• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Manajemen Berbasis.. (Muhammad Sahnan) 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Manajemen Berbasis.. (Muhammad Sahnan) 1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SUATU ALTERNATIF PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

SEKOLAH DASAR DI INDONESIA

Muhammad Sahnan Dosen Universitas Bung Hatta

Abstract

School Based Management is strategy to raise efektif school by giving larger otonom and supports to apply the participate decision making of their own directly for all the school members , in the case of increasing the school quality based on the national educational wisdom and the regulation concepts. Application School Based Management is concept management educational in Indonesia. Not far away from the indept ”restrukturisation dan reformation” national educational sistem desentralisation and giving large freedom for the school. There are 3 principles that always giving attention in school managerial that are : partisipant, transparancy and accuntability.For this will hope increase the quality education does not happier.Participant ask all stakeholder in making school rule. School must be transparancy, and supporting by accountability. There are many steps in implemantation School Based Management : Socialitation, piloting, and decimination.

Factors improve School Based Management implementation are (1) school climate (2) work motivation of head master (3) head master managerial (4) school culture (5) leadership (6) school financial. Effectivitas implementation School Based Management there are some indicators (1) good planning (2) school success to do work have planned (3) school make participant by school members (4) using human being for school purpose.

Key Words: School based management, quality education, elementary school.

PENDAHULUAN

Dalam dasa warsa terakhir berkembang visi dan paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan umumnya dan sekolah khususnya. Apabila pada era sebelumnya sekolah dipandang sebagai bagian dari birokrasi pendidikan, maka sekarang ini sekolah adalah lembaga yang melayani masyarakat. Pergeseran paradigma ini berimplikasi luas dalam pengelolaan sekolah.

Hingga saat ini, pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain: soal mutu, pemerataan, relevansi dan efektivitas

penyelenggaraan, penataan manajemen, dan pencitraan publik. Persoalan mutu, menempati prioritas utama. Mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibanding dengan negara- negara tetangga. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain: melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti (Depdiknas, 2001).

(2)

Beberapa survey internasional mengenai prestasi dan penguasaan peserta didik di berbagai negara, menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat rendah.

Hasil pengukuran yang dilakukan oleh TIMSS (Third International Mathematics and Science Study) terhadap 38 peserta pada tahun 2000, hasilnya menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-34 untuk mata pelajaran IPA dan peringkat ke-32 untuk mata pelajaran matematika. Peringkat ini jauh di bawah dua negera tetangga, yaitu Malaysia peringkat ke- 16 dan ke-21, serta Thailand peringkat ke-27 dan ke-24. Hasil asesmen PISA (Program for International Student Assessment) pada tahun 2003 mengenai kemampuan literasi membaca, matematika dan IPA terhadap 41 peserta menempatkan Indonesia pada posisi ke-39 untuk membaca dan matematika, serta IPA peringkat ke-38 (Depdiknas, 2003).

Rendahnya mutu pendidikan nasional, disebabkan oleh banyak faktor. Terdapat tiga faktor determinan yang diidentifikasi oleh pemerintah bersama dengan UNESCO dan Bank Dunia. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekwen.

Penyelenggaraan pendidikan selama ini terlalu menekankan pada input, dan tidak serius memperhatikan proses. Ketersediaan input tentu saja tidak secara otomatis menghasilkan output sebagaimana yang dikehendaki, apabila prosesnya berlangsung tanpa kontrol yang

serius. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik- sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat bergantung pada keputusan birokrasi yang jalurnya sangat panjang serta sering tidak sesuai dengan konteks dan kondisi setempat.

Hal ini mengakibatkan sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk memajukan lembaga. Ketiga, minimnya peran serta masyarakat, khususnya orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan.

Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya hanya terbatas dalam penyediaan input, dan tidak menjangkau pada proses pendidikan. Hal ini menjadikan pihak sekolah kurang memiliki accountability yang sifatnya langsung kepada masyarakat atau stakeholders.

Ketiga kelemahan manajemen pendidikan nasional tersebut, telah dicoba dipecahkan dengan penerapan berbagai kebijakan. Dalam kaitannya dengan proses manajemen, pemerintah mengadopsi model manajemen berbasis sekolah (school-based management). Hal ini ditujukan untuk memberikan otonomi kepada sekolah, sekaligus mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dengan adanya pergeseran paradigma tersebut, maka Sekolah Dasar dituntut untuk mengimplentasikan Manajemen Berbasis Sekolah dengan benar. Untuk itu, diperlukan partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas sehingga mutu pendidikan bisa ditingkatkan.

(3)

PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Kehadiran konsep MBS dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia, tidak lepas dari konteks gerakan ”restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional, melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasi oleh beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti ”self managings school” atau ”school based management”, ”self governing school”,

“Local manage-ment of schools”, “school based badgeting”, atau “guarant maintained schools”. Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berarah pada sistem pengelolaan, kepemimpinan, dan peningkatan mutu (administrating for excellence) dan

“effective schools”(Kemendiknas, 2010).

Gerakan ini juga dimaksudkan untuk memobilisasi keterlibatan emosional, tanggung jawab, dan rasa memiliki dari warga sekolah dan masyarakat. Hal terakhir ini sangat lekat dengan konsep “community based education”

yang didasarkan pada paradigma bahwa pendidikan seharusnya tidak terlepas dari realitas dan aspirasi masyarakat di mana satuan pendidikan berada, baik berkaitan dengan isi dan tujuan pendidikan, pemerolehan sumber daya, pengelolaan, maupun akuntabilitasnya.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi untuk mencapai sekolah

efektif. MBS adalah gagasan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar (Mustafa Bahrudin, 2001). Selain itu, (Dikdasmen, 2001) memaparkan manajemen berbasis sekolah dimaksudkan dengan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif secara langsung oleh warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, staf administrasi, orang tua siswa, dan masyarakat.

MBS sebagai model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung stakeholder (guru, siswa, orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, alumni, anggota seprofesi, dan pemerintah) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Depdiknas 2003). Otonomi ialah kewenangan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri secara merdeka (tidak tergantung pihak lain).

Fleksibilitas ialah keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Partisipasi ialah keterlibatan langsung dan aktif stakeholders dalam manajemen pendidikan baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dengan MBS

(4)

(Manajemen Berbasis Sekolah) hakekatnya tidak berbeda. MPMBS terfokus pada peningkatan mutu, sedangkan MBS pada efektivitas pengelolaan sekolah.

2. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah Secara umum, MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Kemendiknas, 2010).

Tujuan khusus MBS untuk meningkatkan:

a. kinerja sekolah (mutu, relevansi, efisiensi, efektivitas, inovasi, dan produktivitas sekolah) melalui kemandirian dan inisiatif sekolah,

b. transformasi proses belajar mengajar secara optimal;

c. peningkatkan motivasi kepala sekolah untuk lebih bertanggung jawab terhadap mutu peserta didik;

d. tanggung jawab sekolah kepada stakeholders;

e. tanggung jawab baru bagi pelaku MBS;

f. kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan;

g. kompetensi sehat antar sekolah;

h. efisiensi dan efektivitas sekolah;

i. usaha mendesentralisasi manajemen pendidikan;

j. pemberdayaan sarana dan prasarana sekolah yang ada sesuai kebutuhan peserta didik (Kemendiknas, 2010).

3. Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah

Ada tiga prinsip atau azas yang harus selalu diperhatikan dalam pengelolaan sekolah, yaitu:

partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Ketiga hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan yang selama ini belum menggembirakan. Partisipasi menuntut setiap penyelenggara dan pengelola sekolah melibatkan stakeholder dalam perumusan berbagai kebijakan. Transparansi mengharuskan sekolah terbuka, terutama dalam pemerolehan dan penggunaan dana, sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat. Transparansi tidak akan terjadi tanpa didukung oleh akuntabilitas, yaitu pertanggungjawaban pihak sekolah terhadap orang tua dan masyarakat, tidak hanya dalam aspek pengelolaan sumber-sumber daya, namun juga dalam proses pembelajaran dan pelayanan yang mereka berikan. Semua itu

bisa diwujudkan dengan

mengimplementasikan MBS di tingkat satuan pendidikan, khususnya di SD.

Prinsip umum yang menjadi pedoman pelaksanaan model manajemen berbasis sekolah menurut Satori (dalam Sagala, 2009:89), (1) memiliki visi, misi, dan strategis ke arah pencapaian mutu pendidikan, khususnya mutu peserta didik sesuai dengan jenjang sekolah masing-masing; (2) berpijak pada “power sharing”, pengelolaa pendidikan

(5)

sepatutnya berlandaskan pada keinginan saling mengisi, saling membantu, dan menerima berbagai kekuasaan/ kewenangan sesuai fungsi dan peran masing-masing; (3) adanya profesionalisme semua bidang dan berbagai komponen baik para praktisi pendidikan, pengelola dan manajer pendidikan lainnya termasuk profesionalisme dewan pendidikan di kabupaten/ kota maupun komite sekolah di satuan pendidikan; (4) meningkatkan partisipasi masyarakat yang kuat termasuk orang tua peserta didik; (5) komite sekolah sebagai institusi dapat menopang keberhasilan visi dan misi sekolah; (6) adanya transparansi dan akuntabilitas manajemen sekolah baik dilihat dari akuntabilitas manajemen maupun finansial.

Pada hakikatnya manajemen berbasis sekolah memiliki kewenangan (otonomi) lebih besar dalam mengelola sekolah. otonomi dalam manajemen maupun layanan belajar, dan pengambilan keputusan untuk mencapai sasaran mutu sekolah yang kompetitif sebagaimana ditargetkan. Prinsip yang digunakan adalah (1) meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan performansi personel sekolah; (2) meningkatkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan;

(3) munculnya gagasan-gagasan baru yang diakomodir dalam program kerja khususnya dalam implementasi kurikulum dan pemanfaatan teknologi pendidikan; dan (4) meningkatkan mutu partisipasi masyarakat dalam manajemen sekolah.

4. Peran Serta Masyarakat

Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentraliasasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan, dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya.

Oleh karena itu, bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah. Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri

(6)

Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002, 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah: (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.

Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat, sekolah hendaknya dapat membina kerja sama dengan orang tua dan masyarakat, menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya, maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama untuk mencapai keberhasilan bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management. Melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.

Keberhasilan dalam pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan secara teliti, cermat, dan terus-menerus. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga adalah menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah pada intinya adalah wakil masyarakat dan keluarga yang dapat menjadi jalan masuk yang tepat agar masyarakat dapat berpartisipasi dan rasa ikut memiliki terhadap sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah yang ada di lingkungannya masing-masing.

5. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Menurut Fattah (dalam Mulyasa, 2011:62), implementasi MBS ada 3 tahap, yaitu: sosialisasi, piloting, dan desiminasi.

Tahap sosialisasi merupakan tahapan penting mengingat luasnya wilayah Indonesia, terutama SD, masih banyak sulit dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik. Tahap piloting merupakan tahap uji coba penerapan konsep MBS. Efektivitas uji coba ini memerlukan akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas. Tahap desiminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model MBS yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplentasikannya secara efektif dan efisien.

Kemendiknas (2010:15) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi MBS sangat

(7)

dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis besarnya mencakup sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan peningkatan kualitas pendidikan dan gotong-royong kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi, serta dukungan dunia usaha dan dunia industri.

Adapun menurut Nurkholis (2003:264), terdapat enam faktor yang mempengaruhi implementasi MBS, yaitu: political will, finansial, kompetensi kepala sekolah, budaya sekolah, kepemimpinan, keorganisasian.

Kemenag (2008:17) menyatakan bahwa faktor pendukung keberhasilan Implementasi MBS terdiri dari:

1. kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik. Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik akan terwujud jika ditopang oleh kemampuan professional kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola sekolah secara tepat dan akurat, serta mampu menciptakan iklim organisasi di sekolah yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang efektif.

2. Keadaan sosial ekonomi dan penghayatan masyarakat terhadap pendidikan, faktor luar yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah keadaan tingkat pendidikan orangtua siswa dan masyarakat.

Kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat penghayatan, harapan dan pelibatan diri dalam mendorong anak untuk terus belajar.

3. Dukungan pemerintah, hal yang sangat menentukan tingkat keberhasilan penerapan MBS terutama bagi Sekolah yang kemampuan orang tua/masyarakatnya relatif belum siap memberikan perannya terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Alokasi dana pemerintah dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah menjadi penentu keberhasilan.

4. Profesionalisme, faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan hasil kerja sekolah. Tanpa profesionalisme kepala sekolah, guru, dan pengawas akan sulit dicapai MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa yang tinggi.

Dari pendapat tersebut, disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi implementasi manajemen berbasis sekolah yaitu iklim sekolah, motivasi kerja kepala sekolah, kompetensi manajerial kepala sekolah, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keuangan sekolah.

Motivasi kerja kepala sekolah merupakan kondisi psikologis yang mendorong kepala sekolah untuk bekerja lebih giat dan tekun dalam mengelola sekolah sehingga akan berdampak terhadap pencapaian tujuan sekolah. Kepala sekolah yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi untuk bekerja dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal dan lebih berhasil dari kepala sekolah yang kurang motivasinya. Fenomena yang terlihat selama ini masih ada kepala sekolah yang kurang motivasinya untuk

(8)

melaksanakan tugas dengan baik dan bersikap apatis terhadap tugasnya.

Kompetensi manajerial kepala sekolah merupakan kemampuan manajerial dan integritas profesional yang tinggi serta demokratis dalam pengambilan keputusan.

Untuk mengembangkan kemampuan ini, pemerintah telah menerbitkan permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang kompetensi kepala sekolah yang salah satunya adalah kompetensi manajerial. Kepala sekolah sebagai manajer pada dasarnya harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan kurikulum, kesiswaan, personil, sarana dan prasarana, keuangan, hubungan sekolah dan masyarakat, serta layanan khusus. Kompetensi manajerial adalah kemampuan dasar yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah dalam hal mengarahkan, mengelola, dan memberdayakan seluruh potensi yang ada baik di sekolah maupun di lingkungannya dalam usaha mencapai tujuan pendidikan.

Budaya sekolah merupakan istilah yang mendapat banyak perhatian dari pakar tentang organisasi. Hal ini tidak lain karena perannya yang penting yang dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan organisasi pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan organisasi.

Budaya sekolah yang kondusif merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses sekolah yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat adalah contoh-

contoh budaya sekolah yang dapat menumbuhkan semangat kerja.

Kepemimpinan, kepemimpinan mencakup kegiatan mempengaruhi perubahan dalam perbuatan orang-orang, meliputi segala aktivitas dari seorang pemimpin yang dapat mempengaruhi bawahannya sehingga bawahan dengan sukarela dan antusias mau diarahkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dalam berbagai konsep kepemimpinan telah disebutkan, pemimpin selalu lebih mendominasi mempengaruhi bawahannya. Hal ini menunjukkan bahwa di antara pemimpin dan bawahan mempunyai interaksi yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya sesuai dengan waktu, tempat, dan situasi di mana mereka berada.

Keuangan sekolah, keuangan sekolah merupakan dana yang dimiliki sekolah yang diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya:

dari pemerintah, orang tua, masyarakat, alumni, donator, dan lain-lain. Keuangan sekolah hendaknya dikelola dengan transparan, mengedepankan kejujuran dan berkeadilan.

Sekolah hendaknya menerapkan manajemen masjid, sehingga dana sekolah dapat digunakan tepat sasaran, tepat jumlah, serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga mutu pendidikan dapat diwujudkan.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi untuk mencapai sekolah efektif dengan memberikan otonomi lebih

(9)

besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif secara langsung oleh warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada tiga prinsip atau asas yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sekolah, yaitu:

partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Ketiga hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan yang selama ini belum menggembirakan. Partisipasi menuntut setiap penyelenggara dan pengelola sekolah melibatkan stakeholders dalam perumusan berbagai kebijakan. Transparansi mengharuskan sekolah terbuka, terutama dalam pemerolehan dan penggunaan dana, sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat. Transparansi tidak akan terjadi tanpa didukung oleh akuntabilitas, yaitu pertanggungjawaban pihak sekolah terhadap orang tua dan masyarakat, tidak hanya dalam aspek pengelolaan sumber-sumber daya, namun juga dalam proses pembelajaran dan pelayanan yang diberikan.

Implementasi MBS di tingkat satuan pendidikan termasuk di Sekolah Dasar (SD) melalui beberapa tahap, yaitu: sosialisasai, piloting, dan desiminasi. Faktor yang mempengaruhi implementasi manajemen berbasis sekolah yaitu: (1) iklim sekolah, (2) motivasi kerja kepala sekolah, (3) kompetensi manajerial kepala sekolah, (4) budaya sekolah, (5) kepemimpinan, dan (5) keuangan sekolah.

Adapun efektivitas implementasi manajemen

berbasis sekolah (MBS) ditandai dengan beberapa indikator, yaitu: (1) perencanaan yang matang, (2) sekolah berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah sesuai dengan yang direncanakan, (3) sekolah mampu menjalin partisipasi warga sekolah, dan (4) mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya untuk mewujudkan tujuan sekolah.

2. Saran

MBS di tingkat satuan pendidikan khususnya Sekolah Dasar perlu diimplementasikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, untuk itu diharapkan kepada para pengambil kebijakan bidang pendidikan di setiap kabupaten/kota memberikan perhatian, pembinaan kepada sekolah melalui sosialisasai, piloting, dan desiminasi. Kepada kepala sekolah diharapkan mampu mewujudkan iklim sekolah yang kondusif, memberikan motivasi kepada warga sekolah, melahirkan budaya mutu, menyusun perencanaan sekolah dengan matang, melaksanakan semua tugas pokok sekolah sesuai dengan yang direncanakan, mampu menjalin partisipasi warga sekolah, dan mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya demi terwujudnya pendidikan yang bermutu.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Pedoman Administrasi Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan TK dan SD Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar. Jakarta:

(10)

Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:

Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Gorton, R.A, & Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership, Challenges and Opportunities. Keeper Boulevard, Dubuque: Wm.C. Brown Publishers.

Kemenag RI. 2008. Perencanaan Pendidikan Menuju Madrasah Mandiri. Jakarta:

Balitbang.

Kemendiknas. 2010. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Ditjen Manejemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Mulyasa. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah.

Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Newell, C.A. 1978. Human Behavior in Educational Administration. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. Boston: Allyn and Bacon.

Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Jakarta : Depdiknas.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: Depdiknas.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 13 Tahun 2007. Tentang Standar Kepala Sekolah dan Madrasah.

Jakarta: Depdiknas

Sagala, Syaiful. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi

Memenangkan Persaingan Mutu.

Jakarta: Rakasta Samastra.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam segi waktu eksekusi dapat disimpulkan bahwa pertama, penggunaan blockfull pada HDFS memberikan waktu eksekusi yang lebih baik, kedua, tidak ada

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengemudi sepeda motor

Disisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang sebagian besar terdiri dari pekerja di hotel, mall dan sektor informal, tengah dihantui

Terhadap Aturan Pakai Obat Tidak ada perbedaan bermakna perubahan skor kepatuhan rata-rata terhadap aturan pakai obat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p value =

initiate the teacher talk in the classroom during teaching learning process.. 1.4

Kompresi citra adalah proses pemampatan citra yang bertujuan untuk mengurangi duplikasi data pada citra sehingga memory yang digunakan untuk merepresentasikan citra

Counterpurchase : Dua transaksi paralel dimana sebuah perusahaan mengekspor produk ke pembeli di luar negeri dengan janji untuk membeli dari pihak lainnya dari

(1) Lembaga penasihat latihan kerja dapat dibentuk oleh Menteri, yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah, penyelenggara latihan kerja, pengguna hasil latihan kerja,