• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP HUKUM PEMBATASAN KEKUASAAN REGULASI DI INDONESIA. Kata Kunci: konsep hukum, pembatasan kekuasaan, regulasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP HUKUM PEMBATASAN KEKUASAAN REGULASI DI INDONESIA. Kata Kunci: konsep hukum, pembatasan kekuasaan, regulasi."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP HUKUM PEMBATASAN KEKUASAAN REGULASI DI INDONESIA

Irnawati1

1Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Abstrak

Hukum dalam membatasi kekuasaan terletak dari pembentukan peraturan oleh badan yang berwenang. Peraturan tidak dapat terlepas dari pihak Pemerintah/lembaga legislatif yang membuat Peraturan Perundang-undangan, baik pada Pemerintah Pusat maupun Daerah. Rumusan masalah yang diangkat adalah (1) Bagaimanakah konsep hukum dalam membatasi regulasi yang semakin bertambah dan (2) Bagaimanakah mengupayakan peningkatan harmonisasi agar dalam pembuatan regulasi didaerah dapat sejalan dengan regulasi yang ada di pusat.

Jenis penelitian adalah yuridis-normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual. Hasil pembahasan adalah pertama, konsep hukum dalam membatasi regulasi yang semakin bertambah dengan menerapkan kewenangan atribusi secara tepat dan membuat peraturan sesuai dengan kebutuhan. Kedua, upaya peningkatan harmonisasi dalam pembuatan regulasi antara Pusat dan Daerah dengan harmonisasi untuk regulasi yang berkualitas dan sesuai kebutuhan.

Kata Kunci: konsep hukum, pembatasan kekuasaan, regulasi.

Abstract

The law in limiting power lies from the formation of regulations by authorized bodies. Regulations cannot be separated from the Government / legislative institutions that make laws and regulations, both in the Central and Regional Governments. The formulation of the issues raised are (1) How is the legal concept in limiting the increasing regulation and (2) How to strive for increased harmonization so that in making regulations in the area can be in line with the existing regulations in the center. This type of research is juridical-normative using a conceptual approach. The results of the discussion are first, the legal concept in limiting the increasing regulation by applying attribution authority appropriately and making regulations according to needs. Second, efforts to increase harmonization in the making of regulations between the Center and the Regions with harmonization for quality and appropriate regulations.

Keywords: legal concepts, restrictions powers, regulatory.

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Ini berarti seluruh hal yang ada di negara Indonesia berdasar hukum. Hukum menurut Hans Wehr, hukum berasal dari bahasa Arab “hukm”, jamaknya “ahkam”

1 Alamat korespondensi: irna15@unipasby.ac.id

(2)

yang artinya putusan (judgement, verdice, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government), dan kekuasaan (authority, power).2 Soeroso memberikan pengertian, bahwa hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.3

Hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum kehidupan masyarakat akan lebih tertata dan terkendali. karena fungsi hukum yaitu memaksa dan mengikat antar anggota atau kelompok. Peristiwa dalam hukum merupakan tindakan yang yang terjadi dalam hukum yang dari peristiwa tersebut tentunya akan timbul akibat-akibat hukum yang memiliki sangkutan atau keterkaitan kepada hukum-hukum lain seperti dalam hukum formal.4

Hukum dalam membatasi kekuasaan terletak dari pembentukan peraturan oleh badan yang berwenang. Saat ini sudah banyak peraturan yang overload dan kurang efektif. Konsep pemberian pembatasan kekuasaan bertujuan untuk mempertahankan stabilitas yang mendorong nilai-nilai keamanan5.

Peraturan tidak dapat terlepas dari pihak pemerintah/lembaga legislatif yang membuat Peraturan Perundang-undangan, baik pada pemerintah pusat maupun daerah. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Th.2011) yaitu

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, senada dengan amanat Pasal 22 D ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan:

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah;

serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

Dengan adanya landasan yuridis tersebut dalam membentukan Peraturan Perundang-undangan, pemerintahan daerah menyambut dengan tangan terbuka (membuat Peraturan Perundang-undangan secara besar-besaran). Karena otonomi merupakan refleksi cita-cita negara demokrasi, negara pelayanan (the service state)

2 Elfia Farida, “Arti Dan Ruang Lingkup Politik Hukum Dalam Taksonomi Ilmu,” QISTIE, Volume 12, No. 1 (2019), hlm. 85-102.

3 R Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum (Satu), Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 38

4 Sri Warjiyati, 2018, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 66.

5 Rifdan Rifdan, "Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah Dalam Mendukung Integrasi Nasional Di Kabupaten Luwu Timur,” Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik 1, no. 1 (2010): 23–39.

(3)

dan memberikan wadah pada kenyataan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda (heterogen)6.

Oleh karena itu, dengan banyaknya regulasi yang dibuat didaerah, perlu adanya penyeimbangan dengan diawali adanya pengawasan yang melibatkan pemerintah pusat dan akademisi. Berkaitan dengan hal tersebut, upaya untuk pengharmonisasian diharapkan akan mampu untuk meminimalkan peraturan daerah yang semakin membludak atau semakin menjadi-jadi guna membentuk peraturan yang tepat sesuai dengan program pemerintah pusat.

Peraturan yang ada di pusat memang tak selamanya ditanggapi secara taktis di daerah. Faktanya, daerah gagal beradaptasi untuk menyambung gagasan-gagasan yang idealnya menjadi kebijakan kolektif. Banyaknya peraturan yang dibuat oleh daerah banyak yang tidak sinkron dengan peraturan pusat. Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyampaikan bahwa ada sekitar 42.000 aturan yang bermasalah, termasuk peraturan daerah yang menghambat proses investasi7

Landasan yuridis yang tepat sebelum membuat atau merancang peraturan daerah, sesuai Pasal 58 ayat 1 UU No.12 Th.2011, menyebutkan

“Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi”.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mempunyai pemikiran mengupayakan peningkatan harmonisasi agar dalam pembuatan regulasi didaerah dapat sejalan dengan regulasi yang ada di pusat. Karena telah tertera jelas dalam Pasal 14 UU No.12 Th.2011, yaitu “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Berdasarkan kondisi di atas maka, Bagaimanakah konsep hukum dalam membatasi regulasi yang semakin bertambah dan Bagaimanakah mengupayakan peningkatan harmonisasi agar dalam pembuatan regulasi didaerah dapat sejalan dengan regulasi yang ada di pusat. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan konseptual yaitu mencari konsep yang tepat atas permasalahan yang ada.

B. Pembahasan Konsep Hukum

Konsep hukum (genuine legal concepts) merupakan konsep sistematis dan konstruktif yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum (diantaranya: konsep hak, kewajiban, lembaga hukum, perikatan, hubungan hukum, perkawinan, waris, dan jual beli)8.

Landasan Teoritis

6 Bagir Manan, 2014, Memahami Konstitusi: Makna Dan Aktualisasi, Depok: RajaGrafindo Persada, hlm. 59

7 KPPOD, 2019. Perampingan Perda,. https://www.kppod.org/berita/view?id=473. Akses 31 Maret 2019.

8 Ani Purwati, 2020, Metode Penelitian Hukum Teori & Praktek, Surabaya:Jakad Publishing, hlm.

95

(4)

Teori yang Penulis pergunakan dalam artikel ini adalah teori kewenangan dan teori peraturan perundang-undangan. Teori kewenangan, istilah “bovegheid”,

“rechtmacht” (bahasa Belanda), “authority” atau “legal power” atau “competency”

(bahasa Inggris) merupakan padanan dari kompetensi. Pengertian kompetensi jabatan dalam kamus hukum yaitu suatu kompetensi dasar yang harus dikuasai agar mampu melaksanakan jabatan tertentu yang terdiri dari keahlian, pengetahuan dan perilaku untuk menghasilkan kinerja terbaik9.

Pada kamus hukum lainnya disebutkan bahwa kompetensi adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin “competentia”, dalam bahasa Belanda disebut

“rechtmacht”, dan dalam bahasa Inggris “competency” dan bahasa Indonesia biasa disebut kewenangan10.

Kewenangan atau wewenang yaitu istilah yang digunakan dalam lapangan hukum publik. Keduanya memiliki perbedaan, bahwasanya kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif.

Kewenangan merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang tepat. Sedangkan wewenang mempunyai arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Menurut Sudarsono wewenang adalah kekuasaan yang sah (legitimate power). Yang berarti sah menurut hukum, baik peraturan perundang-undangan maupun asas-asas hukum11.

Wewenang dapat amati dari dua aspek, yaitu asalnya dan penggunaannya.

Dari aspek asalnya, wewenang berasal dari Hukum Tata Negara sehingga masuk dalam ranah Hukum Tata Negara, sedangkan dari aspek penggunaannya masuk kedalam ranah Hukum Administrasi Negara12. C. Van Vollenhoven menyatakan bahwa “staatscrecht” (Hukum Tata Negara) adalah hukum mengenai susunan dan kewenangan (“inrichting” dan “bevoigdheid”) dari organ (perangkat negara) mengenai keempat tugas negara “regeling, bestuur, rechtpraak, dan polite”13.

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui dua cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.

1. Atribusi

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, dalam tinjauan Hukum Tata Negara, atribusi ditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada

9 M. Marwan, 2016, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, hlm. 372.

10 Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, hlm. 231.

11 Ahmad Siboy, Jazim Hamidi Sudarsono, and Moh Fadli. 2018 . CONSTITUTIONALISM OF MINIMUM LIMIT OF VOTES DIFFERENCES IN THE SETTLEMENT OF DISPUTE ON THE RESULT OF SIMULTANT REGIONAL ELECTIONS,”. Dilihat juga di Sudarsono, Sekilas tentang Wewenang dan Penyalahgunaan Wewenang, (Malang: Universitas Wisnuwardhana, 2012). Hlm. 60.

12 Philipus M Hadjon, Sri Soemantri Martosoewignjo, and Sjachran Basah, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 23.

13 Ibid.,

(5)

kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) atau peraturan perundang-undangan. Pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan berdasarkan Asas Desentralisasi, diatur dalam teori kewenangan dan beban tanggung jawab. Berawal dari kekuasaan yang diperoleh melalui atribusi oleh Lembaga Negara sebagai akibat pilihan sistem pemerintahan dan sistem pembagian kekuasaan.

2. Pelimpahan Wewenang

Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab dan selama tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. Setelah itu, yang telah mendapatkan kewenangan dapat melakukan pelimpahan (afgeleid) melalui dua cara yaitu delegasi dan mandat.

a. Delegasi

Pendelegasian diberikan antara organ pemerintah satu dengan pemerintah lain, dan pihak yang pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang.

Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Pada kewenangan delegatif, tanggung jawab dan tanggung jawab gugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang tersebut atau beralih pada delegataris. Maka, dalam kewenangan delegatif, peraturan dasar berupa perupa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyebab adanya kewenangan delegatif tersebut. Tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegatif14.

Menurut Philipus M. Hadjon, “kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan15. Apabila delegasi ada hal pemindahan atau pengalihan suatu kewenangan yang ada, serta apabila kewenangan itu kurang sempurna, maka keputusan yang berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum16.

b. Mandat

Mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dan bawahan. Pada delegasi hanya boleh di sub delegasi, tidak ada sub-sub delegasi, seperti yang ada di Indonesia. Karena jabatan kenegaraan dalam setiap sistem pemerintahan, wajib dipertanggung jawabkan sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan. Untuk menentukan batas dan beban tanggungjawab dari masing-masing lembaga negara ditentukan dari beberapa prinsip, yaitu: setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan. Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban dan batas tanggung jawab untuk setiap penerima kekuasaan, kesediaan untuk melaksanakan tanggungjawab harus sudah diterima pada saat menerima kekuasaan,

14 Lutfi Effendi, 2004, Pokok Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia Pub., hlm.77-79.

15 Op. Cit., Hadjon, hlm. 130.

16 Ibid

(6)

yang tiap kekuasaan ditentukan batasnya dengan teori kewenangan dan beban tanggungjawab.

Pengaturan kewenangan pemerintahan dibidang hukum tata negara diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Teori Perundang-undangan, norma ditinjau dari segi etimologi, berasal dari Bahasa Latin, sedangkah kaidah atau kaedah berasal dari Bahasa Arab. Norma berasal dari dari kata “nomos” yang berarti nilai atau norma hukum. Pada karya Plato yang berjudul Nomoi, diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yakni dengan istilah “The Law”17 Sedangkan kaidah dalam Bahasa Arab, “qo’idah” berarti ukuran atau nilai pengukur.

Menurut Hamid S. Attamini, teori merupakan sistem dari tata hubungan yang logik dan definitorik diantara pemahaman-pemahaman. Lebih konkrit ialah sistem pernyataan-pernyataan, pendapat-pendapat dan pemahaman-pemahaman yang logik dan saling berkaitan mengenai suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penarikan hipotesa-hipotesa yang dapat diuji padanya. Sedangkan yang dimaksud dengan kata Perundang-undangan menunjuk pada keseluruhan peraturan-peraturan negara dan proses pembentukannya18. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa:19

“Teori Perundang-undangan adalah cabang atau sisi dari ilmu pengetahuan perundang-undangan yang bersifat kognitif dan berorientasi pada pengusahaan kejelasan dan penjernihan pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat dasar di bidang Perundang-undangan (antara lain pemahaman tentang undang-undang, tentang pembentukan Undang-undang, tentang Perundang-undangan dan lain sebagainya).”

Berdasarkan pemahaman di atas, yang dimaksud dengan teori Perundang- undangan adalah serangkaian pemahaman, pendapat yang tersusun secara sistematis, logis dan konkrit tentang hakikat keberadaan setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam mengatur tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat umum agar diperoleh kejelasan dan kejernihan bersifat kognitif.

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, mengemukakan teori tentang Sistem Perundang-undangan (teori tangga), yakni Teori bagian pertama “Sistem Perundang-undangan suatu negara tersusun seperti tangga-tangga piramid, pada tangga dasar hingga puncak piramid ada norma yang tersusun yakni dimulai dari Ketetapan, Peraturan, Undang-undang, Undang- Undang Dasar, Norma Dasar atau Grund Norm”20.

17 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Jakarta: Konstitusi, hlm. 1

18 Handoyo B Hestu Cipto, 2014, Prinsip-Prinsip Legal Drafting Dan Desain Naskah Akademik, Edisi Revisi, Yogyakarta :Cahaya Atma Pustaka, hlm. 27-29.

19 A Hamid S Attamimi, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan Dan Menjernihkan Pemahaman, Jakarta: Universitas Indonesia.

20 Mustafa Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung: Cipta Aditya Bakti, hlm. 36.

(7)

Teori bagian kedua, bahwasanya dalam Sistem Perundang-undangan terdapat hubungan fungsional antara norma yang satu dengan norma yang lain “bahwa dasar berlaku dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada di atasnya”. Dasar berlaku serta legalitas dari suatu Ketetapan terletak pada peraturan dan dasar berlakunya, legalitas Undang-undang terletak pada Undang-Undang Dasar, sedangkan dasar berlakunya dan legalitas Undang-Undang Dasar terletak pada norma dasar 21.

Norma apabila dihubungkan berdasarkan jenis dan hierarkhi Perundang- undangan, tertuang jelas pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (LNRI.TH.2011.No.82), sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

7. Peraturan Daerah Provinsi; dan 8. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota”.

Ayat (2) “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harmonis dan mudah diterapkan di masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara. Apabila membicarakan Ilmu Perundang-undangan, maka akan membahas juga proses pembentukan Peraturan-peraturan negara, dan sekaligus seluruh peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan- peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah22.

Konsep hukum dalam membatasi regulasi yang semakin bertambah dengan:

1) Peningkatan sebelum dan saat rancangan, Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ditahap sebelum pra rancangan (perencanaan, pengkajian dan naskah akademik) sebagai embrio khususnya RUU/Raperda, agar kualitas hasil penelitian dan pengkajian dan penyusunan naskah akademiknya dapat ditingkatkan, maka diperlukan masukan-masukan berupa permasalahan yang dicarikan solusinya dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara23. Sejalan dengan Has Natabaya, dasar hukum/landasan yuridis adanya input berupa partisipasi masyarakat terdapat dalam Pasal 96 ayat 1, 2, 3, dan 4 UU No.12 Th.2011, yaitu:

“(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

21 Ibid.,

22 Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses Dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 1

23 HAS Natabaya, “Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan (Suatu Pendekatan Input Dan Output),” Jurnal Legislasi Indonesia 4, no. 2 (2007): 176–79.

(8)

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b.kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau; d. Seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atau substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”

Partisipasi masyarakat diperlukan untuk memberikan masukan yang tepat terhadap produk hukum nantinya. Pada tahap penyusunan rancangan Peraturan Perundang-undangan (khususnya RUU dan Raperda) diperlukan bahan yang diperoleh dari penelitian, pengkajian dan naskah akademik yang sudah dikategorikan berkualitas disusun dengan melibatkan para Pembentuk Peraturan, baik yang didaerah maupun pusat agar menghasilkan Peraturan yang berkualitas24. Pejabat yang berwenang juga perlu melaksanakan tugasnya secara tepat, karena sesuai dengan kewenangan atribusi yang melekat didalam jabatan, yaitu atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, dalam tinjauan Hukum Tata Negara, atribusi ditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) atau peraturan perundang- undangan. Pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan berdasarkan Asas Desentralisasi, diatur dalam teori kewenangan dan beban tanggung jawab. Berawal dari kekuasaan yang diperoleh melalui atribusi oleh Lembaga Negara sebagai akibat pilihan sistem pemerintahan dan sistem pembagian kekuasaan.

Selain peran dari pejabat yang berwenang, pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan juga diperlukan, terutama dalam pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Daerah pada saat ini sudah mulai dikembangkan dengan mulai dilakukannya Rapat Dengar Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya, kunjungan kerja ataupun pelaksanaan seminar- seminar atau kegiatan yang sejenis, untuk mendapatkan masukan dari masyarakat25.

Rancangan Peraturan Daerah perlu melewati proses yang diatur dalam Pasal 315 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbuyi:

“(1) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota, paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk

24 Ibid.,

25 Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses Dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta:

Kanisius, hlm. 262.

(9)

dievaluasi, dilampiri RKPD, KUA dan PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD.

(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Berkaitan dengan kewenangan pejabat yang berwenang, konsep dari tatanan peraturan juga diperlukan untuk membatasi regulasi dengan memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan. Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, mengemukakan teori tentang Sistem Perundang- undangan (teori tangga), yakni Teori bagian pertama “Sistem Perundang-undangan suatu negara tersusun seperti tangga-tangga piramid, pada tangga dasar hingga puncak piramid ada norma yang tersusun yakni dimulai dari Ketetapan, Peraturan, Undang-undang, Undang-Undang Dasar, Norma Dasar atau Grund Norm”26.

Teori bagian kedua, bahwasanya dalam Sistem Perundang-undangan terdapat hubungan fungsional antara norma yang satu dengan norma yang lain “bahwa dasar berlaku dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada di atasnya”. Dasar berlaku serta legalitas dari suatu Ketetapan terletak pada peraturan dan dasar berlakunya, legalitas Undang-undang terletak pada Undang-Undang Dasar, sedangkan dasar berlakunya dan legalitas Undang-Undang Dasar terletak pada norma dasar27.

Teori tangga menurut Hans Kelsen membahas jenjang norma secara umum atau general, dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma termasuk norma hukum negara. Hans Kelsen mengemukakan: “Norma-norma hukum itu berjenjang- jenjang, dan berlapis- lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm)28.

Norma apabila dihubungkan berdasarkan jenis dan hierarkhi Perundang- undangan, tertuang jelas pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (LNRI.TH.2011.No.82), sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

7. Peraturan Daerah Provinsi; dan 8. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota”.

26 Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 36.

27 Ibid

28 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan, Yogyakarta: PT Kanisius, hlm. 26.

(10)

Ayat (2) “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harmonis dan mudah diterapkan di masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara. Apabila membicarakan Ilmu Perundang-undangan, maka akan membahas juga proses pembentukan Peraturan-peraturan negara, dan sekaligus seluruh peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan- peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah29. Dengan adanya peningkatan kajian, adanya konsep yang jelas, serta menerapkan kewenangan dari pejabat yang berwenangn serta mengakomodir masing-masing masukan dari berbagai kalangan yang kompeten serta dari masyarakat untuk kemaslahatan, maka akan mampu membuat peraturan menjadi lebih baik lagi.

C. Penutup

Kesimpulan dan pembahasan yaitu pertama konsep hukum dalam membatasi regulasi yang semakin bertambah dengan menerapkan kewenangan atribusi secara tepat dan membuat peraturan sesuai dengan kebutuhan. Kedua yaitu dengan upaya peningkatan harmonisasi dalam pembuatan regulasi didaerah dapat sejalan dengan regulasi yang ada di pusat dengan cara bersama-sama bersinergi dalam pengharmonisasian peraturan guna menjadikan produk peraturan perundang- undangan pusat maupun daerah tidak bertentangan, berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan.

Daftar Pustaka Buku

Ani Purwati, 2020, Metode Penelitian Hukum Teori & Praktek, Surabaya:Jakad Publishing.

A Hamid S Attamimi, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan Dan Menjernihkan Pemahaman. Jakarta: Universitas Indonesia.

Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Bagir Manan, 2014, Memahami Konstitusi: Makna Dan Aktualisasi. Depok:

RajaGrafindo Persada.

Handoyo B Hestu Cipto, 2014, Prinsip-Prinsip Legal Drafting Dan Desain Naskah Akademik, Edisi Revisi, Yogyakarta :Cahaya Atma Pustaka.

Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses Dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Jakarta:

Konstitusi.

Lutfi Effendi, 2004, Pokok Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia Pub.

Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses Dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius

29 Op.cit., Indrati, hlm. 1.

(11)

---, 2007. Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan, Yogyakarta: PT Kanisius.

Mustafa Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung:

Cipta Aditya Bakti.

M. Marwan, 2016, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition.

Philipus M Hadjon, Sri Soemantri Martosoewignjo, and Sjachran Basah, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

R Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum (Satu), Jakarta: Sinar Grafika.

Sri Warjiyati, 2018, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum.

Jakarta: Kencana.

Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Semarang: Aneka Ilmu.

Jurnal

Ahmad Siboy, Jazim Hamidi Sudarsono, and Moh Fadli. 2018 . CONSTITUTIONALISM OF MINIMUM LIMIT OF VOTES DIFFERENCES IN THE SETTLEMENT OF DISPUTE ON THE RESULT OF SIMULTANT REGIONAL ELECTIONS,”. Dilihat juga di Sudarsono, 2012, Sekilas tentang Wewenang dan Penyalahgunaan Wewenang, Malang: Universitas Wisnuwardhana.

HAS Natabaya, “Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan (Suatu Pendekatan Input Dan Output),” Jurnal Legislasi Indonesia 4, no. 2 (2007): 176–79

Elfia Farida, “Arti Dan Ruang Lingkup Politik Hukum Dalam Taksonomi Ilmu,”

QISTIE, Volume 12, No. 1 (2019), hlm. 85-102.

Rifdan Rifdan, “Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah Dalam Mendukung Integrasi Nasional Di Kabupaten Luwu Timur,” Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik 1, no. 1 (2010): 23–39.

Internet

PPOD, 2019. Perampingan Perda,. https://www.kppod.org/berita/view?id=473.

Akses 31 Maret 2019.

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LNRI.TH.2011.No.82).

Referensi

Dokumen terkait

yang terdapat dalam pesan Gurutta dapat disampaikan dan diterapkan dalam pendidikan akhlak sebagaimana yang dilakukan oleh Gurutta yakni dengan menceritakan

Bagi calon penyedia jasa konstruksi yang keberatan atas Pengumuman ini, diberikan masa sanggah sesuai dengan jadwal Sistem Pelelangan Secara Elektronik (SPSE) dan

Salah satu metode numerik yang dapat digunakan untuk mencari penyelesaian numerik persamaan diferensial non linear adalah metode Adams-Bashforth- Moulton..

Korupsi sendiri merupakan suatu tindak pidana yang mana sanksi hukumannya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Batasan-batasan pada sistem PATH mempertimbangkan permintaan air, daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pompa air, tangki penyimpanan air setiap saat terisi 1 m 3

Dengan disampaikannya Surat Penawaran ini, maka kami menyatakan sanggup dan akan tunduk pada semua ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Pengadaan. BENTUK SURAT DUKUNGAN

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis regresi linier berganda (multiple linear regression). Analisis regresi linier

Namun jenis bahan atap ini juga memiliki kekurangan yaitu mudah menyerap panas (konduktor) dari radiasi sinar matahari, sehingga panas yang telah diterima atap akan