STRATEGI COPING PADA POLISI SUKU TORAJA YANG MENGALAMI
MASA PRA PENSIUN TERKAIT RAMBU SOLO’ DI TORAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Disusun oleh:
Delvianty Tanga Parinding NIM: 129114066
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
“Sesungguhnya, Allah penolongku; Tuhanlah yang menopangku”
Mazmur 54:4
“Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk
selama-lamanyaa kasih setia-Nya.”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tulisan ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus
Kedua orangtuaku,
Yacob Parinding & Yohana Tangnga
Saudaraku tercinta,
vii
STRATEGI COPING PADA POLISI YANG MENGHADAPI MASA PRA PENSIUN TERKAIT DENGAN ADAT RAMBU SOLO’ DI TORAJA
Delvianty Tanga Parinding
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang dimiliki oleh polisi suku Toraja yang menghadapi masa pra pensiun terkait rambu solo’ di Toraja. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana strategi coping pada polisi suku Toraja yang mengalami masa pra pensiun dalam menghadapi upacara Rambu Solo’?”. Informan dalam penelitian ini yaitu polisi suku Toraja yang memiliki jabatan perwira pertama yang berusia di atas 50 tahun atau mendekati masa pensiun di Toraja. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan menggunakan analisis isi terarah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa polisi yang mengalami masa pra pensiun merasa siap karena telah memiliki pekerjaan sampingan yang akan diteruskan saat pensiun nanti. Bagi ketiga informan, rambu solo’ bukanlah beban bagi mereka karena telah memiliki pekerjaan sampingan. Gengsi dan status sosial menjadi motif dibalik pelaksanaan upacara rambu solo’ yang besar. Apabila datang dengan tangan hampa pada upacara rambu solo’, maka memberikan pengaruh bagi seseorang yang memiliki pangkat dan jabatan yaitu munculnya perasaan malu. Dalam menghadapi permasalahannya, para informan menggunakan salah satu strategi coping atau menggabungkan beberapa strategi coping. Pemilihan strategi coping tidak lepas dari adanya sumber coping seperti positif beliefs dan social support.
viii
POLICE COPING STRATEGY IN FACING PRE-RETIREMENT PERIOD
RELATED TO RAMBU SOLO’ TRADITION IN TORAJA
Delvianty Tanga Parinding
ABSTRACT
This research aims to acknowledge the coping strategy used by police to face pre-retirement period related to Torajanese’s polices tradition Rambu Solo’. The question used in this research will be “How is the coping strategy practiced by Torajanese’s polices in pre-retirement period in facing Rambu solo’ ceremony? The informants of this research were Torajanese’s polices in aged of over 50 who had their first officer position and approaching retirement period in Toraja. The method applied in this research was quantitative method by using directed content analysis. The researcher employed semi-structured interview to gather the data. This result showed that the polices were ready to face their preretirement period because they have already a side job until the retirement. For the polices, Rambu Solo’ was not a problem. Prestige and status social were the motif for Rambu Solo’s tradition. They would feel embarrassed if they did not prepare anything for this ceremony. In facing their problems, the informants applied one of coping strategies or combine several coping strategies. This coping strategy selection depends on some coping sources such as beliefs and social support.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nyalah sehingga peneliti
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kesehatan, waktu, semangat
kerja, dan menjadi tempat keluh kesahku. Terimakasih untuk kasih setiaMu,
Tuhanku Yesus.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., dekan Fakultas Psikologi, Universitas
Sanata Dharma.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., Kaprodi Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. dan Lidwina Tri A. FCJ. MA. selaku dosen
pembimbing akademik.
5. Bapak R. Landung Eko P., M.Psi., Psi. selaku dosen pembimbing. Terima
kasih untuk setiap masukan, dukungan, kritik saran, dan semangatnya. Terima
kasih juga untuk ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si., yang sebelumnya menjadi
dosen pembimbingku.
6. Terima kasih untuk dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu
xi
7. Bapak dan ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang
telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang berharga.
8. Papa, Mama, dan Anis yang selalu memberikan dukungan untuk terus
semangat mengerjakan skripsi, terima kasih sudah memahami dan selalu ada
buatku. Keluarga besar yang selalu mendukung dan mendoakanku.
9. Sepupu-sepupuku Ningsih, Lia, Cindy, dan Lin, semangat kuliahnya ya. Buat
Adi dan Wendy, semangat kerja skripsinya biar tahun ini bisa wisuda bareng.
10.Sahabat-sahabatku, Oktia Sudianti, Itha Alamako, dan Nila Hayu. Teman
dolan, teman makan, dan kerjaannya selfie muluk wkwkwk. Makasih
sayang-sayangku untuk dukungan dan semangatnya. Semangat buat revisi buat Itha,
semoga bisa ki wisuda bareng. Tetap semangat Tia, semoga tahun ini bisa
sidang dan cepat wisuda. Amiiiiin. Nilaaa, moga dapat kerjaan yaaaak, hehee.
11.Agung dan Patrick, teman dari SMA sampai sekarang yang mau aja bantuin
nyari buku tentang Toraja, makasih banyak nah. Ku doakan moga sukses ko
mi. semangatt agung semoga kejar S2nya. Patrick, semangat kuliah biar cepat
lulus trus jadi Romo deh, hehe.
12.Maria Moa dan Vita Kharisma, teman seperjuangan skripsi hingga saat ini,
terima kasih untuk setiap proses yang kita jalani bersama, terima kasih untuk
semangat dan dukungannya.
13.Teman-teman Dampok Insadha 2014 Ansel, Iwat, Andre, Dida, dan Yopek
xii
dan Thomas yang mau aja direpotin secara dadakan, hehe. Makasih banyak
yaa.
14.S. Aji, makasih banyak untuk dukungannya yang mau nemenin nyekrip, mau
direpotkan, dan memberikan masukan meski kadang aku kurang paham kamu
bilang apa hahaa. Semangat kuliah ya biar cepat lulusnya.
15.Gue, Rini, Pipi, Edo, Dara, Nyak, Gektri, Gege, dan Sekkar. Terima kasih
untuk dukungan dan bantuannya. Semangat ya buat kalian yang masih dalam
proses.
16.Para informan yang telah percaya dan memberikan infomasi untuk penelitian
ini.
17.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah
membantu dan memberikan dukungan selama ini.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, peneliti sangat terbuka untuk menerima dan menghargai setiap kritik dan
saran yang disampaikan untuk membantu menyempurnakan penelitiaan ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi banyak orang.
Yogyakarta, Maret 2017
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Masalah Penelitian ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 9
xiv
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Strategi Coping ... 11
2.1.1. Pengertian Strategi Coping ... 11
2.1.2. Fungsi Coping ... 13
2.1.3. Bentuk-Bentuk Coping ... 14
2.1.4. Faktor-Faktor Coping ... 16
2.2. Rambu Solo’ pada Polisi yang menghadapi masa pra pensiun ... 19
2.2.1. Pengertian Rambu Solo’ ... 19
2.2.2. Pengertian Pra Pensiun ... 23
2.2.3. Karakteristik Pra Pensiun ... 25
2.3. Strategi Coping pada Polisi yang Mengalami Masa Pra Pensiun terkait dengan Rambu Solo’ ... 27
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.2. Informan Penelitian ... 32
3.3. Fokus Penelitian ... 33
3.4. Refleksivitas Peneliti ... 33
3.5. Metode Pengumpulan Data ... 34
3.6. Metode Analisis Data ... 36
3.7. Keabsahan Data ... 37
3.7.1. Kredibilitas ... 37
xv
4.1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 38
4.1.1. Persiapan Penelitian dan Perizinan ... 38
4.1.2. Pelaksanaan Penelitian ... 39
4.2. Informan Penelitian ... 40
4.2.1. Data Informan ... 40
4.2.2. Latar Belakang Informan ... 40
4.3. Analisis Data Penelitian ... 44
4.3.1. Informan 1 ... 44
4.3.2. Informan 2 ... 58
4.3.3. Informan 3 ... 72
4.4. Kesimpulan Analisis Ketiga Informan ... 78
4.5. Pembahasan ... 80
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
5.1. Kesimpulan ... 89
5.2. Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 92
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Panduan Pertanyaan Wawancara ... 35
Tabel 4.1 Waktu dan tempat penelitian... 39
Tabel 4.2 Data Informan ... 40
Tabel 4.3 Latar Belakang Informan 1 ... 40
Tabel 4.4 Latar Belakang Informan 2 ... 42
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Skema strategi coping pada polisi suku Toraja yang mengalami masa pra
pensiun terkait dengan rambu solo’ ... 30
Gambar 4.1: Skema Informan 1 ... 57
Gambar 4.2: Skema Informan 2 ... 71
Gambar 4.3: Skema Informan 3 ... 77
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu budaya di Toraja yang menjadi daya tarik wisata paling populer
di Provinsi Sulawesi Selatan adalah rambu solo’ atau upacara pemakaman.
Upacara ini termasuk salah satu upacara yang penting dalam kehidupan
masyarakat Toraja. Hal itu dapat dimengerti oleh karena dalam pandangan
hidup orang Toraja, kematian merupakan titik permulaan kehidupan baru di
“alam yang lain” (Paseru, 2004).
Menurut Said (2004, dalam Tumirin dan Abdurahim, 2015), upacara
rambu solo’ sudah mulai dilaksanakan sekitar abad ke-9 masehi dan
dilaksanakan secara turun-temurun hingga saat ini. Setiap tahapan pelaksanaan
upacara rambu solo’ merupakan peristiwa yang mengandung dimensi religi dan
sosial, serta ditunjang pula dengan realitas kehidupan di puya (surga), yang
digambarkan sebagai suatu kehidupan yang kekal dan apabila arwah tersebut
telah menjadi dewa akan memberikan berkat bagi kaum keluarganya (Rahleda,
2016). Iskandar (2013) mengatakan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh
seseorang tidak terlepas dari proses belajar yang dialami oleh seseorang dengan
lingkungannya. Upacara rambu solo’ memiliki nilai-nilai tersendiri bagi
Selain nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat, terdapat juga
norma-norma sosial yang menjadi aturan adat di Toraja. Iskandar (2013) mengatakan
bahwa norma sosial akan digunakan sebagai standar tingkah laku masyarakat
yang kelak dapat berkembang menjadi aturan hukum adat Toraja, khususnya
pada upacara rambu solo’. Nilai dan norma sosial tentang adat rambu solo’ telah
ditanamkan oleh orangtua sejak kecil sehingga orang Toraja memiliki ikatan
atau kelekatan yang kuat terhadap adat budayanya. Ainsworth (dalam
Nurhidayah, 2011) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang
dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat
mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu dan
terbentuk karena adanya hubungan antar individu dalam lingkungan sosialnya.
Ketika kelekatan berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu
yang berlangsung lama, maka akan menimbulkan sebuah ikatan afeksional
(Ainsworth,1978 dalam Indrawati dan Fauziah, 2012). Kelekatan antar anak dan
orangtua dalam kebudayan Toraja dapat menumbuhkan nilai dan norma budaya
Toraja hingga mereka beranjak dewasa dan hidup bermasyarakat.
Merujuk pada penjelasan sebelumnya, upacara adat rambu solo’
terselenggara dikarenakan adanya dorongan perasaan berutang budi,
melestarikan budaya dan meningkatkan pendapatan daerah (melalui retribusi
potong hewan), kebiasaan atau ritual, mempererat kekerabatan persaudaraan,
dengan membayar hutang keluarga pada keluarga lain yang sedang mengadakan
rambu solo’ atau pesta pemakaman (Andilolo, 2012). Adanya ketetapan adat
yang di anggap sangat penting dalam ritual rambu solo’, mewajibkan
masyarakat atau anggota keluarga yang memiliki sanak keluarga yang
meninggal untuk meminjam uang pada keluarga yang lain. Bahkan tidak sedikit
yang harus menjual rumah ataupun menjadi budak pada kalangan bangsawan
Tana Toraja demi memenuhi tuntutan adat tersebut (Baharuddin, 2016).
Ada banyak tingkatan upacara pemakaman yang dilaksanakan di kalangan
masyarakat Toraja dan itu disesuaikan dengan kelasnya, atau status sosial dari
yang meninggal serta jumlah kerbau yang akan dikorbankan. Cyndia (2015)
memaparkan status sosial keluarga yang meninggal dapat terlihat di prosesi
rambu solo’. Status sosial dapat dilihat dari jumlah hewan yang dikorbankan.
Semakin banyak jumlah kerbau yang disembelih, status sosialnya semakin
tinggi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pelaksanaan upacara rambu solo’
dikarenakan beberapa faktor, yaitu faktor fanatisme yang sudah melekat berupa
emosi keagamaan dalam ajaran Aluk Todolo, dorongan dari kelompok
masyarakat yang ingin menampilkan status dan lapisan sosialnya disertai
kemampuan ekonomi, sehingga gengsi sosial timbul dan menjadi ukuran
penilaian oleh masyarakat sekitarnya (Ansaar, 2014).
Ada’ (2014) mengatakan bahwa upacara kematian telah berangsur-angsur
upacara kematian yang semarak dan mahal akan menaikkan gengsi yang
bersangkutan atau keluarganya, sedangkan kegagalan melaksanakannya akan
membuat malu yang bersangkutan atau keluarganya. Adanya perasaan gengsi
dan malu, mendorong setiap orang untuk bekerja dengan lebih giat agar dapat
mendapat penghasilan sesuai dengan jabatannya.
Tuntutan sosial yang harus dipenuhi oleh masyarakat Toraja memberikan
motivasi untuk bekerja dengan giat mencari penghasilan yang tinggi demi
membiayai upacara adatnya. Menurut Suardirman (2011), bekerja merupakan
bagian fundamental kehidupan bagi hampir semua orang dewasa, baik pria
maupun wanita, yang memberikan kebahagiaan dan kepuasan. Masyarakat
dapat mengembangkan potensi pada bidang pekerjaan yang diminatinya,
dengan memiliki penghasilan yang sesuai dengan usaha kerjanya. Penghasilan
yang diperoleh dari hasil kerja seseorang disesuaikan dengan pangkat jabatan
yang dimilikinya. Untuk mendapatkan jabatan yang tinggi, seseorang perlu
bekerja dengan giat untuk mencapai posisi tersebut. Masyarakat menilai
seseorang yang memiliki jabatan yang tinggi akan mendapatkan pengakuan atau
memiliki status sosial.
Status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya
sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestise,
dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 2006). Status sosial yang
atau penghasilan yang besar. Salah satu pekerjaan yang dilakukan oleh
masyarakat Toraja yaitu polisi. Seseorang yang berprofesi sebagai polisi dengan
jabatan yang tinggi memiliki status sosial yang tinggi bagi masyarakat Toraja.
Hal ini dikarenakan polisi memiliki pendidikan dan kemampuan ekonomi yang
tinggi sehingga dianggap mampu untuk melaksanakan upacara Rambu solo’.
Pada kenyataannya, pekerjaan yang dilakukan tidak akan berlangsung
selamanya karena ada batasan usia tertentu dalam bekerja yang disebut dengan
masa pensiun. Pensiun diartikan sebagai berhentinya seseorang dari
pekerjaannya yang selama ini ia tekuni dan menjadi sumber hidup bagi
keluarganya, serta tidak lagi bekerja ditempat itu untuk selama-lamanya
(Tarigan, 2009). Pada masa ini, individu bukan hanya kehilangan pekerjaan
tetapi juga kehilangan jabatan, karir, dan penghasilan tetap yang dimilikinya.
Kehilangan jabatan atau kedudukan itu dapat menimbulkan efek yang negatif,
seperti rasa takut, khawatir, cemas, depresi, dan stress. Tak dapat dipungkiri,
faktor stres dapat berdampak buruk pada mental dan fisik seseorang, apalagi
jika hal tersebut berlangsung lama dan tidak segera diatasi dengan baik
(Tarigan, 2009). Makin cemas seseorang dalam meningkatkan kelas sosialnya,
maka simbol status terasa semakin penting. Jahja (2011) memaparkan bahwa
apabila karena mobilitas sosial individu pada usia madya pindah lingkungan
yang baru, maka masyarakat yang berada di lingkungan tersebut akan menerima
status yang dapat dimilikinya, maka makin tinggi kemungkinan dan kesempatan
untuk memperoleh pengakuan.
Secara psikologis, aturan dan norma adat yang ada di Toraja termasuk
sebagai superego yang dimiliki oleh orang Toraja untuk dilakukan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bion (1962 dalam Carvert, 2011) bahwa “Where superego was, there ego shall come to be.” Aturan adat tersebut tercipta
karena diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang orang Toraja
sehingga wajib untuk dijaga dan dilestarikan. Selain itu, adanya keterikatan
antara orang Toraja dengan adat budayanya yang telah berakar dan mendarah
daging dalam kehidupan orang Toraja membuat mereka tidak dapat lepas dari
budayanya. Seperti yang diungkapkan oleh Rousseau dan Pascal (1969, dalam
Carvert, 2011) bahwa “conscience is fundamentally grounded in non-rational, emotional processes of attachment, sympathy, concern and love.”. Keterikatan
(attachment) ini tercipta sebagai wujud rasa hormat kepada leluhurnya sehingga
adat budaya tidak bisa dilepas atau diabaikan. Hal ini membuat superego
menjadi agen ideologi budaya (Barnet, dalam Carvert, 2011) sehingga orang
Toraja harus berusaha untuk memenuhi tuntutan adatnya yaitu bekerja dengan
keras untuk membiayai upacara rambu solo’ yang tidak sedikit.
Sumber pengeluaran terbesar bagi orang Toraja yaitu untuk membiayai
pesta adat rambu solo’. Di samping itu, ada beberapa pengeluaran lain yang
juga perlu dipertimbangkan bagi orang Toraja khususnya seorang polisi.
rumah atau kendaraan pribadi, kesehatan, kebutuhan rumah tangga, dan
lain-lain. Dengan adanya beban ekonomi dan tuntutan sosial yang harus dihadapi,
polisi perlu memikirkan usaha untuk mempersiapkan masa pensiunnya. Hal ini
disebabkan ketika masa pensiun tiba, polisi tidak mendapatkan gaji yang besar
sesuai dengan jabatannya, akan tetapi mendapatkan dana pensiun yang lebih
sedikit. Bagi polisi yang tidak dapat mengatasi berbagai masalah atau tuntutan
tersebut, maka akan menjadi sumber stres. Besarnya dana yang dikeluarkan
dalam rambu solo’ dapat menyebabkan tekanan bagi polisi yang mengalami
masa pensiun. Hal ini dikarenakan sumber penghasilan yang didapatkan saat
bekerja, sudah tidak ada lagi sehingga diperlukan strategi coping untuk
menghadapi tuntutan sosial di Toraja.
Berbagai masalah dan tuntutan sosial yang dialami individu dapat
diselesaikan dengan menggunakan strategi coping. Coping adalah pemikiran
atau perilaku adaptif bertujuan mengurangi atau meringankan stress yang
bersumber dari kondisi yang berbahaya, mengancam, atau menantang (Papalia,
2009). Ada berbagai cara yang berbeda dalam menghadapi situasi yang ada
dengan melakukan strategi coping. Strategi coping bisa jadi berfokus pada
masalah atau berfokus pada emosi. Pada coping berfokus pada masalah merujuk
kepada upaya untuk menangani masalah dengan mengubah fitur situasi yang
memperbaiki kondisi emosional internalnya, misalnya, dengan penenangan
emosional atau mencari dukungan sosial.
Ada berbagai penelitian yang membahas tentang rambu solo, seperti
penelitian Ansaar (2014) dalam “Rapasan: Upacara Pemakaman bagi Kasta
Tana’ Bulaan di Tana Toraja” mengungkapkan upacara pemakaman merupakan
ritual yang paling penting dan biayanya tergolong mahal. Sirajuddin &
Andilolo (2013) dalam “Beberapa Motivasi Masyarakat Toraja Memotong
Ternak Kerbau” menuliskan motivasi untuk memotong kerbau tidak lagi
berdasarkan adat Toraja yang sesungguhnya tetapi disesuaikan dengan strata
sosial masyarakat. Hasil penelitian lain juga mengungkapkan dalam kehidupan
masyarakat Toraja, kerbau berkaitan dengan lapisan sosial, status sosial, dan
peran sosial. Nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Toraja juga
mempengaruhi nilai jual kerbau yang ada di Toraja, masyarakat yang memiliki
status dan lapisan sosial tinggi di Toraja akan membeli kerbau dengan nilai
yang lebih tinggi. (Sadidan, Sulaeman, dan Homzah, 2015).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi coping pada
polisi yang bersuku Toraja dalam menghadapi masa pra pensiunnya terkait
dengan rambu solo’. Oleh sebab itu, peneliti memilih pendekatan kualitatif
dengan menggunakan analisis isi terarah. Menurut Supratiknya (2015), analisis
isi terarah cocok diterapkan pada teori yang sudah ada atau hasil penelitian
konteks baru atau menggunakan informan yang baru. Pendekatan ini dinilai
sesuai digunakan untuk menguji kembali strategi coping pada polisi yang
mengalami masa pra pensiun terkait rambu solo’ karena pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Marwing (2011) mengenai strategi coping
dengan kriteria informan yang tidak memiliki pekerjaan tetap di Toraja.
Berdasarkan uraian tersebut menjadi pertimbangan untuk melakukan penelitian
mengenai strategi coping pada polisi suku Toraja yang menghadapi masa
pensiun terkait rambu solo’.
1.2. Masalah Penelitian
Dalam penelitian ini, masalah umum yang ingin diangkat oleh peneliti
adalah “Bagaimana strategi coping pada polisi suku Toraja yang menghadapi
masa pra pensiun terkait rambu solo’ di Toraja?”
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi coping pada polisi
suku Toraja yang menghadapi masa pra pensiun terkait rambu solo’ di Toraja.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
tambahan teori baru bagi para akdemisi dan peneliti selanjutnya.
sosial dan psikologi budaya, penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat dalam menjelaskan dengan lebih baik mengenai strategi coping
pada polisi suku Toraja yang menghadapi masa pra pensiun terkait
upacara rambu solo’ di Toraja.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Bagi para polisi dan keluarga polisi suku Toraja yang memasuki
masa pra pensiun, penelitian ini dapat memberi gambaran tentang
pengaruh rambu solo’ terhadap polisi menjelang pensiunnya
sehingga menggunakan strategi coping.
b. Menambah wawasan dan bahan reflektif untuk melihat strategi
coping yang digunakan polisi suku Toraja menghadapi masa pra
pensiun terkait upacara rambu solo’.
c. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu kepolisian
memperhatikan anggotanya khususnya pada polisi yang termasuk
suku Toraja yang menghadapi masa pensiun dengan menggunakan
11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Strategi Coping
2.1.1. Pengertian Strategi Coping
Kata coping sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan
sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian
belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk mewakili
istilah ini (Wardani, 2009). Lazarus & Folkman (dalam Smet, 1994)
menggambarkan coping sebagai suatu proses pada individu mencoba
untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (tuntutan yang
berasal dari diri individu maupun dari lingkungan) dengan
sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi yang
menekan. Coping adalah cara berpikir atau perilaku adaptif yang
bertujuan mengurangi atau menghilangkan stres yang timbul dari
kondisi berbahaya, mengancam, atau menantang (Papalia, 2009).
Sedangkan menurut Arumwardhani (2011), coping adalah suatu proses
usaha untuk mempertemukan tuntutan yang berasal dari diri sendiri dan
lingkungan.
Coping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam
menggunakan perilaku copingnya dengan baik maka ia dapat melakukan
penyesuaian sosial dengan baik pula. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan hasil bahwa, sebagian besar informan mempunyai orientasi
penyelesaian masalah yang berfokus pada cara atau strategi untuk
menyelesaikan masalah atau Problem Focused Coping. Coping
merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan,
mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hapsari,
dkk, 2002 dalam Wardani, 2009). Perilaku coping juga diartikan sebagai
tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah (Chaplin,
2001 dalam Wardani, 2009). Fleming (1984 dalam Prasetyo, 2016)
mengungkapan bahwa perilaku coping adalah sebagai respon individu
terhadap tekanan yang dirasakan atau merupakan suatu bentuk respon
psikologis yang dilakukan individu untuk mengurangi akibat dari suatu
persoalan yang muncul. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, peneliti
memahami bahwa strategi coping adalah suatu cara yang dilakukan oleh
individu untuk mengatasi masalah atau tuntutan yang timbul dari
berbagai sumber baik dari dalam diri sendiri atau lingkungan sosialnya.
Coping stress yang ditampilkan individu dapat berbeda-beda
tergantung pada masalah yang dihadapi, tetapi apabila coping stress
yang ditampilkan dan digunakannya pada suatu masalah dirasa cocok
mengulangi jika dihadapkan pada masalah serupa dimasa mendatang
(Effendi,1999; dalam Darmalia, Giyono dan Utaminingsih, 2015).
2.1.2. Fungsi Coping
Secara umum coping itu sendiri mempunyai dua macam fungsi
(Cohen & Lazarus, 1983; Lazarus & Folkman, 1984; Rutter, 1983;
Eiser, 1990, Taylor, 1991; dalam Smet, 1994), yaitu:
a. Emotion-focusedcoping
Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres.
Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan
alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak
menyenangkan, melalui strategi kogntif. Bila individu tidak
mampu mengubah kondisi yang ‘stressful’, individu akan
cenderung untuk mengatur emosinya.
b. Problem-focused coping
Untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan
mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru.
Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya
yakin akan dapat merubah situasi. Metode atau fungsi masalah ini
lebih sering digunakan oleh para dewasa.
Rutter (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa strategi coping
yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stress dan
bahwa keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi
coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh
stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling
berhasil. Manfaat dari strategi coping adalah pada intinya agar seseorang
tetap dapat melanjutkan kehidupan selanjutnya walaupun memiliki
masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan emosi,
mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan
lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif dan tetap
melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain (Firdaus,
2004 dalam Wardani, 2009).
2.1.3. Bentuk-Bentuk Coping
Carver dan Scheier (1989) mengembangkan bentuk-bentuk strategi
coping, yaitu:
a. Strategi coping berorientasi pada masalah (problem focus coping)
1. Coping aktif (Active coping), yaitu usaha untuk menghilangkan
atau mengatasi masalah maupun memperbaiki dampak dari
masalah tersebut dengan cara langsung.
2. Perencanaan (Planning), yaitu usaha yang dilakukan individu
dengan berpikir mengenai bagaimana cara mengatasi suatu
masalah yang ada. Planning berisikan strategi suatu tindakan,
dengan pemikiran mengenai tindakan yang akan dilakukan dan
3. Focus pada suatu aktifitas (Suppression of competing activities),
yaitu usaha individu untuk menyelesaikan masalahnya dengan
cara mengurangi perhatian pada aktivitas lain.
4. Pengendalian diri (Restraint coping), yaitu usaha individu
dengan menahan diri dengan menunggu suatu kesempatan yang
tepat untuk bertindak.
5. Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental (Seeking
social support for instrumental reasons), yaitu usaha individu
untuk mencari dukungan sosial seperti meminta pendapat,
bantuan atau informasi untuk menyelesaikan masalah.
6. Mencari dukungan sosial untuk alasan emosional (Seeking social
support for emotional reasons), yaitu usaha individu untuk
mendapatkan dukungan moral, simpati dan dimengerti oleh
lingkungan sosial.
b. Stategi coping berorientasi pada emosi (emotional focus coping)
1. Focus dan mengekspresikan perasaan (Focusing on and venting
of emotions), yaitu kecenderungan individu untuk fokus pada
tekanan apapun dengan mengekspresikan perasaannya terhadap
masalah atau tekanan yang dialami.
2. Penyimpangan perilaku (Behavioral disengagement), yaitu
kecenderungan kurangnya usaha untuk mengatasi suatu tekanan,
3. Penyimpangan Mental (Mental disengagement), yaitu upaya
alternatif individu untuk mengalihkan masalah dengan
melakukan aktivitas lain yaitu melamun, tidur, atau
menenggelamkan diri dengan menonton televisi.
4. Reinterpretasi dan perkembangan positif (Positive
reinterpretation and growth), yaitu coping yang bertujuan untuk
mengatasi tekanan emosi daripada menghadapi tekanan itu
sendiri.
5. Penolakan (Denial), yaitu respon individu untuk menolak dan
menyangkal sebauh kenyataan.
6. Penerimaan (Acceptance), yaitu individu yang menerima realitas
suatu situasi yang stressful akan lebih mudah untuk menerima
atau berusaha menangani situasi tersebut.
7. Kembali pada agama (Turning to religion), yaitu usaha individu
menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan.
2.1.4. Faktor-Faktor Coping
Kemampuan seseorang untuk melakukan coping yang efektif
tergantung pada jenis stressor dan coping yang digunakan. Lazarus dan
Folkman (dalam Huffman, Vernoy, & Vernoy, 2000) membagi
a. Health and energy
Semua stres menyebabkan beberapa jenis perubahan fisiologis.
Oleh karena itu, kesehatan individu secara signifikan berpengaruh
terhadap kemampuan individu untuk mengatasi masalah.
Orang-orang yang lebih kuat dan sehat, semakin baik mereka mengatasi
suatu masalah dan semakin lama mereka tetap pada posisi bertahan
tanpa memasuki tahap kelelahan.
b. Positive beliefs
Citra diri yang positif dan sikap positif dapat menjadi sangat
signifikan mengatasi sumber daya. Menurut Lazarus dan Folkman,
berharap bisa datang dari kepercayaan diri sendiri, yang dapat
memungkinkan kita untuk merancang strategi coping yang dimiliki
oleh diri sendiri; kepercayaan pada orang lain, seperti dokter yang
membuat kita merasakan pengaruh dari hasil yang positif; atau
keyakinan pada pertolongan Tuhan.
c. Problem-solving skills
Ketika orang-orang memiliki internal lokus kontrol, perasaan
yang dimiliki oleh individu secara signifikan telah mengontrol setiap
peristiwa dalam kehidupannya, dalam mengatasi masalah mereka
lebih berhasil daripada orang-orang yang merasa tidak memiliki
kontrol, bahwa mereka tidak mampu menangani peristiwa dalam
dengan lokus kontrol eksternal merasa bahwa mereka tidak berguna
dan tidak berdaya untuk mengubah keadaan mereka.
d. Social Skills
Seseorang dengan keterampilan sosial seperti mengetahui
perilaku yang sesuai untuk situasi tertentu, mampu memulai
percakapan dan mengekspresikan diri dengan baik memiliki
kecemasan yang lebih rendah daripada mereka yang tidak
memilikinya. Keterampilan yang efektif dapat membantu seseorang
tidak hanya berinteraksi dengan yang lainnya tetapi juga
mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan yang dimiliki,
meminta bantuan ketika sedang membutuhkan, dan mengurangi
permusuhan saat menghadapi situasi yang tegang.
e. Social Support
Dukungan sosial bisa mencegah efek stres akibat perceraian,
kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan,
kehilangan pekerjaan, dan kelebihan beban kerja. Ketika berhadapan
dengan situasi stres, teman-teman dan keluarga dapat membantu
menjaga kesehatan seseorang, mendengarkan dan memeluk,
membuat seseorang merasa penting bagi mereka, mencegah
seseorang melakukan tindakan yang menimbulkan penyesalan, dan
f. Material Resources
Kita sering mendengar uang bukan segalanya, tetapi saat
mengatasi stress, uang dan hal-hal lain yang bisa dibeli dengan uang
dapat menjadi sumber daya yang nyata. Uang meningkatkan jumlah
pilihan yang tersedia untuk menghilangkan sumber stres atau
mengurangi efek stres.
2.2. Rambu solo’ pada Polisi yang menghadapi masa pra pensiun 2.2.1. Pengertian Rambu solo’
Adat merupakan merupakan norma-norma yang sah dan berfungsi
mengatur ketertiban dan keserasian hidup masyarakat (Tallulembang,
2012). Salah satu adat yang wajib dilakukan oleh masyarakat Toraja
yaitu upacara Rambu solo’. Rambu solo’ atau upacara pemakaman
adalah salah satu rangkaian budaya adat istiadat di Toraja. Masyarakat
Toraja mengadakan upacara pemakaman yang telah diwariskan secara
turun-temurun oleh leluhur. Tangdilintin (2014) mengatakan bahwa ada
beberapa ketentuan yang harus diperhatikan pada upacara rambu solo’
yang dilakukan menurut Aluk Todolo, yaitu upacara rambu solo’
ditentukan oleh kedudukan sosialnya dan kemampuan keluarganya
mengadakan kurban pada upacara tersebut.
Menurut hasil penelitian Tim Peneliti dari Departemen Pendidikan
mengapa begitu banyak kerbau yang dikorbankan dalam upacara
pemakaman, yaitu:
a. Faktor religi
Menurut Aluk Todolo, roh dari kerbau-kerbau yang
dikorbankan akan menjadi harta kekayaan dari roh orang yang
meninggal di “dunia sana”.
b. Faktor Prestise (Harga Diri)
Hal ini disebabkan karena susunan kasta yang ada dalam
masyarakat Toraja, sehingga kalau yang meninggal orang kelas
tinggi dan jumlah kerbau yang dikorbankan tidak sesuai dengan
statusnya, maka anggota masyarakat akan “menertawakan”
(menghina atau memandang rendah) keluarganya yang masih hidup.
c. Faktor Ekonomi
Faktor ini ikut menentukan, karena jumlah kerbau yang
dikorbankan, menunjukkan bahwa keluarga itu mampu.
Pada penelitian Tumirin & Abdurahim (2015) memaparkan bahwa
perngorbanan biaya yang besar untuk rambu solo’ memiliki makna yang
mendalam bagi masyarakat Tana Toraja karena berdampak jangka
panjang. Walaupun dari perspektif ekonomi pengorbanan biaya tersebut
dapat dipandang sebagai pemborosan namun ternyata tidak dianggap
sebagai beban yang berat, terbukti dengan tetap lestarinya upacara
Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Marwing
(2011) mengenai “dinamika psikologis dengan cara memahami faktor
motivasional individu dari tana’ bulaan miskin dalam melaksanakan
upacara rambu solo’” mengungkapkan bahwa para informan dari
berbagai tingkatan upacara tidak hanya menghadapi dampak langsung
beban keuangan rambu solo’ melainkan juga harus menghadapi berbagai
dampak jangka panjang atau dampak tidak langsung sebagai implikasi
dari ketidakmampuannya dalam mengatasi dan mengontrol
permasalahan asal beban keuangan rambu solo’ sebagai sumber tekanan.
Menurut Paranoan (1990, dalam Guntara dan Ruja, 2016),
motivasi sosio-kultural memainkan peranan penting dalam memberi
perlakuan pada orang yang meninggal di suku Toraja antara lain:
a. Sebagai wadah pemersatu keluarga, artinya melalui ritus rambu
solo’, relasi kekeluargaan disegarkan kembali. Ritual ini menjadi
ajang reuni para kaum kerabat, bahkan dengan semua handai tolan
atau kenalan biasa. Orang bertamu, duduk bercerita massalu nene’
(menelusuri garis keturunan) sambil ma’ panggan (siri-pinang)
sehingga hubungan kekerabatan antara keluarga besar kembali
erat.
b. Sebagai tempat membagi warisan, artinya suatu kebiasaan yang
dilakukan keluarga si mati dalam ritus rambu solo’ adalah ma’
mendapatkan harta warisan “orang yang meninggal” lewat
mantunu (mengorbankan kerbau dan babi pada saat upacara
kematian si mati. Yang berhak ikut ma’tallang ialah anak kandung
dari orang yang meninggal, kalau orang yang meninggal tersebut
tidak mempunyai anak, maka saudaranya berkewajiban
menyelenggarakan upacara kematian dan berhak atas harta benda
orang yang meninggal dengan jalan ma’tallang.
c. Sebagai tempat menyatakan martabat, artinya dalam setiap ritus
rambu solo’ martabat dan harga diri orang Toraja dinyatakan lewat
ma’tallang. Anak dan keluarga “orang yang meninggal” akan
berlomba mencari kerbau yang nilainya tinggi dalam konteks
budaya Toraja. Sehingga banyaknya kerbau dan babi serta
keberhasilan dan kemeriahan penyelenggaraan ritus rambu solo’
akan meningkatkan martabat keluarga dan menciptakan nilai
budaya tinggi. Di sinilah letak keunikan orang Toraja dalam
menghadapi upacara kematian karena tidak berhitung ekonomis,
tetapi yang ditonjolkan ialah karapasan (kedamaian).
d. Sebagai tempat bergotong royong, artinya salah satu ciri khas
orang Toraja adalah gotong-royong, hal ini terlihat dalam tradisi
sembangan ongan (bantuan keluarga atau kenalan sebagai
ungkapan belasungkawa) yang ditujukan untuk membantu
kerbau dan babi tidak boleh ditolak oleh keluarga “orang yang
meninggal”. Pada waktu si pemberi sembangan ongan mengalami
kedukaan, barulah bantuan sembangan ongan-nya dikembalikan
yang disebut umbaya’ indan (membayar utang). Utang sembangan
ongan tidak boleh ditagih, walaupun begitu setiap kelurga yang
berhutang akan menggantinya dan membayarnya kembali sesuai
dengan prinsip saling mempercayai dengan penuh tanggung jawab.
e. Sebagai wadah pengembangan seni, artinya dalam ritus rambu
solo’, kesenian orang Toraja dipertunjukkan. Hal ini terlihat pada
balun (kain kafan) berwarna merah dan kuning diukir dengan
corak matahari yang bahannya bergantung pada status sosial
“orang yang meninggal”. Selama upacara berlangsung secara
berganti-ganti ditampilkan berbagai kesenian hingga lagu duka
yang mengungkapkan keberanian, kebaikan hati atau riwayat
hidup “orang yang meninggal”.
f. Sebagai wadah berdonasi; Sebelum hewan kurban disembelih
sebagian disisihkan untuk sumbangan pembangunan, seperti
pendidikan, kesehatan, jalanan, rumah ibadat, pengairan, dan
fasilitas umum lainnya.
2.2.2. Pengertian Pra Pensiun
Masa pensiun adalah saat dimulainya seseorang karyawan tidak
pensiun (Paidi, 2013). Sedangkan menurut Schwartz (dalam Jahja, 2011)
menyatakan bahwa pensiun dapat merupakan akhir pola hidup baru.
Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan
nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap
individu (Jahja, 2011). Paidi (2013) menambahkan masa pensiun selalu
dianggap sebagai masa yang tidak menyenangkan karena menurunnya
penghasilan dan hilangnya wewenang yang dimilikinya.
Masa pensiun tidak datang secara tiba-tiba, melainkan melalui
suatu proses (Fardila, Rahmi, Putra, 2014). Untuk itu dibutuhkan
persiapan yang dipaparkan lebih lanjut oleh (Fardila, Rahmi, Putra,
2014) yaitu dengan penerimaan, kesiagaan, dan kesediaan individu
terhadap keseluruhan perubahan yang terjadi dimana dirinya tidak lagi
bekerja dan diwujudkan dalam bentuk tingkah laku. Parkinson (1990)
menyatakan bahwa usia pensiun di kebanyakan negara ditetapkan antara
55 dan 65 tahun. Ini bervariasi menurut negara dan tingkat kemajuan
negara bersangkutan. Namun, sebagian besar dari orang-orang ini
kurang siap menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ‘hari-hari
buruk’.
Pada umumnya, usia madya atau usia setengah baya dipandang
sebagai masa usia di antara 40 sampai 60 tahun. Masa ini pada akhirnya
ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Usia
manusia, biasanya usia tersebut dibagi dalam dua subbagian, yaitu usia
madya dini yang membentang dari usia 40 hingga 50 tahun dan usia
madya lanjut yang terbentang antara usia 50 sampai 60 tahun (Jahja,
2011).
Dengan demikian, masa pra pensiun merupakan masa transisi yang
dialami individu yang berada pada usia madya yang akan mengalami
masa pensiun.
2.2.3. Karakteristik Pra Pensiun
Usia madya atau setengah baya, khususnya usia madya lanjut
berada pada rentang usia 50 sampai 60 tahun. Ada beberapa
karakteristik pada usia setengah baya, yaitu perubahan fisik, kognitif,
psikis, dari segi ekonomi, karir, dan pekerjaan.
Perubahan fisik di usia paruh baya berlangsung secara bertahap.
Perubahan-perubahan fisik yang terjadi dapat mencakup perubahan yang
terlihat jelas dalam penampilan fisik seperti kerutan dan bercak penuaan,
tinggi badan menurun, berat badan meningkat, kekuatan, persendian,
dan tulang; penglihatan dan pendengaran; sistem kardiovaskuler;
paru-paru; dan tidur (Santrock, 2012). Hal ini juga terjadi pada perkembangan
kognitif pada usia paruh baya. Buruknya kesehatan dan sikap-sikap
negatif dapat berkaitan dengan kemunduran daya ingat.
Secara psikis, stres terjadi ketika kemampuan tubuh untuk
usia pertengahan dan dihubungkan dengan masalah-masalah yang
beragam. Selain itu, kepribadian dan emosi negatif dapat mempengaruhi
kesehatan. Emosi yang positif cenderung dihubungkan dengan
kesehatan yang baik (Papalia, 2014).
Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang kehidupan kerja
dari usia 20 sampai setidaknya 60 tahun, baik orang dewasa yang
berpendidikan tinggi, maupun yang tidak berpendidikan tinggi (Rhodes,
1983; Tamir, 1982; dalam Santrock, 2002). Kepuasan mungkin
meningkat karena semakin kita tua semakin tinggi gaji yang kita
peroleh, kita berada dalam posisi yang lebih tinggi, dan kita memiliki
lebih banyak jaminan kerja (Santrock, 2002).
Pengalaman perubahan karir di paruh kehidupan digambarkan
sebagai titik perubahan di masa dewasa oleh Levinson (dalam Santrock,
2002). Satu aspek dari periode paruh kehidupan melibatkan penyesuaian
harapan yang ideal pada kemungkinan realistik dipandang dari berapa
waktu yang tersisa di sebuah jabatan. Orang tengah baya mungkin
memfokuskan pada berapa banyak waktu yang tersisa sebelum pensiun
dan kecepatan mereka mencapai tujuan pekerjaan mereka (Pines &
2.3. Strategi Coping pada Polisi suku Toraja yang Menghadapi Masa Pra
Pensiun terkait dengan Rambu solo’
Hasil penelitian di Universitas Michigan yang meneliti para pensiunan
menunjukkan bahwa sebanyak 75 persen pekerja yang membuat persiapan
sebelumnya akan menikmati masa pensiunnya dibanding 25 persen lainnya
yang tidak membuat persiapan (Sutarto & Cokro, 2008 dalam Christian dan
Moningka, 2012). (Fardila, Rahmi, Putra, 2014) menambahkan sebagian besar
pegawai negeri sipil yang akan pensiun memiliki kategori dukungan sosial
keluarga yang positif dan memiliki tingkat kesiapan yang tinggi. Penelitian lain
juga mengungkapkan bahwa pegawai negeri sipil yang akan menjelang pensiun
memiliki penilaian yang positif bahwa setelah pensiun mereka tidak kehilangan
segalanya, mereka tetap memperoleh gaji pensiun, tunjangan kesehatan
walaupun tidak sama besaran seperti ketika masih menjadi pegawai negeri sipil
(Christian dan Moningka, 2012). Penyesuaian diri yang baik pada pensiunan
tidak hanya bergantung pada training pra pensiun tetapi juga dibutuhkan
dukungan sosial keluarga (Humaira dan Rahmatan, 2017).
Masa pensiun tidak dapat dihindari oleh individu karena merupakan masa
akhir dari pekerjaannya. Bagi individu yang telah memiliki persiapan dengan
matang akan lebih menerima dan menyambut masa pensiunnya. Adanya gaji
pensiun dan tunjangan kesehatan diperoleh saat pensiun nanti berlaku bagi
instansi atau perusahaan tempatnya bekerja. Begitu pula yang dialami oleh
polisi yang sedang menghadapi masa pra pensiun di Toraja.
Seorang polisi yang termasuk suku Toraja perlu membuat rencana untuk
menghadapi tuntutan sosial dalam menghadapi masa pensiun di Toraja. Polisi
juga perlu mempersiapkan mental dan menyadari bahwa dirinya akan
kehilangan jabatan serta sumber penghasilan karena sudah tidak bekerja. Ketika
individu merasa kehilangan jabatannya maka akan muncul gejala-gejala
kejiwaan, seperti emosi yang tidak stabil tidak bisa berpikir rasional, dan tidak
bisa menerima kenyataan dalam hidupnya (Tarigan, 2009). Bagi individu yang
tidak memiliki persiapan apapun menghadapi masa pensiunnya, akan merasa
cemas, stres, dan emosi yang tidak stabil, serta tidak dapat berpartisipasi untuk
menyumbang hewan kurban pada upacara rambu solo’. Hal ini akan
menimbulkan rasa malu dan menurunkan gengsi pada diri mereka sehingga
menimbulkan perasaan bersalah dan tidak berdaya.
Upacara rambu solo’ terkesan sebagai upacara yang terpenting dalam
kehidupan masyarakat Toraja. Hal tersebut dapat dipahami karena dalam
pandangan hidup orang Toraja, kematian merupakan titik permulaan kehidupan
baru di “alam yang lain” (Paseru, 2004). Untuk mengadakan upacara ini,
dibutuhkan biaya dengan jumlah yang besar dan waktu yang lama. Biaya yang
besar akan digunakan untuk membeli hewan kurban seperti kerbau dan babi
Permasalahan yang terjadi pada rambu solo’ memberikan dampak bagi
polisi untuk mengatasi tuntutan sosial tersebut. Untuk itu, diperlukan usaha
dengan strategi coping. Dengan adanya strategi coping, seorang polisi dapat
membuat rencana untuk mengatasi tuntutan sosial yang akan dialaminya
menjelang masa pensiunnya. Di samping itu, tekanan yang dialami oleh seorang
polisi akan bertambah besar jika tidak adanya strategi untuk mengatasi tuntutan
sosial yang akan dialaminya. Hal ini dikarenakan, bagi polisi yang akan
mengalami pensiun, mereka kehilangan sumber penghasilan dan jabatan seperti
sebelum pensiun. Di sisi lain, tuntutan sosial pun tidak dapat terhindarkan
sehingga mereka perlu membuat rencana atau strategi coping agar dapat
mengatasi tuntutan sosial tersebut. Dengan demikian, melalui penelitian ini,
peneliti ingin memberikan gambaran strategi coping pada polisi yang
Skema:
Masalah
• Tuntutan Sosial Rambu Solo’ Polisi pada masa
pra pensiun
Problem Focus Coping
• Active coping • Planning
• Suppression of competing activities • Restraint coping
• Seeking social support for instrumental reasons
• Seeking social support for emotional reasons
Emotional Focus Coping
• Focusing on and venting of emotions • Behavioral
disengagement
• Mental disengagement • Positive
reinterpretation and growth
• Denial • Acceptance
31 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan
metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2009). Sedangkan
menurut Herdiansyah (2012) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah
yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara
alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam
antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Alasan peneliti menggunakan
pendekatan ini karena belum banyak penelitian mengenai topik ini sehingga
kurang tepat data pada situasi sosial tersebut diperoleh dengan pendekatan
kuantitatif.
Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik, yaitu data yang diperoleh
seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen,
catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam
bentuk dan angka-angka (Gunawan, 2013). Dalam penelitian ini, data yang
dihasilkan merupakan hasil wawancara yang akan di olah secara deskriptif
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan analisis isi terarah.
Menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supratiknya, 2015), pendekatan
analisis isi terarah bertujuan untuk memvalidasi dengan menguji ulang sebuah
kerangka teoretis atau bahkan sebuah teori. Pendekatan ini cocok diterapkan
manakala sudah ada teori atau hasil-hasil penelitian tertentu tentang suatu
fenomena, kemudian divalidasi atau mengujinya kembali dalam konteks baru
atau menggunakan informan yang baru pula. Peneliti ingin dapat menggali lebih
dalam mengenai informasi tentang strategi coping yang digunakan oleh individu
yang akan menghadapi masa pensiun. Di sisi lain, individu juga dihadapkan
oleh tuntutan sosial yaitu upacara pemakaman (Rambu Solo’) dengan biaya
yang besar.
3.2. Informan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tiga orang informan. Seluruh
informan berada pada usia 55-60 tahun. Pemilihan Informan berdasarkan
kriteria tertentu dan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Kriteria-kriteria yang
dimaksud yaitu:
a. Individu dewasa akhir atau berada pada usia setengah baya yang mengalami
masa pra pensiun.
b. Individu yang berprofesi sebagai polisi suku Toraja yang bekerja sebagai
3.3. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada strategi coping yang digunakan oleh polisi
dalam menghadapi masa pra pensiun terhadap tuntutan sosial yang ada di
Toraja yaitu membiayai upacara Rambu Solo’. Strategi coping yang digunakan
yaitu segala usaha yang dilakukan oleh polisi, baik dengan cara berpikir atau
melakukan suatu upaya atau tindakan untuk mengatasi tuntutan yang tidak
dapat terelakkan.
3.4. Refleksivitas Peneliti
Saya adalah seorang dengan suku Toraja. Saya memiliki salah satu
anggota keluarga yang berprofesi sebagai polisi yaitu ayah saya sendiri. Ayah
saya memiliki jabatan sebagai kapolsek di salah satu daerah di Toraja dan akan
segera pensiun. Sebagai orang Toraja, saya melihat dan mengalami sendiri
mengenai adat rambu solo’ yang membutuhkan biaya yang besar karena harus
membeli kerbau dan babi sebagai hewan kurban untuk pesta pemakaman
tersebut. Selain sebagai pelaku rambu solo’, keluarga saya terutama ayah saya
juga berkewajiban untuk membawa babi atau kerbau kepada keluarga lain yang
mengadakan pesta rambu solo’ sebagai bentuk balas budi. Adanya balas budi
dianggap sebagai membayar hutang untuk mengganti hewan kurban yang
dibawakan saat keluarga saya melakukan pesta rambu solo’. Kegiatan rambu
solo’ tidak dilakukan oleh keluarga saya saja tetapi oleh seluruh rumpun
memberatkan. Hal ini memberikan dampak pada ayah saya yang akan segera
memasuki masa pensiun yang berarti berhenti dari pekerjaannya dan
mendapatkan gaji pensiun yang sedikit serta masih menghadapi tuntutan sosial.
Atas dasar alasan personal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana para polisi
mengahadapi masa pra pensiunnya dengan menggunakan strategi coping terkait
rambu solo’.
Dalam penelitian ini, saya menyadari ada beberapa hal yang berkaitan
dengan latar belakang saya dan turut menjadi bahan pertimbangan selama
melakukan penelitian. Latar belakang saya sebagai orang toraja yang telah
mengalami rambu solo’ dan memahami akan budaya yang saya miliki. Selain
itu, adanya keterikatan emosional dengan salah satu informan membuat peneliti
berhati-hati dalam melakukan analisis data. Peneliti berusaha untuk berhati-hati
dalam melakukan interpretasi agar hasil penelitian yang diperoleh bukan
berdasarkan penilaian secara subjektif terhadap para informan.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
melalui wawancara. Menurut Moleong (2005; dalam Herdiansyah, 2014),
wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
Proses wawancara akan di rekam dengan menggunakan digital recorder
agar peneliti tidak lupa dan akan mengarsipkannya dalam bentuk verbatim.
Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara semi terstruktur dengan
menggunakan panduan pertanyaan umum, sesuai dengan pedoman wawancara
pada umumnya. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur agar peneliti
dapat bebas berimprovisasi dalam mengajukan pertanyaan yang sesuai dalam
mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan situasi dan alur alamiah yang
terjadi asalkan tetap pada topik penelitian (Herdiansyah, 2014).
Walaupun menggunakan wawancara semi terstruktur, peneliti membuat
daftar pertanyaan agar tetap berada pada fokus dan alur dari topik penelitian.
Tabel 3.1
Panduan Pertanyaan Wawancara
Pertanyaan Penelitian Tujuan Pertanyaan
Dimana tempat tinggal Informan? Berapa jumlah anak Informan? Berapa jumlah tanggungan keluarga? Berapa lama pensiun lagi?
Adakah usaha yang dimiliki oleh Informan?
Untuk mengetahui latar belakang Informan
Bagaimana sikap Informan terhadap rambu solo’?
Bagaimana cara Informan mengatasi biaya yang dikeluarkan untuk rambu solo’?
Mengetahui
pandangan Informan tentang rambu solo’
Apa yang akan dilakukan Informan ketika pensiun nanti?
Bagaimana cara Informan mengatasi tuntutan sosial untuk membiayai rambu solo’?
Bagaimana pengaruh rambu solo’ terhadap Informan?
Adakah usaha yang sedang dilakukan dalam menghadapi masa pensiun?
Bagaimana perasaan Informan ketika memasuki masa pensiun?
Mengetahui perasaan dan persiapan untuk pensiun nanti
3.6. Metode Analisis Data
Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga
diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab
(Gunawan, 2013). Data yang diperoleh dari penelitian ini yaitu hasil transkrip
dari wawancara semi terstruktur dan pertanyaan terbuka.
Analisis data kualitatif yang digunakan sesuai dengan langkah-langkah
berikut (Creswell, 2014):
1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis.
2. Membaca keseluruhan data.
3. Menganalisis lebih detail dengan mengcoding data.
4. Terapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,
kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.
5. Tunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali
dalam narasi atau laporan kualitatif.
3.7. Keabsahan Data 3.7.1. Kredibilitas
Penelitian ini menggunakan kredibilitas penelitian yaitu validitas
kualitatif. Menurut Gibbs (dalam Creswell, 2014), validitas kualitatif
merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan
menerapkan prosedur-prosedur tertentu, Peneliti menerapkan member
checking. Hal ini diterapkan untuk mengetahui akurasi hasil penelitian
dengan membawa kembali deskripsi-deskripsi atau tema-tema kepada
informan. Peneliti melakukan wawancara tindak lanjut dengan para
informan dan memberikan kesempatan pada mereka untuk berkomentar
tentang hasil penelitian. Peneliti mengajak seorang auditor (external
auditor) dalam hal ini dosen pembimbing untuk mereview keseluruhan
proyek penelitian seperti keakuratan transkrip penelitian, hubungan
rumusan masalah dan data, tingkat analisis data mulai dari data mentah
hingga interpretasi. External auditor akan memberikan penilaian
objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian. Selain itu,
peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam
penelitian. Menurut Creswell (2014), dengan melakukan refleksi diri
terhadap kemungkinan bias penelitian, peneliti mampu membuat narasi
yang terbuka dan jujur. Refleksivitas pada penelitian ini dipengaruhi
oleh latar belakang peneliti seperti kebudayaan, sejarah, dan status sosial
38 BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
4.1. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 4.1.1. Persiapan Penelitian dan Perizinan
Dalam penelitian ini, informan yang dipilih yaitu polisi suku
Toraja yang akan pensiun. Peneliti memilih informan yang berada di
Toraja untuk memudahkan dalam proses pengambilan data dan sesuai
dengan tujuan dari penelitian ini. Peneliti mencari informan yang sesuai
dengan kriteria penelitian, kemudian menghubungi informan. Setelah
itu, peneliti dan informan menentukan waktu dan tempat untuk
melakukan wawancara.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti menjelaskan tujuan dari
wawancara kepada informan dan memberikan informed consent atas
kesediaan informan. Peneliti juga meminta izin kepada informan untuk
merekam proses wawancara dengan menggunakan alat perekam berupa
ponsel untuk merekam proses wawancara. Peneliti menggunakan
panduan wawancara yang telah disusun sebelumnya berdasarkan
4.1.2. Pelaksanaan Penelitian Tabel 4.1
Waktu dan tempat penelitian
No. Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3
Selain menggunakan wawancara, peneliti juga menggunakan
kuesioner tertutup. Kuesioner tertutup digunakan karena pada saat
wawancara pertama yang dilakukan di lapangan, menghasilkan data yang
kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan, peneliti memiliki waktu yang
tujuan agar para informan dapat secara langsung mengungkapkan
informasi dengan menulis secara langsung.
4.2. INFORMAN PENELITIAN 4.2.1. Data Informan
Tabel 4.2
No. Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3
1. Nama Inisial YP YB MP
2. Usia 52 tahun 56 tahun 56 tahun
3. Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki
4. Pendidikan terakhir SMA STM SMA
5. Jabatan pekerjaan Kapolsek Kapolsek Kapolsek
6. Sisa masa jabatan 5 tahun 2 tahun 2 tahun
4.2.2. Latar Belakang Informan
Berikut ini adalah gambaran dari latar belakang dari polisi yang akan
pensiun.
a. Informan Yacob P. (YP) Tabel 4.3
Latar Belakang Informan 1 (YP)
Usia 52 tahun
Masa Akhir Jabatan 6 tahun
Respon dalam menghadapi masa pensiun
Tanggungan keluarga 1 orang anak
Jumlah anak 2 orang
YP (52) termasuk dalam kasta Tana’ Bulaan. Saat
melaksanakan upacara rambu solo’ untuk orangtuanya, YP (52)
memotong 16 kerbau dan disesuaikan dengan kemampuan finansial
yang dimilikinya. YP (52) bekerja sebagai polisi dan memiliki
jabatan sebagai kapolsek di salah satu daerah di Toraja. YP (52)
akan menghadapi masa pensiun 6 tahun kemudian. Selain itu, YP
(52) merasa tidak sabar untuk pensiun karena dirinya dapat bebas
dari masa kerja dan dapat pergi ke tempat yang diinginkan. Saat ini,
YP (52) memiliki tanggungan keluarga 1 orang anak. Dengan
memiliki istri dan anak yang bekerja membuat YP (52) merasa
beban yang dimilikinya tidak terlalu berat.YP (52) mengatakan
bahwa pelaksanaan rambu solo’ tidak dilaksanakan oleh keluarga
inti tetapi oleh segenap rumpun keluarga. Pada kegiatan rambu solo’,
akan ada bantuan dari keluarga, baik keluarga yang ada di Toraja
maupun keluarga yang ada di luar kota. Saat ini, beban pikiran yang
b. Informan Yulius B. (YB) Tabel 4.4
Latar Belakang Informan 2 (YB)
Usia 56 tahun
Masa Akhir Jabatan 2 tahun
Respon dalam menghadapi masa pensiun
Menanti masa pensiun
Tanggungan keluarga 2 orang anak
Jumlah anak 6 Orang
YB (56) memiliki 6 orang anak dan tanggungan keluarga
sejumlah 2 orang anak. YB (56) termasuk kasta Tana’ Bassi. Selain
bekerja sebagai polisi, YB (56) memiliki pekerjaan sampingan yaitu
bertani. Saat ini, YB (56) sedang menanti masa pensiun dan merasa
tenang karena dirinya sudah tidak memiliki beban pikiran lagi. Bagi
YB (56), adat rambu solo’ tidak wajib lagi dilakukan oleh dirinya
karena sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya melarang
untuk mengikuti adat tersebut. YB (56) akan mengikuti kegiatan
rambu solo’ seperti tetap memberikan sumbangan berupa materi saat
orangtuanya dipestakan, tetapi tidak mengikuti rangkaian adatnya.
Selain itu, informan lebih mengutamakan pendidikan anaknya. YB
(56) lebih memilih untuk membiayai pendidikan anaknya
bagi informan melainkan pendidikan dan masa depan anaknyalah
yang menjadi beban pikirannya.
c. Informan Mathius P. (MP) Tabel 4.5
Latar Belakang Informan 3 (MP)
Usia 56 tahun
Masa Akhir Jabatan 2 tahun Respon dalam menghadapi
masa pensiun
Menerima masa pensiun
Tanggungan keluarga 2 orang anak
Jumlah anak 4 orang
MP (56) memiliki 4 orang anak dan tanggungan keluarga
yang dimiliki saat ini yaitu 2 orang anak. Selain bekerja sebagai
polisi, MP (56) memiliki pekerjaan sampingan yaitu bertani dan
beternak. MP (56) merasa biasa saja dalam menghadapi masa
pensiunnya karena sejak awal dirinya menyadari akan akhir dari
masa pekerjaannya tersebut yang akan kembali ke masyarakat.
Informan mendukung kegiatan rambu solo’. Baginya, kegiatan
rambu solo’ dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan
4.3. ANALISIS DATA PENELITIAN 4.3.1. YP (52)
a. Strategi coping
1. Menghadapi Rambu Solo’ ➢ Membiayai pendidikan anak
Bagi YP (52), pendidikan anak merupakan prioritasnya
sehingga dirinya lebih memilih untuk membiayai pendidikan
anak dibandingkan mengikuti rambu solo’.
Saya lebih cenderung bahwa lebih baik saya menyekolahkan anak saya, membiayai anak saya, daripada mengikuti rambu solo’. (line 200-203)
➢ Memiliki usaha sampingan
Selain bekerja sebagai polisi, YP (52) memiliki usaha
sampingan yaitu memelihara kerbau dan menjualnya kembali
atau menggunakannya saat adanya upacara rambu solo’
muncul secara tiba-tiba. Penghasilan tambahan juga
diperolehnya dari usaha kendaraan, yaitu sebagai jasa untuk
mengangkut barang-barang dengan menggunakan truck.
Untuk sementara ini, ee usaha-usaha itu ya kumpul-kumpul kerbau itu baru dijual. Jadi kita pelihara-pelihara kerbau, pada saat ada pesta ada yang jual murah kerbau, kita beli terus kalo ada yang butuh, kita jual. (line 69-73)