Gambar 2 Diagram alir penelitian.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer
4.1.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer Harian
Faktor yang menyebabkan pergerakan vertikal udara antara lain perbedaan suhu pada permukaan, efek front, perbedaan topografi, konvergensi dan divergensi (Donn, 1975).
Parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi stabilitas atmosfer adalah nilai Brunt Väisälä frequency square (N2). Menurut Mc.Ilveen (1986) Semakin stabil suatu kondisi udara maka nilai Brunt Väisälä Frequency square semakin besar .
Pengamatan nilai N2 dilakukan pada bulan Desember dan bulan Juni 2007. Sebagai contoh pada daerah Padang, profil vertikal N2 digambarkan sebagai berikut,
Gambar 3 Profil vertikal N2 di daerah Padang tanggal 26 Desember 2007.
Gambar 4 Profil vertikal RH di daerah Padang tanggal 26 Desember 2007
Berdasarkan gambar 3, nilai N2 cenderung konstan sekitar 0.2x10-3 sampai kenaikan yang besar pada saat mencapai tropopause. Apabila didukung dengan kondisi pemanasan permukaan yang baik dan kelembaban udara yang tinggi, maka proses pengangkatan udara bisa terjadi secara maksimal sampai batas tropopause sehingga kemungkinan terbentuk awan-awan hujan yang besar sangatlah tinggi.
N2 bernilai positif menunjukkan keadaan atmosfer yang stabil. Pada N2 yang bernilai negatif menunjukkan keadaan atmosfer yang tidak stabil dan mengakibatkan suatu parsel udara akan bergerak vertikal ke atas.
Apabila dilihat dari profil kelembaban relatifnya, kondisi di permukaan cenderung konstan lembab sampai pada ketinggian 10 kilometer diatas permukaan. Di atas ketinggian tersebut, kelembaban relatif berkurang. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar uap air akan terkonsentrasi pada ketinggian yang rendah yaitu di bawah 10 kilometer (Arya, 1999)
Gambar 5 Profil vertikal N2 di daerah Padang tanggal 26 Juni 2007
Gambar 6 Profil vertikal kelembaban relatif di daerah Padang tanggal 26 Juni 2007.
Berkebalikan dengan kondisi bulan Desember di daerah Padang, nilai N2 pada bulan Juni cenderung mengalami perubahan pada daerah sekitar permukaan. Kenaikan nilai N2 di dekat permukaan merupakan indikasi kestabilan yang dapat menghambat kenaikan massa udara. Hanya dengan up
draft yang kuat lapisan ini dapat ditembus
oleh awan (Tjasyono 1981 dalam Wahab 2005).
Pada kondisi atmosfer stabil ini, apabila tidak ada gaya up draft yang kuat sehingga massa udara yang terangkat ke atas akan kembali ke posisi semula (Stull, 2004). Apabila dilihat dari profil kelembaban relatifnya maka secara umum kondisi kelembaban pada profil tersebut cenderung berfluktuasi dan menurun seiring dengan ketinggian. Sehingga dapat dikatakan seiring dengan pertambahan ketinggian kelembaban relatifnya menjadi semakin rendah akibat kondisi atmosfer yang stabil di daerah dekat permukaan. Akibatnya kemungkinan terbentuknya awan besar adalah kecil.
Apabila ditinjau dari pemanasan permukaan, pada musim kering dengan intensitas radiasi yang besar kemungkinan terjadi pengangkatan massa udara lebih besar dibandingkan dengan musim basah, hal tersebut ditunjukkan dengan ketinggian tropopause musim kering lebih tinggi, namun kondisi kelembabanya juga berkebalikan sehingga peluang terbentuknya awan hujan akan lebih kecil walaupun faktor pemanasan permukaannya sangat mendukung.
Pada daerah biak, dengan waktu pengamatan yang sama, kondisi profil vertikal N2 pada bulan Desember, memiliki
kondisi yang sama dengan daerah Padang. Hal yang membedakan adalah profil kelembaban relatifnya. Semakin tinggi, nilai kelembaban relatif semakin rendah, sehingga keadaan secara umum lebih kering bila dibandingakan dengan daerah Padang. Hal tersebut dikarenakan oleh posisi lokal masing-masing daerah.
Gambar 7 Profil vertikal N2 di daerah Biak tanggal 26 Desember 2007.
Gambar 8 Profil vertikal kelembaban relatif di daerah Biak tanggal 26 Desember 2007.
Sedangkan untuk bulan Juni pada daerah Biak kondisi stabilitas atmosfer cenderung sama dengan bulan Desember. Hal yang membedakan adalah, pada bulan Juni, nilai N2 jauh lebih besar perbedaannya saat mencapai tropopause. Untuk nilai kelembaban relatifnya, seiring dengan naiknya ketinggian, maka kondisi udara semakin kering. Sehingga antara bulan Desember dan bulan Juni tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara keduanya.
Gambar 9 Profil vertikal N2 di daerah Biak tanggal 26 Juni 2007.
Gambar 10 Profil vertikal kelembaban relatif di daerah Biak tanggal 26 Juni 2007.
4.1.2 Identifikasi Stabilitas Atmosfer Rata-rata Bulanan
Kondisi rata-rata per bulan Desember dan bulan Juni pada daerah Padang digambarkan pada profil gambar 11 dan 12,
Gambar 11 Profil vertikal N2 di daerah Padang bulan Desember 2007.
Gambar 12 Profil vertikal N2 di daerah Padang bulan Juni 2007.
Secara umum, pada saat bulan Desember kondisi atmosfir relatif tidak stabil sehingga pengangkatan massa udara terjadi secara intensif sampai ketinggian tropopause. Didukung dengan kondisi udara yang lembab, maka peluang terbentuknya awan-awan besar seperti Cumulonimbus akan sangat besar. Sedangkan pada bulan Juni, kondisi kolom udara cenderung stabil ditunjukkan dengan nilai N2 yang relatif berubah-ubah lebih tinggi, sehingga pengangkatan massa udara kurang intensif yang mengakibatkan kondisi lebih kering.
Gambar 13 Profil vertikal N2 di daerah Biak bulan Desember 2007.
Gambar 14 Profil vertikal N2 di daerah Biak bulan Juni 2007.
Kondisi pada daerah Padang sangatlah berbeda apabila dibandingkan dengan profil rata-rata untuk daerah Biak. Pada daerah Biak selama bulan Desember dan Bulan Juni
rata-rata memiliki kondisi atmosfer yang tidak stabil sehingga peluang up draft yang besar sama-sama tinggi.
4.2 Estimasi TPW
Jumlah kandungan uap air yang dapat diendapkan sekaligus diturunkan sebagai hujan dihitung antara dua level tekanan. Hasil TPW berupa presipitasi yang merupakan setiap produk dari kondensasi uap air di atmosfer. Jenis presipitasi antara lain hujan, salju, hujan es, embun dan kabut. Jumlah total kandungan uap air setiap hasil pengukuran radiosonde menunjukkan bahwa massa udara yang banyak mengandung uap air diperoleh disekitar troposfer bawah (kurang dari 10 km).
Analisis selanjutnya dilakukan pada nilai TPW selama satu tahun. Nilai yang dianalisis adalah power spektral density. Teknik yang digunakan adalah dengan fast
fourier transform (FFT). Dengan teknik
FFT periode dari deret waktu yang tersembunyi dapat dilihat sehingga puncak osilasi TPW akan terlihat sebagai puncak (peak) energi spektral.
Pada daerah Padang analisis FFT dilakukan pada data selama kurang lebih satu tahun mulai 1 Maret 2007-29 Februari 2008. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut,
Gambar 15 Power Spektral Density TPW daerah Padang periode 1 Maret 2007-29 Februari 2008.
Berdasarkan gambar 15, dapat dilihat bahwa power spektral density terjadi sekitar 60 harian. Hal tersebut menunjukkan kondisi TPW yang sama akan berulang kembali pada 60 hari berikutnya. Hasil yang serupa dapat dilihat pada analisi wavelet berikut ,
Gambar 16 Wavelet TPW daerah Padang Padang periode 1 Maret 2007-29 Februari 2008.
Pada daerah Biak, juga terjadi kondisi yang sama. Dengan menganalisis nilai TPW mulai tanggal 1 Maret sampai dengan 29 Februari 2008 maka dapat terlihat nilai periode osilasi sebesar kurang lebih 90 harian. Berikut energi spektral untuk nilai TPW daerah Biak.
Gambar 17 Energi spektral TPW daerah Biak periode 1 Maret 2007-29 Februari 2008.
Gambar 18 Wavelet TPW daerah Biak periode 19 Oktober 2007-29 Februari 2008.
Apabila kedua daerah yaitu Padang dan Biak dibandingkan maka pola osilasi pada daerah Biak cenderung lebih panjang daripada daerah Padang
~60 harian
4.3 Estimasi Hubungan antara TPW dengan Curah Hujan
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa tidak setiap waktu nilai TPW dapat diturunkan sebagai hujan berapapun nilainya baik besar maupun kecil. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan pada daerah Padang,
Gambar 19 TPW dan curah hujan bulan Juni 2007 di daerah Padang.
Gambar 20 TPW dan curah hujan bulan Desember 2007 di daerah Padang.
Secara umum, jumlah TPW baik pada bulan Desember maupun Juni relatif konstan yaitu sekitar 60 mm dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 50.55 mm, namun nilai uap air yang diturunkan sebagai hujan lebih besar terjadi pada bulan Desember. Hal tersebut dipengaruhi faktor-faktor lain yang tergantung kondisi lokal.
Sedangkan untuk daerah Biak, terjadi juga hal yang serupa yaitu nilai TPW yang relatif konstan pada periode yang sama. Namun nilainya lebih kecil 10 mm dibandingkan daerah Padang pada bulan Desember dan Juni dengan rata-rata tahunan sebesar 39.6 mm.
Gambar 21 TPW dan curah hujan bulan Juni 2007 di daerah Biak.
Gambar 22 TPW dan curah hujan bulan Desember 2007 di daerah Biak. Pada daerah Padang, hujan yang terjadi relatif tidak kontinu namun setiap kejadian hujan, intensitasnya dinilai cukup besar. Jumlah TPW kumulatif pada bulan Desember adalah 1478,79 mm dan yang diturunkan sebagai hujan adalah 461.4 mm. Sedangkan pada bulan Juni kumulatif nilai TPW adalah 1513,35 dengan jumlah hujan 283.
Di daerah Biak jumlah kumulatif TPW lebih kecil dibandingkan dengan daerah Padang, yaitu 1075,73 mm di bulan Desember dan 1209,98 mm di bulan Juni. Jumlah kumulatif yang diturunkan sebagai hujan untuk bulan Juni dan Desember relatif sama dan kontinu yaitu 229.6 dan 229.95 mm.
Analisis statistik dilakukan dengan tujuan untuk mengestimasi hubungan antara nilai TPW dan curah hujan. Metode yang digunakan adalah analisis cross-correlation (korelasi silang). Keterkaitan diantara kedua variabel itu dapat terlihat pada grafik yang menggambarkan keduanya.
Estimasi hubungan antara TPW dan curah hujan dilakukan pada kedua daerah kajian yaitu daerah Padang dan Biak. Pada daerah Padang, pengambilan data dilakukan selama 1 November 2007 sampai dengan 29 Februari 2008 untuk kedua variabel. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut.
7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 Lag Number 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 C C F Lower Confidence Limit Upper Confidence Limit Coefficient
Korelasi TPW dan Curah Hujan Daerah Padang
Gambar 23 Korelasi silang TPW dengan curah hujan daerah Padang pada periode 1 November 2007 sampai dengan 29 Februari 2008. Tabel 1 Nilai korelasi silang TPW dengan curah hujan daerah Padang pada periode November 2007-Februari 2008 Lag Cross Correlation Std.Error(a) -7 -.031 .106 -6 -.098 .105 -5 -.026 .105 -4 .117 .104 -3 .067 .104 -2 .015 .103 -1 .103 .103 0 .053 .102 1 -.260 .103 2 -.294 .103 3 .036 .104 4 .070 .104 5 .011 .105 6 -.016 .105 7 .058 .106
Korelasi silang dilakukan dengan jumlah data sebanyak 121 data (n=121) maka selang kepercayaan adalah
5 . 0 2 n yaitu sebesar -0.182 sampai dengan 0.182. dapat dilihat dari grafik nilai korelasi silang, tidak semua nilai berada pada selang kepercayaan. Pada lag 1 melebihi selang kepercayaan yaitu -0.260 dan pada lag 2 yaitu -0.294 maka berarti terjadi korelasi positif antara nilai TPW dan curah hujan pada daerah Padang diantara 1 November 2007 sampai dengan 29 Februari 2008. Sehingga apabila terjadi kenaikan TPW, nilai curah hujan juga
akan meningkat. TPW akan terbentuk sebagai hujan dengan jeda waktu (time lag) sebesar satu hari.
Pada daerah Biak juga dilakukan analisis statistik antara TPW dan curah hujan pada periode yang sama yaitu 1 November 2007 sampai dengan 29 Februari 2008. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut, 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 Lag Number 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 C C F Lower Confidence Limit Upper Confidence Limit Coefficient
Korelasi TPW dan Curah Hujan di Daerah Biak
Gambar 24 Korelasi silang TPW dengan curah hujan daerah Biak pada periode November 2007-Februari 2008.
Tabel 2 Nilai korelasi silang TPW dengan curah hujan daerah Biak pada periode November 2007-Februari 2008 Lag Cross Correlation Std.Error(a) -7 .136 .115 -6 .126 .114 -5 .182 .113 -4 .105 .113 -3 .030 .112 -2 .118 .111 -1 .162 .110 0 .219 .110 1 .252 .110 2 .089 .111 3 -.113 .112 4 .053 .113 5 .165 .113 6 .046 .114 7 -.004 .115
Berdasarakan hasil korelasi silang, dengan data yang diuji sebanyak 121 data (n=121) maka nilai selang kepercayaan
adalah 5 . 0 2 n
yaitu sebesar -0.182 sampai dengan 0.182. Dari grafik korelasi silang di atas, maka dapat dilihat bahwa pada lag 1 dan lag 0 dengan nilai korelasi sebesar 0.252 dan 0.219 melebihi batas selang kepercayaan. Sedangkan data yang lainnya nilai korelasinya masih berada pada selang kepercayaan. Hal tersebut menggambarkan bahwa antara kedua variabel yaitu TPW dan curah hujan masih memiliki korelasi silang seperti halnya pada daerah Padang. Lag
Time terbentuknya hujan pada daerah Biak
juga sebesar satu hari. Nilai korelasi yang kecil menunjukkan hubungan diantara keduanya lemah. Hal tersebut disebabkan nilai TPW merupakan nilai gabungan semua dari produk presipitasi tidak hanya curah hujan tetapi juga embun dan virga. Sehingga kandungan uap air tidak menggambarkan secara langsung jumlah curah hujan di permukaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil pengukuran radiosonde, besarnya TPW (Total
Precipitable Water) pada daerah Padang
dan Biak relatif konstan sepanjang tahun dengan rata-rata pada daerah Padang yaitu 50.5 mm dan pada daerah Biak yaitu 39.6 mm
Pada kedua daerah Nilai Brunt Väisälä frequency square (N2) pada permukaan relatif konstan di bulan Desember sehingga pengangkatan massa udara bisa terjadi lebih intensif dan peluang pembentukan awan hujan lebih besar. Sedangkan pada bulan Juni terjadi hal yang sebaliknya,N2 pada permukaan cenderung berubah-ubah, sehingga proses pengangkatan massa udara kurang intensif.
Osilasi TPW pada daerah padang terjadi sekita 60 harian dan daerah Biak sekitar 90 harian.
Hasil analisis statistik antara TPW dan curah hujan daerah Padang dan Biak menunjukkan korelasi silang diantara keduanya sehingga kedua variabel ini saling berpengaruh dengan nilai maksimum 0.294 dan selang waktu (lag
time) adalah 1 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ahrens C. D. 2007. Meteorology Today : An
Introduction to Weather, Climate, and the Environment. Eight ed. Canada :
Thomson Brooks/Cole.
Arya, S. P. 1999. Air Pollution
Meteorology and Dispertion. New York
: Oxford University Press.
Donn, W. L. 1975. Meteorology. New York : Mc. Graw Hill, Inc.
Juaeni, Ina. 1988. Air Terkandung dan Hubungannya dengan Titik Embun Permukaan, Awan dan Hujan. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA – ITB. Bandung.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya
Haryanto, U. 1998. Pengaruh Kecenderungan perubahan Indeks Osilasi pada Curah Hujan DAS Citarum. Jurnal IPTEK Iklim dan Cuaca. No.02. Tahun 02. 1998.
Mc.Ilveen. 1986. Basic Meteorology a
Physical Outline. England : Van
Nostrand Reinhold (UK) Co.Ltd.
[OFCM] Ofice of the Federal Coordinator for Meteorological Services and Supporting Research. 1997. Federal
Meteorological Handbook No.3.
Washington DC : OFCM.
http://www.ofcm.gov/fmh3/pdf/12-app-d.pdf . [16 Juni 2008]
Riegel, C.A. 1992. Fundamental of
atmospheric Dynamics and
Thermodynamics. Singapore : World
Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Sandy, I. M. 1987. Iklim Regional
Indonesia. Jakarta: Jurusan Geografi FMIPA. UI.
Stull R . 2004. Meteorology For Scoentis
And Engineers. United states :