• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI BANYUMAS A. Pilkada Langsung Produk Reformasi - DINAMIKA PEMILIHAAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2008 DAN 2013 - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II SEJARAH PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI BANYUMAS A. Pilkada Langsung Produk Reformasi - DINAMIKA PEMILIHAAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2008 DAN 2013 - repository perpustakaan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

DI BANYUMAS

A. Pilkada Langsung Produk Reformasi

Pilkada langsung di Indonesia produk reformasi yang dimulai 2005 sering dikatakan sebagai “lompatan demokrasi”. Istilah ini bisa diartikan positif maupun negatif. Dalam pengertian posistif, pilkada langsung merupakan sarana demokarsi untuk memberi kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih kepala daerah secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Sarana ini akan membuat keseimbangan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Meskipun rakyat tidak terlibat langsung dalam pengembalian keputusan pemerintah sehari-hari, mereka dapat melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan yang sudah mendapat mandat langsung dari rakyat. (Amirudin dan Zaini Bisri, 2006: 5).

(2)

2005 dipilih secara demokratis langsung oleh rakyat melalui proses Pemilu Kepala Daerah. Pemilihan daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.

Pilkada langsung di Banyumas merupakan bagian dari produk reformasi Indonesia, sejak Juni 2005 dipilih secara demokratis langsung oleh rakyat melalui proses Pemilu Kepala Daerah. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, pilkada dimasukan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berkaitan dengan penyelengaran Pilkada pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian beberapa ketentuan diubah, perubahan tersebut tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kemudian diubah melalui PP Nomor 27 Tahun 2007 dan yang terahir beberapa kententuan diubah kembali melalui PP Nomor 49 Tahun 2008.

(3)

Banyumas dari berbagai partai politik yang memiliki hak suara dalam kontestasi politik tersebut dalam situasi tarikan kepentingan politik yang bersifat pragmatis, yaitu dalam bayang-bayang money politic.

B. Politik Banyumas

(4)

ormas (organisasi masyarakat) selalu menang mutlak di wilayah Banyumas.

Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi yang ditandai dengan sistem multipartai, membuka harapan baru. Namun lagi-lagi, partai nasionalis terlalu kuat untuk digeser dominasinya. Pada Pemilu 1999 PDIP memperoleh suara terbanyak di wilayah ini dengan meraup suara sebanyak 47,49% atau 19 kursi, menang mutlak dan Golkar merosot drastis dengan hanya meraup 6 kursi DPRD. Namun, kondisi ini tidak berlaku pada Pemilu 2004. Tingginya ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintahan Megawati dan gagalnya wakil PDIP di legislatif untuk merepresentasikan diri sebagai wakil wong cilik menjadi penyebabnya. Dan terbukti, ternyata perolehan suara PDIP menurun drastis menjadi 36,56%. Meski demikian, PDIP masihlah menduduki peringkat tertinggi.

(5)

sebelumnya hanya dikenal di perkotaan, kini mampu melakukan penetrasi hingga ke pedesaan.

Munculnya pasangan Mardjoko-Achmad Husein menjadi pemenang, mengalahkan dominasi PDIP di era pasca orde baru, seakan menguatkan fakta alam demokratis yang berlangsung di wilayah ini, bahwa tidak ada satupun kekuatan politik yang mampu menancapkan pengaruhnya secara kekal. Sejarah konstelasi politik modern di wilayah yang berpenduduk sekitar 1.734.154 orang ini kerap kali memunculkan peta baru dalam penguasaan politik. Meskipun sama-sama berideologi nasionalis. Kemenangan pasangan Mardjoko-Achmad Husein memunculkan kondisi yang sering disebut dengan anomali politik, karena pasangan tersebut didukung oleh partai yang tidak mempunyai suara mayoritas di pemilu legislatif. (data dari BPS Banyumas)

(6)

bagian Banyumas, adalah tempat yang dipilih oleh Tan Malaka untuk melakukan kongres bersama pimpinan partai politik lainnya. Di kota ini pula Partai Murba, sebagai salah satu partai yang besar di era pergerakan digagas. Di masa peralihan kekuasan dari orde baru ke orde reformasi, Banyumas juga merupakan salah satu penggerak reformasi yang ditandai maraknya unjuk rasa yang digelar oleh mahasiswa dari berbagai kampus di wilayah ini. (luthfi.makhasin@gmail.com diakses tanggal 15 Agustus 2016)

Kondisi yang dinamis itu muncul tidak lepas dari kondisi masyarakat Banyumas yang selalu terbuka dalam menerima hal baru. Kepemimpinan Mardjoko-Achmad Husein termasuk hal yang baru bagi masyarakat Banyumas. Selain Bupati dan Wabup pertama melalui pemilihan langsung, keduanya adalah pemimpin politik yang berasal dari non-militer. Perlu diketahui sejak tahun 1966, Banyumas selalu dipimpin dari kalangan militer. Di tengah keterbukaan politik yang kian berembus, kondisi masyarakat ini akan dimanfaatkan oleh kontestan Pilkada mendatang. Pemenang pilkada nanti adalah kontestan yang mampu memberikan harapan-harapan baru untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Banyumas dengan mempromosikan kemandirian sosial, keadilan sosial, dan partisipasi masyarakat

(7)

di tingkat lokal. Di Banyumas kekuatan nasionalis terpusat di lingkaran kecil intelektual moderen dengan didikan baratnya dan kalangan Priyayi yang menduduki posisi penting di birokrasi kolonial. Beberapa nama seperti dr. Grumberg sebagai salah satu pendiri Budi Utomo dan Ari Tjokroadisurjo merupakan Bupati Purwokerto 1924 – 1935 mereka adalah dua orang terkemuka yang menjadi “patron”

kalangan nasionalis di Banyumas. Dekade 1940-an menjadi figur paling ternama dalam barisan nasionalis ialah Mr. Ishak Tjokroadisurjo (Asisten Residen Banyumas, 1942 – 1945) dan Residen Banyumas 1945 – 1950 ) dan Prof. Sumitro Kolopaking Purbonegoro. (luthfi.makhasin@gmail.com diakses tanggal 15 Agustus 2016).

(8)

aktivitas gerakan Muhammadiyah sedangakan Sokaraja menjadi pusat kegiatan NU, Pesantren Kebarongan kuat dipengaruhi oleh gagasan – gagasan Pan Islamisme dengan tokoh sentralnya Kyai Zawawi Habib (luthfi.makhasin@gmail.com diakses tanggal 15 Agustus 2016).

Kalangan nasionalis dan kyai/elit agama meski memiliki gagasan sama mengenai anti kolonialisme keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan dalam orientasi dan strategi perjuangannya. Kalangan nasionalis menekankan pada terciptanya nation – state Indonesia dengan langkah – langkah politik dan mobilisasi massa, sementara kalangan Kyai/elit agama lebih menekankan pada terbentuknya tatanan moral yang islami melalui jalan dakwah dan pendidikan. Perbedaan orientasi dan strategi perjuangan dua golongan ini saling mengisi kekurangan dan bahu – membahu dalam perjuangan anti kolonialisme.

(9)

perlucutan senjata Jepang di Banyumas adalah yang terbesar di banding daerah lain.

Transisi kekuasaan yang cepat dan relatif damai dari tangan Jepang pada awal September 1945 merupakan bukti kerjasama erat antara kalangan nasionalis dan Islam di Banyumas. Mr. Ishak Tjokroadisurjo bahu-membahu dengan Kyai Raden Muchtar (NU), Kyai Abu Dardiri (Muhammadiyah), dan Sudirman (tokoh pemuda/PETA/Muhammadiyah) dalam menggalang dukungan bagi revolusi kemerdekaan Indonesia.

(10)

C. Politik Banyumas Masa Orde Baru dan Awal Reformasi

(1988-2003)

Pada masa Orde Baru di pelbagai daerah di Indonesia yang menduduki jabatan pemerintah daerah hampir di dominasi dari kalangan militer begitupun di Banyumas. Kontrol militer terhadap rakyat Indonesia secara menyeluruh di semua sendi kehidupan dimana para perwira militer ikut andil dalam aspek kehidupan politik praktis, ekonomi, dan sosial.

Pada awal 1960-an militer memiliki struktur organisasi yang hebat „manajemen teritorial‟ dimana para perwira militer mengawasi

sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial, mengontrol langsung rekan administratif sipil mereka sampai ke tingkat kabupaten. Singkatnya sejak lahir Orde Baru petinggi – petinggi militer mendominasi elit pemerintahan Soeharto, tujuan utama rezim ini adalah melanggengkan kekuasaan. Untuk itu, stabilitas perekonomian yang goyah pada 1965 perlu segera dipulihkan agar alat kelembagaan kekuasaan dipertahankan dan diperkuat sampai tingkat terkecil (Julie Southwood – Patrick Flagnan 2013:63).

(11)

pohon setiap cabangnya sampai dengan akar – akarnya harus diisi dengan kroni – kroninya sehingga pemerintahan pusat memiliki kontrol yang kuat hingga lapisan bawah. Letkol Djoko Sudantoko adalah Bupati Banyumas yang berkuasa pada masa orde baru, menduduki jabatan bupati selama dua periode yaitu 1988-1993 dan periode 1993-1998. (Data di BPS laporan DPRD Banyumas)

Untuk mendukung kebijakan pengembangan kawasan kota Purwokerto, pemerintah Kabupaten Banyumas melakukan kebijakan pembebasan tanah bondo desa di wilayah perkotaan dengan menggantikan tanah bondo desa di wilayah desa lain. Praktek tukar guling tanah bondo desa ini salah satu langkah politik yang banyak dilakukan oleh bupati Letkol Djoko Sudantoko selama dua periode kepemimpinannya dalam kaitannya dengan elit pengusaha. Pihak yang paling diuntungkan oleh Made, sebagai pengusaha yang menguasai bisnis perumahan dan pertokoan. Made bisa dikatakan sebagai aktor utama yang “menggosok” bupati agar melakukan serangkaian kebijakan tukar guling tersebut. Akhirnya Made sebagai pemilik modal, menguasai tanah “bondo desa” yang telah di tukar guling pada

(12)

Kabupaten Banyumas di dominasi oleh dua elit penting yang saling menguntungkan yaitu antara elit politik (Bupati) dengan elit ekonomi (penguasaha, Made) (Ahmad Rofik dkk. 2010: Vol2)

Sepanjang sejarah politik orde baru Kabupaten Banyumas selalu dipimpin oleh militer aktif. Demikian pula berakhirnya kekuasaan Bupati Banyumas Letkol Djoko Sudantoko, digantikan oleh Letkol Inf. Aris Setiono untuk masa jabatan 1998-2003 pada masa transisi politik nasional dari rezim orde baru ke masa reformasi. Seiring dengan maraknya gerakan reformasi politik nasional, maka pada aras lokal Kabupaten Banyumas juga terjadi dinamika politik lokal. Yaitu, jika pada masa orde baru relasi elit politik dan elit ekonomi bersifat monolitik, maka pada masa reformasi terjadi dinamika elit lokal yaitu memperebutkan arena politik dan ekonomi lokal dalam rangka upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Arena politik dan ekonomi tidak lagi di dominasi elit politik pemerintah (Bupati) dengan elit ekonomi (pengusaha keturunan tionghoa, Made) saja. Pada level elit ekonomi, tampilnya kelompok pengusaha pribumi dan keturunan Arab di Purwokerto (Nasir,keluarga Ba‟asyir, Ali Basalamah), dan elit pengusahaTionghoa lainnya (Buntoro), kemudian pada tahun 2008 pengusaha pribumi (Wisnu Suhardono) besar di Jakarta dari lingkungan “cendana” pada

(13)

berperannya elit-elit partai politik, diantaranya dr. Tri Waluyo Basuki (politisi PDIP, Ketua DPRD Kabupaten Banyumas 1999-2004), dan Herman (Ketua DPC PDIP, Ketua DPRD Kabupaten Banyumas 2004-2009), Musaddad Bikri Noor (politisi PKB), Haris Subiyakto (politisi Partai Golkar).

D. Pilkada Banyumas Tahun 2003

Pilkada Banyumas 2003 merupakan pilkada pertama yang dipilih oleh anggota DPRD hasil pemilu reformasi 1999. Dalam kontestasi politik lokal ini terjadi persaingan politik yang terbuka antar elit politik sebagai calon bupati. Para anggota DPRD Kabupaten Banyumas dari berbagai partai politik yang memiliki hak suara dalam kontestasi politik tersebut dalam situasi tarikan kepentingan politik yang bersifat pragmatis, yaitu dalam bayang-bayang money politic.

Tabel 1. Peta Politik Anggota DPRD Kabupaten Banyumas 1999-2004

No Perwakilan Politik Jumlah Kursi

1. PDI Perjuangan 17

2. PKB 8

3. P Golkar 6

4. PAN 5

5. PPP 2

6. PBB 1

7. PDI 1

8. TNI/Polri 5

Jumlah 45

(14)

Pertarungan politik paling seru adalah antara calon bupati Letkol Inf Aris Setiono (Bupati, incumbent) dicalonkan Fraksi Partai Golkar dengan calon bupati Drs Bambang Priyono, MSi (Sekda Kabupaten Banyumas) dicalonkan Fraksi PDIP dan Fraksi PKB. Munculnya dr. Tri Waluyo Basuki (anggota F-PDIP dan Ketua DPRD Kabupaten Banyumas) dirinya merasa kesal tidak dicalonkan F-PDIP akhirnya dicalonkan oleh Fraksi Gabungan.

(15)

Tabel 2. Profil Calon dan Partai Pengusung

Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Banyumas dalam Pilkada 2003

Sumber: Diolah dari data DPRD di BPS Kabupaten Banyumas

Dalam hitungan politik, diatas kertas Drs.Bambang Priyono, MSi didukung dua kekuatan fraksi yang cukup besar (PDIP dan F-PKB), sementara Letkol Inf Aris Setiono sebagai bupati yang militer di dukung kekuatan politik orde baru (F-Partai Golkar dan Fraksi TNI/Polri). Tetapi pada kenyataannya dr. Tri Waluyo Basuki memainkan peranan yang sangat penting dan signifikan dalam memecah suara F-PDIP.

Pemilihan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Banyumas dilaksanakan dalam dua putaran dengan kemenangan tipis, selisih 1 (satu) suara pada putaran pertama oleh Drs Bambang Priyono, MSi (16 suara) atas Letkol Inf Aris Setiono (15 suara). Sementara dr. Tri Waluyo Basuki memperoleh 14 suara. Pada pemilihan putaran kedua

No Pasangan Calon

Bupati&Wakil

Latarbelakang Calon Partai

Pengusung

1. Letkol Inf Aris Setiono Drs Imam Durori, Mag

Bupati Banyumas Anggota DPRD F-PKB

F-P Golkar 2. Drs Bambang Priyono, Msi

Musaddad Bikri Noor, SH

Sekda Banyumas Ketua DPC PKB

Koalisi F-PDI

Perjuangan & F-PKB 3. dr. Tri Waluyo Basuki

Drs Restriarto Efiawan, MM

(16)

akhirnya dimenangkan oleh Letkol Inf Aris Setiono memperoleh 28 suara, sementara Drs Bambang Priyono, MSi hanya memperoleh 17 suara, bertambah 1 suara. Peran politik penting dimainkan oleh dr. Tri Waluyo Basuki dalam menarik dukungan suara untuk memenangkan Letkol Inf Aris Setiono. Tentu saja dukungan politik dr Tri Waluyo Basuki kepada Letkol Inf Aris Setiono melalui proses negosiasi politik yang sangat singkat, oleh karena dari pemilihan putaran pertama ke pemilihan putaran kedua hanya dibatasi jeda waktu istirahat 15 menit. Pasangan Letkol Inf Aris Setiono terpilih sebagai Bupati Banyumas untuk masa jabatan 2003-2008.

Tabel 3. Perolehan Suara Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Banyumas dalam Pilkada 2003

Sumber: Diolah dari data DPRD di BPS Kabupaten Banyumas

No Pasangan Calon Bupati & Wakil Putaran I Putaran II 1. Letkol Inf Aris Setiono

Drs Imam Durori

15 28

2. Drs Bambang Priyono Musaddad Bikri Noor, SH

16 17

3. dr. Tri Waluyo Basuki Drs Restriarto Efiawan, MM

(17)

E. Undang-Undang Pilkada Tahun 2007

Pemilihan Presiden dan wakil presiden secara langsung pada tahun 2004 menjadi tolak ukur dilakukannya pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Hal itu telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 yang berbunyi “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Pasangan yang maju sebagai calon

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik. Setelah revisi tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pasangan calon yang maju Pilkada tidak hanya pasangan calon yang diusung partai atau gabungan partai politik, akan tetapi pasangan calon yang berangkat dari jalur perseorangan atau independen.

(18)

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.(Jurnal Fakultas Hukum Unibersitas Pancasila: Vol. No.1 Februari 2014)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dengan demikian merupakan proses politik yang tidak saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui pemilu); tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi politik yang sesungguhnya.

Pilkada di Banyumas tahun 2008 belum memunculkan pasangan calon dari jalur perorangan atau independen hal itu karena Pilkada tahun itu merupkan pengalaman kali pertama masyarakat Banyumas melakukan pemilihan Kepala Daerah secara langsung.

(19)

Gambar

Tabel 3. Perolehan Suara Pasangan Calon Bupati dan Wakil

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh kepemimpinan (leadhership) calon kepala daerah akan berkorelasi positif terhadap orientasi perilaku pemilih. Pemilih akan cenderung mendasarkan pilihannnya

(b) Adanya kelemahan dalam pengaturan Pilkada yang kemudian menimbulkan berbagai pesoalan, yaitu: (i) tidak adanya sanksi bagi pasangan calon yang tidak membuat atau menyerahkan

Hal tersebut dikarenakan salah satu pasangan calon kepala daerah tidak memnugi syarat dan kurang adanya transparansi dari KPUD mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT),

Dengan sasaran partai politik yang ada di Kabupaten Pelalawan, partai-partai politik yang sepakat untuk berkoalisi, serta pasangan calon bupati dan wakil bupati

Gabungan Partai Politik adalah dua partai politik peserta pemilihan umum atau lebih yang secara bersama-sama bersepakat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon Kepala Daerah dan

Penulisan Skripsi yang berjudul “Strategi Pemenangan Pasangan Sanusi dan Didik Gatot Subroto (SanDi) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Kabupaten

Dari tiga bentuk komunikasi politik yang digunakan para pasangan calon kepala derah dalam pemilu kepala daerah di Bali pada tahun 2010, ternyata bentuk komunikasi

Kedua , Walaupun partai politik mempunyai peran yang positif akan tetapi masyarakat dalam menentukan pilihannya lebih memilih pasangan calon bupati yang mempunyai