• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : TOGI ROBSON SIRAIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : TOGI ROBSON SIRAIT"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KEABSAHAN INFORMASI PADA MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

2008

JURNAL ILMIAH

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TOGI ROBSON SIRAIT

100200060

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEABSAHAN INFORMASI PADA MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

2008

JURNAL ILMIAH

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TOGI ROBSON SIRAIT

100200060

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H.M. Hamdan, S.H., M.H NIP. 195703261986011001 Editor Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H. NIP. 195605051989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAKSI Togi Robson Sirait1 Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H.2 Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.H.3

Perkembangan Teknologi merukan salah satu dampak dari globalisasi yang tidak bias dihindarkan. Era globalisasi ini telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi. Perkembangan teknologi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Terkhusus dalam kasus pencemaran nama baik telah memiliki dimensi baru karena sering terjadi karena ketersinggungan melalui status yang dibuat pada media sosial. Dari banyaknya kebutuhan akibat berkembangnya kejahatan yang terjadi, Indonesia menjawabya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Perkembangan yang sedemikian rupa membuat hukum harus cepat beradaptasi juga terhadap perubahan sosial. Sehingga kita juga harus megetahui bagaimana pengaturan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE. Dengan mengetahui karakteristik tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, maka yang perlu dikaji lebih lanjut adalah penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE. Dari kedua hal tersebut, maka akan dibahas mengenai penerapan hukum terhadap penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik khususnya dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel. Dalam mengkaji masalah tersebut, digunakan salah satu tipe penelitian hukum yang ada, yaitu doctrinal research. Dalam metode ini penelitian dilakukan dengan menganalisis aturan-aturan hukum terkait dengan permasalahan yang ada dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa depan.

Penggunaan informasi pada media sosial merupakan bagian dari penggunaan alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam system pembuktian pidana di Indonesia. Oleh karena itu, informasi pada media sosial merupakan alat bukti yang sah yang dapat digunakan dalam proses persidangan di pengadilan. Penggunaan alat bukti elektronik di kemudian hari akan menjadi kebutuhan dalam sistem pembuktian dalam hukum Indonesia. Para aparat Negara sebaiknya juga akan membuat pengaturan khusus mengenai alat bukti elektronik serta pelaksanaan dalam menjamin keabsahaan penggunaan alat bukti elektronik.

Kata Kunci: Informasi Elektronik, Kejahatan teknologi, Pencemaran Nama Baik

      

1 Mahasiswa  2

 Dosen Pembimbing 1 

(4)

I. Pendahuluan

Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini, maupun di masa yang akan datang.4 Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.5 Era globalisasi yang kita lalui menjadi tanda perkembangan teknologi itu sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi.6 Sehingga dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini dapat kita lihat sendiri yaitu maraknya anak-anak kecil yang sudah memainkan alat-alat elektronik yang canggih. Dimana melalui alat-alat elektronik tersebut kita dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui jaringan internet yang lebih sering kita kenal dengan dunia maya.

Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian rupa, dunia telah memasuki era baru komunikasi, Dengan demikian, teknologi informasi ini telah mengubah perilaku masyarakat global. Di samping itu perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum.7 Dengan terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup hukum harus diperluas untuk dapat menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut.8

Pada akhirnya kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia.9 Namun seiring dengan perkembangan tersebut, ternyata teknologi informasi yang berkembang dalam jaringan internet juga menyebabkan terjadinya kejahatan pada dunia internet itu sendiri. Permasalahan hukum yang yang sering kali kita hadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi

       4

Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1.

5

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 1-2.

6

Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm 1.

7

Ibid, hlm. 2.

8

Ibid.

9

Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, (Jakarta : Kencana, 2013), hlm.17.

(5)

secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.10

Pesatnya perkembangan dalam teknologi komunikasi yang terjadi, terkhususnya internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money laudering, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai macam lainnya.11 Dalam dunia siber sendiri ada hal yang perlu segera mendapat perhatian dalam masalah penggunaan media internet ini, sebelum lebih jauh terlanjur menjadi hutan belantara yang tidak bertuan.12 Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pelu dibuat suatu perundangan yang mengatur agar tidak menjadi suatu hutan belantara yang tidak bertuan. Dalam prosesnya telah dilihat banyaknya perdebatan mengenai perlu tidaknya aturan yang khusus mengatur tentang cybercrime ini.

Namun pada akhirnya pada bulan Maret tahun 2008 menjadi tonggak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE memuat suatu bentuk perluasan alat bukti diluar pasal 184 KUHAP. Dimana dalam UU ITE diakui bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Di mana dalam pasal 5 ayat (2) UU ITE diperjelas bahwa alat bukti yang disebutkan dalam ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum acara yang berlaku. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.

Keterangan di media sosial termasuk dalam pengertian dari informasi elektronik dalam UU ITE. Pasal 1 ayat 1 UU ITE menjelaskan bahwa “Informasi Elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Sehingga banyak kasus siber yang kita ketahui berkutat pada kasus-kasus yang berawal dari media-media sosial seperti e-mail, facebook, twitter, dan lain sebagainya. Dan dalam jalannya proses persidangan terhadap perkara-perkara cyber itu sendiri, keterangan-keterangan tersebutlah yang menjadi alat bukti

       10

Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 3.

11

Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 3

12

Asril Sitompul, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace). (Bandung : PT. CITRA ADITYA BAKTI), 2001, hlm. 2.

(6)

dalam persidangan. Seperti dalam kasus Prita Mulyasari dimana alat buktinya berupa hasil cetakan e-mail dari akun milik prita mulya sari. Dan juga pada kasus Benny Handoko13 pun, alat bukti yang diajukan oleh jaksa pun berupa potongan gambar dari isi posting twitter dengan user @benhan.

Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan mengenai penggunaan keterangan di media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam menguraikan hal tersebut maka penulis akan menguraikan mengenai Ketentuan Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE dan kemudian dilajutkan dalam pembahasan mengenai bagaimana Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kemudian akan diulas juga tentang penerapan hukum yang telah ada dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi, dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel.

Atas dasar tersebutlah maka penulis merasa perlu lebih lagi membahas “Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008”.

Adapun hal yang perlu dikaji dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya adalah bagaimana pengaturan tindak pidana berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kemudian dilanjutkan dengan bagaimana keterangan pada media sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2008. Setelah itu barulah akan dilihat bagaimana penerapan hukum terhadap penggunaan keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana, khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel

II. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipepenelitian yang disebut Doctrinal Research14.Tipe Doctrinal Research adalah suatu penelitian hukum yang menganalisis aturan-aturan hukum yang berkaitan atau mengatur suatu kategori permasalahan hukum tertentu, menjelaskan permasalahan yang sulit dipahami, menganalisis hubungan antar peraturan perundang-undangan dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa selanjutnya.Tipe penelitian ini dapat dikatakan serupa dengan tipe penelitian hukum normatif yuridis.

B. Data dan Sumber Data

       13

Dalam perkara Pidana Nomor 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel

14

(7)

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi 2 jenis, yaitu bahan hukum primer yang berupa ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat normatif seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan maupun ketetapan-ketetapan dari lembaga yang berwenang. Selain bahan hukum primer, juga dipergunakan bahan hukum sekunder, yaitu sumber-sumber lain yang berhubungan dengan bahan hukum primer, yang digunakan untuk memperlengkapi bahan huum primer, sehingga dapat membantu untuk menganalisis permasalahan-permasalahan terkait. Bahan hukum sekunder dapat diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan terkait.

C. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk mempermudah dan memperlancar penulisan skripsi ini, maka dipergunakan beberapa langkah dalam pmengumpulkan dan mengolah bahan hukum yang terkait dengan skripsi ini. Pertama adalah dengan melakukan studi kepustakaan dengan materi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan cara membaca peraturan-perundang-undangan, buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, danliteratur-literatur lainnya yang terkait dengan skripsi ini. Kemudian bahan-bahan yang telah terkumpul tersebut diseleksi berdasarkan klasifikasi prioritas sehubungan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini.

D. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas. Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, memilih kaidah-kaidah hukum/doktrin yang sesuai dengan penelitian, lalu mensistematisasikan kaidahkaidah hukum, azas atau pasal atau doktrin yang ada, kemudian menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif.

(8)

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Teknologi Informasi

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh ativitas yang bersifat fisik belaka. Lahirnya internet mengubah paradigm komunikasi manusia dalam bergaul, berbisnis, dan juga berasmara. Internet mengubah konsep jarak dan waktu secara drastis sehingga seolah-olah dunia menjadi kecil dan tidak terbatas. Setiap orang bisa berhubungan, berbicara, dan berbisni dengan orang lain yang berada ribuan kilometer dari tempat dimana ia berada hanya dengan menekan tuts-tuts keyboard dan mouse komputer yang berada di hadapannya.15

Pada Masa Awalnya, tindak pidana siber didefinisikan sebagai kejahatan komputer. Mengenai definisi dari kejahatan computer sendiri, sampai sekarang para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan komputer.16 Bahkan penggunaan istilah untuk kejahatan komputer dalam bahasa Inggris pun masih belum seragam. Namun para sarjana pada waktu itu, pada umumnya menggunakan istilah “computer crime” oleh karena dianggap lebih luas dan biasa digunakan dalam hubungan internasional.17

The British Law Comission misalnya, mengartikan “computer fraud” sebagai manipulasi komputer dengan cara apa pun yang dilakukan dengan itikad buruk untuk memperoleh uang, barang, atau keuntungan lainnya atau dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mandell membagi “computer crime” atas dua kegiatan, yaitu :

a. Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan, atau pelayanan; b. Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat

keras atau lunak, sabotase dan pemerasan.18

Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukm di Indonesia. Hukum di Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi.perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan

       15

Agus Raharjo, op. cit,.hlm. 59.

16

Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 9

17

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, naskah akademik Kejahatan Internet (Cybercrimes), 2004, hlm. 4

18

(9)

hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaan atau mungkin hal yang sebaliknya.

Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat atau seperti ucapan lacassagne bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita mengetahui banyak tentang faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bawa kejahatan merupakan salah satu bentuk perkembangan perilaku manusia yang perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu fakta, baik pada masyarakat yang paling sederhana (primitive) maupun pada masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat.19

Begitu eratnya pengaruh perkembangan teknologi dengan kejahatan terkadang membuat hukum seakan terpana melihat pesatnya perkembangan tersebut. Seingga terkadang hukum terlambat untuk mengimbangi perkembangan teknologi. Dalam tindak pidana teknologi informasi ini juga, hukum seakan sempat tertinggal dalam pesatnya kemajuan internet. Sehingga seperti telah diuraikan di awal bab I dimana dunia internet atau dunia maya akan menjadi hutan belantara yang tak bertuan bila terus dibiarkan tanpa hukum yang mengatur secara khusus. Karena memang meskipun dunia tersebut virtual, tetap ada suatu kehidupan di dalamnya yang sempat belum ada aturan yang mengatur di dalamnya.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, jelas diperlukan tindakan legislatif yang cermat dengan mengingat suatu hal, yakni jangan sampai perundang-undangan menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga membuat peraturan menjadi overlegislate, yang pada gilirannya justru akan membawa dampak negatif, baik di bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial ekonomi.20

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Undang-undang ini memiliki sejarah tersendiri dalam pembentukan dan pengundangannya. Rancangan undang-undang ITE mulai dibahas sejak maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik. Kemudian pada tanggal 5 September 2005 naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR RI. Pada tanggal 21 April 2008, undang ini disahkan; dengan demikian proses pengundangan undang-undang ITE ini berlangsung selama 5 tahun. Oleh karena itu undang-undang-undang-undang ITE

       19

Agus Raharjo, Op. Cit., hlm. 29-30

20

(10)

yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini merupakan undang-undang yang relatif baru baik dari segi waktu pengundangannya maupun segi materi yang diatur21.

Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam undang-undang ITE ini, yang menjadi sorotan penulis adalah “Penggunaan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.” Sehingga pembahasan lebih lanjut pengenai tindak pidana dalam pasal ini akan membahas secara rinci bagaimana undang-undang ini mengatur tindak pidana pencemaran nama baik. Tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 27 ayat (3).

Dalam penerapannya, pasal 27 ayat (3) ini telah memberikan kekhuatiran kepada masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa adanya pengaturan ini hanya menjadikan kebebasan berekspresi dari masyarakat menjadi terkekang. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh aktivis blogger, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK sendiri telah menyatakan bahwa pengaturan tersebut konstitusional sebagaimana tertera dalam putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VIII/2009.

Esensi penghinaan baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia siber adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu unsur “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber yang dapat mencapai pemenuhan unsur “di muka umum” atau “diketahui umum”. Tindakan “mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau mebuat dapat diaksesnya” dilakukan dalam rangka atau agar informasi dan atau dokumen elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian unsur “di muka umum” atau “diketahui umum” yang penjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh dalam pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE, sehingga haus tetap dibuktikan terpenuhinya unsur tersebut.

B. Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia

Tanpa disadari masyarakat sekarang telah menjadi ketergantungan terhadap teknologi. Sehingga disadari atau tidak, saat ini masyarakat telah beranjak dari yang dulunya papper-based sekarang telah menjadi papper-less.

       21

(11)

Dengan teknologi yang ada sekarang, pengguna komputer dapat dapat menyimpan atau mengirimkan informasi dalam berbagai bentuk dan dalam kuantitas yang sangat banyak. Begitu banyak fitur yang mendukung kemmajuan teknologi yang menjadi satu kesatuan dengan telepon selular. Sebut saja layanan kamera, video, perekam suara, Global Positioning (GPS), termasuk juga media sosial lainya yang memungkinkan pengguna fitur tersebut meng-update status serta foto denganmudah. Semua file dapat disimpan dalam penyimpanan berkapasitas besar dengan ukuran yang mini.

Pertanyaan yang masih sering muncul di masyarakat umum termasuk aparat penegak hukum ialah apakah informasi atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? Dan bagaimana caranya agar informasi atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah?22

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan siding pengadilan. Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan bahwa, “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.23

Melalui pembuktianlah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, jikalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang “cukup” maka terdakwa dapat dinyatakan “bersalah”, dan kepadanya akan dijatuhi hukuman.24 Namun dalam kasus tindak pidana teknologi informasi ini yang menjadi permaslahan adalah alat bukti yang diatur dalam sistem hukum yang ada di Indonesia masih belum memadai untuk menjangkau ranah dari dunia siber sendiri.

Berhadapan dengan kasus-kasus teknologi informasi, maka tentulah pembuktian dari kasus ini yang masih menjadi masalah yang perlu dihadapi. Sering kali para penegak hukum mengalami kesulitan dalam menjerat pelaku karena masalah pembuktian yang tidak memenuhi ketentuan sistem hukum pidana Indonesia. Sementara upaya penjeratan terhadap pelaku-pelaku kejahatan di dunia siber harus tetap dilakukan. Sehingga upaya yang paling memungkinkan adalah

       22

Ibid, hlm. 262

23

Andi Hamzah, Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril.,Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004), hlm., 2.

24

(12)

perluasan alat bukti sebagai solusi dari penegakan hukum di bidang teknologi informasi.25

Sejak tahun 1981 Indonesia telah memiliki pengaturan sistem pembuktian yang dikodifikasikan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termasuk didalamnya terdapat alat-alat bukti apa saja yang berlaku dalam membuktikan kebenaran materil dari suatu tindak pidana. Di dalam KUHAP diatur secara limitatif mengenai alat bukti, yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa.26

Sebagaimana bila dilihat secara seksama KUHAP dalam pembuktiannya menganut sistem pembuktian secara negatif. Dimana dalam sistem ini merupakan keseimbangan dari antara kedua sistem yang lainnya yang berlawanan. Dari keseimbangan ini, pembuktian menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.27

Ketentuan dan persyaratan mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP seperti yang telah dijelaskan dimaksudkan agar alat bukti yang diajukan di persidangan adalah alat bukti yang sah sehingga dapat digunakan di persidangan. Dengan memenuhi ketentuan dan persyaratan tersebut, alat bukti yang diajukan telah diuji terlebih dahulu baik dari segi keautentikan, relevansinya dengan tindak pidana terdakwa, maupun kualitas alat bukti tersebut. Akan tetapi, terpenuhinya seluruh syarat tersebut hanyalah salah satu kunci dalam menentukan kesalahan terdakwa. Kunci lainnya adalah keyakinan hakim. Sebab tanpa keyakinan hakim, hukuman tidak dapat dijatuhkan. Dengan kata lain, alat bukti yang sah dan keyakinan hakim adalah dua unsur yang membentuk check and balance mechanism dalam menentukan tindak pidana yang didakwakan dan kesalah terdakwa, keduanya saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan.

KUHAP memang belum mengatur ~ setidaknya secara tegas ~ mengenai alat bukti elektronik yang sah. Akan tetapi, perkembangan peraturan perundang-undangan setelah KUHAP menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengatur alat bukti elektronik. Sampai saat ini ada beberapa peraturan perundang-undangan yang secara parsial telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik. Pengaturan alat bukti pada perundang-undangan tersebut menunjukkan keberagaman, tetapi keberagaman tersebut telah diselesaikan dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengaturan tentang penggunaan alat bukti elektronik sampai sebelum muncilnya

Undang-       25

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op. Cit., hlm 100

26

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

27

(13)

Undang Nomor 11 Tahun 2008 masih diatur secara parsial, dan terpisah. Setidaknya ada 4 undang-undang yang juga telah mengatur alat bukti elektronik secara khusus.

Undang-Undang Dokumen Perusahan28 telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan informasi atau dokumen elektronik. Dalam Bab III tentang Pengalihan Bentuk Dokumen Perusahaan dan Legislasi, Pasal 15 ayat (1) undang-undang Dokumen Perusahaan menegaskan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.29 Selain itu, pada Undang-Undang Terorisme30 juga mengakui adanya alat bukti elektronik. Pasal 27 Undang-Undang Terorisme mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar… yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada Tulisan, suara, gambar, Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, Huruf, tanda, angka simbol atu perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Selanjutnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)31 juga ikut mengatur alat bukti elektronik. Alat bukti elektronik dalam undang-undang TPPU ini diatur lebih lanjut dalam pasal 38. Dalam pasal 38 diatur bahwa ada 3 jenis alat bukti dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang meliputi: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP; alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang TPPU. Serupa dengan ketiga undang-undang yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi32 juga mengatur tentang penggunaan alat bukti elektronilk. Dalam undang-undang ini mengatur secara khusu tentang alat bukti yang digunakan dalam Pasal 26A Undang-Undang PTPK. Pasal 26A Undang-Undang PTPK mengatur bahwa : Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2)Undang-Undang Nomor

       28

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

29

Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 271

30

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang

31

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

32

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

(14)

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam microfilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM), atau Write Once Read Many (WORM).

Berangkat dari adanya kebutuhan terhadap pengaturan penggunaan alat bukti elektronik, maka Undang-Undang ITE33 telah menjadi tonggak dalam pengakuan terhadap alat bukti elektronik ini. Dalam pengaturannya alat bukti elektronik dalam Undang-Undang ITE diatur dalam BAB III tentang Informasi, dokumen, dan tanda tangan ekektronik, serta pasal 44 Undang-Undang ITE. Dalam pasaal 5 Undang-Undang ITE telah secara tegas dinyatakan bahwa informasi atau dokumen elektronik beserta dengan hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (2) lebih menegaskan lagi bahwa informasi atau dokumen elektronik beserta dengan hasil cetaknya adalah perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan termasuk juga peradilan arbitrase.

Pada saat ini, alat bukti elektronik telah menjadi kebutuhan dalam proses pembuktian dalam system hukum di Indonesia. Tidak hanya untuk tindak pidana penghinaan / pencemaran nama baik yang menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini tetapi memang menjadi kebutuhan dari segala jenis tindak pidana secara keseluruhan.

Seperti telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya, bahwa dalam Undang-Undang ITE, Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik memiliki hal khusus yang membedakan dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHP. Pada dasarnya esensi dari pengaturan terhadap tindak pidana pencemaran nama baik adalah menyerang nama baik atau kehormatan seseorang. Namun yang membedakan adalah sifat dari tindak pidananya, dimana dalam KUHP adalah unsur yang dapat menyatakan tindakan itu melawan hukum adalah apabila penghinaan itu menjadi diketahui umum, sedangkan dalam Undang-Undang ITE adalah apabila adanya Informasi atau Dokumen elektronik yang berisi muatan penghinaan itu didistribusikan, ditransmisikan, atau menjadi dapat diakses oleh orang lain.

Dalam pengaturannnya (Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE) implementasi pembuktian dalam pasal tersebut harus benar-benar dengan hati-hati, jangan sampai hal ini menjadi celah bagi pihak-pihak yang arogan untuk menjadikan pasal ini sebagai pasal karet. Seperti yang pernah terjadi dalam kasus

       33

(15)

Prita Mulyasari misalnya, dimana aparat penegak Hukum menjerat perbuatan prita yang hanya berkeluh kesah atas pelayanan sebuah rumah sakit yang menurutnya kurang memuaskan lewat e-mail tersebut dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE.

Leo Batubara34 berpendapat bahwa kasus Prita Mulyasari yang dipidakan karena mengirimkan surat elektronik tentang kekecewaannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit hanyalah satu contoh dari beberapa kasus penggunaan internet untuk tujuan yang positif, yang justru berujung pada perkara hukum. Yang harus diingat, perangkat hukum dibuat bertujuan untuk menciptakan keadilan, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Untuk itu, penegak hukum harus kembali pada tujuan awal tersebut setiap kali bertindak.

dalam perjalanan di peradilan kasus prita ini terjadi perbedaan penafsiran dari para penegak hukum terkait apakah prita telah melawan hukum atau tidak. Hal tersebut terlihat dari berjalannya kasus yang terjadi dimana pada peradilan perdata yaitu tingkat kasasi, Prita dinyatakan tidak bersalah. Dalam hal pertimbangan majelis hakim kasasi perdata menyatakan bahwa perbuatan Prita bukanlah perbuatan melawan hukum melainkan hanyalah perbuatan yang berkeluh kesah pada media internet, sehingga apa yang dilakukan Prita tersebut bukanlah penghinaan. Sementara pada peradilan pidana tingkat kasasi Prita dinyatakan secara sah dan melawan hukum Bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE. Pada putusan Kasasi tersebut perbuatan Prita tersebut dikategorikan sebagai penghinaan. Meskipun pada akhirnya dalam Peninjauan Kembali, Majelis Hakim pada tingkatan ini membebaskan Prita dan menyatakan Prita tidak bersalah. Namun yang menjadi pokok adalah masih terdapatnya perbedaan penafsiran mengenai sifat melawan hukum dari perbuatan penghinaan ini yang terjadi pada tingkatan Hakim Agung dalam lingkup Pidana dan Perdata. Oleh karena itu dalam implementasi Pasal 27 ayat (3) masih menimbulkan kontroversi dan bahkan diindikasikan sebagai pasal “karet”.35 Hal tersebut telah menjadi contoh berlakunya alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik melalui internet.

Alat bukti elektronik memiliki cakupan yang luas dan jenis yang beragam, seperti surat elektronik, situs-situs pada jaringan internet, layanan pesan singkat, video, electronically stored information (ESI)36, foto digital, computer-generated

       34

Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 170

35

Ibid, hlm 172

36

ESI adalah “information created, manipulated, communicated, stored, and bes utilized in digital form, recuiring the use of computer hardware and software.” Kenneth J. Withers,Electronically Stored Information: the December 2006 Amendments to the Federal Rules of Civil Procedure, Northwestern Journal of Technology and Intellectual Property, Spring 2006,

(16)

documents and data files, termasuk hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik lainnya. Tiap jenis alat bukti elektronik tersebut memiliki karakteristik secara teknis yang memerlukan penanganan tersendiri dalam menentukan keabsahannya secara hukum. Oleh karena itu perlu adanya kesepahaman diantara kalangan aparat pengeak hukum mengenai prinsip-prinsip pengumpulan, penganalisaan, serta penyajian alat bukti elektronik yang beragam itu. Dalam hal diperlukan, dapat ditetapkan peraturan dan putusan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan pedoman dalam memeriksa alat bukti elektronik baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan. Pengaturan atau patokan tersebut dapat melalui peraturan pembentukan peraturan dibawah undang-undang, penafsiran hakim (wetintepretarie) dan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim. Peraturan yang dimaksud juga dapat berupa peraturan bersama antara instansi aparat penegak hukum yang dapat digunakan sebagai pedoman baik di pusat maupun di daerah seluruh Indonesia.

Sedangkan perihal kekuatan dan nilai pembuktian dari alat bukti elektronik tetntunya tetap sama dengan esensi dari yang terdapat dalam pasal 184 KUHAP, yaitu bersifat bebas (volledig bewijskracht) dan bersifat tidak mengikat atau menentikan (beslissende bewijskracht). Sendangkan untuk nilai pembuktian dari seluruh alat bukti tersebut kembali pada keyakian hakim. Dan keduanya tetap harus seimbang sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya.

C. Penerapan Penggunaan Alat Bukti Elektronik

Dalam penerapan proses pembuktian khususnya dalam perkara pidana masih mengalami banyak kendala dalam pengakuan penggunaan alat bukti elektronik. Di Indonesia penggunaan alat bukti elektronik memang masih belum biasa digunakan, sehingga mengalami banyak kendala. Masalah pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Beberapa negara seperti Australia, Chili, China, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the People's Republic of China 1999 menyebutkan, "bukti tulisan" yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk, seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail.37

Seperti telah kita sadari, bahwa makin hari, penggunaan teknologi khususnya teknologi informasi dalam kehidupan masysarakat Indonesia ini sendiri

       

Vol. 4, No.2, dari http://www.law.northwestern.edu/journals/njtip/v4/n2/3, diakses pada tanggal 16 April 2014.

37

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5954/data-elektronik-sebagai-alat-bukti-masih diakses pada 19 Mei 2014.

(17)

makin besar. Sehingga dalam berbagai perundang-undangan yang ada telah memunculkan adanya penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian sebelum pada akhirnya diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam penerapannya undang-undang ini telah membawa kita memasuki era yang baru yang berbasis pemanfaatan teknologi informasi.

Dalam penerapannya seringkali penggunaan alat bukti elektronik ini mengalami kendala dalam pengakuan terhadap validitasnya. Sebelumnya telah kita ketahu berbagai macam alat bukti elektronik yang ada. Semua bukti tadi diakui secara hukum setelah mendengarkan pendapat (keterangan) seorang ahli atau kustodian (dalam pasar modal). Dokumen tersebut juga bisa diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis tersebut. Cara di atas disebut sebagai pengakuan yang didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data (computer storage). Pengakuan tersebut sering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dengan dokumen konvensional.

Cara kedua untuk mengakui dokumen elektronik adalah dengan menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalkan, dengan output dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman telepon, dan transaksi ATM. Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan lain, data tersebut bisa di kesampingkan. Kemudian yang terakhir adalah dengan perpaduan dari dua metode di atas. Beberapa data elektronik dihasilkan oleh output suatu sistem komputer dan proses penyimpanan suatu sistem (computer storage). Dalam konteks ini, barulah tepat jika mempermasalahkan suatu dokumen elektronik jika ternyata di dalamnya mengandung perpaduan dari dua metode.

Keberadaan dokumen elektronik selalu menjadi pelengkap terhadap alat bukti lainnya. Artinya, penggunaan hasil cetak dalam praktek hukum di amerika bersifat sebagai ringkasan atau kesimpulan terhadap dokumen lainnya. Sebnarnya bila secara hukum tidak terjadi penyangkalan terhadap isi dari dokumen elektronik, dokumen tersebut seharusnya juga dapat diterima layaknya alat buti konvensional lainnya. Meskipun masih banyak yang ragu terhadap penggunaan alat bukti elektronik ini, putusan-putsan pengadilan yang ada suhda menunjukkan kinerja positif dalam mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.

Dalam putusan pengadilan ada beberapa yang menggunkan alat bukti elektronik dalam pembuktiannya serta diterima sebagai alat bukti yang sah, yaitu putusan perkara pidana nomor 574/Pid.B/2003/PN.Jak.Pus yang mana dalam perkara tersebut, JPU mengajukan enam orang saksi yang mana semua saksi berada di luar negeri dan berstatus sebagai tahanan, sehingga JPU meminta agar

(18)

keenam saksi terebut diperiksa melalui teleconference. Dan Hakim menerima usulan tersebut meskipun ada keberatan dari pihak terdakwa. Majelis hakim member pertimbangan dalam perkara tersebut bahwa keenam saksi tersebut memang perlu didengar keterangannya dan diuji kebenarannya dalam siding tersebut untuk mendapat kebenaran materiil dalam perkara tersebut, tentunya dengan beberapa syarat yang membuat kesaksian melalui teleconference tersebut menjadi objektif..38

Sebagai contoh lain juga dalam perkara pidana nomor 1361/Pid.B/2005/PN.JKT.PST, dimana dalam perkara ini, JPU mengajukan alat bukti berupa hasil ceta dari call data resource (CDR) yang dikeluarkan oleh salah satu dari perusahaan telekomunikasi. Melalui hasil cetak tersebut dapat diketahui adanya hubungan telekomunikasi dengan menggunakan telepon selular antara saksi dengan korban dan juga antara saksi dengan saksi (yang juga menjadi terdakwa dalam kasus yang sama). Dan tidak hanya itu, dalam hasil cetak CDR yang diserahkan dapat terlihat juga kapan tepatnya percakapan tersebut terjadi. Dan dalam perkara tersebut, para pihak yang nomor teleponnya tertera pada hasil cetak CDR tersebut, meski melakukan penyangkalan terhadap percakapan yang terdapat dalam hasil cetak tersebut, hakim memberikan pertimbangan lain yang mana menganggap sangkalan dari terdakwa tidak mendasar, sehingga hakim juga meyakini kebenaran dari alat bukti yang diajukan tersebut.39

Selain dari kedua hal tersebut, nantinya akan juga kita lihat salah satu kasus terbaru yang terjadi baru-baru ini antar Benny Handoko pemilik akun @benhan, yang mana telah dijatuhi pidana oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di mana dalam hal tersebut yang menjadi sorotan adalah, apakah memang dalam masyarakat saat ini kebebasan berpendapat yang terjadi dalam masyarakat telah dikekang, atau malah pemikiran masyarakat yang menjadi semakin sempit dalam mengartikan kebebasan berpendapat tersebut.

Pada kasus Benny Handoko tersebut dalam dakwaannya JPU telah menguraikan bahwa terdakwa Benny Handoko yang menggunakan nama @benhan dalam akun twitternya menngomentar suatu postingan dari akun tanpa nama yaitu @TrioMacan2000 yang berisi “Kenapa Misbakhun itu dianggap sbg musuh Besar oleh TEMPO? Karena dia adalah pembongkar kasus century yang dilakukan Sri Mulyani cs”, ke akun twitter terdakwa @benhan. Kemudian ditanggapi oleh @ovili : “koreksi can, Sri itu bukan korupsi tapi MERAMPOK seperti GARONG dan sejenisnya” atas dasar tweet tersebutlah maka terdakwa

       38

Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 295.

39

(19)

juga ikut menanggapi tulisan tersebut dan kemudian menulis pada akun twitternya yaitu : “koq bikin lawakan ga bisa lebih lucu lagi.. Misbakhun kan termasuk yang ikut “ngerampok” Bank Century,…Aya aya wae…”. Selain dari itu, terdakwa juga menulis “Misbakhun : perampok bank century, pembuat account anonym penyebar fitnah, penyokong PKS, mantan pegawai pajak di era paling korup”.

Dalam kasus ini, awal dari keterseinggungan korban adalah melalui isi dari tweet terdakwa. Tweet tersebut tentunya dapat kita klasifikasikan sebagai informasi elektronik.sehingga dalam dakwaannya Jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan tunggal yaitu mterdakwa didakwa melanggar pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pembuktiannya, JPU mengajukan adanya 9 lembar hasil cetak dari isi tulisan pada twitter terdakwa dan segala keterangan/informasi yang ada yang juga memuat unsur penghinaan. Dari hal tersebut JP juga mengajukan beberapa orang ahli guna mengartikan secara gramatikal isi dari tulisan Benny Handoko, agar dapat terlihat apakah unsur dari “berisi muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Dalam pembuktian perkara ini, baik JPU maupun Penasihat Hukum terdakwa (PH) juga sama-sama mengajukan ahli dalam memperkuat pembuktian mereka. Pihak Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan Ahli Dr. Made yang menyatakan bahwa dalam hukum pidana ketika ada kesengajaan untuk melakukan sesuatu, kesengajaan itu sudah dipikirkan dan akibatnya sehingga tidak berdiri sendiri tanpa akibat.Namun bila hanya sebatas mengomentari dari postingan orang, maka mensrea tidaklah muncul dalam diri terdakwa.Selain itu, ahli lain yang juga diajukan pihak terdakwa dan Penasihat Hukumnya, yaitu Ahli Bob Hardian Syahbuddin, Ph.D menyatakan bahwa hasil cetak dari posting tulisan yang termuat dalam internet tidaklah dapat dijamin keasliannya.

Dari pihak JPU ahli yang diaukan cenderung lebih untuk menjelaskan makna gramatikal dari tulisan yang dibuat dari terdakwa dalam twitternya. Ahli yang diajukan JPU merupakan ahli bahasa yang pada pokok keterangannya melihat bahwa isi dari tweet yang diposting oleh terdakwa pada dasarnya memang mengandung makna yang denotasi yaitu “merampok” yang jelas kita ketahui arti dari kata tersebut adalah negatif sifatnya.Seorang ahli hukum yang diajukan oleh JPU Dr. Mudzakkir, SH., MH., juga berpendapat bahwa memang kata ngerampok yang dituliskan oleh terdakwa dalam twitternya termasuk kedalam kategori menyerang kehormatan dari subjek hukum tertentu, yang mana nama baiknya menjadi tercemar apabila memang tidak ada bukti yang mengatakan bahwa subjek hukum yang dimaksud (Misbakhun) benar merampok bank century.Sehingga memang pernyataaannya yang ada dalm twitter tersebut memanglah tanpa hak.Sebelum menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, Majelis hakim telah terlebih dahulu menguraikan unsur-unsur pasal yang didakwakan dan juga

(20)

memberi pertimbangan hukum.Dalam Putusannya Majelis Hakim yang menangani perkara ini menyatakan bahwa Terdakwa Benny Handoko telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.40

Dalam wawancara41 terhadap Hakim Ketua dari Majelis Hakim yang menangani perkara ini yaitu Dr. H. Suprapto, SH, MH. Ada beberapa topik menarik yang diutarakan oleh beliau terkait penggunaan alat bukti elektronik. Beliau menuturkan bahwa memang, pengaturan khusus yang dimuat dalam Undang-Undang ITE khususnya pasal 27 ayat (3) tersebut, memang telah tepat. Mengingat pasal tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari pencegahan tehadap pengguna internet, agar lebih hati-hati dalam bertuturkata di dunia maya. Beliau juga menyatakan bahwa pengaturan pasal ini merupakan hal yang wajar, dan ketika masyarakat berpendapat bahwa pasal ini dapat menyebabkan terkungkungnya hak menyatakan pendapat, maka itu hanyalah pendapat pribadi orang-orang tertentu. “toh putusan MK kan sudah menyatakan hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar” tambah beliau.

Beliau juga menyatakan bahwa “sepanjang penulisan pada media sosial itu jelas dan dapat dilacak siapa orangnya, maka kalu memang melanggar ya ditindak saja. Apalagi kalau memang subjeknya merasa telah dicemarkan” tutur beliau.Beliau juga menuturkan kesulitan dalam penggunaan alat bukti elektronik. Salah satu yang menjadi poin penting dalam penggunaan alat bukti elektronik adalah ketika penyimpanan, karena seperti HP, laptop ataupun alat elektronik lainnya bila disimpan lama akan mudah berubah fungsinya, yang juga dapat mengakibatkan kerusakan pada alat-alat tersebut. Sehingga terkadang bila rusak tidak dapat diajukan dalam persidangan, oleh karena itu bentuk lain dari bukti aslinya pun harus ada seperti hasil cetak.

Beliau menambahkan bahwa pada dasarnya pencemaran nama baik adalah antara seseorang dengan seseorang lain yang merasa nama baiknya tercemar. Memang ada di beberapa negara eropa yang meletakkan kasu seperti ini sebagai hukum privat. Bila diterapkan di Indonesia, sebaiknya hukum pidana tetap ada, karena ini juga menyangkut kepentingan umum. Dan untuk hukum perdatanya sebenarnya sudah ada dalam KUHPerdata, beliau menyebutkan pasal 1365 KUHPerdata sebagai dasar dalam pencemaran nama baik ini digugat secara perdata karena tergolong Perbuatan Melawan Hukum dimana dikuatkan setelah adanya putusan pidana terhadap hal tersebut.

       40

Amar pertama Putusan Perkara Pidana Nomor 1333/Pid.sus/2013/PN.Jkt.Sel

41

(21)
(22)

IV. Penutup A. Kesimpulan

Pada hakekatnya hukum diberlakukan untuk memberikan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang ada dimasyarakat. Lebih jauh dari itu, sebenarnya hukum juga diperlukan untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak publik. Konsep hukum juga terkait dengan hak asasi manusia sehingga politik pemidanaan juga sagat ditentukan oleh hak asasi manusia. Dalam perkembangan hukum modern menunjukkan adanya penghargaan lebih tinggi terhadap kebebasan berekspresi dan jaminan terhadap hak asasi manusia secara integratif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penulisan skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut, :

1. Perkembangan teknologi Informasi telah membawa dampak yangsignifikan dalam dunia hukumdi indonesia. Terkhusus dalam mberkembangnya jenis-jenis tindak pidana yang ada, terutama yang terkait dengan teknologi informasi. Media sosial yang sebenarnya diperuntukkan sebagai alat komunikasi baru dalam hal pertemanan jarak jauh, kini juga telah menjadi sarana kejahatan yang membuat muncul berbagai jenis kejahatan baru.Indonesia menjawab pengaruh internet dalam dunia hukum dengan mengeluarkan produk hukum yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pengaturannya TindakPidana terkait Teknologi Informasi diatur dalam BAB VII tentang perbuatan yang dilarang.

2. Terkait penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik, informasi pada media sosial tersebut sah digunakan sebagai alat bukti hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE. Penggunaan alat bukti tersebut juga tetap harus didasarkan kepada sistem pembuktian yang berlaku dalam KUHAP. Dengan kata lain penggunaan alat bukti elektronik dalam persidangan juga harus tetap disertai dengan alat bukti lainnya sesuai dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana Indonesia, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

3. Dalam penggunaannya masih perlu pengaturan yang lebih khusus terhadap proses pengumpulan alat bukti elektronik ini sendiri. Haliini didasarkan kepada kurangnya kepercayaan masyarakat dalam penggunaan alat bukti elektronik ini. Ketidak percayaan tersebut terjadi karena memang dari sifat alat bukti elektronik itu sendiri yang mudah diubah, mudah rusak, dan mudah hilang sehingga dalam pengumpulannya sering muncul keraguan terhadap aparat penegak hukum yang melakukan proses pengumpulan alat

(23)

bukti tersebut. Dalam proses penerapannya, alat bukti elektronik sudah mendapatkan tempat yang juga sama dengan alat bukti yang lain. Khususnya dalam kasus yang masih baru terjadi dan baru selesai diputus pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada perkara nomor 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel atas nama terdakwa Benny Handoko. Dimana dalam perkara tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan alat bukti elektronik berupa 9 lembar hasil cetak dari isi postingan dari terdakwa yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Dan dengan serangkaian proses persidangan maka majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut menjatuhkan voniskepada terdakwa dan menyatakan terdakwa secaara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memilikimuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

B. Saran

Penggunaan alat bukti elektronik memang telah menjadi kebutuhan, mengingat era globalisasi yang membuat jaringan internet dapat digunakan sebagai media yang juga dapat digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, maka yang terpenting adalah dapat menjaga penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana menjadi alat bukti yang sah dan tidak menimbulkan suatu keraguan dalam penggunaannya. Seperti dalam bagian sebelumnya, bahwa kelemahan dalam penggunaan alat bukti elektronik ini adalah pengakuan atas alat bukti tersebut. Maksudnya, dalam penggunaan alat bukti elektronik apalagi yang merupakan informasi atau dokumen elektronik yang terdapat dalam media sosial seringkali diragukan ketersediaann, keutuhan, keotentikan, dan juga keteraksesannya. Dalam hal ini tentu yang menjadi benteng dalam mengakui penggunaan alat bukti elektronik adalah adanya digital forensik. Sehingga melalui digital forensik dapat dijamin keaslian dan juga keotentikan alat bukti yang diajukan. Dari beberapa hal tersebut, maka ada beberapa saran yang dapat menjadi perbaikan dalam system hokum kedepannya, yaitu :

1. Dalam hal menjaga ketersediaann, keutuhan, keotentikan, dan juga keteraksesannya alat bukti elektronik, maka peran penting dipengang oleh para ahli digital forensik. Sehingga dengan adanya skripsi ini, kiranya dalam bidang hukum dan juga bidang teknologi perlu selaras untuk mengadakan beberapa seminar ataupun pelatihan tentang digital forensik ini, agar penggunaan alat bukti elektronik tidak lagi diragukan keotentikannya.

2. Dalam penggunaan keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana sudah mulai sering dilakukan. Dengan dibarengi adanya kemampuan dalam digital forensik yang

(24)

mempuni, maka akan menjadi jaminan dalam menggunakan alat bukti tersebut. Sehingga dengan demikian keraguan terhadap keaslian serta keotentikan terhadap keterangan pada media sosial yang digunakan sebagai alat bukti tidak lagi menjadi pokok permasalahan.

3. Dengan perlunya kemampuan terhadap digital forensik untuk menepis keraguan tersebut, maka juga diperlukan pengaturan terhadap ketentuan digital forensik terhadap alat bukti elektronik. Hal ini diperlukan guna mengatur pelaksanaan digital forensik untuk menjamin ketersediaann, keutuhan, keotentikan, dan juga keteraksesannya alat bukti elektronik. Sehingga akan diperlukan suatu peraturan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun putusan pengadilan dalam mengatur hal ini.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU – BUKU

AndiHamzah, Mohammad TaufikMakarao, danSuhasril., HukumAcaraPidanadalamTeoridanPraktek, PenerbitGhalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Dikdik M. Arief Mansur danElisatrisGultom, Cyber Law AspekHukumTeknologiInformasi, RefikaAditama, Bandung, 2005.

Harahap, M. Yahya., PemabahasanPermasalahandanPenerapan KUHAP: PemeriksaanSidangPengadilan, Banding, Kasasi, danPeninjauanKembali, SinarGrafika, Jakarta. 2000.

Judhariksawan.PengantarHukum Telekomunikasi, PT RajaGrafindoPersada, Jakarta, 2005.

Magdalena , Merry danMaswigrantoro Roes Setyadi. CyberlawTidakPerluTakut, Andi, Yogyakarta, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010.

Maskun.KejahatanSiber (Cyber Crime) SuatuPengantar, Kencana, Jakarta, 2013.

Raharjo,Agus. Cybercrime –

PemahamandanUpayaPencegahanKejahatanBerteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Sitompul, Asril. Hukum Internet (PengenalanMengenaiMasalahHukum di Cyberspace), PT. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 2001.

Sitompul, Josua .Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw :TinjauanAspekHukumPidana, Tatanusa, Jakarta, 2012.

Suharyanto, Budi. TindakPidanaTeknologiInformasi (Cyber Crime) :UrgensiPengaturandanCelahHukumnya. RajawaliPers, Jakarta, 2013.

Soesilo, R., KitabUndang-UndangHukumPidana (KUHP) sertaKomentar-komentarnyaLengkapPasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1988.

UNDANG-UNDANG

Undang-undangNomor 11 Tahun 2008 TentangInformasidanTransaksiElektronik. Undang-undangNomor 44 Tahun 2008 TentangPornografi

(26)

Undang-undangNomor 1 Tahun 1946 TentangKitabUndang-UndangHukumPidana (KUHP)

Undang-UndangNomor 8 Tahun 1997 TentangDokumen Perusahaan

Undang-UndangNomor 15 Tahun 2003 tentangPenetapanPemerintahPemerintahPenggantiUndang-UndangNomor 1 Tahun 2002 tentangPemberantasanTindakPidanaTerorisme, MenjadiUndang-Undang INTERNET http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5954/data-elektronik-sebagai-alat-bukti-masih  ARTIKEL

Putusan Perkara Pidana 1333/Pid.sus/2013/PN.Jkt.Sel

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, naskah akademik Kejahatan Internet (Cybercrimes),2004.

Referensi

Dokumen terkait

Orang berdosa itu harus datang dan percaya pada karya Kristus yang sudah genap dan percaya bahwa hanya di dalam Kristus urusan dosa bisa diampuni dan orang

Pada domba betina umur 18 bulan, penciri utama ukuran tubuh diketiga lokasi penelitian berbeda-beda yaitu lebar pangkal ekor di Palu Timur, tinggi pinggul domba di Palu Selatan

2 Tahun 2012 yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 yang pada intinya menyatakan bahwa perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh terdakwa dikatakan perbuatan pidana yang

Dari data hasil penelitian pada siklus I pertemuan ke 2 dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas diperoleh nilai rata-rata

Faktor lainnya yaitu adanya rasa malu dari pasangan suami istri tersebut untuk mengakui bahwa dalam rumah tangganya telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga,

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Tarkalil sebagai Kepala Bagian Humas yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2019 dan data