BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir batin ini harus ada, karena
ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan yang tidak formal, sedangkan
ikatan merupakan hubungan yang tidak formalatau tak dapat dilihat. Namun
harus tetap ada, sebab tanpa ikatan batin itu, ikatan lahir akan rapuh
(MarwanH, 2015:3-4).
Pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam, perkawinan termasuk
dalam lapangan “Mu’amalat” yaitu lapangan yang mengatur hubungan antara
manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Hubungan antara manusia ini
dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Hubungan kerumahtanggaan dan kekeluargaan.
2. Hubungan antara Perseorangan di luar hubungan kekeluargaan dan
rumahtangga.
3. Hubungan antara bangsa dan kewarganegaraan (Ali Afandi,1987: 20).
Dilihat dari aspek hukum perkawinan adalah merupakan suatu
perjanjian. Dalam firman Allah S.W.T dijelaskan:
Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai atau mengandung 3 (tiga)
karakter yang khusus, yaitu:
1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah
pihak.
2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikatpersetujuan
perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian
tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak
dan kewajiban masing-masing pihak (Soemiyati, 1982: 9-10).
Berdasarkan pengertian di atas, perkawinan yang dicita-citakan adalah
ikatan lahir batin antara suami dan istri untuk mewujudkan keluarga bahagia
dan kekal. Akan tetapi pada saat ini di mana kemajuan teknologi semakin
maju dan budaya-budaya luar masuk begitu saja dan terealisai dalam
kehidupan masyarakat ditambah lagi permasalahan hak atau kesetaraan gender
begitu dielu-elukan yang terjadi saat ini masalah-masalah semakin banyak,
misalnya dengan faktor ekonomi(Sudikno Mertokusumo, 2002: 178-181).
Faktor ini sering sekali menunjang perceraian di kehidupan rumah tangga
seseorang. Pada dasarnya untuk membangun sebuah keluarga harus
mempunyai ekonomi yang cukup, apabila faktor ekonomi tersebut tidak
terpenuhi akan sangat fatal dalam keluarga tersebut. Dengan adanya faktor
Cerai adalah putusnya perkawinan antara suami dan istri, dengan
tekanan terputusnya hubungan ikatan perkawinan antara suami istri. Penyebab
putusnya perkawinan menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
ialah:
a. Karena kematian.
b. Karena perceraian.
c. Karena putusan pengadilan (Ali Afandi, 1987: 32-35).
Putusnya perkawinan karena perceraian, diperbolehkan dalam kondisi
yang sangat khusus dan berdasarkan alasan cerai yang dibenarkan oleh
undang-undang,itu sebabnya di dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan pembatasan kondisinya,
yaitu jika kondisiikatan perkawinan sudah retak atau berantakan dan sudah
sampai ke tingkat kualitas tidak mungkin rukun lagi, maka dalam hal ini
suami istri sudah membutuhkan suatu penyelesaian akhir yaitu dengan cara
perceraian. Berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa
putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena
talak atau berdasarkan gugatan cerai (Nur Muhaimin, 1986: 58).
Menurut Kompilasi Hukum Islam putusnya perkawinan karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau karena gugatan perceraian.Hal ini
dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara
a. Cerai Talak, yaitu perceraian atas kehendak seorang suami yang beragama
Islam yang akan menceraikan istrinya dengan mengajukan permohonan ke
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.
b. Cerai Gugat, yaitu perceraian atas kehendak seorang istri terhadap
suaminya dengan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan(Zahri Hamid,
1977: 98-128).
Dalam Pasal 66 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama ditentukan bahwa:
“Permohonan izin ikrar talak diajukan kepada Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (istri)”.
Selanjutnya dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama ditentukan bahwa:
“Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri)”.
Prinsip pengajuan gugatan perceraian baik di dalam cerai talak maupun cerai
gugat, diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
istri. Prinsip ini bertujuan untuk memberi kemudahan bagi pihak istri, seperti
halnya tujuan dari diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama, diantaranya untuk memberikan perlindungan
kepada kaum wanita (Moch Imam, 1998: 291).
Pengajuan suatu perkara perceraian dimulai sejak diajukannya gugatan
perceraian tersebut didaftarkan harus sudah mengadakan pemeriksaan. Dalam
sidang pemeriksaan tersebut dihadiri oleh penggugat dan tergugat atau
wakilnya yang mendapat kuasa khusus dari mereka. Hal ini menimbulkan
pertanyaan yang sangat signifikan terhadap kasus perceraian ini, bagaimana
jika pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan selama proses
persidangan?
Berdasarkan uraian diatas, Hakim dapat mengabulkan dengan
menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat atau verstek (in absensia)
dengan syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:
1. Tergugat telah dipanggil secara patut.
2. Tergugat atau kuasanya tidak datang ke persidangan pada hari sidang yang
telah ditentukan.
3. Gugatan penggugat bersandar hukum dan beralasan.
4. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
relatif.
5. Penggugat hadir di persidangan (Soemiyati, 1989: 103-108).
Dalam hal Hakim menjatuhkan putusan verstek ini para ahli berbeda
pendapat. Ada yang berpendapat putusan verstek dapat dijatuhkan pada sidang
pertama, dan ada pendapat lain yang menyatakan putusan verstek dijatuhkan
pada sidang kedua setelah Pengadilan memanggil pihak tergugat sekali lagi,
artinya dijatuhkannya putusan verstek dapat dilakukan oleh hakim pada sidang
Putusan verstek dijatuhkan tanpa membuktikan terlebih dahulu
dalil-dalil gugatan yang dikemukakan oleh penggugat, karena tidak dibantah oleh
tergugat. Ketidakhadiran tergugat dianggap mengakui dalil gugatan.Oleh
karena itu gugatan dikabulkan tanpa pemeriksaan pembuktian.Akan tetapi
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, pemeriksaan verstek
dilakukan tidak terbatas hanya pada terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana
disebutkan diatas, namun hakim wajib pula membuktikannya lebih lanjut
dengan alat-alat bukti lainnya, yang bertujuan untuk menghindari kebohongan
dan permainan oleh penggugat (Purwosusilo, 2014: 89).
Hakim tidak langsung menjatuhkan putusan verstek pada sidang
pertama, maka Hakim memerintahkan pengunduran sidang dan bersamaan
dengan itu memerintahkan juru sita memanggil tergugat untuk kedua kalinya
supaya datang pada tanggal yang ditentukan. Batas waktu toleransi
pengunduran hanya sampai 3 (tiga) kali saja. Dengan demikianapabila
pengunduran dan pemanggilan sudah 3 (tiga) kali tetapi tergugat tidak datang
menghindari sidang tanpa alasan yang sah, maka Hakim wajib menjatuhkan
putusan verstek (Marwan H, 2015: 19).
Data berikut ini adalah jumlah angka perceraian di Pengadilan Agama
Tabel 1
Data perceraian di Pengadilan Agama Cilacap tahun 2014
Bulan Cerai Talak Cerai Gugat Putusan
Verstek
Januari 173 394 178
Februari 150 312 156
Maret 150 317 149
April 151 338 180
Mei 129 295 97
Juni 153 347 214
Juli 114 246 123
Agustus 119 273 154
September 134 309 176
Oktober 171 437 245
November 123 236 132
Desember 151 332 168
Jumlah 1718 3836 1972
Sumber: Pengadilan Agama Cilacap.
Tabel 2
Data perceraian di Pengadilan Agama Cilacap tahun 2015
Bulan Cerai talak Cerai gugat Putusan
verstek
Januari 160 329 165
Februari 145 309 197
Maret 154 358 230
April 149 352 215
Mei 126 273 113
Juni 144 324 156
Juli 88 210 132
September 206 400 315
Oktober 144 308 219
November 148 342 187
Desember 123 327 145
Jumlah 1696 3767 2219
Sumber: Pengadilan Agama Cilacap.
Berdasarkan data di atas jumlah putusan perkara perceraian tahun 2014
mencapai jumlah 5554 perkara. Dari jumlah tersebut, 3582 atau sekitar
(64,5%) menggunakan perkara biasa, sedangkan yang diputus verstek yaitu
1972 atau (35,5%). Di tahun 2015 ini jumlahnya menurun yaitu ada 5463
perkara, yang terdiri dari 3244 (59,3%) berupa putusan biasa, baik dari cerai
talak maupun cerai gugat, sedangkan untuk perkara yang diputus verstek di
tahun 2015 ini lebih tinggi yaitu sejumlah 2219 (40%) dari jumlah 5463
perkara. Hal ini menunjukan potensi perceraian yang diputus secara verstek
di Pengadilan Agama Cilacap lebih meningkat dari pada tahun 2014.
Berdasarkan uraian di atas sangat menarik untuk diteliti dan mendorong
peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai putusan verstek yang berjudul
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM
PERKARA PERCERAIAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Cilacap)”.
B. Rumusan Masalah
2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya putusan verstek
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Cilacap?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan
verstek dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Cilacap.
2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya putusan
verstek dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Cilacap.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat memberikan gambaran bagi setiap orang untuk
lebih memahami tentang hukum perkawinan dan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang sekarang dirubahan menjadi
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
b. Mamberikan pemahaman kepada masyarakat tentang cara yang baik
dalam persidangan perceraian.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan bagi penulis mengenai putusan verstek dalam
perceraian.
b. Sebagai masukan bagi lembaga guna meningkatkan kualitas
c. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih