• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK REPRESENTASI LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN TENGAH DI WEBSITE DOWN to EARTH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "POLITIK REPRESENTASI LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN TENGAH DI WEBSITE DOWN to EARTH"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK REPRESENTASI LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN

TENGAH DI WEBSITE DOWN to EARTH

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Oleh Kartika Rini NIM: 086322006

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

POLITIK REPRESENTASI LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN

TENGAH DI WEBSITE DOWN to EARTH

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Oleh Kartika Rini NIM: 086322006

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Saya memilih provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai lokasi penelitian tesis saya karena saya telah menemukant horison baru dari provinsi ini. Saya telah tinggal di

provinsi ini dari tahun 1997 hingga 2006 sehingga saya menjadikan tempat ini rumah kedua saya. Semula saya tertarik Kalimantan Tengah sebagai kisah berlatar rimba tua dan sungai purba, tetapi saya kemudian sadar itu hanya kacamata saya memandang dunia. Ketertarikan

saya berpindah dari imajinasi saya tentang lingkungan Kalimantan Tengah sebagai rimba kepada bagaimana kompetisi pemaknaan terhadap lingkungan hidup Kalimantan Tengah di

antara kelompok-kelompok yang berkepentingan.

Untuk meneliti isu lingkungan hidup Kalimantan Tengah saya memerlukan tempat pembelajaran agar proses dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Saya

menjadikan program Ilmu Religi Budaya (IRB) sebagai kawasan pembelajaran yang kondusif untuk menulis tesis. Proses penelitian dan penulisan tesis merupakan pengalaman

menegangkan sekaligus menyenangkan yang sangat berharga. Tesis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari kedua pembimbing saya Dr. G. Budi Subanar dan Dr. Dt. Sunardi yang dengan sabar dan waspada menemani saya menulis dan menulis. Tak kurang pentingnya

adalah berbagai pihak yang memberi waktu untuk berdiskusi dan memberi data untuk bahan tesis ini yakni Down to Earth (DTE), dan teman-teman di Kalteng baik yang di Dinas

Kehutanan Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalteng mau pun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng. Kemudian sudah pasti semua itu adalah dorongan teman- teman baik teman-teman IRB maupun guru-guru dan teman-teman baik

yang dekat maupun yang jauh, yang tidak dapat saya sebut satu persatu yang membuat saya mengerjakan tesis ini tanpa henti. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih yang tak

(8)

dan meluangkan waktu. Terakhir bukan berarti tidak penting tetapi saya merangkai sesuai

(9)

ABSTRAK

Kartika Rini. 2014. Politik Representasi Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah di Website Down to Earth. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

Politik representasi atau wacana dari waktu ke waktu semakin luas dan beragam. Luas dan beragamnya praktik wacana bisa dilihat salah satunya dari pelaku atau instansi yang mengembangkannya. Kajian ini ini memfokuskan pada persoalan politik representasi atau wacana sebagaimana dimainkan oleh DTE (Down to Earth), sebuah NGO internasional yang berbasis di London. DTE, sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang (issue) lingkungan hidup yang menempatkan Kalimantan Tengah sebagai salah satu cover areanya. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa sejauh ini DTE hadir ke permukaan sebagai produsen wacana yang dimaksudkan untuk menghadapi praktik wacana sebagaimana dimainkan oleh para enterprener (kapitalis) yang menempatkan persoalan lingkungan semata-mata sebagai sumber daya tanpa menimbang aspek keadilan.

Isu lingkungan hidup Kalteng merupakan arena yang memiliki tiga pemain utama yakni negara, masyarakat, dan pasar. Negara memakai legitimasi bentuk negara bangsa sebagai perlawanan terhadap kolonialisme. Masyarakat memakai posisi sebagai pemilik suara yang harus didengar. Negara yang menyebut dirinya demokratis harus melibatkan partisipasi masyarakat. Pasar memiliki kekuatan dari pengunjung websitenya.

(10)

ABSTRACT

Kartika Rini. 2014. The Politic of Representation of the Environment in Central Kalimantan on Down to Earth’s Website. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, University of Sanata Dharma.

Politic of representation or discourse is wider and more variable day by day. The width and variety of discourse practices can be seen from one of persons or institution developing it. This study focuses on politic of representation or discourse matters as it is played up by DTE (Down To Earth), a London- based international NGO. It is a non governmental organization taking action in environmental field (issue) and sets Central Kalimantan off as one of its area cover.

As a conclusion can be proved that DTE as far comes to surface as discourse producer intended to counter discourse practices played up by entreprises (capitalists) who set environmental matters as resources only without determine justice aspects. Central Kalimantan environmental issue is an arena which has three player: state, society, and market. The state put legitimacy of nation state form as an opponent against colonialism. The society put their position as the voice. The state can be a democratic state if the state involves society participation. Meanwhile, the market has the power from its website visitor.

(11)

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ...10

E. Kerangka Teori ... 13

F. Data ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II WACANA LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKEADILAN A. Lingkungan dan hak asasi manusia ... 22

B. Lingkungan dan komunitas lokal ...31

C. Pengadilan internasional untuk Ecological Justice ...35

D. Ecological Justice di Indonesia ...36

E. Kesimpulan ...44

BAB III LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKEADILAN DI KALTENG A. Website DTE ...48

A. 1. Sistem berbasis image ...48

A. 2. Sistem berbasis kata ...52

B. Konteks Kalteng ...62

B. 1. Sumber Daya Alam Kalteng (SDA) ...62

(12)

B. 3. Perebutan akses SDA Kalteng ...79

C. Kesimpulan ...85

BAB IV TEKS DI WEBSITE DTE DALAM WACANA LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKEADILAN DI KALTENG

A. Pemerintah ...89 B. Masyarakat Sipil ...95 C. Pasar ...105

D. Relasi Pemerintah, Masyarakat Sipil dan Website DTE di Arena Lingkungan Hidup yang Berkeadilan Kalteng ...116

E. Kesimpulan ...118

BAB V PENUTUP

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia menggemparkan dunia pada tahun 1997 karena sejak April “mengasapi”

ketiga negara tetangga. Kalimantan Tengah adalah salah satu tungku asapnya. September

1997 , Kanwil Dephut Kalteng mengumumkan kebakaran hutan yang menimbulkan asap

tebal sebagian besar terjadi di kawasan proyek Pengembangan Lahan Gambut ( PLG)

Kalteng dengan titik kebakaran berkisar di wilayah Lamunti dan Dadahup (LATIN 1998:

28). PLG menduduki lahan seluas 1. 457. 100 hektar dan membangun kanal sepanjang 900

km. Kawasannya berupa rawa gambut 9.19 km2 atau 41 % dari total rawa gambut Kalteng (

Notohadiprawiro 2006: 6)

Presiden Soeharto memulai proyek raksasa nan bergengsi ini tahun 1996 untuk

swasembada pangan tanpa mempedulikan Amdal (LATIN: 42). Luasan lahan tidak menjamin

tercapainya proyeksi produksi padi 5,1 juta ton per tahun karena hanya lahan dengan

ketebalan 0,5 – 1,3 meter yang layak dijadikan sawah. Nyatanya, hanya 30 % atau 586. 700

hektar kawasan PLG yang dapat dijadikan lahan pertanian, itu pun hanya 410. 800 hektar

sawah baru dan 80. 200 hektar sawah lama.(LATIN 1998: 40- 41).

Kebakaran hanya salah satu bukti kerusakan lingkungan akibat PLG. Yang lainnya

adalah banjir di waktu hujan, kekeringan di musim kemarau dan wabah tikus

(Notohadiprawiro 2006: 4), hancurnya fungsi resapan gambut 3, 36 milyar meter kubik air

pada musim kemarau, ancaman digelontorkannya sekitar 2 juta liter pestisida untuk dua kali

panen di lahan 400 hektar (LATIN 1998:43). PLG yang berlandaskan pemikiran Jawa –

(14)

2 2006: 4), di samping membawa bencana ekologi PLG juga menjadi bencana sosial. WALHI

menyatakan PLG tidak mengakui sistem kepemilikan adat, tidak ada musyawarah pelepasan

lahan dan anggaran ganti rugi, hancurnya sumber daya ekomomi rakyat (LATIN 1998: 43)

Apakah kehancuran alam Kalteng juga menjadi penyebab konflik etnik berdarah?

Pada Februari 2001, bermula dari Sampit, gelombang pembunuhan oleh etnik Dayak

melawan etnik Madura menyebar di Provinsi ini. Fasilitas kesehatan, tanpa alat penguburan

yang memadai, pada tiga hari kerusuhan dibanjiri mayat tanpa kepala. Selama berminggu-

minggu bau darah menyebar hingga 10 mil setelah pembantaian. Pemerintah memperkirakan

431 korban jiwa, sumber tak resmi memperkirakan antara 1 500 hingga 3000. (Claire Q.

Smith 2005: 1) Jumlah yang diungsikan ke Surabaya, Banjarmasin dan Surabaya mencapai

20.000 jiwa. Sedangkan, jumlah warga Madura yang bermukim di Sampit sendiri sebelum

konflik, mencapai 40 persen dari total penduduk kota Sampit. (Tempo.co., 28 Februari 2001).

Pembalakan hutan telah menggunduli Kalteng dan mengakibatkan terjadinya gurun

pasir seperti di Galangan Ampalit. Di sanalah para penambang emas skala kecil, yang tidak

tahu lagi bagaimana mencari pekerjaan lain, memakai merkuri, suatu neurotoxin (lihat :

Michael Casey, The Jakarta Post, Kerengpangi, Kalimantan , January 12 2009 ).

Pertambangan emas tanpa ijin (PETI) yang mengakibatkan pencemaran merkuri di sungai-

sungai juga mengancam masa depan kehidupan Kalteng. Badan Pengelolaan dan Pelestarian

Lingkungan Hidup Daerah (BPPLHD) Kalteng (2008) mengumumkan tingkat pencemaran

merkuri yang terjadi di tiga sungai besar di Kalimantan Tengah, yaitu Sungai Barito,

Kahayan, dan Kapuas, masih membahayakan karena melebihi baku mutu yang

dipersyaratkan.Batas maksimal baku mutu konsentrasi merkuri adalah 2,000 mikro gram per

liter. Baku mutu di wilayah DAS Barito kosentrasinya 5,519 mikro gram per liter, di DAS

Kahayan antara 2,966 hingga 4,687 mikro gram per liter, dan di DAS Kapuas mencapai 7,029

(15)

3 terserap dalam usus dan terakumulasi dalam ginjal dan hati dalam waktu cukup lama, serta

dapat mengakibatkan kerusakan otak ( Tiga Sungai Besar di Kalimantan Tercemar Merkuri .

Kompas.com. Senin, 11 Februari 2008 ).

Dari ketiga masalah di atas, isu lingkungan hidup dan sosial di Kalteng muncul di website

Down to Earth (DTE). Kalteng muncul di website DTE pertama kali November 1997 pada

isu kebakaran hutan. DTE adalah sebuah non- governmental organization (NGO) atau

Organisasi non Pemerintah (Ornop) yang bermarkas di London. Mereka mengangkat

ecological justice ( EJ) di Indonesia. Website DTE menyatakan bahwa dirinya melakukan “

Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup Yang Berkeadilan di Indonesia”.

Penelitian ini dilakukan untuk teks yang diproduksi DTE mengenai isu lingkungan

berkeadilan di Kalteng.

DTE didirikan oleh dua NGO Tapol , organisasi hak asasi manusia, dan Survival

International, organisasi “tribal peoples”. Keduanya bermarkas di Inggris. DTE secara resmi menyatakan lahir tanggal 20 Desember dan memperingati ulang tahunnya ke 20 pada

tahun 2008. Semula DTE menerbitkan koran dwi-bulanan dan selanjutnya pada tahun 1999

merambah publikasi digital dengan membuat website dua bahasa : Inggris dan Indonesia. (

DTE 2009 ).

Media di AS mau pun Eropa media memiliki peran signifikan untuk mengekspose isu

lingkungan sekaligus penolakan terhadapnya. Bentuk media yang dipakai gerakan lingkungan

pun beragam dari pin/ bros, leaflet, buku, koran, majalah, tabloid, gambar dari satelit NASA

hingga internet. Pada tahun 1969 the EnvironmentalAction for Survival Committe Universitas

Michigan memprotes perang Vietnam sembari menjual bros bertuliskan slogan “Give Earth a

(16)

4 konservasi New Age. Buku Rachel Carson Silent Spring menjadi best seller tahun 1962

menjadikan isu lingkungan mendapatkan popularitasnya. (Rome 2003: 525 )

Gerakan peduli lingkungan dapat dilacak pada jejak- jejak beberapa usaha berikut ini.

Sejak awal 1960 New York Times, Life, Red-book, American Home , Good Housekeeping

mengangkat isu- isu lingkungan dikaitkan dengan kebijakan nasional dan rumah tangga .

Tahun itu juga Vance Packard menulis buku The Waste Makers yang menjadi best- seller.

Buku tersebut mengenai polusi, tujuan nasional. (Rome 2003: 530- 531). Tahun 1966 Donald

Carr menerbitkan buku Death of The Sweet Water yang menjadi salah satu buku populer.

Buku tersebut didedikasikan untuk the League of Women Voters yang memainkan peranan

penting melawan polusi air. Tahun itu juga Hazel Henderson mengorganisasikan Citizen for

Clean Air dengan menyebarkan leaflet kepada ibu-ibu selama jalan-jalan harian di taman

dengan bayi perempuannya. Kelompok ini segera punya anggota lebih dari duapuluh ribu,

diperkirakan 75 persen adalah perempuan. ( Rome 2003: 535-536) Pada 1969 terbit buku

yang berpengaruh the Population Bomb oleh Paul R. Ehrlich (Rome 2003: 542).

Sebelumnya, pada tahun 1958 Jack Kerouac menulis novel the Dharma Bums, bertema

budaya tandingan, mempertanyakan “ generasi yang terpenjara dalam sistem kerja, produksi,

konsumsi, kerja, produksi, konsumsi”. Tahun 1969 aktivis Berkeley memulai “Earth Read-

Out” , laporan radikal isu lingkungan. Tahun 1970 majalah kiri Ramparts menulis “ jalan

buntu ekologi lebih sebagai ekspresi salah fungsi aturan sosial ....”(Rome 2003: 544).

Tahun1969 majalah Liberation mendukung gerakan People’s Park (Rome 2003: 547 ). Pada

tahun1969 jumlah organisasi lingkungan mahasiswa meledak. New York Times melaporkan

di halaman depan pada bulan November bahwa isu lingkungan mungkin segera mengaburkan

perang Vietnam sebagaimana sejumlah isu suatu kampus. Newsweek membuat prediksi yang

(17)

5 Di Inggris World Wide Fund for Nature diluncurkan tahun 1961 dengan daya pikat

melalui tabloid yang dipasarkan massal. Walau kritik terhadap industri pertanian telah

diterbitkan di Eropa, publikasi Silent Springnya Rachel Carson 1962 di AS menandai langkah

yang mengubah kesadaran lingkungan. Bukan karena peringatan efek pemakaian pestisida

yang tidak pandang bulu. Tetapi karena dipublikasikan di majalah populer dan menciptkan

sensasi media. Waktu diterjemahkan dan diterbitkan ulang di Eropa dampaknya lebih besar

daripada di AS (Rootes 2008: 2). Aspirasi gerakan lingkungan global mungkin dari sesuatu

pemandangan planet biru yang ditransmisikan dari satelit NASA tahun 1960. Secara

karakteristik, organisasi ikonik dekade itu FoE dan Greenpeace mulai d Amerika utara.

Walau, ini menarik bahwa keduanya sekarang lebih kuat di Eropa. (Rootes 2008: 7)

Dengan berkembangnya teknologi, internet merupakan media penting yang dipakai

NGO lingkungan seperti DTE. Internet yang berwatak menggantikan place dengan space,

menghadirkan keserempakan dan intimacy. Meski begitu, seperti media lain, internet juga

dipertanyakan apakah ia dapat menjadi sarana meningkatkan demokrasi atau justru

sebaliknya menghambat gerakan demokrasi. Apalagi teknologi informasi dikhawatirkan

memunculkan digital divide, jurang yang terjadi karena masalah kepemilikan piranti digital .

Keunikan watak internet ini menyebabkan pemakaian internet bagi gerakan lingkungan

menjadi menarik untuk diteliti. Salah satu penelitian yang dilakukan Manuel Castells dalam

bukunya The Information Age membuatnya memproklamirkan the Network Society sebagai

sebuah bentuk baru masyarakat akibat revolusi teknologi dan restrukturisasi kapitalisme. (

Castell 2004 : 1-2 )

Internet dan hubungannya dengan New Social Movement (NSM) memunculkan

pertanyaan mendasar. Apakah internet dapat membawa bentuk baru aktivisme politis ,

(18)

6 publik- tandingan online meningkat. Apakah perkembangbiakan mereka menuju kekuatan

yang berlipat atau malahan terpecah? Kalau menerima penjelasan bahwa masyarakat

terfragmentasi, maka solidaritas sangat penting untuk menciptakan komunitas politis yang

berhasil. (Fenton 2008: 37-38)

Meski memfasilitasi mobilisasi, potensi demokrasi internet tidak tergantung pada

partisipasi dan interaktivitas, polycentrality dan multiplicity. Potensi demokrasi direalisasikan

hanya lewat agen yang terlibat aktivitas reflektif dan demokratis. Ini disebutkan Bohman (

2004: 142) : “ adalah kesalahan untuk mengatakan bahwa individu memiliki kontrol seketika.

Mereka punya kendali hanya lewat persetujuan pada hubungan asimetris pada berbagai agen

yang menstruktur pilihan dalam lingkungan komunikatif cyberspace”. Dunia online secara

kokoh berjangkar pada dunia offline pada pembatasan sosial semua partisipan adalah subyek

juga. Beberapa protes high-profile terjadi di lokasi yang jauh hanya bisa dicapai pemrotes

yang punya dana perjalanan. Crossley (2002) menemukan, sebagaimana protes sering

diorganisasikan lewat internet, sumber ekonomi dan budaya yang melibatkan pemakaian

teknologi ini juga mengucilkan beberapa partisipan potensial. Mereka mungkin yang

menderita dampak paling banyak dari sesuatu yang diprotes.(Fenton 2008: 47)

Pemakaian internet untuk gerakan sosial membawa pertanyaan bagaimana kelompok

oposisi yang terfragmentasi dan terdiri dari banyak bagian dapat berfungsi bersama untuk

cita-cita politis. Dalam menciptakan politik lintas batas selalu ada perbedaan. Bagaimana

suatu politik solidaritas dalam perbedaan akan direalisasikan? Solidaritas sosial dapat

dideskripsikan sebagai sebuah moralitas kerjasama, kemampuan individual untuk

mengidentifikasi satu sama lain dalam semangat kebersamaan dan timbal balik tanpa

keunggulan individual atau paksaan. Itu yang menuntun pada jaringan individu atau lembaga

(19)

7 menyatukan. Contohnya gerakan anti- globalisasi.(Fenton 2008: 49) Identitas yang dipilih

pada suatu ketika tidak bisa dianggap sudah begitu adanya atau statis . Identitas politis

muncul dan diekspresikan lewat proses sosial yang terus menerus dari pembentukan identitas

individu dan kolektif. Dengan cara ini solidaritas sosial diperbesar ( Fenton 2008: 49).

Della Porta dan Tarrow (2005) menunjuk interkoneksi antara partisipasi online dan

offline sebagai:’ rooted cosmopolitans’ (orang atau kelompok yang punya akar di konteks

nasional spesifik tapi terlibat dalam jaringan kerja transnasional kontak dan konflik’);

‘multiple belongings’ (aktivis dengan keanggotaan tumpang tindih yang terhubung dengan

jaringan kerja polycentric ); ‘flexible identities’ ( diberi karakter keinklusifan dan penekanan

positif pada perbedaan dan cross- fertilization ). Partisipan pada gerakan ini disimpulkan

bersama oleh elemen umum dalam sistem nilai mereka dan pemahaman politis, dan karena

itu terkait dengan kepercayaan bersama dalam narasi yang memasalahkan fenomena sosial

partikular (Fenton 2008: 49)

Solidaritas yang dibangun lewat internet disebut Jordon dan Taylor (2004) sebagai

solidaritas viral – sebuah tekno- politik di jaman informasi. Contohnya Dissent! , sebuah

jaringan kerja yang dibentuk pada musim gugur 2003 oleh sekelompok orang yang

sebelumnya terlibat People’s Global Action (PGA). PGA dibentuk tahun 1998 oleh aktivis

yang memprotes WTO. Jaringan kerja Dissent! tidak punya kantor pusat, tidak punya juru

bicara, tidak punya daftar keanggotaan dan tidak punya staf yang dibayar. Ia eksis sebagai

jaringan kerja yang menyebar untuk komunikasi dan koordinasi antara kelompok lokal dan

individual yang terlibat dalam membangun penolakan terhadap G8 , dan kampanye terkait. (

Fenton 2008: 50)

Bagaimana pun Fenton mengingatkan supaya tidak mengecilkan arti solidaritas yang

(20)

8 petisi online atau mengklik protes di website sembari sendirian di rumah. Breslow (1997)

berpendapat bahwa internet mempromosikan rasa sosialitas, tetapi anonimitas dan kurangnya

ruang kepadatan mungkin kotraproduktif terhadap solidaritas. Internet mungkin juga

didevaluasi oleh aktivis karena ia mengambil kesenangan dan petulangan dari beberapa

bentuk protes kolektif. Aktivisme online dapat dilihat sebagai lazy politics – itu membuat

orang merasa baik tetapi mengerjakan sangat sedikit. (Fenton 2008: 51 -52 )

Setiap pihak memiliki kepentingan seturut agenda masing-masing terhadap Kalteng .

Begitu juga pelaku gerakan lingkungan yang mengangkat isu tentang Kalteng. Kalteng di

website DTE adalah Kalteng yang direpresentasikan DTE sesuai kepentingan DTE untuk

membangun identitas kolektif pembacanya berdasarkan tujuan DTE yang melakukan

kampanye internasional. Karena itu, menarik untuk mengetahui politik representasi di website

DTE tentang isu lingkungan Kalteng.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas maka permasalahan yang

muncul adalah produksi wacana lingkungan hidup di Kalteng. Oleh karena itu penelitian ini

dipusatkan pada:

1. Bagaimana wacana lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng diproduksi?

2. Pihak- pihak mana yang terlibat dalam produksi wacana lingkungan hidup yang

berkeadilan di Kalteng?

3. Wacana macam apa yang dihasilkan oleh setiap produsen wacana lingkungan hidup

yang berkeadilan di Kalteng?

4. Mengapa wacana lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng penting untuk

(21)

9 C. Tujuan dan manfaat penelitian

1. Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini memiliki tujuan:

1. Untuk mengetahui wacana lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng

diproduksi.

2. Untuk mengetahui pihak- pihak mana yang terlibat dalam produksi wacana

lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng.

3. Untuk mengetahui wacana macam apa yang dihasilkan oleh setiap produsen

wacana lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng.

4. Untuk mengetahui mengapa wacana lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng

penting untuk diproduksi.

2. Manfaat

Manfaat kajian ini adalah mendapatkan jawaban di atas yakni:

1. Bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat Kalteng, penelitian ini

menambah pandangan tentang wacana lingkungan hidup Kalteng.

2. Bagi pengembangan ilmu hasil penelitian ini menambah kajian tentang wacana

(22)

10 3. Bagi berbagai pihak yang peduli dengan lingkungan hidup Kalteng, penelitian ini

dapat menjadi salah satu referensi untuk kajian ataupun aksi.

D. Tinjauan pustaka

Kajian mengenai bagaimana suatu kelompok di website secara menarik ditulis Ien

Ang di bukunya On Not Speaking Chinese (2005). Pada salah satu bagian bukunya, Indonesia

on My Mind, ia mengulas tentang website www.huaren.org yang muncul sebagai reaksi

kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Dari website tersebut terbaca representasi Cina diaspora

yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang dalam memandang kejadian tersebut cenderung

menafikan kompleksitas sejarah dan situasi spesifik di Indonesia. Website ini merupakan

fenomena yang setara dengan CNN ketika mengangkat tragedi di lapangan Tiananmen

Beijing. Website huaren masih bertahan pada tahun 2000 meskipun tak lagi menarik

perhatian dunia, karena sebagaimana sifat internet itu sendiri yang dapat melakukan zoom in – zoom out tetapi tak mampu bertahan lama karena melelahkan.

Ulasan Ian Eng memberi kontribusi penting pada kajian website yakni menyoroti

proses produk teks yang membangkitkan rasa solidaritas Cina diaspora. Ini untuk

membandingkan produksi teks di Website DTE untuk menghimpun solidaritas atas isu- isu

lingkungan Kalteng dari ranah lokal ke ranah global. Penelitiannya mengungkap bagaimana

sentimen primordial ras dan etnik dapat mengobarkan kepedulian lewat internet. Namun

belum dapat menggambarkan bagaimana kepedulian terbangun lewat internet terhadap

masalah yang menimpa ras dan etik lain di tempat lain. Penelitian yang dilakukan penulis

untuk mengisi kekurangan ini dengan kajian kasus bagaimana website DTE yang bermarkas

di London membangun kepedulian terhadap masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng).

Sementara itu penelitian yang dilakukan David T. Hill dan Krishna Sen (2005) di

(23)

11 memberi gambaran bagaimana internet menjadi media yang penting ketika media lain dalam

tekanan pemerintah Orde Baru. Maraknya bisnis warnet (warung internet) dapat menjadi

ajang aktivis pro demokrasi mengakses informasi sekaligus berinteraksi . Namun, seperti

yang diakui penulisnya, kajiannya kurang memberi perhatian pada bagaimana interaksi

antara koneksi global dengan masyarakat madani setempat. Selain itu kini keberadaan warnet

sudah jarang. Penelitian yang dilakukan penulis akan mengisi kekurangan ini dengan kajian

kasus bagaimana website DTE melakukan kampanye internasional untuk lingkungan hidup

berkeadilan di Indonesia berkerjasama dengan Ornop Kalteng.

Kedua buku di atas mengkaji bagaimana sebuah gerakan memakai internet untuk

menyikapi kondisi di Indonesia, tetapi tidak secara spesifik meneliti bagaimana sebuah

lembaga melakukan aktivitasnya dalam arena gerakan sosial baru. Helena Cook, yang

menulis Amnesty International at The United Nations, dari bagian buku The Influence on Non – Govermental Organisations in The U.N. System, dengan editor Peter Willetts (1996),

menyumbangkan sisi bagaimana sebuah gerakan lahir dan menjadi lembaga yang memberi

pengaruh besar bagi gerakan memperjuangkan hak asasi manusia di dunia. Cook menulis

bagaimana Amnesty International dalam aksinya berada dalam tegangan antara kampanye

publik dan “quiet diplomacy”. Tetapi bagaimana mereka memakai media terutama internet

tidak dibahas di sini. Penilitian yang dilakukan penulis untuk mengisi kekurangan ini dengan

kajian kasus DTE melakukan aktivitasnya memantau dan kampanye isu lingkungan Kalteng

baik dengan cara off line mau pun on line.

Peran penting internet untuk membangun jaringan lokal – global dalam gerakan social

baru secara menarik diungkap Jeffrey S. Juris dalam artikel “Networked Social Movements :

(24)

12 aktivis berkumpul seperti Seattle, Brussel, Zaragoza, Porto Alegre, Juris mengangkat gerakan

yang beroperasi sekaligus pada tingkat global dan lokal sembari terjadi integrasi antara

aktivitas politik on line dan off line. Menurutnya gerakan-gerakan tersebut secara genealogy

merupakan keturunan gerakan Zapatistas dari Indian Maya di Chiapas yang sukses melawan

North American Free Trade (NAFTA) dan Multilateral Investment Agreement (MAP) dengan didukung teknologi internet. Gerakan sosial baru berikutnya bermunculan dengan

aksi yang mirip misalnya People’s Global Day Action Network, Continental Direct Action

(DAN), Movement for Global Resistance (MRG), International Movement for Democratic

Control of Financial Markets and Their Institutions (ATTAC).

Mereka muncul sebagai gerakan anti globalisasi dan neoliberal dengan melawan

lembaga-lembaga global seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), World

Social Forum (WSF), World Economic Forum bahkan Uni Eropa. Gerakan mereka dengan

membentuk jaringan memakai berbagai bentuk komunikasi sekaligus. Teknologi informasi

yang canggih dipakai untuk menyebarkan informasi, berinteraksi dan melakukan koordinasi

dengan cepat ke berbagai belahan dunia menggapai para aktivis yang memiliki latar belakang

sangat beragam. Tetapi diskusi yang lebih kompleks terjadi ketika mereka telah bertatap

muka. Gerakan mereka, meski bersifat cair dan menolak adanya hirarki seperti lembaga

konvensional (misalnya partai politik) bagaimana pun memiliki apa yang disebut Juris

sebagai “key activist” yang bertindak sebagai “relayers”, “exchangers”. Mereka bekerja

untuk melakukan “generating concrete practices” yang meliputi penerimaan, interpretasi, dan

“relaying of information out to the different nodes” di antara jaringan gerakan alternatif.

Paparan penting mengenai gerakan anti neoliberal ini sayangnya tidak menyinggung

bagaimana proses produksi teks gerakan- gerakan tadi di internet secara khusus.Penelitian

(25)

13 aktivitasnya melalui internet dan bekerjasama dengan Ornop lokal untuk isu lingkungan

hidup berkeadilan di Kalteng.

Kajian tentang etika lingkungan dalam konteks Indonesia dilakukan Sonny Keraf .

Bukunya Etika Lingkungan Hidup merunut perkembangan etika lingkungan yang dibedakan

menjadi : 1) antropsentrisme, 2) biosentrisme, dan 3) ekosentrisme. Antroposentrisme

membangkitkan minat manusia menyelamatkan lingkungan karena lingkungan hidup dan

alam semesta diperlukan manusia untuk memuaskan kepentingannya. Biosentrisme

menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai berharga pada dirinya

sendiri (Keraf 2010 : 65). Teori etika lingkungan biosentrisme berlanjut dengan

ekosentrisme. Bedanya, pada biosentrisme etika dipusatkan pada komunitas biotis, sedang

ada ekosentrisme etika dipusatkan pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup mau

pun tidak. Salah satu versi teori ekosentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang

dikenal dengan Deep Ecology (Keraf 2010: 91 -92). Atas kerusakan lingkungan di Indonesia,

Keraf mengajak kembali kepada kearifan tradisional yakni kearifan lama masyarakat adat

(Keraf 2010: 360). Keraf menawarkan menjaga kelestarian lingkungan dengan kembali ke

kearifan masyarakat adat , seperti yang diperjuangkan DTE , akan tetapi Keraf hanya menulis

dari sisi filsafat lingkungan, belum melakukan kajian kasus- kasus pelaksanaannya.

Penelitian yang dilakukan penulis untuk mengisi kekurangan ini dengan kajian kasus

bagaimana DTE dan mitra lokalnya melaksanakan kearifan masyarakat adat di Kalteng.

E . Kerangka Teori

1. Teori Representasi

Untuk membaca politik representasi di website DTE mengenai Kalteng pertama- tama

adalah memahami representasi itu sendiri. Saya mengalami kesulitan untuk memperoleh

(26)

14 kawan yang membuat catatan dari beberapa karya yang dibuat para pemikir lain termasuk

Ferdinand de Sausure, Roland Barthes, Michael Foucault.

Ada beberapa teori yang muncul untuk menjelaskan representasi yang melibatkan

tiga hal penting : kebudayaan, bahasa dan makna. Hubungan ketiganya tak terpisahkan

seperti dalam skema The circuit of culture (aliran / perputaran budaya) yang dibuat Du Gay,

Hall dkk (1997). Makna diproduksi di lokasi yang berbeda- beda dan dialirkan secara terus

menerus.

Gambar skema ; ( Hall 2003:1)

Representation

Regulation Identity

Consumption Production

Aliran budaya menganggap makna diproduksi di beberapa lokasi yang berbeda dan

disebarkan melalui beberapa proses dan praktek yang berbeda. Makna memberi arti pada

identitas mengacu siapa dia dan “milik” siapa. Makna meregulasikan dan mengorganisasikan

(27)

15 dan pengendalian kehidupan sosial. Salah satu media “istimewa” untuk itu adalah

bahasa.(Hall 2003:3-4)

Kebudayaan adalah tentang “ berbagi makna”. Bahasa merupakan media yang

memiliki hak istimewa yang di dalamnya kita ‘mengerti ‘ sesuatu , di dalamnya makna

diproduksi dan dipertukarkan. Makna hanya dapat dibagi bersama melalui akses umum pada

bahasa. Bahasa sebagai tempat penyimpanan utama nilai- nilai dan makna. Dalam bahasa ,

kita memakai tanda-tanda dan simbol – berupa suara, kata- kata tertulis, image yang

diproduksi secara elektronik, not musik, bahkan obyek untuk menghadirkan kepada orang

lain konsep, ide dan perasaan kita. Bahasa merupakan satu dari ‘media’ untuk lewatnya

pemikiran, ide, perasaan direpresentasikan dalam suatu kebudayaan. Representasi melewati

bahasa karena itu pusat proses yang olehnya makna diproduksi. (Hall 2003:1)

Bagaimana bahasa dipakai untuk merepresentasikan dunia sejauh ini melahirkan tiga

teori representasi yakni : reflektif atau ‘mimetic’, intensional, dan kontruksionis. (Hall 2003

: 15). Pertama, pada pendekatan reflektif , makna dibayangkan terletak di dunia nyata.

Bahasa berfungsi bagai cermin , memantulkan makna asali seakan itu sudah ada di dunia.

Bahasa bekerja hanya dengan mencerminkan atau menirukan kebenaran yang telah ada dan

menetap di dunia, yang kadang disebut ‘mimetic’ (Hall 2003: 24). Kedua, pendekatan

intensional berseberangan dengan pendekatan reflektif. Makna bukan merupakan makna

asali dari dunia tetapi makna unik berdasarkan cara memandang dunia yang diberlakukan

oleh subyek (pembicara atau penulis) lewat bahasa. Kata- kata punya arti sesuai apa yang

ditunjukkan penulis. (Hall 2003: 25)

Kelemahan kedua pendekatan yang terdahulu diperbaiki pada pendekatan ketiga ,

kontruksionis, dengan mengakomodasi sifat sosial bahasa. Makna dalam bahasa ditentukan

(28)

16 sistem representasi kita dalam mengkontruksikan makna. Pendekatan konstruksionis

memperjelas hubungan masalah dunia materi, tempat keberadaan segala sesuatu dengan

proses dan praktek simbolik tempat yang dilewati beroperasinya representasi, makna dan

bahasa. Bukan dunia materi yang membawa makna. Makna dikonstruksikan oleh aktor sosial

dengan memakai sistem konseptual dari budaya mereka dan bahasa dan sistem representasi

lain . Setelah dunia dibuat penuh makna, itu dapat dikomunikasikan kepada yang lain. Dari

pendekatan konstruksionis, representasi didefinisikan sebagai suatu praktek, semacam

‘kerja’, yang memakai obyek materi dan efek. Meski begitu makna bukannya tergantung

pada kualitas materi tanda akan tetapi pada fungsi simboliknya. Hal itu karena kata atau suara

tertentu dipakai untuk, menyimbolkan atau merepresentasikan suatu konsep yang dapat

berfungsi di dalam bahasa sebagai sebuah tanda atau membawa makna, atau itu oleh

kontruksionis disebut signify ( sign-i-fy ). (Hall 2003: 25 -26 ).

Pendekatan konstruksionis memiliki dua variasi aliran utama yakni pendekatan

semiotik dan diskursif. Pendekatan semiotik atau ‘poetics’ menjawab pertanyaan tentang

bagaimana representasi, dengan bahasa apa memproduksi makna. Sedang pendekatan

diskursif atau ‘politik’ ingin menjawab efek dan konsekuensi apa dari representasi.

Pendekatan diskursif menekankan sejarah khusus dari suatu bentuk tertentu atau ‘rejim’

representasi. Di sini yang dimaksud ‘bahasa’ bukanlah sebagai hal umum, tetapi tentang

bahasa atau makna khusus, dan bagaimana mereka tersebar di tempat dan waktu tertentu. Ini

mengenai cara praktek representasi beroperasi dalam situasi historis yang kongkret, dalam

praktek sesungguhnya. (Hall 2003: 6)

Pada pendekatan semiotik, representasi dipahami atas dasar bagaimana cara kata- kata

digunakan sebagai tanda dalam bahasa. Masalahnya adalah , dalam suatu kebudayaan ,

(29)

17 discourse (wacana) menyeluruh yang beroperasi melintasi berbagai teks, bidang pengetahuan

tentang subyek yang memerlukan otoritas yang tersebar luas. Hall menyebut Michel Foucault

yang lebih memerhatikan produksi pengetahuan daripada hanya makna dan melalui

discourse (wacana). Akan menimbulkan pertanyaan ketika menempatkan representasi

sebagai sumber produksi pengetahuan dalam hubungannya dengan praktek sosial dan

pertanyaan mengenai kekuasaan. Michel Foucault menjelaskan hubungan pengetahuan

dengan kekuasaan. (Hall 2003: 42 – 43). Penelitian Foucault adalah wacana sebagai sebuah

sistem representasi. Wacana itu sekelompok pernyataan yang menyediakan bahasa untuk

berbicara tentang – suatu cara penghadiran pengetahuan tentang – sebuah topik khusus pada

saat sejarah tertentu. Cakupan wacana lebih dari konsep ‘linguistik’ semata. Ia mengenai

bahasa dan praktek. Ia mengkonstruksikan topik, juga mendefinisikan dan memproduksi

obyek pengetahuan kita. (Hall 2003: 48 – 49). Lalu di mana subyek dan siapa yang

memproduksi pengetahuan? Menurut Foucault bukan subyek tetapi wacana yang

memproduksi pengetahuan. Subyek itu sendiri diproduksi dalam wacana (Hall 2003: 54- 55).

2. Analisa teks untuk isu lingkungan di media

Stuart Hall telah membuat klasifikasi dan perbandingan teori representasi semiotik

dan wacana. Meski begitu saya mengalami keterbatasan untuk menangkap makna teks di

website DTE sebagai kajian media yang memakai “digital imaging”. Karena itu saya meminjam analisa yang dipakai Peter Hughes yang mengusulkan bahwa teks media bernilai

sebagai bukti fenomena sosial sekaligus memiliki nilainya sendiri (Hughes 2007:251).

Hughes memakai sekaligus pendekatan semiotik dan analisa wacana. Pendekatan semiotik

mengartikan apa yang ada di layar sebagai tanda. Analisa wacana menganggap tanda

berfungsi dalam hal struktur yang lebih besar yang melampaui teks itu sendiri (Hughes

(30)

18 membaca perwajahan teks keseluruhan termasuk visual teks. Saya meneliti teks DTE dengan

pendekakatan Hughes dengan kajian semiotika dan wacana untuk menyediakan analisis

sistematik dengan sistem berbasis image dan sistem berbasis kata. (Hughes 2007: 259).

3. Wacana dengan pembingkaian.

Hughes mengusulkan analisa teks untuk media berbasis digital. Saya menambahkan

analisa pembingkaian Jenny Kitzinger untuk menjelaskan teks di media adalah proses seleksi.

Bagi Jenny Kitzinger analisa pembingkaian adalah hanya kata lain dari analisa wacana (

Kitzinger 2007: 140 ). Dalam kajian media dan komunikasi analisa bingkai adalah isilah

yang dipakai ketika peneliti mencoba untuk membongkar proses yang dilewati ketika sebuah

bingkai dihadirkan. Membingkai adalah untuk menyeleksi beberapa aspek realitas yang

dirasakan dan membuatnya lebih menonjol. ( Kitzinger 2007 : 136 )

Pembingkaian bisa jadi merupakan strategi enviromentalis. Setiap gerakan sosial

harus mem” bingkai kembali “ isu- isu. Kajian pembingkaian memperlihatkan pergulatan

atas produksi atau pengerahan dan perlawanan pengerahan ide dan makna ( Benford & Snow

2000: 3 ) ( Kitzinger 2007: 136 ). Kajian pembingkian akan melacak bagaimana kelompok

pengkampanye menghadirkan alasan mereka dan penggambaran diri mereka , atau

bagaimana aspek paling penting atau pandangan alternatif direpresentasikan dalam media

massa. ( Kitzinger 2007: 136- 137 ).

4. Arena

Wacana lingkungan hidup yang berkeadilan di Kalteng merupakan wacana yang tidak

hanya dipakai DTE tetapi oleh berbagai pihak. Selain analisa pembingkaian, saya membaca

bagaimana berbagai pihak tersebut memakai wacana lingkungan hidup berkeadilan secara

(31)

19 Dengan konsep ini saya membaca bagaimana pihak-pihak tadi adalah agen-agen yang

bertindak dalam situasi sosial yang nyata di Kalteng yang diatur oleh seperangkat relasi

sosial. Bourdieu mendefinisikan arena- arena sebagai ruang yang terstrukstur dengan

kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi- relasi kekuasaannya sendiri, yang terlepas

dari kaidah ekonomi kecuali dalam kasus arena ekonomi dan arena politik itu sendiri. Dalam

arena agen- agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang

menciptakan posisi- posisi yang baru) terlibat di dalam kompetisi yang memperebutkan

kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena tersebut. ( Bourdieu 2012 :

xvii- xviii).

F. Data

1. Jenis data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa unsur terdiri dari teks di

website DTE , sumber dari Ornop dan Ormas lokal, media, pemerintah ( Indonesia, Kalteng ). Teks sebagai data untuk menjawab pertanyaan rumusan masalah nomor satu, dua dan tiga.

Data termasuk perwajahan website, gambar (logo), foto, artikel. Di samping itu ada data

praktis. Data ini dikumpulkan dari wawancara dengan berbagai pihak meliputi DTE, ornop

dan ormas lokal. Wawancara dilakukan sebagai klarifikasi data yang menjawab rumusan

masalah nomor satu, dua dan tiga.

2. Cara Pengumpulan data

Cara pengumpulan data dengan mengunduh (download) dari internet dan wawancara.

Keduanya dilakukan satu demi satu atau bersamaan.

Mengunduh data dilakukan untuk mencari data berupa teks DTE dan data sekunder

(32)

20 dilakukan di mana saja, asalkan tidak terhambat soal teknis. Tetapi mengingat data digital

berada di ruang maya dan sering berubah maka harus dibuat catatan waktu mengunduhnya.

Kendala lain adalah format data sering sulit untuk dicetak dalam bentuk hard copy. Data

diambil dari tanggal 15 April 2009 hingga tanggal 30 April 2013.

Melakukan wawancara dengan DTE dan nara sumber lain secara langsung atau telpon

dan atau melalui wawancara tertulis lewat jaringan e- mail.

3. Cara menafsirkan data

Berdasar pada keterangan di atas yang terkait dengan kerangka teori, teks- teks di

website DTE ditafsirkan dengan kajian semiotika kemudian dibaca dalam konteksnya.

G. Sistematika Penulisan

Bab. 1. Pendahuluanbertolak dari proposal riset berisi judul, latar belakang, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab. 2. Wacana Lingkungan Hidup yang Berkeadilan memaparkan teks bagaimana

isu lingkungan dikontruksi menjadi berbagai wacana temasuk wacana Lingkungan Hidup Yang

Berkeadilanyang diangkat DTE.

Bab 3. Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di Kalteng menampilkan data berupa teks

website DTE dan konteks Kalteng. Teks website DTE ditampilkan dalam sistem berbasis

(33)

21

Bab. 4. Teks di website DTE Dalam Wacana Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di

Kalteng membahas teks di website DTE dalam Wacana Lingkungan Hidup yang Berkeadilan

di Kalteng

(34)
(35)

22 BAB II

WACANA LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKEADILAN

Bab ini merupakan diskusi wacana lingkungan yang dibingkai sebagai environmental

justice (EJ). Gerakan EJ merupakan gerakan yang bertolak dari kritik terhadap pembangunan

dan merupakan gerakan yang menggabungkan lingkungan dengan hak asasi manusia (HAM).

Dalam hal ini HAM yang dipakai adalah hak asasi bersifat kolektif yang diperjuangkan oleh

komunitas lokal.

Dalam wacana tentang lingkungan terdapat sejumlah prespektif. Salah satunya

perspektif konstruksionis yang dipakai Dorceta Taylor untuk memandang lingkungan

sebagai konstruksi sosial. Saya menggunakan perspektif tersebut untuk menempatkan

masalah lingkungan sehingga “masalah lingkungan” adalah masalah sosial. “Masalah

lingkungan” adalah klaim yang secara sosial dikonstruksikan lewat proses kolektif. Dengan

konstruksi sosial maksudnya, problem lingkungan tidak statis, tidak selalu produk yang sudah

teridentifikasi, dapat dilihat, atau kondisi obyektif . Kelompok- kelompok masyarakat

merasakan, mengidentifikasi, dan mendefinisikan masalah lingkungan dengan

mengembangkan makna bersama dan menafsirkan isu- isu. Karena itu , perspektif

kontruksionis mempermasalahkan bagaimana orang –orang menentukan makna pada dunia

sosial mereka.(Taylor h. 509)

Tulisan ini menggali isu lingkungan hidup berkeadilan semula dari isu lingkungan

yang merupakan kritik terhadap isu pembangunan. Isu lingkungan hidup mengalami

perkembangan dari usaha melindungi lingkungan hidup hingga menggabungkan dengan isu

hak asasi manusia terutama hak kolektif bangsa kulit berwarna dan komunitas lokal. Apa

yang diperjuangkan bangsa kulit berwarna dituangkan dalam dokumen The Principles pada

(36)

23 lingkungan hidup dan komunitas lokal. Kemudian tulisan ini akan menggali bagaimana

gerakan lingkungan hidup berkeadilan d Indonesia.

A. Lingkungan dan hak asasi manusia

Wacana lingkungan hidup kontemporer muncul dari Amerika Serikat (AS). Gerakan

lingkungan di AS tidak bersifat statik-monolitik. Wacana EJ muncul menggoyang

kemapanan wacana dominan sebelumnya. EJ merupakan komponen kedua (selain Deep

Ecology ) dari gerakan lingkungan AS yang timbul awal 1980 an. Seperti Deep Ecology ,

wacana EJ akibat dari kekecewaan mendalam pada hasil gerakan lingkungan tahun

1960-1970 . Perhatiannya ditempatkan bukan pada wilderness malahan pada ketidaksetaraan

beban polusi yang ditempatkan pada komunitas miskin dan minoritas. Perhatian mereka

diarahkan pada terpaan polusi racun yang sulit membusuk, dalam bentuk tempat

pembuangan sampah limbah beracun lokal, polusi udara tingkat tinggi, atau kondisi

tempat tinggal yang tidak sehat dan tercemar. Dari perhatian ini bangkitlah komunitas

unik yang terpusat pada isu -isu lingkungan urban di lokasi yang tidak dirugikan.

Gerakan Environmental Justice (EJ) di AS menunjukkan kecenderungan radikal

akibat dari ketidakpuasan pada gerakan lingkungan sebelumnya. Secara kronologis Dorceta

E. Taylor membagi kegiatan lingkungan Amerika Serikat dalam empat fase yang sesuai

dengan paradigma pembangunan : Era gerakan awal (1820-1913) Explotative Capitalist

Paradigm (ECP), Era Post - Hetch Hetchy (1914- 1959) ECP & Romantic Environmental

Paradigm (REP) , setelah itu gerakan lingkungan modern yang terbagi dalam Era Post –

Carson (1960- 1979) New Environmental Paradigm ( NEP), Era Post-Three Mile Island /

Love Canal (1980 -sekarang) NEP dan Environmental Justice Paradigm ( EJP) ( Taylor :

527) (lihat tabel )

(37)

24

Gerakan lingkungan AS dapat diklasifikasi dalam empat fase yang berbeda dari

aktivisme dan pergantian tiga paradigma utama. Abad 19 kebanyakan paradigma sosial yang

dominan yang berhubungan manusia – alam diartikulasikan dalam pola exploitative

capitalist paradigm ( ECP). ECP melihat sumber daya sebagai berlimpah dan terbarukan ,

karenanya mereka dikeduk dan dipakai dengan luas tanpa memikirkan keperluan masa

mendatang. Orang-orang percaya perkembangan teknologi dapat memecahkan masalah dan

percepatan dan perluasan perkembangan industri bagus untuk masyarakat.(Taylor : 529).

Romantic Environmental Paradigm ( REP) sebagai alternatif ECP mengembangkan sektor

wilderness/ wildlife tumbuh dari tokoh seperti Emerson, Thoreau, Muir, semua itu dipengaruhi Jean – Jaques Rousseau, pemikir Eropa. Selain itu REP merupakan karya aktivis

ekologis dan pegawai negeri George Perkin Marsh dan konservasionis seperti Gifford

Pinchot dan Theodore Roosevelt. Mereka mendesak agar orang hidup harmonis dengan alam

dan mendorong pemerintah untuk melindungi wildlife dan wild land. Pendukung

preservasionis melakukan pembelaan untuk kembali ke kehidupan sederhana.

Konservasionis setuju dengan preservasionis bahwa tingkat kerusakan sumber telah lama

menjadi problematik dan kontrol pemerintah atas sumber daya alam adalah esensial. Mereka

tidak setuju bahwa perlindungan lingkungan berarti meninggalkan pembangunan

(38)

25 Selama era post- Carson , REP mendapat sisipan visi lingkungan yang lebih luas yang

mengkritik pembangunan teknologi tinggi (besar, kompleks, intensif energi) seperti industri

nuklir, mendukung pembatasan kelahiran , pencegahan polusi, pengurangan resiko,

pembersihan lingkungan, mendukung nilai posmaterialis. NEP memiliki sikap yang lebih

pro- lingkungan dibanding REP karena sejumlah besar orang bergabung dengan gerakan

untuk pertama kalinya , mereka terutama kaum muda yang sedikit atau tidak punya hubungan

dengan dan kemungkinannya kurang untuk dipengaruhi untuk membuat konsesi bisnis atau

mendukung rencana yang diawali dengan bisnis. Juga, aktivis lingkungan yang baru tidak

mengejar rekreasi ekstratif seperti berburu dan memancing seperti environmentalis

gelombang pertama dan kedua, mereka tidak terhubung dengan kepemimpinan lingkungan

“old guard”, dan beberapa punya pengalaman gerakan sosial radikal seperti anti nuklir dan

gerakan HAM (Hak Asasi Manusia). (Taylor :533)

Pengalaman lingkungan ras berwarna jelas berbeda dengan ras kulit putih; karena itu

tidak mengejutkan bahwa kegiatan lingkungan mereka, agenda, dan paradigma berbeda

dengan yang dikonstruksikan oleh kulit putih klas pekerja- menengah. Kasus ini karena,

pertama, sejarah kegiatan lingkungan ras berwarna adalah suatu usaha untuk mendefinisikan

ulang bagaimana mereka menghubungkan pola kondisi tempat tinggal dan tempat kerja dan

kesempatan rekreasi. Redefinisi tersebut memiliki tiga komponen : otonomi atau self-

determination, hak atas tanah, dan hak sipil atau hak asasi manusia (HAM). Lewat sejarah,

bangsa kulit putih menimbun dan mengendalikan sumber daya lewat apropriasi tanah dan

buruh dan mengendalikan gerakan bangsa kulit berwarna. Periode penaklukan berkarakter

kerusakan sistem budaya bangsa pribumi. Bangsa kulit putih , bagaimana pun bebas untuk

mengekspresikan mereka sendiri dan membangun bermacam hubungan dengan apa yang

(39)

26 Tidak mengherankan bahwa wacana lingkungan bangsa kulit berwarna dibingkai

seputar konsep seperti otonomi, self- determination, akses sumber daya, kejujuran dan

keadilan, hak sipil dan HAM. Konsep- konsep itu tidak terdapat di wacana lingkungan arus

utama.(Taylor:543 ). EJ telah menjadi bingkai di bawah permukaan politik komunitas bangsa

kulit berwarna lebih dari satu abad. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa sejak 1800 an ,

bangsa kulit berwarna mencoba untuk meningkatkan kondisi perumahan di antara budak ,

untuk tanah dan hak pekerja.(Taylor: 534-535). Bahkan awal 1900 an kaum kulit hitam

Chicago mengangkat isu pemisahan pemukiman dan pemisahan taman dan pantai publik.

Selama masa 1940 an, 1950 an, 1960 an aktivisme lingkungan meningkat di komunitas kulit

berwarna meliputi debat soal hak mencari ikan, kontaminasi pestisida, kesehatan dan

keamanan pekerja, pemisahan di sistem transportasi. Walau pergulatan lingkungan 1950 an

dan 1960 an digabungkan dalam gerakan dan bingkai gerakan HAM, gerakan Chicano dan

gerakan Indian mendorong ketertarikan pada bingkai baru gerakan EJ.(Taylor:535)

Sekitar 1980an gerakan EJ mendapat tambahan momentum dan dapat dilihat setelah

bangsa kulit berwarna mulai mengorganisasikan kampanye lingkungan seperti pencegahan

racun pestisida dan perlawanan penempatan fasilitas beracun di komunitas mereka.

Sementara itu peneliti, pembuat kebijakan , dan aktivis komunitas memulai investigasi

hubungan antara ras dan paparan lingkungan berbahaya. Dua kajian penting yang memeriksa

hubungan itu mendapati masyarakat kulit hitam dan kulit berwarna lain lebih mungkin untuk

terpapar lingkungan berbahaya daripada orang kulit putih (U. S. General Accounting Office [

U. S. GAO ]1983; United Church of Christ [UCC],1987). Kajian UCC khususnya adalah

kesadaran yang menyengat karena merupakan kajian nasional yang membuat hubungan

eksplisit antara ras dan kemungkinan yang meningkat terpapar limbah beracun dan kondisi

lingkungan berisiko lain. Ini juga dokumen penting dalam arti ini menyediakan pembebasan

(40)

27 environmental racism dibakukan untuk menjelaskan ragam situasi yang dihasilkan karena

pengaruh faktor- faktor rasial. Istilah itu dipakai secara populer pada konferensi yang

diadakan University Michigan’s School of Natural Resources tahun 1990 dan dimunculkan

pada laporan konferensi yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Race and Incidence of

Environmental Hazard: A Time for Discourse. (Taylor: 535). Environmental racism sering juga disebut environmental discrimination , keduanya dipakai untuk menggambarkan

perbedaan rasial dalam tingkat proses dan aksi. (Taylor: 536)

Ketika aktivis, peneliti, dan pembuat keputusan mulai mengkaji rasisme lingkungan

istilah environmental justice (EJ) juga dipakai. Selama 1980 an the Citizens Clearinghouse

for Hazardous Wastes (CCHW) (1989) mulai melukiskan kegiatan lingkungan akar rumput sebagai “the movement for environmental justice”. Awalnya kaum kulit putih, organisasi

kelas menengah –pekerja pada saat itu, CCHW (yang tumbuh dari the Love Canal

Homeowners Association dan kampanye penduduk Love Canal untuk mendapat kompensasi untuk properti yang tercemar ) memusatkan perjuangan pada klas sosial, diorganisasikan di

sekitar keadilan untuk masyarakat pendapatan menengah dan rendah. Bagaimana pun

sebagaimana kajian U.S. GAO (1983) dan UCC (1987) yang membawa isu ras dan

lingkungan menjadi penting di masyarakat kulit berwarna, istilah environmental equity

movement dipakai untuk menjelaskan gerakan yang tumbuh yang ditujukan pada ketidakadilan lingkungan pada ras, jender, klas sosial. Pada awal 1990 an, istilah

environmental equity salah pakai dan istilah environmental justice menguat. Istilah justice menggantikan equity . Aktivis EJ merasa justice lebih inklusif dibanding equity dan dapat

disatukan dengan konsep equity, impartiality dan equality. Gerakan ini punya perhatian pada

dua macam keadilan : (1) keadilan distributif, yang mengacu pada siapa mendapat apa, dan

(2) keadilan korektif atau pertukaran/ pengurangan, yang punya perhatian pada cara individu

(41)

28 mengidentifikasi empat tipe keadilan yang terwujud pada EJ : keadilan distributif, keadilan

prosedural, keadilan korektif, keadilan sosial.

1. Keadilan distributif

Mengacu pada distribusi yang adil dari beban lingkungan dari fasilitas yang

memproduksi resiko dan keuntungan lingkungan dari program pemerintah dan swasta.

Konsepsi geografis yang besar adalah satu yang mungkin datang pada paling banyak

pikiran orang-orang ketika mereka mendengar istilah “EJ” . Ini adalah sebuah

kesalahpahaman , bagaimana pun, bahwa tujuan utama gerakan EJ adalah untuk

secara geografis mendistribusikan ulang fasilitas lingkungan berisiko. Pemahaman

yang lebih akurat mengenai keinginan untuk keadilan distributif adalah bahwa jika

beban pemakaian tanah yang merusak dibagi secara lebih adil, ini akan menciptakan

tekanan lebih besar untuk menurunkan polusi melalui komunitas.

2. Keadilan prosedural

Mengacu pada kejujuran pada proses pembuatan keputusan, termasuk hak untuk

semua anggota publik untuk berpartisipasi dalam semua aspek keputusan lembaga /

agency.

3. Keadilan korektif

Mengacu pada kejujuran penghukuman, termasuk kewajiban pemberian ganti rugi

yang menjadi tanggung jawab seseorang, dan untuk membersihkan kontaminasi yang

disebabkan seseorang.

4. Keadilan sosial

Mengandung ide lebih dari hanya menertibkan masyarakat. Yang di dalamnya

kebutuhan semua orang lebih terpenuhi. Di bawah pandangan ini, EJ adalah paket

dan bagian masalah yang lebih besar ketidakadilan rasial, sosial dan ekonomi yang

(42)

faktor-29 faktor yang sama digarisbawahi rasial, politis, ekonomis yang menyebabkan

kerusakan lingkungan yang tidak seimbang juga bertanggung jawab terhadap rumah

miskin, sekolah berkualitas rendah, kurangnya kesempatan kerja, dan masalah lain di

beberapa komunitas. Pada gilirannya kehadiran pemakaian tanah yang berisiko dan

tak diiinginkan merusak kesehatan dan daya hidup sekitar, dan mengarah pada

kerusakan ekonomi.(Ke Jian h. 274)

Paradigma EJ paling jelas diartikulasikan dalam dokumen the Principles. Delegasi “The First National People of Color Environmental Leadership Summit” pada 24-27 Oktober

1991 di Washington DC menyusun dan mengadopsi 17 prinsip Environmental Justice (EJ)

atau The Principles of Environmental Justice (EJ) yang isinya sebagai berikut :

1) EJ menegaskan kesucian Ibu Bumi, kesatuan ekologis dan kesalingtergantungan semua spesies, dan hak untuk bebas dari kerusakan ekologis.

2) EJ menuntut kebijakan publik didasarkan pada respek timbal balik dan keadilan untuk semua orang, bebas dari setiap bentuk diskriminasi atau bias.

3)EJ memandatkan hak etik, keseimbangan dan tanggung jawab pada pemakaian tanah dan sumberdaya terbarukan demi kepentingan planet yang lestari untuk manusia dan makhluk hidup lain.

4) EJ menyerukan perlindungan universal dari tes nuklir, ekstraksi, produksi dan pembuangan limbah beracun / berbahaya dan racun dan tes nuklir yang mengancam hak fundamental pada udara bersih, tanah, air, makanan.

5) EJ menegaskan hak fundamental pada politik, ekonomi, budaya dan penentuan nasib sendiri atas lingkungan pada semua orang.

6) EJ menuntut penghentian produksi semua racun, limbah berbahaya, materi radioaktif, dan semua produk baik dulu mau pun sekarang diatur secara ketat akuntabel kepada rakyat untuk detoksifikasi dan pencegahan perluasan pada saat produksi.

7) EJ menuntut hak partisipasi sebagai patner setara pada setiap tingkat pengambilan keputusan, termasuk keperluan perkiraan, perencanaan, implementasi, pelaksanaan dan evaluasi.

8) EJ menegaskan hak semua pekerja untuk lingkungan kerja yang aman dan sehat tanpa paksaan memilih antara penghidupan yang tidak aman dan pengangguran. Ini juga menegaskan bagi yang bekerja di rumah bebas dari lingkungan berbahaya.

9) EJ melindungi hak korban lingkungan yang tidak berkeadilan untuk menerima kompensasi penuh dan reparasi kerusakan dan pelayanan kesehatan berkualitas.

(43)

30 11) EJ harus mengakui hukum spesial dan relasi wajar “Native Peoples” dengan pemerintah AS lewat perjanjian, persetujuan, kontrak, kovenan yang menegaskan kedaulatan dan penentuan nasib sendiri.

12) EJ menegaskan keperluan kebijakan ekologi urban dan pedesaan atas pembersihan dan pembangunan kembali kota kami dan daerah pedesaan dalam keseimbangannya dengan alam, penghargaan integritas kebudayaan semua komunitas kami, dan menyediakan akses adil untuk semua kawasan penuh sumber daya.

13) EJ menyerukan pelaksanaan ketat prinsip- prinsip persetjuan yang diinformasikan, dan menghentikan tes eksprimen reproduksi dan prosedur medis dan vaksinasi pada bangsa kulit berwarna.

14) EJ menentang operasi destruktif korporasi multinasional.

15) EJ menentang pendudukan militer, represi dan eksploitasi tanah, manusia dan kebudayaan dan bentuk kehidupan lain.

16) EJ menyerukan untuk generasi sekarang dan mendatang yang menekankan isu-isu sosial dan lingkungan, berlandaskan pengalaman kami dan apresiasi pada perbedaan perpektif kebudayaan kami.

17) EJ mengharuskan bahwa kami, sebagai individu, membuat pilihan-pilihan personal dan konsumen untuk mengkonsumsi sesedikit mungkin sumber daya Ibu Bumi dan membuat sesedikit mungkin limbah; dan membuat keputusan sadar untuk menantang dan memprioritaskan kembali gaya hidup kami untuk menjamin alam yang sehat.

The Principles dianggap kurang menunjukkan pola paradigmatik. Malahan gerakan

EJ sering hanya dianggap gerakan anti racun yang dari jaringan kerja yang cair dari

kelompok akar rumput lokal yang menentang penempatan fasilitas berbahaya dan terpaan zat

beracun. Bahkan gerakan EJ digambarkan sebagai gerakan reaktif daripada gerakan yang

lebih kompleks dengan inti ideologis yang penting yang punya efek penting pada ideologi

lingkungan (Taylor: 538)

Penelitian Taylor sebaliknya menemukan bahwa gerakan EJ bekerja dalam variasi isu

yang lebih luas. Menurutnya the Principles adalah mengenai isu lingkungan yang

berhubungan dengan manusia, alam, lingkungan urban dan pedesaan yang ditemukan pada

enam komponen tematik utama berupa 1) prinsip ekologis; 2 ) hak- hak keadilan dan

lingkungan; 3) otonomi / self- determination; 4) hubungan komunitas – korporasi; 5) proses

(44)

31 Sebelum tahun 1960 an isu lingkungan dibingkai untuk menarik klas menengah dan

elit dengan menekankan perlindungan wildlife dan wilderness dan rekreasi outdor – olah raga

mendaki gunung, mencari ikan, berburu burung dan hewan lain. Orang –orang yang tidak

bisa berpartisipasi pada kegiatan ini karena jarak, biaya perjalanan, waktu luang kerja atau

yang dikucilkan dari partisipasi karena etnik atau ras telah terasing dari pesan itu.

Pembingkaian Carson memperluas wacana lingkungan sehingga memobilisasikan jutaan

orang yang bagaimana pun awalnya mobilisasi kaum kulit putih klas menengah. Walau

penelitian dan pembingkaian Carson mengidentifikasi masalah dengan pestisida yang

mempengaruhi manusia, ia tidak memasukkan pendekatan ras, klas atau jender. Karena itu

dampak yang tidak proporsional yang hadir di antara kelompok pupolasi yang berbeda tidak

kelihatan jelas ( misalnya pencemaran pestisida pada pekerja pertanian dapat menyediakan

petunjuk dampak pestisida yang berbeda atas manusia) . Bahkan setelah era Carson,

keseluruhan bingkai lingkungan masih tidak menarik kaum kulit berwarna dan beberapa

kaum kulit putih kelas pekerja. Pembingkaian yang tidak seimbang lebih jauh diperburuk

oleh fakta bahwa reformasi organisasi lingkungan tidak merekrut kaum kulit berwarna untuk

organisasi mereka. Faktanya, beberapa organisasi tersebut tidak mengijinkan kaum kulit

hitam dan kaum kulit berwarna lain, Eropa selatan dan timur, atau Yahudi untuk bergabung

hingga akhir 1950 an, dan bahkan kemudian sedemikian hingga mengakibatkan banyak

keretakan dalam organisasi. (Taylor: 556)

Konstruksi wacana EJ penting untuk usaha mobilisasi. Aktivis harus

menstransformasikan wacana ingkungan di komunitas kulit berwarna dari bingkai bawah

tanah ke bingkai induk. Pada awal proses, awal 1980, wacana EJ secara kuat tergantung pada

(45)

32 dan manipulasi komunitas), malapetaka (penghancuran komunitas ), pemberian hak (menagih

keadilan dan kejujuran), dan keterancaman (identifikasi resiko yang tak dapat ditolerir dan

ketidak seimbangan paparan resiko). Pada titik ini motif retorik memberi karakter komunitas

kaum kulit berwarna sebagai “ Chemical Corridor” dan “Street of Death” dan penyakit sebagai “disease of the month” mengilhami klaim dengan pentingnya moral. (Taylor: 56)

Sebagai bagian dari proses pembingkaian , retorika awal dan konstruksi sosial juga

fokus pada keterukuran yang dapat dialami dan keterpusatan yang bersifat gagasan kesetiaan

naratif. Inilah studi kasus yang dikumpulkan aktivis dan memakai pengalaman orang- orang

untuk memperlihatkan pentingnya gerakan dan keperluan untuk bertindak segera.

Sebagaimana sejumlah kasus EJ menumpuk, kesetiaan naratif meningkat. Orang yang

berpikir komunitas mereka hanya satu-satunya yang memiliki masalah lingkungan menjadi

sadar bahwa kasus- kasus seperti yang mereka miliki tersebar di seluruh negara (Taylor: 561).

Pengalaman-pengalaman tersebut menguatkan orang-orang untuk mengambil strategi aksi

kolektif daripada sekedar mencoba untuk memecahkan isu sebagai kelompok komunitas atau

individu yang terisolir.

B. Lingkungan dan komunitas lokal.

Wacana EJ yang memakai dasar komunitas harus berhati- hati karena pandangan

tentang komunitas yang solid dan “murni” terus berubah. Hal lain adalah gerakan yang

mengusung wacana EJ yang merupakan perkawinan wacana lingkungan tradisional dengan

wacana HAM ditantang apakah bisa menguat seperti gerakan HAM.

Sebagai wacana tandingan dari wacana dominan lingkungan yang diprakarsai milik

kalangan klas atas AS, wacana EJ berbasis komunitas lokal yang menanggung resiko limbah

beracun dan ketidak adilan lingkungan yang lain. Padahal wacana tentang komunitas lokal

Gambar

Gambar  skema ; ( Hall 2003:1)
Tabel : Fase kegiatan lingkungan dan perkembangan paradigma yang berhubungan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pertumbuhan Kristal Umumnya kristal yang berukuran > 100 kecepatan tumbuhnya tidak tergantung pada ukuran, Derajat saturasi ( o C) merupakan faktor terpenting

Pengembangan Buku Suplemen Aktivitas Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis ‘HOTS’ Untuk Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar di Kabupaten Buleleng. Penelitian Pengembangan

e.) Lesi pada sistem konduksi jantung. Efek dari infark yang besar adalah mengurangi fungsi jantung karena kegagalan pompa dan otot yang mati tidak dapat berkontraksi atau

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN FISIK-MOTORIK DENGAN KESIAPAN SEKOLAH ANAK DI KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG : Penelitian Korelasional Pada Anak Taman Kanak-Kanak Di

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari

Maka dari itu, penelitian terhadap kredibilitas media sangatlah penting untuk diteliti sehingga para pembaca bisa lebih teliti terhadap media yang akan dikonsumsi

As stated earlier, it was predicted that employees who received neither OFJT nor refresher training and possessed more education would be more satisfied, paid higher