengan lokasi tangkap Sungai Kedang Pahu, Kedang Kepala, Sungai Jintan, Sungai Belowan dan Danau Jempang. Sisanya terdapat di Kutai Timur (Kecamatan Muara Ancalong, Muara Bengkal) dengan lokasi tangkap Sungai Kelinjau, Sungai Senambah, Sungai Mesangat, Sungai Suwi, dan Sungai Ngayau.

3.2 Karakteristik Habitat

Kondisi perairan tidak jernih karena sebagian besar warna air sungai kuning kecoklatan sampai cokelat gelap, berarus lambat dengan dasar perairan lumpur berpasir sampai berlumpur (Tabel 1). Sebagian sungai sebagai lokasi tangkap tergolong sungai yang besar, sebagian kecil lainnya tergolong sungai sedang. (Maryono, 1999).

Tabel 1. Karakteristik sungai lokasi tangkap

Lokasi Lebar/ dalam (m) Warna Arus (cm/s) Suhu (0C) Dasar Kahala 15-20/ 2 – 4 Cokelat gelap 32 26,9- 27,03 Lumpur Teluk Bingkai 10-15/ 0,5-3

Cokelat terang 45 25,9-35 Lumpur berpasir Loa Surut 3 – 5/ 1 – 2 Cokelat kehitaman 23 26,1-34,9 Lumpur berpasir Belayan 20-25/ 4 – 6 Kuning kecokelatan 20 Lumpur Rawa Buak 1 ha/ 1 – 2 Terang - 25,1-28,2 Lumpur berpasir Suwi 6 – 8/ 2 – 3 Kuning Kecokelatan 25 27-30 Lumpur berpasir Kelinjau 40-50/ 5 – 10 Kuning Kecokelatan 35 28-29,7 Lumpur berpasir Mesangat Hulu 6/1 - 2 Kuning Kecokelatan 20 28 -31 Lumpur berpasir Kedang Pahu 40-50/ 5 - 10 Kuning Kecokelatan 40 28-32 Lumpur berpasir Jintan 6/ 2 - 3 Kuning Kecokelatan 27 26 -29 Lumpur berpasir Belowan 10-15/ 4 – 6 Kuning Kecokelatan 43 29 -33 Lumpur berpasir

Rata-rata suhu di perairan lokasi tangkap tergolong normal karena pada umumnya suhu permukaan perairan Indonesia adalah berkisar antara 28 - 31°C (Monoarfa, 2002 dalam Byna, dkk,

Gambar 1. Kelompok Wilayah DAS Kalimantan Sumber: BPDAS Kalimantan Timur (2015)

(3)

2009), masih dibawah standar baku mutu untuk perikanan yaitu 35°C.

Dari hasil tangkapan nelayan juga dijumpai beberapa jenis ikan yang dapat dikategorikan sebagai sumber pakan. Beberapa jenis ikan yang berhasil ditangkap antara lain seluang (Osteochillus

Schlegeli), wader (Puntius brammoides), pepuyu

(Anabas testudineus), baung (Mystus nemurus), dan beberapa jenis ikan snakehead (Channa), kihung (Channa lucius), toman (Channa micropeltes) dan gabus (Channa striata). Tumbuhan tingkat pohon yang dapat teridentifikasi di beberapa sungai lokasi tangkap berdasarkan pengamatan di sepanjang perjalanan menyusuri sungai antara lain Glutha

renghas, Vitex pinnata, Dracontomelon dao, Pterospermum sp., Lagerstromia sp., Heritiera sp., Dilenia sp., Artocarpus sp., Cratoxyilon sp., Glocidion sp., Garcinia sp., Pandanus sp., Sizigium

sp., dan Mangifera sp.

3.3 Kualitas Perairan DAS Mahakam

Nilai pH 6,79–7,6 dengan pH air terendah (6,79) adalah Sungai Jintan dan tertinggi (7,6) adalah Sungai Belayan (Tabel 2). Kadar DO berkisar 0,94–4,3 dengan nilai DO terendah pada Kolam penampungan dan DO tertinggi adalah Sungai Loa Surut. Kadar BOD menunjukan kisaran nilai 1,25–2,08 ppm, nilai BOD terendah (1,25 ppm) adalah Sungai Belowan dan yang tertinggi (2,08 ppm) pada kolam penampungan.

Tabel 2. Kualitas air sungai lokasi tangkap Sungai Warna BOD COD DO TDS TSS pH CO2 CaCO3

Loa Surut 5,81 1,72 12 4,3 87 26 7,3 13,98 41,3 Teluk Bingkai 6,10 1,87 14,6 4,0 86 26 7 2,80 37,2 Kahala 5,81 1,79 13,1 4,2 76 26 7 2,0 29,7 Belayan 9,25 1,82 13,7 4,0 119 61 7,6 3,60 35,4 KP 50,42 2,08 18,0 0,94 1034 47 7,3 27,97 120,12 Belowan 37,79 1,25 4,20 3,29 167 17 6,88 18,38 9,61 Kedang Pahu 18,72 1,37 6,20 3,09 122 33 7,01 7,19 14,41 Jintan 7,67 1,32 5,30 3,11 63 41 6,79 13,58 9,61 Catatan: KP = kolam penampungan

Kadar COD menunjukkan kisaran nilai 4,20 – 18 ppm, dengan COD terendah (4,20 ppm) adalah Sungai Belowan dan COD tertinggi (18 ppm) ada pada Kolam Penampungan. Kandungan CO² berkisar 2,0 – 27,97 dengan kandungan CO² terendah (2,0) adalah sungai Kahala dan kandungan CO² tertinggi (27,97) adalah di kolam penampungan. TDS air sungai yang disurvey antara 63 – 1034 mg/L, nilai TDS terendah (63 mg/L) ada

pada sungai Jintan dan TDS tertinggi (1034 mg/L) pada kolam penampungan. Nilai TSS berkisar antara 17 – 61 mg/L dengan nilai TSS terendah (17 mg/L) adalah Sungai Belowan dan TSS tertinggi adalah sungai Belayan.

Tingkat kekeruhan perairan akan berpengaruh terhadap kedalaman penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin tinggi tingkat kekeruhan perairan, maka kemampuan cahaya matahari menembus ke dalam perairan semakin dangkal/pendek. Hal tersebut akan mempengaruhi aktivitas produsen primer untuk fotosintesis. Secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut (DO). Tingginya tingkat kekeruhan selain mempengaruhi hal-hal tersebut, juga akan berpengaruh terhadap kehidupan biota secara langsung, isalnya terhadap organ pernafasan. Kerja insang akan terganggu karena banyaknya materi terlarut yang ikut masuk ke dalam organ ini ketika organisme tersebut bernafas.

Hasil analisis kualitas air pH masih masuk dalam pH yang normal, Nilai pH air sungai yang normal berkisar antara 6,0 - 8,0 (Kristanto, 2002 dalam Byna, dkk. 2009). Menunjukan bahwa sebagian besar sungai yang disurvey masih tergolong dalam standar mutu yang dipersyarakatkan bagi budidaya perikanan kecuali pada kolam penampungan dengan kadar DO dibawah standar mutu air yang layak yaitu DO ≥3

mg/L. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Kadar DO biasanya berbanding terbalik dengan warna/kekeruhan air seperti pada kolam penampungan, akan tetapi lebih disebabkan oleh pergerakan/sirkulasi air. Hal tersebut dikarenakan adanya gerakan air yang terus menerus di semua bagian perairan, mulai dari permukaan sampai dasar perairan sehingga Oksigen terlarut (DO) dalam ekosistem perairan mengalir cenderung relatif tinggi dan merata.

Kadar DO < 3 hanya layak digunakan untuk tujuan pengairan tanaman. BOD 1,25 – 2,08 ppm (termasuk dalam kategori tercemar rendah dibawah 10 ppm). COD menunjukan nilai 4,20 – 18, sedangkan Nilai COD yang paling tinggi untuk kehidupan biota perairan adalah sekitar 10 ppm. Sungai yang termasuk dalam kategori tidak layak untuk kehidupan biota perairan berdasarkan nilai

(4)

COD (COD>10 ppm) mencapai 50% dari 10 sungai yang disurvey. (Wirosarjono (1974); Salmin (2005).

Kandungan karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan maksimal 20 ppm, lebih dari itu akan membahayakan kehidupan organisme perairan. Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan tidak lebih dari 12 ppm dengan kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983). TDS air sungai yang disurvei 63 – 1034 mg/L sedangkan nilai standar baku mutu yang ditetapkan untuk TDS adalah 2.000 mg/L. Nilai TSS berkisar 9 – 61 mg/L, sedangkan TSS standar baku mutu yang ditetapkan 50 mg/L. Dalam pengukuran TSS dari sungai yang disurvey hanya 1 sungai yang memiliki TSS lebih dari 50 mg/L yang berarti sebagian besar sungai yang disurvei masih dalam standar baku mutu.

3. 4 Jenis Reptil yang Ditangkap

Reptil yang ditemukan di lokasi pengepul antara lain Amyda cartilaginea (labi–labi), Dogania

subplana (labi-labi kepala besar), Cuora amboinensis (kura-kura batok), Siebenrockiella crassicollis (kura-kura pipi putih), Phyton reticulatus

(ular sanca batik), Acrochordus javanicus (ular belalai gajah), Varanus salvator (biawak air), dan jenis reptil dilindungi yaitu Orlitia borneensis (kura-kura kalimantan) dan Crocodylus siamensis (buaya siam).

Orlitia borneensis ditemukan di 2 lokasi

pengepul masing-masing hanya 1 ekor. Berukuran besar (PLK = 75 cm) ditemukan di pengepul yang berada di Desa Tuana Tuha, Kecamatan Kenohan, sedangkan yang berukuran sedang ditemukan di desa Kelinjau Muara Ancalong. Menurut informasi dari pengepul untuk jenis kura-kura ini dianggap kurang lagi dijual, akan tetapi tetap dibeli dan ditampung oleh pengepul. Crocodylus siamensis ditangkap oleh nelayan di Muara Mesangat desa Kelinjau sebagai pesanan khusus dari luar daerah. Kedua jenis reptil ini termasuk satwa yang dilindungi dengan status konservasi dalam Red list IUCN terancam dan kritis.

Reptil yang ditemukan dalam jumlah banyak adalah Amyda cartilaginea, Acrochordus javanicus,

Coura amboinensis, Varanus salvator, Dogania subplana dan Phyton reticulatus. Sedangkan Siebenrockiella crassicollis bukan menjadi target

utama, ditemukan di pengepul hanya sebagai hasil ikutan saja. Hasil utama untuk perdagangan ekspor berawal dari jenis Amyda cartilaginea dan Phyton

reticulatus, akan tetapi karena Phyton reticulatus

tidak mudah didapatkan maka untuk memenuhi target ekspor kulit digantikan dengan jenis

Acrochordus javanicus yang lebih mudah didapatkan oleh nelayan pemburu.

Dari semua satwa reptil yang dikumpulkan ternyata jenis ular Acrochordus javanicus yang paling banyak dieksploitasi. Dalam 1 hari nelayan dapat mengumpulkan 2 – 3 ekor ular. Ular dengan kondisi yang hidup dapat disimpan atau ditampung dalam waktu yang lama sebelum dikirim ke pengumpul besar. Kebanyakan dari pengumpul kecil melakukan pengiriman dalam bentuk sudah berupa kulit ular, selain memudahkan dalam penyimpanan juga menambah nilai jual. Terkecuali tidak dapat mengolah/ menguliti ular Acrochordus javanicus. Jenis ini banyak dikumpulkan karena sering terjebak dalam bubu untuk perangkap ikan dan sebagian kecil terkena pancing yang dipasang para nelayan. (Muslim, 2016)

Berdasarkan jenis kelamin, Amyda cartilaginea jantan (74 ekor) dan betina (41 ekor), digolongkan menjadi 3 kelas umur yaitu : remaja 3 ekor, dewasa muda 14 ekor, dan dewasa 98 ekor. Jumlah labi-labi yang besar lebih banyak daripada yang berukuran kecil, Berdasarkan Kategori CITES yang boleh dipanen (<5,5 kg dan >13,5 kg) menunjukkan 62,2 % sesuai kriteria dan 37,8% tidak sesuai. Persentase labi-labi betina yang dipanen lebih kecil yaitu 36%, sedangkan jantan mencapai 64%. (Gambar 3)

Ancaman terhadap populasi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu ancaman terhadap

a

d c

b

Gambar 2. Beberapa jenis reptil hasil tangkapan, a.

Acrochordus javanicus, b. Amyda cartilaginea,

(5)

individu reptil secara langsung (penangkapan) dan ancaman terhadap habitatnya (konversi lahan basah dan pencemaran). Tingginya tingkat perburuan/ pemanenan, karena para nelayan mengambil apa saja yang tertangkap oleh pancingannya karena semua hasil dari sungai dapat dijual dan ada yang membeli (pengepul). Ancaman penurunan kualitas/kuantitas perairan habitat labi-labi dari perluasan perkebunan atau pertambangan yang memanfaatkan rawa sampai dipinggir sungai dan sebagai tempat sampah.

Pendugaan populasi di alam tidak dapat diperkirakan secara pasti, tetapi produksi pemanenan di tingkat pengumpul dapat menjadi acuan yang lebih mendekati/mendukung prinsip kehati-hatian dalam penentuan quota. Monitoring berkelanjutan perlu dilakukan dengan dibantu oleh enumerator di lokasi asal pemanenan.

Gambar 3. Hasil tangkapan Amyda cartilaginea (6 bulan)

Sampai sekarang labi–labi Amyda cartilaginea dan ular Acrochordus javanicus menjadi produk utama ekspor satwa liar (reptil) Kalimantan Timur yang masih mengandalkan hasil dari alam dengan kantong utama pemanenannya adalah DAS Mahakam. Kuota ekspor untuk labi – labi Amyda

cartilaginea sebesar 5000 ekor/tahun dan menjadi

Provinsi pengekspor terbesar kedua setelah Sumatera Utara. Sedangkan kulit ular Acrochordus

javanicus sebesar 65.000 lembar/tahun atau 36%

dari kuota ekspor Indonesia (180.000 lembar/tahun). Kouta yang ditetapkan setiap tahun oleh dirjen PHKA adalah kuota tangkap untuk setiap wilayah provinsi berdasarkan usulan BKSDA setempat dan direkomendasikan LIPI. Kuota ekspor maksimal 90% dari kuota tangkap, sedangkan sisanya 10% ditujukan untuk kebutuhan bibit penangkaran, penelitian dan keperluan lainnya.

Permasalahan utama dalam perdagangan reptil secara umum di pasar internasional adalah belum tersedianya berbagai data populasi di alam dan data perkembangan populasi sebagai dasar

untuk menentukan jumlah kuota. Bahkan sejak tahun 2003 masalah ini telah dikemukakan dalam hasil hasil riset dan sampai saat ini tidak tampak tindak lanjut dari pemerintah khususnya untuk jenis

Acrochordus javanicus. Alasan yang tidak berdasar

menganggap populasi jenis ini masih tinggi akan tetapi tidak pernah ada data populasi di alam sementara eksploitasi terus berlanjut tanpa ada kontrol dan monitoring. Indonesia sebagai negara yang memiliki ratusan jenis reptil, sehingga bukan pekerjaan mudah untuk melakukan pengumpulan data (Mardiastuti et al., 2003)

4. SIMPULAN

Eksploitasi reptil di Kalimantan Timur untuk tujuan perdagangan ekspor masih mengandalkan hasil dari alam dan belum ada upaya untuk membudidayakan atau penangkaran. Sedangkan populasi di alam tidak dapat diketahui secara pasti dan tidak ada jaminan populasi di alam akan tetap lestari, melihat dari upaya penangkapan tidak memperhatikan jenis kelamin dan umur reptil yang dapat berakibat putusnya rantai regenerasi.

Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa populasi beberapa jenis ular telah mulai menurun, terutama akibat dari kerusakan/kehilangan habitat dan tingginya angka pemanenan. Pelestarian habitat jenis-jenis reptil yang penting perlu pula mendapat perhatian.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balitek KSDA Samboja dalam pembiayaan penelitian, Iman Suharja, Ermansyah, Mukhaidil, Agung Siswanto, Mardi Tofani Rengku yang telah membantu dalam proses pengumpulan data, BKSDA Kalimantan Timur, BPDAS Kalimantan Timur, Pak Uyan sebagai enumerator yang telah banyak memberikan informasi dan data hasil pengumpulannya.

6. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2010). Hasil Rapat Koordinasi Penegakan

Hukum Bidang Pemanfaatan dan Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar. 5 Agustus 2010.

Ambon.

Asian Turtle Trade Working Group. (2000). Amyda cartilaginea. In: IUCN. 2011. IUCN Red List of

Threatened Species. Version 2011.2.

<www.iucnredlist.org>. Diakses: 01 Februari 2012. Byna et al. (2009). Kajian Kualitas Air Sungai yang

Melewati Kecamatan Gambut dan Aluh-Aluh Kalimantan Selatan. Bioscientiae. 6(1):40–50.

(6)

CITES. (2011). Convention on International Trade in

endangered species of fauna and flora.

Appendices I, II, and III of CITES.

http://appendices.phpAmydacartilaginea_Appendix II_CITES.htm. Diakses: Januari 2012.

Endarwin, W. et al. (2005). Studi Pendahuluan: Keberadaan Kura-Kura Rote (Chelodina mccordi, Rhodin 1994) di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

Media Konservasi 10(2).

Harless, M & Morlock, H. (1979). Turtle Perspectives and

Research. Wiley Interscience. 51–57.

Fakhrudin. M. (1995). Identifikasi Erosi dan Pencegahannya.

Iskandar, D.T. (2000). Kura-kura dan Buaya Indonesia

dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-jenis di Asia Tenggara. Bandung: PAL Media

Citra.

Kusrini, M,D., Mardiastuti, A., Darmawan, B., Mediyansyah & Muin, A. (2009). Laporan Sementara Survei Pemanenan dan Perdagangan Labi-Labi di Kalimantan Timur. Bogor: Nature Harmony.

Mardiastuti. A. & Suhartono, T. (2003). Perdagangan

Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Bogor: Departemen

Sumber Daya Hutan, Institut Pertanian Bogor. Maryono, A. (1999). Kajian Lebar Sempadan Sungai

(Studi Kasus Sungai-Sungai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Yogyakarta.

Mashar, A. (2009). Karateristik Morfologi, Struktur

Populasi, dan Karakteristik Telur Kura-kura Belawa (Amyda cartilaginea). Laporan Penelitian Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Meylan, P.A. (1987). The phylogenetic relationships of soft-shelled turtles (family Trionychidae). Bulletin of

the American Museum of Natural History

(agris.fao.org).

Muslim, T., (2012). Kajian Sebaran dan Habitat Labi-Labi

di Kalimantan Timur. Laporan Hasil Penelitian

tahun 2012. Balitek KSDA. Samboja.

Muslim, T. (2016). Acrochordus javanicus dalam Arus Kian Tergerus. Warta Herpetofauna 8(3).

Oktaviani, D. et al. 2008. Identifikasi dan distribusi jenis labi-labi (Famili: Trionychidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 14(2):145–157.

Prijono, S.N. (2005). Precautionary principle, non detriment finding, dan penetapan kuota pengambilan tumbuhan atau penangkapan satwa.

Materi Asistensi Pelaksanaan CITES. Bogor.

Pritchard, P.C.H. (1979). Encyclopedia of Turtle. Neptune N. J.: T.F.H. Publication.

Rahmi, N. (2008). Pertumbuhan Juvenil Labi-Labi, Amyda

cartilaginea (Boddaert, 1770) (Reptilia:

Testudinata: Trionychidae) Berdasarkan

Pemberian Jenis Pakan yang Berbeda, dalam Upaya Domestikasi untuk Menunjang Konservasi di Desa Belawa Kabupaten Cirebon. Skripsi Bogor:

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Salmin. (2005). Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan

oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana, 30(3):21-26.

Tajalli. A. et al. (2008). Reptil Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Pemanfaatannya Secara Tradisional Oleh Masyarakat Dayak, Kalimantan Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Waryono, T. (2002). Bentuk struktur dan lingkungan bio-fisik sungai. Makalah Sidang –II (Geografi Fisik),

Seminar dan Konggres Geografi Nasional. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik sungai lokasi tangkap
Tabel 2. Kualitas air sungai lokasi tangkap  Sungai  Warna BOD  COD  DO  TDS  TSS  pH  CO 2  CaCO 3
Gambar 2.  Beberapa jenis reptil hasil tangkapan, a.
Gambar 3. Hasil tangkapan Amyda cartilaginea (6 bulan)  Sampai sekarang labi–labi Amyda cartilaginea  dan  ular  Acrochordus  javanicus  menjadi  produk  utama  ekspor  satwa  liar  (reptil)  Kalimantan  Timur  yang  masih  mengandalkan  hasil  dari  alam

Referensi

Dokumen terkait

Dari kelima parameter di atas menunjukkan indikasi bahwa proses elektrokoagulasi akan memberikan hasil yang optimum terhadap efisiensi pemisahan polutan dari limbah RPH pada

Kemudian arus eksitasi yang tersedia telah mencapai 25% dari arus eksitasi tanpa beban, maka contactor yang menghubungkan antara baterai dengan rotor generator akan

Stabilitas sistem daya untuk sebelum interkoneksi menunjukkan sistem masih dalam kondisi yang stabil dengan pemberian letak gangguan pada beberapa bus, hal ini dapat

Dari hasil simulasi saat terjadi gangguan pada belitan primer transformator di fasa A, maka tegangan fasa – netral di terminal sekunder trafo fasa A mengalami penurunan

Metode yang digunakan untuk menilai kinerja masing-masing reksa dana menggunakan Sharpe Ratio dan untuk menentukan seberapa efektif manajer investasi melakukan

Rancangan Sistem Saluran Pertimbangan untuk memperkecil nilai penyusutan dan cacat pola lilin akibat sistem saluran dan posisi master, bagian bawah sprue diberi

Melihat tingginya kasus ini, tim PKM merasa perlu melakukan kegiatan PKM edukasi pencegahan penularan covid-19 melalui sosialisasi, pembagian masker, dan hand

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cindy dan Yenny (2013),Mutia (2014), dan Wilda (2015) yang juga meneliti tentang pengaruh