• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Spesies Phaseolus vulgaris L. atau common bean dikenal pula dengan sebutan French bean, kidney bean, haricot bean, salad bean, navy bean, snap bean, string bean, dry bean, alubia, caraota, dan frijoles. Spesies ini dibudidayakan untuk dikonsumsi baik polong mudanya maupun biji kering (dry ripe seeds) dan jarang dikonsumsi biji mudanya (green-shelled beans) (Purseglove, 1968; Hidalgo et al., 1986). Di Indonesia spesies tanaman ini disebut buncis untuk yang dikonsumsi polong mudanya atau kacang jogo untuk yang dikonsumsi biji keringnya. Kacang merah merupakan jenis kacang jogo kultivar lokal yang dikonsumsi bijinya sebagai sayuran (Sanjaya dan Permadi, 1990; Supriati dan Makmur, 1978).

Kandungan gizi pada kacang merah sangat bagus bagi kesehatan tubuh manusia. Kacang merah kering merupakan sumber protein nabati, karbohidrat kompleks, serat, vitamin B, folasin, tiamin, kalsium, fosfor, dan zat besi. Folasin adalah zat gizi esensial yang mampu mengurangi resiko kerusakan pembuluh darah (Rahmawati, 2012). Kacang merah memiliki kandungan lemak dan natrium yang sangat rendah, nyaris bebas lemak jenuh, serta bebas kolesterol. Di samping itu, kacang merah juga merupakan sumber serat yang baik. Dalam 100 gr kacang merah kering, dapat menghasilkan 4 gr serat yang terdiri dari serat yang larut air dan serat yang tidak larut air. Serat yang larut air secara nyata mampu menurunkan kadar kolesterol dan kadar gula darah. Selain kandungan serat, dalam 100 gr kacang merah mengandung energi 336 kkal, protein 23,1 gr, lemak 1,7 gr, karbohidrat 59,5 gr, kalsium 0,08 gr, fosfor 0,4 gr, zat besi 0,005 gr, vitamin B1 0,0006 gr, dan air 12 gr (Rahmawati, 2012; Yaumi, 2010).

Oleh karena kandungan gizi kacang merah yang tinggi, maka kebutuhan masyarakat akan kacang merah semakin meningkat sehingga peningkatan produksi perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kacang merah. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan benih unggul dan

(2)

2 berkualitas. Benih unggul diperoleh dari tanaman kacang merah lokal yang memiliki potensi hasil yang tinggi dan mampu menjadi plasma nutfah yang dapat digunakan sebagai bakal atau calon varietas unggul. Benih berkualitas atau bermutu tinggi diperoleh dari benih yang telah masak fisiologis dan memiliki viabilitas yang tinggi.

Meskipun telah lama dikenal di Indonesia, pengusahaan tanaman tersebut belum intensif (Supriati dan Makmur, 1978). Kacang merah atau kacang jogo yang ditanam di daerah-daerah di Pulau Jawa umumnya sudah merupakan kultivar lokal yang umumnya dibudidayakan di dataran medium (Sanjaya dan Permadi, 1990). Sampai saat ini varietas unggul kacang merah yang sudah dilepas oleh pemerintah masih sedikit dan merupakan kacang merah dengan tipe merambat (indeterminate), sedangkan untuk kacang merah tipe tegak belum ada varietas unggul yang dilepas sehingga petani masih menggunakan varietas lokal yang telah ditanam bertahun-tahun dan turun-temurun.

Areal pertanaman kacang-kacangan di Indonesia tercatat 40.266 Ha, sedangkan produksinya hanya mencapai 39.190 ton (Syamsudin, 1985). Pada tahun 1961-1967 luas areal penanaman kacang merah di Indonesia sekitar 3.200 Ha, tahun 1969-1970 seluas 20.000 Ha dan tahun 1991 mencapai 79.254 Ha dengan produksi 168.829 ton. Dengan demikian, produktivitasnya hanya sekitar 2130 kg biji/Ha (Yaumi, 2010). Di Jerman, tanaman yang disebut french bean ini menghasilkan produksi tiap hektar sekitar 3760 kg biji (Tindall, 1972). Masih rendahnya produksi rata-rata tiap hektar di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) varietas/kultivar yang ditanam petani secara genetis berpotensi hasil rendah, (2) serangan hama dan penyakit, (3) mutu benih masih sangat rendah, dan (4) cara bercocok tanam yang masih tradisional (Supriati dan Makmur, 1978).

Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan produksi kacang merah atau kacang jogo yaitu dengan pemilihan kultivar lokal dan penggunaan benih bermutu dengan vigor tinggi. Benih dengan vigor tinggi dapat memberikan potensi yang tinggi selama perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Vigor benih dapat dipengaruhi oleh kondisi tanaman induk sewaktu di lapangan,

(3)

3 saat panen, tingkat kemasakan, cara pemanenan, dan pengeringan. Pada umumnya petani melakukan panen setelah lewat masak fisiologis, sehingga mutu benih yang dihasilkan telah menurun (Kartika dan Ilyas, 1994).

Hal penting dalam penyediaan benih bermutu adalah kualitas benih. Kualitas benih ini sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu potensi genetik, kematangan benih saat panen, lingkungan selama tahap pembentukan benih, ukuran benih dan kerapatan tanam, kerusakan mekanis, umur benih dan kemundurannya, serangan mikroorganisme, dan kerusakan akibat chilling injury (Copeland, 1976).

Dalam proses produksi benih bermutu, pola budidaya dan penanganan hasil panen menjadi hal yang penting. Faktor penting dalam penanganan benih itu salah satu di antaranya adalah umur panen benih. Umur panen benih ini berkaitan dengan kematangan secara fisiologis benih. Masing-masing tanaman bahkan kultivar memiliki keragaman masak fisiologis yang berbeda (Arief et al., 2010; Ferryal et al., 2012).

Kemasakan fisiologis diartikan sebagai suatu keadaan yang harus dicapai oleh benih sebelum keadaan optimum untuk panen dapat dimulai. Viabilitas merupakan tolok ukur kualitas benih yang dapat diketahui dari daya tumbuh dan keserempakan tumbuhnya. Sebelum mencapai masak fisiologis, benih yang dihasilkan memiliki viabilitas yang rendah. Viabilitas benih akan meningkat hingga mencapai viabilitas maksimum dan kembali turun akibat kemunduran benih (Sadjad, 1994). Hal tersebut telah dibuktikan salah satunya melalui penelitian yang dilakukan Progoharbowo (1986) mengenai pengaruh umur panen dan jalur pengolahan benih terhadap mutu benih kedelai “Lokon” yang menunjukkan bahwa daya tumbuh dan keserempakan tumbuh benih kedelai pada umur 35 hari setelah berbunga masih rendah dan mencapai viabilitas maksimum pada umur 42 hari setelah berbunga. Daya tumbuh dan keserempakan tumbuh kemudian turun pada umur 49 hari setelah berbunga. Dengan demikian, umur 42 hari setelah berbunga dapat diduga sebagai kisaran masak fisiologis benih kedelai.

(4)

4 Pendugaan didasarkan pada data kadar air dan tanda-tanda visual tanaman saat dipanen.

Sadjad (1975) berpendapat bahwa sasaran pokok bidang teknologi benih adalah menghasilkan benih bermutu yang mencakup mutu genetik, fisik, dan fisiologis. Mutu genetik dicirikan oleh tingkat kemurnian varietas, mutu fisik dicirikan oleh tingkat kebersihan fisik, sedangkan mutu fisiologis dicirikan oleh tingkat viabilitas. Mutu fisiologis dipengaruhi oleh proses perkembangan dan kemasakan benih. Jika sejak awal telah didapatkan benih dengan proses perkembangan sempurna serta tingkat kemasakan yang mencapai nilai fisiologis tinggi, maka pada tahap mekanisme produksi selanjutnya benih telah mencapai mutu fisiologis yang tinggi pula. Pada saat itu vigor benih dan berat kering benih mencapai maksimum (Progoharbowo, 1986).

Kualitas fisiologis benih pada dasarnya tergantung juga pada beberapa faktor endogen dan eksternal yang berperan dalam perkembangan benih selama pertanaman, waktu panen, dan selama penyimpanan (Bewley dan Black, 1994). Perbedaan kondisi lingkungan pada tahap perkembangan dan pemasakan benih, lama waktu pengisian polong, konsentrasi lemak, karbohidrat terlarut, protein, dan tepung disimpulkan sebagai penyebab perbedaan vigor benih (Siddique and Wright, 2004).

Kacang merah atau buncis tipe tegak (kacang jogo) dipanen saat seluruh daun tanaman menguning dan polong telah mengering. Biasanya, umur panen kacang merah sekitar 73 hari setelah tanam. Biji kacang merah yang dipetik sebelum tua (masak fisiologis) memiliki kualitas yang rendah (biji mudah keriput), namun pemetikan polong juga tidak boleh terlambat sebab polong akan pecah sehingga akan banyak biji yang hilang sehingga menurunkan produktivitas (Cahyono, 2003). Umur berbunga kacang merah adalah 35-40 hari setelah tanam (Rizqiani et al., 2007), sehingga dapat diperkirakan benih kacang merah mencapai masak fisiologis pada kisaran 30-40 hari setelah antesis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menentukan waktu masak fisiologis yang tepat sehingga hasil benih kacang merah yang merupakan hasil koleksi dari petani di

(5)

5 tiga wilayah produksi kacang merah di Jawa Tengah dan DIY memiliki hasil dan kualitas benih yang tinggi. Aksesi Temanggung, Magelang, dan Sleman merupakan beberapa koleksi kacang merah lokal yang ada saat ini dan menjadi bahan dalam penelitian ini. Pemilihan tiga aksesi ini didasarkan pada waktu panen yang tidak terpaut jauh, dilakukan pada musim yang sama atau hampir bersamaan untuk tiga aksesi. Selain itu, juga memperhatikan keterbatasan waktu dan jarak yang mampu ditempuh dalam melakukan survei ke lahan petani kacang merah sehingga dipilihlah tiga aksesi tersebut.

B. Tujuan

1. Menentukan masak fisiologis benih kacang merah pada tiga aksesi kacang merah

2. Mengetahui pengaruh umur panen terhadap kualitas benih kacang merah yang dihasilkan

C. Manfaat Penelitian

1. Menambah informasi baru di bidang pertanian, khususnya mengenai proses produksi benih kacang merah.

2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan umur panen optimal, khususnya pada beberapa aksesi kacang merah.

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda lagi dengan hasil penelitian Hudi Hutomo Hadi (2008:72) bahwa penyebab mahasiswa FISIP UMM menyelesaikan tugas akademik dengan cara plagiarisme yaitu kurangnya

yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis aset kekuatan. Positive deviance menjadi energi alternatif yang vital bagi

 Jika pembagian muatan secara Tegak terkonsentrasi pada bagian atas, maka kapal akan memiliki nilai GM yang kecil, dan akibatnya kapal mempunyai sifat yang langsar

Salah satu kasus pembukaan lahan masyarakat dalam kawasan hutan juga terjadi pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang berada pada wilayah Propinsi Sulawesi

Dari gambaran keempat konsep yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini akan dilanjutkan guna mengukur kontribusi antara keseluruhan variabel baik secara partial

dilakukan dengan cara boleh melindungi makanan dan dilakukan dengan cara boleh melindungi makanan dan permukaan yang bersentuhan dengan makanan atau permukaan yang bersentuhan

D-III TLB (Teknik Listrik Bandara) Formasi Pola Pembibitan Kemenhub: 24 Taruna/Taruni 3 Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP).