NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN TARI SARI TUNGGAL DI BANGSAL KASATRIYAN, KERATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
oleh
El Riza Animayong NIM 11209241021
JURUSAN PENDIDIKAN SENI TARI FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Yogyakffi"BFe}ruffi 2016 Pembimbing I,
Piof. Dr. $rmiutp
A
Eqruti Nrp 19561026 198003 r 003Yosyakarts,EFsbflmxt 20 1 6' PombimtingII"
UY
Titik Pueniagsih, N{.Hum
PENGESAHAN
Stripsi yang borjudul Nilai-nilai fmdidikan Kmalser dalam Proses Pembelajamn tmti Stri Tunggat eli Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta fud tetah dipertahankan
di deean Dew.an Peneuji pada 3 Maret2016 dan dinyatakanl-ul,uS.
Titik
Wenti N
"V*Y!!"'
9/r"%e
t&vfar* eOlO dam,Seni Negeri Yogyakar.ta Dekan,
hlr'baai,
M.A
. 19610524 199001 2 00rNIM
Jurusan Fakultas Judul Slaipsi
11209241021
Pendidikan Seni Tan Bahasa dan Seni
Nilai-nilai Pendidikan Karalcter dalam Proses Pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasahiyan, Keraton Yogyakarta
menyatakan bahwa karya skripsi
ini adalah
karya saya sendiri.
Sepaqiang pengetahuan saya, karya ini tidak berisi materi yang ditulis oleh orang lain, kecuali bagian-bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan dengan mengikuti tata cara dan etika penulisan karya ilmiah yanglazim.Apabila temyata terbukti bahwa pemyataan
ini tidak
benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.Yogyakarta 16 Februari 20 I 6 Penulis,
+c)
'\-/
El RizaAnimayong
v MOTTO
YAKIN, IKHLAS, SEMANGAT !
TETAP BERDOA, BERUSAHA, SEMUA PASTI ADA HASILNYA...
LAKUKAN YANG TERBAIK, DAN JADI YANG TERBAIK...
vi
yang telah memberikan bimbingan, dukungan, semangat, kasih sayang, nasehat, dan selalu mengingatkan untuk belajar dan beribadah. Terimakasih untuk segalanya, semoga karya ini bisa membuat Bapak dan Ibu bangga. 2. Adikku Re Diat Aini Falahayu, terimakasih sudah mau mendengarkan keluh
kesahku selama ini. Terimakasih atas doa dan semangatnya.
3. Teman-teman kelas AB Pendidikan Seni Tari 2011, terimakasih atas semangat, motivasi, dan doa yang telah kalian berikan.
4. Dhahana Murpratama, terimakasih sudah mau direpotkan dalam segala urusan.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana.
Penulisan skripsi dengan judul Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta ini dapat terselesaikan karena bantuan dari beragai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Ibu Dr. Widyastuti Purbani, M.A. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Kuswarsantyo, M.Hum selaku ketua jurusan Pendidikan Seni Tari yang telah memberikan kemudahan dan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Suminto A. Sayuti selaku dosen pembimbing 1 yang dengan
sabar telah memberikan bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Titik Putraningsih, M.Hum selaku dosen pembimbing 2 yang penuh
kesabaran dan ketelitian, telah memberikan bimbingan serta arahan dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh narasumber yang dengan sabar dan penuh keihklasan telah memberikan informasi sehingga skripsi ini dapat terwujud.
6. Seluruh Dosen jurusan Pendidikan Seni Tari yang telah memberikan ilmu, pengetahuan, motivasi, semangat, serta doa selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
YogyakartaE Februari 20 I 6 Penulis,
I
VI1
\-El Riza Animayong
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
ABSTRAK ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. ... 1
B. Fokus Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori ... 6
1. Hakikat Pembelajaran ... 6
a. Belajar dan Pembelajaran ... 6
b. Pembelajaran Keterampilan atau Praktik ... 6
2. Nilai-nilai Pendidikan Karakter ... 11
a. Nilai ... 11
x
C. Penelitian yang Relevan ... 23
D. Kerangka Berpikir ... 24
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 25
B. Objek Penelitian ... 25
C. Subjek Penelitian ... 25
D. Data Penelitian ... 25
E. Sumber Data ... 26
F. Pengumpulan Data ... 26
1. Observasi ... 27
2. Wawancara Mendalam ... 27
3. Dokumentasi ... 29
G. Instrumen Penelitian ... 29
H. Teknik Keabsahan Data ... 31
I. Analisis Data ... 32
1. Reduksi Data ... 32
2. Display Data atau Penyajian Data ... 32
3. Penarikan Kesimpulan ... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Setting Penelitian ... 34
B. Sejarah Tari Sari Tunggal ... 38
C. Peraturan Pembelajaran Tari Sari Tunggal ... 41
D. Proses Pembelajaran Tari Sari Tunggal ... 47
xi
2. Guru ... 48
3. Tujuan ... 50
4. Metode. ... 50
5. Media ... 55
6. Kurikulum ... 55
7. Evaluasi ... 55
8. Sarana dan Prasarana ... 56
E. Nilai-nilai Pendidikan Karakter ... 57
1. Religius ... 57
2. Toleransi ... 58
3. Disiplin ... 58
4. Kerja Keras ... 61
5. Kreatif ... 61
6. Mandiri ... 63
7. Rasa Ingin Tahu ... 63
8. Cinta Tanah Air ... 63
9. Tanggung jawab ... 64
10. Sopan Santun ... 64
11. Empan Papan ... 66
12. Tata Krama ... 66
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 68
B. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Tempat latihan rutin di Bangsal Kasatriyan, Keraton
Yogyakarta dari sisi timur ... 36 Gambar 2 : Bangsal Kasatriyan tampak dari sisi sebelah selatan ... 36 Gambar 3 : Siswa memakai kebaya dan semekan ... 42 Gambar 4 : Siswa memakai jarik dan seredan dilipat agar tampak lebih
rapi saat memasuki area Keraton Yogyakarta ... 43
Gambar 5 : Siswa memakai sanggul, giwang, dan tidak memakai kalung .. 44
Gambar 6 : Siswa menggunakan kebaya tangkepan, sampur motif cinde, dan melipat dua kali di pinggang, setelah selesai berlatih tari
Sari Tunggal ... 44
Gambar 7 : Siswa masuk ke lingkungan Keraton Yogyakarta dengan
membawa tas, dan tidak diperkenankan menggunakan alas kaki ... 45 Gambar 8 : Aturan pakaian latihan di Bangsal Kasatriyan, Keraton
Yogyakarta ... 46 Gambar 9 : Siswa sedang menunggu latihan tari Sari Tunggal dimulai ... 48 Gambar 10 : Guru sedang membenahi sikap badan siswa ketika berlatih di
Bangsal Kasatriyan... 49 Gambar 11 : Siswa dan guru bersiap naik ke pendapa Kasatriyan ... 51 Gambar 12 : Siswa dan guru melakukan sembahan setelah turun dari
pendapa Kasatriyan ... 51 Gambar 13 : Siswa dan guru (salah satu narasumber) memasuki wilayah
Keraton Yogyakarta ... 117 Gambar 14 : Guru memasuki lingkungan Keraton Yogyakarta tanpa
menggunakan alas kaki ... 117 Gambar 15 : Salah satu narasumber sedang membenahi sikap siswa di
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Glosarium... 73
Lampiran 2 : Pedoman Observasi... 82
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara... 83
Lampiran 4 : Pedoman Dokumentasi... 85
Lampiran 5 : Danskrip Tari Sari Tunggal... 87
Lampiran 6 : Naskah Iringan Tari Sari Tunggal... 113
Lampiran 7 : Gambar Foto ... 117
Lampiran 8 : Surat Keterangan ... 120
xvi ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta. Deskripsi dilakukan dengan melihat proses pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, peraturan pembelajarannya, serta nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam proses pembelajaran tari Sari Tunggal.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berupa kalimat sebagai penjabaran dari proses penelitian, hingga hasil penelitian. Sumber data diperoleh dari narasumber yang terdiri dari guru pengajar di Bangsal Kasatriyan dan beberapa guru dari sanggar tari klasik gaya Yogyakarta. Pengumpulan data dengan cara observasi partisipatif, wawancara secara mendalam, dan dokumentasi. Keabsahan data diperoleh melalui triangulasi sumber.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) sejarah tari Sari Tunggal berawal dari munculnya Kridha Beksa Wirama (KBW) dan akhirnya bisa menjadi materi pembelajaran di Bangsal Kasatriyan, (2) peraturan pembelajaran tari Sari Tunggal lebih ditekankan pada aturan berpakaian serta mengikuti aturan yang ada di lingkungan Keraton, (3) proses pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan memiliki keunikan baik dari segi siswa, guru, tujuan, metode, media, kurikulum, evaluasi, serta sarana prasarana, (4) nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam pembelajaran tari Sari Tunggal yaitu dua belas nilai yang terdiri dari sembilan nilai yang dicetuskan oleh Kemendiknas tahun 2010 serta tiga nilai budi pekerti yang dicetuskan oleh Tim Pengembangan Budi Pekerti Provinsi DIY, (5) nilai-nilai pendidikan tersebut yaitu religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, cinta tanah air, tanggung jawab, sopan santun, empan papan, dan tata krama.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini masyarakat Indonesia mulai mengabaikan norma-norma yang
berlaku. Hal ini ditandai dengan maraknya tindakan-tindakan asusila seperti
konsumsi obat-obatan terlarang, kasus pelecehen seksual, pembegalan, dan
sebagainya. Maraknya kasus asusila tersebut menandai bahwa karakter generasi
penerus bangsa sedang krisis. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan karakter
sebagai resolusi baru yang diupayakan oleh berbagai pihak seperti lembaga
pendidikan formal maupun pendidikan informal.
Pendidikan karakter diawali dari ruang lingkup terkecil (keluarga) sampai
yang terbesar (masyarakat). Menurut Ki Hajar Dewantara (melalui Samani, 2013:
vii), pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti (karakter) dari
seseorang. Seorang individu memiliki hak untuk memilih atas apa yang disukai dan
tidak disukai, sehingga diperlukan cara yang baik agar kaidah yang berlaku di
masyarakat dapat diterimanya tanpa mengurangi haknya. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah memberikan pendidikan seni. Seni merupakan hal yang indah dan
menyenangkan. Hal ini dapat menarik perhatian individu yang secara tidak langsung
akan melaksanakan kaidah yang tersirat dari dalam seni, karena anak cenderung
menolak jika diberi petuah secara langsung oleh orang-orang di sekitarnya.
Indonesia memiliki berbagai macam kesenian, salah satunya adalah seni tari.
tubuh yang indah dan berirama. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadikan seni tari
sebagai kesenian yang sangat diperhatikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelestarian tari-tari klasik yang dilakukan di lembaga pendidikan formal maupun informal. Menurut Abdurrachman, dkk (1979: 6), tari klasik di negeri kita pada
umumnya memiliki bentuk-bentuk gerak yang diatur dengan seperangkat sistem sehingga seolah-olah tidak boleh dilanggar. Tari klasik yang berkembang di
Yogyakarta memiliki ragam gerak dan aturan yang tidak berubah sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini dikarenakan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Oleh karena itu, aturan-aturan dalam tarian yang
berlaku di masyarakat disesuaikan dengan aturan yang berlaku di keraton.
Saat ini tari klasik gaya Yogyakarta dapat dipelajari di berbagai lembaga
formal maupun informal. Tari klasik gaya Yogyakarta pada lembaga formal banyak dijadikan sebagai mata pelajaran intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, sedangkan tari klasik pada lembaga informal dapat dilakukan di sanggar maupun keraton. Setiap
lembaga pendidikan baik formal maupun informal memiliki ciri dan proses pembelajaran yang berbeda-beda.
Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa adalah salah satu lembaga
informal yang ikut berperan melestarikan tari klasik gaya Yogyakarta di bawah naungan Keraton Yogyakarta. Pembelajaran tari di sini berlangsung setiap hari
Minggu mulai pukul 10.00 WIB sampai 12.00 WIB dan dilaksanakan di Bangsal Kasatriyan yang terletak di Keraton Yogyakarta. Pembelajaran ini berlangsung
3
untuk peserta putri, yaitu tari Sari Tunggal, dan bagian kedua untuk peserta putra
yaitu Tayungan.
Mempelajari tari klasik gaya Yogyakarta memiliki beberapa tahapan. Salah satu tahapannya yaitu mempelajari tari Sari Tunggal yang merupakan tari klasik gaya
Yogyakarta sebagai dasar untuk putri. Tari Sari Tunggal berisi rangkaian ragam gerak tari putri yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi seperti tari Srimpi dan
Bedhaya.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dalam mengikuti pembelajaran tari klasik di Keraton Yogyakarta, ditemukan adanya perbedaan dalam proses
pembelajarannya. Proses pembelajaran yang berlangsung memiliki aturan-aturan tersendiri, contohnya dalam menggunakan pakaian pada penari putri yaitu: (1)
pakaian menggunakan kebaya model kartini, (2) bawahan menggunakan kain jarik, (3) rambut menggunakan sanggul tekuk, (3) menggunakan subang, (4) memakai kain
sampur, (5) tidak menggunakan alas kaki jika sudah memasuki area keraton.
Sebelum naik ke pendapa penari wajib melakukan sembahan, begitu pula ketika akan menuruni pendapa. Semua aturan tersebut berlaku untuk seluruh penari dan pelatih.
Ketika menari seluruh siswa diiriingi oleh gamelan langsung yang dimainkan oleh
abdi dalem keraton.
Proses pembelajaran tari dengan aturan seperti di keraton tidak ditemukan di
lembaga-lembaga lain. Berdasarkan pengamatan awal, proses pembelajaran yang dilakukan di Jurusan Pendidikan Seni Tari FBS UNY, sanggar Suryo Kencono,
maupun berperilaku. Pembelajaran di sanggar-sanggar tersebut tidak diiringi dengan
gamelan langsung, namun iringan yang digunakan adalah hasil rekaman yang dalam kaset pita maupun VCD/DVD.
Pembelajaran tari klasik gaya Yogyakarta memiliki banyak aturan yang
dapat membentuk sebuah karakter yang baik bagi perempuan dan laki-laki. Karakter tersebut sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku sehingga dapat diterapkan
dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti memilih sebuah topik penelitian yaitu nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal
di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta.
B. Fokus Masalah
Agar penelitian tidak meluas dan lebih fokus, maka peneliti membatasi permasalahan tersebut menjadi nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran
tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari
Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
5
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari
Tunggal.
b. Pengajar dapat lebih memperhatikan dan lebih menjelaskan materi tari Sari
Tunggal dengan seksama, agar nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung
dalam pembelajaran tari tersebut dapat dipahami oleh siswa yang belajar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan tentang proses pembelajaran dan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam tari Sari Tunggal khususnya
di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
6
1. Hakikat Pembelajaran
a. Belajar dan Pembelajaran
Belajar dan pembelajaran merupakan pasangan yang pas dalam pendidikan.
Belajar merupakan kegiatan dari individu yang memperoleh pengetahuan dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar. Sedangkan pembelajaran adalah
kegiatan guru secara terprogram untuk mengajarkan suatu materi kepada siswanya
(Dimyati, dkk: 2013). Pembelajaran tidak hanya bisa dihayati oleh pesertanya,
namun juga bisa diamati oleh orang lain karena kegiatan tersebut melibatkan dua
pihak, yaitu guru dan siswa.
Proses belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan
mengembangkan pemikiran dengan membuat pengertian baru karena proses
pembelajaran terlaksana secara terus menerus sehingga pemikiran seseorang dapat
berkembang. Proses belajar dan pembelajaran juga memerlukan bantuan dan
bimbingan dari orang lain baik teman sejawat, maupun orang yang lebih
berpengalaman.
b. Pembelajaran Keterampilan atau Praktik
Pembelajaran praktik merupakan kegiatan belajar mengajar dengan
menggunakan metode demonstrasi. Materi yang disampaikan menurut keterampilan
7
1) Agar siswa dapat mengaplikasikan dan mencoba langsung dari materi yang
disampaikan.
2) Agar siswa dapat mengetahui teknik dari materi yang disampaikan. 3) Siswa dapat mengetahui dengan detail dari materi yang disampaikan.
(http://copyduty.blogspot.com/2011/05/metode-metode-pembelajaran.html?m=1, diunduh pada tanggal 11 Februari 2015).
Pembelajaran praktik dapat digunakan untuk pembelajaran seni tari yang lebih menekankan adanya perilaku (behaviour) yang diamati. Pengamatan tersebut dapat dilaksanakan menggunakan teori belajar behaviorisme. Ciri dari teori tersebut
yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian kecil, (2) bersifat mekanistis, (3) menekankan peranan lingkungan, (4) mementingkan pembentukan respon, dan (5)
menekankan pentingnya latihan (Suyono, dkk: 2014). Proses pembelajaran ini dilakukan dengan melatih refleks sehingga individu menjadi lebih terbiasa dengan teknik dari gerak tari yang dipelajari.
Metode dalam pembelajaran tari yang sering digunakan yaitu belajar dengan mengamati dan meniru atau (Observational Learning and Imitation). Menurut
Bandura dan Walters (melalui Slameto, 2013: 21) tingkah laku bisa dipelajari oleh seseorang dengan mengamati dan meniru suatu model/contoh/teladan. Model yang ditiru dalam pembelajaran tari bisa dari guru yang mengajarkan, teman sebaya saat
berlatih bersama, ataupun lingkungan sekitarnya. Siswa juga bisa mencontoh model dari televisi atau video tentang tari yang sudah didokumentasi sebelumnya.
1) Siswa
Siswa atau peserta didik menurut Rohman (2013: 85) adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Siswa merupakan sosok anak yang membutuhkan orang lain untuk berkembang
dengan cara mempelajari hal-hal di sekelilingnya. 2) Guru
Guru atau pendidik merupakan orang yang dengan sengaja membantu orang lain untuk mencapai kedewasaan. Guru adalah pendidik yang berada di sekolah. Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebutkan bahwa
guru adalah pendidik utama profesional yang memiliki tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
(Rohman: 2013)
Menurut Kumaravadivelu (melalui Madya, 2013: 111) di antara orang-orang yang terlibat dalam keseluruhan proses pendidikan, yaitu pengelola, pembuat
kebijakan, perencana kurikulum, pendidik guru, penulis buku, dan guru. Peran terpenting yaitu guru karena keberhasilan dan kegagalan kegiatan pendidikan
tergantung pada guru.
Seorang guru hendaknya menjadi teladan untuk siswa. Seperti prinsip kepemimpinan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang artinya di depan,
menjadi teladan, di tengah membangun motivasi, dan di belakang memberikan
9
Guru dan siswa hendaknya memiliki relasi yang baik. Contohnya guru
bersikap ramah saat menjelaskan materi sehingga siswa nyaman saat belajar, siswa bersikap sopan kepada guru sehingga hubungan baik tetap terjaga. Relasi ini sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran. Ketika relasi guru dan siswa baik, maka
siswa akan menyukai guru dan secara tidak langsung akan menyukai mata pelajarannya. Hal tersebut akan akan membangkitkan semangat siswa dan lebih
mudah dalam memperoleh materi yang disampaikan oleh guru, siswa pun tidak akan segan untuk bertanya tentang materi yang belum mereka pahami. Lain halnya jika relasi guru dan siswa tidak baik, maka siswa akan cenderung membenci guru dan
mata pelajarannya. 3) Tujuan
Pembelajaran dilaksanakan karena adanya sebuah tujuan yang ingin dicapai. Tujuan itu muncul karena adanya sebuah kebutuhan. Banyak cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Suatu pembelajaran akan efektif bila diarahkan ke
tujuan yang akan dicapai. 4) Metode
Menurut Suyono (2014: 19) metode pembelajaran adalah seluruh perencanaan dan prosedur maupun langkah-langkah kegiatan pembelajaran termasuk pilihan cara penilaian yang akan dilaksanaakan. Metode tersebut dapat berupa
menyajikan bahan pelajaran oleh seseorang kepada orang lain, agar orang lain itu menerima, menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran tersebut. Metode
5) Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah sarana yang digunakan untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran. Media tersebut dapat berupa buku, film, video dan
sebagainya. Media ini sangat membantu guru dan peserta didik pada suatu proses pembelajaran.
6) Kurikulum
Kurikulum dapat diartikan sebagai kegiatan yang sebagian besar menyajikan bahan pelajaran yang dapat mempengaruhi siswa agar dapat menerima, menguasai,
dan mengembangkan ilmu yang didapat. Kurikulum yang kurang baik juga dapat memberikan dampak dan hasil yang kurang baik pula.
7) Evaluasi
Evaluasi merupakan hal yang dapat menunjukkan hasil suatu proses pembelalajaran. Hal ini juga dapat memberi motivasi kepada siswa dan guru agar
dapat belajar lebih giat sehingga meningkatkan kemampuan berpikir. Hasil dari evaluasi dapat mencerminkan kemajuan dan prestasi siswa, tetapi juga dapat menjadi cerminan bagi guru. Sehingga guru dapat mengetahui apakah cara mengajarnya
mudah dipahami oleh siswanya. 8) Sarana dan prasarana
11
2. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
a. Nilai
Nilai merupakan hal yang bersifat abstrak dan menunjukkan kualitas dari sesuatu yang bermaksud baik sehingga bermanfaat untuk siapa saja. Nilai biasanya
melekat pada sesuatu yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional.
Sunaryadi (2013: 70-72) menyatakan bahwa secara garis besar ada beberapa gagasan tentang nilai yang berbeda satu dengan lainnya yaitu:
1) Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan.
2) Nilai sebagai obyek dari kepentingan. 3) Nilai sebagai hasil pemberian nilai.
4) Nilai sebagai esensi.
b. Pendidikan karakter
Michael Novak (melalui Lickona, 2013: 81) menjelaskan bahwa karakter merupakan campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh
tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah. Namun individu tidak hanya memiliki sisi kebaikan saja. Ada pula sisi kelemahan dalam diri setiap individu. Tidak ada manusia yang sempurna,
namun tetap ada kebaikan dan kelemahan yang berbeda-beda.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang berbeda tiap
karakter yaitu lingkungan keluarga, setelah itu individu dapat beradaptasi dengan
lingkungannya.
Lingkungan keluarga dapat mempengaruhi sikap seorang individu karena perilaku anak tidak jauh dari perilaku orang tuanya. Hal ini disebabkan oleh anak
yang sering melihat tingkah laku orang tuanya, apa yang dilihat oleh anak akan diingat dan ditiru. Orang tua tidak mengingatkan, maka tingkah laku yang buruk
akan diingat terus dan akan mendarah daging bagi anak hingga dewasa, tidak hanya di lingkungan keluarga saja, lingkungan sekolah juga berpengaruh bagi pembentukan karakter individu.
Pendidikan karakter menurut Winton (melalui Samani, 2013: 43) yaitu upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada
para siswanya. Hal apapun yang disampaikan oleh guru, harus berkaitan dengan karakter baik dari materi pelajaran yang disampaikan secara langsung, maupun melalui petuah-petuah. Sehingga dapat diamalkan oleh para siswa.
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional mengemukakan bahwa tujuan dari pendidikan karakter yaitu
membangun bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, masyarakatnya saling bergotong royong, berjiwa patriotik, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya berdasar pada iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan Pancasila (Samani: 2013). Sedangkan fungsi dari pendidikan karakter yaitu: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
13
bangsa yang multikultur, (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia.
Hasil kajian empirik dari Pusat Kurikulum, telah diidentifikasi sejumlah nilai untuk pembentukan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter dapat berasal dari
agama, Pancasila, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai–nilai tersebut yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri,
(8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
Namun, Pusat Kurikulum menyarankan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang digunakan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungannya.
Penelitian nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta ini dibatasi menjadi sembilan
nilai yang berasal dari Kemendiknas, yaitu religius, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, cinta tanah air, dan tanggung jawab. Batasan nilai ini disesuaikan dengan pembelajaran tari di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta.
Pengertian nilai-nilai menurut Kemendiknas (melalui Wibowo, 2012: 43-44) yaitu: 1) Religius
Artinya yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
2) Toleransi
Artinya yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
3) Disiplin
Artinya yaitu tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas-tugas.
4) Kerja Keras
Artinya yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya. 5) Kreatif
Artinya yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil yang telah dimiliki.
6) Mandiri
Artinya yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7) Rasa Ingin Tahu
Artinya yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya.
8) Cinta Tanah Air
Artinya yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
15
9) Tanggung Jawab
Artinya yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan batasan nilai di atas, inti pendidikan karakter adalah sikap, perilaku, dan tindakan. Hal ini memiliki makna sama dengan pendidikan karakter
dalam lingkungan masyarakat jawa yang sudah diupayakan sejak zaman dahulu. Istilah budi pekerti bagi masyarakat jawa lebih populer. Menurut Endraswara (2006: 2) budi pekerti itu watak atau perbuatan seseorang sebagai perwujudan hasil
pemikiran. Inti dari budi pekerti ini yaitu sikap dan perilaku.
Menurut Tim Pengembangan Budi Pekerti (TPBP) Provinsi DIY ada 12 ciri
budi pekerti, yaitu: (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan santun, (4) toleransi, (5) kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tanggung jawab, (8) guyub rukun, (9) tepa selira, (10) empan papan, (11) tata krama, dan (12) gotong rotong. Penelitian nilai-nilai
pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta membatasi nilai budi pekerti ini menjadi tiga yaitu sopan
santun, empan papan, dan tata krama. Arti dari nilai tersebut yaitu: 1) Sopan santun
Menurut Zuriah (2007: 84) sopan santun artinya sikap dan perilaku seseorang
yang tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sopan santun berupa kebiasaan yang disepakati di lingkungan tertentu
2) Empan papan
Artinya sikap dan perilaku seseorang yang bisa menempatkan diri pada lingkungan sekitar sehingga tidak bertentangan dengan aturan di lingkungan tersebut. Misalnya ketika seseorang berada di lingkungan sekolah, maka ia harus ikut menaati
aturan yang ada di sekolah. 3) Tata krama
Artinya sikap seseorang yang menaati aturan dan sopan santun. Tata krama merupakan hal penting dan tidak bisa dipisahkan dengan budi pekerti. Tata krama ini berlaku pada lingkungan yang terbatas, misalnya tata krama yang baik di daerah
Jawa belum tentu baik di daerah Bali (Endraswara: 2006).
Menurut Sastrowardoyo (melalui Endraswara, 2006: 40) tata krama memiliki makna yang sama dengan unggah-ungguh yang merujuk pada istilah suba sita. Tata
krama ini bisa dilihat melalui tata bahasa, sikap, serta perilaku seseorang. Semakin baik tata bahasa, sikap, dan perilaku seseorang, maka budi pekerti orang tersebut
sudah baik dan akan mewujudkan karakter yang baik pula.
Tujuan dari pendidikan karakter yang baik yaitu perilaku yang mampu
menimbang hal yang baik dan buruk, serta memilih hal baik untuk dijalankan.
3. Hakikat Tari
a. Tari
Tari merupakan salah satu cabang kesenian yang sudah ada sejak zaman
17
1986). Maka tari dalam bentuk semula diperkirakan hanya berbentuk gerak saja,
namun sudah memiliki ritme (irama). Tidak hanya sekedar gerak, namun ada irama yang menjadikan gerak indah. Manusia primitif menjadikan tari sebagai media persembahan atau pemujaan dengan gerak yang berasal dari hasil meniru gerak
pohon, aliran air, maupun alam sekitarnya. Seiring dengan perkembangan zaman, tari tidak hanya berkembang bagi manusia primitif namun juga berkembang pada
manusia modern.
B.P.H. Suryadiningrat dalam buku Kawruh Joged Mataram mengatakan “Ingkang dipun wastani joged inggih punika ebahing sedaya saranduning badan, kasarengan ungeling gangsa/gamelan, katata pikantuk wiramaning gendhing, jumbuhing pasemon kaliyan pikajenging joged” (YSAB, 1981: 16).
Sedangkan Corrie Hartong menyatakan bahwa tari adalah gerak-gerak yang
berbentuk dan ritmis dari tubuh dalam ruang (Depdikbud, 1982: 17).
Beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tari adalah gerak yang ritmis dari tubuh di dalam ruang yang diiringi oleh irama musik, dan disesuaikan
dengan ekspresi yang mendukung bagi tarinya.
Tari terdiri dari beberapa jenis, menurut Debdikbud (1982: 50) berdasarkan
pola garapan tari di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: tari tradisional dan tari kreasi baru.
1) Tari tradisional
Tari tradisional merupakan tari yang berkembang di masyarakat yang berpacu pada aturan atau kaidah-kaidah tradisi yang sudah ada dan baku. Tari tradisional
Tari klasik adalah tari yang masih taat pada aturan atau kaidah dan
norma-norma yang baku dan hidup secara turun-temurun. Lingkungan awal yang menjadi tempat munculnya tari klasik yaitu lingkungan istana raja dan bangsawan (Abdurachman: 1979). Tari klasik memiliki prinsip komposisi maupun ragam gerak
yang sudah ditetapkan dan diakui dengan pembagian ragam berdasar jenis tarian maupun perwatakannya.
2) Tari kreasi baru
Tari Kreasi baru merupakan tari garapan yang dasar pemikirannya berasal dari tuntutan masa kini, dan sudah berkembang bebas dalam pengungkapannya. Para
koreografer tari kreasi baru umumnya masih mengambil sumber dari tari tradisional. Mereka hanya mengembangkan dari sisi gerak maupun busananya.
b. Tari Klasik Gaya Yogyakarta
Tari klasik gaya Yogyakarta diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
ke I yang memimpin keraton pada tahun 1755-1792. Awalnya, tari klasik hanya boleh dipelajari di dalam istana. Gerak yang ada berasal dari gerak keprajuritan,
karena penari yang mempelajari tari klasik saat itu merupakan prajurit dari keraton. Penari beranggapan bahwa teknis yang dimiliki tari klasik gaya Yogyakarta hanya itu-itu saja. Mereka tidak menyadari bahwa hal penting lainnya dalam mempelajari
tari yaitu seni jiwa.
Tanggal 17 Agustus 1918 lahir organisasi tari klasik gaya Yogyakarta yang
19
Sultan Hamengku Buwono VII, Sukidjo (melalui Depdikbud: 1986). Pangeran
Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma mengajak beberapa penari, ahli tari, ahli karawitan dari keraton Yogyakarta untuk membentuk organisasi ini. Spesialisasi tipe tari dari organisasi ini yaitu putri, putra halus, dan putra gagah. Organisasi inilah
yang menjadi pelopor bagi wanita untuk mempelajari dan menarikan tari klasik gaya Yogyakarta (Soedarsono: 2000).
Sifat tari klasik gaya Yogyakarta yaitu abstrak dan simbolis. Menurut orang awam yang tidak mengerti tentang seni tari, mereka beranggapan bahwa penari tari klasik gaya Yogyakarta hanya membuat garis biasa yang tak tampak secara jelas dan
tanpa patokan tertentu. Tetapi sebenarnya garis tersebut merupakan pola khas dalam tari tersebut. Patokan dalam tari klasik ada dua, yaitu (1) patokan baku dan (2)
patokan tidak baku. Patokan baku adalah patokan atau aturan yang tidak dapat diubah dan harus ditaati oleh penari tari klasik gaya Yogyakarta, sedangkan patokan tidak baku adalah ragam tari yang sudah terpola tetapi dalam praktik gerak, penari
boleh menyimpang dari aturan yang ada, Sukidjo (melalui Depdikbud: 1986).
Menurut R.L. Sasmintamardawa, dkk. (1983: 26) aturan-aturan yang harus
diperhatikan dan dilaksanakan oleh penari tari klasik gaya Yogyakarta meliputi (1) hadeg atau sikap badan, (2) sikap dan pandangan mata, (3) gerak leher, dan (4) sikap kaki. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Hadeg atau sikap badan
Sikap badan merupakan faktor penting yang harus dipelajari karena hal ini
a) Iga kaunus : tulang rusuk dijunjung
b) Ula-ula ngadeg : tulang punggung berdiri c) Enthong-enthong wrata : tulang belikat datar d) Jaja munjal : dada membusung
e) Weteng nglempet : perut kempis
Sikap-sikap badan tersebut dipusatkan pada cethik yaitu persendian yang
terdapat di antara pangkal paha dan badan. 2) Sikap dan pandangan mata
Hal tersebut dapat menunjukkan konsentrasi dari seorang penari. Ketentuan
sikap dan pandangan mata yaitu kelopak mata terbuka dengan bola mata lurus menurut arah hadap muka. Pandangan dari penari harus tajam dengan jarak tiga kali
tinggi badan untuk putri dan putra halus, dan lima kali tinggi badan untuk putra gagah.
3) Gerak leher
Ketentuan gerak leher dipusatkan pada persendian antara leher dan kepala. Pokok gerak pada leher disebut tolehan dan pacak gulu.
4) Sikap tangan
Sikap-sikap yang ada dalam tari klasik gaya Yogyakarta yaitu terdiri dari: a) Jari tangan mempunyai sikap ngruji, ngithing, nyempurit, dan ngepel yang
hanya berpusat pada jari tangan.
b) Pergelangan tangan memiliki sikap nekuk lengkung (tumungkul), nekuk
21
5) Sikap kaki
Sikap kaki merupakan sendi kekuatan, kemantapan dan keseimbangan seorang penari. Ketentuan tersebut yaitu:
a) Pupu mlumah : sikap paha yang dibuka empat puluh lima derajat ke
arah samping kanan dan kiri.
b) Dhengkul megar : sikap lutut membuka empat puluh lima derajat ke
arah samping kanan dan kiri.
c) Dlamakan malang : sikap telapak kaki serong empat puluh lima derajat ke arah samping kanan dan kiri.
Penari dalam mempelajari Tari klasik gaya Yogyakarta tidak hanya memperhatikan aturan sikap-sikap menari, tetapi harus mengetahui unsur pokok
dalam tari. Tiga unsur pokok dalam tari klasik menurut Debdikbud (1982: 9) yaitu: 1) Wiraga : anggota badan yang selaras
2) Wirama : gerak yang teratur dan selaras serta berirama
3) Wirasa : kesesuaian serta keselarasan wiraga dan pasemon dengan isi atau maksud yang diungkapkan dalam tari.
Penari yang sudah bisa memahami sikap dan unsur pokok dalam tari klasik gaya Yogyakarta harus berhasil menjiwai tari tersebut. Soedarsono (2000: 107) menjelaskan bahwa menurut ahli-ahli tari dari Keraton Yogyakarta, penjiwaan
1) Sawiji
Artinya konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa bagi diri penari. Dalam hal ini, penari harus berkonsentrasi terhadap tari yang dibawakan, sehingga maksud dari tari tersebut dapat disampaikan dengan baik.
2) Greget
Artinya dinamika atau semangat dari penari yang dimunculkan melalui
pembawaan diri dan pada saat menari semata-mata tertuju pada pada kepentingan dan karakter tarinya.
3) Sengguh
Artinya percaya terhadap diri sendiri tanpa ada tujuan untuk menyombongkan diri. Tetapi, penari harus percaya bahwa tari yang ditampilkan baik, agar penonton
yang melihat akan merasa baik pula. 4) Ora mingkuh
Artinya pantang mundur, penari harus memiliki keberanian dan siap dalam
menghadapi tantangan yang ada.
Setiap penari baik putra maupun putri yang ingin mempelajari tari klasik gaya
Yogyakarta, harus melewati beberapa tahapan atau tingkatan tarinya. Tari dasar putri klasik gaya Yogyakarta yang menjadi tingkatan paling bawah dan awal untuk penari yaitu Tari Sari Tunggal. Tari ini berisi tentang ragam-ragam gerak dasar untuk tari srimpi dan bedhaya. Ragam tari ini dimulai dari gerak sembahan kemudian
kapang-kapang dan diakhiri pula dengan gerak sembahan. Sari Tunggal ditarikan secara
23
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka muncul pertanyaan dari peneliti yang akan menjadi acuan dalam mencari data. Pertanyaan penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah proses pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan
Keraton Yogyakarta ?
2. Nilai-nilai pendidikan karakter apa sajakah yang terkandung dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta ?
3. Adakah nilai pendidikan karakter dalam tari Sari Tunggal ?
C. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian dengan judul
“Peranan Sari Tunggal dalam Proses Belajar Tari Puteri Gaya Yogyakarta di Keraton Yogyakarta” oleh Titik Putraningsih pada saat memperoleh gelar sarjana S-1 di
Institut Seni Indonesia. Penelitian ini berisi tentang latar belakang tari Sari Tunggal yang digunakan sebagai pelajaran tari dasar di organisasi tari Kridha Beksa Wirama, dan digunakan untuk mengawali latihan tari di Keraton Yogyakarta.
Peneliti menjelaskan tentang catatan tari Sari Tunggal yang dijabarkan dengan penggunakan ragam geraknya pada tari Srimpi, Bedhaya, maupun Wayang Wong. Terdapat pula penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan dari tari Sari
Tunggal melalui motif gerak, ritme gerak, dan irama gendhing, faktor durasi, faktor
D. Kerangka Berpikir
Masyarakat Indonesia mulai melupakan norma-norma yang ada, sehingga banyak terjadi perilaku yang menyimpang. Salah satu cara untuk mengurangi penyimpangan tersebut adalah dengan menanamkan karakter. Karakter tersebut
diberikan sejak dini kepada anak-anak, dan bisa melalui pendidikan seni, yaitu seni tari karena memiliki banyak ketentuan yang harus dipatuhi. Salah satu tari yang memiliki aturan dan patokan yang tetap sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah
tari klasik.
Pembelajaran tari bisa diberikan di mana saja, tidak hanya secara formal di
sekolah-sekolah umum, namun juga bisa diajarkan di sanggar-sanggar. Salah satu tempat yang mengajarkan tari klasik gaya Yogyakarta yaitu di Bangsal Kasatriyan
Keraton Yogyakarta di bawah naungan Kawedanan Hageng Punokawan Parwa Budaya yaitu Kawedanan Hadeng Punokawan Kridha Mardawa yang mengawali
latihan dengan tari Sari Tunggal.
Pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan memiliki banyak keunikan dari pakaian yang digunakan, serta proses pembelajarannya, sehingga
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan judul dan beberapa penjelasan di atas, penelitian ini
menggunakan metode Kualitatif. Menurut Creswell (2012: 4), penelitian kualitatif
merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang
dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Metode kualitatif sering
disebut metode penelitian naturalistik yang penelitiannya dilakukan pada kondisi
alamiah. Data yang diperoleh dalam analisis pada metode penelitian ini lebih bersifat
deskriptif.
B. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah proses pembelajaran tari Sari Tunggal di
Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari
Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta ini yaitu siswa dan narasumber
yang merupakan guru atau pengajar di Bangsal Kasatariyan Keraton Yogyakarta.
D. Data penelitian
Data penelitian ini berbentuk kalimat yang menggambarkan tentang proses
ini berbentuk deskripsi dan bertujuan untuk membuat gambaran tentang nilai-nilai
pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan,
Keraton Yogyakarta.
E. Sumber data
Sumber data dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer, dan sumber data
sekunder. Sumber data primer merupakan sumber data yang secara langsung
memberikan data kepada peneliti, sedangkan sumber data sekunder merupakan
sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti. Misalnya melalui
orang lain, atau dokumen yang ada dan telah lalu (Sugiyono: 2012).
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh
dari guru pengajar di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta selaku narasumber,
serta beberapa guru dari sanggar tari klasik gaya Yogyakarta, dan menggunakan data
sekunder yang berupa dokumen untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti.
F. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan langkah yang tidak bisa dihindari dalam
kegiatan penelitian. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak
akan mendapatkan data yang dicari. Peneliti menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
27
1. Observasi
Observasi menurut Nasution (melalui Sugiyono, 2014: 64) adalah dasar
semua ilmu pengetahuan. Peneliti akan belajar tentang data apa saja yang akan
diteliti, serta akan mengetahui situasi lapangan sebelum melaksanakan penelitian.
Penelitian ini menggunakan observasi partisipatif karena peneliti tersebut ikut terlibat
dalam kegiatan yang dilakukan oleh narasumber (ikut menjadi bagian di dalam
pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta).
Peneliti melakukan observasi secara formal maupun santai, yaitu saat
diadakannya latihan rutin pada setiap hari Minggu maupun ketika berdiskusi dengan
beberapa guru pengajar dari Bangsal Kasatriyan, dan guru dari sanggar-sanggar tari
klasik gaya Yogyakarta. Peneliti ikut menari dalam latihan rutin di Bangsal
Kasatriyan, Keraton Yogyakarta namun tetap melaksanakan observasi. Sehingga
peneliti dapat mencari data dan mengetahui keadaan lokasi penelitian.
2. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan percakapan antara dua pihak yang memiliki tujuan
untuk mencapai atau mengetahui maksud tertentu. Kedua pihak tersebut yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan terwawancara
(interviewee) adalah pihak yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan
oleh pihak pertama, (Moleong: 2013). Penelitian kualitatif menggunakan wawancara
mendalam, yang dilakukan dengan cara tanya jawab dan bertatap muka secara
Jenis wawancara menurut Eastberg (melalui Sugiyono, 2014: 73) ada tiga
yaitu (1) wawancara terstruktur, (2) wawancara semiterstruktur, dan (3) wawancara
tak berstruktur. Penelitian ini menggunakan wawancara semiterstruktur, yaitu
peneliti meminta narasumber untuk mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Saat
melakukan wawancara ini, peneliti membawa alat bantu agar informasi yang
diperoleh dapat terekam dengan baik. Alat bantu yang digunakan yaitu buku catatan,
kamera, dan handphone untuk merekam informasi dari narasumber. Narasumber
dalam penelitian ini adalah pihak yang berhubungan dengan tari Sari Tunggal di
Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta dan tari klasik gaya Yogyakarta. Pihak
tersebut yaitu :
a. Ibu Theresia Suharti atau KRT Pujaningsih selaku guru di Bangsal
Kasatriyan.
b. Ibu Sri Kadarjati atau KRT Kusumaningrat selaku guru di Bangsal
Kasatriyan dan guru sanggar Suryo Kencono.
c. Ibu Siti Sutiyah atau KRT Dwijo Sasmintamurti selaku guru di Bangsal
Kasatriyan.
d. Ibu Titik Agustin selaku guru di Bangsal Kasatriyan dan dosen jurusan
Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni UNY.
e. Ibu Angela Retno Nooryastuti selaku guru di Bangsal Kasatriyan.
f. Ibu Veronica Retnaningsih atau MW Murtiharini selaku guru di Bangsal
Kasatriyan dan guru Krida Beksa Wirama (KBW).
g. KRT Condrowasesa selaku guru di Kawedanan Hageng Punokawan Krida
29
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bukti dari suatu peristiwa yang sudah berlalu dan
diabadikan untuk dijadikan data untuk masa yang akan datang. Dokumen dapat
berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono:
2012).
Peneliti menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang berupa tulisan
mengenai tari Sari Tunggal, catatan ragam tari putri klasik gaya Yogyakarta, foto
proses pembelajaran tari Sari Tunggal baik sebelum menari, saat menari, maupun
ketika selesai menari. Dokumentasi lain berupa catatan hasil wawancara dengan
narasumber yang digunakan sebagai pelengkap dari teknik pengumpulan data berupa
observasi.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam metode kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Sebelum terjun ke lapangan untuk mencari data, peneliti harus benar-benar
memahami metode kualitatif, menguasai teori, dan wawasan dari bidang yang akan
diteliti, serta mengetahui keadaan lapangan. Namun setelah fokus penelitian
semakin jelas, data yang diperoleh dapat menjadi pelengkap dari hasil observasi,
wawancara mendalam, maupun dokumentasi. Hal ini disebabkan karena data yang
dicari dalam penelitian kualitatif merupakan hal yang belum pasti namun bersifat
sementara, karena data yang diperoleh dapat berkembang dan berubah setelah
Untuk mempermudah penelitian, maka peneliti membuat kisi-kisi instrumen
untuk memperoleh data tentang nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran
tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
Lembar pengamatan observasi dibuat untuk mempermudah peneliti dalam
rangka mengetahui keadaan lokasi penelitian. Lembar tersebut adalah sebagai
[image:46.609.106.532.281.408.2]berikut.
Tabel 1: Kisi-kisi Observasi
No. Aspek yang diamati Hasil Observasi
1. Proses pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
2. Pengamatan tentang peraturan pembelajaran tari
Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
3. Pengamatan tentang ragam gerak tari Sari Tunggal.
Kisi-kisi instrumen yang lain yaitu kisi-kisi wawancara yang dibuat
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Kisi-kisi tersebut yaitu sebagai
[image:46.609.109.529.524.738.2]berikut.
Tabel 2: Kisi-kisi Wawancara
No. Aspek Wawancara Inti Pertanyaan
1. Sejarah tari Sari Tunggal. a. Tahun terciptanya tari Sari Tunggal. b. Pencipta tari Sari Tunggal.
c. Sejarah tari Sari Tunggal diajarkan di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
2. Pembelajaran tari Sari Tunggal. a. Proses pembelajaran tari Sari Tunggal
di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
3. Peraturan pembelajaran. a. Peraturan pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
31
Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta.
b. Nilai pendidikan karakter dalam tari
Sari Tunggal.
Selain kisi-kisi observasi dan wawancara, peneliti membuat kisi-kisi
[image:47.609.108.533.287.449.2]dokumentasi untuk mempermudah dan membantu memperoleh data.
Tabel 3: Kisi-kisi Dokumentasi
No. Dokumentasi Hasil Dokumentasi
1. Rekaman:
a. Rekaman video proses pembelajaran tari
Sari Tunggal.
b. Rekaman wawancara terhadap narasumber. 2. Foto-foto:
a. Foto-foto tari Sari Tunggal.
b. Foto proses pembelajaran tari Sari Tunggal.
3. Buku catatan dan referensi:
a. Buku catatan tentang tari Sari Tunggal. b. Buku catatan hasil wawancara.
H. Teknik Keabsahan Data
Agar hasil penelitian ini valid, lebih kuat, dan lebih jelas bila dibandingkan
dengan hanya menggunakan satu teknik, maka peneliti menggunakan teknik
triangulasi data. Menurut Sugiyono (2012: 241), triangulasi yaitu teknik
pengumpulan data yang bersifat penggabungan dari berbagai teknik pengumpulan
data dan sumber data yang telah ada.
Teknik keabsahan data yang dipilih oleh peneliti yaitu triangulasi sumber,
sama. Peneliti menggabungkan hasil yang telah diperoleh dari observasi,
wawancara, maupun dokumentasi yang mendukung penelitian.
I. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu setelah
seluruh data diperoleh dari observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi,
kemudian peneliti akan menggabungkan data tersebut dalam teknik triangulasi data.
Selanjutnya peneliti akan mulai menganalisis data dengan cara:
1. Reduksi data
Artinya yaitu merangkum dan memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal penting, dicari tema, dan polanya dari data yang sudah didapatkan dari
proses pengumpulan data.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti yaitu mencatat data hasil
observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi yang didapatkan selama
melakukan penelitian di Bangsal Kasatriyan. Langkah berikutnya peneliti menyeleksi
dari data-data yang sudah terkumpul, dan memfokuskan pada hal-hal yang penting
dan dibutuhkan.
2. Display data atau penyajian data
Artinya yaitu menyajikan data yang sudah direduksi dengan menguraikan
secara singkat menggunakan kata-kata yang diperoleh dari hal-hal pokok yang sudah
dirangkum. Display data ini bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam
33
3. Penarikan kesimpulan
Artinya yaitu menarik kesimpulan berdasarkan data yang telah dirangkum
dan diuraikan secara singkat dan akan menghasilkan data yang valid sebagai jawaban
dari permasalahan yang ada. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin bisa
menjawab pertanyaan dari peneliti, namun mungkin juga tidak bisa menjawab
pertanyaan dari peneliti, karena hal yang diteliti dalam penelitian kualitatif masih
bersifat sementara. Peneliti menari kesimpulan setelah data yang didapat cukup, dan
34
Tari Sari Tunggal merupakan tari putri klasik gaya Yogyakarta yang dapat ditarikan secara tunggal maupun bersamaan. Tari ini tidak memiliki cerita dan makna
apapun, namun berisi urutan ragam gerak yang memiliki makna untuk melatih
kesabaran, kepekaan irama bagi penari. Ragam gerak tersebut banyak digunakan
pada tari Srimpi dan bedhaya. Tari Sari Tunggal berasal dari kata sari yang berarti inti tari, dan tunggal yang berarti wiraga, wirama, dan wirasa yang menyatu. Tari ini berawal dari munculnya organisasi tari di luar benteng keraton, yaitu organisasi
Kridha Beksa Wirama yang biasa disebut KBW yang lahir pada tahun 1918.
Organisasi ini mengajarkan tari Sari Tunggal dengan tujuan untuk memperkenalkan ragam tari putri klasik gaya Yogyakarta kepada masyarakat yang belum bisa menari.
Tari Sari Tunggal diiringi oleh seperangkat gamelan Jawa dengan menggunakan jenis gendhing ketawang. Gendhing ketawang yang sering dimainkan yaitu Ketawang Tunggal Jiwa, dan Ketawang Brondong Mentul. Berdasarkan hasil observasi peneliti, gendhing ketawang yang digunakan tersebut dimainkan secara
bergantian dan berbeda setiap minggu. Pengrawit tidak menentukan akan
35
Belajar menari memiliki tahapan-tahapan yaitu tahap awal siswa belajar tari
dasar untuk perkenalan ragam gerak. Berikutnya siswa belajar tari bentuk seperti tari
tunggal, tari berpasangan, maupun tari kelompok. Hal ini sama dengan pembelajaran
tari di Kridha Beksa Wirama, yaitu tari Sari Tunggal dipelajari pertama kali bagi
siswa baru kemudian siswa belajar tari Srimpi dan Golek (Depdikbud: 1986). Begitu
pula dengan pembelajaran tari di Keraton Yogyakarta, Sari Tunggal dipelajari di
awal dan membuka latihan rutin setiap hari Minggu kemudian siswa putri berlatih
tari Srimpi Pandhelori. Tahun 1970 an siswa tidak hanya mempelajari dua tarian saja
melainkan juga berlatih tari Golek Lambangsari wetah, sedangkan saat ini tari Golek
tidak dipelajari di keraton.
Pembelajaran tari tidak hanya di sekolah formal saja, namun pembelajaran
juga bisa dilaksanakan di organisasi non formal yaitu pembelajaran tari di Bangsal
Kasatriyan Keraton Yogyakarta. Bangsal ini menjadi tempat penelitian untuk
mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal.
Bangsal Kasatriyan dahulu digunakan sebagai tempat putra raja yang belum
menikah, sedangkan saat ini Bangsal Kasatriyan digunakan untuk latihan menari
rutin setiap hari Minggu pagi pukul 10.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB.
Bangsal Kasatriyan berupa pendapa yang terletak di sisi timur Bangsal
Kencana yang merupakan pusat kegiatan kebudayaan di Keraton Yogyakarta. Cara
untuk menuju bangunan ini yaitu melewati Bangsal Kencana ke arah timur,
kemudian melewati gerbang besar menuju pendapa Bangsal Kasatriyan.
Berikut ini adalah foto Bangsal Kasatriyan dari sisi timur dan selatan yang
Gambar 1: Tempat latihan rutin diBangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta dari sisi timur (Foto: Mayong, 2015)
Gambar 2: Bangsal Kasatriyan tampak dari sebelah selatan(Foto: Mayong, 2015)
Latihan rutin hari Minggu ini di bawah naungan organisasi milik keraton
Yogyakarta yang mempunyai struktur pemerintahan. Organisasi ini membawahi
[image:52.609.178.462.395.605.2]37
Kawedanan Hageng Punokawan Parwa Budaya yang dipimpin oleh GBPH
Yudhaningrat. Kawedanan tersebut terdiri atas gabungan dari (1) Kawedanan
Hageng Punokawan Kridha Mardawa, (2) Kawedanan Hageng Pengulon, (3)
Kawedanan Hageng Puralaya, dan (4) Kawedanan Hageng Kaputren. Penjelasan
gabungan Kawedanan tersebut yaitu:
1. Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa
Kawedanan ini mengelola kegiatan kebudayaan di istana. Kridha Mardawa
diibaratkan sebagai Dinas Kebudayaan Keraton Yogyakarta yang mengelola
beberapa kegiatan yaitu pembelajaran dan latihan tari di Bangsal Kasatriyan, latihan
macapat di Rotowijayan, kegiatan pedalangan di Pracimosono, dan latihan karawitan
di Bangsal Kasatriyan (wawancara dengan KRT Condrowasesa pada tanggal 17 Juni
2015).
Salah satu bagian organisasi yang bertanggung jawab di bidang seni tari
yaitu Bebadan Among Beksa. Beberapa kegiatan yang dikelola yaitu latihan rutin
setiap hari Minggu yang diadakan di Bangsal Kasatriyan, pentas tari di dalam istana
maupun mewakili istana di luar benteng keraton, serta membuat pakaian atau kostum
tari.
2. Kawedanan Hageng Pengulon
Kawedanan ini mengelola kegiatan keagamaan yang dikelola abdi dalem
keraton yang berstatus sebagai ulama yang mengelola Masjid Gede di dalam Keraton
3. Kawedanan Hageng Puralaya
Kawedanan ini mengelola pemakaman raja dan kerabat-kerabatnya di daerah
Imogiri dan Kotagede.
4. Kawedanan Hageng Kaputren
Kawedanan ini mengelola tempat tinggal raja dan putra-putrinya. Pada zaman
Sri Sultan HB VII abdi dalem Bedhaya tinggal di Kaputren ini.
Empat Kawedanan tersebut berfungsi untuk melestarikan budaya karena
Keraton Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan. Keraton Yogyakarta memiliki
beberapa fungsi lain berikut ini:
1. Sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya,
2. Sebagai pusat pemerintahan,
3. Sebagai pusat kebudayaan, kegiatan pariwisata, kegiatan ilmu pengetahuan,
4. Sebagai museum yang menyimpan sejarah Yogyakarta.
B. Sejarah Tari Sari Tunggal
Pada awalnya, tari klasik gaya Yogyakarta hanya boleh diajarkan di dalam
benteng keraton, dengan materi tari Srimpi dan tari Bedhaya dan para penari tidak
belajar menari dari permulaan atau tarian dasar. Penari tersebut adalah abdi dalem
yang mengabdi, dan ketika putra dalem sedang latihan, para abdi dalem yang sudah
memiliki kemampuan baik bisa ikut belajar menari bersama dan dibimbing oleh
39
Gerak-gerak dasar dalam tari putri awalnya hanya dipelajari oleh guru
pengampu di keraton. Namun setelah berdirinya Kridha Beksa Wirama (KBW) pada
tahun 1918 yang dipelopori oleh Pangeran Soeryobrongto dan Pangeran
Tedjakusumo, tari boleh diajarkan di luar benteng keraton. Materi tari yang diajarkan
di Kridha Beksa Wirama merupakan materi tari yang diajarkan di Keraton
Yogyakarta. Namun, karena siswa yang belajar belum mengerti ragam gerak tari
gaya Yogyakarta, maka Kridha Beksa Wirama mengajarkan tari Sari Tunggal
sebagai dasar untuk putri. Ragam gerak tari Sari Tunggal di organisasi ini lebih
panjang dan lebih komplit.
Tahun 1950 an, kerabat keraton berinisiatif untuk mendirikan Bebadan
Among Beksa Keraton Yogyakarta dan mengajarkan tari Sari Tunggal di nDalem
Purwodiningratan (saat ini disebut nDalem Kaneman) sampai sekitar tahun 1970 an.
Bebadan Among Beksa ini merupakan instansi kebudayaan resmi Keraton
Yogyakarta. Tujuan dari latihan tari di nDalem Purwodiningratan adalah agar
masyarakat umum juga bisa belajar menari tidak hanya kerabat kerajaan saja.
Urutan ragam tari Sari Tunggal saat itu masih panjang dan komplit, ragam
gerak tari tersebut diajarkan oleh guru kepada siswa secara detail yaitu perhitungan
dan pada awalnya belum menggunakan iringan tari, hanya hitungan dari para guru.
Para guru biasa menyebut metode ini dengan pembelajaran teori yang dilakukan
selama 1 tahun.
Pada tahap selanjutnya, siswa akan mulai belajar menggunakan iringan dan
menari di atas pendapa (wawancara dengan Ibu Sri Kadarjati pada tanggal 14 April
tari Sari Tunggal secara teori dan tanpa iringan setiap hari Minggu, sedangkan
dengan iringan setiap hari Rabu dan Jumat.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, ada seorang
tokoh tari yang bernama Basuki Koeswaraga yang merangkum tari Sari Tunggal. Hal
ini bersamaan dengan berdirinya KONRI atau Konservatori Tari pada tahun 1963
(wawancara dengan Ibu Veronica Retnaningsih pada tanggal 22 April 2015).
Rangkuman ragam ini kemudian diajarkan di Keraton Yogyakarta, dan digunakan
hingga saat ini.
Tahun 1974 Bebadan Among Beksa ditarik ke Keraton dan berada di bawah
naungan Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa. Kegiatan latihan tari di
dalam benteng Keraton dimulai kembali dan dipimpin oleh Gusti Benawa. Siswa
yang belajar tidak hanya putra dalem saja, masyarakat umum diperbolehkan
mengikuti kegiatan tersebut. Pada tahun tersebut, kegiatan pariwisata sudah mulai
ramai. Keraton Yogyakarta menjamu tamu dengan adanya acara makan siang
(wawancara dengan Ibu Siti Sutiyah pada tanggal 24 April 2015). Jadi latihan rutin
hari Minggu juga untuk menunjang pariwisata di lingkungan keraton saat itu. Sistem
pembelajarannya sama dengan di nDalem Purwodiningratan yaitu menggunakan
belajar teori terlebih dahulu.
Materi latihan tari di Keraton Yogyakarta awalnya yaitu Sari Tunggal,
Srimpi, dan tari Golek Lambangsari wetah. Namun saat ini jatah latihan antara siswa
putra dan putri masing-masing hanya dua tari saja. Biasanya setelah materi tari
Srimpi, siswa sudah kelelahan dan tidak melanjutkan materi tari Golek. Latihan rutin
41
selama satu jam yaitu sampai pukul 10.00 WIB. Kemudian, setelah GBPH Benowo
meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh RM Poeger dan latihan rutin sempat
vakum selama beberapa tahun.
Tahun 2013 yang lalu latihan rutin di Bangsal Kasatriyan, Keraton
Yogyakarta dibuka kembali. Hal ini berkaitan dengan adanya keistimewaan
Yogyakarta. Jadwal latihan tari tetap dilaksanakan pada hari Minggu dimulai pukul
10.00 dengan materi awal untuk putri yaitu tari Sari Tunggal. Tidak ada
pembelajaran khusus atau tanpa menggunakan metode teori. Siswa hanya
mendengarkan aba-aba dari guru.
C. Peraturan Pembelajaran Tari Sari Tunggal
Penari yang ingin mengikuti latihan rutin di Bangsal Kasatriyan, sebaiknya
mendaftarkan diri terlebih dahulu kepada abdi dalem yang bertugas pada hari
Minggu. Latihan rutin ini bisa diikuti oleh siapa saja dari semua kalangan, dan siswa
diharapkan sudah memiliki kemampuan menari khususnya tari klasik gaya
Yogyakarta. Penari yang sudah terdaftar diharapkan datang sebelum latihan rutin
dimulai. Latihan rutin dimulai pukul 10.00 WIB, diawali dengan tari Sari Tunggal
untuk siswa putri, kemudian dilanjutkan dengan Tayungan untuk siswa putra.
Pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta
tidak memiliki peraturan khusus yang mengikat. Namun hanya ada peraturan tentang
pakaian atau busana yang boleh dipakai maupun yang tidak boleh dipakai oleh guru
maupun siswa putri serta peraturan ketika berada di lingkungan Keraton Yogyakarta.
1. Kebaya tangkepan atau disebut juga model kartini, tanpa menggunakan hiasan
renda, bros, dan bordir. Kebaya yang digunakan bisa terawang maupun tertutup.
2. Guru dan siswa yang menggunakan kebaya terawang harus memakai semekan.
Semekan merupakan kain bermotif batik yang digunakan sebagai dalaman
kebaya. Berikut ini merupakan contoh siswa yang memakai kebaya dan
[image:58.609.223.413.265.550.2]semekan.
Gambar 3: Siswa memakai kebaya dan semekan (Dok.: Bowo, 2015)
3. Jarik yang digunakan berlatar putih yaitu jarik motif gaya Yogyakarta, tidak
menggunakan gurdha. Jika menggunakan motif lerek, dengan lebar lerek tidak
boleh melebihi 7 cm. Biasanya jarik yang digunakan bermotif parang klithik.
Siswa dan guru memakai jarik dengan model seredan, yaitu kain sebelah kiri
43
seredan tersebut ketika memasuki area Keraton Yogyakarta, sehingga tampak
lebih rapi dan bersih. Berikut ini adalah contoh siswa yang memakai jarik saat
[image:59.609.224.418.199.484.2]memasuki Keraton Yogyakarta.
Gambar 4: Siswa memakai jarik dan seredan dilipat agar tampak lebih rapi saat memasuki area Keraton Yogyakarta (Dok.: Satria, 2015)
4. Guru dan siswa menggunakan sanggul tekuk tanpa hiasan ceplok, mentul,
penetep, dan perhiasan kepala lainnya.
5. Guru dan siswa diharapkan memakai giwang atau subang, jika tidak
menggunakan subang artinya ia sedang berduka atau sedang hamil.
6. Tidak diperkenankan menggunakan gelang dan kalung.
Berikut ini adalah contoh siswa yang memakai sanggul tanpa hiasan apapun,
Gambar 5: Siswa memakai sanggul, giwang, dan tidak memakai kalung (Foto: Mayong, 2015)
7. Ketika para g