• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Denpasar, Juni 2016 Tim Peneliti PPK & PSDM Unud. 1.Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU 2.Dr. A A I N Marhaeni, SE., M.S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Denpasar, Juni 2016 Tim Peneliti PPK & PSDM Unud. 1.Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU 2.Dr. A A I N Marhaeni, SE., M.S"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia beliau penelitian yang berjudul: “Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Perbedaan Fertilitas Penduduk Pendatang di Daerah Perkotaan dan di Daerah Perdesaan di Provinsi Bali” dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik migran (penduduk pendatang), menghitung perbedaan fertilitas antara migran di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan dan menganalisis pengaruh faktor-faktor determinan terhadap perbedaan fertilitas penduduk pendatang di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali. Di samping itu, juga untuk mengetahui partisipasi migran dalam program keluarga berencana dan bagaimana persepsi mereka terhadap sikap keluarga tentang nilai anak.

Dalam kesempatan ini tim peneliti tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, atas kerjasama yang dilakukan sehingga kegiatan ini dapat dilakukan dengan baik. Selain itu tidak lupa juga kami sampaikan terimakasih kepada tim pengumpul data lapangan yang telah dengan integritasnya mampu menyelesaikan pengumpulan data tepat waktu meskipun sumberdaya yang dimiliki oleh tim peneliti sangat terbatas. Terimakasih juga disampaikan kepada staf PPK & PSDM Universitas Udayana yang telah memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kerjasama ini. Sebagai akhir kata, tiada gading yang tak retak, semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2016

Tim Peneliti PPK & PSDM Unud

1. Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU

2. Dr. A A I N Marhaeni, SE., M.S

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL...iv

BAB I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian...3

1.3. Tujuan Penelitian ...4

1.4. Manfaat Penelitian...4

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ...5

2.1. Pengertian Fertilitas Penduduk...5

2.2. Fertilitas Migran ...6

2.3. Faktor-Faktor Determinan yang Mempengaruhi Fertilitas...7

BAB III. METODE PENELITIAN ...11

3.1. Rancangan Penelitian...11

3.2. Lokasi Penelitian ...11

3.3. Variabel Penelitian...11

3.4. Definisi Operasional Variabel ...12

3.5. Jenis dan Sumber Data ...13

3.6. Populasi dan Sampel Penelitian serta Teknik Sampling...13

3.7. Metode Pengumpulan Data ...14

3.8. Teknik Analisis Data ...15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...16

4.1. Karakteristik Responden...16

4.1.1. Umur responden ...16

4.1.2. Tahun kedatangan pertama kali ...17

4.1.3. Provinsi daerah asal...18

4.1.4. Sukubangsa ...19

4.1.5. Umur kawin pertama ...20

4.1.6. Jumlah anak lahir hidup ...21

4.1.7. Jumlah anak masih hidup...22

4.1.8. Jumlah anak yang diinginkan ...23

4.1.9. Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan ...24

4.1.10. Status ketenagakerjaan...25

4.1.11. Penghasilan responden...26

4.1.12. Umur anak terakhir...27

4.2 Perbedaan Fertilitas Migran di Daerah Perkotaan dan di Daerah

Perdesaan ...27

(4)

4.3. Faktor-Faktor Determiinan yang Mempengaruhi Perbedaan Fertilitas

Migran di Daerah Perkotaan dan Perdesaan...29

4.3.1. Fertilitas Migran di Daerah Perkotaan ...29

4.3.2. Fertilitas Migran di Daerah Perdesaan ...30

4.3.3. Fertilitas Migran Secara Keseluruhan ...32

4.4. Partisipasi Migran Dalam Program Keluarga Berencana...33

4.5. Persepsi Migran Terhadap Sikap Keluarga Tentang Nilai Anak ...37

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ...41

5.1. Simpulan...41

5.2. Saran-saran...42

DAFTAR PUSTAKA ...44

(5)

DAFTAR TABEL NO

TABEL

JUDUL TABEL HALAMAN

4.1 Distribusi Responden Migran Menurut Umur dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

17

4.2 Distribusi Responden Migran Menurut Tahun Kedatangan Pertama Kali dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

17

4.3 Distribusi Responden Migran Menurut Provinsi Daerah Asal dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

19

4.4 Distribusi Responden Migran Menurut Sukubangsa dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

19

4.5 Distribusi Responden Migran Menurut Umur Kawin Pertama dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

20

4.6 Distribusi Responden Migran Menurut Jumlah Anak Lahir Hidup (ALH) dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

21 4.7 Distribusi Responden Migran Menurut Jumlah Anak

Masih Hidup (AMH) dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

22 4.8 Distribusi Responden Migran Menurut Jumlah Anak yang

Diinginkan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

23

4.9 Distribusi Responden Migran Menurut Jenis Kelamin Anak yang Paling Diinginkan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

24

4.10 Distribusi Responden Migran Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Tempat Tinggal, di

Provinsi Bali

24

4.11 Distribusi Responden Migran Menurut Status

Ketenagakerjaandan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

25

4.12 Distribusi Responden Migran Menurut Penghasilan Rata- rata per Bulan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

26

4.13 Distribusi Responden Migran Menurut Umur Anak Terakhir dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

27

4.14 Rata-rata Paritas Responden Migran di Daerah

Perkotaan dan Migran di Daerah Perkotaan di Provinsi Bali

28

(6)

NO TABEL

JUDUL TABEL HALAMAN

4.15 Nilai-nilai Koefisien Persamaan Regresi dan Taraf Signifikansinya untuk Migran di Daerah Perkotaan di Provinsi Bali

30

4.16 Nilai-nilai Koefisien Persamaan Regresi dan Taraf Signifikansinya untuk Migran di Daerah Perdesaan di Provinsi Bali

31

4.17 Nilai-nilai Koefisien Persamaan Regresi dan Taraf Signifikansinya untuk Migran di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Bali

33

4.18 Distribusi Responden Migran Menurut Alat Kontrasepsi yang Pernah Digunakan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

34

4.19 Distribusi Responden Migran Menurut Alasan Berhenti Memakai Alat Kontrasepsi dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

35

4.20 Distribusi Responden Migran Menurut Penggunaan Alat Kontrasepsi Saat ini dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

36

4.21 Distribusi Responden Migran Menurut Alasan Tidak Memakai Alat Kontrasepsi Saat Ini dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

36

4.22 Distribusi Resrponden Migran Menurut Persepsi Terhadap Sikap Keluarga Tentang Nilai Anak dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

38

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama dua dasawarsa (1971-1990) awal pemerintahan Orde Baru, laju petumbuhan penduduk di Provinsi Bali memberikan gambaran yang mengesankan.

Betapa tidak, karena pada periode tersebut laju pertumbuhan penduduk Bali berhasil diturunkan dari 1,71 persen (1971-1980) menjadi 1,18 persen per tahun (1980- 1990). Penurunan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tajam seperti digambarkan di atas adalah wujud dari keberhasilan Bali dalam mengendalikan kuantitas penduduk. Salah satu komponen demografi yang mempengaruhi tinggi rendahnya laju pertumbuhan penduduk suatu daerah adalah fertilitas penduduk, di samping mortalitas dan migrasi penduduk.

Keberhasilan Bali dalam mengendalikan fertilitasnya digambarkan oleh turunnya angka fertilitas total atau total fertility rate (TFR) dari sekitar 6,0 menjadi 2,28 per wanita selama periode 1970-1990. Penurunan fertilitas penduduk yang dicapai Bali pada periode tersebut adalah sekitar 60 persen, melebihi sasaran nasional yang dicanangkan pemerintah pada periode yang sama, sebesar 50 persen. Besarnya penurunan fertilitas seperti digambarkan di atas adalah wujud dari keberhasilan Bali dalam menerapkan program keluarga berencana (KB).

Keberhasilan Bali dalam melaksanakan program KB adalah berkat dukungan dan paritisipasi masyarakat melalui pendekatan yang digunakan oleh pemerintah yang terkenal dengan KB sistem banjar.

Masa berikutnya, yang lebih dikenal dengan masa Reformasi diwarnai oleh kondisi kependudukan yang berlawanan dengan keadaan kependudukan pada era Orde Baru, khususnya terkait dengan kecenderungan laju pertumbuhan penduduk.

Jika selama era Orde Baru laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali cenderung

turun, maka pada era Reformasi justru cenderung meningkat. Peningkatan laju

pertumbuhan penduduk pada era Reformasi tidak tanggung-tanggung, yaitu

meningkat dari 1,26 persen per tahun pada periode 1990-2000 menjadi 2,15 persen

per tahun pada periode 2000-2010. Laju pertumbuhan penduduk sebesar itu tidak

pernah terjadi selama pelaksanaan Sensus Penduduk di Provinsi Bali. Bahkan jika

dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk secara nasional pun, ternyata laju

(8)

pertumbuhan penduduk Provinsi Bali pada periode yang sama tetap lebih tinggi.

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia selama periode 2000-2010 adalah sebesar 1,49 persen per tahun.

Tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah ditentukan oleh bekerjanya komponen-komponen dinamika kependudukan, seperti fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Komponen fertilitas dan mortalitas, masing-masing memiliki satu pengaruh. Fertilitas penduduk memiliki pengaruh positif, sedangkan mortalitas berpengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan penduduk. Di pihak lain, komponen migrasi penduduk memiliki dua pengaruh, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Bersifat positif, apabila migrasi masuk lebih banyak daripada migrasi keluar, dan bersifat negatif apabila migrasi masuk lebih sedikit daripada migrasi keluar.

Berdasarkan komponen-komponen kependudukan yang digambarkan di atas, dapat diketahui bahwa tingkat fertilitas dan mortalitas penduduk di Provinsi Bali sudah relatif rendah. Menurut hasil SDKI 2002/2003 dan SDKI 2007 diperoleh bahwa tingkat fertilitas total (TFR) sudah stagnan pada angka 2,1 per wanita. Di sisi lain melalui berbagai program kesehatan, pemerintah juga berhasil menurunkan angka mortalitas bayi atau infant mortality rate (IMR), dari 36 kematian per 1000 kelahiran hidup pada (SP 2000) menjadi 34 kematian per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007).

Sementara itu terkait dengan komponen migrasi tidak dapat dilepaskan dari

kebijakan pemerintah tentang redistribusi penduduk, yang bertujuan untuk

mengurangi terkonsentrasinya penduduk di Pulau Jawa dan Bali. Kebijakan ini

ditempuh melalui pelaksanaan program transmigrasi. Di samping itu memang terjadi

pula migrasi spontan yang dilakukan oleh penduduk menuju daerah tujuan yang

mereka inginkan. Berdasarkan hasil SP 1980 ditemukan bahwa terjadi migrasi risen

neto yang negatif (-) 15.150 orang, sementara pada tahun 1990 tandanya berubah

menjadi (+) 9,840 orang. Pada era Reformasi tampaknya komponen migrasi inilah

yang dominan mempengaruhi semakin tingginya laju pertumbuhan penduduk di

Provinsi Bali, karena pada periode ini angka fertilitas dan mortalitas sudah sama-

sama rendah. Jika menurut hasil SP 1990 diperoleh migran risen neto positif

sebanyak 9,840 orang, maka pada tahun 2000 meningkat menjadi 21.871 orang,

kemudian menurut hasil SUPAS 2005 meningkat lagi menjadi 37.630 orang, dan

menurut hasil SP 2010 naik lagi menjadi 61.209 orang. Selama kurun waktu 10

(9)

39.338 orang, atau bertambah hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah migran risen neto tahun 2000.

Selain temuan tentang kecenderungan migrasi risen neto positif yang semakin meningkat, temuan penting lainnya terkait dengan hasil SP 2000 dan 2010 adalah (1) meningkatnya TFR dari 1,89 menjadi 2,14 kelahiran hidup per wanita usia reproduksi selama periode 2000-2010. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi adalah temuan terbaru dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 yang menyebutkan besarnya TFR Provinsi Bali adalah sebesar 2,3 kelahiran hidup per wanita usia reproduksi (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2013).

Memperhatikan hal-hal yang diungkapkan di atas, menarik untuk dilakukan kajian terutama terkait dengan dua hal, yaitu (1) migran atau penduduk pendatang;

dan (2) adalah fertilitas penduduk. Berkaitan dengan migran atau penduduk pendatang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah migran masuk yang berasal dari luar Provinsi Bali. Sementara itu, di samping terjadi lonjakan jumlah migran juga terjadi peningkatan fertilitas penduduk, sehingga berdasarkan fakta-fakta di atas maka mendesak untuk dilakukan kajian tentang “Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Perbedaan Fertilitas Penduduk Pendatang di Daerah Perkotaan dan di Daerah Perdesaan di Provinsi Bali”.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Bertolak dari uraian pada latar belakang dapat dirumuskan masalah penelitian seperti berikut ini.

1) Bagaimanakah karakteristik migran (penduduk pendatang) di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali?

2) Apakah terdapat perbedaan fertilitas antara migran (penduduk pendatang) di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali?

3) Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor determinan terhadap perbedaan fertilitas penduduk pendatang di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali?

4) Bagaimanakah partisipasi migran (penduduk pendatang) dalam program keluarga berencana?

5) Bagaimanakah persepsi migran terhadap sikap keluarga tentang nilai anak?

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, dapat dikemukakan tujuan penelitian seperti di bawah ini.

1) Untuk mengetahui karakteristik migran (penduduk pendatang) di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali.

2) Untuk menghitung perbedaan fertilitas antara migran (penduduk pendatang) di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali.

3) Untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor determinan terhadap perbedaan fertilitas penduduk pendatang di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan di Provinsi Bali.

4) Untuk mengetahui partisipasi migran (penduduk pendatang) dalam program keluarga berencana.

5) Untuk mengetahui persepsi migran (penduduk pendatang) terhadap sikap keluarga tentang nilai anak.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari berbagai aspek seperti berikut ini.

1) Aspek pengembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian tentang “Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Perbedaan Fertilitas Penduduk Pendatang di Daerah Perkotaan dan di Daerah Perdesaan di Provinsi Bali” diharapkan bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kependudukan.

2) Aspek praktis

Hasil penelitian tentang “Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi

Perbedaan Fertilitas Penduduk Pendatang di Daerah Perkotaan dan di

Daerah Perdesaan di Provinsi Bali” diharapkan dapat menjadi bahan

masukan bagi para pembuat kebijakan, khususnya dalam memecahkan

masalah fertilitas di kalangan penduduk pendatang di Provinsi Bali.

(11)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Fertilitas Penduduk

Pengertian atau definsi fertilitas penduduk atau kelahiran yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi yang diterbitkan oleh United Nations (UN) dan World Health Organization (WHO). Definisi fertilitas dari UN dan WHO didasarkan pada konsep lahir hidup (live birth) adalah kelahiran seorang bayi tanpa memperhatikan lamanya di dalam kandungan tetapi pada saat lahir menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti menangis, ada denyut jantung, atau gerakan otot nadi. Sebaliknya, apabila kelahiran seorang bayi yang sudah cukup umurnya di dalam kandungan, tetapi pada saat lahir tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka kelahiran jenis ini dicatat sebagai lahir mati. Hal ini berbeda dengan kelahiran seorang bayi, yang saat lahir disertai tanda-tanda kehidupan, tetapi beberapa menit kemudian mati. Dalam kondisi seperti ini kelahiran tersebut tetap dicatat sebagai lahir hidup bukan lahir mati.

Selanjutnya berkaitan dengan pengukuran fertilitas, dapat dibedakan pengukuran yang bersifat tahunan dan pengukuran yang bersifat kumulatif.

Pengukuran tahunan ada beberapa jenis seperti angka kelahiran kasar atau crude birth rate (CBR), angka fertilitas umum atau general fertility rate (GFR). Pengukuran kumulatif dapat dilakukan dengan pendekatan kohor. Jumlah kelahiran dihitung sejak perempuan tersebut melahirkan pertama kali, terus diikuti sampai yang bersangkutan memasuki masa mati haid (menopause), kemudian dihitung semua kelahiran yang dialami oleh wanita tersebut. Kelahiran-kelahiran yang dicatat menurut konsep “lahir hidup” dicatat dalam jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup. Jumlah semua anak yang pernah dilahirkan hidup oleh seorang wanita yang sudah mengakhiri masa menopausenya disebut jumlah anak paripurna (completed family size). Sesuai dengan pengelompokan umur, yang disebut usia subur adalah wanita yang umurnya sekitar 15-49 tahun. Selanjutnya usia subur wanita dapat dipilah menjadi kelompok-kelompok umur dengan interval 5 tahunan, yaitu: 15-19;

20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, dan 45-49 tahun. Dalam kaitan ini, rata-rata anak

yang pernah dilahirkan hidup oleh wanita umur 45-49 tahun disebut juga rata-rata

paritas paripurna.

(12)

Selain menggunakan rata-rata paritas, pengukuran fertilitas juga dapat ditempuh dengan menggunakan pola ASFR (age specific fertility rate) yang berlaku bagi kelompok umur penduduk perempuan suatu masyarakat dengan asumsi bahwa semua penduduk perempuan tersebut mampu melewati masa reproduksinya (umur 15-49 tahun). Angka fertilitas yang diperoleh dengan metode perhitungan di atas disebut angka fertilitas total atau total fertility rate, yang sering disingkat TFR. Untuk menentukan angka fertilitas dengan TFR dibutuhkan jumlah sampel yang besar.

Sehubungan dalam penelitian ini jumlah sampelnya terbatas, maka penentuan angka fertilitas yang dipilih adalah menggunakan rata-rata anak yang pernah dilahirkan hidup atau rata-rata paritas.

2.2 Fertilitas Migran

Sesuai dengan uraian pada bagian pendahuluan penelitian ini difokuskan untuk meneliti fertilitas di kalangan migran (penduduk pendatang). Para migran yang bermigrasi ke Bali tidak hanya menuju daerah perkotaan namun sebagian diantaranya menuju daerah perdesaan. Oleh karena itu penelitian tentang fertilitas migran tidak hanya dilakukan di daerah perkotaan, namun juga di daerah perdesaan.

Persoalan lebih jauh berkaitan dengan istilah migran, perlu mendapatkan penegasan migran mana yang dimaksud. Hal ini penting diperhatikan, karena ada beberapa klasifikasi migran seperti migran risen dan ada pula migran semasa hidup.

Migran risen adalah penduduk pendatang, di mana provinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan provinsi tempat tinggal lima tahun sebelumnya. Sementara itu, migran semasa hidup adalah penduduk pendatang, di mana provinsi tinggal sekarang berbeda dengan provinsi tempat lahirnya.

Berdasarkan klasifikasi migran yang dikemukakan di atas, jenis migran yang diteliti adalah migran semasa hidup. Hal ini dilandasi pertimbangan bahwa jika dipilih migran risen, jangka waktunya relatif singkat yaitu lima tahun. Artinya dalam kurun waktu lima tahun yang lalu, akan diperoleh jumlah kaum migran yang relatif terbatas.

Sebaliknya, dengan menggunakan jenis migran semasa hidup akan diperoleh

jumlah sampel yang lebih besar, dan jangka waktunya lebih panjang. Hal ini juga

terkait dengan masa rerpoduksi wanita adalah 15-49 tahun.

(13)

2.3 Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Fertilitas

Kelahiran atau fertilitas penduduk adalah satu komponen dinamika kependudukan yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah, di samping mortalitas dan migrasi. Mortalitas bersifat mengurangi laju pertumbuhan penduduk, sementara migrasi memiliki dua pengaruh yaitu menambah (untuk migrasi masuk) dan mengurangi (untuk migrasi keluar), maka fertilitas bersifat menambah jumlah penduduk. Oleh karena itu untuk mengendalikan laju partumbuhan penduduk, maka ketiga komponen kependudukan tersebut harus dikendalikan. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak semua komponen kependudukan tersebut dibahas, melainkan dibatasi pada komponen fertilitas penduduk. Atau lebih spesifik lagi adalah faktor-faktor determinan yang mempengaruhi penurunan fertilitas penduduk.

Ada beberapa faktor determinan yang mempengaruhi fertilitas, yaitu faktor demografi dan faktor non demografi. Faktor-faktor demografi antara lain umur kawin pertama, jumlah anak masih hidup, lama perkawinan, preferensi jenis kelamin, jumlah anak yang diinginkan, dan pemakaian alat kontrsepsi. Di pihak lain, faktor- faktor non demografi mencakup faktor sosial, ekonomi, dan budaya (Direktorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan BKKBN, 2011). Tidak semua faktor-faktor yang diungkapkan di atas mempengaruhi fertilitas secara langsung, melainkan melalui variabel lain. Menurut Davis dan Blake (1968) variabel dimaksud disebutnya variabel antara (intermediate variables). Dalam karya tulisnya yang berjudul “Social Structure and Fertility: An Analityc Framework”, Davis dan Blake mengajukan tiga tahap penting dalam proses kelahiran yaitu (1) tahap hubungan kelamin (intercourse); (2) tahap konsepsi (conception); dan (3) tahap kehamilan (gestation).

Ketiga tahapan proses kelahiran tersebut dapat dirinci lagi sebagai berikut.

1. Tahap hubungan kelamin meliputi enam variabel, yaitu:

a. Umur saat memulai hubungan kelamin.

b. Selibat permanen: proporsi perempuan yang tidak pernah melakukan hubungan kelamin seumur hidupnya.

c. Lamanya perempuan berstatus kawin.

d. Abstinensi sukarela.

e. Abstinensi terpaksa, seperti sakit atau berpisah sementara karena tugas atau belajar.

f. Frekuensi hubungan kelamin.

(14)

2. Tahap konsepsi atau pembuahan mencakup tiga variabel, yaitu:

a. Fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang tidak disengaja (kemandulan sejak lahir atau karena infeksi kandungan).

b. Fekunditas dan infekunditas yang disebabkan hal-hal yang disengaja, seperti minum obat penyubur atau sterilisasi.

c. Pemakaian alat kontrasepsi.

3. Tahap gestasi meliputi dua variabel, yaitu:

a. Aborsi atau mortalitas janin karena sebab-sebab yang tidak disengaja (keguguran atau spontaneous abortion).

b. Aborsi atau mortalitas janin karena sebab-sebab yang disengaja (menggugurkan kandungan atau induced abortion).

Ketiga tahapan proses reproduksi yang dipaparkan di atas mencakup 11 variabel antara, yang digunakan untuk menganalisis tinggi rendahnya fertilitas antara suatu kelompok perempuan dengan kelompok perempuan lain. Sebagai contoh, untuk membandingkan tingkat fertilitas antara negara maju dengan negara sedang berkembang atau antara kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi tinggi dengan kelompok masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah di dalam satu negara. Faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya hanya dapat mempengaruhi fertilitas melalui satu atau beberapa variabel di antara 11 variabel antara. Salah satu contoh nyata terkait dengan uraian di atas adalah: analisis pengaruh tingkat pendidikan perempuan (sebagai salah satu faktor sosial) terhadap fertilitas. Tingkat pendidikan perempuan akan mempengaruhi umur kawin (sebagai salah satu variabel antara). Perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung menikah pada umur yang lebih tua, sehingga fertilitasnya juga cenderung lebih rendah. Atau dapat juga melalui variabel antara: pemakaian alat kontrasepsi.

Perempuan lebih berpendidikan cenderung memiliki tingkat fertilitas yang lebih rendah karena mereka umumnya menggunakan alat kontrasepsi.

Model pendekatan yang dikemukakan oleh Davis dan Blake tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahan dari model tersebut adalah pada variabel antara nomor 6, yaitu frekuensi hubungan kelamin. Secara umum diketahui bahwa siklus haid bagi seorang perempuan adalah satu kali dalam setiap bulan.

Dengan demikian peluang terjadinya pembuahan atau konsepsi bagi seorang

perempuan juga satu kali dalam satu bulan. Meskipun frekuensi hubungan kelamin

(15)

terjadi banyak kali dalam satu bulan, maka peluang terjadinya kehamilan bagi seorang perempuan tidak mungkin lebih dari satu kali dalam satu bulan.

Berkaitan dengan beberapa kelemahan dari kerangka analisis fertilitas Davis dan Blake, seorang pakar sosiologi yang bernama Ronald Freedman (1973, dalam Hatmadji dkk, 2010) berusaha untuk menyempurnakan model di atas. Freedman menyebutkan bahwa variabel antara sangat erat hubungannya dengan norma sosial yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya disebutkan bahwa semua perilaku perempuan yang berkaitan dengan variabel antara sangat dipengaruhi oleh adat istiadat serta anggapan masyarakat di sekelilingnya tentang proses kelahiran mulai saat menikah, hamil, dan melahirkan.

Berbeda dengan Freedman yang mencoba menyempurnakan model Davis dan Blake yang mengaitkannya dengan norma sosial yang berkembang dalam masyarakat, maka Bongaarts (1978, dalam Singarimbun, 1996) justru menyederhanakan 11 variabel antara tersebut. Melalui analisisnya yang terkenal berjudul “A Framework for Analyzing the Proximate Determinant of Fertility” dia menyimpulkan bahwa ada empat variabel antara terpenting yang mempengaruhi penurunan fertilitas yaitu (1) lamanya menyusui; (2) lamanya amenore (lamanya tidak mendapat haid); (3) lamanya abstinensia; dan (4) pemakaian alat kontrasepsi.

Dari uraian ini terungkap bahwa pemakaian alat kontrasepsi adalah salah satu variabel antara yang penting dalam membahas penurunan fertilitas.

Berkaitan dengan pemakaian alat kontrasepsi dalam program KB, hal penting

yang harus diperhatikan adalah kualitas pelayanan kontrasepsi. Pentingnya kualitas

pelayanan kontrasepsi secara vokal disuarakan oleh penggerak kesehatan

reproduksi, karena banyak bukti menunjukkan bahwa mutu pelayanan kontrasepsi

masih rendah. Cara-cara pemaksaan masih sering dijumpai dalam memperoleh

akseptor. Petugas cenderung memaksakan penggunaan jenis-jenis kontrasepsi

tertentu yang dianggap efektif (Darwin, 1996). Berdasarkan itu pula Konferensi

Dunia untuk Kependudukan dan Pembangunan atau International Conference for

Population and Development (ICPD) yang diselenggarakan di Kairo pada tahun

1994 melakukan redefinisi terhadap gerakan KB yang meletakkan program KB

sebagai bagian dari upaya yang lebih luas, yaitu perlindungan hak dan kesehatan

reproduksi. Hak reproduksi adalah penjabaran dari hak-hak asasi manusia yang

mencakup tiga hak dasar, yaitu:

(16)

1) hak dari pasangan atau individu untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah dan jarak anak, dan untuk mendapatkan informasi dan alat untuk itu,

2) hak untuk mencapai standar kesehatan seksual dan reproduksi, dan

3) hak untuk membuat keputusan yang bebas dari diskriminasi, paksaan, atau kekerasan.

Perubahan-perubahan di atas, menimbulkan konsekuensi perluasan program

dari sosialisasi norma keluarga kecil dan pelayanan kontrasepsi untuk tujuan

pengendalian kehamilan ke masalah kesehatan reproduksi yang lebih luas,

termasuk seksualitas, infeksi sistem saluran reproduksi, aborsi, kanker payudara

dan kandungan, dan hubungan-hubungan kekuasaan gender di ranah domestik dan

publik (Darwin, 2001). Memperhatikan perkembangan baru yang digambarkan di

atas, maka dalam hal memberikan pelayanan kontrasepsi kepada para PUS

haruslah dimulai dengan sosialisasi tentang pentingnya progam KB sebagai bagian

dari pembangunan, bimbingan dan konseling tentang keunggulan dan kekurangan

jenis-jenis alat kontrasepsi, serta memberikan hak kepada PUS untuk memilih salah

satu alat kontrasepsi yang cocok baginya.

(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian kuantitatif, dengan tingkat eksplanasi deskriptif, komparatif, dan asosiatif. Pemilihan rancangan penelitian kuantitatif dalam kajian ini dilandasi pemikiran bahwa konsep- konsep yang digunakan ataupun hubungan antar variabel didasarkan atas teori-teori yang relevan dan berlaku umum, atau sering disebut cara berfikir deduktif.

Pendekatan deduktif menggunakan konsep-konsep yang didasarkan atas kepustakaan yang ada. Setelah merumuskan tujuan penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian, maka dirancang kuesioner penelitian, kemudian dilakukan pengumpulan data, editing data, dan pengolahan data dengan teknik analisis statistik tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hasil pengolahan data, kemudian dilakukan pembahasan hasil penelitian yang merupakan dasar untuk membuat simpulan dan saran-saran yang dapat dirumuskan dari hasil pembahasan tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Klungkung, dan Kabupaten Karangasem. Pemilihan lokasi-lokasi penelitian yang diungkapkan di atas erat kaitannya dengan obyek penelitian ini adalah para pendatang atau kaum migran, baik migran yang menuju daerah perkotaan maupun migran menuju daerah perdesaan. Kota Denpasar dipilih untuk mewakili migran di daerah perkotaan, sedangkan Kabupaten Klungkung dan Karangasem untuk mewakili migran yang bertempat tinggal di daerah perdesaan.

3.3 Variabel penelitian

Untuk menjawab tujuan penelitian variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Umur

2) Jenis kelamin

3) Provinsi asal

4) Tahun kedatangan

5) Sukubangsa

(18)

6) Umur kawin pertama 7) Jumlah anak lahir hidup 8) Jumlah anak masih hidup 9) Jumlah anak yang diinginkan 10)Jenis kelamin yang diinginkan 11)Umur anak terakhir

12)Pendidikan

13)Lapangan pekerjaan 14)Penghasilan

15)Kecukupan penghasilan

16)Partisipasi dalam penggunaan kontrasepsi selama perkawinan 17)Persepsi tentang manfaat program KB

18)Persepsi tentang nilai anak

3.4 Definisi operasional variabel

Berdasarkan identifikasi variabel penelitian yang disebutkan di atas, berikut ini akan diuraikan definisi operasional masing-masing variabel tersebut sebagai berikut.

1) Umur, dihitung dari ulang tahun terakhir responden.

2) Jenis kelamin, diklasifikasikan menjadi laki-laki dan perempuan.

3) Provinsi asal adalah provinsi luar Bali yang menjadi tempat lahir responden.

4) Tahun kedatangan, adalah waktu kedatangan migran pertama kali di Bali.

5) Sukubangsa, yaitu pengelompokan migran menurut suku di daerah asal.

6) Umur kawin pertama,dihitung dari ulang tahun terakhir saat mereka menikah.

7) Pendidikan, adalah pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh responden.

8) Penghasilan, total penghasilan per bulan, baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan yang dilakukan.

9) Kecukupan penghasilan, persepsi responden tentang kecukupan penghasilan total yang dimiliki responden

10)Jumlah anak lahir hidup, jumlah anak yang pada saat lahir memiliki tanda- tanda kehidupan seperti bernafas, berteriak, menangis

11)Jumlah anak masih hidup, jumlah anak yang masih hidup yang dimiliki responden saat penelitian dilakukan

12)Umur anak terakhir yang dilahirkan dan masih hidup, dihitung dalam tahun.

(19)

13)Keinginan menambah jumlah anak, persepsi responden tentang keinginan mereka untuk menamban anak

14)Jumlah anak yang diinginkan, jumlah anak yang diinginkan responden selama masa perkawinannya

15)Lapangan pekerjaan, lapangan pekerjaan utama responden, yang dapat diklasifikasikan menjadi pertanian, industri, jasa, dan sebagainya

16)Partisipasi dalam penggunaan kontrasepsi selama perkawinan, pernah menggunakan kontrasepsi selama perkawinan.

17)Persepsi tentang manfaat program KB, persepsi responden tentang manfaat program KB yang dirasakan oleh responden.

18)Persepsi tentang nilai anak, persepsi responden tentang segala hal yang berkaitan dengan anak yang mereka milik..

3.5 Jenis dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang dapat disajikan dalam bentuk angka atau dapat dihitung (Sugiono, 2010). Beberapa contoh data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data tentang umur, jumlah anak yang dilahirkan, jumlah anak masih hidup, penghasilan, dan sebagainya. Data kualitatif adalah data yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk angka. Beberapa contoh data kualitatif dalam penelitian ini antara lain persepsi responden tentang manfaat program KB, persepsi tentang nilai anak dan sebagainya.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu sumber data sekunder dan primer. Sumber data sekunder yang digunakan antara lain berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan sumber data primer langsung berasal dari responden pasangan usia subur (PUS) yang berada di daerah perkotaan (Kota Denpasar) dan responden bertempat tinggal di daerah perdesaan (Kabupaten Karangasem dan Klungkung). Berbagai data yang dibutuhkan untuk menjawab tujuan penelitian berasal dari responden penelitian, yaitu dari data primer.

3.6 Populasi dan sampel penelitian, serta teknik sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pasangan Usia Subur (PUS)

yang berumur 15-49 tahun yang ada di Kota Denpasar, Kabupaten Karangasem dan

Kabupaten Klungkung dan berstatus sebagai migran semasa hidup. Selanjutnya

(20)

disebut migran di daerah perkotaan dan migran di daerah perdesaan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 150 orang, masing-masing 75 orang di daerah perkotaan dan 75 orang di daerah perdesaan. Sampel yang digunakan ukurannya sebesar itu juga disebabkan oleh keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dimana tidak semua PUS migran memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel dalam penelitian.

Teknik sampling yang digunakan tepatnya adalah accidental sampling yang dikombinasikan dengan snowball sampling. Siapa yang kebetulan dijumpai oleh pewawancara asalkan mereka itu sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan seperti PUS yang berumur 15-49 tahun, dan tergolong migran semasa hidup, maka mereka diambil sebagai sampel. Selain itu dengan petunjuk atau informasi dari sampel sebelumnya, pewawancara dapat menemukan siapa saja PUS yang masih berumur 15-49 tahun dan tergolong sebagai migran semasa hidup. Jika secara keseluruhan para pewawancara sudah memperoleh responden sebanyak 150 orang, maka penelitian tersebut dihentikan.

3.7 Metode pengumpulan data

Dalam pendekatan kuantitatif yang digunakan dalam sebuah penelitian akan menentukan teknik atau metode pengaumpulan data yang digunakan. Ada berbagai metode pengumpulan data yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan. Metode pengumpulan data untuk survai dapat menggunakan metude kuesioner dan wawancara (Silalahi, 2009; Sekaran, 2010).

Secara rinci metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Metode observasi

Metode pengumpulan data yang pertama digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi khususnya terhadap dokumen atau buku-buku hasil publikasi BPS Provinsi Bali. Metode observasi ada 2 yaitu observasi perilaku dan non perilaku (Sevilla dkk, 1993). Dalam penelitian ini observasi yang digunakan adalah observasi non perilaku yaitu melakukan observasi terhadap dokumen atau buku-buku yang diterbitkan oleh BPS, untuk melengkapi data sekunder yang dibutuhkan.

2) Wawancara terstruktur

(21)

Metode pengumpulan data dengan wawancara terstruktur, adalah wawancara yang didasarkan atas daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Wawancara ini dilakukan terhadap responden PUS migran yang berumur 15-49 tahun. Data yang diperoleh melalui wawancara ini adalah data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian, seperti data umur, provinsi asal, sukubangsa, pendidikan, jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup. Jumlah anak masih hidup, jumlah anak yang diinginkan, penghasilan, pengeluaran, umur kawin pertama, partisipasi migran dalam program keluarga berencana, persepsi terhadap sikap keluarga tentang nilai anak, dan sebagainya.

3.8 Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan

tujuan penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk menjawab tujuan

pertama (karakteristik responden), tujuan keempat (partisipasi responden migran

dalam program KB), dan tujuan kelima (persepsi responden migan terhadap sikap

keluarga tentang nilai anak digunakan statistik deskriprtif. Sementara itu untuk

menjawab tujuan kedua (menjelaskan perbedaan antara fertilitas migran di daerah

perkotaan dan di daerah perdesaan) digunakan statistik komparatif, dan untuk

menjawab tujuan ketiga (menganalisis faktor-faktor determinan yang mempengaruhi

perbedaan fertilitas migran di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan) dijelaskan

dengan tabel silang.

(22)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Responden

Sebelum mengupas tentang berbagai faktor determinan yang mempengaruhi perbedaan fertilitas penduduk pendatang di daerah perkotaan dan perdesaan, berikut ini akan dibahas mengenai karakteristik responden penelitian. Responden penelitian adalah istri pendatang (migran) yang berada dalam usia subur 15-49 tahun. Migran dalam penelitian ini adalah mereka tergolong migran semasa hidup (lifetime migrant), yaitu mereka yang pada saat penelitian ini bertempat tinggal di Provinsi Bali, sedangkan tempat kelahirannya adalah provinsi lain di luar Bali. Dalam penelitian ini dibedakan tempat tinggal migran di daerah perkotaan dan perdesaan.

Sampel penelitian di daerah perkotaan dipilih di Kota Denpasar, sedangkan migran di daerah perdesaan dipilih yang bertempat tinggal di Kabupaten Karangasem dan Klungkung. Jenis-jenis karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, tahun kedatangan, provinsi asal, suku bangsa, umur perkawinan pertama, jumlah anak lahir hidup, jumlah anak masih hidup, keinginan menambah anak lagi, jumlah anak yang diinginkan, jenis kelamin anak yang diinginkan, umur anak terakhir, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, penghasilan, kecukupan penghasilan, rata-rata curahan waktu untuk mencari nafkah dan domestik, umur suami, pendidikan suami, lapangan pekerjaan suami, penghasilan suami, rata-rata curahan waktu suami, kecukupan penghasilan keluarga, status kepemilikan rumah, kondisi lingkungan tempat tinggal. Masing-masing karakteristik responden tersebut di atas akan dibahas secara berturut-turut berikut ini.

4.1.1 Umur responden

Distribusi responden menurut umur dapat diikuti pada Tabel 4.1. Jika umur

ideal untuk melahirkan adalah antara umur 20-34 tahun, maka sekitar 52 persen

responden berada pada umur ideal melahirkan. Perbedaan proporsi migran yang

tergolong umur ideal melahirkan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara daerah perkotaan (53,4

persen) dan di daerah perdesaan (52,0 persen). Sementara itu, yang menarik

dalam penelitian ini adalah responden yang berusia muda (15-19 tahun), menonjol di

daerah perkotaan daripada di daerah perdesaan. Padahal pada usia tersebut

mestinya seseorang sedang giat mengikuti pendidikan untuk peningkatan kualitas.

(23)

Tabel 4.1

Distribusi Responden Migran Menurut Umur dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Umur responden

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 15-19 4,0 0,0 2,0

2 20-24 12,0 0,0 6,0

3 25-29 22,7 8,0 15,3

4 30-34 18,7 44,0 31,3

5 35-39 26,7 34,7 30,7

6 40-44 13,3 10,7 12,0

7 45-49 2,7 2,7 2,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

Orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

4.1.2 Tahun kedatangan pertama kali

Para migran dalam penelitian ini memiliki tahun kedatangan pertama kali yang sangat bervariasi. Tahun kedatangan responden dapat digambarkan sebagai berikut; 1985-1989, 1990-1994, 1995-1999 dan seterusnya tahun 2015 (Tabel 4.2).

Tabel 4.2

Distribusi Responden Migran Menurut Tahun Kedatangan Pertama Kali dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Tahun petama kali datang ke Bali

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 1985-1989 0,0 1,3 0,7

2 1990-1994 9,3 1,3 5,3

3 1995-1999 13,3 14,7 14,0

4 2000-2004 20,0 45,3 32,7

5 2005-2009 22,7 33,3 28,0

6 2010-2014 25,3 4,0 14,7

7 2015 9,3 0,0 4,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

Orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

Meskipun tahun kedatangan responden telah dimulai periode 1985-1989, namun yang menonjol adalah kedatangan pertama kali setelah tahun 2000-an.

Hanya 20 persen kedatangan migran pertama kali adalah sebelum tahun 2000-an.

Kedatangan migran pertama kali setelah tahun 2000-an adalah pada periode 2000-

2009, yang mencakup lebih dari 60 persen dari seluruh migran, dan 20 persen

(24)

sisanya datang tahun 2010 dan sesudahnya. Besarnya persentase kedatangan migran tahun setelah tahun 2000-an erat kaitannya dengan terjadinya pengalihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistis ke pemerintahan Orde Reformasi yang bersifat desentralistis. Banyak terjadi eksodus penduduk dari luar Bali, terutama dari Jawa menuju Provinsi Bali. Di samping itu juga disebabkan oleh perkembangan sektor pariwisata dan sektor-sektor ekonomi lainnya sehingga memberikan daya tarik bagi para migran untuk mencari peluang kerja di Bali.

Selain gambaran secara keseluruhan, menarik untuk dibahas migran menurut tempat tinggal, terutama pada periode tahun 2010 dan sesudahnya. Pada periode ini, migran menuju daerah perkotaan lebih menonjol daripada daerah perdesaan, yaitu 34,6 persen berbanding 4 persen. Besarnya persentase migran yang menuju daerah perkotaan disebabkan oleh daerah perkotaan lebih menjanjikan, yakni terbuka peluang kerja jang jauh lebih variatif daripada di daerah perdesaan.

4.1.3 Provinsi daerah asal

Para migran yang menjadi responden dalam penelitian ini ternyata bukan hanya berasal dari satu atau dua provinsi saja, melainkan dari berbagai provinsi di Indonesia. Mereka berasal dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan (Tabel 4.3). Apabila diperhatikan secara keseluruhan, terungkap bahwa provinsi daerah asal yang paling tinggi proporsinya adalah Jawa Timur, yang mencakup sekitar 85 persen responden. Sementara itu provinsi-provinsi lainnya memiliki proporsi yang relatif rendah, bahkan kebanyakan lebih kecil daripada 5 persen.

Selanjutnya jika ditelusuri lebih rinci menurut tempat tinggal, yaitu daerah

perkotaan dan perdesaan, ternyata ditemukan pola yang serupa dengan uraian di

atas. Proporsi migran yang paling dominan tetap digambarkan oleh migran yang

berasal dari Jawa Timur, baik yang menuju daerah perkotaan maupun daerah

perdesaan. Tingginya proporsi migran yang berasal dari Provinsi Jawa Timur

didukung oleh beberapa alasan, yaitu (1) jarak yang dekat antara Provinsi Bali dan

Jawa Timur, bahwa makin dekat jarak suatu wilayah makin besar volume migrasi,

yang di dalam migrasi dikenal dengan istilah distance decay; (2) tersedianya fasilitas

sarana dan prasarana penyeberangan antara Ketapang-Gilimanuk yang memadai

dan beroperasi selama 24 jam sehingga dapat mendukung kelancaran mobilitas

penduduk; dan (3) tersedianya peluang kerja di berbagai sektor ekonomi, baik di

(25)

perkotaan maupun di perdesaan di Provinsi Bali, sehingga dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi para migran untuk mengadu nasib di Provinsi Bali.

Tabel 4.3

Distribusi Responden Migran Menurut Provinsi Daerah Asal dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Provinsi Asal

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 Jawa Timur 78,7 92,0 85,3

2 Jawa Tengah 4,0 1,3 2,7

3 Yogyakarta 1,3 0,0 0,7

4 Jawa Barat 6,7 6,7 6,7

5 Nusa Tenggara Barat 6,7 0,0 3,3

6 Nusa Tenggara Timur 1,3 0,0 0,7

7 Sulawesi Selatan 1,3 0,0 0,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

Orang 75 75 150

Sumber: Data Primer 4.1.4 Sukubangsa

Sejalan dengan uraian tentang provinsi daerah asal, maka dapat diduga sukubangsa-sukubangsa yang menjadi responden penelitian adalah sukubagsa Jawa, Madura, Sunda, Sasak, Flores, dan sukubangsa Bugis. Sukubangsa yang paling menonjol sebagai responden penelitian adalah sukubangsa Jawa (Tabel 4.4).

Sukubangsa Jawa mencakup sekitar 85 persen dari seluruh responden, sementara 15 persen sisanya terdistribusi ke dalam sukubangsa-sukubangsa lainnya seperti Madura, Sunda, Sasak, Flores, dan Bugis.

Tabel 4.4

Distribusi Responden Migran Menurut Sukubangsa dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Sukubangsa

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 Jawa 80,0 90,7 85,3

2 Madura 4,0 2,7 3,3

3 Sunda 6,7 6,7 6,7

4 Sasak 6,7 0,0 3,3

5 Flores 1,3 0,0 0,7

6 Bugis 1,3 0,0 0,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

Orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

(26)

Distribusi sukubangsa menurut tempat tinggal (daerah perkotaan dan daerah perdesaan) memberikan gambaran yang menarik karena tidak semua sukubangsa terdistribusi secara merata di daerah perkotaan dan perdesaan. Sukubangsa- sukubangsa yang terdistribusi di daerah perkotaan dan daerah perdesaan adalah sukubangsa Jawa, Madura, dan Sunda. Sementara itu sukubangsa yang menjadi responden di daerah perkotaan saja adalah Sasak, Flores, dan Bugis.

4.1.5 Umur kawin pertama

Umur kawin pertama responden berkaitan dengan lamanya seorang perempuan berada pada usia reproduksi. Artinya, semakin muda seorang peremouan menikah akan semakin panjang masa reproduksinya, dan demikian pula sebaliknya semakin tua yang bersangkutan memasuki jenjang rumah tangga akan semakin pendek masa reproduksinya. Panjang pendeknya masa reproduksi yang dijalani seorang perempuan akan berpengaruh terhadap banyak anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, dengan asumsi tidak ada pemakaian alat kontrasepsi modern maupun tradisional. Dalam penelitian ini hubungan antara umur kawin pertama dan tempat tinggal responden dapat diikuti pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5

Distribusi Responden Migran Menurut Umur Kawin Pertama dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Umur kawin pertama

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 15-19 34,7 9,3 22,0

2 20-24 45,3 62,7 54,0

3 25-29 16,0 26,7 21,3

4 30-34 4,0 1,3 2,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer

Pada Tabel 4.5 digambarkan bahwa umur kawin pertama para responden

penelitian yang terendah adalah umur 15-19 tahun dan yang paling tinggi adalah

umur 30-34 tahun. Umur kawin pertama yang dianjurkan bagi seorang perempuan

adalah antara 20-30 tahun, sedangkan umur kawin di bawah 20 tahun tidak

dianjurkan karena secara psikologis seorang perempuan belum matang untuk

berumah tangga, di samping organ-organ reproduksi mereka belum matang secara

sempurna. Akibatnya sering terjadi kelahiran yang berisiko bagi perempuan yang

(27)

perempuan yang menikah muda di daerah perkotaan relatif lebih tinggi daripada di daerah perdesaan. Padahal mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan memiliki akses yang lebih tinggi terhadap pengetahuan dan informasi terkait dengan umur kawin pertama yang dianjurkan supaya seseorang tidak menghadapi risiko pada saat melahirkan.

4.1.6 Jumlah anak lahir hidup

Konsep anak lahir hidup yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan definisi yang dikeluarkan oleh United Natons dan World Health Organisation (disingkat UN dan WHO), yang menyebutkan bahwa anak lahir hidup adalah kelahiran seorang bayi, tanpa memperhatikan lamanya di dalam kandungan tetapi pada saat dilahirkan menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung, gerakan otot/urat nadi atau ada tangisan. Hubungan antara jumlah anak lahir hidup dan tempat tinggal migran dalam penelitian ini dapat diikuti pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6

Distribusi Responden Migran Menurut Jumlah Anak Lahir Hidup (ALH) dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Jumlah ALH

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 0 6,7 0,0 3,3

2 1 38,7 36,0 37,3

3 2 34,7 61,3 48,0

4 3 17,3 1,3 9,3

5 4 1,3 1,3 1,3

6 5 1,3 0,0 0,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data keseluruhan diperoleh informasi bahwa jumlah anak lahir hidup yang paling menonjol adalah sesuai anjuran (dua anak), kemudian disusul oleh satu anak. Yang menarik adalah lebih dari 10 persen responden memiliki anak lahir hidup tidak sesuai anjuran (tiga anak atau lebih). Bahkan ada responden yang memiliki jumlah anak lahir hidup lima anak, namun proporsinya relatif kecil.

Selanjutnya menurut perbedaan tempat tinggal, diperoleh informasi bahwa proporsi

tertinggi untuk migran di daerah perdesaan adalah jumlah anak lahir hidup sesuai

anjuran, sedangkan yang tidak sesuai anjuran proporsinya relatif kecil. Di pihak lain

proporsi tertinggi untuk migran di daerah perkotaan adalah jumlah anak lahir hidup

(28)

satu anak, sedangkan proporsi responden dengan jumlah anak lahir hidup tidak sesuai anjuran (tiga anak atau lebih) mencapai 20 persen dari seluruh responden di daerah perkotaan.

4.1.7 Jumlah anak masih hidup

Jumlah anak masih hidup memiliki hubungan yang kuat dengan jumlah anak lahir hidup. Hal ini dapat dikaitkan dengan situasi yang terjadi pada masyarakat pra- transisi, yang menggambarkan bahwa pada masa itu tingkat kelahiran dan kematian sama-sama tinggi, dengan perkataan lain jumlah anak masih hidup sangat sedikit.

Oleh karena itu untuk menurunkan tingkat kelahiran, maka salah satu upaya yang dilakukan adalah menekan angka kematian, terutama pada kelompok-kelompok rentan seperti kematian bayi dan anak. Kematian yang rendah pada usia rentan akan dapat meyakinkan masyarakat bahwa anak yang dilahirkannya memiliki probabilitas hidup yang tinggi sehingga masyarakat dapat menurunkan fertilitasnya.

Pada penelitian ini jumlah anak masih hidup dari para responden migran dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7

Distribusi Responden Migran Menurut Jumlah Anak Masih Hidup (AMH) dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Jumlah AMH

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 0 6,7 0,0 3,3

2 1 38,7 36,0 37,3

3 2 34,7 61,3 48,0

4 3 18,7 1,3 10,0

5 4 0,0 1,3 0,7

6 5 1,3 0,0 0,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data yang digambarkan pada Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa nyaris tidak terdapat perbedaan dengan komposisi responden pada Tabel 4.6.

Perbedaan komposisi responden hanya terjadi pada responden migran di daerah

perkotaan, namun perbedaannya sangat kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa

tingkat kematian anak yang dilahirkan sangat rendah. Kondisi ini tentu sangat

kondusif terhadap tingkat kelahiran yang rendah.

(29)

4.1.8 Jumlah anak yang diinginkan

Sebelum mengupas lebih jauh mengenai jumlah anak yang diinginkan, terlebih dahulu akan ditelusuri tentang ada tidaknya keinginan untuk tambah anak lagi. Pada penelitian ini tidak semua responden ingin menambah anak lagi, karena sebagian responden sudah memiliki jumlah anak sesuai dengan anjuran. Dari seluruh responden yang diambil sebagai sampel penelitian hanya 38,7 persen yang menyatakan ingin menambah jumlah anak. Alasan paling banyak yang dikemukakan responden ingin menambah anak lagi adalah karena mereka baru memiliki satu anak, disusul oleh alasan belum punya anak. Sementara itu, alasan yang berkaitan dengan pemilihan jenis kelamin tertentu proporsinya relatif rendah.

Selain informasi yang terkait dengan keinginan untuk menambah anak lagi, dalam penelitian ini juga digali informasi tentang berapa sesungguhnya responden menginginkan jumlah anak. Berdasarkan jawaban responden secara keseluruhan ditemukan bahwa 84,0 persen menginginkan jumlah anak sesuai anjuran, dua anak (Tabel 4.8). Bahkan jika dipilah menurut tempat tinggal, terungkap bahwa 97,3 persen migran di daerah perdesaan menginginkan jumlah anak sesuai anjuran (dua anak). Sementara itu, di daerah perkotaan sekitar 70 persen responden menjawab sesuai anjuran, dan sebanyak 26,7 persen responden menginginkan tiga anak.

Tabel 4.8

Distribusi Responden Migran Menurut Jumlah Anak yang Diinginkan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Jumlah Anak yang Diinginkan

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 1 2,7 0,0 1,3

2 2 70,7 97,3 84,0

3 3 26,7 2,7 14,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer

Selain jumlah anak yang diinginkan dalam penelitian ini juga ditanyakan tentang pilihan jenis kelamin, yaitu (1) laki-laki; (2) perempuan; dan (3) sama saja.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan jawaban yang dominan adalah

sama saja (88,0 persen), sedangkan sisanya sebanyak 8,0 persen memberikan

pilihan jenis kelamin perempuan dan 4,0 persen memilih jenis kelamin laki-laki

(Tabel 4.9). Selanjutnya berdasarkan perbedaan tempat tinggal migran ditemukan

(30)

bahwa migran di daerah perdesaan secara bulat memilih jawaban “sama saja”, sedangkan untuk migran di daerah perkotaan yang memilih jawaban “sama saja”

mencapai 76,0 persen. Pilihan jawaban “sama saja” akan memiliki implikasi berbeda dengan pilihan jawaban yang lebih menyenangi jenis kelamin tertentu. Implikasi jawaban “sama saja” akan berdampak kepada fertilitas yang lebih rendah daripada pilihan jawaban yang lebih menyenangi jenis kelamin tertentu.

Tabel 4.9

Distribusi Responden Migran Menurut Jenis Kelamin Anak yang Paling Diinginkan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali No

Jenis Kelamin Anak yang Paling

Diinginkan

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 Laki-laki 16,0 0,0 8,0

2 Perempuan 8,0 0,0 4,0

3 Sama saja 76,0 100,0 88,0

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

4.1.9 Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan

Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini bervariasi mulai dari tidak tamat SD sampai Perguruan Tinggi. Bahkan yang lebih menarik adalah proporsi tertinggi digambarkan oleh tingkat pendidikan SLTA, yang menakup lebih dari 60 persen responden (Tabel 4.10). Pendidikan yang lebih tinggi tentu saja akan berdampak positif terhadap keberhasilan program, karena mereka umumnya memiliki pengetahuan, sikap, dan kemampuan untuk melaksanakan program lebih baik daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Tabel 4.10

Distribusi Responden Migran Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Tingkat

Pendidikan

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 Tidak tamat SD 1,3 0,0 0,7

2 SD 18,7 1,3 10,0

3 SLTP 33,3 18,7 26,0

4 SLTA 42,7 80,0 61,3

5 Perguruan Tinggi 4,0 0,0 2,0

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

(31)

Penelusuran lebih jauh terkait dengan tempat tinggal ternyata memberikan gambaran yang berbeda antara migran di daerah perkotaan dengan di daerah perdesaan. Migran di daerah perdesaan memiliki pendidikan yang relatif lebih tinggi daripada migran di daerah perkotaan. Sebanyak 80 persen migran di daerah perdesaan berpendidikan SLTA ke atas, sedangkan migran di daerah perkotaan hanya sekitar 47 persen yang berpendidikan SLTA ke atas. Memperhatikan angka- angka tersebut, tentu saja akan berimplikasi pada perbedaan tingkat fertilitas.

4.1.10 Status Ketenagakerjaan

Status ketenagakerjaan dibedakan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Status ketenagakerjaan memiliki kaitan erat dengan fertilitas penduduk; responden yang bekerja cenderung memiliki jumlah anak yang lebih sedikit daripada mereka yang tidak bekerja. Responden yang tidak bekerja memiliki waktu lebih banyak untuk mengurus kegiatan rumah tangga, termasuk diantaranya hamil, melahirkan, merawat, dan membesarkan anaknya. Sementara responden yang bekerja akan mencurahkan waktunya lebih banyak untuk kegiatan mencari nafkah, sehingga mereka cenderung akan memutuskan untuk memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Komposisi responden menurut status ketenagakerjaan pada penelitian ini menggambarkan bahwa sekitar 51 persen responden berstatus bekerja dan sebanyak 49 persen berstatus tidak bekerja. Mereka yang menyatakan bekerja, umumnya terserap pada usaha dagang dan aktivitas kewiraswastaan. Selanjutnya gambaran tentang distribusi menurut tempat tinggal dapat diikuti pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11

Distribusi Responden Migran Menurut Status Ketenagakerjaan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Status

Ketenagakerjaan

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 Bekerja 30,7 72,0 51,3

2 Tidak Bekerja 89.3 28,0 48,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

Berdasarkan Tabel 4.11 diperoleh gambaran bahwa migran di daerah

perdesaan cenderung lebih banyak yang bekerja, dan sebaliknya migran di daerah

perkotaan lebih banyak berstatus tidak bekerja. Perbedaan kecenderungan status

(32)

ketenagakerjaan yang digambarkan di atas akan memiliki implikasi yang berbeda terhadap fertilitas migran di daerah perkotaan dan daerah perdesaan.

4.1.11 Penghasilan responden

Berdasarkan informasi responden yang bekerja, selanjutnya ditelusuri lebih jauh informasi tentang penghasilan yang diperoleh responden. Penghasilan rata-rata per bulan yang diperoleh responden sangat variatif, mulai dari terendah sebesar Rp 500.000,- sampai tertinggi sebesar Rp 5.000.000,- Penghasilan responden tersebut disajikan ke dalam lima kelompok, yaitu (1) kurang dari 1,0 juta rupiah; (2) 1,0-<2,0 juta rupiah; (3) 2,0-<3,0 juta rupiah; (4) 3,0-<4,0 juta rupiah; (5) 4,0 juta rupiah atau lebih (Tabel 4.12). Dari Tabel 4.12 dapat diketahui bahwa penghasilan responden tersebut sebagian besar berada pada kelompok penghasilan antara 2,0 - <3,0 juta rupiah per bulan.

Paparan tentang penghasilan responden yang digambarkan di atas terbatas pada uraian mengenai distribusi penghasilan responden secara keseluruhan, sama sekali belum mengupas distribusi penghasilan responden menurut tempat tinggal.

Dari uraian tentang distribusi responden menurut tempat tinggal ditemukan bahwa proporsi migran tertinggi di daerah perkotaan dijumpai pada kelompok penghasilan antara 1,0-<2,0 juta rupiah. Sebaliknya, untuk migran yang bertempat tinggal di daerah perdesaan proporsi tertinggi dijumpai pada kelompok penghasilan antara 2,0 - <3,0 juta rupiah per bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa penghasilan migran di daerah perdesaan lebih tinggi darpada di daerah perkotaan.

Tabel 4.12

Distribusi Responden Migran Menurut Penghasilan Rata-rata per Bulan dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Penghasilan (jutaan rupiah)

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 < 1,0 4,0 0,0 2,0

2 1,0 - <2,0 12,0 1,3 6,7

3. 2,0 - <3,0 8,0 70,7 39,3

4. 3,0 - <4,0 4,0 0,0 2,0

5. 4,0 + 2,7 0,0 1,3

Tidak bekerja 69,3 28,0 48,7

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

(33)

4.1.12 Umur anak terakhir

Distribusi responden menurut umur anak terakhir dan tempat tinggal dapat diikuti pada Tabel 4.13. Secara keseluruhan,Tabel 4.13 dapat memberikan informasi bahwa proposi terbesar umur anak terakhir dijumpai pada kelompok umur 0-4 tahun (34,7 persen), sedangkan jika dibandingkan menurut tempat tinggal diperoleh gambaran yang berbeda antara migran di daerah perkotaan dengan di daerah perdesaan. Migran di daerah perkotaan paling menonjol proporsinya pada umur anak terakhir 0-4 tahun dan migran di daerah perdesaan yang menonjol adalah umur anak terakhir 5-9 tahun (42,7 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa migran di daerah perkotaan umurnya cenderung lebih muda daripada migran di daerah perdesaan. Sebanyak 16,0 persen migran di daerah perkotaan berumur antara 15-19 dan 20-24 tahun dan nol persen untuk migran di daerah perdesaan.

Tabel 4.13

Distribusi Responden Migran Menurut Umur Anak Terakhir dan Tempat Tinggal, di Provinsi Bali

No Umur anak

terakhir

Migran Perkotaan

(%)

Migran Perdesaan

(%)

Total (%)

1 0-4 53,5 16,0 34,7

2 5-9 22,7 42,7 32,7

3 10-14 13,3 34,7 24,0

4 15-19 2,7 6,7 4,7

5 20-24 1,3 0,0 0,7

6 Belum punya anak

6,7 0,0 3,3

Jumlah % 100,0 100,0 100,0

Orang 75 75 150

Sumber: Data Primer.

4.2 Perbedaan Fertilitas Migran di Daerah Perkotaan dan di Daerah Perdesaan

Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa ukuran fertilitas

yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata paritas atau rata-rata anak

yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita. Dalam penelitian ini yang dibicarakan

adalah fertilitas migran, baik migran di daerah perkotaan maupun di daerah

perdesaan. Berdasarkan data kelahiran yang dikumpulkan diperoleh bahwa rata-rata

paritas untuk migran di daerah perkotaan adalah sebesar 1,72 dan untuk migran di

daerah perdesaan adalah 1,68. Rata-rata paritas yang digambarkan oleh migran

perkotaan dan migran perdesaan masing-masing lebih rendah daripada yang

(34)

dianjurkan pemerintah (dua anak per wanita). Dilihat dari banyaknya, diperoleh bahwa rata-rata paritas migran perkotaan lebih tinggi daripada migran di daerah perdesaan (Tabel 4.14).

Tabel 4.14

Rata-rata Paritas Responden Migran di Daerah Perkotaan dan Migran di Daerah Perkotaan di Provinsi Bali

No Umur responden Migran Perkotaan Migran Perdesaan

(ẋ)ALH (ẋ) ALH

1 15-19 1,00 -

2 20-24 1,00 -

3 25-29 1,29 1,17

4 30-34 1,50 1,45

5 35-39 2,20 1,92

6 40-44 2,50 2,00

7 45-49 2,50 2,50

Jumlah ẋ ALH 1,72 1,68

orang 75 75

Sumber: Data Primer.

Meskipun rata-rata paritas migran di daerah perkotaan lebih banyak

dibandingkan dengan migran di daerah perdesaan, namun masih perlu dilakukan

pengujian dengan uji beda dua rata-rata. Dengan demikian akan dapat diketahui

apakah perbedaan fertilitas antara migran perkotaan dengan migran perdesaan

signifikan atau tidak. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, ditemukan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara fertilitas migran daerah perkotaan

dengan migran di daerah perdesaan. Hal ini tidak hanya tampak pada taraf

signifikansi 5 persen, demikian pula untuk 10 persen. Satu hal yang mendukung

tidak adanya perbedaan yang signifikan antara fertilitas migran perkotaan dengan

migran perdesaan adalah ditinjau dari segi rata-rata paritas paripurna. Rata-rata

paritas paripurna adalah rata-rata paritas yang ditunjukkan oleh kelompok umur

wanita 45-49 tahun. Pada kelompok umur tersebut umumnya wanita sudah

memasuki masa menopause (mati haid). Dengan demikian keseluruhan jumlah anak

yang pernah dilahirkan hidup oleh seorang wanita selama masa reproduksinya

disebut sebagai jumlah anak paripurna. Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa

migran perkotaan dan migran perdesaan memiliki rata-rata paritas paripurna yang

sama, yaitu 2,50 per wanita.

Referensi

Dokumen terkait

= " Prosiding Seminar Nasional dan Call Paper ~ 3TEKDIKTI PERAN OTONOMI DAERAH BAGI PENGEMBANGAN SISTEM HUKUM INDONESIA I\ ; u Editor I "" Dr Sulaiman, S H ,M ~; d~~= ' ' ~ ~ , ,/////// I

Merendam sampel ayam broiler dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) varietas putih yang telah diencerkan dengan aquades selama 30 menit..

Kembangsari mengajukan kredit kepada BMT SUMBER USAHA dengan harapan dapat mengembangkan usaha dagangnya, misalnya dengan menambah persediaan barang dagangan. Dengan

Seorang wanita, usia 50 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan kaki tidak dapat berjalan sejak 3 minggu yang lalu. Riwayat sebelumnya pasien sering keputihan berbau

Filtrasi darah terjadi di glomerulus, yaitu jaringan kapiler dengan struktur spesifik dibuat untuk  menahan komponen selular dan medium-molekular-protein besar ke

Penelitian ini diharapkan dapat : (1) memberikan informasi pertumbuhan bangsa kelinci Rex dari umur lahir, umur sapih dan umur potong, (2) memberikan informasi tentang

Penelitian yang dilakukan oleh Syaikhul Falah (2007) menyatakan bahwa Hasil penelitian menemukan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh terhadap idealisme akan tetapi

*Stiker mobil untuk pelari yang membawa kendaraan bisa diambil di tempat Race Pack Collection agar mendapatkan prioritas jalan pada saat hari acara lari berlangsung.. tag