• Tidak ada hasil yang ditemukan

(1)GAMBARAN MIKROSKOPIK PADA HEPAR TIKUS PUTIH SETELAH PEMBERIAN MADU SEBAGAI ANTI ADHESI PASCA LAPAROTOMI Skripsi Disusun Oleh: Intan Fatayat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "(1)GAMBARAN MIKROSKOPIK PADA HEPAR TIKUS PUTIH SETELAH PEMBERIAN MADU SEBAGAI ANTI ADHESI PASCA LAPAROTOMI Skripsi Disusun Oleh: Intan Fatayat"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN MIKROSKOPIK PADA HEPAR TIKUS PUTIH SETELAH PEMBERIAN MADU SEBAGAI ANTI ADHESI

PASCA LAPAROTOMI

Skripsi

Disusun Oleh:

Intan Fatayat. AF G1A118021

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2023

(2)

i

GAMBARAN MIKROSKOPIK PADA HEPAR TIKUS PUTIH SETELAH PEMBERIAN MADU SEBAGAI ANTI ADHESI

PASCA LAPAROTOMI

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Kedokteran pada Program Studi Kedokteran FKIK Universitas Jambi

Disusun oleh : Intan Fatayat. AF

G1A118021

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2023

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat mengajukan Proposal Penelitian untuk Skripsi yang berjudul “Gambaran Mikroskopik Pada Hepar Tikus Putih Setelah Pemberian Madu Sebagai Anti Adhesi Pasca Laparotomi” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

Terwujud dari skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka sebagai wujud ungkapan hormat dan penghargaan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc.,Ph.D., Selaku Rektor Universitas Jambi.

2. Dr. dr. Humaryanto, Sp.OT.,M.Kes., Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

3. dr. Miftahurrahmah, Sp.BA., selaku Dosen Pembimbing 1, yang telah berkenan meluangkan waktu dalam kesibukan aktivitas beliau untuk memberi bimbingan, saran serta dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

4. Dr. dr. Deri Mulyadi, S.H., M.H.Kes.,M.Kes., Sp.O.T (K) Hip and Knee, selaku Dosen Pembimbing 2, yang telah berkenan meluangkan waktu dalam kesibukan aktivitas beliau untuk memberi bimbingan, saran serta dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

5. dr. Hasna Dewi, Sp.PA., M.Kes ,selaku penguji 1 , yang telah berkenan meluangkan waktu dalam kesibukan aktivitas beliau.

6. dr. Rita Halim, M.Gizi ,selaku penguji 2 yang telah berkenan meluangkan waktu dalam kesibukan aktivitas beliau.

7. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Bapak Ir. Afriatul,M.Pd dan Ibu (Almh) Zaswita, A.Ma serta abang kandung Victor Alif Utama ,kakak ipar kak Wulan, Omar Al Farooq ponakanku dan abang Aldi K tersayang yang

(4)

iii

selalu memberi penulis dukungan semangat lahir batin dan selalu berdoa tanpa henti sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Asisten Labor yang terlibat Bang Rivo, Kak Peggy, Bang Ali dan Bapak Yusiro yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam penelitian.

9. Teman-teman seperjuangan Temporalis 2018 sedang berjuang bersama mencari ilmu dan gelar dan serta pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

10. Kepada teman-teman terdekat semua yang telah memberikan semangat penulis dalam belajar yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata dengan segala kekurangan yang ada , penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Jambi, Januari 2023

Penulis

(5)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

RIWAYAT HIDUP PENULIS...xv

ABSTRACT...xvi

ABSTRAK...xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 3

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Bagi Peneliti ... 3

1.4.2 Bagi Instansi Kesehatan ... 4

1.4.3 Bagi Masyarakat ... 4

1.4.4 Bagi Penelitian Lain ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Adhesi Peritoneum ... 5

2.1.1 Definisi ... 5

(6)

v

2.1.2 Epidemiologi ... 5

2.1.3 Etiologi ... 6

2.1.4 Patofisiologi ... 6

2.1.5 Komplikasi ... 7

2.1.6 Pencegahan ... 8

2.2 Madu ... 9

2.2.1 Definisi Madu ... 9

2.2.2 Jenis Madu ... 9

2.2.3 Jenis Lebah Madu ... 10

2.2.4 Kandungan Madu ... 11

2.2.5 Manfaat Madu ... 12

2.2.6 Farmakokinetik Madu ... 12

2.3 Hepar ... 13

2.3.1 Anatomi dan Histologi Hepar ... 13

2.3.2 Fisiologi Hepar ... 15

2.3.3 Histopatologi Hepar ... 17

2.3.4 Faktor-Faktor Kerusakan Hepar ... 19

2.4 Tikus Model Adhesi Intraperitoneal ... 21

2.5 Kerangka Teori ... 22

2.6 Kerangka Konsep ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 24

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.2.1 Tempat Penelitian ... 24

3.2.2 Waktu Penelitian ... 24

3.3 Subjek Penelitian ... 24

3.3.1 Populasi ... 24

3.3.2 Sampel ... 25

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 25

3.3.4 Cara Pengambilan Sampel ... 25

3.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 25

3.4.1 Identifikasi Variabel ... 25

(7)

vi

3.4.2 Definisi Operasional ... 26

3.5 Instrumen Penelitian ... 28

3.5.1 Alat ... 28

3.5.2 Bahan ... 28

3.5.3 Prosedur Penelitian ... 28

3.5.4 Pengamatan Mikroskopik ... 30

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.7 Analisis Data ... 30

3.8 Etika Penelitian ... 30

3.9 Alur Penelitian ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...32

4.1 Hasil Penelitian ... 32

4.1.1 Hasil Pembacaan Skor Kerusakan Hepar Secara Mikroskopik ... 32

4.2 Pembahasan ...37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...39

5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA...40

(8)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Hepar ... 14

Gambar 2.2 Histologi Normal Hepar ... 14

Gambar 2.3 Histopatologi Hepar ... 18

Gambar 4.1 Perdarahan Sel Hepar ... 32

Gambar 4.2 Portal Inflamasi...33

Gambar 4.3 Inface Hepatitis ... 34

Gambar 4.4 Lobular Inflamasi ... 34

Gambar 4.5 Vakuolisasi ... 35

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 26 Tabel 4.1 Data Hasil Rata-Rata Pembacaan Preparat ... 32

(10)

ix

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 22 Bagan 2.2 Kerangka Konsep ... 23 Bagan 3.1 Alur Penelitian ... 31

(11)

x

DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization

ADME : Absorpsi Distribusi Metabolisme Ekskresi SCAR : Surgical and Clinical Adhesion Researh PAA : Plasminogen Activator Activity

ECM : Extraceluller Matriks MMP : Matriks Metaloprotease SNI : Standar Nasional Indonesia RE : Retikulum Endoplasma BNF : Buffer Neutral Formaline HE : Heamatoksilin Eosin

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Etik Penelitian Lampiran 2 Surat Izin Penelitian Lampiran 3 Foto Kegiatan Penelitian

Lampiran 4 hasil skor pengamatan mikroskopik Lampiran 5 kartu bimbingan skripsi

(13)

xii

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Intan Fatayat AF, lahir di Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi pada tanggal 10 mei 2000 dari Bapak Ir. Afriatul, M.Pd dan Ibu (Almh) Zaswita, A.Ma. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, yaitu Victor Alif Utama.

Penulis Merupakan lulusan dari SD 131/II Muara Bungo, SMP N 1 Muara Bungo, dan SMA N 1 Muara Bungo.

Pada Tahun 2018, penulis diterima di Program Studi Kedokteran Universitas Jambi Melalui jalur SNMPTN. Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif pada organisasi Ikatan Mahasiswa (IMA) Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi sebagai staf dapertemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2019-2020.

(14)

xiii ABSTRACT

Background: Honey contains heterogeneous substances that inhibit the growth of gram-positive and gram-negative bacteria, has an anti-inflammatory effect, and enhances the healing process after peritoneal damage. Honey can speed up the wound healing process because of its anti-bacterial activity which has good osmotic pressure and PH. Drugs administered intraperitoneal, as much as 34% will be absorbed into the systemic circulation and metabolized by the liver before reaching the systemic circulation. Therefore this study is to see the description of hepatoxic damage due to intraperitoneal honey administration.

Methods: Paraffin blocks of the liver organs of male white rats of the Wistar strain weighing 200 grams were divided into 4 groups. Group A rats were dissected and peritoneal abrasion was performed, group B rats were dissected and given 3 ml NaCl, group C rats were given 0.27 ml honey intraperitoneally, group D rats were given honey 0.54 ml intraperitoneal. Hematoxyllin Eosin stain. Histological examination of the liver by light microscopy at 40x and 100x magnification.

Results: The results of the study showed changes in cell structure in the form of hemorrhage, portal inflammation, inface hepatitis, lobular inflammation and vacuolization in all treatment groups.

Conclusion: Damage to hepatocyte cells in the form of bleeding, portal inflammation, inface hepatitis, lobular inflammation and vacuolization with observations of all fields of view were found in all treatments, namely administration of honey at a dose of 0.27 ml, 0.54 ml honey, given 0.9% NaCl 3 ml and the kontrol group.

Keywords: Honey, Liver, Microscope

ABSTRAK

(15)

xiv

Latar Belakang: Madu mengandung zat heterogen menghambat tumbuhnya bakteri gram positif dan gram negatif, memiliki efek antiinflamasi, dan meningkatkan proses penyembuhan setelah kerusakan peritoneal. Madu dapat mempercepat proses penyembuhan luka karena adanya aktivitas anti bakteri yang memiliki tekanan osmotik dan PH yang baik. Obat yang diberikan secara intraperitoneal, sebanyak 34% akan diserap ke dalam sirkulasi sistemik dan dimetabolisme oleh hepar sebelum mencapai sisrkulasi sistemik. Oleh karena itu penelitian kali ini untuk melihat gambaran kerusakan hepatoksik karena pemberian madu intraperitoneal.

Metode: Blok paraffin organ hepar tikus putih jantan galur wistar dengan berat 200 gram yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok A tikus yang dibedah dan dilakukan abrasi peritoneum, kelompok B tikus yang dibedah dan diberikan NaCl 3ml, kelompok C tikus yang diberikan madu 0,27ml intraperitoneal, kelompok D tikus yang diberikan madu 0,54ml intraperitoneal. Pewarnaan Hematoxillin Eosin.

Pemeriksaan histologi hepar dengan pengamatan mikroskop cahaya pada pembesaran 40x dan 100x.

Hasil: Hasil dari penelitian terdapat perubahan struktur sel berupa perdarahan ,portal inflamasi, inface hepatitis, lobular inflamasi dan vakuolisasi pada semua kelompok perlakuan.

Kesimpulan: Kerusakan sel hepatosit berupa perdarahan, portal inflamasi , inface hepatitis, lobular inflamasi dan vakuolisasi dengan pengamatan seluruh lapangan pandang didapatkan pada semua perlakuan yaitu pemberian madu dosis 0.27ml ,madu 0.54ml ,diberikan NaCl 0.9% 3 ml dan kelompok kontrol.

Kata Kunci: Madu Hepar, Mikroskopik.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adhesi peritoneal merupakan perlekatan abnormal antara jaringan dan organ, diantara omentum, usus, dan dinding perut, yang dapat diklasifikasi sebagai bawaan dan didapat. Etiologi adhesi peritoneal disebabkan oleh inflamasi dan trauma pasca operasiAdhesi peritoneal juga dapat menimbulkan nyeri panggul kronis, obstruksi usus halus, pembentukan fistula, infark dan infertilitas sekunder pada wanita.1,2,3Adhesi peritoneal menjadi komplikasi utama pada operasi perut yang 93–100% subjek yang menjalani operasi.

Untuk mencegah dan mengurangi terbentuknya adhesi maka difokuskan untuk menurunkan resiko inflamasi pasca trauma melalui bahan berupa obat antiinflamasi, antihistamin, anti koagulan, antioksidan, enzim proteolitik, dan tissue plasminogen activator.4 Madu mengandung zat heterogen menghambat tumbuhnya bakteri gram positif dan gram negatif, memiliki efek anti-inflamasi, dan meningkatkan proses penyembuhan setelah kerusakan peritoneal.5

Madu adalah cairan manis dan kental dihasilkan oleh lebah madu dari nektar bunga. Madu memiliki komposisi sama seperti gula , terdiri dari 41% fruktosa, 35%

glukosa dan 1.9% sukrosa.6 Madu memiliki tekanan osmotik dan PH yang baik sehingga mencegah pertumbuhan mikroba, serta megandung polifenol, flavonoid, dan glikosida sebagai antibakteri.7 WHO merekomendasikan obat tradisional salah satunya adalah madu.8 Penelitian yang dilakukan Miftahurrahmah dkk (2021) salah satu madu telah terbukti dapat digunakan sebagai anti adhesi yaitu madu hutan Jambi. Madu hutan Jambi memiliki efektivitas yang baik dalam menekan derajat adhesi , tidak menyebabkan luka infeksi saat operasi dan efek yang timbul dapat menyembuhkan luka terutama pada dosis 0.27ml/200 gram.9

Sediaan obat diberikan dengan cara ekstravaskular berupa pemberian oral, intramuskular, intraperitoneal, subkutan dan rektum, obat meliputi beberapa proses disebut ADME yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi, proses terjadi sebelum mencapai reseptor. Organ hepar mempunyai peran penting sebagai

(17)

3

penetral racun dan bagian dari proses metabolime obat didalam tubuh. Hepar bertanggung jawab sebagai biotransformasi zat berbahaya menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Pada hepar terjadi proses metabolisme obat terlebih dahulu sebelum mencapai sistem sirkulasi sistemik. 10,11Hepar sabagai organ detoksifikasi yang akan menghancurkan beberapa senyawa racun menjadi urea, amonia dan asam urat untuk selanjutnya dikeluarkan menuju ginjal. Fungsi hepar yakni melindungi penumpukan zat-zat berbahaya dan racun yang masuk dari luar tubuh.13

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sibarani, Nesia Masniari Helena, I.Ketut Berata, dan Anak Agung Gede Arjana yang berjudul “Studi Histopatologi Hepar Tikus Putih Yang Diinduksi Aspirin Pasca Pemberian Madu Per oral”.

Didapatkan madu dapat mengurangi kerusakan sel-sel hepar tikus putih yang diinduksi obat aspirin. Pemberian madu peroral dapat mengurangi lesi kongesti, peradangan dan hemorhagi akibat terapi obat.14

Meskipun demikian belum dijumpai penelitian terkait informasi jenis toksisitas dalam kandungan madu, khususnya toksisitas kandungan madu terhadap gambaran histopatologi hepar. Berdasakan pemaparan diatas, maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana gambaran mikroskopik hepar setelah pemberian madu secara intraperitoneal sebagai anti adhesi pasca laparotomi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu “Bagaimana gambaran mikroskopik hepar tikus putih setelah pemberian madu sebagai anti adhesi pasca laparotomi”

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran mikroskopik hepar tikus putih setelah pemberian madu sebagai anti adhesi pasca laparotomi.

1.3.2 Tujuan Khusus

(18)

1. Untuk mengetahui apakah ada perubahan gambaran sel hepatosit secara mikroskopik

2. Untuk mengetahui gambaran derajat kerusakan sel heptosit secara mikroskpik.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti

Setelah melakukan penelitian ini, diharapkan peneliti dapat lebih memahami dan menggunakan ilmu yang didapatkan selama pendidikan serta menambah pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan penelitian.

1.4.2 Bagi Institusi Kesehatan

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi ilmiah dalam mengetahui gambaran histologi hepar setelah pemberian madu secara intraperitoneal.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan tentang pemberian madu secara intraperitoneal terhadap hepar pasca laparotomi.

1.4.4 Bagi Peneliti Lain

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi pada penelitian lain yang relevan.

(19)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adhesi Peritoneum 2.1.1 Definisi

Adhesi peritoneal merupakan perlekatan patologis yang terbentuk antara organ perut, omentum, dan peritoneal. Adhesi yang menyebabkan perlekatan diantara organ-organ intraperitoneal berdekatan dan salah satu komplikasi utama dari pembedahan perut. Adhesi pasca operasi dapat mengakibatkan obstruksi usus, infertilitas, sakit perut kronis.

Menurut etiologinya, adhesi peritoneum dapat diklasifikasikan sebagai bawaan atau didapat sebagai reaksi pasca inflamasi atau pasca operasi yang merupakan kasus terbanyak. Hasil dari kerusakan peritoneum disebabkan karena proses trauma dan inflamasi. dalam banyak penelitian 60-100% pasien dengan setidaknya satu operasi perut sebelumnya memiliki perlekatan perut.15

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi kejadian adhesi peritoneal pasca laparotomi cukup tinggi, yaitu sekitar 63-90%. Adhesi peritoneal terjadi pada hampir semua pasien yang menjalani operasi intraabdominal. Adhesi pasca operasi adalah penyebab utama obstruksi usus halus 70% dari seluruh kasus obstruksi usus. Kejadian adhesi peritoneal pasca operasi abdominal mencapai 54%. Secara epidemiologi berdasakan surgical and clinical adhesions researh (SCAR) adhesi yang paling sering adalah tindakan yang melibatkan usus kecil, usus besar, appendik, dan uterus. Total proktokolektomi (15,4%), total kolektomi (8,8%) dan ileostomi (10,6%) merupakan prosedur yang sering menyebablan pasien dirawat dirumah sakit akibat adhesi peritoneal. Kejadian di Indonesia kejadian obstruksi yang disebabkan oleh adhesi peritoneal berada di nomor dua atau tiga setelah hernia ingualis dan keganasan kolon.16

(20)

2.1.3 Etiologi

Etiologi adhesi secara umum disebabkan oleh kerusakan peritoneal yaitu trauma dan inflamasi pasca laparotomi. Banyak faktor lain yang dapat menimbulkan adhesi pasca laparotomi antara lain:

1) Iskemi dan jaringan nekrosis pada peritoneal sebagai stimulus pembentukan adhesi. hal ini dapat terjadi karena proses patologis intraabdomen karena penjahitan atau devaskularisasi.

2) Trauma operasi yang merangsang pementukan eksudat inflamasi yang akan menjadi pembentukan adhesi permanen. Selain itu juga disebab abrasi, iritasi kimiawi, kekeringan dan perubahan suhu, contohnya pada penggunaan kauter.

3) Benda asing didalam rongga peritoneal dapat menyebabkan adhesi dan gangguan penyembuhan peritoneal,misalnya benang, bedak pada sarung tangan, bubuk antibiotika dan materi sintetik lainnya.

4) Infeksi, darah dan reaksi alergi dapat menstimulus inflamasi terbentuknya adhesi permanen. Infeksi akibat penyakit menjadi indikasi operasi, darah yang tersisa dan tidak dibersihkan , reaksi alergi yang disebabkan oleh benda asing yang dipergunakan dalam operasi.17

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi dianggap sebagai bagian patologis dari penyembuhan setelah cidera peritoneal, terutama karena operasi perut. Ada beberapa teori mengenai pembentukan adhesi berupa derajat penurun kadar Plaminogen Activator Activity (PAA). Penurunan level PAA ini akan menyebabkan adhesi fibrinous sehingga terbentuknya adhesi. Inti dari patofisologi adhesi pasca operasi yakni keseimbangan antara fibrin dan fibrinolisis.

Dengan kadar PAA yang menurun maka kadar plasminogen menjadi plasmin juga menurun, sehingga mengakibatkan aktivitas fibrinolitik menurun.

Cedera peritoneal, akibat pembedahan ,infeksi atau iritasi, akan memulai peradangan dengan eksudat fibrinosa dan pembentukan fibrin. Fibrin hasil aktivasi kaskade koagulasi yang diaktifkan di rongga peritoneal, menghasilkan pembentukan trombin yang memicu konversi fibrinogen menjadi fibrin. Karena

(21)

7

aktivasi sistem fibrinolitik, semua deposit fibrin intraabdomen harus dilisis. Tetapi, setelah operasi perut, keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis terganggu, mendukung kearah sistem koagulasi. Oleh karena itu endapan dalam bentuk fibrin merupakan matriks pertumbuhan jaringan kolagen fibrosa.Fibroblas menyerang matriks fibrin dan menyimpan extracelullar matriks (ECM). ECM ini masih dapat tedegradasi sepenuhnya oleh proenzim matriks metaloprotease (MMP), yang mengarah ke penyembuhan normal. Namun, jika proses ini dihambat oleh penghambat jaringan MMP, adhesi peritoneal dapat terbentuk. Umumnya, jika fibronolisis tidak terjadi dalam 5-7 hari setelah cedera peritoneal, matriks fibrin dengan bertahap akan menjadi kacau dengan fibroblas yang mensekresi kolagen.

Proses ini mengarah pada pembentukan adhesi peritoneal dan pertumbuhan pembuluh darah baru oleh faktor angiogenik.18,19

2.1.5 Komplikasi

Adhesi peritoneal dikenal sebagai komplikasi utama dari operasi perut yang teradi pada 93-100% subjek yang menjalani operasi. Komplikasi terdiri dari adhesi peritoeal dan membentuk jaringan ikat, omentum, usus dan dinding perut serta terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf. Yang paling umum dari adhesi peritoneal adalah nyeri pinggul kronis, obstruksi usus halus, pembentukan fistula, infark dan infertilitas wanita.

Karena proses penyembuhan luka memiliki peran kunci dalam memperbaiki cedera peritoneal yang disebabkan oleh trauma bedah.Insiden obstruksi usus halus adhesif setelah pembedahan onkologis ginekologi sekitar 11%. Insiden perlekatan dapat meningkat dengan terapi radiasi pasca operasi. Adhesi menjadi penyebab utama infertilitas wanita sekunder di seluruh dunia, dan penyebab penting nyeri panggul kronis. 15%-20% infertilitas wanita disebabkan oleh perlengketan.

Obstruksi usus halus memiliki risiko kematian sebesar 10%.20 2.1.6 Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan pada adhesi peritoneal berupa pencegahan untuk mengaktifkan fibronolisis, menghambat terjadinya koagulasi,

(22)

mengurangi respon inflamasi dan mengurangi terbentuknya barrier antara permukaan luka yang berdekatan. Adapun pencegahan adhesi peritoneal,yaitu:

a. Prinsip umum

Prinsip umum dengan menghidari kerusakan peritoneal berupa rusaknya jaringan, hemostasis yang di teliti, irigasi yang terus menerus dan menurunkan jaringan yang terpapar dan sarung tangan yang tidak menggunakan tepung dianjurkan. Ada beberapa hasil penelitian eksperimental bahwa penggunaan sarung tangan yang bertepung selama laparotomi memiliki hubungan bertambahnya resiko terjadinya adhesi peritoneal pasca operasi.

b. Teknik operasi

Teknik operasi terbuka menjadi salah satu penyebab terjadinya adhesi peritoneal dibandingkan secara laparoskopi. Secara keseluruhan teknik operasi laparoskopi dapat menurunkan angka terjadinya adhesi peritoneal. Misalnya insiden adhesi peritoneal pada operasi kolesitektomi terbuka sebesar 7,1%

dibandingkan dengan laparoskopi yang hanya 0,2%. secara keseluruhan teknik operasi laparoskopi dapat menurunkan angka terjadinya adhesi peritoneal.

c. Barier mekanik

Barier mekanik berupa asam hialuronat bahan yang paling sering digunakan, Barier mekanik cair atau padat bisa mencegah pembentukan adhesi peritoneal, barier mekanik dianggap menjadi terapi tambahan yang paling berguna untuk mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi.

d. Zat kimia

Zar cair dan bahan kimia menurut teori lebih baik dalam menutupi daerah yang bisa terjadinya adhesi. Bahan kimia bekerja secara umum bisa mencegah pembentukan fibrin serta menghambat proliferasi fibroblastik.21

2.2 Madu

(23)

9

2.2.1 Definisi Madu

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), madu adalah cairan kental dan manis yang dihasilkan oleh lebah madu berasal dari berbagai sumber nektar. Madu berasal dari nektar diolah lebah sebagai pakan lalu disimpan dalam sarang. Nektar memiliki kandungan senyawa kompleks yang berasal dari kelenjar “necterifer”

tanaman yang mengandung larutan gula yang bervariasi.

Komponen dalam madu pada nektarnya berupa 1,5% sukrosa, 41,0% fruktosa, dan 35% glukosa serta zat-zat gula lainnya.Nektar berasal dari cairan kelenjar nektar tumbuhan yang kaya akan karbohidrat ,menyimpan sedikit senyawa- senyawa mengandung nitrogen yakni asam amino, asam organik, vitamin, dan juga mineral-mineral.Madu menjadi produk yang unik dari serangga karena memiliki karbohidrat dengan presentase tinggi, serta tidak ada protein maupun lemak. Nilai gizi dari madu sangat tergantung dari kandungan gula-gula sederhana.22

2.2.2 Jenis Madu

Madu berdasarkan sumber bunga yang mengandung nektar dibedakan menjadi dua ,yaitu:

1. Madu Monofloral, Madu dari satu jenis nektar atau didominasi oleh satu nektar saja.

2. Madu Multifloral, Madu yang berasal dari beraneka jenis tumbuhan, misalnya madu hutan dari lebah yang mendapatkan nektar dari beraneka jenis tumbuhan.

Madu berasal dari nektarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Madu Flora, Madu ini berasal dari nektar bunga. Jika berasal dari beraneka macam bunga maka disebut poliflora, dan jika berasal dari tumbuhan maka disebut soliter atau monoflora.

2. Madu Extraflora, Madu ini berasal dari nektar diluar bunga misalnya daun, cabang atau batang tanaman.

3. Madu Embun , Madu ini berasal dari serangga, cairan ini kemudian dihirup lebah dan dikumpulkan bagian tertentu disebut sarang lebah.23

2.2.3 Jenis Lebah Madu

(24)

1. Apis Indica

Apis indica atau apis cerana disebut juga tawon laler atau tawon madu adalah spesies lebah madu paling banyak dibudidayakan di negara tropis. Menghasilkan sekitar 3.5 kilogram madu per koloni per tahun. Satu koloni bisa terdiri dari 20.000 hingga 40.000 lebah pekerja, beratus lebah jantan dan seekor lebah ratu.

2. Apis Dorsata

Apis dorsata disebut juga lebah raksasa liar, lebah hutan, tawon gung, odeng, madu sialang merupakan lebah yang hidup liar. Malam hari memproduksi madu mencapai 50 hingga 60 kilogram per koloni per panen, produksi madu dalam sarang bisa mencapai 30 kilogram. Lebah berwarna hitam ini bisa tinggal di dataran 0-1000 meter dpl dan hanya berkembangan di kawasan subtropis dan tropis.

3. Apis Mellifera

Jenis lebah yang tersebar sangat luas disebut juga lebah madu import, lebah madu internasional. Sarangnya bisa ditemukan di rongga yang gelap seperti di rongga batu, gua dan pohon berlubang. Mellifera termasuk lebah produktif memproduksi 3 hingga 60 kilogram madu per koloni pertahun, lebah jenis mellifera ini memiliki kemampuan menjaga temperature sarang sehingga relatif tahan terhadap berbagai cuaca.

4. Apis Koschevnikovi

Lebag dengan ukuran kecil memiliki kemiripan dengan cerana terdapat bulu khas warna kemerahan. Hidupnya masih liar dan belum bisa dibudidayakan karena lebah yang memilih sarang di tempat terbuka. Produk madu nya pun sedikit sehingga kurang menguntungkan secara ekonomi.

5. Apis Florea

Lebah bertubuh kecil ini memilih tempat tinggal daerah hutan tropis, di pohon dan di antara kayu-kayu, dan area pertanian. Sulit ditemukan di atas ketinggian 1500 meter dpl, hidup di iklim hangat hidup menggantung di dahan pohon, kadang di rongga-rongga atau gua. Hasil produksi madunya sedikit yaitu sekitar 1 hingga 3 kilogram madu per tahun.

6. Apis Laboriosa

(25)

11

Lebah madu yang hanya terdapat di pegunungan Himalaya pada ketinggian tempat lebih 1200 meter dpl.

7. Apis Andemiformis

Lebah dengan ukuran lebih kerdil atau kecil bentuknya mirip Apis florea, warna tubuh hitam, membuat arang tunggal terbuka di semak-semak. Produksi madu rendah tidak terlalu menguntungkan.

8. Apis Nigrocinta

Spesies baru yang mirip Apis cerana memiliki tubuh berwarna kuning. Jenis ini di temukan di Sulawesi dan Kalimantan.24

2.2.4 Kandungan Madu

Madu mempunyai banyak kandungan mineral misalnya natrium, kalsium, magnesium, alumunium, besi, fosfor dan kalium. Vitamin-vitamin yang terdapat dalam madu adalah vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), vitamin C (asam askorbat), pridosin, asam pantotenat, biotin, asam folat, niasindan vitamin K.

Terdapat beberapa enzim yang penting di dalam madu yaitu enzim diastase berupa suatu enzim yang mengubah karbohidrat polisakarida menjadi karbohidrat sederhana monosakarida. Enzim invertase berupa enzim yang memecah molekul sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.24 madu dapat mempercepat penyembuhan luka karena adanya sifat antibakteri yang memiliki tekanan osmotic dan PH yang baik sehingga mencegah pertumbuhan mikroba.7

2.2.5 Manfaat Madu 1. Pengganti Gula

Madu hutan dapat digunakan sebagai pengganti gula karena madu hutan lebih sehat dibanding gula yang beredar dipasaran.

2. Antioksidan

Madu sebagai antioksidan madu mengandung bermacam senyawa fitokimia berupa asam organik, vitamin, dan enzim yang dapat berfungsi sumber antioksidan. Jumlah dan jenis senyawa antioksidan ini sangat bergantung pada sumber atau variasi

(26)

bunga pada madu hutan. Madu hitam lebih kandungan antioksidannya dari pada madu yang warna terang. Kandungan fitokimia dalam madu hutan adalah polifenol dapat berperan sebagai antioksidan.

3. Sebagai Antimikroba

Madu dapat meningkatlan tekanan osmotik pada permukaan luka, sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat. Madu hutan memiliki efek sebagai antimikroba terutama pada gram positif, baik yang bersifat bakteriostatik maupun efek bakterisida yang dapat melawan banyak bakteri yang bersifat patogen.

4. Mengobati Luka

Madu mengandung unsur nutrisi yang berperan dalam pembentukan jaringan baru. Madu meningkatkan lendir pada luka sehingga dapat membantu proses pengkapuran dan mempercepat pertumbuhan sel-sel baru.26

2.2.6 Farmakokinetik Madu

Sebelum mencapai reseptor proses pergerakan obat dimulai melalui proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME). Persiapan obat dilakukan dengan metode ekstravaskular, seperti pemberian oral, intramuskular, intraperitoneal, subkutan dan rektal,obat akan mencapai tingkat tertentu dalam sirkulasi sistemik. Pemberian intraperitoneal sama dengan pemberian peroral. Dari obat yang diberikan secara intraperitoneal, sehingga 34% akan diserap ke dalam sirkulasi sistemik,perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik akan dimetabolisme oleh hati sebelum mencapai sisrkulasi sistemik.

Metabolisme tahap pertama dari vena porta hepatik, kemudian memasuki sirkulasi sistemik, dam kemudian menembus ke luar pembuluh darah dan didistribusikan ke semua organ.27 Pada proses metabolisme obat di hati meliputi dua fase. Fase I terjadi reaksi biotransformasi obat induk dimana polaritas obat meningkat akibat oksidasi atau hidrosilasi yang dikatalisasi oleh kelompok sitokrom P450 oksidase mikrosomal. Pada fase ini menyebabkan perubahan metabolisme obat dan pembentukan metabolit toksik. Fase II adalah terjadinya konjugasi grup enzim, fungsional dengan senyawa endogen hidrofik. Fase ini merupakan jalur detoksifikasi reaksi metabolit diekspor ke sirkulasi sinusoid yang

(27)

13

mudah diekskresikan di ginjal atau kedalam empedu. FaseII merupakan reaksi konjugasi glukoronat, sulfat, dan merkapturat.28,29,30

2.3 Hepar

2.3.1 Anatomi Dan Fisiologi Hepar

Hepar adalah organ dengan bermacam aktivitas metabolisme. Anatomi hepar erletak dikanan atas rongga perut, hepar dilapisi oleh cincin tipis dari jaringan ikat atau disebut kapsula glisson yang tebal dihilum, bagian luar nya ditutupi oleh peritoneum. Hepar terletak dipermukaan kaudal otot diafragma dan meluas ke sisi tengah dan sisi kanan lengkung kosta kiri. Terdapat juga vena porta dan arteri hepatika didalam hepar, duktus hepatika kiri dan kanan sebagai tempat aliran keluar pembuluh limfatik.30 Hepar terbagi menjadi empat bagian atau lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri, lobus quadratus, serta lobus kaudatus. Terdapat sejumlah ligamentum peritoneum yang membantu menopang hepar. Didalam hepar memiliki tiga macam jaringan utama yaitu sel parenkim, pembuluh darah dan saluran empedu.32

Secara mikroskopik anatomi lobus hepar dibagi menjadi bagian yang disebut lobulus, yang mana merupakan suatu unit mikroskopik dan fungsional dari organ. Lobulus merupakan suatu badan heksagonal yang terdiri dari lempeng- lempeng sel hepar dengan bentuk kubus, disusun secara radial disekitar vena sentral yang mengalir darah dari lobulus tersebut. Antara sel hepar terdapat kapiler-kapiler dinamakan sinusoid. Sinusoid ini dipisahkan oleh fagosit atau sel kupffer yang memiliki fungsi utama untuk memakan bakteri serta benda-benda asing didalam darah. Pada cabang vena porta serta arteri hepatika terdapat saluran empedu, yang mana saluran empedu interlobular membuat kapiler saluran empedu yang amat kecil yang dinamakan kanalikuli, dan membuat saluran empedu secara bertahap membesar membentuk duktus kolekdokus.33

(28)

Gambar 2.1 : Anatomi Hepar

Histologi Sel-sel dalam hepar yaitu terdapat sel endotel, hepatosit, dan sel makrofag yang dinamakan sebagai sel kupffer serta sel ito yaitu sel penimbun lipid.

Hepatosit merupakan sel epitel poligonal yang membentuk lempeng bercabang tidak teratur. Sel-sel hati berderet secara radial di lobulus hepar dan membentuk 1- 2 lapisan sel yang sama dengan struktur bata. Bagian lempeng dari sel tersebut mengarah dari bagian tepi lobulus ke bagian tengah dengan bebas dan beranastomosis membuat suatu struktur menyerupai busa dan labirin.

Gambar 2.2 : Histologi dari Hepar Normal Tikus. Keterangan: Liver Parenchym (LiPa), Porta Triad (PoTr), Central Verin(CeVe),Biller Duct (BiDu), Hepatic Arteri (HeAr), Porta

Vein (PoVe), Kupffer Cell (KuCe), Hepatocut (He), Sinusois (Si).

(29)

15

Sinusoid hepar berupa saluran berliku-liku dan lebar dengan diameter tidak beraturan dan lapisan sel endotel yang bertingkat dan tidak lengkap. Sinusoidnya dibatasi oleh tiga jenis sel, sel kupffer fagositik inti ovoid, sel endotel inti pipih gelap, sel bintang (sel ito) liposit hati yang memiliki fungsi menyimpan vitamin A serta memproduksi ekstraseluler kolagen. Aliran di bagian sinusoid bersumber dari cabang terminal arteri hepatica serta vena porta dan bergabung di vena sentral.

Traktus porta terdapat di bagian sudut-sudut heksagonal. Di bagian traktus porta, darah berasal dari arteri hepatica dan vena porta akan dialirkan menuju vena sentral. Traktus porta dibentuk oleh tiga struktur utama yang disebut trias portal.

Struktur yang terbesar ialah vena portal terminal dan dilapisi sel endotel pipih.

Kemudian arteriola dengan dinding yang tebal merupakan suatu cabang terminal dari arteri-arteri hepatik. Ketiga adalah duktus biliaris sebagai bagian yang akan mengalirkan empedu. 36

2.3.2 Fisiologi Hepar

Fisiologi dari organ hepar yaitu organ hepar termasuk terbesar dari tubuh manusia, sekitar 2% dari total berat badan (sekitar 1,5 kilogram) orang dewasa. Unit fungsional dasar dari hepar ialah lobulus hepar, strukturnya memiliki bentuk silinder dengan panjang sekitar beberapa milimeter dengan diameter 0,8-2 ml.

Hepar dari manusia terdapat 50.000-100.000 lobulus.Tujuan utama hepar untuk menciptakan produk samping yang terlarut didalam air dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan ataupun bahan asing, sehingga makanannya dapat dikeluarkan melewati urin.

Hepar sebagai organ yang menyerap, memproses, dan menyimpan nutrisi dari saluran pencernaan untuk digunakan oleh bagian tubuh lainnya. Hepar juga sebagai unit perantara sistem pencernaan dengan darah. Hepar mempunyai fungsi sebagai metabolisme dari karbohidrat, metabolisme lemak, metabolisme protein, tempat penyimpanan glikogen, vitamin D, vitamin A, dan B12, darah serta zat besi sebagai detoksifikasi, serta sekresi dari empedu. Adapun fungsi hepar antara lain:

1) Fungsi detoksifikasi, untuk mendetoksifikasi racun dan berbagai obat.

Prosesnya dilakukan melewati oksidasi, metilasi serta konjugasi.

(30)

2) Fungsi metabolisme, berperan penting me-metabolisme protein, karbohidrat serta lipid.

3) Sekresi, menghasilkan empedu yang bermanfaat untuk emulsifikasi serta absorbsi dari lemak.

4) Memproduksi panas sebagai kegiatan kimiawi didalam hepar berfungsi untuk sumber utama dari panas tubuh, dan terutama saat tubuh sedang istirahat ataupun tidur.

5) Tempat penyimpanan, menyimpan beberapa mineral seperti besi, protein yang larut didalam lemak (vitamin A, D, E dan vitamin K). Hepar dapat menyimpan racun dan obat yang tidak bisa dipecah atau diekskresikan oleh tubuh.

6) Sebagai penyimpan darah, hepar sebagai reservoir darah dari limpa serta jantung dengan jumlah volume darah yang diperlukan untuk tubuh. 34,35,36

2.3.3 Histopatologi Hepar

Hepar merupakan organ yang memiliki fungsi metabolisme nutrisi berupa glikogen, protein, lemak dan bahan kimia eksogen berupa obat-obatan dan racun.

Pada saat detoksifikasi beberapa racun secara biologis diubah menjadi toksik, hepar dirusak oleh beberapa racun yang diserap sistem gastrointestinal setelah itu dibawa menuju vena porta. Pemeriksaan histologi pada jaringan hepar tampak perubahan histologi, yaitu steatosis, peradangan atau inflamasi, pembengkakan hepatosit, apoptosis atau sirosis hepar. Adapun klasiifikasi kerusakan struktur sel hepar akibat toksik :

1. Nekrosis

Nekrosis adalah proses kematian sel atau jaringan organisme akibat dari efek hepatotoksik yang dapat diperkirakan dari obat atau racun. Secara histologi perubahan morfologi nekrosis ditandai dengan pembengkakan sel, pembentukan blebbing membran, kemudian pecahnya membran sel dengan mengeluarkan isi seluler. Mekanisme terjadinya nekrosis akibat dari kekurangan oksigen sel, dam pembentukan oksigen reaktif (ROS)

(31)

17

menngakibatkan disfungsi mitokondria dan penurunan ATP diambang batas yang diperlukan untuk menjaga intergritas seluler. Awalnya ditandai dengan muncul nekrosis piknosis atau inti yang mengecil dan memadat, karioreksi atau inti mengecil menjadi fragmen, dan setelah itu menjadi eosinofilik atau kariolisis sel tampak pucat, kemudian sel-sel hati muncul dan tampak kerangka retikulin lobular hancur. Pola pada nekrosis berupa apoptosis, spotty dan fokal nekrosis, nekrosis zonal, dan nekrosis konfluen.

2. Peradangan

Peradangan merupakan mekanisme tubuh melindungi dari infeksi oleh mikroorganisme, senyawa kimia, zat fisik, dan lainnya. Namun, peradangan dapat menjadi berbahaya jika terjadinya hipersensitivitas yang dapat mengakibatkan kematian atau kerusakan organ. Peradangan diawali dengan respon dinding vaskuler dan respon sel-sel, terjadinya vasodilatasi pembuluh darah yang memicu peningkatan aliran darah ke daerah luka.

Gambaran histologi tampak sel inflamasi berupa mononuklear berupa makrofag, limfosit, dan sel plasma pada vena porta dan jaringan parenkim.

Vena porta menunjukan adalah infiltrasi limfosik dan proliferasi sel kupffer dan semua lobulus terpengaruh dengan cara yang sama.

3. Degenerasi

Degenerasi adalah terjadinya morfologi sel yang reversible. Degenerasi diawali dengan pembengkakan sel akibat lemak atau air. Terjadinya p embengkakan sel ketika sel tersebut tidak dapat menjaga keseimbangan cairan dan ion. Ada dua jenis degenerasi sel yaitu degenerasi parenkimatosa dan degenerasi hidropik. Gambaran mikroskopik degenerasi parenkimatosa terjadi pembengkakan sel pada sitoplasma tampak keruh yang bergranula termasuk degenerasi ringan karena dapat kembali normal. Degenerasi hidropik tampak berupa vakuola-vakuola kecil pada sitoplasma. Vakuola terjadi akibat segmen retikulum endoplasma (RE) diregangkan. Selain itu jaringan adiposa juga didalam sel, dan muncul vakuol. Perlemakan dibagi menjadi mikro dan makro yaitu, pada makro akan tampak vakuol besar akan

(32)

memenuhi sel hepatosit dan mendesak inti sel ke pinggir. Sedangkan mikro tampak muncul vakuol bentuk kecil namun tidak mendesak inti sel. 37,38

Gambar 2.3: Histopatologi Hepar. Dengan keterangan: a).Nekrosis spot,beberapa hepatosit yang berdekatan tidak ada yang diganti oleh sel inflamasi. b). Hepatitis yang diinduksi obat.

c). Nekrosis hepar masif, keterlibatan tiga zonal hanya sedikit hepatosit peripotal yang tersisa.

2.3.5 Faktor - Faktor Kerusakan Hepar

Adapun hal yang mempengaruhi hepatotoksik dalam organ hepar manusia maupun hewan, yaitu:

a) Obat

Beberapa jenis obat yang dapat merusak hepar pada proses metabilisme obat dihepar antara lain, isoniazid, asetaminofen, aspirin, metotreksat, tetrasiklin, kloramfenikol, metildopas, metiltestoteron, daunorubisin, oral kontra sepsi dan estrogen. Kerusakan juga timbul akibat hipersensitivitas pada obat klorpomazin, halotan, rifampisin, fenilbutazon, asam p- aminosalisilat, oksifenistatin Timbulnya kerusakan seperti lesi ultrastruktur atau biokimia tanpa peradangan dan nekrosis sel yang luas, kerusakannya dapat berulang.

b) Zat kimia toksik

Adapun zat kimia toksik yang menimbulkan kerusakan pada hepar sebagai bahan toksik, antara lain etanol, bromobenzen, dan karbon tetraklorida. Zat

(33)

19

kimia toksik yang toksik tersebut memicu terjadinya perlemakan mikrovesikuler, nekrosis entrilobulus dan nekrosis masif di hepar.

c) Paparan dosis

Pada pemberian dosis semakin besar paparan dosis, maka banyak zat metabolit beredar maka semakin besar kerusakan pada sel hepar.

d) Nutrisi

Malnutrisi pada individu akan lebih rentan untuk terjadinya kerusakan pada sel hepar. Misalnya konsumsi lemak berlebih yang bersamaan dengan konsumsi zat toksik mempengaruhi terjadinya kerusakan sel mengakibatkan lemak tertimbun di dalam hepar.

e) Alkohol

Alkohol yang dikonsumsi dalam jangka waktu panjang menyebabkan terjadinya perubahan sel hepar berupa perlemakan hepar dan sirosis hepar.

Zat alkohol antara lain, asetaldehid dalam menyebabkan kelainan morfologi sel dan rusaknya membran sel sitoskeletonnya.

f) Usia

Pada usia lanjut fisiologi tubuh mengalami kemunduran, sehingga aliran darah pada pada hepar menurun akibat nya metabolisme zat terganggu.

g) Penyakit

Adapun penyakit-penyakit pada hepar antara lain hepatitis, sindroma reye dan penyakit wilson akibat terganggu nya metabolisme herediter,trauma biotransformasi zat dalam hepar, dan kolestatis yang mempengaruhi metabolisme hepar.

h) Stress psikologis

Peningkatan hormon kortisol yang diekskresi oleh kelenjar adrenal menekan kerja dan proliferasi leukosit. Maka imunitas tubuh menurun dan mudah terserang penyakit. Stress psikologis juga mengakibatkan penekanan sel natural killer sehingga sulit untuk masuk ke dalam hepar yang fungsinya

(34)

untuk membunuh benda asing dan virus akan memudahkan hepar terserang penyakit.39,40,41

2.4 Tikus Model Adhesi Intraperitoneal

Tikus model yang digunakan merupakan tikus jantan galur wistar dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian lanjutan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Megawati ditahun 2020 tentang pengaruh pemberian madu terhadap adhesi peritoneum secra makroskopik pasca laparotomi.

Tikus model yang digunakan adalah 20 ekor tikus putih jantan galur wistar kemudian dibagi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok Nacl, kelompok madu dosis minimal 2,7ml dan kelompok madu dosis maksimal 0,54ml. Semua tikus menerima antibiotik profilaksis cefotaxime dengan dosis 0,1mg/200g BB secara intra muskular diberikan 30-90 menit sebelum tindakan pembedahan. Dengan pembiusan menggunakan ketamine + xylazine intra muskular dosis 0,2mg/200g BB. Dilakukan laparotomi dan abrasi pada usus halus. Pada kelompok kontrol tikus yang dibuat adhesi intraperitoneal dengan cara di abrasi pada usus halus. Kelompok pemberian NaCl diberikan secara topikal didalam rongga peritoneum diatas tempat yang dilakukan abrasi. Kelompok pemberian madu dosis minimum 0.27ml secara topical didalam rongga intraperitoneal. Kelompok dosis maksimum 0.54ml secara topikal didalam rongga intraperitoneal. kemudian setelah pembedahan dilakukan injeksi paracetamol diberikan secara intramuscular sebesar 1mg/200g BB. Setelah 10 hari dilakukan laparotomi dan dilakukan perlakuan untuk masing-masing kelompok. kemudian di re-laparatomi dinilai derajat adhesi intraperitoneal didapatkan hasil derajat adhesi lalu diambil organ hepar tikus untuk dijadikan dalam bentuk sediaan pembuatan blok faraffin.42

(35)

21

2.5 Kerangka Teori

Manfaat madu terhadap tubuh sebagai pengganti gula, antioksidan,

antimikroba dan mengobati luka

(36)

Bagan 2.1 : Kerangka Teori 2.6 Kerangka Konsep

34% diserap ke sirkulasi sistemik Intraperitoneal

Adhesi operatif

berkurang Metabolisme

Madu di hepar

Tahap awal :

vena portal hepatica- sistemik - keluar pembuluh darah dan distribusikan ke semua organ

Toksisitas madu terhadap hepar

Gambaran mikroskopik histopatologi : Degenerasi sel berupa portal inflamasi,

lobular inflamasi, vakuolisasi, perdarahan dan sel nekrosis.

Pemberian madu

intraperitoneal Gambaran dan skor derajat

kerusakan sel hepatosit.

Madu sebagai obat

(37)

23

Bagan 2.2 : Kerangka Konsep

(38)

24 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan rancangan post only control group design. Rancangan post only control group design karena terdapat 20 sampel yang diberi perlakuan pemberian Nacl 0.9% 3ml, madu dosis 0.27ml dan madu dosis 0.54ml serta terdapat kelompok pengontrolnya.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni-November 2021

3.3 Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini yaitu preparat hepar tikus putih yang didapatkan dari penelitian sebelumnya.9 20 preparat hepar tikus difiksasi dengan pewarnaan HE dan pembacaan secara mikroskopik di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

(39)

25

3.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 organ hepar tikus terdiri dari 4 kelompok masing-masing terdiri dari 5 sampel organ hepar untuk membuat sampel histologi disetiap kelompok, yaitu:

Kelompok A : 5 preparat hepar tikus putih yang dilakukan pemebedahan dan dilekukan abrasi peritoneum.

Kelompok B : 5 preparat hepar tikus putih setelah pemberian NaCl 3 ml secara intraperitoneal

Kelompok C : 5 preparat hepar tikus putih setelah pemberian Madu dosis 0,27ml ml secara intraperitoneal sebagai anti adhesi.

Kelompok D : 5 preparat hepar tikus putih setelah pemberian Madu dosis 0,54 ml secara intraperitoneal sebagai anti adhesi.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi penelitian ini yaitu organ hepar dalam keadaan baik tidak ada kelainan anatomi dan masih layak digunakan untuk pembuatan preparat

Kriteria Eksklusi penelitian ini yaitu organ hepar yang memiliki kelainan anatomi yang tampak dan struktur hepar sudah rusak

3.3.4 Cara Pengambilan Sampel

Sampel pada penelitian ini diambil organ hepar tikus putih yang sebelumnya sudah diintervasi dengan pemberian madu secara intraperitoneal dosis 0,27ml, 0,54 ml, kelompok NaCl 3 ml, dan kelompok kontrol kemudian dijadikan 20 blok paraffin hepar tikus putih.

3.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 3.4.1 Identifikasi Variabel

a) Variabel Dependen : Derajat kerusakan histologi hepar tikus putih b) Variabel Independen : Pemberian madu sebagai anti adhesi

(40)

3.4.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Definisi

Operasioanal

Cara Ukur Hasil Ukur

Madu Hutan Jambi

Madu hutan jambi jenis apis dorsata yaitu cairan kental manis alami yang memiliki kandungan dan manfaat yang tinggi sebagai antibakteri.

Spuit 1cc Madu dosis 0,27ml dan 0,54 ml diberi secara intraperitoneal.

Mikroskopik Hepar

Merupakan penilaian terhadap derajat kerusakan sel hepatosit secara mikroskopik. Dengan cara menghitung skor derajat kerusakan pada hepar tikus putih, kemudian diamati dengan pembesaran 40x dan 100x kali.

Penilaian perubahan struktur sebagai berikut:

Skor derajat kerusakan sel hepatosit

Gambaran histopatologi skor kerusakan sel hepar tikus putih dan dilihat dari semua lapangan pandang dengan membaca derajat:

0=tidak ditemukan (normal) 1=ditemukan derajat ringan ≤

30%,

2= ditemukan derajat sedang 31-50%

3= ditemukan derajat berat

>50%

Cara membaca skoring derajat kerusakanhepar pada gambaran histopatologi yang didapat berupa:

1) Perdarahan/ hemoragik

(41)

27

-Terdapat eritrosit/sel darah pada jaringan yang mengalami kerusakan.

-Warna jaringan lebih merah

2) Portal inflamasi

-Terdapat infiltrasi sel radang seperti serbuk yang memiliki lebih keunguan dan ditemukan disekitar daerah portal hati.

3) Inface hepatitis

-Terdapat infiltrasi sel radang juga sepeeti serbuk yang berwarna lebih keunguan dan menyebar ke daerah parenkim periportal.

4) Lobular inflamasi Terdapat infiltrasi sel radang seperti serbuk yang berwarna lebih keunguan berada di dalam satu lobulus.

5) Vakuolisasi

Vakuol kosong dengan ukuran kecil multiple dalam sitoplasma hepatosit dan nucleus hepatosit

(42)

tetap di tengah tidak tergeser oleh vakuol.

6) nekrosis

-Kematian sel dengan ciri kromatin inti membentuk menggumpal (pilnosis), pecah (karyorexis), dan menghilang (kalryolisis).

3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Alat

a) Pipet tetes g) Kamera digital b) Mikrotom h) Waterbath c) Kaca preparat i) Hotplate d) Cover glass j) Coolplate e) Mikrosopik cahaya k) Pisau mikrotom f) Staning jar

3.5.2 Bahan

a) Organ hepar tikus putih jantan galur wistar b) Buffer Neutral Formaline (BNF) 105

c) Pewarnaan haematoksilin (HE) d) Aquades

e) Xylol

3.5.3 Prosedur Penelitian

Proses pembuatan preparat hepar tikus putih sebagai berikut:

1. Fiksasi

(43)

29

Sampel jaringan hepar difiksasi dengan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%.

Memfiksasikan sampel jaringan hepar tikus selama 1x24 jam, dan volume yang digunakan 10x volume jaringan.

2. Pemotongan Spesimen

Setelah difiksasi tahap selanjutnya, Spesimen di pilih untuk pemeriksaan kemudian dipotong dengan pisau setebal 0,5-1cm.

3. Prossesing Embedding

Proses selanjutnya yaitu dilakukan prosessing dengan memasukkan embedding cassette ke dalam tissue processor. Jaringan yang ada dalam tissue cassette didehidrasi dengan memasukkan kedalam alkohol bertingkat. Selanjutnya adalah clearing ke dalam xylol selama 15 menit. Kemudian tahap infiltring yaitu tissue cassette dimasukkan ke dalam parafin cair I dan II dengan suhu 56°C. Tahapan selanjutnya adalah embedding yaitu mencetak jaringan dalam paraffin cair.

Spesimen diletakan di atas cetakan lalu diisi dengan parafin. Posisi spesimen yang akan dipotong harus menghadap ke bawah menempel pada cetakan. Spesimen yang telah diberikan parafin cair di taruh dalam lemari pendingin. Setelah paraffin mengeras, keluarkan paraffin dari cetakan lalu dilakukan pemotongan.

4. Pemotongan

Jaringan dari blok parafin hepar dipotong dengan ketebalan 5-6μm dengan menggunakan mikrotom. Jaringan tersebut diletakkan pada gelas objek kemudian disimpan dalam inkubator dengan suhu 70°C. Hasil pemotongan diambil menggunakan object glass dan ditempatkan di atas pelat pemanas selama 2 jam.

5. Pewarnaan HE

Proses pewarnaan HE diawali dengan merendam jaringan ke dalam larutan xylol dan alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan 100%. Kemudian dicuci dengan air keran selama 1 menit. Selanjutnya direndam ke dalam aquades selama 15 menit agar pewarnaan HE dapat menempel. Selanjutnya masukkan ke dalam larutan pewarna Eosin selama 30 menit dilanjutkan mencelup sediaan ke dalam alkohol bertingkat dan xylol sebanyak 10x celupan atau selama 30 detik. Lalu sediaan di keringkan dan diberikan perekat entelan setelah itu ditutup dengan kaca penutup preparat dan disimpan beberapa menit sampai zat perekat kering.

(44)

3.5.4 Pengamatan Mikroskopik

Pengamatan preparat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran bertingkat mulai dari 40x sampai ditemukan visualisasi jelas dan di lakukan penilaian. Preparat hepar diamati menggunakan metode skoring derajat kerusakan histopatologi sel hepatosit.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulam data penelitian ini dengan cara mengamati struktur sel hepar secara deskriptif dari masing-masing kelompok agar mengetahui apakah terdapat perubahan pada struktur sel hepar secara mikroskopik setelah perlakuan.

3.7 Analisis Data

Data yang didapatkan dari hasil pengamatan terhadap preparat hepar tikus dianalisis secara deskriptif kualitatif kerusakan sel hepar tikus putih antara kelompok kontrol, kelompok NaCl, kelompok madu 0,27ml, kelompok madu 0,54%.

3.8 Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip etika penelitian sebelumnya penelitian dimulai peneliti harus mendapatkan surat keterangan layak penelitian (Etichal Clearance) dan harus lulus uji etik penelitian dari komisi kesehatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

Pada penelitian ini digunakan hepar tikus putih yang sebelumnya sudah di intervensi pemberian madu intraperitoneal di Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi dan diperlakukan sesuai dengan kode etik penelitian yang berlaku.

(45)

31

3.9 Alur Penelitian

Kelompok kontrol tanpa perlakuan 5 ekor tikus hanya

laparotomi dan abrasi peritoneum (kelompok kontrol)

KELOMPOK A

Kelompok perlakuan Madu dosis minimum, 5 ekor tikus putih

diberikan dosis 0,27ml secara intraperitoneal

KELOMPOK C

Kelompok perlakuan Madu dosis maksimum 5 ekor tikus putih

diberikan dosis 0,54ml secara intraperitoneal

KELOMPOK D Kelompok

perlakuan NaCl 5 ekor tikus diberi NaCl 0,9% sebesar

3ml secara intraperitoneal

KELOMPOK B

Blok paraffin hepar tikus putih jantan galur wistar pasca laparotomi berdasarkan

perlakuan

Pembuatan preparat hepar tikus putih jantan galur wistar pasca laparotomi dengan menggunakan pewarnaan HE

Pengamatan Mikroskopik Histopatologi sel hepar Menilai skor kerusakan sel hepatosit

(46)

Bagan 3.1 : Alur Penelitian

(47)

32 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 20 preparat organ hepar tikus putih yang dibagi menjadi empat kelompok perlakuan yaitu, kelompok kontrol tanpa perlakuan, kelompok dengan pemberian NaCl 0,9% 3 ml secara intraperitoneal, kelompok dengan pemberian dosis 0,27ml secara intraperitoneal, kelompok pemberian dosis 0,54 ml secara intraperitoneal.

Terdapat beberapa perubahan pada gambaran sel hepatosit yaitu perdarahan berupa eritrosit sel darah pada jaringan yang mengalami kerusakan. Portal inflamasi berupa infiltrasi monokuler di daerah portal hepar. Inface hepatitis berupa infiltrasi sel radang di parenkim periportal. Lobular inflamasi berupa infiltrasi dalam satu lobulus atau parenkim hati. Vakuolisasi berupa vakuol kosong dengan ukuran multiple dalam sitoplasma hepatosit dan nukleus hepatosit tetap ditengah.Dari pengamatan mikroskopik pada seluruh lapangan pandang didapatkan gambaran kerusakan sel hepatosit sebagai berikut:

4.1.1 Hasil Pembacaan Skor Kerusakan Hepar Secara Mikroskopik 1. Perdarahan

Dari gambaran mikroskopik didapatkan perubahan berupa perdarahan dengan kerusakan skor 0 pada kelompok C5 dan D5 yang berarti tidak ada perubahan pada gambaran preparat hepar. Kerusakan skor 1 pada kelompok C1,D2,D3. Kerusakan skor 2 pada kelompok A1,A2,A4,B2,B2,B5,C2,C4, dan D4. Kerusakan skor 3 pada kelompok B1. Dan didapatkan gambaran mikroskopik sebagai berikut:

Pada gambaran perdarahan skor 0 Pada gambaran perdarahan skor 1

(48)

Pada gambaran perdarahan skor 2 Pada gambaran perdarahan skor 3 Gambar 4.1: Gambaran Perdarahan Sel hepatosit

2. Portal Inflamasi

Dari gambaran mikroskopik didapatkan perubahan berupa portal inflamasi dengan kerusakan skor 0 pada kelompok D2 yang berarti tidak ada perubahan pada gambaran preparat hepar. Kerusakan skor 1 hampir seluruh sampel mengalami perubahan dengan skor kerusakan 1 pada kelompok A semua perparat terdapat perubahan skor 1 ,kelompok B semua preparat terdapat perubahan skor 1, kelompok C semua preparat terdapat perubahan skor 1. kelompok D dengan perubahan skor 1 ada pada kelompok D3,D4 dan D5. Kerusakan skor 2 pada kelompok D1.

Pada gambaran portal inflmasi skor 0. Pada gambaran portal inflamasi skor 1.

. Pada gambaran portal inflamasi skor 2.

Gambar 4.2: Gambaran Portal Inflamasi Sel hepatosit

(49)

34

3. Inface Hepatitis

Dari gambaran mikroskopik didapatkan perubahan berupa inface hepatitis dengan kerusakan skor 0 kelompok A yaitu pada sampel A3 dan A4, pada kelompok B yaitu pada sampel B1,B3 dan B5, pada kelompok C yaitu pada semua sammpel skornya 0, pada kelompok D yaitu pada kelompok D3,D4 dan D5.skor 0 yang berarti tidak ada perubahan pada gambaran preparat hepar. Kerusakan skor 1 terdapat pada kelompok A1,A2, A5, B4, D1 dan D2.

Gambaran inface hepatitis derajat 0. Gambaran inface hepatitis derajat 1 Gambar 4.3: Gambaran Inface Hepatitis Sel hepatosit

4. Lobular Inflamasi

Dari gambaran mikroskopik didapatkan perubahan berupa lobular inflamasi dengan kerusakan skor 0 kelompok B1 dan C2. Kerusakan skor 1 kelompok A yaitu pada seluruh sampel, kelompok B yaitu pada sampel B1,B2,B3,B4 dan B5.

Kelompok C yaitu pada sampel C1, C3,C4 dan C5. Kelompok D yaitu pada seluruh sampel terdapat perubahan inface hepatitis derajar 1.

Gambaran lobular inflamasi derajat 0. Gambaran lobular inflamasi derajat 1 Gambar 4.4: Gambaran Lobular Inflamasi Sel hepatosit

(50)

5. Vakuolisasi

Dari gambaran mikroskopik didapatkan perubahan berupa vakuolisasi dengan kerusakan skor 0 kelompok C5 dan D5. Kerusakan skor 1 kelompok A1.

Kerusakan skor 2 pada kelompok D1. Kerusakan skor 3 pada kelompok A terdapat pada sampel A1,A2,A3 dan A5. Pada kelompok B terdapat pada seluruh sampel dengan skor 3. Pada kelompok C terdapat pada sampel C1,C2,C3 dan C4.

Pada kelompok D terdapat pada sampel D2,D3 dan D4 dengan kerusakan skor 3.

Gambaran Vakuolisasi derajat 0. Gambaran Vakuolisasi derajat 1

Gambaran Vakuolisasi derajat 2. Gambaran Vakuolisasi derajat 3 Gambar 4.5: Gambaran Vakuolisasi Sel hepatosit

Kemudian masing-masing kelompok preparat tersebut diamati dibawah mikroskop untuk melihat perubahan struktur sel hepar tikus putih yang telah dilakukan perlakuan dan dinilai derajat skor kerusakan yang terlihat dari gambaran preparat setiap kelompok perlakuan kemudian hasil dari skor kerusakan didapatkan rata-rata skor yaitu di bawah ini:

(51)

36

Tabel 4.1 Data Hasil Rata-Rata Pembacaan Preparat Hepar

Nama

Kelompok Perdarahan Portal

Inflamasi Inface

Hepatitis Lobular

Inflamasi Vakuolisasi Nekrosis

A 2,2 1 0,6 1 2,6 0

B 2,4 1 0,4 0,8 3 0

C 1,6 1 0 0,8 2,4 0

D 1,4 1 0,4 1 2,2 0

Dari tabel di atas merupakan rata-rata yang diambil dari skor derajat kerusakan hepar pada lampiran 4. Hasil pengamatan secara mikroskopik pada rata-rata skor kerusakan sel hepatosit dari , yaitu: rata-rata perdarahan yang terbesar berada pada kelompok B yaitu yang di beri NaCl dengan skor rata-rata 2,4 sedangkan skor rata- rata perdarahan yang terkecil berada pada kelompok D yang diberikan madu dosis 0,54ml dengan skor 1,4. Skor rata-rata kerusakan sel hepatosit portal inflamasi yaitu sama disetiap kelompok dengan skor rata-rata 1. Skor rata-rata kerusakan sel hepatosit pada inface hepatitis yang terbesar berada pada kelompok A yaitu kelompok kontrol sebesar 0,6 dan rata-rata yang terkecil berada pada kelompok C yang diberi madu 0,27ml dengan skor rata-rata sebesar 0. Skor rata-rata pada lobular inflamasi kelompok A dan kelompok D skor rata-rata sama besar 1, sedangkan kelompok B dan kelompok C skor rata-rata sebesar 0,8. Kerusakan sel hepatosit vakuolisasi skor rata-rata yang terbesar pada kelompok B sebesar 3 dan yang terkecil pada kelompok D sebesar 2,2. Sedangkan skor rata-rata pada sel nekrosis sama setiap kelompok yaitu 0, karena tidak terdapat kematian sel pada hepar tikus putih galur wistar dari setiap kelompok-kelompok perlakuan.

(52)

1.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 20 preparat organ hepar tikus putih jantan galur wistar yang digunakan dengan perlakuan kelompok kontrol positif, kelompok perlakuan yang diberikan NaCl 0.9 3ml, kelompok yang diberikan madu dosis 0.27 ml, dan kelompok yang diberikan madu 0.54 ml dapat diketahui bahwa pada hepar tikus tersebut ditemukan adanya perdarahan, portal inflamasi, inface hepatitis, lobular inflamasi dan vakuolisasi. Kemudian tidak ditemukan sel nekrosis atau kematian sel terhadap hepar tikus dari semua kelompok perlakuan.

Secara teori seharusnya pada kelompok kontrol tidak didapatkan perubahan gambaran pada preparat hepar, namun kerusakan sel hepatosit ditemukan perdarahan, portal inflamasi, inface hepatitis, lobular inflamasi dan vakuolisasi, kemungkinan tidak disebabkan oleh perlakuan pemberian dosis madu secara intraperitoneal,sebab kerusakan tersebut juga ditemukan parameter pada kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan NaCl 0.9%

3ml.

Hepar memiliki peran sebagai metabolisme dan detoksifikasi sebagian besar obat dan bahan kimia yang masuk kedalam tubuh, maka hepar menjadi rentan terhadap jejas berbagai obat-obatan dan bahan kimia dari linhkungan yang masuk kedalam tubuh. Dikarenakan pada kelompok kontrol positif dan kelompok pemberian NaCl juga terdapat kerusakan sel hepatosit. Kemungkinan Perubahan yang terjadi pada hepar akibat faktor- faktor dari pengaruh obat-obatan pasca laparotomi seperti pemberian paracetamol dan antibiotik selama masa perawatan tikus berupa pemberian cefotaxime, dapat juga akibat kondisi kandang tikus yang kurang ideal, faktor stress tikus, dan pengaruh makanan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasan,dkk. tentang kondisi hati tikus betina akibat induksi7,12-dimethyl benz(α) anthrasen (DMBA) penyembuhannya dengan propolis dan nanopropolis Indonesia. Pada kelompok DMBA pada kontrol negatif yang hanya diberikan NaCl 0,9%

Referensi

Dokumen terkait

18 1 Februari 2019 Penulis melakukan bimbingan dengan mentor untuk mengecek progress yang sudah dikerjakan1. 19 6 Februari 2019 Penulis menambahkan validasi pada text

Berdasarkan hasil angket dan wawancara, langkah-langkah yang digunakan guru dalam menerapkan penilaian otentik dalam pembelajaran bahasa Inggris di MAN 2 Kota

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat di simpulkan bahwa Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, untuk perlakuan pertama untuk mengetahui sifat-sifat logam alkali

Stainless steel  steel   adalah suatu jenis paduan yang mengandung besi, unsur yang terbuat   adalah suatu jenis paduan yang mengandung besi, unsur yang terbuat

Oleh sebab itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan dari limbah kulit jeruk adalah dengan memanfaatkan pektin dari limbah kulit jeruk

[r]

dikonversikan ke dalam PAP Skala V berada pada rentangan (55% - 64%) berarti bahwa keterampilan motorik halus siklus II berada pada kriteria rendah, (3) dengan menerapkan

Dengan demikian bila suatu sungai menerima limbah berupa senyawa organik atau limbah dalam jumlah yang sedikit atau dalam batas toleransi maka limbah tersebut akan dinetralisir oleh