• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SUANOVIL TERHADAP KENAIKAN BOBOT BADAN AYAM PEDAGING YANG TERSERANG CHRONIC RESPIRATORY DISEASE (CRD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH SUANOVIL TERHADAP KENAIKAN BOBOT BADAN AYAM PEDAGING YANG TERSERANG CHRONIC RESPIRATORY DISEASE (CRD)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Up to now CRD has been causing problems to poultry farmers. The economic loss of this disease is not mainly due to the number of dead birds, but due to decrease in production such as dropped in egg production in layers or decreased weight gain in broilers. Until now there hag been no report about the economic losses due to CRD in Indonesia. In an experimental trial done in Balitvet, chickens which have been infected withalocal strain of Mycoplasma gallisepticum through the intra-thoracic air sacs showed a decrease in body weight gain of 62.1 g per bird in 3 weeks, but with Suanovil treatment an improving body weight gain up to 75.5 g per bird was shown.

Chronic respiratory disease (CRD) sampai saat ini diketabui masih banyak merugikan peternak unggas. Kerugian yang disebabkan oleh penyakit ini bukan banyaknya kematian tetapi turunnya produksi, baik produksi telur pada petelur maupun bobot badan pads syam potong. Sampai saat ini, belum ads estimasi tentang berapa kerugian yang disebabkan oleh CRD di Indonesia. Dalam percobaan di labora- torium Balitvet, ayam yang diinokulasi dengan galur Mycoplasma gallisepticum melalui 'kantung udara rongga perut menyebabkan hambatan kenaikan bobot badan sebesar 62,1 gr per ekor dalam waktu 3 minggu, tetapi dengan pengobatan Suanovil kenaikan bobot badan dapat diperbaiki sampai 75,5 gr per ekor.

Chronic respiratory disease (CRD) adalah penyakit pada alat pernafasan unggas yang banyak merugikan peternak, baik peternak ayam pedaging maupun pe- telur (Jordan, 1979; Yoder, 1984). Di Amerika (Car- penter et al., 1979; Bickford, 1986) dan di Australia (Gilchrist, disitir oleh Grimes, 1979) kerugian akibat CRD mencapai jutaan dollar per tahun. Di Indonesia kerugian tersebut sepanjang pengetahuan penulis, be- lum pernah dilaporkan . Penyebab utama CRD ada- lah Mycoplasma gallisepticum (MG).

Di Indonesia, penyakit CRD telah dilaporkan oleh Ronohardjo (1974), Sri Poernomo dan Rahadjeng (1974), Sri Poernomo dkk. (1986) dan Soeripto (1987) dengan menggunakan uji aglutinasi. Ronohardjo (1974) juga melaporkan bahwa 80-92% ayam buras di daerah Bogor adalah reaktor terhadap MG.

MG diketahui sensitif terhadap beberapa makro- lid antibiotika dan antibiotika. Oleh karena itu, peng- obatan CRD banyak dilakukan dengan menggunakan makrolid antibiotika, seperti spiramisin, tilosin, kita- samisin, eritromisin dan dengan antibiotika, seperti tiamulin, linkomisin and spektinomisin (Whithear et al., 1983; Jordan and Knight, 1984). Keefektifan

PENGARUH SUANOVIL TERHADAP KENAIKAN BOBOT BADAN AYAM PEDAGING YANG TERSERANG CHRONIC RESPIRATORY

DISEASE (CRD)

PENDAHULUAN

SOERIPTO

Balm Penelitlan Veteriner, Bogor (Diterima untuk publikasi 30 Desember 1989)

ABSTRACT

ABSTRAK

spiramisin untuk pengobatan CRD pads kalkun yang diperbandingkan dengan penggunaan eritromisin se- cara in-vitro dan in-vivo telah dilaporkan oleh Inglis dan Cook (1964). Mereka menunjukkan bahwa spi- ramisin lebih baik daripada eritromisin. Data lain me- ngenai spiramisin menunjukkan bahwa aktivitas spi- ramisin akan mencapai konsentrasi maksimum pads jaringan tubuh hewan dalam waktu 6 hari setelah pengobatan (Genin, 1983) dan setelah mencapai ja- ringan sitoplasma bakteri aktivitasnya akan mantap (Videau, 1978).

Penggunaan Suanovil untuk pengobatan CRD te- lah dipakai secara luas di Indonesia. Meskipun demi- kian, penelitian tentang keefektifan spiramisin yang dihubungkan dengan kenaikan bobot badan ayam, se- pengetahuan penulis belum pernah dilaporkan.

Isolat MG

BAHAN DAN CARA

Galur MG 111/74 yang diisolasi dari sinus rongga hidung ayam ras petelur (Soeripto - tidak dipublikasi- kan) digunakan untuk percobaan ini.

(2)

Makrolid antibiotika

Suanovil (mengandung bahan aktif spiramisin) di- berikan selama 3 hari berturut-turut dengan dosis 2 gr per liter.

Ayam

Ayam pedaging jenis Hybro umur 1 hari sebanyak 24 ekor digunakan untuk percobaan ini.

Pakan

Ayam pedaging diberi pakan starter 211 sampai umur 3 minggu, kemudian diberi finisher 212 sebanyak 400 gr sampai umur 4 minggu dan setelah itu 800 gr sampai umur 6 minggu .

Timbangan

Timbangan laboratorium merek Sartorius diguna- kan untuk menimbang ayam umur 3 dan 4 minggu dan timbangan kasar merek Krups digunakan setelah umur 4 minggu.

Medium mikoplasma

Medium mikoplasma yang digunakan adalah me- dium yang diformulasikan oleh .Frey et al. (1968). Me- dium cair terdiri dari kaldu basa mikoplasma (Gibco), sistein HCl (BDH), talium asetat (BDH), merah fe-

nol (Chroma) dan air suling ganda (pH 7,8). Medium tersebut disterilkan pada suhu 121'C selama 15 me- nit, kemudian didinginkan pada suhu kamar un- tuk medium cair, sedangkan untuk medium padat pada suhu 50°C. Setelah itp, medium ditambah de- ngan medium penyubur yang terdiri dari serum kuda (diinaktifkan pada suhu 56°C selama 30 menit), eks- trak ragi (Difco), DNA (Koch-Light), glukosa (May dan Baker) dan amoksisillin (Beecham P.I.). Medium padat komposisinya hampir sama dengan medium cair kecuali glukosa dan merah fenol tidak dimasukkan . Agar yang dipakai adalah Noble agar buatan Difco.

Untuk mencegah adanya kontaminasi cendawan, medium padat diberi aktidion (Up-John).

Uji serologi

Uji serum aglutinasi cepat (SAC) digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi MG. Antigen berwarna S6 galur MG buatan Balitvet digunakan dalam peng ujian ini. Selama tidak digunakan, antigen disimpan di dalam almari es dan jika akan digunakan antigen diletakkan dahulu pada temperatur kamar selama 30

Penyakit Hewan Vol. XXINo. 38, Semester II Th. 1989

menit. Dua puluh lima mikroliter dari serum-serum yang akan diuji diteteskan pada lubang lempeng titer WHO (well of WHO titre tray), kemudian tiap lubang ditetesi dengan 25 mikroliter antigen MG berwarna.

Campuran tersebut kemudian digoyang dengan menggunakan aglutinator berputar selama 90 menit.

Aglutinasi dinilai dari 1 sampai 4 berdasarkan atas ukuran penggumpalan . Serum positif dan negatif se- lalu digunakan di dalam setiap pengujian untuk

kontrol .

Percobaan

Ayam pedaging umur 1 hari sebanyak 24 ekor di- masukkan ke dalam 1 kandang kawat yang diberi pe- manas dengan lampu pijar 60 watt selama 2 minggu.

Pada umur 4 hari, semua ayam diberi vaksin ND Pestos melalui tetes mata dan injeksi Imopest subkutan dengan dosis 0,2 ml per ekor di belakang tengkorak

kepala.

Untuk menghindari kontaminasi bakteri Gram ne- gatif, pada waktu umur 2 minggu semua ayam diberi Imequyl (Eurindo) dengan dosis 0,5 g/liter dalam air minum selama 3 hari. Setelah diberi pengobatan ke- mudian ayam-ayam tersebut dibagi menjadi 3 grup

@a 8 ekor. Tiap grup ayam dimasukkan ke dalam kan- dang kawat yang berukuran 85 cm x 60 cm. Pada umur 3 minggu, tiap ekor pada Grup I dan II diinokulasi dengan biakan MG III/74 sebanyak 1 ml yang me- ngandung kuman MG sebanyak 108 cfu ke dalam kantung udara rongga dada. Ayam pada Grup III yang tidak diinokulasi digunakan sebagai kontrol negatif.

Sebelum diinokulasi dan 3 minggu setelah diinokulasi, tiap ekor ayam diambil darahnya untuk diperiksa antibodinya terhadap MG. Mulai minggu ke-3, kon- versi pakan dihitung tiap hari dan bobot badannya di- timbang setiap minggu . Tanda-tanda klinis mulai di- amati dari awal inokulasi sampai berakhirnya per- cobaan. Jumlah ayam yang mati sebagai akibat infeksi MG dicatat.

Pada umur 4 minggu (seminggu setelah diinoku- lasi), ayam dari Grup II diberi pengobatan Suanovil sesuai dengan dosis dan lama pemberian obat yang te lah ditentukan, yaitu 2 gr per liter air minum selama 3 hari berturut-turut, sedangkan ayam-ayam pada Grup I dan III tidak diberi pengobatan.

Dua minggu setelah pengobatan, semua ayam pada Grup I, II dan III ditimbang bobot badannya, diambil darahnya, kemudian dibunuh. Semua percobaan di lakukan di dalam ruang udara yang bertekanan negatif.

103

(3)

Pada Tabel 1 dapat dilihat bobot badan ayam rata- rata pada Grup 1, II, 111 pada waktu umur 3 minggu sebelum diinokulasi. Pada tabel ini terlihat bobot rata rata tertinggi pada Grup III, sedangkan Grup I dan 11 memiliki bobot badan rata-rata yang hampir sama.

Diagram pada Gambar 1 memperlihatkan kenaik- an bobot badan ayam rata-rata per minggu setelah inokulasi. Satu minggu setelah inokulasi, kenaikan bobot badan ayam rata-rata pada Grup 1, II dan III tidak jauh berbeda. Pada waktu 2 minggu setelah ino- kulasi atau satu minggu setelah pemberian Suanovil, terlihat bahwa kenaikan bobot badan ayam rata-rata pada Grup II lebih rendah jika dibandingkan dengan kenaikan bobot badan rata-rata pada Grup I dan III.

Tabel 1. Bobot badan ayam pada umur 3 minggu/gram sebelum di inokulasi pada Grup I, 11 dan III .

455,1 417,0 462,4 514,7 414,3 462,4 472,9 455,8 3.654,6 456,8

600 500

300 200 100

Gram

Minggu 1 Minggu 2

=Grup I I : Diinokulasi - tanpa pengobatan II : Diinokulasi - diberi spiramisin III : Grup kontrol

SOERIPTO :Pengaruh Suanovit terhadap Kenaikan Bobot Badan Ayam Pedaging

HASIL

Grup II Grup III

Gamber 1. Diagram kenaikan bobot badan ayam rata-rata tiap minggu per gram

3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5

0 Minggu 1 Minggu 2

M

Grup I

I : Diinokulasi - tanpa pengobatan II : Diinokulasi - diberi spiramisin III : Grup kontrol

Grup II Grup III

Gambar 2. Diagram konversi pakan tiap minggu setelah pengobatan

Suatu hal yang menarik terlihat pada waktu 2 minggu setelah pemberian Suanovil. Pada minggu kedua ini kenaikan bobot badan ayam rata-rata yang diberi Suanovil jauh lebih baik dibandingkan dengan Grup I yang tidak diberi Suanovil. Selisih kenaikan bobot badan rata-rata antara ayam yang diberi dan yang tidak diberi Suanovil adalah sebesar 75,5 gram per ekor, sedangkan selisih kenaikan bobot badan antara ayam kontrol (Grup III) dan ayam yang diinfeksi pada Grup I adalah sebesar 63,1 gram per ekor.

Pada diagram Gambar 2 terlihat bahwa konversi pakan ayam yang diberi Suanovil (Grup II) pada minggu pertama setelah pengobatan tidak berbeda dengan konversi pakan pada Grup III dan hanya 0,1 gr/kg bobot badan lebih tinggi dibandingkan de- ngan Grup 1, tetapi pada minggu kedua setelah peng- obatan, konversi pakan ayam yang diberi Suanovil pada Grup 11 lebih baik daripada ayam yang tidak di- beri Suanovil pada Grup 1 .

Tabel 2 memperlihatkan bahwa 3 minggu setelah inokulasi, satu ekor ayam pada Grup I dan satu ekor ayam pada Grup II tidak memberikan respons anti bodi, sedangkan ayam-ayam yang lain pada Grup ter- sebut memberikan respons antibodi dari 2 + sampai 3 + . Ayam pada Grup III tidak memperlihatkan ada- nya antibodi MG .

DISKUSI DAN KESIMPULAN

Pada percobaan ini, pengelompokan ayam dilaku- kan secara acak untuk menghindari adanya bias ter- hadap salah satu perlakuan . Hal ini terlihat pada umur

No . 1

Grup II

1. 431,9 391,0

2 . 446,9 396,6

3. 443,8 445,9

4. 466,0 370,0

5. 402,3 511,7

6. 376,5 378,4

7. 368,1 424,3

8. 453,5 466,7

Jumlah 3.389,0 3.384,6

Rata-rata 423,6 423,1

(4)

Tabel 2. Uji serum aglutinasi cepat (SAC) 3 minggu setelah ino- kulasi pada Grup I, II dan III

I : Grup yang diinokulasi dengan galur MG III/74 tanpa peng- obatan

II : Grup yang diinokulasi dengan galur MG III/74 kemudian di- beri Suanovil

III : Grup yang tidak diinokulasi dan tanpa pengobatan

3 minggu sebelum inokulasi, bobot badan ayam rata- rata pada Grup I dan II lebih rendah dibandingkan dengan bobot badan ayam dari Grup III. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan jum- lah pakan yang dimakan, genetis individual atau per- bedaan lain yang belum diketahui (label 1).

Pada minggu pertama setelah inokulasi, kenaikan bobot badan ayam rata-rata pada Grup I, II dan III tidak banyak berbeda (Gambar 1). Pada minggu ke- dua setelah inokulasi atau seminggu setelah pengobat- an, kenaikan bobot badan ayam yang diberi Suanovil masih lebih rendah daripada Grup kontrol ataupun Grup yang tanpa pengobatan . Hal ini kemungkinan karena daya kerja bahanaktif spiramisin belum efek- tif. Penemuan ini sejalan dengan apa yang telah di- kemukakan oleh Genin (1983) bahwa konsentrasi mak- simum spiramisin di dalam jaringan tubuh hewan di- capai 6 hari setelah pemberian pengobatan. Keterang- an ini menunjukkanbahwa daya kerja spiramisin ter- lihat mulai efektif setelah hari ke-6 . Pada percobaan ini, daya kerja spiramisin juga terbukti mulai efektif terhadap kenaikan bobot badan setelah minggu per- tama . Pada minggu ke-2 setelah pengobatan, ayam pada Grup II menunjukkan kenaikan bobot badan yang lebih baik daripada Grup I ataupun Grup III (Gambar 1) . Kenaikan bobot badan erat sekali hu- bungannya dengan jumlah dan kualitas pakan yang dimakan. Pada percobaan ini jumlah pakan yang di- berikan terbatas, karena keterbatasan kandang kawat yang dimiliki. Kandang kawat yang digunakan dalam percobaan ini tidak sesuai untuk digunakan 8 ekor ayam sampai umur 6 minggu, sehingga tempat pakan

Penyakit Hewan Voi. XXI No. 38, Semester II Th. 1989

Grup III

yang digunakan juga disesuaikan dengan besarnya kandang. Seandainya pakan diberikan secaraad libi- tum, maka kemungkinan kenaikan bobot badan ayam akan terlihat lebih tinggi lagi.

Ayam pada Grup I yang memperlihatkan kenaik- an bobot badan lebih baik dari Grup II dan III pada waktu 2 minggu setelah inokulasi, kemungkinan ka- rena infeksi mikoplasma pada saat itu belum ber- pengaruh terhadap jaringan tubuh, sehingga kenaikan bobot badan ayam belum terganggu. Hal ini berten- tangan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya (Jordan, 1979; Naeem et al., 1980), yang memperli- hatkan bahwa infeksi mikoplasma dapat mengham- bat kenaikan bobot badan ayam seminggu setelah ino- kulasi. Tetapi, pada minggu ke-3 setelah inokulasi ter- lihat bahwa ayam yang terkena infeksi MG dan tidak diberi pengobatan memperlihatkan hambatan kenaik- an bobot badan.

Konversi pakan juga sejalan dengan bobot badan.

Pada minggu pertama setelah pengobatan, konversi pakan pada Grup I, II dan III tidak banyak berbeda.

Tetapi pada waktu 2 minggu setelah pemberian Sua- novil, konversi pakan Grup II dan III lebih baik dari- pada Grup I yang tidak diberi Suanovil (Gambar 2) . Hal ini kemungkinan karena membaiknya jaringan tu- buh yang terinfeksi oleh mikoplasma, sehingga kon- versi pakan juga membaik.

Tiga minggu setelah inokulasi, semua ayam pada Grup I dan II memperlihatkan respons antibodi ter- hadap MG, sedangkan ayam kontrol tidak menunjuk- kan adanya respons antibodi (label 2). Hal ini me- nunjukkan bahwa semua ayam yang diinokulasi de- ngan galur MG III/74 terkena infeksi mikoplasma, sedangkan ayam kontrol sampai umur 3 minggu tidak terkena infeksi MG. Pada pemeriksaan ini terlihat bahwa satu ekor ayam dari Grup I dan satu ekor dari Grup II tidak memperlihatkan respons antibodi. Fak- tor yang menyebabkan hal itu terjadi masih belum bisa diketahui . Hal yang serupa juga pernah diuraikan oleh Soeripto (1987) bahwa 2 dari 5 ekor ayam yang diino- kulasi dengan galur mutan MG 80083 ts-3 memper- lihatkan peradangan kantung udara yang berat, tetapi tidak memperlihatkan respons antibodi pada waktu 2 minggu setelah inokulasi.

Penulis menyadari bahwa percobaan pendahuluan ini menggunakan ayam percobaan dalam jumlah se- dikit dan masih belum menggunakan metode statistik untuk mencerminkan rumusan yang lebih baik. Oleh karena itu, percobaan lebih lanjut masih diperlukan . Sekalipun demikian, hasil percobaan ini dapat disim- pulkan bahwa infeksi MG pada ayam pedaging dapat 105

No. Grup I

SAC Grup II

1 . - -

2. 3+ 2+

3. 3+ 2+

4. 2+ 2+

5 . 3+ 3+

6. 2+ 2+

7. 2+ 3+

8. 2 3+

Rata-rata 2,4+ 2,4+

(5)

SOERIPTO :Pengaruh Suanovil terhadap Kenaikan Bobot Badan Ayam Pedaging

menyebabkan hambatan kenaikan bobot badan se- besar 63,1 gr per ekor ayam dalam waktu 3 minggu setelah infeksi. Hambatan kenaikan bobot badan ayam kemungkinan akan terjadi lebih besar lagi, jika infeksi mikoplasma terjadi di lapangan, karena ada- nya infeksi sekunder . Jika ayam-ayam yang terkena infeksi MG diberi pengobatan dengan Suanovil, maka akan terlihat perbaikan kenaikan bobot badan sebesar 75,5 gr per ekor ayam dalam waktu 2 minggu setelah pengobatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkanterima kasih kepada Dr. P.

Ronohardjo Kepala Balitvet yang telah memberikan saran dan komentar pada pengobaan ini . Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada sdr. M.B . Poerwa- dikarta dan Ny. Z. Layla, teknisi di Laboratorium Mikoplasma Balitvet yang telah membantu pelak- sanaan pengobaan ini dan khususnya kepada P.T.

Eurindo Combined Jakarta, yang telah bekerja sama demi terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

BICKFORD,A.A. 1986. Disease affecting reproducing/laying birds and reproductive performance. Proc. Aust. Vet. Assoc. 92:

759-776 .

CARPENTER, T.E .,K.F.MILLER,R.F.GENTRY,L.D.SCHWARTzand E.T.MALINSON . 1979. Control of Mycoplasma gallisepticum in commercial laying chickens using artificial exposure to Connec- ticut F strain Mycoplasma gallisepticum . Proc. Anim. Health Assoc. 83 : 364-370 .

FREY, M.C .,R.P.HANSONand D.P.ANDERSON .1968. A medium for the isolation of avian mycoplasma. Am. J. Vet. Res. 29:

2164-2171 .

GENIN,F. 1983. Etude de la pharmacocinetique de l'embonate de Spiramycin chez le port- Evolution des concentrations tissulaires de Spiramycin en fonction de la dose au tours d'un traitement . Note A.E.C. Ad. 82-13-Unpublished .

GRIMES,T.M. 1979. Major health problems facing the Australian poultry industry.Austr. Poultry Prod. Conf. Terrigal. Nov. pp.

118-134.

INGLIS, J.M. and J.K.A. COOK. 1964. Comparison of in-vitro and in-vivo activity of spiramycin and erythromycin against My- coplasma gallisepticum . J. Comp. Path. (74): 101-107.

JORDAN,F.T.W. 1979. Avian Mycoplasmas . In: The Mycoplasmas Il. Human and Animal Mycoplasmas . J.G. Tully and R.F.

Whitcomb ., (eds.) Acad. Press, New York, San Fransisco, London. pp. 1-48.

JORDAN,F.T.W. and D.KNIGHT. 1984. The minimum inhibitory concentration of kitasamycin, tylosin and tiamulin for Myco- plasma gallisepticum and their protective effect on infected

chicks. Avian Pathol. 13 : 151-162.

NAEEM, M.,M.A.MUNEER,M.Y.VAID,H.A.HASHMI,S.A. Risvi and M.A.CHAUDRY. 1980. Studies on the economical losses caused by Mycoplasma gallisepticum in Poultry. Pakistan J. Sci.

32: 47-49.

RONOHARDJO, P. 1974. Infeksi Mycoplasma gallisepticum pada ayam petelur dan ayam kampung yang dewasa. Bulletin LPPH 5: 42-46.

SOERIPTO,1987. Pathogenicity and Immunogenicity ofMycoplasma gallisepticum . PhD. Thesis, Melbourne University, Australia.

SRI POERNGMGdanRAHADJENG. 1974. Mycoplasmosis pada ayam di Indonesia . Agglutinasi cepat serum-serum ayam pembibit ter- hadap antigen berwarna Mycoplasma gallisepticum . Bulletin LPPH 11: 23-28.

SRI POERNOMO, SUPAR, R. NAPITUPULU, N. KURNIASIHdan S.

HARDJOUTOMO. 1986. Mycoplasmosis pada unggas di Indo- nesia. Uji lapangan pemakaian antigen berwarna Mycoplasma gallisepticum pada ayam ras petelur . Penyakit Hewan 31: 40-44.

VIDEAU,D. 1978. La Spiramycine : bacteriologie, pharmacologie, pharmacocinetique et distribution tissuelaire. Cah. Med. Vet.

47: 155-164 .

WHITHEAR, K.G ., D.D.BOWTEL, E.GHIOCASand K.L.HUGHES . 1983 . Evaluation and use of a microbroth dilution procedure for testing sensitivity of fermentative avian mycoplasmosis to antibiotics . Avian Dis. 27 : 937-949.

YODER, H.W. Jr. 1984. Mycoplasma gallisepticum infection. pp 202-211 . In: Diseases of Poultry . 8th ed. M.S. Hofstad, B.W.

Calnek, C.F. Helmboldt, W.N. Reid and H.W. Yoder Jr., (eds.) Iowa State Univ. Press, Ames, Iowa.

Gambar

Diagram pada Gambar 1 memperlihatkan kenaik- kenaik-an bobot badkenaik-an ayam rata-rata per minggu setelah inokulasi
Tabel 2. Uji serum aglutinasi cepat (SAC) 3 minggu setelah ino- ino-kulasi pada Grup I, II dan III

Referensi

Dokumen terkait

dan sesuai dengan persyaratan mutu bahan yang ditetapkan dalam Rencana.. Pengendalian yang diterapkan dalam proyek. pembangunan Gedung Convenience Store & Office

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi BAB pada responden yang dilakukan pijat oketani dan oksitosin paling rendah setelah dilakukan pijat oketani dan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang

Teori prinsip kerjasama kang dimaksud, yaiku: Maksim Kuantitas, Maksim Kualitas, Maksim Relevansi, lan Maksim Cara Pelaksanaan (Wijana, 1996:45). Wekasane saben

Selanjutnya cacing tersebut akan bermigrasi ke jaringan subcutan dan permukaan kulit, terutama bagian tubuh yang banyak kontak dengan air3. Saat ujung kepala cacing betina

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data mengenai pengaruh Komunikasi Interpersonal dan Sikap Kerja terhadap Disiplin Kerja pada Kantor Sekretariat DPRD Kab.Tegal

Tepubina bandar telah dirujuk sebagai petunjuk bersepadu (integrative indicator) di dalam pengurusan bersepadu lembangan saliran (Brun & Band, 2000; Environment Protection