BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda benda, hewan, tumbuh tumbuhan, manusia atau hal hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar tentang suatu hal tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar (Dimyati dan Mudjiono, 2010). Menurut Slameto (2003) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
2.2 Hasil Belajar
Menurut Hamalik (2006), hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Sudjana (2010) mengemukakan secara garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
a. Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, (6) evaluasi.
b. Ranah Afektif
c. Ranah Psikomotor
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni:
1) gerakan refleks yaitu keterampilan pada gerakan yang tidak sadar;
2) keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;
3) kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain;
4) kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan dan ketepatan;
5) gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks;
6) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.
2.3 Pembelajaran Kooperatif
memperoleh prestasi, kegagalan maupun keberhasilan ditanggung bersama. Siswa mengetahui bahwa prestasi yang dicapai disebabkan oleh dirinya dan anggota kelompoknya, siswa merasakan kebanggaan atas prestasinya bersama anggota kelompoknya (Gunawan, 2010).
Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan ateri belajar;
2) kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan rendah;
3) bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang beragam;
4) penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu (Trianto, 2010).
Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar Manfaat pembelajaran kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat (Trianto, 2010).
2.4 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran atau dissiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah (scientific method).
Menurut Trianto (2011) mengatakan bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk produk sains, dan sebagai aplikasi, teori teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat member kemudahan bagi kehidupan.
yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal (Trianto, 2011).
Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi adalah sebagai berikut.
1) Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2) Mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah.
3) Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi.
4) Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (Trianto, 2011)
lain dalam satu bidang kajian. Padahal senyatanya terdapat benang merah ketertautan di antara keduanya.
2.5 Keterampilan Proses
2.5.1 Pengertian Keterampilan Proses
Keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari kemampuan kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2010).
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2010) pendekatan keterampilan proses adalah:
1. Pendekatan keterampilan proses sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan bagi siswa.
2. Fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan pula menunjang pengembangan keterampilan proses pada diri siswa.
2.5.2 Jenis Jenis Keterampilan Dalam Keterampilan Proses
Ada beberapa keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilan keterampilan tersebut terdiri dari keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan keterampilan terintegrasi (integrated skills).
Pendekatan keterampilan proses pada dasarnya terdiri dari enam keterampilan, yakni : mengamati (mengobservasi), menggolongkan (mengklasifikasikan), memprediksi (menganalisis), mengukur, menyimpulkan (sintesis), dan mengkomunikasikan. Keterampilan proses inilah yang harus dikembangkan di dalam kurikulum (Dimyati dan Mudjiono, 2010).
2.5.3 Keterampilan Menganalisis
Kemampuan menganalisis merupakan salah satu aspek penalaran atau kognitif. Menganalisis adalah menjabarkan sesuatu ke dalam unsur unsur, bagian bagian, atau komponen komponen sedemikian rupa sehingga jelas susunannya atau hierarki gagasan yang ada di dalamnya (Dimyati dan Mudjiono, 2010).
2.5.4 Macam macam Kemampuan Menganalisis
Secara rinci, Sudrajat (2011) mengemukakan tiga jenis kemampuan analisis yaitu:
a. Menganalisis unsur, meliputi:
Kemampuan melihat asumsi asumsi yang tidak dinyatakan secara eksplisit pada suatu pernyataan.
Kemampuan untuk membedakan fakta dengan hipotesa.
Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan
pernyataan normatif.
Kemampuan untuk mengidentifikasi motif- motif dan membedakan
mekanisme perilaku antara individu dan kelompok.
Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari pernyataan yang
mendukungnya.
b. Menganalisis hubungan, meliputi:
Kemampuan untuk melihat secara komprehensif interrelasi antar
ide dengan ide.
Kemampuan untuk mengenal unsur-unsur khusus yang
Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi yang esensial yang
mendasari suatu pendapat atau tesis atau argument argumen yang mendukungnya.
Kemampuan untuk memastikan konsistensinya hipotesis dengan
informasi atau asumsi yang ada.
Kemampuan untuk menganalisis hubungan di antara pernyataan dan argumen guna membedakan mana pernyataan yang relevan mana yang tidak.
Kemampuan untuk mendeteksi hal hal yang tidak logis di dalam
suatu argumen.
Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan unsur-unsur
yang penting dan yang tidak penting di dalam perhitungan historis.
c. Menganalisis prinsip prinsip organisasi:
Kemampuan untuk menguraikan antara bahan dan alat.
Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola karya seni dalam
rangka memahami maknanya.
Kemampuan untuk mengetahui maksud dari pengarang suatu karya
Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan dalam
menyususun suatu materi yang bersifat persuatif seperti advertensi dan propaganda.
2.6 THINK PAIR SHARE (TPS)
Strategi Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Strategi Think Pair Share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland, menyatakan bahwa Think Pair Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam Think Pair Share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan
a. Langkah 1: Berpikir (Thinking)
Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
b. Langkah 2: Berpasangan (Pairing)
Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
c. Langkah 3: Berbagi (Sharing)
Pada langkah akhir, guru meminta pasangan pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan (Trianto, 2010).
Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS):
- konflik antar pribadi berkurang; - sikap apatis yang berkurang;
- retensi atau penyimpangan lebih lama;
- meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.
Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS): - banyak siswa takut pekerjaan tidak akan terbagi rata atau adil;
- perasaan was was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dalam kelompok;