• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM (STUDI KASUS TERHADAP DUGAAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KOTA DENPASAR).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENEGAKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM (STUDI KASUS TERHADAP DUGAAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KOTA DENPASAR)."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PENEGAKAN PERATURAN DAERAH KOTA

DENPASAR NOMOR 1 TAHUN 2015

TENTANG KETERTIBAN UMUM

(Studi Kasus Terhadap Dugaan Pencemaran Lingkungan

di Kota Denpasar)

EMA WULANDARI 1203005045

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

SKRIPSI

PENEGAKAN PERATURAN DAERAH

KOTA DENPASAR NOMOR 1 TAHUN 2015

TENTANG KETERTIBAN UMUM

(Studi Kasus Terhadap Dugaan Pencemaran Lingkungan

di Kota Denpasar)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

EMA WULANDARI NIM. 1203005045

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “PENEGAKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM (STUDI KASUS TERHADAP DUGAAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KOTA DENPASAR)” ini, dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktek. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immateriil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

vi

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak I Ketut Suardita, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

6. Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

7. Bapak I Ketut Suardita, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat, dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

8. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., M.H., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

(7)

vii

11. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

12. Kepada keluarga penulis Ayah tercinta Moh. Nur, Ibu tercinta Nur Aini, kakak tersayang Lia Juliawati dan adik tersayang Moh. Adi Effendi terimakasih atas doa, kasih sayang serta dorongan morilnya selama penulis mengikuti pendidikan. Terimakasih atas kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani serta memberikan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan dasar sampai dalam menyelesaikan studi Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13. Kepada orang terdekat penulis Made Passek Reza Swandira terimakasih atas dorongan dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama perkuliahan di Fakultas Hukum ini.

14. Kepada sahabat seperjuangan penulis Gek Mas, Tami, Ayu Purwati, Mita dan Ari Astuti terimakasih atas semangat dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama perkuliahan di Fakultas Hukum ini.

(8)

viii

menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

16. Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) mulai dari angkatan 2010, 2011, dan 2012 yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan 2013-2014, Kak El, Kak Riyani, Kak Susi, Kak Gung Chris, Kak Nadira, Kak Usro, Kak Ebong Kak Alvin, Taka, Gekin, Bayu, Gung Arik, Kevin, Mita, Tutik, Tamy, Ayu Purwati, Gek Mas, Anggi, Zaky, Agus Satria dan Dedek.

17. Kepada keluarga KKN-PPM 2015 di Desa Sangsit, Reza, Sari, Dipa, Bion, Yeni dan teman-teman lainnya yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini,

Semoga mereka yang telah mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap langkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 20 April 2016

(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

ABSTRACT ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas ... 10

1.5 Tujuan Penelitian ... 12

1.5.1. Tujuan Umum ... 13

1.5.2. Tujuan Khusus ... 13

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1. Manfaat Teoritis ... 13

(11)

xi

1.7 Landasan Teoritis ... 14

1.8 Metode Penelitian ... 21

1.8.1. Jenis Penelitian ... 21

1.8.2. Jenis Pendekatan ... 22

1.8.3. Sumber Bahan Hukum/Data ... 23

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/Data ... 23

1.8.5. Teknik Analisis ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCEMARAN LINGKUNGAN 25 2.1. Pengertian Lingkungan ... 25

2.2. Pengaturan Tentang Lingkungan Hidup di Indonesia ... 27

2.3. Pengertian Pencemaran Lingkungan ... 34

2.4. Macam-macam Pencemaran Lingkungan ... 36

2.5. Macam-macam Limbah Pencemar ... 42

BAB III PENEGAKAN PERDA KOTA DENPASAR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM ... 44

3.1. Bentuk Penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum ... 44

3.2. Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum ... .50

3.2.1. Sanksi Administrasi ... 51

(12)

xii

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PENEGAKAN PASAL 12 AYAT (3) PERDA KOTA DENPASAR

NOMOR 1 TAHUN 20015 TENTANG KETERTIBAN UMUM ... 57

4.1. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum ... 57

4.1.1. Faktor Pendukung ... 57

4.1.2. Faktor Penghambat ... 63

4.2. Upaya Pemerintah Untuk Mencegah Terjadinya Pelanggaran Terhadap Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum ... 65

BAB V PENUTUP ... 69

5.1 Simpulan ... 69

5.2 Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Pelanggaran Pencemaran Lingkungan Hidup Di Kota Denpasar... 47 Tabel 2. Data Sanksi Administrasi Badan Lingkungan Hidup Kota Denpasar

Tahun 2015 ... 51 Tabel 3. Hasil Penindakan Satpol PP Kota Denpasar Tahun 2016 ... 54 Tabel 4. Data Laporan Pos Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup (P3SLH) Tahun 2015 ... 60 Tabel 5. Data Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Satpol PP

(14)

xiv

ABSTRACT

Environmental conditions in Denpasar is already showing signs of increasing pollution. This is caused by the frequent businesses’ waste disposal. To control environmental pollution, the municipality of Denpasar established a Local Regulation No. 1 Year 2015 on Public Order (Regulation of Public Order). But in practice, Article 12 paragraph (3) of the regulation is often violated. In this case, there is a problem of what forms of enforcement carried out by the government of Denpasar against violation of Article 12 paragraph (3) Regulation of Public Order against alleged environmental pollution in the city of Denpasar and what factors that affects the implementation enforcement of Article 12 paragraph (3) Regulation of Public Order against polluters in the city of Denpasar. This study was conducted to determine and review the enforcement and the factors that affect the implementation of the enforcement of Article 12 thesis by research directly in the field include the accumulation of relevant data and interview.

The enforcement carried out by the municipality of Denpasar against violators of Article 12 paragraph (3) Regulation of Public Order is done by holding the control, supervision and monitoring of the region with dense and rare business activity, if violations are found, preventive measures and repressive efforts will be done. Factors that supports the implementation of the enforcement of Article 12 paragraph (3) Regulation of Public Order is community participation, good coordination between the law enforcement agencies and supported with the PPNS, while the factors inhibiting the implementation of the enforcement of Article 12 paragraph (3) Regulation of Public Order is the lack of awareness of the businesses on the importance of the environment.

(15)

xv ABSTRAK

Kondisi lingkungan hidup di Kota Denpasar sendiri sudah menunjukkan tanda-tanda peningkatan pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan oleh seringnya pelaku usaha membuang limbah hasil produksi mereka ke tempat yang tidak semestinya. Untuk mengendalikan pencemaran lingkungan, pemerintah Kota Denpasar menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum (Perda Ketertiban Umum). Akan tetapi dalam fakta dilapangan sering terjadi pelanggaran Pasal 12 ayat (3) Perda tersebut. Dalam hal ini terdapat masalah yaitu bagaimana bentuk penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar terhadap pelanggaran Pasal 12 ayat (3) Perda Ketertiban Umum terhadap dugaan pencemaran lingkungan di Kota Denpasar dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Ketertiban Umum terhadap dugaan pencemaran lingkungan di Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji penegakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Ketertiban Umum.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris yang beranjak dari kesenjangan antara penegakkan peraturan perundang-undangan terkait dengan penerapannya di lapangan. Adapun pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan fakta, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sumber data dalam skripsi ini dilakukan dengan penelitian secara langsung di lapangan yang meliputi pengumpulan data-data terkait dan wawancara.

Bentuk penegakan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar terhadap pelanggar Pasal 12 ayat (3) Perda Ketertiban Umum dilakukan dengan mengadakan penertiban, pengawasan dan pemantauan kawasan yang jarang maupun padat kegiatan usaha, jika ditemui pelanggaran maka akan dilakukan upaya preventif dan upaya represif. Faktor yang mendukung pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Ketertiban Umum adalah adanya partisipasi masyarakat dan adanya koordinasi yang baik antar para penegak hukum serta didukung dari adanya PPNS, sedangkan faktor penghambat pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Ketertiban Umum yaitu kurangnya pengetahuan yang dimiliki di bidang lingkungan serta kurangnya kesadaran para pelaku usaha terhadap arti pentingnya lingkungan hidup.

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti negara termasuk pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Van Apeldoorn menyatakan hukum merupakan suatu gejala sosial yang mana tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum, hukum itu menjadi suatu aspek dari kebudayaan seperti agama, kesusilaan, adat istiadat dan kebiasaan.1

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota yang mana daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan

dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa”. Ini berarti aparat pemerintahan daerah (pemerintah daerah) memiliki tugas dalam pengelolaan pemerintahan daerah yang mana tugas tersebut didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

(17)

2

Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan pemerintahanan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Pemerintah daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan.

Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa “lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia”. Ketentuan ini memberikan hak seutuhnya kepada warga negara untuk dapat menikmati lingkungan yang bersih, baik dan sehat. Selain itu, dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti memberikan hak penguasa kepada negara atas

seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada negara untuk mengunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

(18)

3

dikarenakan pemanfaatan yang berlebihan oleh umat manusia. Menurut Drupsteen2, masalah lingkungan merupakan kemunduran kualitas lingkungan atau dengan kata lain, bahwa masalah lingkungan yang menyangkut gangguan terhadap lingkungan antara manusia dan lingkungan bentuknya berupa pencemaran, pengurasan dan perusakan lingkungan.

Setiap pembangunan yang dilakukan para pelaku usaha umumnya akan berdampak terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Menurut Otto Soemartwoto3,

pembangunan selalu menyebabkan perubahan dalam lingkungan, sebagian dari perubahan dalam lingkungan itu memang sudah direncanakan. Akan tetapi hampir di dalam semua proses pembangunan, skala perubahan dalam lingkungan baik dalam luas maupun dalam intensitasnya adalah lebih besar dari yang direncanakan. Hal ini berarti permasalahannya bukan berasal dari program pembangunan, namun lebih kepada efek samping dari pembangunan tersebut.

Efek samping yang ditimbulkan dari adanya aktifitas pembangunan tersebut dapat berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah

“masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu

lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Sedangkan perusakan lingkungan hidup

(19)

4

menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah “tindakan yang menimbulkan perubahan langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup”.

Jika dilihat, perbedaan antara pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak terlalu prinsipil karena setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan otomatis juga melakukan pencemaran dan sebaliknya. Perbedaannya hanya terletak pada intensitas perbuatan yang dilakukan terhadap lingkungan dan kadar akibat yang diderita oleh lingkungan akibat perbuatan tersebut.4

Untuk mengurangi efek samping atas pembangunan yang dapat menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, maka diperlukan adanya suatu analisis sejak awal sehingga kelayakan suatu usaha dan kegiatan yang dilakukan dapat dipersiapkan sedini mungkin. Agar pelaksanaan analisis lingkungan dapat berjalan dengan efektif, maka diperlukan pengawasan yang berkaitan dengan mekanisme perizinan yang mana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi Analisis Menganai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum memberikan izin usaha dan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.

(20)

5

Sedangkan untuk setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki UKL-UPL.

Secara khusus, pengaturan mengenai Amdal dan UKL-UPL dapat dilihat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 3 ayat (1) mengenai setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak langsung terhadap lingkungan yang wajib memiliki amdal dan Pasal 3 ayat (2) mengenai setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan UKL-UPL menjadi dasar utama yang harus dipenuhi sebelum diterbitkannya izin lingkungan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang

(21)

6

Dalam proses pembuatan Amdal, UKL-UPL dan Izin Lingkungan, diperlukan keterlibatan masyarakat secara langsung agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai rencana usaha dan atau kegiatan. Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup Dan Izin Lingkungan menyatakan bahwa “pedoman masyarakat dalam proses analisis dampak lingkungan dan izin lingkungan dimaksudkan sebagai acuan pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan dan izin

lingkungan”. Tujuan dilibatkannya masyarakat dalam proses Amdal, UKL-UPL dan Izin Lingkungan yaitu agar masyarakat mendapatkan informasi yang memadai mengenai usulan rencana usaha dan atau kegiatan dan dapat berkontribusi dalam proses Amdal sebelum diterbitkannya Izin Lingkungan. Dengan adanya keterlibatan langsung dari masyarakat diharapkan usulan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat memenuhi standar pengelolaan lingkungan dan perlindungan pelestarian sumber daya alam.

(22)

7

dilakukan pelaku usaha, pencemaran lingkungan juga di sebabkan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang sangat pesat dan pola hidup masyarakat yang memerlukan sumber daya yang ada semakin besar. Selain itu perkembangan IPTEK yang semakin maju mendorong pemanfaatan sumber daya semakin tinggi dengan produk sampingan berupa limbah yang semakin meningkat.

Berdasarkan situs resmi Pemerintah Kota Denpasar pada tanggal 3 Juli 2013, terdapat bukti bahwa memang benar terjadi pelanggaran terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh pelaku usaha, dimana:

Tim Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (P3SLH) Kota Denpasar, dipimpin oleh I Nyoman Kariasa,SH, bersama anggota Tim dari BLH,Dinas Satuan Polisi Pamong Praja beserta instansi terkait menertibkan beberapa usaha/kegiatan yang melanggar termasuk yang mendapat pengaduan masyarakat melalui Pos Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan (P3SLH) Badan Lingkungan Hidup Kota Denpasar. Ada beberapa unit usaha diberikan peringatan , pemanggilan/Penertiban Pelanggaran Lingkungan yangtidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah, khususnya untuk usaha pabrik Tahu-Tempe dan Usaha Peternakan Babi.5

Dengan semakin banyaknya pencemaran lingkungan yang terjadi sekarang ini, maka diperlukan peran pemerintah untuk segera mengatasi permasalahan lingkungan tersebut. Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya di daerah memiliki tanggung jawab besar dalam upaya pemikiran dan mewujudkan terbentuknya pelestarian lingkungan hidup. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Pemerintah Daerah menetapkan Peraturan Daerah yang berhubungan dengan pengendalian pencemaran lingkungan. Adapun Peraturan

(23)

8

Daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum (selanjutnya disebut Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum).

Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum diharapkan dapat mengatasi permasalahan di atas. Akan tetapi dalam fakta di lapangan sering terjadi pelanggaran terhadap peraturan daerah tersebut khususnya dalam Pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa “setiap orang dan/atau badan hukum dilarang membuang limbah di jalan, jalur hijau, taman kota, sungai, saluran/drainase dan tempat-tempat lain yang dapat menimbulkan pencemaran”.

Pelanggaran yang umumnya sering dilakukan para pelaku usaha adalah seringnya para pelaku usaha membuang sampah maupun limbah hasil produksinya ke tempat yang tidak semestinya seperti sungai, saluran/drainase maupun tempat-tempat lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran. Hal inilah yang menyebabkan para pelaku usaha menjadi salah satu penyebab timbulnya pencemaran lingkungan. Jika pelanggaran ini terus saja dibiarkan, tentunya akan berdampak besar pada keseimbangan lingkungan hidup nantinya.

Menurut Franz Magnis Suseno6, paham negara hukum berdasarkan keyakinan

bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi ada dua unsur dalam paham negara hukum: pertama bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma obyektif yang juga mengikat pihak yang memerintah. Dan kedua bahwa

(24)

9

norma obyektif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan ini berarti sistem penyelenggaran pemerintahan Republik Indonesia harus berdasarkan prinsip negara hukum.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis secara mendalam, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk penelitian dengan judul:

“PENEGAKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 1

TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM (STUDI KASUS

TERHADAP DUGAAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KOTA

DENPASAR)”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(25)

10

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum terhadap dugaan pencemaran lingkungan di Kota Denpasar?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:

1. Dalam permasalahan pertama akan dibahas mengenai bentuk penegakan terhadap pelanggaran Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

2. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

1.4.Orisinalitas

(26)

11

Indikator Pembeda dari Penelitian

No Judul Penulis Penulis Permasalahan

1. Penegakan Peraturan 2. Faktor-faktor apasajakah yang

mempengaruhi pelaksanaan

2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam menerapkan

(27)

12

Masalah Sampah di Kota Denpasar

Universitas Udayana Tahun 2014

pembuangan sampah di Kota Denpasar?

2. Upaya apakah yang dilakukan pemerintah Kota Denpasar dalam penanganan pelanggaran ketentuan tentang pencemaran sampah di Kota Denpasar?

Dari penjelasan tabel diatas, terdapat indikator pembeda yang dapat penulis uraikan adalah bahwa pada skripsi dari penulis terlihat dari judul yang penulis angkat, yaitu Penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum terhadap Pencemar Lingkungan di Kota Denpasar, penulis lebih memfokuskan pada Penegakan Hukum yang ditujukan kepada pelaku usaha yang dengan sengaja membuang produk samping berupa limbah ke tempat yang tidak semestinya sedangkan pada kedua penelitian tersebut lebih kepada Kebersihan di Kota Denpasar yang difokuskan kepada sampah, walaupun dari ketiga penelitian tersebut ada yang memiliki persamaan membahas mengenai Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum namun pembahasannya terbukti berbeda. Untuk itu penulis dapat menunjukkan orisinalitas penelitian skripsi penulis.

1.5.Tujuan Penelitian

(28)

13

1.5.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan skripsi ini untuk mengetahui seberapa jauh penegakan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap pelanggaran Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

1.5.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk penegakan yang dilakukan pemerintah Kota Denpasar terhadap pelanggaran Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

2. Untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

1.6. Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Manfaat penelitian tersebut terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis yang dijelaskan sebagai berikut :

1.6.1. Manfaat Teoritis

(29)

14

terhadap pencemar lingkungan di Kota Denpasar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 terhadap pencemar lingkungan di Kota Denpasar.

1.6.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 terhadap pencemar lingkungan di Kota Denpasar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para masyarakat, pelaku usaha dan juga pada lembaga yang berwenang tentang apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 terhadap pencemar lingkungan di Kota Denpasar.

1.7. Landasan Teoritis

(30)

15

a. Konsep Negara Hukum

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia menganut prinsip hukum sejahtera. Hal ini dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat dengan bersumber pada Pancasila turut serta dalam perdamaian dunia, meningkatkan kecerdasan bangsa, mensejahterakan rakyat dan melindungi segenap tanah tumpah darah.

Menurut R. Soepomo, dalam bukunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, telah mengartikan istilah negara hukum yaitu bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapannya.7

Frans Magnis Suseno mengemukakan ciri-ciri negara hukum atas empat hal sebagai berikut:8

1) Asas legalitas.

2) Kebebasan/kemandirian kekuasaan kehakiman. 3) Perlindungan hak asasi manusia.

4) Sistem konstitusi/hak dasar.

Sedangkan Philipus M. Hadjon memberikan ciri-ciri negara hukum sebagai berikut:9

7Soepomo, 1954, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indoensia, Noordhoff, Jakarta, h. 21.

(31)

16

1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat.

2) Hubungan fungsional yang proporsional diantara kekuasaan negara. 3) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, peradilan sarana terakhir. 4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Dalam suatu negara hukum, segala sesuatunya harus dilakukan berdasarkan hukum baik itu pemerintah maupun masyarakatnya. Jika hukum tersebut dijalankan dengan baik, maka dapat menciptakan suatu keadaan yang tertib, aman dan harmonis. b. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.10 Secara konsepsional, arti penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kadiah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan.11 Penegakan hukum itu tugasnya bukan asal saja melainkan undang-undang atau keputusan hakim karena ketentuan-ketentuan penguasa itupun harus

9Philipus, M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujuskan

Pemerintahan Yang Bersih, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 45.

10Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” tersedia dalam URL: http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf , diakses tanggal 3 Oktober 2015.

(32)

17

dilaksanakan tanpa menimbulkan masalah/problema (baru) tanpa menganggu kedamaian pergaulan hidup.12

Adanya kesimpulan sementara mengenai penegakan hukum itu berarti pelaksanaan perundang-undangan, menyebabkan timbulnya masalah-masalah pokok dari penegakan hukum yang sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor antara lain:

1. faktor hukumnya sendiri;

2. faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;

3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5. faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 13

c. Teori Kewenangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kewenangan mengandung arti: (1) hal wewenang, dan (2) hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk memiliki sesuatu. Sedangkan kata wewenang mengandung arti: (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.14 H.D. Stout mengatakan bahwa wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintah, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

12Alumni, 1977, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Bandung, h. 80. 13Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 8.

(33)

18

penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.15

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.16 Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintah. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni fungsi pembuat kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).17

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.18 Teori kewenangan menurut H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt meliputi atribusi, delegasi dan mandat yang didefinisikan sebagai berikut: 19

a. Attributie: toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);

b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);

15Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 101.

16H.M. Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, h. 61.

17Viktor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Admnistrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta, h. 30.

(34)

19

c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

d. Konsep Sanksi

Menurut Kamus Hukum, kata sanksi mengandung arti alat pemaksa dan memaksa menegakkan hukum ialah memaksa mengindahkan norma-norma hukum.20 Sanksi yang timbul akibat dari hubungan negara dengan warga negaranya dapat dibedakan menjadi:

1. Sanksi Administrasi; 2. Sanksi Perdata; 3. Sanksi Pidana.

Pengenaan sanksi administrasi lebih ditujukan kepada upaya pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan, yang mana sanksi administratif terdiri atas teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Pengenaan sanksi perdata menitikberatkan pada penjatuhan sanksi bagi pelaku pencemaran dengan membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu. Sedangkan pengenaan sanksi pidana lebih ditujukan untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda.

Dalam sarana penegakan hukum lingkungan, sanksi administrasi lebih sering diterapkan daripada sanksi pidana. Dalam administrasi Negara, penggunaan sanksi

(35)

20

administrasi merupakan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis.21

Menurut J.J Oosternbrink, sanksi administratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga Negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga, yaitu tanpa perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.22 Namun dalam beberapa hal terdapat beberapa sanksi administrasi yang melalui proses peradilan. Berdasarkan definisi tersebut tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum public (publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).23

Menurut Philipus M. Hadjon24, penerapan sanksi secara bersama-sama dapat

terjadi, yakni secara kumulasi eksternal dan kumulasi internal. Kumulasi eksternal

merupakan penerapan sanksi admnistrasi secara bersama-sama dengan sanksi lainnya seperti sanksi pidana atau sanksi perdata. Adapun kumulasi internal merupakan penerapan dua atau lebih sanksi administrasi secara bersama-sama.25 Dalam sanksi administrasi, sasaran penerapannya ditujukan pada perbuatan. Sifat sanksi

21Ridwan HR, op.cit., h. 313. 22Ibid, h. 314.

(36)

21

administrasi adalah reparatoir-condemnatoir, yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan hukuman.26

1.8. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten. Oleh karena itu metodelogi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.27Adapun metode penelitian yang digunakan pada penulisan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.28 Hal tersebut terkait dengan bentuk penegakan Pasal 12 ayat (3) Perda Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum. Tinjuan tersebut diteliti dengan melihat berbagai aspek dan pengamatan dilapangan, sehingga akan diketahui secara jelas bagaimana bentuk penegakan yang dilakukan Pemerintah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan Perda tersebut.

26Ibid.

27Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Zainuddin Ali I), h. 17.

(37)

22

1.8.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan fakta (fact approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan fakta dilakukan dengan mengkaji implementasi dari peraturan perundang-undangan terhadap fakta atau praktik yang terjadi di lapangan yakni bentuk penegakan serta faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Denpasar dan Satpol PP Kota Denpasar.

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.29 Aturan-aturan hukum yang digunakan dalam penelitan ini antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

Pendekatan konseptual hukum digunakan untuk menelaah konsep-konsep hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer maupun sumber lain yang terkait yang relevan dengan isu yang sedang ditangani. Melalui pendekatan konseptual hukum ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan dan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(38)

23

1.8.3. Sumber Data

Sumber data dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu baik dari responden maupun dari informan. Untuk data primer penulis dapatkan melalui wawancara yang dilakukan di kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Denpasar dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar.

Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.

2. Bahan hukum Sekunder adalah bahan hukum berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi yang meliputi berbagai macam buku maupun literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Data

(39)

24

Denpasar, sedangkan untuk mengumpulkan data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dipergunakanlah metode dengan cara mengutip, meringkas serta memberikan ulasan seperlunya dari bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(40)

25 BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINGKUNGAN

2.1Pengertian Lingkungan Hidup

Istilah lingkungan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu

environment. Lingkungan diartikan sebagai daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lingkungan diartikan sebagai bulatan yang melingkungi (melingkari), lingkaran, sekalian yang terlingkungi dalam suatu daerah atau alam sekitarnya, bekerja sebagaimana mestinya yang dapat mempengaruhi penghidupan dan kehidupan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan ataupun makhluk hidup lainnya.32

Adapun beberapa pendapat dari para sarjana mengenai pengertian lingkungan hidup, antara lain:

1. Emil Salim mengartikan lingkungan hidup sebagai segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.33

2. Michael Allaby, environment : the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism. 34

3. Anjali Bagad, the environment is defined as the whole physical and biological system in which man and other organisms live. Environmental studies involves

every issue that affect living organisms”.35

32Harun M Husein, 1993, Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan dan Penegakan

Hukumnya, PT Bumi Aksara, Jakarta, h. 6. 33Aburahman, op.cit, h. 7.

(41)

26 4. Munadjat Danusuputra lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk di dalamnnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. 36

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk

hidup lain”.

Lingkungan hidup memiliki beberapa unsur-unsur yang selalu melingkupinya. Unsur-unsur lingkungan hidup antara lain mencakup:37

a. Semua benda berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, organisme, tanah, air, udara, rumah, sampah, mobil, angin dan lain-lain. Keseluruhan ini digolongkan sebagai materi, sedangkan satuan-satuannya disebut komponen;

b. Daya disebut dengan energi;

c. Keadaan disebut juga kondisi atau situasi; d. Prilaku atau tabiat;

e. Ruang yaitu wadah berbagai komponen berada; dan

f. Proses interaksi disebut juga saling mempengaruhi, atau biasa pula disebut dengan jaringan kehidupan.

Lingkungan hidup mempunyai sifat yang selalu berubah-berubah setiap saat. Perubahan dan perbedaan tersebut dapat terjadi secara mutlak maupun relatif. Perubahan dan perbedaan tersebut terjadi akibat faktor-faktor lingkungan

35Anjali Bagad, 2009, Environmenyal Science and Engineering, Techincal Publication Pune, India, h. 1.

36Abdurahman, loc.cit.

(42)

27 terhadap makhluk hidup yang berbeda menurut tempat, waktu dan keadaan makhluk hidup itu sendiri.

L.L Bernard dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Social Psychology” membagi lingkungan atas empat macam, yaitu:38

a) Lingkungan fisik atau anorganik

Lingkungan fisik atau anorganik adalah lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik dan fisiogeografis seperti tanah, udara, laut, radiasi, gaya tarik, ombak dan sebagainya.

b) Lingkungan biologi atau organik

Lingkungan biologi atau organik yaitu segala sesuatu yang bersifat biotis berupa mikroorganisme, parasit, hewan, tumbuh-tumbuhan.

c) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1) Lingkungan fisiososial, yaitu yang meliputi kebudayaan materil, peralatan, senjata, mesin, gedung dan lain sebagainya.

2) Lingkungan biososial manusia dan bukan manusia, yaitu manusia dan interaksinya terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestik dan semua bahan yang dugunakan manusia yang berasal dari sumber organik.

3) Lingkungan psikososial, yaitu yang berhubungan dengan habitat batin manusia seperti sikap, pandangan, keinginan, kenyakinan.

d) Lingkungan komposit

Lingkungan komposit adalah lingkungan yang diatur secara institusional berupa lembaga-lembaga masyarakat, baik yang terdapat di daerah kota maupun desa.

2.2Pengaturan Tentang Lingkungan Hidup di Indonesia

Dalam perspektif teoritis, lingkungan hidup dipandang sebagai bagian mutlak dari kehidupan manusia yang mana hal tersebut tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Munadjat Danusuputro :39

Manusia dalam hidupnya harus melindungi dan mengamankan lingkungan hidup agar dapat terselenggara secara teratur dan pasti serta dapat diikuti dan ditaati oleh semua pihak. Perlindungan dan pengamanan perlu dituangkan dalam bentuk peraturan hukum, sehingga akan lahir hukum yang

38N.H.T Siahaan, op.cit, h. 18.

39Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan

(43)

28 memperhatikan kepentingan alam atau hukum yang berorientasi kepada kepentingan alam.

Perkembangan pengaturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup terjadi setelah diadakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm, Swedia tahun 1972.40 Deklarasi Stockholm terdiri atas Preambule dan memuat 26 prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang mana Deklarasi Stokholm mengesahkan hasil berupa:41

a. Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia yang terdiri atas Preambule

dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration.

b. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plain) yang terdiri atas 109 rekomendasi. Action Plan ini bertugas mengidentifikasi program dan kegiatan internasional yang bersifat lintas batas dan antar masalah. Program atau kegiatan ini terdiri atas tiga bagian, yakni:

1) Penilaian masalah lingkungan (Environmental Assement); 2) Pengelolaan lingkungan (Environmental Management); dan

3) Perangkat pendukung (Supporting Measures) yang meliputi antara lain pendidikan dan latihan, informasi, kelembagaan, keuangan, bantuan teknis dan hukum.

c. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut, yang terdiri dari:

1) Dewan pengurus (Governing Council) program lingkungan hidup (UN Environment Programme (UNEP));

2) Sekretariat yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif; 3) Dana lingkungan hidup (Environment Fund), dan

4) Badan koordinasi lingkungan hidup.

Konferensi Stockholm juga menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) yang diperingati setiap tahun. Dengan adanya Deklarasi Stockholm ini, perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik dalam taraf nasional, regional maupun internasional.

40Sukanda Husein, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cetakan ke II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.

(44)

29 Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, PBB membentuk Komisi Dunia untuk lingkungan dan pembangunan (World Commision on Environment and Develompment (WCED)). Tugas utama WCED yaitu:42

1) Mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya;

2) Mengajukan cara-cara agar keprihatinan lingkungan dituangkan dalam kerjasama antarnegara untuk mencapai keserasian serta kependudukan, sumber daya alam, lingkungan dan pembangunan;

3) Mengajukan cara-cara agar masyarakat internasional dapat menanggapi secara lebih efektif pola pembangunan berwawasan lingkungan;

4) Mengajukan cara-cara masalah lingkungan jangka panjang untuk ditanggapi dalam agenda-agenda aksi untuk dasawarsa pembangunan.

Berdasarkan tugasnya tersebut, WCED dalam laporannya berjudul “Our Common Future” tahun 1987 memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Batasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menurut WCED yaitu “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara teoritis atau praktis menjadi tujuan dalam berbagai pernyataan kebijakan lingkungan nasional dan internasional. Earth Summit di Rio de Janeiro pada Juni 1992 telah menghasilkan agenda 21, yaitu kesepakatan yang memuat daftar rencana tindakan penting dunia. Dalam paragraf pembukaan agenda 21 dinyatakan bahwa “untuk menghadapi tantangan dari lingkungan dan pembangunan, negara-negara memutuskan untuk membangun suatu kerja sama baru secara global. Kerja sama ini menarik komitmen semua negara untuk melakukan dialog yang konstruktif

(45)

30 secara berkesinambungan. Kerja sama ini diilhami oleh kebutuhan untuk mencapai ekonomi dunia yang lebih efisien dan adil dengan memperhatikan peningkatan kerjasama antar komunitas, dan bahwa pembangunan berkelanjutan harus menjadi prioritas dalam agenda komunitas internasional”. 43

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro 1992 yang menghasilkan agenda 21 dihadiri oleh berbagai negara di dunia. Semua negara bertekad untuk bekerja sama dan menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah realitas dalam kehidupan bernegara. Konferensi ini melahirkan

pula sebuah deklarasi yang diberi nama ”The Rio de Janeiro Declaration on Emvironment and Development” (Deklarasi Rio) yang menggariskan prinsip -prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.

Konferensi Stockholm merupakan ujung tombak pengaturan hukum lingkungan internasional. Hal tersebut dikarena konferensi ini telah mendorong negara-negara di dunia sadar akan pentingnya perhatian terhadap lingkungan maupun masalah-masalah lingkungan termasuk membentuk suatu pengaturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Indonesia sebagai salah satu negara peserta Konferensi Stockholm telah membuktikan komitmennya untuk menghasilkan produk perundang-undangan nasional yang menjadi dasar pengaturan hukum lingkungan di Indonesia.

Sebelum diadakannya Konferensi Stockholm tahun 1972, dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dikenal adanya Ordonasi Gangguan (Hinder Ordonantie) tahun 1926 dimana Ordonasi Gangguan (Hinder

(46)

31

Ordonantie) ini dimaksudkan untuk melindungi tempat tinggal orang di kota dari kegiatan industri atau kegiatan perusahaan yang memerlukan izin usaha seperti

Mijn Politie Reglement (MPR) dibidang pertambangan pada tahun 1930, Ordonasi Perlindungan Alam tahun 1941, Ordonasi Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 dan Penanggulangan Pencemaran Laut dalam Peraturan Pelabuhan tahun 1925.44

Setelah diadakannya Konferensi Stockholm tahun 1972, Indonesia menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup diantaranya :45

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom;

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan;

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan; dan

6) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.

Walaupun Indonesia menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan di bidang lingkungan seperti yang telah dikemukakan diatas, nyatanya peraturan perundang-undangan tersebut tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik. Hal tersebut disebabkan karena kondisi yang tidak memungkinkan dilaksanakannya aturan dan peraturan-peraturan diatas dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang berkembang pada saat itu. Sehingga pada tahun 1982, Indonesia membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang diharapkan dapat berjalan dengan baik di bidang

44Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

(47)

32 lingkungan hidup yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUKPPLH).

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUKPPLH) ini dipandang sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah pengaturan hukum lingkungan di Indonesia karena undang-undang ini merupakan “payung hukum” bagi semua peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup. Namun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKPPLH) tidak bertahan lama, karena Undang-undang tersebut memiliki banyak kendala dalam penegakan hukumnya. Diantara kendala tersebut adalah kendala regulatif, kendala institusional dan kendala politis46. Banyaknya kendala dalam undang-undang tersebut menyebabkan diperlukannya lagi penyempurnaan dalam Undang-undang tersebut. Pada akhirnya, undang-undang tersebut dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

Salah satu pertimbangan yang melandasi berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tersebut bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang, sehingga pokok-pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

(48)

33 Namun pada tahun 2009, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dicabut dan digantikan lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) . Hal ini dikarenakan perlunya penyempurnaan terhadap UUPLH yang berkaitan dengan:47

1. Sejak awal diundangankannya UUPLH, disadari bahwa adanya berbagai kelemahan dalam UUPLH disamping adanya beberapa hal yang bersifat positif seperti aspek pemberdayaan masyarakat yang sangat menonjol dalam UUPLH tersebut;

2. Perkembangan pengelolaan urusan-urusan publik yang dilakukan pemerintah, yang dulunya bersifat sentralistik kini berubah kearah desentralistik sejalan dengan Undang No. 22 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. Adanya keinginan komunitas lingkungan hidup di DPR RI, pemerintah, perguruan tinggi, LSM untuk mengundangkan Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (UUPSDA).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menganut prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan insrtumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek partisipasi, transparansi dan keadilan. Sehingga dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini diharapkan dapat menekan permasalahan lingkungan hidup sehingga dapat terwujudnya lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman.

(49)

34 Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, terdapat beberapa pengaturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang diantaranya:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa;

2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah

Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan

5) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

2.3Pengertian Pencemaran Lingkungan

Jika kehadiran unsur asing (makhluk hidup, zat, energi atau komponen lainnya) masuk ke dalam lingkungan dan menyebabkan perubahan terhadap ekosistem yang mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan sehingga lingkungan tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukkannya, maka dapat dikatakan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar. Menurut Otto Soemarwoto48, jika dilihat dari segi ilmiah, suatu lingkungan disebut sudah tercemar bila memiliki beberapa unsur, diantaranya: (1) kalau suatu zat, organisme atau unsur lainnya seperti gas, cahaya, energi telah tercanpur ke dalam sumber daya/lingkungan tertentu; (2) dan karenanya menghalangi/menggangu fungsi atau peruntukkan daripada sumber daya/lingkungan tersebut.

Secara mendasar di dalam pencemaran terkandung pengertian pengotoran (contamination) dan pemburukan (deterioration). Pengotoran dan pemburukan

(50)

35 terhadap sesuatu semakin lama akan dapat menghancurkan apa yang dikotori atau diburukkan sehingga akhirnya memusnahkan setiap sasaran yang dikotorinya.49

Munadjat Danusuputra merumuskan pencemaran lingkungan sebagai suatu keadaan dalam mana suatu materi, energi dan atau informasi masuk atau dimasukkan di dalam lingkungan oleh kegiatan manusia dan/atau secara alami dalam batas-batas dasar hingga mengakibatkan terjadinya gangguan kerusakan dan atau penurunan mutu lingkungan.50 Sedangkan menurut Sastra Wijaya,

pencemaran lingkungan terjadi apabila ada penyimpangan dari lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran dan berakibat buruk terhadap lingkungan.51

Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan

pencemaran lingkungan hidup adalah “masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah

ditetapkan”. Dari beberapa pengertian pencemaran lingkungan diatas, dapat dilihat bahwa ada dua hal yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan yakni pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam.

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia terjadi karena tidak terkontrolnya aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Sedangkan

49Abdurahman, op.cit, h. 96. 50Ibid, h.98.

(51)

36 pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, disebabkan karena terjadinya aktivitas alam yang tidak dapat diduga-duga, contohnya gunung meletus.

2.4Macam-macam Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan dapat dibedakan berdasarkan tempat terjadinya dan berdasarkan tingkat pencemarannya. Berdasarkan tempat terjadinya, pencemaran lingkungan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

a) Pencemaran Udara

Udara merupakan campuran dari berbagai macam gas, yang mana salah satunya adalah oksigen. Oksigen merupakan komponen yang sangat penting untuk menunjang kehidupan semua makhluk hidup yang ada dibumi baik itu manusia, tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Udara yang bersih adalah udara yang segar dan nyaman bagi makhluk hidup, cukup kandungan oksigennya, tidak berwarna dan berbau. Sebaliknya jika terjadi perubahan terhadap bau dan warna dari udara tersebut dapat dipastikan bahwa telah terjadi suatu pencemaran.

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

(52)

37 bersumber dari kegiatan manusia.52 Pencemaran udara yang bersumber dari alam terjadi karena adanya aktivitas alam seperti gunung meletus, sedangkan pencemaran udara yang bersumber dari manusia terjadi karena adanya campur tangan dari manusia seperti transportasi, industri, pembakaran lahan dan lain sebagainya.

Pengaturan secara khusus untuk mengendalikan pencemaran udara diatur di dalam:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor;

3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Suber Tidak Bergerak;

4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan;

5. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: Kep-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran;

6. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan;

7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

b) Pencemaran Air

Air merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Berlimpahnya air di muka bumi, menyebabkan masyarakat tidak dapat memanfaatkannya dengan baik. Masyarakat lebih menyalahgunakan kelebihan air tersebut dengan cara mencemarinya.

(53)

38 Menurut Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang dimaksud dengan pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.

Sumber pencemaran air diakibatkan oleh aktivitas manusia yang berlebihan seperti pengerukan pasir, limbah rumah tangga, industri, pertanian, pelebaran sungai, pertambangan minyak lepas pantai, serta kebocoran kapal tanker pengangkut minyak. Limbah rumah tangga seperti deterjen, sampah organik, dan anorganik memberikan andil cukup besar dalam pencemaran air sungai, terutama di daerah perkotaan. Sungai yang tercemar dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, terutama bagi masyarakat yang menggunakan sungai sebagai sumber kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, pencemaran air dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu:53

1) Pencemaran kimia berupa senyawa karbon dan senyawa anorganik; 2) Pencemaran fisika yang dapat berupa materi terapung dan materi

tersuspensi;

3) Pencemaran biologi yang dapat berupa mikroba pathogen, lumut dan tumbuhan air.

(54)

39 Untuk menghindari adanya perluasan pencemaran air, maka diperlukan suatu pengaturan untuk mengendalikan pencemaran air. Pengaturan secara khusus untuk mengendalikan pencemaran air diatur di dalam:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;

2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik;

3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;

4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.

c) Pencemaran Tanah

Tanah merupakan bagian dari kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah berperan sangat penting terhadap kelangsungan mahkluk hidup karena tanah dapat menyediakan unsur hara, air dan sebagai tempat tinggal. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, yang dimaksud dengan

tanah adalah “salah satu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang

terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk

hidup lainnya”.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai diatas batas normal

Kamulyan, B., 2008, Liquid Smoke atau lebih dikenal sebagai asap cair merupakan suatu hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran tidak langsung maupun

Namun, kalau dilihat nilai stabilitas yang hanya 515 kg, campuran beraspal porus tersebut tidak dapat dipakai untuk penggunaan di jalan dengan lalulintas berat, seperti jalan

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Atribut Produk (merek, kualitas, desain, kemasan, label, dan pelayanan) terhadap minat beli ulang kosmetik Maybelline

Sebagai bagian dari warga masyarakat, perusahaan diharapkan dapat menempatkan sosok-sosok masyarakat tersebut dengan semestinya, seperti RT, RW, para tokoh agama dan

Oleh karena itu semua guru harus memliki kompetensi sebagai berikut: Pertama, kompetensi pedagogic adalah yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,

1) Modified Jones model merupakan model untuk memperbaiki kelemahan model Jones yang awalnya hanya menggunakan perubahan pendapatan, yaitu dengan cara menambahkan

Tentuk Tentukan persam an persamaan li aan lingkaran y ngkaran yang berp ang berpusat (3 usat (3,4) dan ,4) dan berjari berjari-jari 6 -jari 6