• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENERAPAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of PENERAPAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LINGKUNGAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

P-ISSN: 2356-4164, E-ISSN: 2407-4276

Open Access at : https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

1053

PENERAPAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LINGKUNGAN

Tashya Trianindya, Ali Muhammad, Umar Anwar Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

E-mail: umar.harun12@gmail.com

Info Artikel Abstract Masuk: 1 Desember 2022

Diterima: 15 Januari 2023 Terbit: 1 Februari 2022 Keywords:

Criminal justice system, correctional institutions, integrated criminal justice

Today in the field of law enforcement there is a system which acts as a criminal law en- forcer. This system is known as the criminal justice system. The criminal justice system is a law enforcement system composed of various types of judicial institutions with a number of support systems from the system in the form of a bureaucratic government organization as a whole. Correctional institutions are one of the law enforcement agen- cies that play a very important role in the community. As a law enforcement agency, correctional institutions need to implement a criminal justice system that is in accord- ance with their field of work. This journal discusses the integrated criminal justice sys- tem which is considered effective to be applied in the prison environment.

Descriptive qualitative method is used in writing this journal by carrying out a literature study of journals or books related to the problems discussed. The implementation of the criminal justice system in the correctional environment must remain based on the 1945 Constitu- tion and Pancasila as the basis of the state and philosophy of the Indonesian nation

Abstrak Kata kunci:

Sistem peradilan pidana, lembaga

pemasyarakatan, sistem peradilan pidana

terpadu

Dewasa ini dalam bidang penegakan hukum terdapat suatu sistem yang mana berperan sebagai penegak hukum pidana. Sistem tersebut dinamakan dengan sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan sistem penegak hukum yang tersusun atas berbagai jenis lembaga peradilan dengan sejumlah sistem pendukung dari sistem beru- pa organisasi pemerintahan birokrasi secara keseluruhan. Lembaga

(2)

1054 Corresponding Author:

Tashya Trianindya, e-mail :

pemasyarakatan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang sangat berperan dalam lingkungan masyarakat. Sebagai suatu lembaga penegak hukum, lembaga pemasyarakatan perlu menerapkan sistem peradilan pidana yang sangat sesuai dengan ranah kerja mereka. Dalam jurnal ini dibahas mengenai sistem peradilan pidana terpadu yang dinilai efektif untuk diterapkan di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Metode kualitatif deskriptif digunakan dalam penulisan jurnal ini dengan melaksanakan studi pustaka terhadap jurnal atau buku terkait dengan permasalahan yang dibahas.

Implementasi sistem peradilan pidana di lingkungan pemasyarakatan harus tetap berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi bangsa Indonesia

@Copyright 2023.

PENDAHULUAN

Silogisme kerja aparat penegak hukum dalam yurisdiksi formal Sistem Peradilan Pidana di Indonesia melibatkan potensi keterkaitan antara aparat penegak hukum. Setiap peraturan perundang-undangan menimbulkan dinamika sosial dalam masyarakat. Hukum terbentuk dan lahir mengikuti kondisi hukum dan masyarakat, dimana pada saat itu dinamika hukum dan sosial telah bergerak jauh melampaui kondisi saat itu. Oleh karena itu dalam menghadapi gejala tersebut, aparat penegak hukum harus selalu memberikan solusi yang konstruktif bagi pelaksanaan hukum dalam rangka perubahan sosial yang salah satunya dengan menggunakan metode penemuan hukum.

Sistem peradilan pidana adalah sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sejumlah lembaga peradilan yang merupakan sub-sub sistem pendukung dari keseluruhan sistem yang berupa or- ganisasi pemerintahan birokrasi pelaksa- na kekuasaan negara di bidang peradilan. Pendekatan sistem mekanisme admin- istrasi peradilan menganggap kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan serta lembaga peradilan lainnya tidak hanya sebagai lembaga yang berdiri sendiri, tetapi masing- masing sebagai unsur penting yang erat kaitannya satu sama lain. Kenyataannya, Sistem Peradilan Pidana yang ada di In- donesia yang terdiri dari lembaga peradi- lan belum menunjukkan dirinya sebagai lembaga negara yang mandiri, berwiba- wa dan tempat untuk mencari dan mem- peroleh keadilan (peradilan yang baik), seperti yang dicontohkan dalam kasus eksekusi Komisaris Jenderal. (Purn.) Susno Duadji yang divonis tiga tahun enam bulan penjara yang ditolak oleh terpidana, sehingga tidak berhasil. Yurisdiksi Pengadilan Militer adalah sta- tus militer yang termasuk dalam hukum pidana dan disiplin (Waskito, 2018).

Dalam kasus di atas, dengan pengama- tan lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum terintegrasi karena belum

(3)

1055 adanya koordinasi yang baik antar sesa- ma subsistem yang mendukung sistem peradilan pidana. Masih adanya fenome- na institusional centric atau masih kuatnya ego sektoral pada masing- masing subsistem pendukung sistem peradilan pidana, masih adanya malad- ministrasi dalam pelaksanaan tugas mas- ing-masing subsistem pendukung sistem peradilan pidana. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa Sistem Peradilan Pidana di Indonesia belum dikelola dengan baik. Oleh karena itu, belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Sistem peradilan pidana adalah jarin- gan pengadilan dan tribunal yang me- nangani hukum pidana dan penegakann- ya. Sistem peradilan pidana merupakan sistem fisik karena kerjasama antar bagi- an secara terpadu untuk mencapai tujuan bersama dianggap bersifat fisik. Di samping itu juga bersifat abstrak (ab- stract system) karena kerjasama yang terpadu dapat dilihat sebagai suatu kon- sistensi pemikiran dan nilai-nilai antar subsistem dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama. Keterpaduan itu melipu- ti keutuhan substansi, struktur dan bu- daya (Putra, 2015).

Salah satu jenis sistem peradilan yang saat ini dikembangkan ialah sistem peradilan pidana anak. Namun, saat ini penerapan sistem peradilan pidana anak cenderung tidak memihak terhadap anak, hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah kejahatan yang dilakukan oleh anak, dan banyaknya pertimbangan ha- kim dalam putusan yang memenjarakan pelaku tindak pidana anak. Saat ini pen- erapan sistem peradilan pidana anak cenderung tidak memihak terhadap anak, hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah kejahatan yang dilakukan oleh anak, dan banyaknya pertimbangan ha- kim dalam putusan yang memenjarakan pelaku tindak pidana anak. Berdasarkan penelitian, kebijakan pemenjaraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum (de- linquency) menunjukkan kecenderungan yang merugikan perkembangan mental anak di masa depan. Kecenderungan me- rugikan ini merupakan akibat dari efek pemidanaan berupa stigmatisasi.

Istilah sistem peradilan anak merupa- kan terjemahan dari istilah Juvenile Jus- tice System, yaitu istilah yang digunakan untuk mengartikan sejumlah lembaga yang menjadi anggota pengadilan, antara lain kepolisian, kejaksaan dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, lembaga pemasyarakatan anak, dan fasilitas tum- buh kembang anak. Dalam sistem peradi- lan pidana anak terdapat kegiatan penyi- dikan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak yaitu segala kegiatan yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, hakim dan pejabat lainnya harus berdasarkan asas yaitu un- tuk kesejahteraan anak. anak dan kepent- ingan anak.

Proses peradilan pidana merupakan proses yuridis yang diatur secara jelas dalam undang-undang, di- mana penegakan hukum dilakukan dengan memperhatikan kebebasan untuk menyatakan pendapat dengan mengam- bil keputusan berdasarkan keyakinan ter- tentu. Dalam hal ini hak-hak anak juga harus diperhatikan dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan anak, terutama yang berkaitan dengan perlin- dungan hukum terhadap anak yang men- cakup aspek yang lebih luas.

Gagasan tentang norma kewajiban so- sial properti sedang mengalami kebang- kitan dalam hukum Indonesia sekalipun. Reformasi hukum sangat diperlukan ka- rena kegagalan sistem hukum dalam menjalankan tugas dan

(4)

1056 fungsinya bukan semata-mata karena kegagalan lembaga hukum dalam masyarakat.

Kegagalan suatu lembaga dalam masyarakat tidak muncul dengan sendirinya karena lem- baga-lembaga dalam masyarakat saling berhubungan secara sistematis dan sinergis sedemikian rupa sehingga kega- galan di suatu bidang juga merupakan kegagalan fungsi lembaga lain dalam masyarakat.

Selain itu, reformasi hukum yang akan dan sedang dilakukan harus mencakup reformasi seluruh elemen sistem hukum, yaitu: substansi hukum (perundang- undangan), struktur hukum (aparat penegak hukum, penegak hukum dan pembuat undang-undang) dan hukum. budaya (semangat penyelenggara negara, kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dan sebagainya). Dengan demikian reformasi hukum meliputi tahap atau tingkatan

perumusan/perundang- undangan (tahapan legislatif drafting), tahap atau tingkatan penerapan atau penegakan (tahap penegakan atau pelaksanaan peraturan perundang- undangan) dan tahap eksekusi atau peradilan atau tahap peradilan.

Penjara merupakan bagian penting dari sistem peradilan pidana terpadu di setiap negara. Digunakan dengan tepat, ia memainkan peran penting dalam menegakkan supremasi hukum dengan membantu memastikan bahwa tersangka pelaku dibawa ke pengadilan dan dengan memberikan sanksi untuk kesalahan seri- us. Lapas yang terbaik harus dapat menawarkan pengalaman yang manusi- awi dengan kesempatan bagi narapidana untuk mendapatkan bantuan dan bantu- an rehabilitasi. Di penjara terburuk mere- ka dapat menjadi tempat penderitaan yang mengerikan, inkubator penyakit atau gudang belaka dari mana para ta- hanan kembali ke masyarakat dengan perlengkapan yang buruk untuk men- jalani kehidupan yang taat hukum.

Pengalaman yang sangat banyak di- alami oleh para narapidana yang mungkin mayoritas terus secara rutin melibat- kan pelanggaran berat hak asasi manusia dan tampaknya hanya memberikan sedi- kit kontribusi baik bagi supremasi hukum atau bagi terciptanya komunitas yang lebih aman. Kegagalan lembaga pemasyarakatan sering kali menc- erminkan masalah kronis maladministra- si, terutama kekurangan sumber daya dalam hal bangunan dan staf, ditambah lagi dengan kepadatan yang parah dan manajemen dan akuntabilitas yang lemah.

Pancasila adalah landasan filosofis negara Indonesia. Artinya, Pancasila juga bertindak sebagai sumber hukum tertinggi. Pancasila telah menjadi pe- doman bagaimana seharusnya orang In- donesia hidup bermasyarakat. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dapat dilihat dari tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek filosofis. Artinya Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan negara. Kedua, aspek yuridis. Artinya Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum yang harus menjadi dasar dan tujuan se- tiap hukum di Indonesia. Ketiga, aspek politik.

Pancasila dapat menjadi pedoman nilai dan etika dalam berpolitik dan bernegara.

Oleh karena itu, sistem peradilan pi- dana Indonesia harus merupakan per- wujudan nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam rangka mewujudkan keadilan hukum, kepastian

(5)

1057 hukum, dan kemanfaatan hukum sebagai landasan kehidupan bermasyarakat dan bermasyarakat. sebuah negara. Dengan demikian diharapkan tatanan kehidupan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa dapat menciptakan keadilan dan keba- jikan kemanusiaan dan keadilan sosial bagi masyarakat. Pancasila bukan sekedar jargon.

Ini adalah prinsip yang harus dipahami, ditanamkan, dan dipraktikkan. Namun, beberapa kasus telah memicu kekhawatiran tentang sistem peradilan pidana kita dan mempertan- yakan praktik Pancasila.

Fenomena peradilan pidana telah mencederai rasa keadilan di masyarakat.

Sebagai bangsa yang memiliki Pancasila sebagai falsafah bangsa, seharusnya In- donesia menggunakan perspektif Pan- casila dalam peradilan pidananya agar keadilan substantif dapat terwujud. Pan- casila sebagai ideologi dan sekaligus se- bagai jiwa bangsa harus menjadi dasar dalam mengamalkan sistem peradilan pidana. Pancasila sebagai prinsip negara Indonesia harus diwujudkan dalam pene- gakan hukum pidana.

Sistem peradilan pidana berperspektif Pancasila merupakan sistem terbuka yang dipengaruhi oleh institusi atau ling- kungan dan kehidupan masyarakat dalam operasionalnya. Sebagai sistem terbuka, sistem peradilan pidana dalam praktiknya tidak bersifat soliter. Itu dipengaruhi oleh faktor lain.

Dengan demikian, gejolak di masyarakat sangat mempengaruhi proses peradilan pidana. Pertanyaan lain mun- cul. Hal penting lainnya adalah bagaima- na subsistem tersebut bekerja sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dengan perspektif Pancasila sebagai sis- tem terbuka. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia beserta subsistemnya dalam segala tahapan mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan eksekusi harus berdasarkan Pancasila.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat diperoleh rumusan masalah:

a. Mengapa sistem peradilan pidana terpadu penting diterapkan di lapas?

b. Bagaimana penerapan sistem peradi- lan pidana terpadu di lapas?

METODE PENELITIAN

Metode kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini yang ma- na dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber informasi dan literatur untuk mendapatkan hasil penelitian ber- dasarkan tinjauan pustaka. Data diambil dari literatur berupa jurnal atau buku yang berhubungan. Teknik analisis data dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis literatur yang didapat. Tin- jauan pustaka dapat membantu untuk memberikan gambaran umum tentang bidang- bidang di mana penelitian yang dilakukan berbeda namun berhubungan dan bersifat interdisipliner.

Tinjauan pustaka merupakan metode yang terbukti paling sesuai untuk melakukan sintesis penemuan penelitian guna membuktikan di tingkatan meta dan guna menunjukkan cakupan mana yang secara dominan diperlukan oleh penelitian.

Hal tersebut adalah aspek penting yang digunakan guna memben- tuk kerangka teori

(6)

1058 dan menciptakan model konseptual. Penulis memiliki kedudukan sebagai pengumpul data sekaligus instrument hasil penelitian da- lam penelitian ini. Pada konteks tersebut, informan dan populasi mengetahui peneliti sebagai partisipan penuh. Di sisi lain, dalam penelitian ini peneliti juga berperan sebagai individu yang melakukan pengumpulan data, pembuat rencana, melakukan penafsiran data, melaksanakan analisis, dan pelapor hasil penelitian.

Dalam penelitian ini, tidak digunakan populasi dikarenakan penelitian yang dilakukan berjenis kuali- tatif deskriptif yang mana penelitian ber- dasarkan kasus atau fenomena tertentu yang terdapat pada kondisi serta situasi sosial tertentu.

Hasil kajian yang di- peroleh tidak akan berorientasi pada populasi, namun didistribusikan menuju situasi sosial pada fenomena yang dikaji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pentingnya Penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Lapas

Sistem peradilan pidana dirancang untuk memberikan keadilan untuk semua lapisan masyarakat. Ini berarti melindungi orang yang tidak bersalah, menghukum penjahat, dan menyediakan proses keadilan yang adil untuk memban- tu menjaga ketertiban di seluruh negeri. Dengan kata lain, itu membuat warga negara kita aman. Tanpa sistem peradilan pidana, dan semua orang yang bekerja di dalamnya, mungkin ada malapetaka, kekerasan, pencurian, dan bahaya di ma- na- mana.

Petugas pemasyarakatan sering menghadapi campuran stres dan penghargaan yang sama dengan yang ada di penegakan hukum. Petugas yang berpatroli di lembaga pemasyarakatan (yaitu penjara dan penjara) melindungi dan menjaga narapidana dan staf di tem- pat. Mereka bekerja keras untuk menjaga ketertiban dan seringkali perlu menahan tahanan yang keluar dari barisan. Peran petugas pemasyarakatan penting, tidak hanya dalam mengurung pelaku keja- hatan di dalam tembok penjara, tetapi juga dalam merehabilitasi mereka yang telah melakukan kejahatan.

Dewasa ini, koreksi di banyak yurisdiksi semakin didasarkan pada retributif (hukuman) penanganan pelanggar. Asumsi sebelumnya tentang kemanjuran rehabilitasi telah ditantang. Litigasi juga meningkat sehubungan dengan penggunaan kriteria yang tidak tepat untuk menentukan bagaimana na- rapidana ditempatkan, dan kapan dan apakah mereka diizinkan untuk ber- partisipasi dalam program pemasyara- katan. Perkembangan ini, bersama dengan krisis kepadatan penjara nasional yang dipublikasikan dengan baik, telah mempengaruhi strategi klasifikasi tradi- sional yang mengatur pengelolaan narap- idana.

Sistem klasifikasi pemasyarakatan telah berpindah dari apa yang disebut model subyektif ke sistem objektif. Mod- el subyektif cenderung mengandalkan kriteria informal, yang sering menyebab- kan inkonsistensi dan kesalahan dalam pengambilan keputusan anggota staf. Se- baliknya, sistem objektif bergantung pada seperangkat kriteria hukum yang didefin- isikan dengan baik (misalnya, tingkat

(7)

1059 keparahan pelanggaran saat ini, pe- nangkapan sebelumnya) dan karakteristik pribadi seperti usia dan status perkawi- nan. Item-item ini diberi bobot dan diberi nilai diferensial (poin) pada instrumen yang terdefinisi dengan baik, yang kemudian digunakan untuk menilai ting- kat risiko atau kebutuhan program narap- idana.

Sistem objektif lebih menekankan pada keadilan, konsistensi, dan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan (Hutabarat, 2017).

Prinsip keadilan memerintahkan jika terjadi ketimpangan kesempatan, pihak yang memiliki peluang lebih kecil untuk meningkatkan peluang dan tingkat tabungan yang berlebihan harus seim- bang mengurangi beban mereka yang menanggung kesulitan, setidaknya me- menuhi. Kualitas hukum yang kondusif bagi perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu stabilitas, perhitungan yang ter- encana (predictability), keadilan, pen- didikan dan pengembangan profesional hukum (khususnya di pengadilan). Dari berbagai kajian tentang pembangunan dan hukum, dapat disimpulkan bahwa program pembangunan harus dibuat. Se- tiap lembaga peradilan pidana adalah suatu organisasi dan keseluruhan sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem itu sendiri adalah suatu organisasi, suatu or- ganisasi yang sangat besar yang terdiri dari organisasi-organisasi besar. Organ- isasi adalah suatu sistem dimana sistem organisasi merupakan sistem terbuka, sehingga lingkungan organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan dan strategi manajemen, baik input, proses transformasi maupun output (Baskoro, Wirasaputri,

& Cahyaningtyas, 2018).

Penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Lapas

Beberapa faktor berkontribusi terhadap sulitnya membuat perubahan organisasi dan prosedur di penjara. Per- tama, tidak ada model standar imple- mentasi. Misalnya, manajer penjara tidak memiliki strategi standar untuk diikuti saat menerapkan prosedur klasifikasi ba- ru. Kedua, banyak prosedur peradilan pi- dana (misalnya, sistem risiko dan klasifi- kasi) tidak dirancang atau didokumenta- sikan untuk memudahkan transfer antar lembaga. Sebagian besar disesuaikan dengan norma lokal, populasi narapidana lokal, dan arsitektur lokal. Ketiga, ada sedikit dokumentasi yang akurat dan dapat dibaca dari upaya implementasi sebelumnya untuk mengubah kebijakan klasifikasi penjara, yang akan berguna dari sudut pandang pelatihan. Masalah tambahan yang lebih umum dalam peradilan pidana adalah kelangkaan penelitian sistematis tentang strategi im- plementasi.

Sebagian besar studi evaluasi program atau kebijakan baru berfokus pada hasil inovasi peradilan pidana, dengan hanya kepentingan sekunder da- lam implementasi. Dengan demikian, proses pengelolaan perubahan yang sebenarnya sering diabaikan

Untuk administrasi penjara, pengumpulan, aliran dan analisis infor- masi adalah kunci untuk pengembangan kebijakan, penganggaran dan alokasi sumber daya, manajemen hukuman, memastikan akses ke keadilan dan penyediaan layanan khusus yang sesuai. Meskipun ada banyak hal yang dapat di- peroleh dengan penggunaan sistem ma- najemen informasi, ini hanya akan mem- fasilitasi praktik yang baik berdasarkan pengumpulan dan penggunaan data yang valid dan andal, serta bekerja paling baik di lokasi di mana terdapat infrastruktur yang sesuai dan staf yang terlatih secara memadai.

(8)

1060 Layanan penjara dan kementerian harus memiliki pemahaman yang jelas tentang persediaan dan aliran populasi penjara untuk memungkinkan mereka merencanakan dan menganggarkan operasi mereka. Lebih jauh lagi, perencanaan hukuman dan penyediaan layanan yang tepat, pendidikan, rekreasi, kesehatan dan hukum sangat mungkin terjadi di mana prosedur penerimaan dan pencatatan yang baik, rahasia jika perlu, berkelanjutan dan digunakan secara efisien.

Budaya organisasi lembaga dapat menghambat atau memfasilitasi peru- bahan. Beberapa penjara tampak di- penuhi dengan perlawanan, kelambanan, kepuasan manajemen, kemacetan politik, atau perlindungan yang suram dari status quo. Di penjara-penjara ini, energi dan mobilisasi pemangku kepentingan utama seringkali tidak cukup untuk mengatasi hambatan. Manajer di penjara ini terka- dang terjerat dalam hierarki rantai ko- mando yang kaku, dengan sedikit dorongan untuk berinovasi. Lingkungan yang lebih reseptif di penjara lain tam- paknya berasal dari keinginan untuk per- tumbuhan profesional, minat pada keunggulan, hierarki yang lebih datar, dan komitmen terhadap hasil daripada perlindungan politik. Inovator tidak dihukum, diabaikan, atau dipinggirkan (Saputera dkk., 2020).

Sistem peradilan pidana adalah jaringan pengadilan dan tribunal yang menangani hukum pidana dan pene- gakannya. Sistem peradilan pidana merupakan sistem fisik karena kerjasama antar bagian secara terpadu untuk men- capai tujuan bersama dianggap bersifat fisik. Di samping itu juga bersifat abstrak (abstract system) karena kerjasama yang terpadu dapat dilihat sebagai suatu kon- sistensi pemikiran dan nilai-nilai antar subsistem dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama. Keterpaduan itu melipu- ti keutuhan substansi, struktur dan bu- daya.

Reformasi hukum sangat diper- lukan karena kegagalan sistem hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya bukan semata-mata karena kegagalan lembaga hukum dalam masyarakat. Keg- agalan suatu lembaga dalam masyarakat tidak muncul dengan sendirinya karena lembaga-lembaga dalam masyarakat sal- ing berhubungan secara sistematis dan sinergis sedemikian rupa sehingga kega- galan di suatu bidang juga merupakan kegagalan fungsi lembaga lain dalam masyarakat.

Selain itu, reformasi hukum yang akan dan sedang dilakukan harus mencakup reformasi seluruh elemen sis- tem hukum, yaitu: substansi hukum (pe- rundang- undangan), struktur hukum (aparat penegak hukum, penegak hukum dan pembuat undang-undang) dan hukum. budaya (semangat penyelengga- ra negara, kesadaran hukum dan kepatu- han hukum dan sebagainya). Dengan demikian reformasi hukum meliputi tahap atau tingkatan perumu- san/perundang-undangan (tahapan legis- latif drafting), tahap atau tingkatan pen- erapan atau penegakan (tahap pene- gakan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan) dan tahap eksekusi atau peradilan atau tahap peradilan.

Sistem peradilan/penegakan hukum pada prinsipnya merupakan kesatuan sistem substansi, struktur, dan budaya hukum. Dapat dikatakan bahwa sistem peradilan yang terintegrasi adalah ketika ketiga sistem hukum tersebut ter- integrasi dalam satu kesatuan sistem. Sis- tem peradilan (pidana) juga merupakan jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, meliputi hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan

(9)

1061 pidana. Sinkronisasi dalam sistem peradi- lan pidana juga harus ada dan mengan- dung sinkronisasi secara substansial, struktural dan kultural sebagai aspek.

Oleh karena itu, sistem peradilan pidana terpadu harus memiliki beberapa ciri. Pertama, dari aspek substansi hukum, sistem peradilan pidana merupa- kan sistem penegakan substansi hukum pidana yang meliputi hukum pidana ma- teriil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga aspek terse- but harus terintegrasi dan sinkron satu sama lain untuk menciptakan apa yang disebut sebagai substansi hukum yang terintegrasi (Supriyanta, 2009).

Kedua, dari aspek struktur hukum, sistem peradilan pidana merupakan penyebab berfungsinya aparat penegak hukum seperti kepolisian (penyidikan), kejaksaan (prosecution), pengadilan (ad- judication), dan lembaga pemasyarakatan (pelaksanaan hukuman). Keempat lem- baga tersebut terjalin dalam satu kesatu- an sistem bidang administrasi atau organ- isasi atau fungsional penegakan hukum pidana. Keempat lembaga ini juga dikenal sebagai sistem peradilan pidana terpadu.

Ketiga, dari aspek budaya hukum, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan kesatuan nilai budaya hukum yang ada dan diterima serta diikuti oleh masyarakat. Aspek budaya sangat abstrak yang meliputi filsafat, prinsip, teori, kesadaran, pemahaman, tujuan, dan se- bagainya oleh masyarakat tentang hukum.

Dapat dikatakan bahwa dalam aspek ini perlu adanya integrasi budaya hukum agar tercipta suasana sejuk dalam penegakan hukum yang disebut dengan Integrated Legal Culture.

Setiap sistem harus memiliki tujuan sebagai arah utama ke mana sis- tem tersebut bergerak dan eksis. Hal yang sama juga terjadi pada sistem peradilan pidana. Tujuan utama yang ingin dicapai dari sistem peradilan pidana ada tiga yaitu tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah resosialisasi terpidana, tujuan jangka menengah ada- lah pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka panjang adalah kesejahteraan so- sial.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam struktur sistem peradilan pidana yang besar, sistem peradilan pi- dana merupakan integrase substansi, struktur, dan budaya hukum. Ketiga aspek tersebut memiliki sistem yang lebih kecil dan seterusnya. Di masing-masing subsistem yang lebih kecil ini perlu ada integrasi dan antarmuka yang berkelanju- tan untuk mencapai tujuan setiap sistem. Penerapan sistem peradilan pi-

dana di lapas juga dapat dilakukan dengan berdasarkan pada Pancasila yang mana merupakan dasar negara Indone- sia. Ciri-ciri Pancasila adalah yang per- tama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan sebagai penyebab utama sehingga se- bagai orang yang percaya kepada Tuhan, orang Indonesia harus tunduk pada Tu- han Yang Maha Esa. Praktik sistem peradilan pidana harus berlandaskan mo- ralitas dan religiusitas karena kita harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan. Praktek penegakan hukum didasarkan pada aturan Tuhan.

Kedua, saling menghormati tanpa membeda-bedakan suku, budaya, agama, ras, dan bahasa dan bahwa semua manu- sia diciptakan sama oleh Tuhan. Hal ini sesuai dengan kemanusiaan yang berkeadaban adil, artinya keadilan adalah memperlakukan setiap orang secara setara, dan beradab artinya perlakuan itu harus

(10)

1062 mengabdi pada kemanusiaan. Ada apresiasi terhadap hak asasi manusia. Keadilan berarti ada keseimbangan anta- ra hak dan kewajiban. Asas kedua ini te- lah menjadi landasan hukum yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Itu tidak diskriminatif. Ia tidak mengizinkan hukum hanya bekerja untuk masyarakat kelas bawah dan menekan rakyat jelata yang tidak berdaya.

Ketiga, Indonesia sebagai bangsa sangat menghargai kesatuan negara. Da- lam persatuan, kerjasama dapat dibangun secara harmonis. Kesatuan bangsa didahulukan kepentingan indi- vidu, tetapi bukan berarti kepentingan individu diingkari. Kehadiran prinsip Bhinneka Tunggal Ika mengakui kekayaan warisan lokal dan menghargai perbedaan. Keempat, kehidupan masyarakat sebagai masyarakat dan bangsa yang berdasarkan sistem demokrasi. Untuk mempraktekkan demokrasi, musyawarah mufakat harus diutamakan untuk memu- tuskan apakah suatu perkara harus ditin- daklanjuti atau tidak, aparat penegak hukum harus mengutamakan dan beru- paya mempraktekkan musyawarah mufakat atau non penal.

Kelima, keadilan sosial bagi se- luruh rakyat Indonesia. Asas ini merupa- kan landasan hukum dalam masyarakat yang didasarkan pada keadilan sosial. Oleh karena itu, individu yang lemah secara sosial dan ekonomi tidak dapat ditekan oleh individu lain yang lebih berkuasa dan sewenang-wenang. Hasil akhirnya adalah kesejahteraan rakyat In- donesia yang selaras dengan tujuan na- sional sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, Sis- tem Peradilan Pidana Indonesia yang berwawasan Pancasila berarti bahwa da- lam praktiknya, sistem peradilan pidana harus mengutamakan beberapa aspek sebagai berikut: pertama, kemanusiaan (hak asasi manusia) sebagai perwujudan sila kedua. Pada dasarnya konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia te- lah menjamin warga negara untuk men- jalankan hak asasinya dan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya se- bagaimana tercantum dalam bab XA ten- tang Hak Asasi Manusia UUD 1945.

Hak asasi manusia adalah hak pal- ing mendasar yang diberikan oleh Tuhan.

Hak asasi manusia menjadikan individu bermartabat dan beradab. Manusia se- bagai ciptaan Tuhan telah diberikan hak yang tidak dapat dikurangi sejak dilahirkan. Artinya dalam menjalankan sistem peradilan pidana, penegak hukum harus memperhatikan nilai-nilai kemanu- siaan. Sebagai contoh, hak tersang- ka/terdakwa dalam peradilan pidana ha- rus dilindungi selama proses persidangan mulai dari proses penyidikan sampai dengan proses pemeriksaan, bahkan sampai terdakwa berada di lembaga pemasyarakatan. Namun pada ken- yataannya proses peradilan pidana masih jauh dari prinsip hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa polisi sering me- langgar hukum dan mengabaikan rasa kemanusiaan yang berdampak negatif pada hubungan antara institusi Polri dengan masyarakat. Dalam menangani kasus-kasus tersebut, sampai batas tertentu lembaga peradilan masih terkesan diskriminatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan kasus-kasus kecil yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang diadili secara cepat dan tidak adil. Di sini,

(11)

1063 hukum bertindak seperti pedang yang sangat tajam. Sementara itu, tidak demikian dengan kasus-kasus besar.

Dalam negara hukum, setiap indi- vidu diperlakukan sama di depan hukum, dan ini menjadi elemen utama dari kon- sepsi dasar Hak Asasi Manusia. Hal ini diwujudkan dan diwujudkan dalam ben- tuk asas praduga tak bersalah. Asas inilah yang menjadi dasar perlindungan HAM bagi tersangka atau terdakwa dari tinda- kan sewenang-wenang oleh penyidik, penuntut, bahkan hakim yang memutus perkaranya. Tersangka atau terdakwa harus dianggap tidak bersalah sampai ha- kim mengambil keputusan di per- sidangan. Penegak hukum dituntut untuk selalu mengakui aspek hak asasi manusia. Kedua, keseimbangan

kepent-

ingan pelaku dan korban yang dikaitkan dengan sila kedua, keempat, dan kelima Pancasila. Pada dasarnya pelaku dan korban merupakan pihak utama dalam suatu perkara, namun korban diwakili oleh negara yang kemudian diwakili oleh jaksa.

Oleh karena itu, dalam pelaksa- naannya, Sistem Peradilan Pidana harus memperhatikan apa kepentingan pelaku (ide individu) dan korban. Ini harus dil- akukan secara tidak memihak dan harus seimbang. Putusan penuntutan juga ha- rus didasarkan pada tujuan pemidanaan yang didasarkan pada sistem peradilan pidana daad-dader strafrecht. Sistem ini merupakan model keseimbangan antara kepentingan apapun, kepentingan nega- ra, kepentingan pelaku, dan kepentingan korban. Penuntutan dilakukan dalam rangka

memelihara dan memelihara keutuhan kohesi sosial. Agar manusiawi dan menghindari rasa retribusi, maka Hukum Pidana tidak boleh semata-mata didasarkan pada perbuatan (daad stafrecht). Namun, hukum pidana juga tidak bisa semata-mata memperhatikan kepentingan pelaku (dader strafrecht). Hal ini akan memberikan kesan bahwa praktek hukum pidana mungkin untuk meringankan pelaku dan kurang mem- perhatikan kepentingan yang lebih luas, misalnya dalam hal ini kepentingan rakyat, negara, dan korban. Hukum pi- dana bertujuan untuk melindungi dan memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan

PENUTUP Kesimpulan

Sistem peradilan pidana adalah jaringan pengadilan dan tribunal yang menangani hukum pidana dan penegakannya. Sistem peradilan pidana merupakan sistem fisik karena kerjasama antar bagian secara terpadu untuk mencapai tujuan bersama dianggap bersifat fisik. Penerapan sistem peradilan pidana terpadu atau dalam bahasa Inggris disebut dengan criminal justice system dapat dilakukan di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi budaya organisasi lembaga dapat menghambat atau memfasilitasi perubahan. Beberapa penjara tampak dipenuhi dengan perlawanan, kelambanan, kepuasan manajemen, kemacetan politik, atau perlindungan yang suram dari status quo.

(12)

1064 Implikasi

Setelah dilakukan analisis dan pembahasan, penulis memberikan be- berapa implikasi berkaitan dengan per- masalahan yang dibahas, yakni:

1. Lembaga pemasyarakatan melaksanakan implementasi sis- tem peradilan pidana terpadu hendaknya secara merata dan menggunakan strategi-strategi tertentu yang sesuai dengan kon- disi tiap lapas.

2. Dibutuhkan kerjasama antar pihak yang bersangkutan agar pelaksa- naan peradilan pidana terpadu di lembaga pemasyarakatan dapat berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, B. D., Wirasaputri, H. N. M., & Cahyaningtyas, I. (2018). Efforts to Create Integrated Criminal Justice Systems: Judicial Management Approach.

IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 175(1).

https://doi.org/10.1088/1755- 1315/175/1/012178 https://doi.org/10.24912/jmishumse n.v1i1.333

Hutabarat, R. R. (2017). Problematika Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Terpadu. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 1(1), 42.

Putra, A. (2015). Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Penataan Administrasi Peradilan. Lex Crimen, IV(3), 50–57.

Saputera, A. R. A., Sadu, Y., Putra, M. Y., & Susantin, J. (2020). Analisa Faktor- Faktor Penghambat Pemenuhan Hak Narapidana untuk Mendapatkan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kota Gorontalo.

Jurnal YUSTITIA, 21(2), 197–223.

Supriyanta. (2009). KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Wacana Hukum, 8(1), 1–13.

Waskito, A. B. (2018). Implementasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Integrasi. Jurnal Daulat Hukum, 1(1), 287–304.

Referensi

Dokumen terkait

Namun dalam praktik seringkali tidak sesuai dengan perundang-undangan, serta antara pangulu dan maujana nagori seringkali terjadi hubungan kolusi dan kolaborasi yang pada

Untuk itu dapat diambil kesimpulan dengan adanya Sistem informasi Akuntansi pada ATM Bank Panin dapat diketahui kegiatan operasional dimulai dari permohonan kartu sampai

Jika terdapat indikasi tersebut atau pada saat pengujian penurunan nilai aset (seperti aset tak berwujud dengan umur manfaat tidak terbatas. aset tak berwujud

Kesimpulan dari penulisan ilmiah ini adalah penggunaan komputer dengan memakai program Foxbase sangat mendukung aktifitas kegiatan pada usaha penyewaan alat alat pesta, karena

Bank… memiliki kantor cabang dengan lokasi yang mudah dijangkau. 3.797 Bank… menyediakan buku tabungan yang

Denagn hormat, berkenaan dengan kegiatan Penyusunan Sasaran Kerja Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berdasarkan Tabel 3 bahwa hasil validasi ahli terhadap buku penuntun praktikum menunjukkan Skor keidealan tertinggi terdapat pada aspek kelengkapan, tingkat

Sosialisasi PROSPECT INDONESIA diadakan di Hotel Horrison Semarang pada tanggal 18 Juni 2014, sosialisasi ini dihadiri dari oleh Juni 2014, dihadiri dari AMKRI DPD