• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEPARTEMEN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN "

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

i PERBANDINGAN RAGAM HIAS FLORA PADA KOMPLEKS MAKAM

KUNO RAJA-RAJA BINAMU DAN KOMPLEKS MAKAM KUNO RAJA-RAJA LAMURU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Sastra di Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin

Oleh:

NUR AHLINA KHUSAIMA F61114502

DEPARTEMEN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

ii UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS ILMU BUDAYA LEMBAR PENGESAHAN

Sesuai Surat Tugas Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Nomor:

921/UN4.9.1/DA.08.04/2018 tanggal 05 Februari 2018, dengan ini kami menyatakan menerima dan menyetujui skripsi dengan Judul : Perbandingan Ragam Hias Flora Pada Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu Dan Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru

Makassar, 16 November 2018

Pembimbing I

Dr. Anwar Thosibo, M.Hum Nip. 1957 1126 1986 01 1 001

Pembimbing II

Dr. Rosmawati, S.S.,M.Si Nip. 19720502 200501 2 002

Disetujui untuk Diteruskan Kepada Panitia Ujian Skripsi.

Dekan,

u.b. Ketua Departemen Arkeologi Fakulltas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Dr. Anwar Thosibo, M.Hum Nip. 1957 1126 1986 01 1 001

(3)
(4)

iii SKRIPSI

PERBANDINGAN RAGAM HIAS FLORA PADA KOMPLEKS MAKAM KUNO RAJA-RAJA BINAMU DAN KOMPLEKS MAKAM KUNO

RAJA-RAJA LAMURU

Disusun dan diajukan oleh

NUR AHLINA KHUSAIMA NIM : F611 14 502

Telah Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Pada Tanggal 16 November 2018

dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Menyetujui

Komisi Pembimbing, Pembimbing I

Dr. Anwar Thosibo, M.Hum Nip. 1957 1126 1986 01 1 001

Pembimbing II

Dr. Rosmawati, S.S., M. Si NIP. 1972 0502 2005 01 2 002

Dekan,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Akin Duli, M.A.

Nip. 19640716 199103 1 010

Ketua Departemen Arkeologi, Fakulltas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Dr. Anwar Thosibo, M.Hum Nip. 19571126 1986 01 1 001

(5)

iv UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS ILMU BUDAYA

Pada hari Jumat, 16 November 2018, Panitia Ujian Skripsi menerima dengan baik skripsi yang berjudul :

“Perbandingan Ragam Hias Flora Pada Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu Dan Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru”

Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin.

Makassar, 16 November 2018

Panitia Ujian Skripsi :

1. Dr. Anwar Thosibo, M. Hum Ketua : ………

2. Dr. Rosmawati, S.S., M. Si Sekretaris : ………

3. Dr. Khadijah Thahir Muda, M.Si Penguji I : ………

4. Yusriana, S.S., M.A Penguji II : ………

5. Dr. Anwar Thosibo, M. Hum Pembimbing I : ………

6. Dr. Rosmawati, S.S., M. Si Pembimbing II : ………

(6)

v KATA PENGANTAR

Ucapan puji dan syukur tak hentinya penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat Rahmat-Nya, skripsi ini bisa disusun dan diselesaikan. Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidaklah mudah dan melalui rangkaian yang panjang, mulai dari tahap awal penulisan proposal, penelitian hingga penulisan laporan akhir. Selama itupula penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih, kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, selaku rektor Universitas Hasanuddin Makassar

2. Prof. Dr. Akin Duli, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.

3. Dr, Anwar Thosibo., M.Hum selaku katua Depertemen Arkeologi.

4. Dr. Rosmawati, S.S., M.A selaku Pembimbing II, terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran dan kebaikannya dalam memberikan arahan dan bimbingan, serta segala masukan untuk penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Dr, Anwar Thosibo., M.Hum selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapakan juga atas segala kebaikan dan motivasi yang diberikan agar penulis bisa menyelesaikan studi dengan cepat.

6. Dra. Khadijah Thahir Muda, M.si selaku Penasehat Akademik, terima kasih atas kebaikan, bimbingan dan nasehatnya selama ini.

7. Seluruh staf pengajar Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin, terima kasih atas segala kebaikan dan waktu yang telah diluangkan untuk mengajar

(7)

vi penulis selama menempuh studi. Terima kasih yang tak terhingga kepada, Drs.

Iwan Sumantri, M.A, M.Si, Dr. Erni Erawati Lewa, M.Si, Dr. Khadijah Thahir Muda, M.Si, Dr. Muhammad Nur, S.S, M.Si, Yadi Mulyadi, S.S, M.A., Supriadi, S.S., M.A., Yusriana, S.S., M.A., M. Bahar Akkase Teng, Lcp., M.Hum, Dr. Hasanuddin, M.A, Asmunandar, S.S, M.A., serta Nur Iksan, S.S., M.A.

8. Kepada staf admin Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin, Syarifuddin terimakasih telah membantu penulis dalam pengelurusan dan kelengkapan berkas hingga penulis menyelesaikan studi.

9. Seluruh kakak-kakak dan adik-adik Keluarga Mahasiswa Arkeologi Unhas (KAISAR), terima kasih telah menjadi teman, keluarga serta banyak memberikan ilmu dan bantuan selama ini. Juga buat teman-teman Dwarapala 2014 yang membantu penulis dan semua yang tidak sempat disebutkan satu persatu mulai dari angkatan 2012, 2013, 2015 dan 2016.

10. Sahabat-sahabatku Sri Rafika, Annisa Anggraini, Sukmawati, Syahril Ramadhan dan Arfiansyah yang selalu menemani setiap aktivitas penulis mulai dari maba hingga saat ini serta memberikan dorongan dan semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

11. Teman-temanku yang dipertemukan di lokasi KKN, terima kasih telah menambah keseruan di masa perkuliahan penulis. Buat Icha, Nita, Alam, Nope, Iccang, Aldo dan semua Teman KKn Parepare Angkatan 96 yang tidak sempat disebutkan satu persatu. Semoga kita semua sukses.

12. Terimakasih tak terhingga untuk keluarga Dr. Muh. Alwi, S.sos, M.Si. dan Dra. Sitti Wahidah Masnani, M.Hum yang telah memberikan penulis

(8)

vii tumpangan untuk tinggal di kediamannya selama kuliah sekaligus menjadi orang tua kedua yang tidak pernah lelah untuk mendidik dan memberikan dorongan kepada penulis.

13. Ucapan terima kasih yang terdalam dan tak terhingga untuk kedua malaikatku, pahlawanku dan semangat hidupku, orang tua terbaik sepanjang masa. Untuk Ayahanda Firman, terima kasih untuk setiap tetes keringat dan perjuangan yang dilakukan untuk memenuhi segala kebutuhan penulis hingga saat ini.

Untuk Ibunda Hj. Najmin, terima kasih untuk setiap do’a dan kasih sayang tulus diberikan untuk penulis setiap harinya yang tidak pernah lelah memberi nasehat dan dorongan kepada penulis. I love you so much my parents

14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun demi hasil yang lebih baik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat kedepannya.

Makassar, Oktober 2018

Nur Ahlina Khusaima

(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL SAMPUL

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR FOTO ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACK ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4 Metode Penelitian ... 6

1.5 Sistematika Penulisan ... 8

BAB 2 PROFIL WILAYAH PENELITIAN DAN SEJARAH ISLAM DI SULAWESI SELATAN 2.1 Lokasi Penelitian ... 11

2.2 Keadaan Geografi ... 12

2.3 Iklim ... 12

2.4 Keadaan Geologi ... 13

2.5 Sejarah Islam Di Sulawesi Selatan ... 14

2.5.1 Sejarah Singkat Kerajaan Binamu ... 18

2.5.2 Sejarah Singkat Kerajaan Lamuru ... 20

BAB 3 GAMBARAN UMUM SITUS PENELITIAN 3.1 Makam Raja-raja Binamu ... 25

3.1.1 Letak dan Kondisi Geografis ... 25

3.1.2 Kompleks Makam Raja-raja Binamu ... 27

3.1.3 Sampel Makam Raja-raja Binamu ... 29

3.2 Makam Raja-raja Lamuru ... 35

3.2.1 Letak dan Kondisi Geografis ... 35

3.2.2 Kompleks Makam Raja-raja Lamuru ... 37

3.2.3 Sampel Makam Raja-raja Lamuru ... 39

BAB 4 PENGARUH PERBEDAAN RAGAM HIAS FLORA PADA KOMPLEKS MAKAM KUNO RAJA-RAJA BINAMU DAN KOMPLEKS MAKAM KUNO RAJA-RAJA LAMURU 4.1 Bentuk-Bentuk Ragam Hias Flora Pada Kompleks Makam Raja-Raja Binamu Dan Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru ... 43

4.1.1 Ragam Hias Flora Kompleks Makam Raja-Raja Binamu ... 44

4.1.2 Ragam Hias Flora Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru ... 53

(10)

ix 4.2 Perbandingan Bentuk Ragam Hias Flora Pada Kompleks

Makam Raja-Raja Binamu dan Kompleks Makam Raja-Raja

Lamuru ... 62 4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perbedaan Ragam Hias Pada

Kompleks Makam Raja-Raja Binamu Dan Kompleks Makam

Raja-Raja Lamuru ... 63 BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 67 5.2 Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

x DAFTAR TABEL

Tabel Hal

1. Tabel Perbandingan Ragam Hias Flora ... 62

(12)

xi DAFTAR FOTO

Foto Hal

1. Makam Raja-Raja Binamu ... 27

2. Sampel Makam 1 ... 28

3. Sampel Makam 2 ... 28

4. Sampel Makam 3 ... 29

5. Sampel Makam 4 ... 30

6. Sampel Makam 5 ...31

7. Sampel Makam 6 ... 32

8. Sampel Makam 7 ... 32

9. Sampel Makam 8 ... 33

10. Sampel Makam 9 ... 34

11. Makam Raja-Raja Lamuru ... 36

12. Sampel Makam 1 ... 38

13. Sampel Makam 2 ... 38

14. Sampel Makam 3 ... 39

15. Sampel Makam 4 ... 40

16. Sampel Makam 5 ... 40

17. Sampel Makam 6 ... 41

18. Motif Sulur Menyilang Dan Bunga Kembang Sepatu ... 44

19. Motif Bunga Kembang Sepatu ... 45

20. Tumbuhan Bunga Kembang Sepatu ... 45

21. Motif Binatang imajinatif ... 45

(13)

xii

22. Motif Bunga Kamboja ... 46

23. Detail Motif Bunga Kamboja ... 47

24. Tumbuhan Bunga Kamboja ... 47

25. Motif Suluran Bentuk Pilin Dan Sili-Siku ... 47

26. Motif Bunga Melati ... 48

27. Detail Motif Bunga Melati ... 48

28. Tumbuhan Bunga Melati ... 48

29. Motif Bunga Melati Susun Belah Ketupat ... 49

30. Detail Motif Bunga Melati ... 49

31. Tumbuhan Bunga Melati ... 49

32. Motif Bunga Melati Dan Pakis ... 50

33. Detail Motif Bunga Melati ... 50

34. Tumbuhan Bunga Melati ... 50

35. Detail Motif Bunga Pakis ... 50

36. Tumbuhan Bunga Pakis ... 50

37. Motif Menyerupai Pohon Hayat ... 51

38. Tumbuhan Pohon Hayat ... 51

39. Motif Bunga Teratai ... 52

40. Detail Motif Bunga Teratai ... 52

41. Tumbuhan Bunga Teratai ... 52

42. Motif Suluran Daun ... 53

43. Motif Sulur Menyilang ... 53

44. Detail Motif Kembang Kertas ... 54

45. Tumbuhan Kembang Kertas ... 54

(14)

xiii

46. Sulur-suluran Dan Pohon Lontar ... 55

47. Detail Motif Pohin Lontar ... 55

48. Tumbuhan Pohon Lontar ... 55

49. Motif Bunga Melati ... 56

50. Detail Motif Bunga Melati ... 56

51. Tumbuhan Bunga Melati ... 56

52. Motif Bunga Teratai ... 57

53. Detail Motif Bunga Teratai ... 57

54. Tumbuhan Bunga Teratai ... 57

55. Motif Bunga Kembang Sepatu ... 58

56. Detail Motif Bunga Kembang Sepatu ... 58

57. Tumbuhan Bunga Kembang Sepatu ... 58

58. Motif Bunga Kertas ... 59

59. Detail Motif Kembang Kertas ... 60

60. Tumbuhan Kembang Kertas ... 60

61. Motif Bunga Mawar ... 61

62. Detail Motif Bunga Mawar ... 61

63. Tumbuhan Bunga Mawar ... 61

(15)

xiv DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1. Peta Administrasi Sulawesi Selatan ... 56

2. Peta Kabupaten Jeneponto ... 25

3. Peta Kabupaten Bone ... 35

4. Peta Situs Makam Raja-Raja Binamu ... 71

5. Peta Situs Makam Raja-Raja Lamuru ... 72

6. Motif Ragam Hias Pada Panel Jirat Makam Raja-Raja BInamu ... 73

7. Motif Ragam Hias Pada Gunungan Makam Raja-Raja BInamu ... 74

8. Motif Ragam Hias Flora Pada Nisan Makam Raja-Raja Lamuru ... 75

9. Motif Ragam Hias Flora Pada Gunungan Makam Raja-Raja Lamuru ... 76

(16)

xv ABSTRAK

Nur Ahlina Khusaima, “ Perbandingan Ragam Hias Flora pada Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu dan Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru”, dibimbing oleh Anwar Thosibo dan Rosmawati.

Budaya Islam merupakan salah satu bagian dari peradaban manusia di Indonesia, yang memiliki peninggalan berupa artefaktual. Wujud peninggalan budaya tersebut merupakan bagian dari akulturasi budaya dari budaya Islam dan budaya lokal yang ada. Salah satu peninggalan budaya Islam yang paling menonjol di Sulawesi Selatan adalah bangunan makam. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan batas-batas yang jelas antara makam Islam yang berada di Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu (mewakili etnis Makassar) dan Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru (mewakili etnis Bugis) di Sulawesi Selatan, dijelaskan pula bentuk ragam hias flora pada makam islam yang berada di Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu dan Kompleks Makam Kuno Raja- Raja Lamuru di Sulawesi Selatan. Semua itu bertujuan untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi adanya perbedaan dan persamaan ragam hias flora pada makam Islam di Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu dan Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru di Sulawesi Selatan.

Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk ragam hias flora tersebut, dipergunakan metode pengumpulan data pustaka dan data lapangan, pengolahan data yang menggunakan metode komparatif, analisis morfologi, dan analisis statistik serta penafsiran data atau eksplanasi.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk ragam hias flora berupa varian bunga melati, bunga kembang sepatu, bunga mawar, bunga kembang kertas, bunga kamboja, suluran daun, pohon hayat, dan pohon lontar. Bentuk ragam hias tersebut selain sebagai wujud ekspresi estetis juga sebagai wujud ekspresi simbolik yang memperlihatkan adanya akulturasi budaya. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa ragam hias flora pada Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu lebih bervariatif, jika di banding Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru. Hal ini di sebabkan karena Kompleks Makam Kuno Raja- Raja Binamu terletak di daerah pesisir sehingga mudah mendapatkan pengaruh budaya dari luar.

Kata Kunci : Ragam Hias Flora, Makam Kuno Binamu, Kompleks Makam Kuno Lamuru, Budaya.

(17)

xvi ABSTRACT

Nur Ahlina Khusaima, “Comparison of Flora Motif on a tomb complex of the ancient kings of the Binamu and the Tomb complex of the ancient kings of Lamuru”, guided by Anwar Thosibo. dan Rosmawati.

Islamic culture is one part of human civilization in Indonesia, which has a legacy in the form of artefaktual. Realization of the cultural relics are part of the acculturation of the Islamic culture and local culture. One of the cultural relics of Islam's most prominent in South Sulawesi is the graveyard. This research aims to clarify the boundaries between Islamic tombs are in the graveyard of the ancient kings of Binamu (representing the ethnic Makassar) and Graveyard of the ancient kings of Lamuru (representing the ethnic Bugis) in South Sulawesi, described also the form variety of ornamental flora at the tomb of islam residing in the graveyard of the ancient kings of the Binamu and the Tomb complex of the ancient kings of Lamuru in South Sulawesi.

To be able to know the shape of the flora motif, used methods of data collection the library and data field, the data processing which uses the comparative method, analysis of morphology, and statistical analysis and interpretation of data or empirical research.

From the results of research shows that ornamental variety forms of flora in the form of a variant of jasmine flowers, Hibiscus flowers, roses, bougainvillea flowers, flower of Cambodia, ivory leaves, tree of life, and the tree of the ejection.

The forms of motif other than as a form of aesthetic expression as well as a form of symbolic expression which shows the existence of acculturation. In addition to that research shows that ornamental variety of flora in the graveyard of the ancient kings of Binamu more in price, if on appeal the Tomb complex of the ancient kings of lamuru. This is caused because the Tomb complex of the ancient kings of Binamu is located in the coastal area so that it is easy to get the cultural influences from outside.

Keywords: Flora Motif, The Tomb Complex Of The Ancient Kings Of Binamu, The Tomb Complex Of The Ancient Kings Of Lamuru, Culture.

(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Islam masuk ke Sulawesi Selatan agak lambat dibandingkan dengan daerah lain, seperti Maluku, Kalimantan Selatan, dan Pesisir Utara Jawa (Sewang, 2005:80). Namun sekarang Islam telah menjadi identitas di Sulawei Selatan tepatnya pada suku Bugis dan Makassar. Namun, dalam proses penyebaran Islam bukan hanya doktrin tentang agama Islam yang disebarkan tetapi banyak aspek yang termuat di dalamnya. Aspek-aspek tersebut bisa saja berupa ide tentang pola kemasyarakatan, perdagangan, arsitektur, dan pemakaman.

Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia telah dimulai sejak 1884, berdasarkan adanya laporan ke Museum di Jakarta mengenai penemuan beberapa nisan di Kampung Blangmeh (Pasai) dan Samudra. Untuk memahami proses islamisasi di Sulawesi Selatan tentu saja harus ditelusuri berdasarkan tinggalan- tinggalannya yang masih ada sampai sekarang. Salah satunya yang bisa kita jumpai yaitu makam.

Makam yang bercirikan Islam di Sulawasi Selatan yaitu makam yang memiliki orientasi utara dan selatan, salah satunya Makam Raja-Raja Binamu mewakili etnik Makassar dan Makam Raja-Raja Lamuru mewakili etnik Bugis.

Makam ini berada di dua budaya yang berbeda yakni Jeneponto dan Lamuru.

Kedua daerah tersebut masing-masing memiliki kerajaan yang merupakan gerbang masuknya Islam di daerah Jenepono dan Lamuru yakni Kerajaan Binamu dan Kerajaan Lamuru.

(19)

2 Makam Raja-Raja Binamu dan Makam Raja-Raja Lamuru merupakan bukti bahwa daerah tersebut pernah melakukan aktivitas perdagangan dan peperangan. Islam masuk pada kedua kerajaan tersebut melalui peperangan dan perdagangan. Kedua kerajaan tersebut sama-sama menganut Islam pada abad ke XV. Kerajaan Binamu menganut agama islam pada tahun 1604 dan Kerajaan Lamuru menganut agama islam pada tahun 1611.

Penelitian pada makam peninggalan Kerajaan Binamu sudah dilakukan oleh beberapa orang baik dari instansi pemerintah maupun akademisi sendiri.

Pertama, oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulselrateng (1983), selanjutnya berganti nama menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan yang terakhir menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya. Hasil penelitiannya berupa inventarisasi peninggalan purbakala yang ada di Kabupaten Jeneponto. Selanjutnya, pada tahun 1984 dilanjutkan dengan konservasi pada makam peninggalan Kerajaan Binamu yang sudah mengalami kerusakan.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Candwell dan Bougas dengan menerbitkan jurnal Bijragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde (2004), hasil penelitiannya fokus pada bagian sejarah kerajaan besar di Jeneponto abad XIII sampai abad XVI yaitu Kerajaan Bangkala dan Binamu. Tahun 90-an Jamaluddin (1990) melakukan penelitian pada kompleks Makam Bataliung yang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Binamu. Dari hasil penelitiannya yang lebih fokus meneliti mengenai bentuk nisan arca, menarik kesimpulan bahwa adanya fenomena kesinambungan budaya masa lampau dengan budaya luar (Hindu, Budha, dan Islam). Selain itu, dengan penemuan nisan arca memperlihatkan

(20)

3 bahwa budaya lokal lebih menonjol dibandingkan dengan budaya yang datang belakangan.

Selanjutnya, pada tahun 2002 Yabu Mallabasa mahasiswa Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung melakukan penelitian di Sulawesi Selatan. Hasil penelitiannya yang berjudul Bangunan Makam Kuno Raja-Raja Makasar di Sulawesi Selatan yang lebih menitikberatkan penelitiannya pada kajian morfologis dan simbolik estetis. Ia mengambil secara umum makam- makam di Sulawesi Selatan sebagai sampel misalnya, di makam peninggalan Kerajaan Binamu yaitu makam Karaeng Palengkei Daeng Lagu, makam I Maddi Daeng Rimakka dan makam Karaeng Sioro, selebihnya diambil dari sampel Makam Raja-Raja Gowa dan Makam Raja-Raja Tallo. Penelitiannya tersebut belum mengkaji mengenai ragam hiasnya secara detail hanya bagian yang umum saja dan lebih terkhusus pada morfologi makamnya.

Data riwayat penelitian juga memperlihatkan bahwa pada tahun 2005, Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin bagian Arkeologi melakukan penelitiaan di Kabupaten Jeneponto, termasuk pada makam Kerajaan Binamu. Hasil penelitian yang dilakukan lebih menekankan pada analisis potensi arkeologis, tradisi atau atraksi budaya yang masih bertahan sampai sekarang dan sebagian mengenai potensi sumberdaya alam yang dapat dijadikan objek wisata unggulan.

Lebih lanjut, pada tahun 2008 Dosen Universitas Hasanuddin yang dipimpin oleh Muh. Nur dkk. melakukan penelitian di Jeneponto termasuk pada makam peninggalan Kerajaan Binamu. Hasil penelitiaanya bersifat umum berupa deskripsi dan sedikit penjelasan mengenai situs-situs arkeologi yang ada di daerah

(21)

4 tersebut. Hasil penelitian ini dibukukan dan diterbitkan pada tahun 2008 kerjasama dengan Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kabupaten Jeneponto.

Data penelitian terakhir yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Makasar tahun 2011, yang diterbitkan di Jurnal Arkeologi Wallannae (Hasanuddin, 2010:85-96) mengkaji makam-makam Islam yang ada di Jeneponto. Simpulan dari penelitian tersebut menjelasakan bahwa budaya pra-Islam pada makam di Jeneponto dapat dilihat pada bentuk makam yang menyerupai bangunan megalitik yang disusun dari balok-balok batu semakin ke atas semakin mengecil.

Begitupula pada ragam hiasnya misalnya penggunaan ragam hias antropomorfik seperti manusia kangkang serta simbol fauna lainnya seperti ayam, kuda, dan naga. Hasil penelitian tersebut sudah mengklasifikasi jenis ragam hiasnya, namun pembagiannya hanya pada pembagian ragam hias secara umum misalnya antropomorfik, flora fauna, geometris, manusia dan peralatan. Hal tersebut belum mendetail mengenai pembagian jenis-jenis ragam hiasnya. Kemudian penelitian selanjutnya dilakukan oleh Meisar Ashari pada tahun 2013 mengenai studi bentuk, fungsi dan makna ornamen di Kompleks makam Raja-Raja Bugis.

Dan terakhir di lakukan oleh Erwin Mansyur mengenai akulturasi budaya asing dan budaya lokal yang ditunjukkan pada ragam hias di makam Binamu pada tahun 2014.

Berdasarkan uraian di atas, maka sasaran penelitian di tujukan pada kompleks makam raja-raja Lamuru dan kompleks makam raja-raja Binamu. Hal yang menarik pada kompleks makam tersebut adalah banyaknya bentuk ragam hias yang di gunakan.

(22)

5 1.2. Rumusan Masalah

Jeneponto memiliki tanah yang kering dan tandus sedangkan Lamuru memiliki tanah yang sumbur dan gembur, tetapi penggunaan ragam hias flora lebih banyak digunakan pada Kompleks Makam Raja-Raja Binamu dibandingkan pada Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru. Untuk itu, maka dapat diumuskan masalah penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana motif ragam hias flora pada Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru dan Kompleks Makam Raja-Raja Binamu ?

2. Apa faktor yang mempengaruhi perbedaan ragam hias flora pada Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Binamu mewakili etnik Makassar dan Kompleks Makam Kuno Raja-Raja Lamuru mewakili etnik Bugis ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengaji peninggalan-peninggalan Islam pada makam raja-raja Lamuru dan makam raja-raja Binamu. Hal ini dilakukan untuk mengungkap jenis ragam hias yang yang digunakan pada makam raja-raja Lamuru dan makam raja-raja Binamu. Secara rinci tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi yang jelas mengenai:

1. Bentuk ragam hias flora yang terdapat pada Kompleks Makam Raja-raja Lamuru dan Kompleks Makam Raja-raja Binamu.

2. Faktor yang menyebabkan perbedaan ragam hias flora pada Kompleks Makam Raja-raja Binamu dan Kompleks Makam Raja-raja Lamuru.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

1. Perkembangan ilmu arkeologi, terutama dalam kajian arkeologi Islam.

2. Masyarakat umum sebagai sebuah sumber informasi ilmiah.

(23)

6 3. Identitas budaya lokal, sebagai jati diri daerah.

4. Generasi muda Islam sekarang sebagai informasi untuk mengetahui dan memahami budaya-budaya leluhur sebagai suatu pembelajaran dalam pengembangan dakwah Islam.

1.4. Metode penelitian

Untuk memecahkan dan menjawab permasalahan dalam penelitian, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tersusun secara sistematis, sehingga tujuan peleitian dapat tercapai. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan eksplanasi atau penjelasan data.

1.4.1. Metode Pengumpulan Data

Terdapat dua teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam suatu penelitian yaitu; data pustaka, dan data lapangan.

a. Data Pustaka

Tahap ini dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur yang berhubungan dengan tema dan topik kajian penelitian yaitu berupa buku, laporan hasil penelitian, skripsi serta artikel yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini.

Studi kepustakaan yang dilakukan tidak hanya berlaku pada tahap pra penelitian tetapi juga diperlukan pada tahap penulisan atau penyusunan hasil penelitian. Oleh karena itu, tulisan yang berupa buku, laporan penelitian, artikel, maupun artikel yang membahas tentang situs arkeologi pada masa Islam menjadi acuan dalam penulisan ini.

(24)

7 b. Data Lapangan

Pada tahap ini penulis melakukan pengamatan langsung di situs dengan tujuan untuk mengumpulkan atau mencari data arkeologi mengenai gambaran lokasi penelitian. Pengumpulan data melalui kegiatan lapangan ini yaitu deskripsi, pemetaan, pengambilan data visual (foto) dan wawancara. Deskripsi dilakukan agar dapat mengetahui kondisi sekitaran situs. Pemetaan dilakukan agar mengetahui letak/posisi situs tersebut. Data visual dan dilakukan pada saat berada di situs guna menambah bukti kondisi temuan sekarang. Wawancara dengan juru pelihara situs dilakukan untuk mendapatkan informasi secara lisan mengenai apa yang di teliti.

1.4.2. Pengolahan Data

Berkenaan dengan artefak makam yang dijadikan rujukan pengolahan data, maka perlu dikemukaan cara analisis yang dipakai dalam penelitian ini. Analisis kualitatif merupakan model kerja yang dipakai dalam pengolahan data. Pada dasarnya pengolahan ini dimaksudkan untuk membantu menguraikan aspek makam terutama kesamaan jenis dan tampilan bentuk ragam hias. Dari analisa ini diharapkan dapat diketahui factor yang menyebabkan tampilan bentuk ragam hias yang beragam.

1. Metode Komparatif

Metode ini merupakan metode penelitian yang sifatnya membandingkan persamaan dan perbedaan pada objek yang diteliti. Metode ini digunakan agar dapat mengetahui perbedaan ragam hias pada kedua makam yang diteliti.

(25)

8 2. Analisis Morfologi

Pada tahap analisis ini penulis melakukan pengamatan bentuk dan gambaran tentang pola yang dikolaborasikan dengan data sejarah tentang pekembangan flora dindaerah penelitian dan faktor yang mempengaruhi ragam hias sehingga dapat mengetahui bentuk dan faktor yang membedakan ragam hias dari kedua makam tersebut.

3. Analisis Statistik

Pada tahap analisis ini dilakukan pengamatan pada bentuk atau gaya ragam hias yang dilihat dari ukiran-ukiran yang terdapat pada Kompleks Makam Raja- Raja Binamu dan Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru. Analisis ini digunakan untuk mengetahui variable ragam hias yang dijadikan perbandingan ragam hias di kedua kompleks makam tersebut.

1.4.3. Penafsiran Data

Pada tahapan ini akan dijelaskan setiap data dan informasi yang diperoleh dari hasil variabel-variabel analisis yang digunakan. Penjelasan lebih menekankan pada bentuk perbedaan melalui berbagai peninggalan-peninggalan arkeologi Islam dalam kaitannya dengan bentuk pengaruh kebudayaan luar. Kemudian menjelaskan unsur pengaruh pada setiap peninggalan Arkeologi yang memiliki perbedaan bentuk dan gagasan yang melatarinya.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan suatu karya ilmiah (skripsi) perlu dicantumkan sistematika penulisan agar nantinya skripsi yang ditulis dapat lebih terarah dan sistematis maka dari itu penulis mencantumkannya ke dalam bentuk bab-bab dengan

(26)

9 pembahasan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun melalui sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I (Pendahuluan), dalam penulisan ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini, dan metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan penulisan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

Bab II (Profil Wilayah), penulis menjelaskan mengenai letak dan kondisi geografis lokasi penelitian. Selanjutnya dalam bab ini juga dijelaskan mengenai latar belakang historis, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seluk-beluk kejadian ataupun kondisi yang pernah terjadi yang terkait dengan situs yang akan diteliti.

Bab III (Gambaran Umum Lokasi Penelitian), pada penulisan ini berisi tentang kondisi dan letak daerah penelitian, deskripsi situs, dan deskripsi temuan.

Hal ini dilakukan agar lebih memperjelas data penelitian yang menjadi objek penelitian.

Bab IV (Pembahasan), berisi penjelasan mengenai data yang sudah dideskripsi dan diklasifikasi sebelumnya pada Bab III. Dari bab inilah yang dapat memberikan penjelasan mengenai hasil olahan data untuk menjawab pertanyaan penelitian yang nantinya dapat memberikan simpulan penelitian.

Bab V (Penutup) yang terdiri dari simpulan pembahasan pada bab sebelumnya. Simpulan ini juga merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang tertulis dalam rumusan permasalahan pada penelitian ini. Di samping itu, pada bab ini berisi pula saran-saran, baik itu untuk pengembangan tata guna

(27)

10 maupun rekomendasi untuk penelitian lanjutan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.

(28)

11 BAB II

PROFIL WILAYAH PENELITIAN DAN SEJARAH ISLAM DI SULAWESI SELATAN

2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di laksanakan di Sulawesi Selatan. Pilihan lokasi didasari pertimbangan bahwa di setiap daerah di Sulawesi Selatan memiliki sebaran temuan khususnya berupa kompleks makam Islam yang hampir di jumpai di setiap kota atau kabupaten, Lokasi penelitian ini yaitu Jeneponto yang mewakili etnik Makassar dan Lamuru yang mewakili etnik Bugis.

Gambar 1. Peta Administrasi Sulawesi Selatan

(29)

12 2.2. Keadaan Geografi

Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0°12’-8° Lintang Selatan dan 116°48’ - 122°36’Bujur Timur, dimana berbatasan dengan:

- Sebelah Utara berbatasan dengan dengan Sulawesi Barat

- Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara - Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores

Luas Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah 46.108.55 Km, secara administrasi Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan terbagi menjadi 20 Kabupaten dan 3 Kota, yang terdiri dari 263 Kecamatan.

2.3. Iklim

a. Temperatur Udara

Sulawesi Selatan Terletak di daerah tropik maka temperatur rata-rata, terutama di daerah pantai, sangat tinggi. Data yang diperoleh dari satasion meteorology Mandai, menunjukkan rata-rata temperatur di Kota Makassar dan sekitarnya sepanjang tahun 2017 sekitar 27,0°C, dengan suhu minimum 22,8°C dan suhu maksimum 34,7°C.

b. Curah Hujan

Musim hujan Sulawesi Selatan, seperti yang dialami oleh bagian-bagian lain dari dari kepulauan Indonesia, berbarengan dengan musim barat pada bulan Oktober-April. Musim kemarau berbarengan dengan musim Timur bulan April- Oktober.

(30)

13 Daerah-daerah sepanjang pesisir timur berbeda dengan keadaan umum tersebut di atas. Daerah-daerah itu mengalami musim hujan pada musim Timur dan mengalami musim kemarau pada musim barat. Kedaan curah hujan yang berbeda di daerah Sulawesi Selatan, memberikan kemungkinan musim persawahan yang berganti-ganti antara dua bahagian daerah Silawesi Selatan dalam satu tahun.

c. Angin

Daerah Sulawesi Selatan mengalami angin musim yang lewat dari daerah Asia ke Australia dan sebaliknya, yang berlangsung tiap enam bulan. Menurut hasil laporan Stasion cuaca Mandai Kedua musim angin Timur dan Barat, rata- rata kecepatannya 15 mil/jam. Kecepatan yang paling tinggi berlangsung dalam bulan September (musim Timur), yaitu 6 mil/jam. Kecepatan angin itu bertepatan pula dengan temperatur yang tinggi (32,9°C) dan curah hujan yang rendah (14 mm) dalam bulan September. Keadaan ini dialami oleh Kota Makassar dan sekitarnya sebagai musim yang relatif kering dalam bulan ini.

2.4. Keadaan Geologi

Keadaan geologi yang disebutkan berikut ini, meliputi bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan mulai dari Makassar di selatan sampai ke daerah Luwu di bagian utara yang berkelanjutan kearah selatan. Sulawesi Selatan dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu bagian utara dan selatan. Garis pembagian kedua bagian itu adalah lembah barat laut tenggara, mulai dari muara Sungai Sa’dang pada pantai Barat melalui Danau Tempe kemuara Sungai Cenrana di pantai Timur.

Jasirah selatan, khususnya di bagian sebelah selatan Danau Tempe memiliki beberapa persamaan dengan pulau Jawa dan Sumatra, yang disebut dengan

(31)

14 (rangkaian pegunungan) dari sistem pengunungan Sunda (Mattulada, 1976/1977:

5-15).

2.5. Sejarah Islam di Sulawesi Selatan

Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara khususnya Sulawesi Selatan memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima terlebih dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas atau elite penguasa kerajaan. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan, kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah (Sewang, 2005: 86). Menurut beberapa teori yang berlaku umum bahwa penyebaran Islam (Islamisasi) di Nusantara pada awalnya melalui perdagangan, demikian halnya dengan Islamisasi di Sulawesi Selatan.

Agama Islam diterima dan menjadi agama kerajaan dan masyarakat di bawah pemerintahan dwitunggal Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah Awwalul Islam. Patut dicatat bahwa jauh sebelum menjadi agama resmi kerajaan dan masyarakat, komunitas-komunitas muslim telah ada di Makassar sejak pemerintahan Raja Gowa X, Tunipalangga (1546-1565). Mereka adalah para saudagar Melayu yang berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau (Andaya. 2004: 34-36). Pada masa pemerintahannya Raja Gowa XI, Tunijallo (1565-1590), telah berdiri sebuah masjid di Mangallekanna, tempat para saudagar itu bermukim (Mattulada, 1983: 214-215; Paeni, 1995: 89; Mappangara, 2003:

49-51; Sewang, 2005: 1). Ini bisa membuktikan bahwa sikap toleran penguasa Gowa terhadap komunitas muslim jauh sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan Gowa.

(32)

15 Pemaparan di atas, tampaknya perkembangan Islam telah melampaui batas ruang dan waktu, mengalami perjalanan panjang dalam sejarahnya, hingga akhirnya masuk dan berkembang di Makassar. Alur berpikir semacam ini dapat memberikan jawaban (penjelasan) mengenai ragam pengaruh Islam yang berkembang di Makassar. Aktivitas perdagangan maritim, baik langsung ataupun tidak langsung, menimbulkan adanya persentuhan nalai-nilai Islam dengan budaya lokal, sehingga menampilkan ragam yang bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Syiar Islam di Makassar berawal pada abad XVII ketika Mangkubumi Kerajaan Gowa yang juga menjabat sebagai Raja Tallo, bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri, Karaeng Tu-menanga ri Bonto biraeng memeluk agama Islam pada malam Jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605). Setelah menganut agama Islam, ia bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Beberapa saat kemudian Raja Gowa XIV, I Mangarangi Daeng Manrabia, juga masuk Islam dengan gelar Sultan Alauddin (Noorduyn. 1972: 14; Matullada, 1975: 73; lihat juga Mattulada, 1978: 39; Mattulada, 1983: 214-215; Limbugau, 1989: 8;

Muhaeminah, 2005: 87).

Raja Gowa dan Tallo di atas diislamkan oleh Abdul Ma’mur Khatib Tunggal yang lebih lazim disebut Dato’ ri Bandang dan ia mempunyai dua orang teman yakni Khatib Sulaiman yang menyebarkan Islam ke daerah Luwu kemudian dikenal oleh penduduk setempat dengan nama Dato’ ri Pattimang dan Khatib Bungsu yang membawa Islam ke Tiro Bulukumba, kemudian disebut Dato’ ri Tiro (Mattulada, 1982: 40-41; Limbugau, 1989: 8; lihat juga Mahmud, 2007: 146-147).

(33)

16 Dua tahun kemudian, rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan sudah memeluk agama Islam maka agama ini, menjadi agama resmi dalam kerajaan kembar Gowa-Tallo, berdasarkan perinsip “coiusreligion eius religion”. Dengan ditandainya pernyataan umum diadakanlah Sholat Jum’at pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 M, atau 10 Rajab 1016 H (Matullada, 1975: 73-74;

lihat juga Mattulada, 1976: 12).

Diterimanya Islam secara institusional mempunyai arti penting dalam sejarah daerah ini2. Pada masa pemerintahan kedua tokoh tersebut, yang oleh Soekmono disebut sebagai dwitunggal (Soekmono. 1991: 66), dimana syiar Islam disebarkan secara luas ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Dalam sebuah dekritnya pada tanggal 9 Nopember 1607, Sultan Alauddin menegaskan, bahwa agama Islam sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat (Sewang. 2005: 2).

Dengan demikian Islamisasi menjadi bagian dari kebijakan politik Kerajaan Gowa-Tallo (Rosmawati, 2008: 2), maka kerajaan ini pulalah yang menjadi pusat penyebaran Islam untuk seluruh jazirah Sulawesi Selatan (Matulada, 1976: 17- 18). Politik peng-Islam-an seluruh Sulawesi Selatan dijalankan oleh Raja Gowa dan Tallo dengan kuatnya. Keadaan itu didasarkan pada perjanjian yang pernah disepakati pada waktu yang lalu oleh Gowa dan kerajaan-kerajaan lainya di Sulawesi Selatan. Seruan peng-Islam-an itu oleh beberapa kerajaan kecil diterima dengan baik dan berlangsunglah peng-Islam-an ditempat itu dengan damai. Akan tetapi kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat, seperti tanah Bone, Wajo, dan Soppeng, menolak ajakan Kerajaan Gowa tersebut dengan keras, sehingga Gowa menyatakan perang terhadap mereka. Perang itu dinamakan oleh orang-orang Bugis musu’selleng (perang agama Islam).

(34)

17 Empat kali Gowa mengirimkan pasukannya ke tanah Bugis. Pertama kalinya pada tahun 1608. Tentara Gowa dikalahkan oleh kerajaan-kerajaan Bugis yang bergabung. Akan tetapi tahun-tahun berikutnya, kerajaan-kerajaan Bugis ditalukkan satu demi satu. Sehingga tersebarlah Islam di Tanah Bugis. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo pada tahun 1610, dan yang terakhir Tanah Bone pada Tahun 1611, dengan raja yang pertama masuk Islam, ialah Raja Bone ke-11, La Tenripala, Matinroe ri Tallo. (Matulada, 1975: 74; lihat juga Matulada, 1976: 17-18)

Segenap setelah peneriman agama Islam kerajaan Bugis-Makassar (Gowa, Luwu, Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng sampai ke Tanah Toraja). Periode penerimaan Islam tersebut berlangsung dari tahun 1603 samapai dengan tahun 1612. Kemudian, dimulailah proses sosialisasi dan akulturasi Islam ke dalam peradaban Bugis-Makassar, yang disebut panngaderreng dimana masyarakat Islam dijadikan salah satu diantara lima unsure yaitu: (1) Ade, (2) Rapang, (3) wari, (4) bicara, dan (5) sara (Matulada, 1976: 30).

Islamisasi di Gowa pada awal abad XVII berkorelasi dengan perkembangan aktivitas perdagangan maritim. Terutama setelah runtuhnya Malaka (1511), Makassar muncul sebagai kerajaan ”raksasa” maritim di kawasan timur Nusantara. Posisi strategis dan perannya sebagai pelabuhan transito yang menghubungkan jaringan pelayaran dari dan ke kepulauan rempah-rempah di Maluku, membuat Kerajaan Gowa mengukir kemajuan paling cepat dan spektakuler dalam sejarah Indonesia (Reid. 2004: 132; Poelinggomang. 2002: 6).

Menurut Abdullah, sulit dipisahkan antara aktivitas perdagangan maritim dengan

(35)

18 Islamisasi di Kepulauan Nusantara begitu pula di Sulawesi Selatan (Abdullah, 1986: 1; Rosmawati, 2008: 3).

2.5.1. Kerajaan Binamu

Kerajaan Binamu pada awalnya merupakan kerajaan kecil yang terletak di Tamalate Jeneponto. Selain kerajaan Binamu, terdapat pula beberapa kerajaan kecil lainnya yaitu; Kerajaan Rumbia, Kerajaan Tolo, Kerajaan Arungkeke, Kerajaan Bangkala dan Kerajaan Taroang (Jamaludin, 1990:17). Dengan kekuatan armada kerajaan dan kondisi geografis yang memadai membuat kerajaan Binamu menjadi kerajaan besar yang berciri kerajaaan pesisir. Hal ini juga ditunjang oleh adanya dua Sungai besar yang menghubungkan dengan laut yaitu Sungai Jeneponto di bagian timur dan sungai Tamaroya dibagian selatan. Sebagai kerajaan pesisir armada laut Kerajaan Binamu melakukan perjalanan untuk menjalin hubungan perdagangan dengan masyarakat luar yang melewati jalur pantai pulau Balolang dan Lete-Lete.

Berdasarkan latar belakang sejarahnya, armada laut Kerajaan Binamu pernah berlayar sampai ke Pulau Bali untuk melakukan perdagangan.

Diperkirakan berlangsung sekitar abad XIII. Tujuan dari berlayar ke Pulau Bali adalah untuk mengambil benih padi yang ada disana kemudian akan dikembang biakan dalam bercocok tanam di sawah dalam lingkup masyarakat Kerajaan Binamu. Dikaitkan dengan asal-usul nama Binamu, masyarakat mempercayai bahwa kata Binamu berasal dari kata bibit padi yang dibawah dari pulau Bali.

Dalam bahasa Bugis-Makassar bibit padi adalah bine, sehingga orang-orang yang akan mengambil bibit padi dilingkup kerajaan mengatakan “mintakka binemu”

untuk ditanam. Pada saat itu juga orang-orang mengetahui bahwa Binamu adalah

(36)

19 empat untuk mengambil bibit padi, sehingga tempat itu berubah nama menjadi Binamu. Sehingga kerajaan terbut diberi nama Kerajaan Binamu.

Kerajaan Binamu diperkirakan berdiri sejak abad XV dan baru resmi menjadi sebuah kerajaan Islam pada tahun 1604 dengan raja pertmanya bernama I Gaukan Daeng Riolo (Muhammad Nur, et al 2008:16). Daerah-daerah di Sulawesi Selatan yang dianggap cikal bakal pemersatu kerajaan adalah Tomanurung Di Binamu juga di kenal dengan Tomanurung Ri Mairo yang berhasil mempersatukan antara Toddo Lettu, Toddo Layu, Toddo Batjala, Toddo Bangkala Loe, Karaeng Bulumbungan, Karaeng Bontoramba, Karaeng Bonto Tangnga, Karaeng Paitana dan Gelarang Balang dalam suatu kesatuan yang kemudian dikenal dengan Kerajaan Binamu.

Sebelum diangkat I Gaukang Riolo, masa pemerintahan To manurung yang tidak di ketahui namanya dan tidak diketahui secara pasti kapan berakhir kekuasaannya. Dari To manurung ini melahirkan tiga orang anak laki-laki, salah satunya menggantikan To manurung sebagai raja dan anak yang lainnya tersebar dan bertempat tinggal di wilayah Manjang Loe’ dan Lebangloe dekat Balang.

Raja tersebut bernama Punta ri Bungko yang diperkirakan bergelar I Gaukang Daeng Riolo.

Jamaluddin (1990:21) dan Rosmawati (2013:200) Yang dikutip dari Abdul Muttalib (1984:12) menuliskan raja-raja yang pernah dilantik pada Kerajaan Binamu yang dimulai abad XVII M sampai abad XVIII M berikut ini; Tu’

Manurung ri Binamu raja pertama, Putra ri Bungko raja kedua, I Daeng Binamu raja ketiga, I Tinggi Daeng Mattayang raja keempat, I Patima Daeng Ti’no raja kelima, I Mattewakkang Daeng Junggo I langa ri Tinggimae’ raja keenam, Sanri

(37)

20 Daeng Nyikko Ilanga ri Alluka raja ketujuh, I Palangkei Daeng Lagu ri Maero raja kedelapan, I Lompo Daeng Raja I Langa ri Gunung Sitoli Pulau Nias (Andalas) raja kesembilan, Maggan Daeng Sunggu Ilanga ri Binamu raja kesepuluh dan Mattewakkang Daeng Raja raja kesebelas.

2.5.2. Kerajaan Lamuru

Sebelum kita membicarakan tentang sejarah situs Lamuru, terlebih dahulu kita telusuri arti dan asal usul nama Lamuru. Nama Lamuru menurut cerita yang berkembang ditengah masyarakat terdiri dari dua versi. Versi pertama menyebutkan bahwa nama tersebut di ambil dari nama orang yakni La Muru.

Menurut cerita, La Muru terkenal sebagai orang yang ahli dalam berburu. Suatu ketika diadakan perburuan, tiba-tiba La Muru menghilang bersama anjingnya.

Setelah dicari kesana kemari maka anjingnya La Muru ditemukan menghadap pada sebuah lubang dan anjing tersebut terus menggonggong. La Muru ketika itu sudah tidak ada sehingga oleh masyarakat mengganggap telah hilang tempat dimana anjing tersebut ditemukan. Tempat menghilangnya La Muru ini diberi tanda berupa pagar batu dan mulai pada saat itulah sehingga dinamakan Lamuru.

Versi kedua berdasarkan etimologi yaitu perkembangan dari bahasa bugis menyebutkan bahwa kata “Naurun” berarti dilingkungi atau dikepung. Pengertian yang dilingkupi atau dikepung bukanlah pengertian yang bersifat konkrit, tetapi hanya bersifat abstrak, yaitu tidak dalam pengertian geografis tetapi lebih bersifat histori dan kekeluargaan (Muttalib, 1978 : 5).

Daerah-daerah yang dianggap melingkupi serta mempunyai hubungan histori dan kekeluargaan dengan Lamuru, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Gowa,

(38)

21 Luwu, Sawitto, Tanete, dan Sidenreng. Hal ini tercermin dalam ungkapan Naurungi Tellu Bocco, Dua Cempakala dan LIMA Riaja Tappareng (ibid).

Dari kata Naurungi ini kemudian banyak mengalami evolusi dalam pengucapan sehingga menjadi Lamuru. Terbentuknya Kerajaan Lamuru diperkirakan pada sekitar tahun 1300 atau pada abad XIV M. Kepercayaan ini didukung dengan adanya kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Lamuru bahwa Kerajaan Lamuru mulai terbentuk dengan adanya Tomanurung di Soloreng yang bergelar Petta Pitue Matanna (yang mulia bermata tujuh) ( Muttalib, 1978 : 6 ).

Pada masa pemerintahan Petta Pitue Matanna, kerajaan Lamuru merupakan federasi dari tiga kedatuan yaitu Lompo, Baringen dan Kajuara. Tiap- tiap kedatuan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Datu, sedangkan Petta Pitue Matanna Manurungge ri Soloreng sebagai pimpinan tertinggi. Setelah kepimpinan Petta Pitue Matanna, sistem kedatuan yang berlaku pada ketiga daerah tersebut dihapuskan sehingga hanya berpusat pada Addatuang Lamuru (Muttalib, 1978 : 15 ).

Pejabat di bawah Datu yakni Pabbicara yang bertugas sebagai menteri penerangan (istilah sekarang) membicarakan segala permasalahan kerajaan.

Pabbicara di kerajaan Lamuru terdiri dari dua orang yakni Pabbicara Mutiara dan Pabbicara Lita. Dibawah pabbicara ada dengan nama pangepa yang bertugas untuk menyiapkan akomodasi untuk keperluan raja dalam menjalankan pemerintahan. Jabatan pangepa ada empat orang yang bersal dari Kessi, Timpa, Laturuwe, dan Masseppae. Dibawah pangepa terdapat jabatan yang disebut matoa yang terdiri atas Matowa Lompo dan Matowa Baringen. Pejabat-pejabat inilah

(39)

22 yang tergolong Ade’na Lamuru yang berhak membicarakan dan menentukan segala sesuatu termasuk dalam pengankatan Datu Lamuru (Muttalib, 1978 : 16).

Sesudah pejabat anggota adat tersebut masih ada jabatan pada struktur di bawah yakni Woidang (Wedang) yang berfungsi sebagai ketua-ketua kelompok rakyat. Setelah masuknya agama islam sekitar abad XVII di Lamuru maka bertambah satu jabatan yang khusus memperhatikan masalah keagamaan yang disebut Kadhi (Katte).

Eksistensi Kerajaan Lamuru tetap terpelihara dengan baik hingga abad XVI. Tetapi setelah itu Kerajaan Lamuru tidak dapat melepaskan diri dari gejolak politik yang timbul karena letaknya yang strategis, adanya keterkaitan sejarah dan hubungan kekeluargaan dengan kerajaan besar disekitarnya seperti Bone, Soppeng, Wajo, dan Gowa. Beberpa kerajaan yang pernah menguasai Lamuru baik oleh adanya keinginan Datu Lamuru maupun oleh akibat kekalahan perang Kerajaan Wajo, Gowa, Soppeng, dan Bone.

Kerajaan Wajo mendapatkan Lamuru dari kerajaan Gowa karena Wajo telah berhasil membantu Gowa dalam perluasan hegemoni di Sulawesi Selatan.

Dalam perluasan kekeusaan itu Wajo dibawah pemerintahan Arung Matowa Wajo yang bernama Lamungkace Toaddamang sedangkan Raja Gowa bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng sebagai Raja Gowa X yang memerintah sekitar tahun 1547 sampai 1565 M. Akan tetapi perang berikutnya Gowa dibawah kepemimpinan Raja XI yaitu I Tajibarani Karaeng Data pada tahun 1565, Gowa mengalami kekalahan. Kekalahan Gowa atas Bone dalam perang tersebut menyebabkan Bone dalam perang tersebut berhasil merebut kembali beberapa wilayahnya yang dikuasai oleh Gowa diantaranya Lamuru.

(40)

23 Akibat kekalahan tersebut hubungan antara Bone dengan Gowa sangat genting.

Situasi ini mulai terkendali setelah terjadinya perjanjian Caleppa yang menjadikan Sungai Tangka di Sinjai sebagai demarkasi (batas) antara Bone dan Gowa.

Mengingat orang Gowa sering melanggar perjanjian perdamain yang telah disepakati, maka kerajaan-kerajaan bugis yang selalu merasakan pahitnya serbuan Gowa sepakat pula untuk menghimpun kekuatan bersama. Tiga kerajaan bugis yaitu Wajo, Bone, dan Soppeng melakukan perjanjian yang terkenal dengan nama Tellupoccoe atau Lamumpatue ritimurung. Isi dari perjanjian tersebut pada prinsipnya ketiga kerajaan bugis ini sepakat untuk bersaudara. Apabila ada kerajaan yang diserang, maka kerajaan lainnya dalam persekutuan itu wajib untuk menolong. Karena ketiga kerajaan itu sepakat untuk bersaudara, maka wilayah kekusaaannya ditambah. Kerajaan besar Wajo dan Bone menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Soppeng. Bone menyerahkan Lamuru karena secara geografis keduanya memang berdekatan sedangkan Wajo menyerahkan Tanah Tetangga (Hadimulyo dalam Ernawati, 1999 : 28).

Pada tahun 1710 terjadi peristiwa yang menegangkan antara Soppeng dan Lamuru. Peristiwa ini memunculkan ketidakpercayaan Lamuru terhadap Soppeng.

Ketika itu Raja Soppeng Lapadang Sejati mencekik leher Raja Lamuru La Cella Mata hingga wafat. Dibawah pimpinan Dewan Ade Pitunna Lamuru menghadap kepada Raja Bone untuk meminta agar Lamuru kembali menjadi wilayah Bone Pertimbangan Raja Bone untuk menerima kembali Lamuru yakni menjaga keharmonisan yang sudah terbina sejak perjanjian Tellupocce serta untuk mencegah Lamuru meminta perlindungan kepada Gowa. Karena kalau hal tersebut terjadi, maka sangat memungkinkan terjadinya instabilitas (ketidak

(41)

24 stabilan) politik dalam kerajaan Bone khususnya dalam wilayah Tellupoccoe pada umumnya (Muttalib, 1978).

Begitulah seterusnya hingga saat ini Lamuru secara adminisrtatif tetap menjadi wilayah Kabupaten Bone. Namun apabila ditelusuri sistem jabatan yang berlaku di Kerajaan Lamuru justru mengikuti pola jabatan yang berlaku di Soppeng yakni jabatan tertinggi bergelar datu. Di bawah datu ada Pabbicara dan Pangepa. Jabatan-jabatan ini juga ditemui di Kerajaan Soppeng (Muttalib, 1978).

(42)

25 BAB III

GAMBARAN UMUM SITUS PENELITIAN

3.1. Makam Raja-Raja Binamu 3.1.1. Letak dan Kondisi Geografis

Kabupaten Jeneponto adalah salah satu daerah tingkat II yang ada di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 749,79 km 2. Kabupaten ini terletak ± 90 km di sebelah kota Makassar ibukota Sulawesi Selatan. Secara astronomis Kabupaten Jeneponto terletak dititik 5˚23'12" - 5˚42'1,2" LS dan 119˚29'12" - 199˚56'44,9" BT. Sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Gowa, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng.

Pembagian wilayah di Kabupaten Jeneponto terbagi atas 11 kecamatan (Permendagri No. 66 Tahun 2011) yaitu Kecamatan Arungkeke, Taroang, Turatea, Bangkala, Bangkala Barat, Batang, Binamu, Bontoramba, Kelara, Rumbia, dan Tamalatea (Anonim: 2014).

Kondisi topografi wilayah Kabupaten Jeneponto pada umumnya memiliki permukaan yang sifatnya bervariasi yaitu dataran rendah dan daratan tinggi, ini dapat dilihat pada bagian Utara terdiri dari daratan tinggi dan bukit-bukit yang membentang dari Barat ke Timur dengan ketinggian 500 sampai 1.400 mdpl.

Daratan rendah berada di wilayah bagian selatan memanjang dari Barat ke Timur tepatnya di daerah pesisir, sementara daratan tingginya terdapat di bagian Utara yang mengarah ke daerah perbatasan Kabupaten Gowa termasuk daerah sekitar Gunung Lompobattang, jenis tanah yang ditemukan adalah jenis tanah alluvial, gromosol, lotosal, mediteren, andesit dan regional. Kondisi tanah kebanyakan

(43)

26 dipengaruhi oleh air laut. Selain air laut, terdapat juga beberapa sungai besar yang mempengaruhi kondisi tanah, diantaranya Sungai Kelara, Sungai Ti’no dan Sungai Allu.

Gambar 2. Peta Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan

Keadaan iklim Kabupaten Jeneponto beriklim tropis dengan musim kering yang sangat penjangf menyebabkan daerah ini sebagian wilayahnya sangat kering dan tandus. Hujan mulai turun sekitar akhir Desember sampai Maret dengan curah hujan berkisar antara 750-800 mm tiap tahunnya menyebabkan musim penghujannya terlalu singkat. Suhu udara berkisar antara 30-36 pada siang hari dan 25-28 pada malam hari sehingga menyebabkan wilayah ini dikenal sebagai wilayah yang sangat panas dan tandus di provinsi Sulawesi Selatan.

(44)

27 3.1.2. Kompleks Makam Raja-Raja Binamu

Situs makam raja-raja Binamu terletak di Kelurahan Bontoramba Kecamatan Tamalate Kabupaten Jeneponto. Terletak pada titik koordinat S05˚36'00.2", T119˚41'31.1", dengan ketinggian 38 meter dpl. Situs tersebut dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dan dua karena terletak di pinggir jalan.

Situs ini terletak di atas tanah yang berbukit dan di kelilingi dengan tanah datar.

Di sekitar situs terdapat bentang lahan berupa tanah dataran rendah dan tinggi.

Dataran rendah terdapat pada arah selatan terbentang dari timur ke barat, sedangkan dataran tinggi terletak di bagian utara yang sudah termasuk kaki Gunung lompo Battang. Pada arah selatan terdapat Sungai Kelara, Sungai Ti’no dan Sungai allu. Di sekitar situs terdapat banyak rumah, kebun, dan persawahan masyarakat setempat.

Makam ini merupakan situs pemakaman yang luasnya sekitar 23.127 meter persegi, di dalamnya terdapat 1104 buah makam yang sudah dipugar oleh Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Jirat makam diklasifikasi atas tiga, yaitu ukuran besar sebanyak 24 buah, ukuran sedang sebanyak 398 buah, dan ukuran kecil sebanyak 682 buah. Dikategorikan makam besar yaitu jirat makam berukuran tinggi lebih dari 170 cm, kategori sedang dengan ukuran tinggi antara 80-170 cm, dan kategori kecil dengan ukuran tinggi kurang dari 80 cm. Secara keseluruhan jumlah nisan yang terdapat pada kompleks makam ini sebanyak 297 buah yang terdiri dari 6 tipe nisan, yaitu : tipe pipih sebanyak 107 buah, tipe nisan balok sebanyak 179 buah, tipe nisan patung sebanyak 4 buah, phallus sebanyak 5 buah, dan menhir sebanyak 4 buah. Banyak makam yang ditemukan sudah tidak

(45)

28 memiliki nisan, disebabkan karena sudah rusak, hilang atau memang tidak menggunakan nisan.

Foto 1. Makam raja-raja binamu Dok. Ika Andira, 2018

Salah satu bagian dari makam di situs ini yang sangat bervariasi bentuknya, adalah pada bagian gunungan yang letaknya pada sisi utara dan selatan. Gunungan yang terdapat pada makam tipe teras berundak pada umumnya menyerupai bentuk limas, ada yang agak mendatar dan ada yang meruncing ke atas, pada pinggiran terdapat beberapa lekukan, tangkai atau tanduk untuk memperindah gunungan tersebut. Pada gunungan tersebut terdapat berbagai motif hias dan aksara arab ataupun lontara. Pada makam tipe balok dan peti batu, bentuk gunungan pada umumnya berbentuk limas, persegi atau balok dan tanpa hiasan yang menyatu dengan bagian jirat.

Makam-makam yang terdapat pada kompleks makam ini , sangat kaya dengan berbagai motif ragam hias, terutama motif suluran daun, bunga, dan geometri. Selain itu terdapat pula motif hiasan gambar manusia, kuda, macan, ular naga, ayam, burung, kaligrafi, dan aksara Makassar.

(46)

29 3.1.3. Sampel Makam Raja-Raja Binamu

a. Makam 1

Foto 2. Makam 1 Dok. Ika Andira, 2018

Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 236 cm, lebar 147 cm, dan tinggi 165 cm. Makam ini tipe teras berundak dengan dua undakan.

Pada undakan pertama berukuran panjang 206 cm, lebar 102 cm, dan tinggi 20 cm dan undakan kedua berukuran panjang 180 cm, lebar 69 cm, dan tinggi 20cm.

Makam ini memiliki ragam hias suluran menyilang serta terdapat tulisan lontara pada pelipit undakan kedua di sisi utara dan selatan. Makam ini memiliki satu nisan yang berbentuk balok (mahkota). Terdiri dari dua gunungan yang memiliki ragam hias bunga kamboja. Gunungan pada makam ini berbentuk segitiga dengan sudutnya bergelombang dan menjulang ke atas.

b. Makam 2

Foto 3. Makam 2 Dok. Ika Andira, 2018

(47)

30 Makam ini memiliki berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 230 cm, lebar 145 cm, dan tinggi 109 cm. Makam ini tipe teras berundak dengan dua undakan, pada undakan pertama terdapat ragam hias sulur-suluran daun dan bunga melati sedangkan pada undakan kedua terdapat ragam hias suluran menyilang.

Serta terdapat tulisan lontara pada pelipit sisi barat. Makam ini memiliki satu nisan yang berbentuk balok. Terdiri dari dua gunungan yang berbentuk segitiga dengan motif fauna imajinatif.

c. Makam 3

Foto 4. Makam 3 Dok. Ika Andira, 2018

Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 327 cm, lebar 182 cm, dan tinggi 306 cm dan arah hadap utara selatan. Makam ini tipe teras berundak dengan dua undakan. Pada undakan pertama terdapat motif suluran daun dalam bingkai Pada undakan kedua terdapat motif suluran bentuk pilin dan siku- siku di setiap sisinya dan terdapat gambar ayam, prajurit, dan orang yang berkuda pada sudut undakan. Pada bagian jirat makam terdapat motif suluran daun dan bunga serta gambar anjing dan prajurit disudutnya, sedangkan pada plipit jirat bermotif geometris. Gunungan pada makam ini berbentuk segitiga dan sudutnya terdapat gambar harimau, bagian luar terdapat motif suluran daun dan bunga serta

(48)

31 pada puncak gunungan terdapat motif bunga sedangkan pada bagian dalam sebelah selatan terdapat tulisan yang menggunakan kaligrafi arab dan sebelah utara terdapat tulisan menggunakan huruf lontara. Terdapat sebuah batu nisan dengan tipe arca manusia. Nisan Arca manusia ini berjenis kelamin laki- laki memakai songko yang sedang duduk di atas kursi. Terdapat ragam hias berupa geometris dan suluran daun dan bunga pada kursi arca ini. Nisan Arca ini ukurannya tidak proporsional.

d. Makam 4

Foto 5. Makam 4 Dok. Ika Andira, 2018

Makam sampel ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 244 cm, lebar 145 cm, dan tinggi 177 cm dan arah hadap utara selatan. Makam ini tipe teras berundak dengan 2 undakan. Pada undakan pertama terdapat ragam hias suluran daun sedangkan pada undakan kedua juga terdapat ragam hias suluran daun. Pada bagian utara selatan makam terdapat motif suluran daun dan bunga serta tulisan lontara. Sedangkan pada bagian timur barat makam terdapat motif belah ketupat, suluran bunga, serta motif pengawal dan orang yang sedang berkuda. Gunungan pada makam ini berbentuk segitiga dengan sudutnya berbentuk gelombang dengan motif suluran daun serta pada puncak gunungan

(49)

32 terdapat motif bunga. Terdapat sebuah batu nisan dengan tipe balok. Pada bagian dasar nisan berbentuk kelopak bunga berjumlah 8, bagian badan tidak terdapat motif, dan pada bagian kepala nisan berbentuk kelopak bunga serta pada bagian puncak berbentuk cungkup bunga.

e. Makam 5

Foto 6. Makam 5 Dok. Ika Andira, 2018

Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 241 cm, lebar 146 cm, dan tinggi 189 cm. Makam ini tipe makam monolit (terbuat dari satu batu utuh) bertingkat dengan dua tingkatan. Pada panel batu pertama terdapat ragam hias motif kembang melati dan pakis di semua sisi. Sedangkan pada panel batu kedua terdapat ragam hias kembang melati susun belah ketupat yang mengelilingi semua sisi. Pada panel batu pertama dan kedua di antarai pelipit dengan motif pilin. Gunungan pada makam tersebut berbentuk segitiga bergelombang dengan motif suluran daun yang menjulang keatas. Terdapat satu buah nisan pada makam ini dengan tipe nisan silindrik. Nisan pada makam ini memiliki ragam hias dengan motif kalajengking.

(50)

33 f. Makam 6

Foto 7. Makam 6 Dok. Ika Andira, 2018

Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 134 cm, lebar 67 cm, dan tinggi 94 cm. Makam ini tipe teras berundak dengan dua undakan. Pada undakan pertama terdapat ragam hias dengan motif bunga teratai dalam bingkai belah ketupat sedangkan pada undakan kedua juga terdapat ragam hias dengan motif suluran daun yang di antarai oleh pelipit dengan motif segitiga. Terdapat satu buah nisan pada makam ini dengan tipe nisan balok. Pada makam ini memiliki dua gunungan namun yang terlihat cuma satu yakni di sebelah selatan. Gunungan tersebut memiliki ragam hias dengan motif pohon hayat.

g. Makam 7

Foto 8. Makam 7 Dok. Ika Andira, 2018

(51)

34 Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran pangjang 278 cm, lebar 164 cm, dan tinggi 148 cm. Makam ini tipe teras berundak dengan dua undakan. Pada undakan pertama terdapat ragam hias dengan motif tumbuhan menjalar sedangkan pada undakan kedua juga terdapat ragam hias dengan motif bingkai. Pada pelipit undakan petama terdapat tulisan lontara. Makam ini memiliki dua buah nisan dengan tipe pedang. Nisan ini memiliki ragam hias dengan motif suluran daun. Terdapat dua gunungan pada makam ini. Gunungan pada makam ini merupakan gunungan dengan tipe bertanduk atau bertangkai.

h. Makam 8

Foto 9. Makam 8 Dok. Ika Andira, 2018

Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 245 cm, lebar 159 cm, dan tinggi 122 cm. Makam ini tipe teras berundak dua dengan dua undakan. Pada undakan pertama terdapat ragam hias dengan motif suluran daun dan di sudut undakan ini terdapat motif medallion yang didalamnya terdapat bunga teratai dengan enam kelopak, sedangkan pada undakan kedua terdapat ragam hias dengan motif sulur daun bintang ular. Makam ini memiliki satu buah nisan dengan tipe silindrik. Gunungan pada makam ini berbentuk segitiga dengan motif sulur daun.

(52)

35 i. Makam 9

Foto 10. Makam 9 Dok. Ika Andira, 2018

Makam ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 233 cm, lebar 163 cm, dan tinggi 156 cm. Makam ini tipe teras berundak dengan dua undakan. Pada undakan pertama terdapat ragam hias dengan motif suluran daun serta terdapat medallion di setiap sudutnya sedangkan pada undakan kedua terdapat ragam hias dengan motif daun bertanduk. Makam ini memiliki satu buah nisan dengan tipe balok. Terdapat dua gunungan pada makam ini yang berbentuk segitiga dengan motif sulur daun.

3.2. Makam Raja-Raja Lamuru 3.2.1. Letak dan Kondisi Geografis

Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pesisir Timur Provinsi Sulawesi Selatan dan berjarak sekitar 174 km dari kota Makassar.

Luas wilayahnya sekitar 4.559 km2 atau 9.78 persen dari luas provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah yang besar ini terbagi menjadi 27 kecamatan dan 372 desa/kelurahan. Ibu kota kabupaten bone adalah Watampone.

Secara geografis Kabupaten Bone berbatasan dengan wilayah-wilayah berikut :

(53)

36 Utara : Kabupaten Wajo dan Soppeng

Timur : Teluk Bone

Selatan : Kabupaten Sinjai dan Gowa Barat : Kabupaten Maros, Pangkep, Barru.

Secara astronomis Kabupaten Bone terletak pada posisi 4˚13’ - 5˚6’

Lintang Selatan dan antara 119˚42” - 120˚30’ Bujur Timur. Letaknya yang dekat dengan garis khatulistiwa menjadikan kabupaten Bone beriklim tropis. Sepanjang tahun 2014, kelembaban udara berkisar antara 77-86 persen dengan suhu udara 24,4˚C-27.6˚C.

Peta 3. Peta Kabupaten Bone

Referensi

Dokumen terkait

Dari sudut pandang teknologi batas sistem pakar yang jelas yaitu pertama masalah representasi pengetahuan (bagaimana pengetahuan tentang domain kerja dapat

Untuk menjelaskan makna ornamen yang terdapat di makam Putroe Nahrisyah, peneliti menggunakan analisis dari segi semiotika.Semiotika adalah salah satu cabang ilmu

“pale” serta terlihat kata foodcourt disingkatkan menjadi fc. Berdasarkan penjelasan di atas, bentuk variasi-variasi yang muncul menimbulkan fenomena yang lazim bagi

KPP Pratama Makassar Utara merupakan salah satu KPP Pratama yang berada dibawah koordinasi Kantor Wilayah DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara. Wilayah

25 Destinasi wisata yang dimaksud adalah Permandian Alam Ompo yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah Kabupaten Soppeng dan Permandian Alam Citta yang

Mampu menjelaskan dan melakukan analisisi perkembangan cultural studies (From British Cultural Studies to International Cultural Studies) :, (a) Birmingham Centre for

Fenomena di atas menunjukkan bahwa sebagian besar komunitas ikan yang berada pada ekosistem padang lamun tidak secara langsung menjadikan lamun sebagai makanannya

berbagai publikasi Candi Barabudur ini dihiasi menghadap ke arah timur ditandai oleh sikap dengan karya-karya seni rupa yang berupa arca- tangan bhūmisparśamudrā, dan