• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN ULANG GEOMETRIK PADA SIMPANG BERSINYAL (Studi Kasus : Simpang Kisaran Meulaboh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERENCANAAN ULANG GEOMETRIK PADA SIMPANG BERSINYAL (Studi Kasus : Simpang Kisaran Meulaboh)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Akhir

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Yang Diperlukan untuk Memperoleh

Ijazah Sarjana Teknik

Disusun Oleh :

A N D I J A S W A R I

NIM : 06C10203053

Bidang Studi : Transportasi

Jurusan : Teknik Sipil

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TEUKU UMAR

ALUE PEUNYARENG - MEULABOH

(2)

1

1.1 Latar Belakang

Transportasi adalah pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang

antara satu tempat ke tempat yang lainnya dengan menggunakan jaringan

transportasi (menurut http://id.wikipedia.org/wiki/transportasi).

Berkembangnya kota Meulaboh dengan pesat baik dalam intensitas

aktivitas sosial ekonomi maupun pengembangan wilayah perkotaannya, seiring

dengan kemajuan ekonomi dan tersedianya prasarana dan sarana transportasi.

Kecenderungan ini terus akan terjadi pada tahun – tahun mendatang. Meulaboh

sebagai kota Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh diyakini mengikuti

kecenderungan tersebut dari tahun ke tahun. Bertambahnya jumlah penduduk

berpengaruh pada peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Kondisi seperti ini

dapat meningkatkan pergerakan arus lalu lintas yang ada.

Simpang bersinyal adalah simpang yang dikendalikan oleh sinyal lalu

lintas. Sinyal lalu lintas adalah semua peralatan pengatur lalu lintas yang

menggunakan tenaga listrik, rambu dan marka jalan untuk mengarahkan atau

memperingatkan pengemudi kendaraan bermotor, pengendara sepeda, atau pejalan

kaki (menurut Oglesby dan Hicks, 1982).

Sinyal lalu lintas perlu dipergunakan pada suatu persimpangan jalan

untuk menghindari kemacetan akibat adanya konflik arus lalu lintas sehingga

terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan pada saat jam

puncak. Selain itu memberikan kesempatan bagi kendaraan dan penyeberang jalan

untuk memotong arus lalu lintas dan mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas

akibat tabrakan antar kendaraan dari arah berlawanan.

Kapasitas jalan umumnya ditentukan oleh kapasitas persimpangan karena

(3)

merupakan tempat rawan terjadinya kemacetan, pada persimpangan terjadinya

pertemuan antara dua atau lebih arus lalu lintas.

Lalu lintas pada suatu persimpangan yang diatur dengan alat pemberi

isyarat lalu lintas harus mematuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu

tersebut. Keberhasilan dari pengaturan ini dengan alat pemberi isyarat lalu lintas

ditentukan dengan berkurangnya penundaan waktu untuk melalui persimpangan

(waktu antri yang minimal) dan berkurangnya angka kecelakaan pada

persimpangan yang bersangkutan.

Salah satu titik persimpangan yang mempunyai peranan besar di kota

Meulaboh adalah Simpang Kisaran yang terdiri empat pertemuan Jalan Gajah

Mada, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Manek Roo. Tingkat

kepadatan dan keramaian lalu lintas di titik ruas jalan ini cukup besar karena

merupakan salah satu titik temu arus lalu lintas. Sehingga kinerja persimpangan

pada jam-jam sibuk pada Simpang Kisaran sangat menurun.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kondisi exsisting mempengaruhi kapasitas persimpangan terhadap

geometrik jalan ?

1.3 Tujuan Penelitian

untuk meningkatkan kapasitas persimpangan dengan menghitung ulang

kondisi eksisting dan melakukan perubahan dengan perbaikan geometrik yaitu

mensimetriskan lengan-lengan simpang dan perlebaran lengan simpang.

1.4 Batasan Masalah

Untuk memfokuskan pembahasan dalam perencanaan ini, maka masalah

(4)

1 Penelitian dilakukan dengan menghitung volume lalu lintas yang melewati

semua lengan persimpangan, pada jam puncak pagi, jam puncak siang dan jam

puncak sore, yang dilakukan selama tiga hari, yaitu Senin, Jum’at dan Sabtu.

2 Pengamatan volume lalu lintas dilakukan selama 6 (enam) jam yang terbagi

atas jam puncak pagi 2 jam (07.00 s/d 09.00 WIB), jam puncak siang 2 jam

(12.00 s/d 14.00 WIB) dan jam puncak sore 2 jam (16.30 s/d 18.30 WIB).

3 Perhitungan geometrik simpang, dilakukan dengan menghitung langsung di

lapangan.

4 Dari hasil data lalu lintas, setelah proses pengolahan dengan menggunakan

metoda MKJI (Manual Kapasitas Jalan Indonesia), maka akan di lihat kinerja

dari simpang.

5 Kinerja dari simpang yang dilihat meliputi, kapasitas simpang, derajat

kejenuhan, tundaan dan arus total dari simpang eksisting bersinyal dan

(5)

4

Sejalan dengan judul penulisan, maka pada bab ini akan di bahas segala

aspek karakteristik operasional lalu lintas yang mendasari pemikiran dalam

menganalisa tingkat kapasitas dan kinerja pada Simpang Kisaran. Berdasarkan

pemikiran tersebut, dilakukan pendekatan dengan meninjau berbagai aspek yang

mempengaruhi kinerja persimpangan.

Penggunaan sinyal dengan lampu tiga-warna (hijau, kuning, merah)

diterapkan untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang

saling bertentangan. Hal ini adalah keperluan yang mutlak bagi gerakan-gerakan

lalu lintas yang datang dari jalan yang saling berpotongan atau di sebut

konflik-konflik utama. Sinyal dapat juga digunakan untuk memisahkan gerakan lalu lintas

membelok dari pejalan kaki yang menyeberang atau disebut juga konflik-konflik

kedua, lihat gambar 2.1.

2.1 Kondisi Geometrik

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997), kondisi

geometrik pada persimpangan terdiri atas beberapa bagian, seperti pendekat, tipe

median jalan utama, tipe simpang dan jumlah lajur.

2.1.1 Jumlah lajur

Jumlah lajur ditentukan dari lebar masuk jalan dari jalan tersebut. Untuk

(6)

Konflik utama Konflik kedua Arus Kendaraan Arus pejalan kaki

Tabel 2.1 Penentuan jumlah lajur

Lebar Masuk Jalan (m) Jumlah Lajur

< 5.5 2

> 5.5 4

Sumber : MKJI 1997

Gambar 2.1 : Konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal dengan empat lengan

Sumber : MKJI 1997

2.1.2 Tipe median jalan utama

Klasifikasi tipe median jalan utama tergantung pada kemungkinan

menggunakan median tersebut untuk menyeberangi jalan utama dalam dua tahap.

Adapun menurut MKJI 1997 tipe median antara lain tipe lebar, sempit atau tidak

(7)

2.1.3 Tipe simpang

Tipe simpang adalah kode untuk jumlah lengan simpang dan jumlah lajur

dalam simpang dan jalan utama. Dalam hal ini lokasi pengamatan untuk studi

kasus terdiri dari simpang 4 lengan.

2.1.4 Pendekat

Pendekat adalah daerah dari lengan persimpangan jalan untuk kendaraan

mengantri sebelum keluar melewati garis-henti. Jika gerakan belok kiri atau belok

kanan dipisahkan dengan pulau lalu lintas, sebuah lengan persimpangan jalan

dapat mempunyai dua pendekat atau lebih.

2.2 Fase Lampu Lalu Lintas

Penggunaan lampu lalu lintas dimaksudkan untuk mencegah atau

mengurangi terjadinya konflik antar arus lalu lintas. Hal tersebut di lakukan

dengan memisahkan waktu pergerakan arus lalu lintas dari masing-masing

pendekat.

Sistem pengaturan pemisahan waktu pergerakan tersebut disebut fase.

Pemilihan dan penggunaan fase tergantung pada konflik utama yang terjadi.

Ada beberapa fase yang digunakan pada persimpangan jalan, salah

satunya adalah pengaturan empat fase seperti yang dapat kita lihat pada gambar

(8)

A

B

C

D

Gambar 2.2 : Pengaturan empat fase dengan arus berangkat dari satu per satu pendekat pada saatnya masing-masing

Sumber : MKJI 1997

Pada gambar A menunjukkan bahwa pendekat bagian utara bebas

melakukan pergerakan baik itu belok kiri, belok kanan ataupun lurus, dan pada

saat yang bersamaan pada lengan persimpangan yang lain kendaraan harus

berhenti. Kemudian dilanjutkan pada gambar B dimana kendaraan pada pendekat

bagian timur bebas melakukan pergerakan. Kemudian dilanjutkan pada gambar C

dimana kendaraan pada pendekat bagian selatan bebas melakukan pergerakan.

Dan dilanjutkan pada gambar D dimana kendaraan pada pendekat bagian barat

bebas melakukan pergerakan.

2.3 Volume dan Komposisi Lalu Lintas

Volume lalu lintas di kota-kota besar terus meningkat hal ini disebabkan

oleh semakin tingginya pertumbuhan pemilikan kendaraan yang terjadi.

Menurut Morlok (1985), volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan

yang melewati suatu titik atau tampang melintang jalan, dala satu satuan

waktu.Volume lalu lintas dapat dinyatakan dengan rumusan sebagai berikut :

T n

(9)

Dimana :

V = Volume lalu lintas yang melewati suatu titik (kend/jam)

n = Jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tersebut dalam

rentang waktu (kend)

T = Rentang waktu pengamatan (jam)

Dalam (MKJI 1997), disebutkan bahwa arus lalu lintas adalah jumlah

kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan persatuan waktu,

dinyatakan dalam kend/jam. Arus lalu lintas ini dilambangkan dengan huruf Q,

dan dikelompokkan menurut arah gerakannya. Belok kiri dilambangkan dengan

QLT, dan belok kanan dilambangkan dengan QRT. Arus lalu lintas ini di

konversikan dari kendaraan per-jam menjadi Satuan Mobil Penumpang (SMP)

per-jam dengan menggunakan Ekivalen Mobil Penumpang (EMP) untuk

masing-masing pendekat dengan arus berangkat terlindung dan terlawan. Yang dimaksud

dengan terlindung adalah arus berangkat tanpa konflik dengan lalu lintas dari arah

berlawanan, sedangkan yang dimaksud dengan terlawan adalah arus berangkat

dengan konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan. Faktor ekivalen tersebut

dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Faktor Ekivalen Mobil Penumpang Pada Persimpangan

Jenis Kendaraan

(10)

suatu rencana geometri atau sinyal lalu lintas yang menghasilkan tingkat kinerja

yang dikehendaki.

Menurut Abubakar dkk (1999), untuk daerah perkotaan, volume lalu

lintas puncak per jam digunakan untuk keperluan desain, karena volume ini lebih

besar dari pada volume pada waktu lainnya dalam sehari dan pada saat itu variasi

arah yang besar juga terjadi. Terminologi yang biasa digunakan adalah Volume

Jam Perencanaan (VJP). VJP ini adalah volume lalu lintas per jam yang

digunakan untuk desain.

Komposisi lalu lintas yang terdapat pada aliran lalu lintas bervariasi

mulai dari pejalan kaki sampai truk berat (Bukhari dkk, 1997). Pada dasarnya

Komposisi tersebut akan berbeda menurut lokasi ruas jalan,

pembatasan-pembatasan berdasarkan perencanaan maupun menurut peraturan yang ditetapkan

pada jalan tersebut.

2.4 Pengamatan Volume Lalu Lintas

Pengamatan volume lalu lintas dilakukan adalah 3 (tiga) hari yaitu Senin,

Kamis, Sabtu. Dimana diperkiraan volume lalu lintas stabil sehingga dapat

diperkirakan gambaran volume dan kondisi lalu lintas maksimum (Ditjen Bina

Marga No. 018/T/BNKT/1990). Besarnya volume lalu lintas dapat diketahui

dengan melakukan pencatatan langsung pada jalan dimaksud dengan cara manual

atau dengan peralatan otomatis. Menurut Bukhari dkk (1997), ada tiga jenis

pencacatan yang dapat dilakukan yaitu: pencatatan langsung, pencatatan

menggunakan alat yang dioperasikan dengan tangan dan pencatatan otomatis.

2.4.1 Pencatatan langsung

Untuk melakukan pencatatan langsung, pencatat perlu mempersiapkan

formulir pencatatan yang mencakup informasi tentang nama jalan dan lokasi

pengamatan, jurusan lalu lintas yang diamati, variabel waktu, jenis kendaraan dan

(11)

2.4.2 Pencatatan mempergunakan alat yang dioperasikan dengan tangan

Metoda ini dipergunakan bila diperlukan hasil yang lebih teliti. Dengan

alat ini masing-masing jenis kendaraan terus diketahui jumlahnya dilapangan.

Hanya saja jenis informasi yang dikumpulkan terbatas pada jumlah alat yang

dipunyai. Barangkali untuk masing-masing jenis kendaraan diperlukan sebuah alat

pencatat.

2.4.3 Pencatatan otomatis

Pencatatan otomatis langsung digerakkan oleh lalu lintas. Pada suatu

tampang jalan tertentu dipasang suatu balok yang mengandung jaringan listrik.

Sentuhan lalu lintas terhadap balok (biasanya ditanam dibawah permukaan jalan)

dapat menggerakan alat pencatat. Gerakan alat tersebut menimbulkan goresan

pada pita yang sekaligus dapat dihitung volumenya.

2.5 Penghitungan Kapasitas dan Derajat Kejenuhan

Menurut MKJI (1997), dalam perhitungan kapasitas dan derajat

kejenuhan, harus ditentukan terlebih dahulu tipe pendekatnya apakah terlindung

atau terlawan, kemudian tentukan :  Kondisi arus lalu lintas

 Lebar pendekat efektif (We)  Nilai arus jenuh dasar (So)  Faktor-faktor penyesuaian (F)

 Nilai arus jenuh yang disesuaikan (S)  Rasio arus (FR)

 Rasio fase (PR)

(12)

 Rasio hijau (GR)

Kemudian dapat dihitung :  Kapasitas (C)

 Derajat kejenuhan (DS)

2.5.1 Kondisi arus lalu lintas

Rasio kendaraan berbelok untuk masing-masing pendekat dapat dilihat

pada rumus :

 Rasio kendaraan belok kiri dapat ditentukan dengan rumus berikut :

PLT = LT

QTOTAL... (2.2)

Dimana :

PLT = Rasio kendaraan yang belok kiri;

LT = Indeks untuk lalu lintas yang belok kiri (smp/jam)

QTOTAL = Arus lalu lintas total (smp/jam)

 Rasio kendaraan belok kanan dapat ditentukan dengan rumus berikut :

PRT = RT

QTOTAL... (2.3)

Dimana :

PRT = Rasio kendaraan yang belok kanan

RT = Indeks untuk lalu lintas yang belok kanan (smp/jam)

QTOTAL = Arus lalu lintas total (smp/jam)

 Rasio kendaraan tak bermotor dapat ditentukan dengan rumus berikut :

PUM = QUM

QMV... (2.4)

Dimana :

PUM = Rasio kendaraan tak bermotor;

QUM = Arus kendaraan tak bermotor (kend/jam);

(13)

2.5.2 Lebar pendekat efektif

Pendekat merupakan daerah dari lengan persimpangan jalan untuk

kendaraan mengantri sebelum melewati garis henti. Lebar pendekat efektif

merupakan lebar dari bagian pendekat yang diperkeras diukur dibagian tersempit

dibagian hulu. Lebar pendekat efektif dapat ditentukan dengan rumus sebagai

berikut :

We = WA - WLTOR... (2.5)

Dimana :

We = Lebar pendekat efektif (m)

WA = Lebar pendekat (m)

WLTOR = Lebar Pendekat dengan belok kiri langsung (m).

2.5.3 Nilai arus jenuh dasar

Arus jenuh dasar adalah besarnya keberangkatan antrian didalam

pendekat selama kondisi ideal (smp/jam). Untuk pendekat terlindung arus jenuh

dasar ditentukan sebagai fungsi dan lebar pendekat efektif.

So = 600 x We... (2.6)

Dimana :

So = Arus jenuh dasar (smp/jam hijau)

We = Lebar pendekat efektif (m)

2.5.4 Faktor penyesuaian

Arus jenuh dasar (So) ditentukan sebagai fungsi dari lebar pendekat

efektif (We) dan arus lalu lintas belok kanan pada pendekat tersebut dan juga

pendekat yang berlawanan, karena pengaruh dari faktor-faktor tersebut tidak

linier. Kemudian dilakukan penyesuaian untuk kondisi sebenarnya dari suatu

(14)

 Hambatan samping (SF), kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan

kendaraan tak bermotor

 Kelandaian (G),% naik (+) atau turun (-)

 Parkir (P),jarak garis henti – kendaraan parkir pertama  Gerakan membelok (RT), % belok kanan; (LT),% belok kiri

2.5.5 Nilai arus jenuh yang disesuaikan

Menurut Abubakar ddk (1999), arus jenuh adalah jumlah maksimum

kendaraan yang dapat melalui mulut persimpangan per satuan waktu hijau, satuan

yang biasa di gunakan didalam penetapan waktu adalah smp/jam.

Menuru MKJI (1997), arus jenuh merupakan besarnya keberangkatan

antrian didalam suatu pendekat selama kondisi yang ditentukan (smp/jam hijau).

Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So)

utuk keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari

kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah

ditetapkan sebelumnya.

S = So x Fcs x FSF x FG x FP x FRT x FLT... (2.7)

Dimana :

S = Arus jenuh (smp/jam hijau)

So = Arus jenuh dasar (smp/jam hijau)

Fcs = Faktor penyesuaian ukuran kota

FSF = Faktor penyesuaian untuk Tipe lingkungan jalan, Hambatan

Samping dan Kendaraan tak bermotor

FG = Faktor penyesuaian untuk kelandaian

FP = Faktor penyesuaian untuk pengaruh parkir dan lajur belok kiri

yang pendek

FRT = Faktor penyesuaian belok kanan

(15)

2.5.6 Rasio arus

Rasio arus adalah rasio arus lalu lintas terhadap arus jenuh dari suatu

pendekat, dapat dinyatakan sebagai :

FR = Q/S... (2.8)

Dimana :

FR = Rasio arus

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

S = Arus jenuh (smp/jam hijau)

2.5.7 Rasio fase

Rasio fase dapat dinyatakan sebagai rasio arus kritis atau (tertinggi)

dibagi dengan rasio arus simpang :

PR =

FR

CRIT

IFR

... (2.9)

Dimana :

PR = Rasio fase

FRCRIT = Rasio arus kritis

IFR = Rasio arus simpang

2.5.8 Waktu siklus sebelum penyesuaian

Menurut MKJI (1997), waktu siklus sebelum penyesuaian adalah waktu

untuk urutan lengkap dari indikasi sinyal diantara dua disaat permulaan hijau yang

berurutan didalam pendekat yang sama. Dapat dihitung dengan rumus :

Cua =

(1,5xLTI+5)

1-IFR ... (2.10)

Dimana :

Cua = Waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (det)

(16)

IFR = Rasio arus simpang

2.5.9 Waktu siklus yang disesuaikan

Waktu siklus yang disesuaikan berdasarkan waktu hijau yang diperoleh

dan waktu hilang, dapat dinyatakan sebagai berikut :

c = gi + LTI... (2.11)

Dimana :

c = Waktu siklus (det)

gi = Jumlah total waktu hijau (det)

LTI = Waktu hilang total per siklus (det)

2.5.10 Waktu hijau

Waktu nyala hijau dalam suatu pendekat dapat dihitung sebagai :

gi = (Cua - LTI) x PR... (2.12)

Dimana :

gi = Tampilan waktu hijau pada fase 1 (det)

Cua = Waktu siklus sebelum penyesuaian (det)

LTI = Waktu hilang total per siklus (det)

PR = Rasio fase

2.5.11 Rasio hijau

Rasio hijau adalah perbandingan antara waktu hijau dan waktu siklus

dalam suatu pendekat dapat dihitung dengan rumus :

GR = gi

c ... (2.13)

Dimana :

GR = Rasio hijau

(17)

c = Waktu siklus (det)

2.5.12 Kapasitas

Menurut MKJI (1997), kapasitas jalan adalah arus lalu lintas maksimum

yang dapat dipertahankan

Kapasitas dari suatu pendekat simpang bersinyal dapat dinyatakan

sebagai berikut :

C = S x g/c... (2.14)

Dimana :

C = Kapasitas (smp/jam)

S = Arus jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam

pendekat selama sinyal hijau (smp/jam hijau).

G = Waktu hijau (det)

c = Waktu siklus (det)

2.5.13 Derajat kejenuhan

Menurut MKJI (1997), derajat kejenuhan adalah rasio dari arus lalu lintas

terhadap kapasitas untuk suatu pendekat. Derajat kejenuhan dihitung dengan

(18)

Jika derajat kejenuhan lebih tinggi dari 0,85 ini berarti bahwa simpang

tersebut mendekati lewat jenuh yang akan menyebabkan lalu lintas puncak.

2.6 Penentuan Perilaku Lalu Lintas

Menurut MKJI (1997), penentuan perilaku lalu lintas meliputi :  Penentuan jumlah kendaraan antri (NQ)

 Panjang antrian (QL)

 Rasio kendaraan berhenti (NS)  Jumlah kendaraan terhenti (NSF)  Kendaraan terhenti rata-rata (NSTOT)

2.6.1 Penentuan jumlah kendaraan antri

Menurut MKJI (1997), jumlah kendaraan antri pada awal sinyal hijau

(NQ) dihitung sebagai jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya,

ditambah jumlah smp yang datang selama fase merah. Pernyataan ini dituangkan

dalam rumus.

NQ = NQ1 + NQ2... (2.16)

Dimana :

NQ = Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal Hijau (smp)

NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (smp)

(19)

Dimana :

NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (smp)

NQ2 = Jumlah smp yang datang selama fase merah (smp)

DS = Derajat kejenuhan

GR = Rasio hijau (det)

c = Waktu siklus (det)

C = Kapasitas (smp/jam) = Arus jenuh x rasio hijau (S x GR)

Q = Arus lalu lintas pada pendekat tersebut (smp/det)

2.6.2 Panjang antrian

Menurut MKJI (1997), panjang antrian diperoleh dari perkalian jumlah

rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau dengan luas rata-rata yang

dipergunakan per smp (20 m2) dan pembagian dengan lebar masuk, panjang

antrian dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

QL = NQmaxx20

Wmasuk ... (2.19)

Dimana :

QL = Panjang antrian (m)

NQmax = Jumlah antrian maksimum (smp)

WMasuk = Lebar jalan masuk (m)

2.6.3 Angka henti

Menurut MKJI (1997), angka henti yaitu jumlah berhenti rata-rata

perkendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu

simpang, dihitung sebagai :

NS = 0,9 x NQ

Q x

360

... (2.20)

Dimana :

(20)

NQ = Jumlah rata-rata smp antrian pada awal sinyal hijau

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

2.6.4 Jumlah kendaraan terhenti

Menurut MKJI (1997), kendaraan terhenti untuk masing-masing

pendekat dihitung dengan rumus :

Nsv = Q x NS... (2.21)

Dimana :

Nsv = Jumlah kendaraan terhenti (smp/jam)

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

NS = Angka henti (smp)

2.6.5 Kendaraan terhenti rata-rata

Menurut MKJI (1997), Kendaraan terhenti rata-rata dihitung dengan cara

membagi jumlah kendaraan terhenti pada seluruh pendekat dengan arus simpang

total :

NSTOT = Nsv

QTOT... (2.22)

Dimana :

NSTOT = Jumlah kendaraan terhenti rata-rata untuk seluruh Simpang

(smp/jam)

Nsv = Jumlah kendaraan terhenti untuk seluruh pendekat (smp/jam)

QTOT = Arus simpang total (smp/jam)

2.7 Tundaan Lalu Lintas

Menurut MKJI (1997), tundaan lalu lintas adalah waktu menunggu yang

disebabkan interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan.

(21)

1. Tundaan lalu lintas (DT)

2. Tundaan Geometri (DG)

Menurut MKJI (1997), tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung

sebagai :

Dj = DTj + DGj... (2.23)

Dimana :

Dj = Tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)

DTj = Tundaan lalu lintas rata-rata untuk pendekat j (det/smp)

DGj = Tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j (det/smp)

2.7.1 Tundaan lalu lintas rata-rata untuk suatu pendekat

Tundaan lalu lintas rata-rata adalah tundaan karena interaksi lalu lintas

dengan gerakan lainnya pada suatu simpang. Tundaan lalu lintas rata-rata pada

suatu pendekat j pada ditentukan dengan sebagai berikut:

DTj = C x 0,5 x (1-GR

DTj = Tundaan lalu lintas rata-rata pada pendekat (det/smp)

GR = Rasio hijau (g/c)

DS = Derajat kejenuhan

C = Kapasitas (smp/jam)

NQ1 = Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya (smp)

2.7.2 Tundaan geometri rata-rata untuk suatu pendekat

Menurut MKJI (1997), tundaan geometri adalah waktu tambahan yang

diperlukan, disebabkan perlambatan dan percepatan kendaraan yang berbelok di

persimpangan atau yang terhenti atau lampu merah. Tundaan geometri rata-rata

pada suatu pendekat j dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(22)

Dimana :

DGj = Tundaan rata-rata geometri pada pendekat j (det/smp)

PSV = Radio kendaraan terhenti pada suatu pendekatan (PSV=NS)

PT = Rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat

Dengan :

PT = PLT + PRT... (2.26)

Dimana :

PLT = Rasio kendaraan belok kiri

PRT = Rasio kendaraan belok kanan

2.8 Tundaan Rata-Rata Untuk Seluruh Simpang

Menurut MKJI (1997), tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang

diperlukan untuk melewati suatu simpang dibandingkan terhadap situasi tanpa

simpang. Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang dapat dihitung dengan rumus :

D1 =

∑(QxDj)

QTOT ... (2.27)

Dimana :

D1 = Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang (det/smp)

Dj = Tundaan rata-rata untu pendekat j (det/smp)

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

(23)

22

Pada bab ini dikemukakan mengenai metode pengumpulan data dan

pengolahan data.

3.1 Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder.

3.1.1 Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan langsung

dilapangan dengan menggunakan kamera video, kemudian diputar kembali untuk

di catat dalam tabel yang telah disediakan. Data yang diperoleh meliputi kondisi

geometri persimpangan, yang dinyatakan secara diagramatik mencakup informasi

yang diperlukan berkaitan dengan kapasitas jalan. Pada penelitian lapangan untuk

penulisan ini, pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan

di pinggir jalan. Adapun data primer yang diperlukan adalah sebagai berikut :

1. Volume lalu lintas

Volume lalu lintas diperoleh dengan merekam menggunakan kamera

video seluruh jumlah kendaraan dan arah gerakannya melintasi persimpangan

tersebut. Kemudian dituangkan kedalam tabel. Pencatatan volume lalu lintas

dilakukan pada pos-pos pengamatan yang telah ditentukan. Hasil dari pengamatan

tersebut dimasukkan kedalam tabel yang telah ditentukan. Diharapkan dengan

menggunakan kamera video kesalahan dalam pengambilan data dapat di perkecil.

Pengamatan volume lalu lintas didasarkan pada volume jam perencanaan,

(24)

-18.30 WIB, dan dilakukan per 2 jam untuk setiap jam puncaknya yaitu pada pukul

07.00 WIB sampai pukul 09,00 WIB, kemudian pada pukul 12.00 WIB. Sampai

pukul 14.00 WIB serta pada pukul 16.30 WIB sampai pukul 18.30 WIB.

Pengamatan dilakukan selama 3 (tiga) hari kerja yaitu Senin, Jum’at dan Sabtu

karena pola pergerakan lalu lintas di Indonesia pada hari Senin sampai Kamis

berbeda dengan hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Untuk hari Senin dengan hari

Kamis pola pergerakan lalu lintas relatif sama, dimana pada keempat hari tersebut

intensitas kesibukan kegiatan sebagian besar masyarakat tidak jauh berbeda.

Data volume lalu lintas tersebut selanjutnya dikonversikan kedalam

Satuan Mobil Penumpang (SMP) dengan menggunakan Ekivalensi Mobil

Penumpang (EMP) untuk masing-masing pendekat terlindung.

2. Geometrik persimpangan

Untuk mengetahui kondisi geometrik persimpangan, dilakukan

pengukuran baik arah memanjang maupun arah melintang. Informasi-informasi

yang diperlukan, mengenai geometrik persimpangan berupa lebar pendekat dari

masing-masing lengan persimpangan, pengaturan lalu lintas dan kondisi

lingkungan. Sketsa juga memberikan suatu gambaran yang baik dari suatu

simpang dengan informasi mengenai kerb, jalur, lebar bahu dan median.

3. Kondisi arus lalu lintas

Kondisi arus lalu lintas diperoleh dengan mencatat komposisi, arus dan

arah gerakan lalu lintas yang melewati persimpangan tersebut. Pencacatan arus

lalu lintas dan gerakannya berdasarkan jenis kenderaan.

Adapun data yang diambil menyangkut kondisi lalu lintas adalah :

a. Arus lalu lintas, yang digunakan untuk mendapatkan jam sibuk puncak sebagai

acuan perhitungan derajat kejenuhan.

b. Komposisi lalu lintas, yang digunakan untuk mendapatkan rasio antara

kendaraan bermotor dan tidak bermotor.

c. Arah gerak arus kendaraan pada persimpangan, digunakan untuk mendapatkan

(25)

3.1.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi

dari instansi yang terkait sebagai data penunjang. Data ini meliputi jumlah

penduduk Meulaboh, peta kota Meulaboh, peta lokasi.

3.2 Metode Pengolahan Data

Dari data primer selanjutnya diolah untuk mendapatkan tingkat kinerja

persimpangan. Data ini meliputi penentuan perilaku lalu lintas, dan perhitungan

tingkat kinerja. Penentuan tingkat kinerja suatu persimpangan dititik beratkan

pada kapasitas, tundaan, dan derajat kejenuhan. Untuk mendapatkan derajat

kejenuhan diperlukan perhitungan pada jam puncak tertinggi untuk masing–

masing periode, baik itu jam puncak pagi, siang maupun sore.

Untuk memudahkan dalam pengerjaan perhitungan, perhitungan

dikerjakan dengan menggunakan formulir dan dilakukan untuk masing-masing

pendekat. Formulir I untuk pengisian mengenai informasi geometrik

persimpangan, peraturan lalu lintas. Formulir II digunakan untuk informasi

mengenai arus lalu lintas. Formulir III digunakan untuk perhitungan kapasitas dan

derajat kejenuhan. Formulir IV digunakan untuk perhitungan tundaan.

3.2.1 Perhitungan kapasitas dan derajat kejenuhan

Untuk mendapatkan derajat kejenuhan diperlukan perhitungan pada jam

puncak tertinggi untuk masing-masing periode, baik itu jam puncak pagi, siang

maupun sore. Sebelum perhitungan kapasitas dan derajat kejenuhan, harus

ditentukan terlebih dahulu :

1. Kondisi Arus lalu lintas dihitung dalam kend/jam dan smp/jam pada

masing-masing pendekat.

(26)

Lebar pendekat efektif (We), ditentukan dari setiap pendekat berdasarkan

informasi tentang lebar pendekat (WA), lebar masuk (Wmasuk), dan lebar keluar

(Wkeluar).

3. Arus jenuh dasar

4. Faktor penyesuaian

Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs), Faktor penyesuaian hambatan samping

(FSF), Faktor penyesuaian kelandaian (FG), Faktor penyesuaian parkir (FP),

(FRT) Faktor penyesuaian belok kanan, dan (FLT) Faktor penyesuaian belok kiri

5. Perhitungan nilai arus yang disesuaikan

6. Rasio arus

3.2.2 Perhitungan tundaan

Untuk mendapatkan nilai tundaan rata-rata sebuah pendekat maka

ditentukan terlebih dahulu Tundaan lalu lintas rata-rata (DT) dan Tundaan

Geometrik rata-rata (DG) dengan rumus yang telah dijelaskan pada Bab II

kemudian hasil keduanya di jumlahkan untuk mendapatkan Tundaan rata-rata

pada sebuah pendekat (D).

Tundaan rata-rata inilah yang digunakan sebagai tingkat pelayanan dari

(27)

26

Pada bab ini akan dibahas mngenai hal-hal yang menjadi pemecahan

masalah dari bab-bab sebelumnya. Perhitungan dititik beratkan pada analisa

tingkat kinerja persimpangan, sehingga dketahui sejauh mana tingkat kinerja dari

simpang kisaran.

4.1 Hasil Perhitungan

Dari hasil pengumpulan data diolah dengan rumus-rumus dan teori-teori

yang disebutkan pada bab sebelumnya sehingga diperoleh hasil yang menjadi

tujuan dari penelitian ini. Dari pengelohan data tersebut dapat diketahui tingkat

kinerja persimpangan sebelum dan sesudah perubahan geometrik pada

persimpangan kiasaran tersebut.

4.1.1 Volume dan komposisi lalu lintas

Data pengamatan volume dan komposisi lalu lintas setiap pendekat untuk

masing-masing jam puncak yang ditinjau diperoleh dari pengamatan langsung

dilapangan. Pencatan dan perhitungan dilakukan dengan mencatatat setiap

kendaraan yang melewati titik pengamatan. Pengamatan dilakukan pada hari

Senin, Jum’at dan Sabtu. Data arus lalu lintas untuk ke tiga hari tersebut dilihat

(28)

Tabel 4.1 Volume dan Komposisi Lalu Lintas

kend/jam smp/jam kend/jam smp/jam kend/jam smp/jam kend/jam smp/jam kend/jam smp/jam

Senin

Berdasarkan data pengamatan volume dan komposisi lalu lintas pada

tabel diatas terlihat bahwa volume lalu lintas tertinggi diantara ketiga hari

pengamatan yaitu pada hari Senin tanggal 12 September 2012, sedangkan jam

puncak tertinggi untuk masing-masing periode jam puncak pada ke tiga hari

pengamatan, untuk periode pagi pada hari Senin tanggal 12 September 2012 yaitu

pukul 07.00-08.00 WIB, sedangkan volume total simpang adalah 3047 smp/jam,

periode siang pada hari Senin tanggal 12 September 2012 yaitu pada pukul

13.00-14.00 WIB dengan volume total simpang adalah 3621 smp/jam sedangkan untuk

periode sore pada hari Senin tanggal 12 September 2012 yaitu pukul 17.30-18.30

WIB dengan volume total simpang adalah 2340 smp/jam.

4.1.2 Kapasitas dan derajat kejenuhan

Dalam menentukan kapasitas dan derajat kejenuhan harus ditentukan

terlebih dahulu volume lalu lintas (Q), tipe pendekatnya apakah terlawan (O) atau

(29)

faktor-fakror penyesuaian, nilai jenuh yang disesuaikan (S), rasio arus (FR), rasio

fase (PR), waktu siklus pra penyesuian (cua). Waktu siklus disesuaikan (c) dan

waktu hijau (g) sehingga kemudian dapat dihitung kapasitas (C) dan derajat

kejenuhan (DS). Untuk nilai kapasitas dan derajat kejenuhan pada Simpang

Kisaran dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.2 : Nilai Kapasitas dan Derajat Kejenuhan (Kondisi Eksisting)

Penggunaan

(30)

Berdasarkan menentukan kapasitas dan derajat kejenuhan di atas

diketahui bahwa nilai kapasitas tertinggi terdapat pada Simpang Kisaran yang

telah di ubah geometriknya dengan pelebaran lengan-lengan simpangnya dan

perubahan dari 4 (empat) fase hijau awal menjadi 3 (tiga) fase hijau awal yaitu

sebesar 828 smp/jam untuk ruas Jalan Sisingamangaraja, 514 smp/jam untuk ruas

Jalan Manek Roo, 1045 smp/jam untuk ruas Jalan Gajah Mada dan 387 smp/jam

untuk ruas Jalan Iman Bonjol. Sedangkan nilai derajat kejenuhan terendah juga

pada Simpang Kisaran yang telah di ubah geometriknya dan di tambah pelebaran

lengan-lengan simpang yaitu sebesar 0.698 untuk setiap lengan-lengan simpang.

Untuk perhitungan selengkapnya dapat lihat pada Lampiran Tabel B.4.9 Halaman

52.

4.1.3 Tundaan simpang

Penentuan tundaan lalu lintas meliputi penentuan jumlah kendaraan

antri(QN), panjang antrian (QL) rasio kendaraan stop/smp (NS), jumlah

kendaraan terhenti (Nsv), kendaraan tehenti rata-rata stop/smp, tundaan lalu lintas

rata-rata (DT), tundaan geometri rata-rata (DG), tundaan total. Sehingga baru

dapat di hitung nilai tundaan simpang rata. Untuk nilai tundaan simpang

rata-rata pada Simpang Kisaran dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.4 : Nilai Tundaan Simpang (Kondisi Eksisting)

Penggunaan

(31)

Tabel 4.5 : Nilai Tundaan Simpang (Kondisi Perubahan Eksisting)

Kendaraan terhenti rata-rata stop/smp/det : 25.77

Dari perhitungan tundaan simpang diatas dapat di ketahui bahwa nilai

tundaan simpang terendah terdapat pada Simpang Kisaran yang telah diubah

geometriknya dengan pelebaran lengan-lengan simpangnya dan perubahan dari 4

(empat) fase hijau awal menjadi 3 (tiga) fase hijau awal dengan nilai sebesar

25.77 det/smp. Untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran

Tabel B.4.10 Halaman 53.

4.2 Pembahasan

Dari hasil perhitungan kapasitas, derajat kejenuhan dan tundaan

simpangan untuk setiap pendekat dan simpang secara keseluruhan pada jam

puncak yang ditinjau menunjukan derajat kejenuhan lebih tinggi dari 0.930 untuk

masing-masing kondisi eksisting pada Simpang Kisaran, volume lalu lintas pada

Jalan Sisingamangaraja (Utara) sebesar 578 smp/jam, pada Jalan Manek Roo

(Selatan) sebesar 361 smp/jam, pada Jalan Gajah Mada (Timur) sebesar 752 dan

pada Jalan Imam Bonjol (Barat) sebesar 378 smp/jam. Nilai kapasitas pada Jalan

Sisingamangaraja (Utara) 621 smp/jam, pada Jalan Manek Roo (Selatan) sebesar

(32)

Jalan Imam Bonjol (Barat) sebesar 406 smp/jam. Waktu siklus yang disesuaikan

sebesar 240 detik. Ini berati bahwa simpang tersebut sudah lewat jenuh, yang

ditandai dengan tingginya nilai tundaan.

Dengan melakukan perubahan geometrik dengan pelebaran

lengan-lengan simpangnya dan perubahan dari 4 (empat) fase hijau awal menjadi 3 (tiga)

fase hijau awal didapati hasil yang lebih bagus, untuk lebih jelasnya dapat dilihat

tipe pendekat pada Lampiran Tabel B.4.11 Halaman 50, nilai kapasitas pada Jalan

Sisingamangaraja (Utara) 828 smp/jam, pada Jalan Manek Roo (Selatan) sebesar

517 smp/jam, pada Jalan Gajah Mada (Timur) sebesar 1045 smp/jam dan pada

Jalan Imam Bonjol (Barat) sebesar 387 smp/jam. Nilai derajat kejenuhan pada

Jalan Sisingamangaraja (Utara), pada Jalan Manek Roo (Selatan), pada Jalan

Gajah Mada (Timur) dan pada Jalan Imam Bonjol (Barat) masing-masing sebesar

0.698, waktu siklus yang disesuaikan sebesar 61 detik, dan kinerja jalan semakin

bagus.

Untuk menaikkan kapasitas dari pendekat maupun persimpangan dapat

dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

1. Pada pendekat-pendekat dengan nilai FR kritis tertinggi, jika mungkin

dilakukan penambahan lebar pendekat, pada Simpang Kisaran pelebaran

dimungkinkan dilakukan pada setiap pendekat, dikarenakan arus kendaraan

sudah melewati kapasitasnya.

2. Merubah waktu siklus serta lampu nyala hijau untuk semua pendekat dengan

memperhatikan arus kapasitasnya, akan tetapi dalam kasus ini perubahan

waktu siklus tidak akan berpengaruh besar dalam mengurangi panjang antrian

dan nilai tundaan pada simpang dikarenakan arus lalu lintas yang tinggi.

Pada studi kasus ini, penulis menghitung kembali perencanaan geometrik

simpang bersinyal dengan membandingkan kondisi eksisting dengan kondisi

setelah dilakukan perubahan geometrik dan merubah dari 4 (empat) fase hijau

awal pada Simpang Kisaran menjadi 3 (tiga) fase hijau awal dan pelebaran

lengan-lengan pendekat. Hasil keseluruhan dari perhitungan dengan menggunakan

Metode MKJI 1997 dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.4 Halaman 43 sampai

(33)

32

Sesuai dengan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab

sebelumnya mengenai kapasitas, tundaan, derajat kejenuhan dari persimpangan

untuk masing-masing pendekat maupun untuk simpangan secara keseluruhan,

dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :

5.1 Kesimpulan

Hasil dari pengamatan di lapangan untuk 3 (tiga) hari pengamatan,

didapatkan 3 (tiga) jam puncak tertinggi untuk masing-masing periode pagi, siang,

sore. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengelohan data dari jam puncak

tertinggi yaitu pada jam puncak pagi hari Senin tanggal 12 September 2012 dapat

di ambil beberapa kesimpulan antara lain :

1. Kapasitas simpang pada kondisi eksisting sudah lewat jenuh, hal ini ditandai

dengan nilai derajat kejenuhan simpang sebesar 9.30 lebih tinggi dari 0,85

menurut MKJI 1997 halaman 2-62, ini diakibatkan tidak simetrisnya

pulau-pulau lalu lintas dan volume lalu lintas dan waktu siklus yang tinggi.

2. Perubahan geometrik dengan merubah pelebaran lengan simpang menjadi 12 m

untuk ruas Jalan Sisingamangaraja, Jalan Manek Roo, Jalan Gajah Mada dan

Jalan Iman Bonjol dan merubah dari 4 (empat) fase hijau awal menjadi 3 (tiga)

fase hijau awal sehingga didapati nilai derajat kejenuhan sebesar 0.698 lebih

kecil dari 0,85 dan waktu siklus yang rendah, dan tingkat kinerja jalan semakin

bagus.

5.2 Saran-saran

Derajat kejenuhan yang tinggi dari 0,85 ini berati bahwa simpang

(34)

kondisi lalu lintas puncak. Dengan demikian untuk menaikkan kapasitas maka

penulis mengajukan beberapa saran-saran sebagai berikut :

1. Menghitung arus lalu lintas pada setiap jam puncak dan jam tidak puncak

sehingga didapati siklus lampu lalu lintas setiap perubahan lalu lintas tersebut.

2. Menghitung faktor-faktor ekonomis dalam perubahan geometrik dan pelebaran

lengan-lengan simpang.

3. Penambahan lebar pendekat, jika mungkin untuk menambah lebar pendekat,

pengaruh terbaik dari tindakan seperti ini akan diperoleh jika pelebaran

dilakukan pada pendekat-pendekat dengan nilai FR kritis tertinggi, menurut

MKJI 1997.

4. Perubahan fase sinyal, jika pendekat dengan arus berangkat terlawan (tipe 0)

dan rasio belok kanan (PRT) tinggi menunjukan nilai FR kritis yang tinggi (FR

> 0,8), suatu rencana fase alternatif dengan fase terpisah untuk lalu lintas

belok-kanan mungkin akan sesuai. Penerapan fase terpisah untuk lalu lintas

belok kanan mungkin harus disertai dengan tindakan pelebaran juga, menurut

MKJI 1997.

5. Perubahan fase sinyal, jika simpang dioperasikan dalam empat fase dengan

arus berangkat terpisah dari masing-masing pendekat, karena rencana fase yang

hanya dengan tiga fase mungkin memberikan kapasitas lebih tinggi, asalkan

gerakan-gerakan belok kanan tidak terlalu tinggi, menurut MKJI 1997.

6. Pelarangan gerakan-gerakan belok kanan, Pelarangan bagi satu atau lebih

gerakan belok-kanan biasanya menaikkan kapasitas, terutama jika hal itu

menyebabkan pengurangan jumlah fase yang diperlukan. Walaupun

demikian perancangan manajemen lalu lintas yang tepat, perlu untuk

memastikan agar perjalanan oleh gerakan belok kanan yang akan dilarang

tersebut dapat diselesaikan tanpa jalan pengalih yang terlalu panjang dan

(35)

34

Anonim, 2013, Tentang Transportasi, http://id.wikipedia.org/wiki/transportasi.

Anonim, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Direktorat Jendral Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, Jakarta.

Anonim, 1990, Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota, No. 018/T/BNKT/1990, Direktorat Jenderal Bina Marga Dan Direktorat Pembinaan

Jalan Kota, Jakarta.

Abubakar, I, dkk, 1999, Rekayasa Lalu Lintas, Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Angkutan Kota dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Jakarta.

Bukhari RA, dkk, 1997, Rekayasa Lalu Lintas I, Bidang Studi Teknik Transportasi, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

Bukhari RA, dkk, 1997, Rekayasa Lalu Lintas II, Bidang Studi Teknik Transportasi, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

Morlok, E.K, 1985, Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi, Terjemahan J.K Hainin, Erlangga, Jakarta.

Gambar

Tabel 2.1 Penentuan jumlah lajur
Gambar  2.2 :   Pengaturan empat fase dengan arus berangkat dari satu per satu
Tabel 4.2 : Nilai Kapasitas dan Derajat Kejenuhan (Kondisi Eksisting)
Tabel 4.4 : Nilai Tundaan Simpang (Kondisi Eksisting)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Lebih utama dari itu semua adalah bahwa jika sistem informasi yang dikelola oleh pemerintah daerah tak bisa menyediakan data yang baik kualitasnya, akurat, dan

Penentuan penambahan zeolit pada masing percobaan dilakukan dengan penelitian sederhana yaitu melakukan percobaan pada setiap jumlah zeolit yang mungkin memberikan

Sementara pada tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar menunjukan perencanaan kebun dalam kategori sedang (2,15), persiapan lahan dalam kategori sedang (2,15),

pekerjaan sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari.. responden mengatakan bahwa tidak memiliki kecemasan karena. sudah memiliki banyak bekal dalam menghadapi

Oleh karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka dapat di simpulkan bahwa koefesien regresi NPF Mudharabah , NPF Musyarakah , NPF Murabahah , dan DPK tidak sama

Kalimat negatif adalah yang ditandai dengan penggunaan negasi untuk menegtifkan predikat. Negasi yang digunakan dalam wacana iklan yang ditemukan adalah negasi

Sekian, terima kasih. Nota: i) Borang berasingan hendaklah digunakan bagi setiap peruntukan ii) Dikemukakan ke JPN Perak (Unit Akaun) dalam dua (2) salinan iii) Sila

Hasil penelitian menujukkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara peran lingkungan dengan penyalahgunaan zat adiktif, hal ini menunjukan bahwa lingkungan merupakan